14
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Imunisasi 2.1.1 Definisi Imunisasi Menurut Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) No. 42 tentang Penyelenggaraan Imunisasi, imunisasi adalah suatu upaya untuk menimbulkan/meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila suatu saat terpajan dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit ringan. 2.1.2 Tujuan Imunisasi Tujuan dari imunisasi dasar adalah tercapainya kekebalan Penyakit yang dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) pada masyarakat (Depkes RI, 2009). Penyakit tersebut antara lain Hepatitis B, campak, pertusis (batuk rejan), difteri, tetanus, tuberkulosis, serta poliomielitis. 2.1.3 Klasifikasi Imunisasi Berdasarkan mekanisme kerjanya, imunisasi terbagi atas dua jenis, yaitu : 1. Imunisasi aktif Imunisasi aktif terdiri dari induksi tubuh untuk mengembangkan pertahanan terhadap penyakit dengan merangsang sistem imun untuk menghasilkan antibodi dan respon imun seluler yang memberi perlindungan terhadap agen infeksi. Disini tubuh secara aktif memproduksi sendiri antibodinya (Behrman, 2012). Pendekatan utama imunisasi aktif adalah penggunaan agen infeksi hidup, biasanya dilemahkan (vaksin) dan penggunaan agen yang diinaktifkan atau didetoksifikasi (toksoid) atau ekstraknya atau produk-produk rekombinasi spesifik seperti pada hepatitis B. Kedua pendekatan telah digunakan untuk banyak penyakit misalnya influenza dan poliomielitis (Behrman, 2012). Vaksin hidup yang dilemahkan, diduga menginduksi respons imunologis yang lebih menyerupai respons yang ditimbulkan oleh infeksi alamiah daripada vaksin mati. Vaksin yang tidak diaktifkan atau vaksin mati terdiri atas seluruh Universitas Sumatera Utara

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.usu.ac.idrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/61976/4/Chapter II.pdf · Koinsiden . Seperti telah disebutkan maka kejadian yang timbul ini

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.usu.ac.idrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/61976/4/Chapter II.pdf · Koinsiden . Seperti telah disebutkan maka kejadian yang timbul ini

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Imunisasi

2.1.1 Definisi Imunisasi

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) No. 42 tentang

Penyelenggaraan Imunisasi, imunisasi adalah suatu upaya untuk

menimbulkan/meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu

penyakit, sehingga bila suatu saat terpajan dengan penyakit tersebut tidak akan

sakit atau hanya mengalami sakit ringan.

2.1.2 Tujuan Imunisasi

Tujuan dari imunisasi dasar adalah tercapainya kekebalan Penyakit yang

dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) pada masyarakat (Depkes RI, 2009).

Penyakit tersebut antara lain Hepatitis B, campak, pertusis (batuk rejan), difteri,

tetanus, tuberkulosis, serta poliomielitis.

2.1.3 Klasifikasi Imunisasi

Berdasarkan mekanisme kerjanya, imunisasi terbagi atas dua jenis, yaitu :

1. Imunisasi aktif

Imunisasi aktif terdiri dari induksi tubuh untuk mengembangkan

pertahanan terhadap penyakit dengan merangsang sistem imun untuk

menghasilkan antibodi dan respon imun seluler yang memberi perlindungan

terhadap agen infeksi. Disini tubuh secara aktif memproduksi sendiri antibodinya

(Behrman, 2012).

Pendekatan utama imunisasi aktif adalah penggunaan agen infeksi hidup,

biasanya dilemahkan (vaksin) dan penggunaan agen yang diinaktifkan atau

didetoksifikasi (toksoid) atau ekstraknya atau produk-produk rekombinasi spesifik

seperti pada hepatitis B. Kedua pendekatan telah digunakan untuk banyak

penyakit misalnya influenza dan poliomielitis (Behrman, 2012).

Vaksin hidup yang dilemahkan, diduga menginduksi respons imunologis

yang lebih menyerupai respons yang ditimbulkan oleh infeksi alamiah daripada

vaksin mati. Vaksin yang tidak diaktifkan atau vaksin mati terdiri atas seluruh

Universitas Sumatera Utara

Page 2: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.usu.ac.idrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/61976/4/Chapter II.pdf · Koinsiden . Seperti telah disebutkan maka kejadian yang timbul ini

organisme yang diinaktifkan (misal pertusis), eksotoksin yang didetoksifikasi saja

(misal toksoid tetanus) atau endotoksin terikat pada protein pembawa,bahan

kapsul yang dapat larut (misal polisakarida penumokokus) atau bahan kapsul

gabungan (misal vaksin gabungan Haemophilus influenza B), atau ekstrak

beberapa komponen organisme (misal subunit influenza) (Behrman, 2012).

Karena organisme pada vaksin hidup memperbanyak diri dalam resipien,

produksi antigen bertambah sampai organisme ini dikurangi oleh mulainya respon

imun yang dimaksudkan untuk diinduksi. Pada resipien yang mengembangkan

respons, virus hidup yang dilemahkan (misal campak, rubella, parotitis

epidemika) diduga memberi proteksi seumur hidup dengan satu dosis. Sebaliknya

vaksin mati, kecuali antigen polisakarida yang dimurnikan, tidak menginduksi

imunitas permanen dengan satu dosis. Vaksinasi yang diulang dan booster

diperlukan untuk mengembangkan dan mempertahankan kadar tinggi antibodi

seperti IgG, IgM, dan IgA. Rangsangan antigenik yang didapatkan melalui

pemberian vaksin hidup jauh lebih besar dibandingkan dengan pemberian vaksin

yang diinaktifkan, meskipun jumlah antigen yang terdapat pada inactivated

vaccine lebih banyak dibandingkan vaksin hidup. Hal ini dikarenakan pada vaksin

hidup virusnya masih mampu bermultiplikasi pada organisme hospes (Behrman,

2012).

2. Imunisasi pasif

Imunisasi pasif terjadi bila seseorang menerima antibodi atau produk sel

dari orang lain yang telah mendapat imunisasi aktif (Baratawidjaja, 2012).

Imunisasi pasif terdiri dari pemberian proteksi sementara melalui pemberian

antibodi yang dihasilkan secara eksogen. Imunisasi pasif bisa terjadi melalui

pemindahan antibodi transplasenta pada janin, yang memberi proteksi terhadap

penyakit selama 3-6 bulan pertama kehidupan, dan injeksi imunoglobulin untuk

tujuan pencegahan infeksi. Agen imunisasi yang digunakan adalah imunoglobulin

dan antitoksin (Behrman, 2012).

2.1.4 Proses Imun dalam Vaksinasi

Prinsip dasar dalam vaksinasi adalah proses imunisasi aktif, dimana agen

penyakit yang dimasukkan ke dalam tubuh, baik yang hidup maupun yang sudah

Universitas Sumatera Utara

Page 3: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.usu.ac.idrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/61976/4/Chapter II.pdf · Koinsiden . Seperti telah disebutkan maka kejadian yang timbul ini

diinaktifkan, akan merangsang sistem imun untuk memulai proses imunitas.

Respon imun diawali dengan adanya proses inisiasi terhadap antigen yang masuk

ke dalam tubuh. Antigen yang masuk akan dikenali sebagai benda asing melalui

suatu “sinyal bahaya” yang pada akhirnya akan merangsang reseptor tertentu.

Proses inisiasi ini biasanya terjadi di jaringan non-limfoid dan sel yang berperan

pada proses ini adalah makrofag jaringan dan sel dendrit. Sel dendrit berfungsi

sebagai APC (Antigen Presenting Cell) yang berperan pada awal pengenalan

protein asing, mengawali respon imunitas seluler dan humoral yang mengaktifkan

sel T naif, Th(T helper), CTL (Cytotoxic T Lymphocyte), dan sel B. Sel dendrit

merupakan APC yang paling efektif karena letaknya yang strategis di tempat-

tempat mikroba dan antigen masuk serta di tempat yang mungkin dikolonisasi

oleh mikroba, seperti di kulit, epitel hampir semua organ, kelenjar limfoid, dan

sinus marginal limfatik aferen (Baratawidjaja, 2012) .

Antigen yang terikat di reseptor sel dendrit kemudian masuk ke dalam sel

secara endositosis, dan dihancurkan oleh vesikel lisosom yang mengandung enzim

hidrolitik multipel, sehingga menjadi bentuk peptida. Peptida yang terbentuk

kemudian akan berikatan dengan MHC-II yang disintesis oleh retikulum

endoplasma, dan ditransport ke permukaan sel. Proses ini dinamakan Exogenous

Antigen Processing. Sementara bila antigen bersifat intraselular, maka enzim

protease yang ada di sitosol akan langsung menghancurkan antigen menjadi

peptida dan ditransport ke retikulum endoplasma kasar yang sudah berisi MHC-I,

dan kemudian ditransport ke permukaan sel. Proses ini dinamakan Endogenous

Antigen Processing (Beverley, 2014). Sel dendrit kemudian mempresentasikan

peptida ke sel T CD4+ melalui MHC-II atau ke sel T CD8+ melalui MHC-I,

sehingga dapat mengaktifkan sel CD4+ dan CD8+ secara langsung

(Baratawidjaja, 2012).

Pada saat yang sama, melalui kontrol kemokin dan reseptornya, sel

bermigrasi dari jaringan ke aliran nodus limfe. Jaringan akan mengeluarkan

reseptor kemokinnya melalui perangsangan oleh sinyal bahaya yang dimiliki oleh

antigen dan oleh sinyal yang berasal dari sitokin inflamasi seperti Tumor

Necroting Factor dan Interleukin. Hal ini memungkinkan sel dendrit menerima

Universitas Sumatera Utara

Page 4: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.usu.ac.idrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/61976/4/Chapter II.pdf · Koinsiden . Seperti telah disebutkan maka kejadian yang timbul ini

sinyal kemokin yang berasal dari nodus limfe. Selama proses migrasi dan entri sel

dendrit ke dalam nodus, sel dendrit juga mengalami maturasi sel (Beverley, 2014).

Imunitas yang terbentuk pada respon imun terbagi dua, yaitu imunitas

selular dan imunitas humoral. Aktivasi sel CD4+ dan CD8+ merupakan respon

imun spesifik selular. CD4+ yang teraktivasi nantinya akan mengaktifkan

makrofag yang memproduksi IFN gamma dan CD8+ yang akan membunuh

mikroba serta melisis sel terinfeksi (Baratawidjaja, 2012).

Respon imun humoral terdiri atas pembentukan antibodi dan sel memori.

Sel T naif yang sudah berdiferensiasi menjadi T helper kemudian akan

merangsang proliferasi dan diferensiasi klon sel B spesifik menjadi sel B efektor

dan sel B memori. Sel B efektor kemudian akan berdiferensiasi lagi menjadi sel

plasma. Sel plasma inilah yang kemudian akan mensekresikan berbagai jenis

imunoglobulin (Ig) yang terdiri atas IgM, IgG, IgE, IgA, dan IgD. Masing –

masing imunoglobulin ini memiliki dampak imunologis yang berbeda-beda

tergantung proses infeksinya. Sel memori berperan pada invasi oleh agen infeksi

yang sudah dikenali oleh tubuh. Ketika tubuh diserang oleh antigen yang sama,

tubuh akan langsung merespon dengan mensekresikan imunoglobulin spesifik

lebih cepat dan lebih banyak dibandingkan proses infeksi pertama kali. Hal inilah

yang dimanfaatkan pada proses vaksinasi, sehingga seseorang yang sudah

memiliki kekebalan terhadap penyakit tertentu tidak akan sakit atau hanya

mengalami sakit ringan saat infeksi yang berikutnya (Baratawidjaja, 2012).

2.1.5 Sasaran Imunisasi

Sasaran imunisasi berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) No.

1611 tentang Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi adalah:

1. Bayi (sebelum 1 tahun)

2. Anak usia sekolah dasar

3. Wanita usia subur (15-39 tahun) dan ibu hamil serta calon pengantin.

2.1.6 Lima Imunisasi Dasar Lengkap

Pemerintah menyusun program pemberian lima imunisasi dasar lengkap

pada bayi sebelum 1 tahun yang terdiri dari imunisasi Hepatitis B, BCG, DPT,

Universitas Sumatera Utara

Page 5: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.usu.ac.idrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/61976/4/Chapter II.pdf · Koinsiden . Seperti telah disebutkan maka kejadian yang timbul ini

Polio dan Campak. Penyakit tersebut dapat menyebabkan derita fisik dan mental

berkepanjangan bagi anak, kecacatan, bahkan kematian (Depkes RI, 2009).

Berikut adalah jenis imunisasi dasar lengkap (Ranuh, 2008) :

Tabel 2.1. Lima Imunisasi Dasar Lengkap

Jenis vaksin Dosis dan cara pakai Kontraindikasi Efek samping

Polio 2 tetes (0,1 ml) oral

untuk Oral Polio

Vaccine (OPV).

0,5 ml secara subkutan

untuk Inactivated

Poliomyelitis Vaccine

(IPV).

Diberikan 4 kali

berturut-turut dengan

jarak 2 bulan.

Anak dengan

imunosupresi

kontraindikasi terhadap

OPV dan harus diberi

IPV sebagai gantinya.

Sebagian kecil

mengalami gejala

pusing, diare ringan,

dan nyeri otot.

Kejadian

poliomielitis terkait

vaksin sangat jarang

terjadi.

BCG 0,10 ml untuk anak.

0,05 ml untuk bayi baru

lahir.

Diberikan secara

intradermal pada umur

<2 bulan.

Reaksi uji tuberkulin >

5mm, menderita atau

berisiko HIV,

imunokompromais,

menderita gizi buruk,

demam tinggi, infeksi

kulit yang luas, pernah

sakit tuberkulosis, dan

kehamilan.

Ulkus lokal yang

superfisial 3 minggu

setelah penyuntikan

dan akan sembuh

dalam 2-3 bulan serta

meninggalkan luka

parut.

Campak 0,5 ml secara subkutan

pada umur 9 bulan.

Kehamilan, anak dengan

imunodefisiensi primer,

pasien TB yang tidak

diobati, dan pasien

imunokompromais.

Demam lebih dari

39,5°C dan ruam

pada kulit. Gangguan

fungsi sistem saraf

pusat sangat jarang

terjadi.

DTP 0,5 ml secara

intramuskular sebanyak

3 kali dengan jarak

pemberian 2 bulan.

Riwayat anafilaksis pada

pemberian vaksin

sebelumnya, ensefalopati

sesudah pemberian

vaksin pertusis

sebelumnya.

Reaksi lokal

kemerahan, bengkak

dan nyeri pada lokasi

injeksi, demam

ringan hingga kejang

demam, anak

menangis dan gelisah

selama beberapa jam

pasca penyuntikan,

reaksi anafilaksis

terkait pemberian

vaksin pertusis.

Hepatitis B 0,5 ml secara

intramuskular sebanyak

3 kali.

Sampai saat ini tidak ada

kontra indikasi absolut

untuk pemberian vaksin

VHB.

Reaksi lokal yang

ringan dan bersifat

sementara, kadang-

kadang dapat

menimbulkan demam

ringan untuk 1-2 hari.

Universitas Sumatera Utara

Page 6: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.usu.ac.idrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/61976/4/Chapter II.pdf · Koinsiden . Seperti telah disebutkan maka kejadian yang timbul ini

2.1.7 Jadwal Pemberian Imunisasi

Gambar 2.1. Jadwal Imunisasi

Sumber : http://idai.or.id/public-articles/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-anak-

idai.html

2.1.8 Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)

Reaksi lokal maupun sistemik yng tidak diinginkan dapat terjadi pasca

imunisasi. Sebagian besar hanya ringan dan bisa hilang sendiri. Reaksi yang berat

dan tidak terduga bisa terjadi meskipun jarang. Umumnya reaksi terjadi segera

setelah dilakukan vaksinasi (dalam 48 jam), namun bisa juga reaksi tersebut

muncul kemudian (hari-bulan) (Hadinegoro, 2000). Pasien dan keluarga harus

diberi informasi mengenai risiko dan keuntungan vaksinasi dan tentunya tentang

penyakit yang akan dicegah (Ranuh, 2008).

KIPI yang paling sering terjadi dibagi atas 5 penyebab utama, yaitu:

1. Kesalahan Program/Teknik Pelaksanaan

Sebagian besar kasus KIPI berhubungan dengan masalah program dan

teknik pelaksanaan imunisasi yang meliputi kesalahan program penyimpanan,

pengelolaan, dan tatalaksana pemberian vaksin, misalnya dosis antigen (terlalu

banyak), lokasi dan cara menyuntik, sterilisasi semprit dan jarum suntik, Tindakan

asepsis dan antiseptik, kontaminasi vaksin dan peralatan suntik, penyimpanan

Universitas Sumatera Utara

Page 7: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.usu.ac.idrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/61976/4/Chapter II.pdf · Koinsiden . Seperti telah disebutkan maka kejadian yang timbul ini

vaksin, pemakaian sisa vaksin, jenis dan jumlah pelarut vaksin, dan tidak

memperhatikan petunjuk produsen (petunjuk pemakaian, indikasi kontra) (Ranuh,

2008).

Kecurigaan terhadap kesalahan tata laksana perlu diperhatikan apabila

terdapat kecenderungan kasus KIPI berulang pada petugas yang sama.

Kecenderungan lain adalah apabila suatu kelompok populasi mendapat vaksin

dengan batch yang sama tetapi tidak terdapat masalah, atau apabila sebagian

populasi setempat dengan karakteristik serupa yang tidak diimunisasi tetapi justru

menunjukkan masalah tersebut (Ranuh, 2008)

2. Reaksi Suntikan

Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum suntik baik

langsung maupun tidak langsung harus dicatat sebagai reaksi KIPI. Reaksi

suntikan langsung misalnya rasa sakit, bengkak dan kemerahan pada tempat

suntikan, sedangkan reaksi suntikan tidak langsung misalnya rasa takut, pusing,

mual, sampai sinkope. Hal ini adalah peristiwa yang normal dialami oleh tubuh

ketika jaringan mengalami cedera, yang dalam hal ini diakibatkan penggunaan

jarum suntik. Peristiwa ini disebut dengan reaksi radang akut yang memiliki 5

tanda khas, yaitu rubor (kemerahan), kalor (panas), dolor (nyeri), tumor

(pembengkakan), dan fungsio laesa (perubahan fungsi) (Price, 2006). Namun

munculnya tanda-tanda tersebut setelah pemberian imunisasi membuat ibu takut

dan menganggap anaknya berada dalam bahaya, sehingga ibu menjadi enggan

untuk memberikan imunisasi.

3. Reaksi Vaksin

Gejala KIPI yang disebabkan induksi vaksin umumnya sudah dapat

diprediksi terlebih dahulu karena merupakan reaksi simpang vaksin dan secara

klinis biasanya ringan. Walaupun demikian dapat saja terjadi gejala klinis hebat

seperti reaksi anafilaksis sistemik dan risiko kematian. Reaksi simpang ini sudah

teridentifikasi dengan baik dan tercantum dalam petunjuk pemakaian tertulis oleh

produsen sebagai indikasi kontra, indikasi khusus, perhatian khusus, atau berbagai

tindakan dan perhatian spesifik lainnya termasuk kemungkinan interaksi dengan

obat atau vaksin lain (Ranuh, 2008).

Universitas Sumatera Utara

Page 8: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.usu.ac.idrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/61976/4/Chapter II.pdf · Koinsiden . Seperti telah disebutkan maka kejadian yang timbul ini

4. Koinsiden

Seperti telah disebutkan maka kejadian yang timbul ini terjadi secara

kebetulan saja setelah imunisasi. Indikator faktor kebetulan ditandai dengan

ditemukannya kejadian yang sama di saat bersamaan pada kelompok populasi

setempat dengan karakteristik serupa tetapi tidak mendapat imunisasi (Ranuh,

2008).

5. Sebab tidak diketahui.

Bila kejadian atau masalah yang dilaporkan belum dapat dikelompokkan

ke dalam salah satu penyebab maka untuk sementara dimasukkan ke dalam

kelompok ini sambil menunggu informasi lebih lanjut. Biasanya dengan

kelengkapan informasi tersebut akan dapat ditentukan kelompok penyebab KIPI

(Ranuh, 2008).

2.1.9 Kontraindikasi Pemberian Imunisasi

Imunisasi dikontraindikasikan pada anak yang berisiko tinggi untuk

mendapatkan infeksi (Ranuh, 2008). Anak yang berisiko tinggi terhadap infeksi

ini juga harus dikenali dari awal untuk mengurangi angka Kejadian Ikutan Pasca

Imunisasi (KIPI) (Hadinegoro, 2000). Kondisi-kondisi tersebut diantaranya

berupa:

1. Pasien Imunokompromais

Imunokompromais adalah kondisi dimana sistem imun seseorang tertekan,

berkurang atau kehilangan kemampuan melakukan fungsi utamanya untuk

melawan infeksi (Okafor, 2012). Kondisi ini dapat terjadi pada penyakit defisiensi

imun kongenital dan defisiensi imun didapat seperti pada leukemia, limfoma,

pasien dengan pengobatan alkylating agents, antimetabolik, kortikosteroid

sistemik dosis tinggi dan lama (Ranuh, 2008).

Pemberian kortikosteroid, alkylating agents, maupun radioterapi dan

kemoterapi dapat menekan sistem imun seseorang, sehingga tidak boleh diberikan

vaksin hidup karena akan berakibat fatal disebabkan vaksin akan bereplikasi

dengan hebat karena tubuh tidak mengontrolnya (Ranuh, 2008). Begitu pula pada

pasien dengan HIV/AIDS yang mana terjadi penekanan pada sistem imun yang

ditandai dengan penurunan kadar Limfosit T (CD4+ dan CD8+), menyebabkan

Universitas Sumatera Utara

Page 9: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.usu.ac.idrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/61976/4/Chapter II.pdf · Koinsiden . Seperti telah disebutkan maka kejadian yang timbul ini

anak tidak mampu memberikan respon imun seperti pada anak normal lainnya

(Setiawan, 2009).

Anak sering sakit atau rentan infeksi merupakan salah satu penanda

adanya masalah pada imunitas seorang anak (Okafor, 2012) meskipun bisa juga

disebabkan oleh kondisi malnutrisi. Kondisi malnutrisi sendiri pada akhirnya akan

menyebabkan berkurangnya kadar protein yang merupakan bahan baku utama

pada proses pembentukan antibodi, sistem komplemen dan respon imun seluler

(Brooks, 2008). Hal ini yang menyebabkan ibu dari anak yang sering sakit

cenderung tidak memberikan imunisasi untuk anaknya secara lengkap. Ibu takut

apabila anaknya diberi imunisasi, maka anaknya justru akan jatuh sakit akibat

sistem imun yang tidak adekuat (Prayoga, 2009).

Penelitian yang dilakukan oleh Favin (2012) menyebutkan bahwa

seringkali anak tidak mendapatkan imunisasi akibat salah persepsi mengenai

kontraindikasi imunisasi. Misalnya bahwa anak yang sakit tidak boleh

diimunisasi, anak tidak seharusnya mendapat multipel vaksinasi pada saat yang

sama, anak usia >12 bulan terlalu “tua” untuk imunisasi campak, dan anak dengan

berat badan kurang tidak boleh mendapat imunisasi.

2. Pernah mendapat KIPI pada imunisasi terdahulu

Pada anak yang pernah menderita reaksi efek samping yang serius setelah

imunisasi, harus diberikan imunisasi berikutnya dengan pengawasan dokter

(Ranuh, 2008).

3. Pasien transplantasi sumsum tulang

Resipien transplantasi sumsum tulang alogenik akan menjadi defisiensi

imun akibat pengobatan imunosupresi terhadap penyakit primer, kemoterapi dan

radioterapi yang diberikan pada pejamu, reaktivitas imunologi antara organ

implan terhadap pejamu, serta pengobatan imunosupresi yang diberikan setelah

transplantasi diberikan (Ranuh, 2008).

4. Bayi prematur

Pada bayi prematur, respons imun kurang (belum matang) bila

dibandingkan bayi cukup bulan, sehingga dikhawatirkan bila diberikan vaksin

Universitas Sumatera Utara

Page 10: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.usu.ac.idrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/61976/4/Chapter II.pdf · Koinsiden . Seperti telah disebutkan maka kejadian yang timbul ini

maka tubuh bayi prematur tidak mampu memberikan respon sebagaimana

mestinya (Ranuh, 2008).

2.2 Pelaksanaan Imunisasi di Indonesia

2.2.1 Program Imunisasi di Indonesia

Kegiatan imunisasi di Indonesia diselenggarakan sejak tahun 1956. Mulai

tahun 1977 kegiatan imunisasi diperluas menjadi Program Pengembangan

Imunisasi (PPI) dalam rangka pencegahan penularan terhadap beberapa penyakit

yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) yaitu Tuberkulosis, Difteri, Pertusis,

Campak, Polio, Tetanus serta Hepatitis B.

Untuk pelaksanaan Program Pengembangan Imunisasi ini, pemerintah

membuat beberapa strategi, diantaranya :

1. Pelaksanaan Gerakan Akselerasi Imunisasi Nasional (GAIN) UCI, yang

meliputi:

a. Penguatan Pemantauan Wilayah Setempat (PWS) dengan memetakan

wilayah berdasarkan cakupan dan analisa masalah untuk menyusun kegiatan

dalam rangka mengatasi permasalahan setempat.

b. Menyiapkan sumber daya yang dibutuhkan termasuk tenaga, logistik

(vaksin, alat suntik dan safety box), biaya dan sarana pelayanan.

c. Pemberdayaan masyarakat melalui tanaman obat keluaga, TOMA, aparat

desa dan kader.

d. Pemerataan jangkauan terhadap semua desa/kelurahan yang sulit atau tidak

terjangkau pelayanan.

2. Membangun kemitraan dengan lintas sektor, lintas program dalam

meningkatkan cakupan dan jangkauan, misalnya dengan program malaria, gizi

dan KIA.

3. Advokasi, sosialisasi dan pembinaan terhadap kader-kader imunisasi di tiap

tingkatan administrasi.

Pelayanan imunisasi bisa dilakukan di beberapa tempat seperti

puskesmas, puskesmas pembantu, rumah sakit, klinik, bidan praktik, dokter

Universitas Sumatera Utara

Page 11: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.usu.ac.idrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/61976/4/Chapter II.pdf · Koinsiden . Seperti telah disebutkan maka kejadian yang timbul ini

praktik (di dalam gedung/komponen statis) atau di luar gedung (komponen

dinamis) seperti posyandu, di sekolah, atau melalui kunjungan rumah.

Pelayanan imunisasi dilaksanakan oleh dokter dan dokter spesialis. Selain

dokter dan dokter spesialis, bidan, perawat, serta tenaga terlatih dapat

melaksanaan pelayanan imunisasi wajib sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan (PMK No. 42 tentang Penyelenggaraan Imunisasi).

2.2.2 Evaluasi Program Imunisasi

Tujuan dari evaluasi adalah untuk mengetahui hasil ataupun proses

kegiatan bila dibandingkan dengan target atau yang diharapkan. Beberapa macam

kegiatan evaluasi dilakukan secara berkala dalam imunisasi. Salah satunya adalah

dengan melakukan survei cakupan imunisasi. Cakupan imunisasi yang diharapkan

adalah minimal 80% secara merata baik di desa/kelurahan, kabupaten/kota, dan

provinsi. Tujuan utama survei ini adalah untuk mengetahui tingkat cakupan

imunisasi dan tujuan lainnya adalah untuk memperoleh informasi tentang

distribusi umur saat diimunisasi, mutu pencatatan dan pelaporan, sebab kegagalan

imunisasi dan tempat memperoleh imunisasi.

Cakupan imunisasi harus dipertahankan tinggi dan merata di seluruh

wilayah. Hal ini bertujuan untuk menghindarkan terjadinya daerah kantong yang

akan mempermudah terjadinya kejadian luar biasa (KLB). Cakupan imunisasi

dicatat di setiap tingkatan administrasi yaitu desa/kelurahan, kabupaten/kota, dan

provinsi. Cakupan imunisasi di tingkat desa/kelurahan dan kabupaten/kota akan

mempengaruhi cakupan imunisasi provinsi dimana desa atau kota tersebut berada

(PMK No. 42 tentang Penyelenggaraan Imunisasi).

2.3 Faktor yang Mempengaruhi Pemberian Imunisasi Dasar Lengkap

Menurut Green dan Kreuter (1999) dalam Dwiastuti (2013) tingkat

kesehatan manusia dipengaruhi oleh 2 faktor, yaitu faktor perilaku (behavior

causes) dan faktor non perilaku (non behavior causes), yang dibentuk oleh 3

faktor, yaitu:

Universitas Sumatera Utara

Page 12: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.usu.ac.idrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/61976/4/Chapter II.pdf · Koinsiden . Seperti telah disebutkan maka kejadian yang timbul ini

2.3.1 Faktor Predisposisi

Faktor predisposisi adalah faktor risiko internal yang akan mempengaruhi

tindakan pemberian imunisasi dasar lengkap. Adapun yang termasuk dalam faktor

predisposisi adalah:

1. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan faktor penting dalam menentukan perilaku

seseorang karena pengetahuan dapat menimbulkan perubahan persepsi dan

kebiasaan masyarakat. Pengetahuan yang meningkat dapat mengubah persepsi

masyarakat tentang penyakit. Meningkatnya pengetahuan juga dapat mengubah

kebiasaan masyarakat dari yang positif menjadi lebih positif, selain itu

pengetahuan juga membentuk kepercayaan.

a. Pengertian pengetahuan

Pengetahuan (knowledge) merupakan hasil dari tahu yang terjadi setelah

seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan

terjadi melalui panca indra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran,

penciuman, rasa dan raba (Notoatmodjo, 2003).

b. Tingkat pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2003) pengetahuan yang tercakup dalam domain

kognitif mempunyai 6 tingkatan, yaitu:

1. Tahu

2. Memahami

3. Aplikasi

4. Analisis

5. Sintesis

6. Evaluasi

c. Faktor yang mempengaruhi pengetahuan

Faktor – faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan diantaranya

adalah : umur, minat, pendidikan, pekerjaan, informasi, kebudayaan, lingkungan

dan pengalaman (Notoatmodjo, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Page 13: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.usu.ac.idrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/61976/4/Chapter II.pdf · Koinsiden . Seperti telah disebutkan maka kejadian yang timbul ini

2. Pendidikan

Pendidikan merupakan proses belajar yang bisa dilakukan secara

individual maupun kelompok. Hasil dari proses ini adalah terbentuknya

seperangkat perilaku atau aktivitas, serta bertambahnya pengetahuan. Pengetahuan

mengenai manfaat tindakan kesehatan yang dimiliki oleh individu, akan

memberikan motivasi bagi individu tersebut untuk melakukan tindakan kesehatan

yang dimaksud, sehingga status kesehatannya akan meningkat. Pendidikan yang

tinggi terutama ibu diharapkan akan memberikan gambaran akan pentingnya

menjaga kesehatan terutama bagi bayinya (Notoadmodjo, 2007).

3. Usia

Menurut Soetjiningsih (1995) dalam Prayoga dkk (2009), ibu yang berusia

kurang dari 20 tahun kurang memiliki kesiapan secara psikologis dalam

pengasuhan anak, termasuk pemberian imunisasi. Penelitian yang dilakukan oleh

Danis (2010) menyebutkan anak yang lahir dari ibu yang berusia kurang dari 20

tahun cenderung kurang mendapatkan layanan kesehatan, termasuk layanan

kesehatan yang bersifat preventif seperti pemberian imunisasi. Anak yang

imunisasinya lengkap justru lahir dari ibu yang usianya di atas 25 tahun.

4. Kondisi ekonomi

Sosial ekonomi dalam hal ini diukur melalui pengeluaran, merupakan

faktor yang dapat mempengaruhi tingkah laku seseorang. Keluarga dengan

kondisi ekonomi yang baik (sejahtera) diharapkan mampu mencukupi dan

menyediakan fasilitas serta kebutuhan untuk keluarga, sehingga seseorang dengan

tingkat sosial ekonomi tinggi akan berbeda sikap dan tingkah lakunya dengan

tingkat sosial ekonomi rendah. Keluarga dengan tingkat sosial ekonomi yang

tinggi akan mengusahakan terpenuhinya imunisasi yang lengkap bagi bayi

(mengalokasikan dana untuk pengeluaran kesehatan) (Budioro, 2002;

Notoatmodjo, 2007).

5. Jumlah anak

Penelitian yang dilakukan oleh Prayoga (2009) menunjukkan bahwa

secara statistik ada hubungan antara urutan anak dengan kelengkapan imunisasi

dasar. Pemberian imunisasi dasar anak pertama lebih baik dibandingkan dengan

Universitas Sumatera Utara

Page 14: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.usu.ac.idrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/61976/4/Chapter II.pdf · Koinsiden . Seperti telah disebutkan maka kejadian yang timbul ini

kelengkapan imunisasi dasar anak bukan urutan pertama, sehingga dapat

disimpulkan semakin banyak jumlah anak dalam keluarga akan menyebabkan

imunisasi dasar anak tidak lengkap. Hal ini dikaitkan dengan kebiasaan dimana

anak pertama selalu menjadi pusat perhatian orangtua. Selain itu, semakin banyak

jumlah anak berimplikasi terhadap kemampuan orangtua dalam mengasuh

anaknya secara tepat. Waktu dan kemampuan (fasilitas dan dana) yang dimiliki

orangtua menjadi semakin terbatas sementara anak yang harus diasuh semakin

banyak, sehingga cenderung menyebabkan kurangnya pelayanan kesehatan yang

didapatkan oleh orangtua bagi anaknya (Danis, 2010; Konstantyner, 2011)

2.3.2 Faktor Pemungkin atau Enabling Factor

Faktor pemungkin adalah faktor eksternal yang mencakup berbagai

keterampilan dan sumber daya yang perlu untuk melakukan perilaku kesehatan.

Contohnya adalah jarak antara rumah dengan tempat layanan kesehatan, biaya,

waktu dan ketersediaan sarana prasarana kesehatan (Mubarak, 2007).

2.3.3 Faktor Penguat atau Reinforcing Factor

Faktor penguat adalah faktor eksternal yang menentukan apakah suatu

tindakan kesehatan memperoleh dukungan atau tidak. Sumbernya bisa berasal dari

petugas kesehatan ataupun tokoh setempat. Sikap petugas terhadap ibu dari bayi

yang mendapatkan imunisasi, kemampuan petugas dalam memberikan

penyuluhan mengenai imunisasi dan himbauan dari tokoh agama, tokoh adat,

ataupun pejabat setempat, dapat mempengaruhi keputusan ibu dalam

mengimunisasikan bayinya (Mubarak, 2007).

Universitas Sumatera Utara