29
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Kerusakan gigi dapat berupa karies, keausan, trauma, penyakit periodontal, dan tindakan iatrogenik yang dapat menyebabkan terbukanya tubulus dentin terhadap mikroorganisme. Kerusakan gigi yang mencapai lebih dari setengah dentin atau bahkan telah mencapai pulpa dikategorikan sebagai karies profunda. Pulpa merupakan jaringan ikat yang memberi respon terhadap stimulus. Peradangan pulpa terdiri dari pulpitis reversibel dan pulpitis irreversibel. Pulpitis reversibel merupakan proses inflamasi ringan yang apabila penyebabnya dihilangkan maka inflamasi dapat hilang dan pulpa akan kembali normal sedangkan pulpitis irreversibel merupakan inflamasi yang tidak akan bisa pulih sendiri kecuali diberi bahan-bahan dentinogenesis (Murray dkk., 2002). Peradangan pulpa mengalami neurogenik inflamasi, dimana serabut saraf afferent distimulasi oleh berbagai iritan yang menghasilkan neuropeptid-neuropeptid seperti substansi P dan CGRP dari serabut nosiseptif C di dalam inti pulpa. Peptid- peptid ini memiliki sifat vasodilatasi yakni dapat meningkatkan permeabilitas vaskuler dan edema. Neurogenik inflamasi mengeluarkan sel imun seperti makrofag, neurotrophil, sel mast, dan limphosit (Hargreaves, Cohen, 2011). Kerusakan odontoblas dan pelepasan molekul-molekul bioaktif sel dalam merangsang inflamatori pulpa (Gambar 2.1). Inflamasi pulpa tediri dari respon akut dan respon kronis bergantung pada besar dan durasi rangsangan. Perubahan permeabilitas

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Kerusakan gigi dapat berupa karies

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Kerusakan gigi dapat berupa karies

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Kerusakan gigi dapat berupa karies, keausan, trauma, penyakit periodontal,

dan tindakan iatrogenik yang dapat menyebabkan terbukanya tubulus dentin terhadap

mikroorganisme. Kerusakan gigi yang mencapai lebih dari setengah dentin atau

bahkan telah mencapai pulpa dikategorikan sebagai karies profunda. Pulpa

merupakan jaringan ikat yang memberi respon terhadap stimulus. Peradangan pulpa

terdiri dari pulpitis reversibel dan pulpitis irreversibel. Pulpitis reversibel merupakan

proses inflamasi ringan yang apabila penyebabnya dihilangkan maka inflamasi dapat

hilang dan pulpa akan kembali normal sedangkan pulpitis irreversibel merupakan

inflamasi yang tidak akan bisa pulih sendiri kecuali diberi bahan-bahan

dentinogenesis (Murray dkk., 2002).

Peradangan pulpa mengalami neurogenik inflamasi, dimana serabut saraf

afferent distimulasi oleh berbagai iritan yang menghasilkan neuropeptid-neuropeptid

seperti substansi P dan CGRP dari serabut nosiseptif C di dalam inti pulpa. Peptid-

peptid ini memiliki sifat vasodilatasi yakni dapat meningkatkan permeabilitas

vaskuler dan edema. Neurogenik inflamasi mengeluarkan sel imun seperti makrofag,

neurotrophil, sel mast, dan limphosit (Hargreaves, Cohen, 2011). Kerusakan

odontoblas dan pelepasan molekul-molekul bioaktif sel dalam merangsang

inflamatori pulpa (Gambar 2.1). Inflamasi pulpa tediri dari respon akut dan respon

kronis bergantung pada besar dan durasi rangsangan. Perubahan permeabilitas

Page 2: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Kerusakan gigi dapat berupa karies

vaskuler terjadi saat inflamasi akut, mengakibatkan pembentukan eksudat karena

ruang pulpa yang terbatas berekspansi menyebabkan tekanan intrapulpa meningkat

dan mengakibatkan rasa sakit. Inflamasi kronis dapat bertahan selama bertahun-

tahun, seringkali tanpa ada keluhan pasien. Apabila inflamasi ini tidak segera

ditanggulangi dapat menyebabkan efek yang membahayakan bagi pulpa sehingga

dapat menyebabkan nekrosis pulpa dan infeksi jaringan periradikuler (Murray dkk.,

2002).

Inflamasi pulpa dapat dicegah dengan melakukan proteksi pulpodentinal

kompleks berupa pengaplikasian bahan dentinogenesis atau bahan restoratif pada

jaringan gigi yang rusak akibat prosedur operatif, toksisitas bahan restoratif serta

penetrasi bakteri akibat terjadinya kebocoran mikro. Proteksi pulpodentinal kompleks

juga berguna untuk memulihkan vitalitas pulpa (Ferracane dkk., 2010).

Menjaga vitalitas jaringan pulpa dan mencegah perubahan patologis jaringan

periradikular maka daerah tubulus dentin harus ditutup. Produksi dentin sekunder dan

tersier berguna untuk melindungi pulpa gigi dan jaringan periapikal dari infeksi

(Murray dkk., 2002). Proses pembentukan dentin tersier bersifat reaksioner dan

reparatif. Dentin reaksioner biasanya diproduksi oleh odontoblas yang telah ada

sebagai respon terhadap bahan restorasi, sebaliknya dentin reparatif terbentuk oleh

sel-sel odontoblas baru ketika odontoblas primer mengalami injuri secara irreversibel.

Dentinogenesis reparatif dianggap lebih kompleks dibanding dentin reaksioner

(Murray dkk., 2002).

Page 3: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Kerusakan gigi dapat berupa karies

Banyak bahan yang telah digunakan untuk menutup tubulus dentin dengan

merangsang terjadinya dentinogenesis. Proses dentinogenesis merupakan reaksi

spesifik dari jaringan pulpa dan dianggap mekanisme perlindungan. Bahan yang

sering digunakan adalah kalsium hidroksida dan MTA, walaupun kalsium hidroksida

lebih ekonomis dan banyak beredar, peneliti-peneliti telah menunjukkan bahwa

kalsium hidroksida kurang mampu menstimulasi dentinogenesis dan membentuk

dentin reparatif dengan baik dan terlihat tidak dapat mengadakan deposisi dentin

seperti yang diharapkan, sehingga hasil akhir yang diharapkan tidak sebaik

dibandingkan menggunakan MTA (Eskandarizadeh dkk., 2006).

Gambar 2.1 Respons Odontoblas terhadap Stimulasi Patologis (Murray dkk., 2002)

Tujuan utama dari ilmu kedokteran gigi restoratif adalah mengembalikan dan

mempertahankan kesehatan gigi melalui perawatan restoratif yang adekuat guna

melindungi dan memperbaiki fungsi pulpa. Pulpa berperan penting dalam fungsi

Page 4: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Kerusakan gigi dapat berupa karies

formasi dan nutrisi bagi dentin serta fungsi inervasi dan pertahanan gigi (Smith dkk.,

2003).

2.1 Regenerasi pada Pulpodentinal Kompleks

Anatomi mikroskopik dentin primer terdiri dari tubulus dentin, dengan

mikrotubulus yang saling berhubungan, penyembuhan sel-sel odontoblas pulpa

perifer terjadi pada dentin intertubular yang mengandung kolagen-hidroksiapatit.

Mineralisasi struktur peritubular berlanjut sejalan dengan bertambahnya usia,

menghasilkan jaringan kurang permiabel dan kurang dinamis. Proses mineralisasi

dapat dipercepat setelah penempatan bahan restorasi dalam kavitas yang dipreparasi.

Dentin terdiri dari mineral hidroksiapatit, air, dan bahan organik. Sekitar 90% dari

bahan organik adalah kolagen, dan kebanyakan kolagen tipe 1. Sekitar 10 % sisanya

merupakan matrix ekstraseluler organik yang terdiri dari protein noncollagenous dan

proteoglycans (Dahl, Orstavik, 2010).

Secara anatomi dan fisiologi letak pulpa dan dentin sangat berdekatan

sehingga dianggap merupakan suatu kesatuan dan disebut pulpodentinal kompleks.

Pulpodentinal kompleks secara seluler spesifik mampu merespon aplikasi terapi

dalam membentuk jaringan keras. Hasil akhir dari proses penyembuhan apabila

odontoblas teriritasi oleh trauma, infeksi bakteri, ataupun produk degradasi maka

pada pulpodentinal kompleks terjadi penyusunan kembali susunan jaringan normal

dengan terbentuknya dentin tersier atau pembentukan jaringan lunak atau parut yang

menyerupai fibrodentin dalam waktu 4-6 minggu. Apabila iritasi tersebut dihilangkan

Page 5: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Kerusakan gigi dapat berupa karies

sebelum terjadi nekrosis pulpa, pembentukan dentin tersier menciptakan perisai

antara pulpa dengan iritan. Pembentukan dentin tersier berlangsung lebih cepat

dibandingkan pembentukan dentin sekunder dan merupakan mekanisme pertahanan

yang penting terhadap iritan patologis maupun fisiologis di dalam pulpodentinal

kompleks (Dahl, Orstavik, 2010).

Pola perbaikan pada pulpodentinal kompleks bergantung pada tiga kondisi

patofisiologi batas dentin-pulpa yang berbeda yaitu luas dan jenis jaringan yang

terluka, efek perlindungan dari struktur gigi dan integritas batas dentin-pulpa. Evolusi

jangka panjang dan perawatan pulpodentinal kompleks merupakan pertimbangan

utama dari kebanyakan prosedur restoratif gigi terutama pada pasien berusia lanjut

dimana proses reparatif menjadi kurang efektif (Hargreaves, Cohen, 2011).

Kelangsungan hidup odontoblas sangat bergantung pada sisa ketebalan dentin.

Menurut Pameijer, Stanley dan Ecker (1991) melaporkan bahwa sisa ketebalan dentin

adalah 1 mm atau lebih akan melindungi jaringan pulpa dari efek sitotoksik zinc

phosphate dan Semen ionomer kaca modifikasi resin selama proses luting. Dalam

satu tahun terakhir, telah diperkirakan bahwa estimasi yang benar terhadap sisa

ketebalan dentin adalah 0,5 mm, dimana pada sisa ketebalan dentin 0,5 mm masih

terdapat kelangsungan hidup odontoblas. Sisa ketebalan dentin dan sekresi dentin

reaksioner saling berkaitan. Bagian terpenting dalam sekresi dentin reaksioner pada

sisa ketebalan dentin antara 0,25 - 0,50 mm karena pada sisa ketebalan dentin 0,25 -

0,50 mm mempunyai molekul bioaktif untuk mendifusi sel odontoblas yang lebih

banyak dibandingkan ketebalan di atas 0,5 mm. Dentin reaksioner tidak terjadi pada

Page 6: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Kerusakan gigi dapat berupa karies

sisa ketebalan dentin di bawah 0,25 mm, karena sisa ketebalan dentin di bawah 0,25

mm kehilangan sel odontoblas dalam jumlah banyak (Murray dkk., 2002) (Gambar

2.2). Aktivitas sisa ketebalan dentin memainkan peran utama dalam menentukan

tingkat cedera pulpa dan respon perbaikan dari bahan kaping pulpa (Tabel 2.1).

Gambar 2.2 Daerah Pulpodentinal Kompleks (Hargreaves, 2012)

Tabel 2.1 Pengaruh Sisa Ketebalan Dentin terhadap Kelangsungan Hidup Sel

Odontoblas, Aktifitas Dentin Reaksioner, dan Inflamasi Pulpa (Murray, 2002).

Sisa ketebalan

Dentin

Tipe Kavitas Kelangsungan hidup sel

odontoblas (%)

Pembentukan dentin

reaksioner

Aktifitas inflamasi pulpa

>1mm

Dangkal 100 Sedikit Sedikit

0,5-1 mm

Sedang 88,9 Sedikit Sedikit

0,25-5 mm

Dalam 82,5 Meningkat secara signifikan sebanyak 292%

Makin tinggi

<0,25 mm

Sangat dalam 68,3 Sedikit Banyak bakteri

Page 7: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Kerusakan gigi dapat berupa karies

2.2 Efek Bahan Restorasi terhadap Jaringan Pulpodentinal Kompleks

Tidak ada bahan yang dapat melindungi pulpa sebaik dentin. Dentin dapat

berperan sebagai jaringan yang mampu mengadakan detoksifikasi dengan menyerap

bahan yang sangat toksik ke dinding bagian dalam dari tubulus dentin. Keberhasilan

kaping pulpa berkisar 44-97%, sedangkan keberhasilan kaping pulpa pada pulpa yang

tak terbuka umumnya jauh lebih tinggi (Murray dkk., 2002).

Jenis bahan restoratif menjadi faktor penting yang mendasar terhadap

kelangsungan hidup odontoblas, dikaitkan dengan sisa ketebalan dentin. Kalsium

hidroksida sebagai dasar pengukuran kelangsungan hidup odontoblas, kemampuan

bahan diuji untuk mempertahankan kelangsungan hidup odontoblas dengan sisa

ketebalan dentin di bawah 0,5 mm. Penurunan kelangsungan hidup odontoblas

tampaknya berkorelasi dengan aktifitas bahan kimia sebagai lining atau bahan

restorasi, karena ada beberapa bahan yang lebih sitotoksik pada jaringan pulpa

dibandingkan jaringan lain. Observasi ini menunjukkan bahwa pentingnya

menghindari penempatan bahan sitotoksik pada preparasi kavitas yang sangat dalam

dimana dapat terjadi kerusakan pulpa dan dapat mencegah jaringan pulpa nekrosis

(Murray dkk., 2002).

2.2.1 Mineral Trioxide Aggregate (MTA)

MTA dikembangkan oleh Mahmoud Torabinejad di Loma Linda University

tahun 1993. Penelitian menunjukkan bahwa bahan dasar MTA adalah semen Portland

yaitu trikalsium silikat, dikalsium silikat, trikalsium aluminat, kalsium sulfat yang

Page 8: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Kerusakan gigi dapat berupa karies

merupakan bahan yang digunakan dalam bidang bangunan yang harganya murah dan

mudah diperoleh (Camilleri, 2008).

Sifat-sifat biologis dan fisiologis MTA adalah menginduksi dentinogenesis

reparatif, yang melibatkan peristiwa selular dan molekuler yang kompleks yang

mengarah pada perbaikan sel lir odontoblas. Dibandingkan kalsium hidroksida, MTA

lebih efisien dalam mendorong reparatif in vivo. Analisis fisika telah mengungkapkan

bahwa MTA tidak hanya bertindak sebagai materi pelepas kalsium hidroksida, tetapi

juga berinteraksi dengan fosfat yang mengandung cairan untuk membentuk presipitat

apatit. MTA juga menunjukkan kemampuan yang lebih baik dalam sealing ability

dan stabilitas struktural, tetapi aktivitas antimikroba kurang kuat dibandingkan

dengan kalsium hidroksida (Queiroz dkk., 2005).

Sejak diperkenalkan, MTA merupakan bahan kedokteran gigi yang terbukti

telah menjadi salah satu bahan yang serbaguna dan biokompatibel pada saat ini.

Kemampuannya yang tinggi dalam hal sealing ability dapat mengurangi masuknya

bakteri sehingga hal tersebut dapat mencegah kontaminasi. Sedangkan daya

biokompatabilitas yang tinggi menghasilkan reaksi penyembuhan jaringan yang

sangat baik, sehingga seringkali menyebabkanya terjadinya proses regenerasi jaringan

yang sempurna pada tempat berkontaknya bahan dan jaringan tersebut (Ferracane

dkk., 2010; Lohbauer U, 2010; Nagaraja Upadhya and Kishore, 2005)

MTA dapat setting dalam keadaan lembab, dan menyebabkan penyembuhan

jaringan, kemampuannya dalam menginduksi sementogenesis, maka bahan ini dapat

digunakan untuk memperbaiki perforasi baik di akar maupun di daerah furkasi.

Page 9: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Kerusakan gigi dapat berupa karies

Bahan ini juga dapat dipergunakan sebagai kaping pulpa, pulpotomi, bahan penutup

ujung akar, apeksifikasi, serta sebagai bahan pengisi saluran akar (Rao dkk., 2009;

Torabinejad dkk., 1995). Penelitian Tanomaru, 2012 mengatakan bahwa waktu

setting MTA adalah 15 menit, hal ini berbeda dengan hasil yang dilaporkan oleh

beberapa studi sebelumnya, perbedaan ini disebabkan jenis MTA yang digunakan.

Produk yang dilepaskan MTA mampu merangsang sel lir osteoblas dan

fibroblas yang melibatkan protein dalam pembentukkan mineral, seperti osteopontin,

osteonectin, dan osteokalsin. Kuratate dkk., 2008 menyatakan pembentukan jembatan

dentin di atas pulpa yang terpapar pada tikus meningkatkan proliferasi sel, adanya

protein nectin menunjukkan keberadaan odontoblas yang mampu mensekresi matriks

dentin, dan terjadinya peningkatan osteopontin pada lapisan jaringan nekrotik dan

pulpa. Dalam penelitian Koh dkk., 1997 menunjukkan bahwa osteoblast yang

terekspos MTA memproduksi sitokin untuk perbaikan tulang seperti interleukin (IL)-

1α, IL-1β, dan IL-6, serta osteokalsin. MTA menstimulus pertumbuhan sel setelah 48

jam aplikasi (Tani-Ishii N, 2007).

Walaupun banyak penelitian menunjukkan hasil yang sangat baik dari MTA,

namun penggunaan bahan ini relatif masih jarang karena harganya yang relatif mahal,

manipulasi yang sulit, dan waktu pengerasan yang panjang (Camilleri dkk., 2008).

Dan berdasarkan penelitian Bramante dkk., 2008 menunjukkan terdapat sedikit

kandungan arsen pada MTA.

Page 10: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Kerusakan gigi dapat berupa karies

2.2.2 Semen Ionomer Kaca Modifikasi Resin (SIKMR)

SIKMR dikembangkan untuk memperbaiki sifat fisik dan mengurangi

sensitivitas air dari bahan ionomer kaca konvensional. SIKMR merupakan bahan

hibrid yang lebih kuat dan tidak rapuh diperkenalkan dengan penambahan monomer

seperti HEMA. Pada dasarnya SIKMR memiliki komposisi yang sama dengan semen

ionomer kaca konvensional hanya saja komponen air diganti menjadi campuran air

dengan HEMA. SIKMR dapat mengeras dengan dua cara, yaitu kombinasi asam dan

basa serta reaksi polimerisasi (Modena dkk., 2009).

Bahan ini mengandung bubuk kaca yang mampu memindahkan ion dan asam

polimer yang larut dalam air seperti asam akrilik. Bahan ini mengandung monomer

organik (biasanya HEMA) dan sistem inisiator. Inisiator umumnya sensitif terhadap

cahaya sehingga kebanyakan SIKMR mengeras dengan cara disinar dengan

menggunakan lampu penyinaran biasa yang memancarkan sinar dengan panjang

gelombang 470 nm (Goldberg, 2006; Modena dkk., 2009).

SIKMR memiliki tahap-tahap reaksi pengerasan yang terjadi melalui reaksi

asam-basa antara bubuk alumino silikat dengan asam polikrilat, reaksi polimerisasi

dari partikel-partikel resin yang ada di dalam semen; reaksi antara logam poliakrilat

dengan resin hingga membentuk matriks semen yang lebih kuat. Dari ketiga reaksi

tersebut, sebenarnya SIKMR mengeras dengan sistem “Dual Cure” yaitu reaksi

penggaraman (asam-basa) yang terjadi secara kimia dan polimerisasi yang terjadi

akibat penyinaran (Modena dkk., 2009; Nicholson, 2008).

Page 11: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Kerusakan gigi dapat berupa karies

Pada umumnya SIKMR dapat membentuk ikatan yang kuat ke dentin dan

enamel serta dapat melepaskan fluoride. Selain itu, bahan ini juga melepaskan

beberapa ion seperti Na, Ca, Sr, Al, P dan Si . Ion – ion tersebut juga dilepaskan oleh

SIK konvensional namun kadar ion phosphat yang dilepaskan SIKMR lebih rendah

dibandingkan dengan konvensional (Goldberg, 2008).

SIKMR ini terbukti bersifat sitotoksis terutama karena pelepasan HEMA

dalam kadar tinggi dan bersifat mutagenik. Akan tetapi data mengenai mutagenitas

sangat sedikit dan sulit diinterpretasi. SIKMR menunjukkan sifat biologis yang dapat

diterima terhadap pulpa yang terpapar maupun tidak terpapar. SIKMR menimbulkan

respon inflamasi persisten tingkat menengah hingga berat pada pulpa dan

pembentukan zona nekrotik yang besar (Modena dkk., 2009).

2.2.3 Abu Sekam Padi Nanopartikel (ASPn)

Produk utama pertanian di negara-negara agraris, termasuk Indonesia adalah

padi. Sekam padi merupakan bagian terluar (kulit) dari butir padi. Sekam padi

dikategorikan sebagai biomassa yang dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan

tetapi mempunyai nilai ekonomis yang masih rendah sehingga perlunya dicari

alternatif lain yang lebih bermanfaat dan penanganan sekam padi yang kurang tepat

akan menimbulkan pencemaran lingkungan. Padahal abu sekam padi merupakan

sumber silika potensial yang dapat digunakan sebagai bahan kedokteran (Indahyani

dkk., 2011). Nilai paling umum kandungan silika (SiO2) dalam abu sekam padi

Page 12: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Kerusakan gigi dapat berupa karies

adalah 94 – 96 %. Abu sekam padi apabila dibakar secara terkontrol pada suhu tinggi

(500–6000C) akan menghasilkan abu silika (Zakaria, 2002).

Warna abu sekam dapat diklasifikasikan menjadi 3 lapisan warna, yaitu abu-

abu, putih dan merah jambu (Gambar 2.3). Berdasarkan hasil laboratorium,

perbedaan warna ini mempunyai sifat permukaan dan kadar penghidrat yang berbeda.

Abu sekam padi berwarna merah jambu jauh lebih reaktif dan mampu memberikan

sifat pengerasan yang lebih baik (Zakaria, 2002).

Gambar 2.3 Lapisan Abu Sekam Padi (Zakaria, 2002)

Abu sekam padi nanopartikel (ASPn) dibuat dengan tujuan agar dapat

membantu absorpsi antara substrat dan membran sel. Ukuran partikel nanonya

memiliki efektivitas yang lebih baik. Nanoteknologi pertama kali diperkenalkan oleh

seorang ahli Fisika, Richard P. Feynman pada tahun 1959. Kata depan nano-berasal

dari bahasa yunani yang berarti kecil dan satu nanometer sama dengan 10-9 m.

Nanopartikel merupakan produk yang dihasilkan dari nanoteknologi, sehingga

nanopartikel dianggap suatu bahan yang mempunyai dimensi ukuran kurang dari 100

Page 13: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Kerusakan gigi dapat berupa karies

nm (Park, 2007). Alat yang digunakan untuk membuat abu sekam padi nanopartikel

adalah Planetary Ball Mills (Retsch, PM 200).

Sekam padi mengandung senyawa organik berupa lignin dan kitin, selulosa,

hemiselulosa, senyawa nitrogen, lipid, vitamin B, dan asam organik, sedangkan

senyawa anorganik berupa silika (Ismunandji, 1988). Menurut BPPP (2001) silika

yang terkandung dalam sekam padi sebanyak 16.98% dan berada dalam bentuk dasar

(silika amorf). Komposisi kimiawi sekam padi dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Komposisi lainnya dari sekam padi adalah selulosa. Senyawa ini tidak larut dalam air

dan terdiri atas unit-unit β-D-glukopiranosa yang disatukan oleh ikatan β1→4

membentuk rantai lurus panjang yang diperkuat oleh ikatan hidrogen. Selulosa

merupakan senyawa organik yang paling tinggi dalam sekam. Selulosa yang terdapat

pada sekam padi sebanyak 34.34-43.80% (Ismunadji, 1988).

Silika merupakan bahan kimia yang pemanfaatan dan aplikasinya sangat luas.

Salah satu pemanfaatan serbuk silika yang cukup luas adalah sebagai penyerap kadar

air di udara, (Harsono, 2002 cit Sitorus, 2009). Selain itu, silika juga digunakan

sebagai penyaring molekuler, resin, pembantu peran katalis, dan pengisi dalam

pembuatan polimer. Gugus -OH yang mampu membentuk ikatan hidrogen dengan

gugus yang sama dari molekul lain yang mengakibatkan silika dapat digunakan

sebagai pengering dan fasa diam pada kolom kromatografi (Sinulingga dkk., 2014).

Silika abu sekam padi terbukti mempengaruhi pembentukan tulang. Silika

merupakan bahan semi konduktor yang mempunyai potensi untuk mencapai sifat-

sifat mekanis, morfologis, biokompatibilitas dan biodegradasi. Makanan yang

Page 14: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Kerusakan gigi dapat berupa karies

mengandung silika dapat menstimulasi sel osteoblas dan osteo-blast-like cell untuk

mensekresi kolagen tipe I dan marker bio-kimia lain pada maturasi sel tulang dan

pembentukan tulang (Refitt dkk., 2003 cit Indahyani dkk., 2011).

Berdasarkan penelitian Indahyani dkk., 2011 menyatakan bahwa silika yang

berasal dari sekam padi mempunyai kemampuan untuk menstimulasi proliferasi

osteoblast dan mempunyai nilai absorbansi yang paling tinggi. Hasil X-ray

Diffraction (XRD) abu sekam padi nano partikel terlihat bahwa kandungan silika

(SiO2) paling tinggi (Gambar 2.4).

Gambar 2.4 Hasil XRD Abu Sekam Padi Nanopartikel (Pretty dkk., 2014)

Penelitian Pretty dkk., 2014 memperlihatkan tag like structure pada

permukaan dentin dengan bahan ASPn+KMTn, hal ini berarti ASPn+KMTn

mempunyai kemampuan adhesi dengan adanya sealing ability yang baik dalam

menjaga jaringan pulpodentinal kompleks (Gambar 2.5).

Page 15: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Kerusakan gigi dapat berupa karies

Gambar 2.5 Tag Like Structure ASPn+KMTn dengan Uji SEM (Pembesaran 300x)

(Pretty dkk., 2014)

2.2.4 Kitosan Molekul Tinggi Nanopartikel (KMTn)

Kitosan (poly-β-1,4-glukosamin) pertama kali ditemukan oleh Routget (1859)

yang merupakan biopolimer alami di alam setelah selulosa dan merupakan hasil N-

diasetilisasi dari kitin. Berdasarkan viskositasnya, berat molekul kitosan terdiri atas

tiga yaitu kitosan bermolekul rendah, kitosan bermolekul sedang dan kitosan

bermolekul tinggi. Kitosan bermolekul rendah dengan berat molekul di bawah

400.000 Mv dan kitosan bermolekul sedang dengan berat molekul 400.000-800.000

Mv berasal dari hewan laut dengan cangkang atau kulit yang lunak misalnya udang,

cumi-cumi dan rajungan. Kitosan dengan berat molekul 800.000-1.100.000 Mv

biasanya berasal dari hewan laut bercangkang keras misalnya kepiting, kerang dan

blangkas (Gambar 2.6) (Trimurni dkk., 2007).

Page 16: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Kerusakan gigi dapat berupa karies

Gambar 2.6 Kitosan Molekul Tinggi (Trimurni dkk., 2007)

Kitosan blangkas merupakan kitosan bermolekul tinggi yang diperoleh dari

cangkang blangkas. Blangkas disebut juga dengan Horseshoe-crab. Kitosan blangkas

yang diuji oleh Trimurni dkk., 2007 mempunyai derajat deastilisasi 84,20% dengan

berat molekul 893.000 Mv. Dari penelitian tersebut diketahui bahwa kitosan blangkas

mempunyai berat molekul yang tinggi. Pada penelitian tersebut juga dinyatakan

bahwa kitosan blangkas yang mempunyai berat molekul tinggi dapat menstimulasi

dentin reparatif dengan kemampuannya membentuk koagulum yang padat sebagai

sub base membran yang memudahkan perlekatan sel-sel pulpa seperti dentinoblast

untuk memudahkan migrasi dan proliferasi sel-sel pulpa dentinoblast. Berdasarkan

penelitian Agusnar., 1997 mengatakan bahan ini tidak dapat dibiarkan terlalu lama

pada suhu kamar karena larutan kitosan akan terhidrolisis sehingga konsentrasi

berkurang.

Page 17: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Kerusakan gigi dapat berupa karies

Dalam perkembangannnya, kitosan dimodifikasi dalam bentuk nanopartikel.

Nanopartikel dibuat dengan reaksi gelatinasi yang berdasarkan reaksi antar muatan

positif gugus amino kitosan dan muatan negatif natrium tripolifosfat. Rerata ukuran

nanopartikel kitosan yang dihasilkan ialah 180 nm dengan polidispersitas 0,519 yang

menunjukkan, bahwa ukuran nanopartikel hampir seragam. Adsorpsi dengan

menggunakan nanopartikel kitosan memiliki kapasitas adsorpsinya yang lebih besar

dibandingkan dengan manik kitosan dalam ukuran mikron karena bentuknya yang

kecil, sehingga bidang sentuh dengan zat akan diserap semakin besar (Tiyaboonchai,

2003).

Siregar (2009) menyiapkan kitosan nanopartikel dengan melarutkan kitosan

dalam larutan asam lemah ditambahkan larutan yang bersifat basa, seperti amoniak,

NaOH, atau KOH distirer dengan kecepatan 300 rpm sehingga diperoleh gel kitosan

putih dan dibilas dengan aquadest sampai netral kemudian ditempatkan dalam

ultrasonic bath untuk memecah partikel-partikel gel kitosan menjadi lebih kecil.

Cheung cit Siregar (2009) menyiapkan kitosan nano dengan metode lain, yaitu

dengan menambahkan larutan tripolipospat ke dalam larutan kitosan sehingga

diperoleh emulsi kitosan sambil distirer dengan kecepatan 1200 rpm, dan

ditambahkan asam asetat agar pH-nya 3,5 dengan hasil berupa suspen kitosan. Lu E-

Shi cit Ningsih (2010) menyiapkan kitosan nanopartikel dengan menambahkan

larutan tripolipospat (TPP) kedalam larutan suspensi kitosan yang dibuat dengan

menambahkan asam asetat, kemudian distrier dengan kecepatan 1200 rpm terbentuk

emulsi.

Page 18: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Kerusakan gigi dapat berupa karies

Kitosan blangkas yang diuji oleh Trimurni dkk., 2007 menunjukkan bahwa

kitosan blangkas yang mempunyai berat molekul tinggi dapat menstimulasi dentin

reparatif dengan kemampuannya membentuk koagulum yang padat sebagai sub base

membran yang memudahkan perlekatan sel-sel pulpa seperti odontoblas untuk

memudahkan migrasi dan proliferasi.

Henny dkk., 2013 melakukan penelitian dengan menambahkan kitosan

molekul tinggi nano yang diperoleh dari blangkas (Tachypleus gigas) 0,15% berat

kitosan pada SIKMR dan SIKMRn dan efeknya terhadap proliferasi sel. Hasil

penelitian tersebut menunjukkan bahwa terjadi peningkatan viabilitas sel yang

signifikan pada SIKMR dan SIKMRn yang ditambahkan 0,015% berat kitosan nano

dari blangkas.

Dalam perkembangan bahan-bahan biomaterial dalam regenerasi pulpa

diperlukan adanya sel, bahan perancah (scaffolds) untuk proliferasi dan diferensiasi

sel serta faktor pertumbuhan (growth factor), ketiga faktor ini disebut tissue

engineering triad (Trimurni, 2007) (Gambar 2.7).

Page 19: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Kerusakan gigi dapat berupa karies

Gambar 2.7 Kombinasi Tiga Elemen yang Memungkinkan Terjadinya Regenerasi Jaringan atau Organ (Trimurni, 2007)

Kitosan sebagai biomaterial scaffold dapat menggantikan fungsi biologis dan

mekanis matriks ekstraselular jaringan di dalam tubuh dengan bertindak sebagai

matriks ekstraseluler artifisial (Koh, Atala, 2004 cit Trimurni, 2007). Scaffold sintetis

harus mempunyai sifat osteoinduktif, osteokonduktif, integritas mekanisnya tinggi,

biodegradabilitas, biocompatibilitas (mudah diterima secara imun) dan porosita yang

akan menyebabkan pertumbuhan jaringan. Selain itu, scaffold harus didegradasi

ketika jaringan yang rusak telah diregenerasi. Sel-sel diimplantasi atau dimasukkan

ke dalam struktur artifisial yang mampu mendukung pembentukan jaringan dalam

tiga dimensi. Struktur ini disebut bahan perancah (scaffolds) yang memungkinkan

sel-sel mempengaruhi lingkungan mikronya. Bahan perancah (scaffolds) paling

sedikit memiliki tujuan sebagai berikut (Sun, 2007) :

1. Memungkinkan perlekatan dan migrasi sel.

2. Menghantarkan dan menahan sel-sel serta faktor-faktor biokhemis.

Page 20: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Kerusakan gigi dapat berupa karies

3. Memungkinkan difusi nutrisi bagi sel-sel yang vital dan produknya.

4. Menimbulkan pengaruh-pengaruh mekanis dan biologis untuk memodifikasi

fase sel.

2.3 Mekanisme Pertahanan Pulpodentinal Kompleks

2.3.1 Reaktifitas Odontoblas

Serangan toksik ringan ke pulpa dapat mengakibatkan peningkatan

dentinogenesis, yang dapat dianggap sebagai mekanisme pelindung. Peningkatan

pembentukan dentin peritubular mempersempit tubulus dentin melalui pembentukan

dentin sklerotik. Respon perbaikan yang umum terhadap cedera pulpa adalah

pembentukan dentin tersier (Murray dkk., 2002). Tidak seperti dentin primer atau

sekunder yang terbentuk di sepanjang perbatasan pulpo-dentino kompleks, dentin

tersier diproduksi secara lokal sebagai respon terhadap injuri dentin atau produk

toksis yang mencapai pulpo dentino kompleks. Proses pembentukan dentin tersier

bersifat reaksioner atau reparatif (Smith dkk., 2003).

Dentin reaksioner biasanya diproduksi oleh odontoblas yang telah ada sebagai

respon terhadap kavitas yang dipreparasi secara hati-hati atau bahan restoratif.

Sebaliknya dentin reparatif terbentuk oleh sel-sel odontoblas baru ketika odontoblas

primer telah mengalami injuri secara ireversibel. Dentinogenesis reparatif dianggap

lebih kompleks dibanding pembentukan dentin reaksioner, dan ditemukan pada gigi

dengan preparasi kavitas yang dalam atau penyingkapan pulpa (Gambar 2.1).

Disebutkan bahwa faktor pertumbuhan, khususnya transforming growth factor- ß

Page 21: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Kerusakan gigi dapat berupa karies

(TGF-ß), menginisiasi perbedaan odontoblas dan menstimulasi pembentukan dentin.

Reseptor TGF-ß terlihat pada odontoblas dan growth factor ditemukan dalam matriks

dentin. Pelepasan faktor pertumbuhan dapat terjadi saat serangan karies dan injuri

lainnya ke jaringan, dan pada saat preparasi kavitas dan restorasi gigi (Murray dkk.,

2002).

Odontoblas dirangsang untuk mengeluarkan matriks ekstraselular dan memicu

terjadinya mineralisasi selama proses dentinogenesis reaksioner (Gambar 2.8). Pada

saat dentinogenesis reaksioner menunjukkan sel lain dirangsang untuk berdiferensiasi

menjadi sel lir-odontoblas yang kemudian akan dipicu untuk menghasilkan matriks

ekstraselular dan terjadinya mineralisasi selama proses dentinogenesis reparatif

(Murray dkk., 2002).

Gambar 2.8 Hipotesa Efek Matriks Protein Dentin yang Dilarutkan oleh Karies ataupun Bahan Kedokteran Gigi pada Odontoblas dan Sel Lain (Murray dkk., 2002)

Page 22: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Kerusakan gigi dapat berupa karies

2.3.2 Matriks Metaloprotein Bahan restorasi yang diletakkan di dalam lingkungan jaringan pulpodentinal

kompleks berpotensi menghasilkan spektrum luas dari fisikokimia dan efek biologis.

Beberapa efek memiliki pengaruh yang berbeda tergantung pada jaringan sehat atau

karies, dikarenakan infeksi bakteri, inflamasi, dan respon sel pulpa. Dentin memiliki

aktivitas enzim proteolitik dan saat ini diakui adanya beberapa matriks

metaloproteinase (MMP-2,-8,-9,-13,dan -20) di dalam dentin. Aktivitas MMP pada

permukaan antara material dan jaringan dapat menyebabkan degradasi dari

permukaan (Pashley dkk., 2014).

2.4 Uji Biokompatibilitas

Biokompatibilitas adalah kemampuan suatu bahan untuk tidak menimbulkan

respon biologis yang merugikan jika bahan tersebut digunakan didalam tubuh. Setiap

bahan dapat dikategorikan sebagai bahan yang biokompatibel atau tidak, tergantung

kepada fungsi fisik dan reaksi biologis yang diharapkan dari bahan tersebut. Suatu

bahan tidak dapat digeneralisasikan sebagai bahan yang biokompatibel untuk semua

penggunaannya di dalam tubuh, karena setiap jaringan hidup yang berinteraksi akan

memberikan respon biologis yang berbeda. Sesuai dengan standard ISO 10993,

semua bahan yang akan berkontak dengan jaringan memerlukan data

biokompatabilitas. Tes biologis merupakan langkah yang paling penting dalam

sebuah evaluasi biokompatibilitas. ISO 10993 membagi kategori matriks

Page 23: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Kerusakan gigi dapat berupa karies

biokampabilitas bahan menurut tipe dan durasi bahan tersebut berkontak dengan

jaringan (Assesing Biocompatibility, 2008 cit Diana, 2008).

Biokompatibilitas suatu bahan dapat meliputi derajat sitotoksisitas,

mutagenitas dan potensinya dalam menimbulkan keganasan. Uji biokompatibilitas

dilakukan pada bahan yang akan diletakkan pada tubuh manusia. Reaksi jaringan

tubuh terhadap bahan sangat bervariasi tergantung kepada tipe bahan. Bahan yang

dapat berfungsi saat berkontak dengan cairan biologis atau jaringan hidup dengan

menimbulkan reaksi penolakan yang minimal oleh tubuh disebut bahan yang

biokompatibel. Pengujian biokompatibilitas suatu bahan dapat dilakukan secara in

vivo dan in vitro. Pengujian yang dilakukan secara in vitro, yaitu tanpa melibatkan

organ hidup, dilakukan pada sel, enzim, atau sistem biologis yang terisolasi. Uji

bahan secara in vitro sebagian besar dibagi menjadi pengujian untuk mengetahui

sitoksitas dan pertumbuhan sel, mengukur metabolisme dan fungsi sel serta

mengukur efek mutagenitas bahan pada sel (Assesing Biocompatibility, 2008 cit

Diana, 2008).

Saat ini kultur sel telah menjadi salah satu obyek utama dalam berbagai

penelitian tentang kehidupan. Kultur sel adalah sel yang dikondisikan pada suatu

lingkungan buatan yang kondusif untuk pertumbuhannya. Berbagai perilaku,

karakteristik, dan bentuk sel dapat diamati pada kultur sel. Oleh karena itu, kultur sel

memiliki kegunaan yang bervariasi, antara lain untuk pengamatan biokimia sel, uji

toksisitas suatu bahan, penelitian kanker, diteksi dan isolasi suatu virus, serta terapi

gen (Freshney, 2000).

Page 24: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Kerusakan gigi dapat berupa karies

Kultur sel terbagi menjadi kultur sel primer dan kultur sel sekunder (cell line).

Sel primer adalah sel yang diperoleh langsung dari pemisahan jaringan suatu

organisme, sedangkan cell line adalah keturunan sel yang diperoleh dari kultur sel

primer dan dipisahkan secara enzimatis ataupun secara mekanis. Empat karakterisitik

sel yang dapat digunakan untuk mengevaluasi kultur sel adalah morfologi sel,

kecepatan pertumbuhan, efesiensi pertumbuhan, dan fungsi khusus yang dilalui sel

(Freshney, 2000).

2.5 Viabilitas Sel sebagai Indikator Sitotoksisitas

Tes sitotoksisitas merupakan suatu metode untuk mengetahui apakah suatu

bahan bersifat toksik terhadap sel tertentu. Sitotoksisitas umumnya ditandai dengan

adanya penurunan proliferasi sel, viabilitas sel, sintesis asam nukleat atau protein.

Viabilitas sel adalah kemungkinan sel untuk dapat bertahan hidup (Freshney, 2000).

Nilai absorbansi (OD) dari kristal formazan yang telah dilarutkan dapat diukur

menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang antara 550-570 nm.

Selanjutnya, viabilitas dinyatakan dengan membandingkan nilai absorbansi kelompok

perlakuan yang dipaparkan bahan uji dengan kelompok enzim assay, merupakan

metode yang banyak dipilih untuk mempelajari viabilitas sel. Metode ini mengukur

aktivitas metabolisme dari pertumbuhan sel pada bahan yang akan diuji. Tes yang

dapat dilakukan adalah menggunakan Alamar Blue™ dan 3-(4,5-dimethythiazol-2-

yl)-2,5-diphenyl tetrazolhm bromide (MTT) assay. MTT assay pertama kali

dikenalkan oleh Mosmann pada tahun 1983, MTT merupakan bahan kimia yang

Page 25: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Kerusakan gigi dapat berupa karies

berwarna kuning dan dapat larut dalam air. Prinsip dasar MTT assay adalah

mengukur aktivitas selular berdasarkan aktivitas succinic dehydogenase mitocondria

sel untuk mereduksi garam meihythiazol tetrazolium (MTT).

Pada proses metabolisme, sel-sel yang hidup akan menghasilkan succinic

dehydrogenase mitocondria. Enzim ini akan bereaksi dengan MTT dan membentuk

kristal formazan ungu yang jumlahnya sebanding dengan aktivitas sel yang hidup.

Kristal formazan ungu bersifat impermeable pada membrane sel dan tidak larut dalam

air. Oleh karena itu, diperlukan pelarut tambahan seperti isopropanol, dimethyl

sulfoxide (DMSO) atau larutan deterjen sodium dodecyi sulfate (SDS) yang

diencerkan dalam asam hidroklorida (HCl) untuk melarutkan Kristal formazan ungu

(Proliferation assay. MTT Protocol, 2014).

Kontrol (sampel tanpa bahan uji) menggunakan rumus dari In Vitro

Technologies sebagai berikut (Cryopreserved human hepatocyte high-throughput

screening protocol, 2008) :

Viabilitas Sel = Nilai absorbansi kelompok Perlakuan

Nilai absorbansi kelompok Kontrol

x 100%

Jika persentasi viabilitas sel lebih kecil dari 100%, maka material yang

dipaparkan pada sel tersebut dikatakan bersifat toksik (Cryopreserved human

hepatocyte high-throughput screening protocol, 2008).

(% dari Kontrol)

Page 26: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Kerusakan gigi dapat berupa karies

2.6 Landasan Teori

Dentin Tersier (Dentinogenesis)

MTA SIKMR Kitosan Molekul

Tinggi ASP

-Melepaskan flour

- bahan hibrid yang lebih kuat dan tidak rapuh

SIKMRn -estetik >>>

- bahan hibrid yang lebih kuat dan tidak rapuh

-dapat melepaskan fluoride

Mempunyai asam amina, anti toxic,Biokompatibel, menstimulasi dentin reparatif, biodegradable

-Compressive +flexural strength

-biokompatibel

-sealing ability

-penyembuhan jaringan

Proliferasi Sel

-Silika tinggi (SiO2 >>>)-Osteoinduksi -biokompatibilitas biodegradasi nilai absorbansi

Direk Indirek

Kaping Pulpa

Viablitas Sel

Page 27: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Kerusakan gigi dapat berupa karies

Penggunaan produk-produk alam di bidang kedokteran gigi saat ini semakin

berkembang pesat, contoh bahan alami yang dapat menstimulasi proliferasi sel adalah

abu sekam padi dan kitosan molekul tinggi. Sekam padi dikategorikan sebagai

biomassa yang dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan tetapi mempunyai nilai

ekonomis yang masih rendah sehingga perlunya dicari alternatif lain yang lebih

bermanfaat dan penanganan sekam padi yang kurang tepat akan menimbulkan

pencemaran lingkungan. Padahal Abu sekam padi merupakan sumber silika potensial

yang dapat digunakan sebagai bahan kedokteran gigi.

Nilai paling umum kandungan silika (SiO2) dalam abu sekam padi adalah 94 –

96% dan apabila nilainya mendekati atau dibawah 90 % dijumpai dalam bentuk

amorf terhidrat. Abu sekam padi apabila dibakar secara terkontrol pada suhu tinggi

(500–6000C) akan menghasilkan abu silika. Berdasarkan derajat pembakaran abu

sekam padi, maka warna abu sekam dapat diklasifikasi menjadi 3 lapisan warna, yaitu

abu-abu, putih dan merah jambu (Zakaria, 2002).

Silika terbukti mempengaruhi pembentukan tulang. Silika merupakan bahan

semi konduktor yang mempunyai potensi untuk mencapai sifat-sifat mekanis,

morfologis, biokompatibilitas dan biodegradasi. Makanan yang mengandung silika

dapat menstimulasi sel osteoblas dan osteo-blast-like cell untuk mensekresi kolagen

tipe I dan marker bio-kimia lain pada maturasi sel tulang dan pembentukan tulang

(Refitt dkk., 2003 cit Indahyani dkk., 2011).

Page 28: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Kerusakan gigi dapat berupa karies

Berdasarkan penelitian Indahyani dkk., 2011 menyatakan bahwa silika yang

berasal dari sekam padi mempunyai kemampuan untuk menstimulasi proliferasi

osteoblast dan mempunyai nilai absorbansi yang paling tinggi.

Kitosan merupakan biopolimer alami di alam dan merupakan hasil N-

diasetilisasi dari kitin. Kitin banyak terkandung pada hewan laut berkulit keras, salah

satunya adalah blangkas yang merupakan kitosan bermolekul tinggi dan dapat

menstimulasi dentin reparatif. Kitosan juga dibuat dalam bentuk nanopartikel.

Ukuran partikel kitosan yang berskala nanometer akan meningkatkan luas permukaan

sampai ratusan kali dibandingkan dengan partikel yang berukuran mikrometer,

sehingga dapat meningkatkan efektifitas kitosan dalam hal mengikat gugus kimia

lainnya. Kitosan nano juga dapat meningkatkan efisiensi proses fisika-kimia pada

permukaan kitosan tersebut karena memungkinkan interaksi pada permukaan yang

lebih besar (Trimurni dkk., 2007; Siregar, 2009).

Berkembangnya bahan material yang bergerak ke arah nanopartikel, maka

dengan ASPn+KMTn diharapkan dapat meningkatkan stimulasi proliferasi sel pada

pulpa yang dapat dilihat melalui uji viabilitas sel dengan menggunakan MTT assay.

Page 29: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Kerusakan gigi dapat berupa karies

2.7 Kerangka Konsep

2.8 Hipotesis Penelitian

Dari uraian di atas dapat dibuat hipotesa yaitu :

1. ASPn+KMTn dapat menstimulasi viabilitas sel MDPC.

2. Terdapat perbedaaan viabilitas sel MDPC bila diaplikasikan

ASPn+KMTn sebelum dan sesudah setting dengan ASPn.

3. Terdapat perbedaaan viabilitas sel MDPC bila diaplikasikan

ASPn+KMTn sebelum dan sesudah setting dengan MTA sebelum dan

sesudah setting.

4. Terdapat perbedaaan viabilitas sel MDPC bila diaplikasikan

ASPn+KMTn sebelum dan sesudah setting dengan SIKMR.

- ASPn - ASPn+KMTn

sebelum+ sesudah setting

- MTA sebelum+ sesudah setting

- SIKMR

Viabilitas sel MDPC

- 1 Hari - 3 Hari - 7 Hari