Upload
vuongthuy
View
220
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perkerasan Jalan
Perkerasan jalan adalah lapisan permukaan jalan yang terdiri dari campuran
agregat yang bisa berupa batu pecah, batu kali dan berfungsi untuk menahan
beban kendaraan yang melewati jalan tambang tersebut. Lapis perkerasan
tersebut harus mampu dilewati kendaraan-kendaraan yang akan melintas di atas
jalan tersebut dengan tingkat kenyamanan tertentu dan harus anti selip.
Untuk memenuhi syarat-syarat tersebut ketebalan dari lapis perkerasan
tersebut harus mampu untuk mendistribusikan beban hingga ke lapis tanah dasar.
Lapis perkerasan tersebut juga harus memiliki kekuatan yang dapat menahan
gaya gesek antara roda kendaraan dengan permukaan perkerasan, dan juga gaya
yang diakibatkan pengereman dan percepatan dari kendaraan.
Susunan struktur dari perkerasan biasanya terdiri dari lapis permukaan
(surface course), lapis pondasi atas (base course), lapis pondasi bawah (sub-base
course), lapis tanah dasar (sub-grade course). Selain mampu menahan gaya-gaya
yang terjadi pada permukaan perkerasan, ketebalan dari masing-masing lapisan
juga harus memperhitungkan cuaca dan drainase yang akan terjadi pada lokasi
jalan tambang tersebut.
7
Gambar 2.1 Struktur Perkerasan Sumber : BHP Billiton Mine Road Design Manual (2006)
2.2 Perkerasan Lentur
Perkerasan lentur merupakan kombinasi antara material bitumen dengan
agregat halus maupun kasar yang banyak dipergunakan dalam konstruksi jalan
raya. Perkerasan lentur lebih banyak digunakan dalam pembangunan jalan di
Indonesia dibandingkan dengan perkerasan kaku. Hal ini disebabkan karena
biaya yang dikeluarkan untuk membangun perkerasan lentur lebih kecil
dibandingkan biaya untuk membangun perkerasan kaku. Agar struktur
perkerasan lentur dapat berfungsi dengan baik, maka perlu dilakukan
perencanaan dan pemeliharaan terhadap struktur perkerasan kaku tersebut.
Material aspal menjadi salah satu pilihan utama untuk dipergunakan
sebagai lapis permukaan. Material tersebut mempunyai sifat plastis dan berada
dalam keadaan baik dalam suhu normal, tetapi dalam suhu panas material
tersebut akan melunak dan berkurang kepadatannya. Proses pencampuran antara
material aspal dengan agregat kasar maupun halus dilakukan dalam suhu yang
8
sangat tinggi. Ketika suhu menurun maka campuran beraspal tersebut akan
mengeras dan membentuk suatu lapis permukaan perkerasan.
Pada tahun 1999, Departemen Pekerjaan Umum telah mengeluarkan SK
No. 76/KPTS/Db/1999 yang berjudul Menurut Pedoman Perencanaan Campuran
Beraspal Panas dengan Pendekatan Kepadatan Mutlak No. 025/T/BM/1999. Di
dalamnya terdapat spesifikasi-spesifikasi jenis campuran beraspal yang
digunakan dalam perkerasan lentur. Beberapa jenis campuran beraspal dalam
spesifikasi tersebut adalah sebagai berikut :
a. Lapis Tipis Aspal Pasir (Latasir) kelas A dan B
Campuran jenis ini ditujukan untuk jalan dengan lalu lintas ringan,
khususnya pada daerah dimana agregat kasar sulit diperoleh. Pemilihan
kelas A dan B tergantung pada gradasi pasir yang akan digunakan.
Campuran Latasir biasanya memerlukan penambahan filler agar dapat
memenuhi kebutuhan sifat-sifat yang disyaratkan. Campuran jenis ini pada
umumnya memiliki daya tahan yang related rendah terhadap terjadinya alur,
oleh sebab itu tidak campuran jenis ini tidak dapat dipasang dengan lapisan
yang tebal, pada jalan yang memiliki kondisi lalu lintas berat, dan pada
daerah tanjakan.
b. Lapis Tipis Aspal Beton (Lataston)
Lataston mempunyai persyaratan kekuatan yang sama dengan tipikal yang
disyaratkan untuk aspal beton konvensional (AC) yang bergradasi menerus.
Lataston terdiri dari dua macam campuran, yaitu Lataston Lapis Pondasi
9
(HRS-Base) dan Lataston Lapis Permukaan (HRS-Wearing Course). Ukuran
maksimum agregat masing-masing campuran adalah 19 mm.
c. Lapis Aspal Beton (Laston)
Laston lebih peka terhadap variasi kadar aspal maupun variasi gradasi
agregat jika dibandingkan dengan Lataston. Aspal beton (AC) terdiri dari
tiga macam campuran, yaitu Laston Lapis Aus 2 (AC-WC), Laston Lapis
Aus 1 (AC-BC) dan Laston Lapis Pondasi (AC-Base). Ukuran maksimum
agregat masing-masing campuran adalah 19 mm, 25,4 mm, dan 37,5 mm.
2.3 Bahan Campuran Aspal Beton
Campuran beraspal adalah kombinasi material bitumen dengan agregat
yang merupakan material umum yang digunakan pada perkerasan jalan. Material
aspal dipergunakan untuk semua jenis jalan raya dan merupakan salah satu
bagian dari lapisan beton aspal jalan raya kelas satu.
2.3.1 Agregat
Agregat merupakan sekumpulan butir-butir batu pecah, kerikil, pasir atau
mineral lainnya baik yang berasal dari alam maupun buatan. Seringkali agregat
juga diartikan sebagai suatu bahan untuk yang bersifat keras dan kaku dan
digunakan sebagai bahan pengisi campuran. Agregat dapat berupa berbagai jenis
butiran atau pecahan batuan, termasuk di dalamnya antara lain : pasir, kerikil,
agregat pecah, abu/debu agregat dan lain-lain.
10
Menurut Harold N. Atkins, (1997) beberapa tipikal ketentuan penggunaan
dalam penggambaran agregat adalah sebagai berikut :
a. Fine Aggregate (sand size/ukuran pasir) : adalah partikel-partikel agregat
yang lolos saringan no.4 sieve test (4,75 mm) dan tertahan saringan no.
200 sieve test (0,074 mm).
b. Coarse Aggregate (gravel size/ukuran kerikil) : adalah partikel-partikel
yang berukuran lebih besar dari 4,75 mm (saringan no.4 sieve test).
c. Pit run : agregat yang berasal dari pasir atau gravel pit (biji kerikil) yang
terjadi tanpa melewati suatu proses atau secara alami.
d. Crushed gravel : pit gravel (kerikil dengan pasir atau batu bulat) yang
mana telah didapatkan dari salah satu alat pemecah untuk menghancurkan
banyak partikel batu yang berbentuk bulat untuk menjadikan ukuran yang
lebih kecil atau untuk memproduksi lapisan kasar.
e. Crushed rock : kepingan-kepingan dan debu atau bubuk yang merupakan
produksi dalam pemecahan dari batuan (bedrock) untuk agregat.
f. Concrete sand : pasir yang telah dibersihkan untuk menghilangkan debu
dan kotoran.
g. Fines : endapan lumpur (silt), lempung (clay) atau partikel debu lebih
kecil dari 0,074 mm (saringan no. 200 sieve test). Biasanya terdapat
kotoran atau benda asing yang tidak diperlukan dalam agregat.
Menurut Buku Petunjuk Umum Edisi 2008 mengenai Manual Pekerjaan
Campuran Beraspal Panas yang dikeluarkan oleh Departemen Pekerjaan Umum
Direktorat Jenderal Bina Marga, terdapat ketentuan-ketentuan yang harus
11
dipenuhi untuk bahan campuran aspal panas sehingga diperoleh campuran
rencana yang memenuhi persyaratan, ketentuan tersebut antara lain :
Tabel 2.1 Ketentuan Agregat
Ketentuan Metode Pengujian
Analisa saringan agregat halus dan kasar SNI 03-1968-1990
Berat jenis dan penyerapan agregat halus SNI 03-1970-1990
Berat jenis dan penyerapan agregat kasar SNI 03-1969-1991
Keausan terhadap abrasi dengan mesin Los
Angeles SNI 03-2417-1991
Kelekatan agregat terhadap aspal SNI 03-2439-1991
Sifat dan kualitas dari agregat menentukan kemampuan lapisan pemukaan
lentur tersebut untuk menahan beban yang melintas diatasnya dan
menyebarkannya ke lapisan di bawahnya hingga ke permukaan tanah.
Gambar 2.2 Hot Bin I - IV
12
Selanjutnya dapat dilakukan pemilihan gradasi agregat campuran. Jenis
campuran yang akan digunakan untuk pembuatan benda uji adalah harus
memenuhi spesifikasi yang telah ditetapkan Departemen Pekerjaan Umum tahun
2008, seperti terlihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Gradasi Agregat untuk Campuran AC-WC
% Lolos (US
Standard) Syarat
(in) (mm)
3/4" 19,1 100
1/2" 12,7 80 - 100
3/8" 9,6 70 - 90
#4 4,8 50 - 70
#8 2,4 35 - 50
#30 0,6 18 - 29
#50 0,3 13 - 23
#100 0,15 8 - 16
#200 0,075 4 - 10
Untuk campuran AC-WC, kombinasi agregat dianjurkan masuk didalam
persyaratan yang telah ditetapkan. Kurva gradasi AC-WC sesuai spesifikasi
Departemen Pekerjaan Umum adalah sebagai berikut :
13
Gambar 2.3 Daerah Batasan Gradasi Agregat untuk AC-WC
Untuk memperoleh gradasi gabungan, digunakan metode analitis.
Kombinasi agregat dari Hot Bin I – IV dan filler dapat digabungkan dengan
persamaan dasar di bawah ini.
100E.eD.dC.cB.bA.aP ................................................................ (2.1)
Dimana :
P = Persen lolos agregat dengan ukuran tertentu (%)
A,B,C,D,E = Persen bahan yang lolos saringan masing-masing ukuran (%)
a,b,c,d,e = Proporsi masing-masing agregat yang digunakan, jumlah
total 100% (%)
Setelah didapatkan nilai a,b,c,d dan e maka proporsi masing-masing fraksi
agregat dalam campuran dapat dievaluasi.
14
2.3.2 Aspal
Aspal adalah material semen hitam, padat atau setengah padat dalam
konsistensinya dimana unsur pokok yang menonjol adalah bitumen yang terjadi
secara alam atau yang dihasilkan dengan penyulingan minyak.
Aspal dibuat dari minyak mentah (crude oil) dan secara umum berasal dari
sisa organisme laut dan sisa tumbuhan laut dari masa lampau yang tertimbun
oleh dam pecahan batu batuan. Pada umumnya aspal berwarna coklat gelap
sampai hitam, dan jika dipanaskan pada suhu tertentu maka aspal tersebut akan
mencair, sedangkan pada suhu ruang bentuk aspal akan menjadi padat. Sebelum
digunakan, material aspal perlu menjalani beberapa pengujian yang akan
menentukan bahwa aspal tersebut layak untuk digunakan. Beberapa pengujian
tersebut antara lain uji penetrasi, uji titik nyala dan titik bakar, uji berat jenis
aspal, titik lembek. Aspal yang akan digunakan pada penelitian ini adalah aspal
PERTAMINA penetrasi 60/70.
Gambar 2.4 Aspal Pertamina Penetrasi 60/70
15
2.3.3 Filler
Filler dapat terdiri dari debu batu kapur (limestone dust), semen Portland,
fly ash, abu batu atau bahan non plastis lainnya yang sumbernya telah disetujui
oleh Direksi Departemen Pekerjaan Umum. Fungsi filler dalam campuran
beraspal adalah :
a. Untuk memodifikasi agregat halus sehingga berat jenis campuran
meningkat dan jumlah aspal yang diperlukan untuk mengisi rongga akan
berkurang.
b. Filler dan aspal secara bersamaan akan membentuk suatu pasta yang akan
menyelimuti dan mengikat agregat halus untuk membentuk mortar.
c. Mengisi ruang antar agregat halus dan kasar serta meningkatkan kepadatan
dan kestabilan dari campuran beraspal tersebut.
Tujuan awal filler adalah mengisi rongga dalam campuran (VIM), tidak
hanya oleh bitumen tetapi material yang lebih murah. Pada kadar aspal konstan,
penambahan filler akan memperkecil VIM.
Mineral filler dapat terjadi secara alamiah atau dapat juga dihasilkan dari
proses pemecahan batuan atau dari proses buatan. Mineral ini penting artinya
untuk mendapatkan campuran yang padat, berdaya tahan tinggi, dan kedap air.
Rencana filler yang akan ditambahkan ke dalam campuran beraspal harus
dalam kondisi kering dan bebas dari gumpalan-gumpalan, dan bila diuji dengan
pengayakan sesuai SNI 03-1968-1990 harus mengandung bahan yang lolos
ayakan No. 200 tidak kurang dari 75% terhadap beratnya. Semua campuran
beraspal harus mengandung filler yang akan ditambahkan tidak kurang dari 1%
16
dan maksimum 2% dari berat total agregat. Kondisi akan ditentukan pula dari
beban lalu lintas yang direncanakan akan melintas diatas campuran beraspal
tersebut. Pada penelitian diambil persentase filler sebesar 1,5% dengan asumsi
campuran beraspal panas akan digunakan untuk kondisi jalan dengan lalu lintas
harian normal.
2.3.3.1 Semen Portland
Semen Portland dibuat dari batu kapur (limestone) dan mineral lainnya,
dicampur dan dibakar dalam sebuah alat pembakaran hingga didapatkan bahan
material berupa bubuk. Bubuk tersebut akan mengeras dan terjadi ikatan yang
sangat kuat dikarenakan suatu reaksi kimia ketika dicampur dengan air.
Kekuatan 100% dari semen dapat dilihat pada campuran beton yang
mengeras pada umur 28 hari setelah bereaksi dengan air. Proses kimia tersebut
dinamakan dengan proses hidrasi. Ketentuan mineral yang paling pokok untuk
memproduksi semen Portland adalah kapur/lime (CaO), silika (SiO2), alumina
(Al2O3) dan besi oksida (Fe2O3).
Gambar 2.5 Semen Portland Tipe I
Sumber : http://www.indocement.co.id
17
Sedangkan sumber senyawa bahan pembuatan semen Portland dapat dilihat
pada tabel berikut
Tabel 2.3 Karakteristik Semen Portland
Tipe Semen I Iaa II IIa
a III IIIa
a IV V
1 Rongga udara
dalam mortar
maks % 12 22 12 22 12 22 12 12
min % - 16 - 16 - 16 - -
2 Kehalusan, masing-
masing permukaan
a. turbidimeter test,
minimum cm
2/gr 1600 1600 1600 1600 - - 1600 1600
b. air permeability
test, minimum cm
2/gr 2800 2800 2800 2800 - - 2800 2800
3 Autoclave expansion
maximum
% 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8
4 Kuat tekan
1 hari psi - - - - 1800 1450 - -
MPa - - - - 12,4 10 - -
3 hari psi 1800 1450 1500 1200 3500 2800 - 1200
MPa 12,4 10 10,3 8,3 24,1 19,3 - 8,3
7 hari psi 2800 2250 2500 2000 - - 1000 2200
MPa 19,3 15,5 17,2 13,8 - - 6,9 15,2
28 hari psi - - - - - - 2500 3000
MPa - - - - - - 17,2 20,7
5 Gilmore test :
a. initial set menit 60 60 60 60 60 60 60 60
b. final set jam 10 10 10 10 10 10 10 10
6 Vicat test :
a. initial set menit 45 45 45 45 45 45 45 45
b. final set jam 8 8 8 8 8 8 8 8
Sumber : ASTM C.150 (Harold N.Atkins, PE. 1997)
18
Dalam penelitian ini tipe semen Portland yang akan digunakan adalah
semen Portland tipe I yang sangat umum digunakan dalam berbagai macam
pekerjaan konstruksi.
2.3.3.2 Fly ash
Fly ash adalah partikel halus yang merupakan endapan dari tumpukan
bubuk hasil pembakaran batubara yang dikumpulkan dengan alat Elektrostatik
Presipirator. Fly ash dapat digunakan sebagai material filler pada campuran
beraspal karena ukuran partikelnya yang sangat kecil sehingga dapat berfungsi
sebagai pengisi rongga dan sebagai pengikat aspal beton. Persyaratan fly ash
dapat digunakan sebagai filler dalam campuran beraspal adalah fly ash harus
berada dalam kondisi kering dan bebas dari berbagai macam bahan yang dapat
mengganggu hasil campuran beraspal.
Karakteristik fly ash :
1. Jumlah persentase yang lolos saringan No. 200 (0,074 mm) berkisar di
antara 60% sampai 90%. Hal ini disebabkan karena ukuran partikel fly
ash yang sangat halus.
2. Warna dari fly ash bervariasi dari abu-abu sampai hitam, tergantung dari
jumlah kandungan karbonnya. Semakin terang warnanya maka akan
semakin rendah pula kandungan karbonnya.
3. Fly ash bersifat tahan air (hydrophobic).
4. Komponen utama dari fly ash adalah silicon (Si), alumunium (Al), besi
(Fe), dan kalsium (Ca) dengan variasi kandungan karbon.
19
Fly ash dibedakan menjadi 2 kelas, yaitu kelas F dan kelas C dimana
perbedaan antara kelas F dengan kelas C terdapat pada tabel berikut :
Tabel 2.4 Kandungan Mineral fly ash
Kandungan mineral fly ash Kelas F Kelas C
Silikon Dioksida (SiO2) + Alumunium Oksida
(Al2O3) + Besi Oksida (Fe2O3), minimal 70% 50%
Sulfur Trioksida (SO3), maksimal 5% 5%
Kalsium Oksida (CaO) 1%-12% 30%-40%
Sumber: Annual Book of ASTM Standard Volume 04.02 Standard Specification for Fly Ash and Raw or
Calcined Natural Pozzolans for Use as a mineral Admixture in Portland Cement Concrete, 1994.
Gambar 2.6 Fly ash Kelas F
Pada penelitian ini, material fly ash yang akan digunakan adalah fly ash
kelas F.
2.4 Karakteristik Campuran Aspal Beton
Menurut Silvia Sukirman (2003), Terdapat tujuh karakteristik campuran
yang harus dimiliki oleh campuran aspal beton, diantaranya adalah stabilitas,
20
keawetan, kelenturan atau fleksibilitas, ketahanan terhadap kelelahan (fatigue
resistance), ketahanan geser, kedap air dan kemudahan pelaksanaan di lapangan
(workability).
1. Stabilitas adalah kemampuan perkerasan jalan menerima beban
kendaraan tanpa terjadi perubahan bentuk (bergelombang) dan bleeding.
Kebutuhan akan stabilitas sebanding dengan fungsi dari jalan itu sendiri
dan beban lalu lintas yang akan melintas diatasnya. Jalan yang melayani
volume lalu lintas yang tinggi dan mayoritas kendaraan berat akan
membutuhkan tingkat stabilitas yang cukup tinggi.
2. Keawetan atau durabilitas adalah kemampuan aspal beton untuk
menerima repetisi beban lalu lintas seperti berat kendaraan dan gesekan
antara roda kendaraan dengan permukaan jalan, serta juga dapat menahan
keausan akibat pengaruh cuaca atau iklim. Durabilitas aspal dipengaruhi
tebal lapisan film atau selimut aspal, banyaknya pori dalam campuran,
kepadatan dan kedap air suatu campuran beraspal.
3. Kelenturan atau fleksibilitas adalah kemampuan aspal beton untuk
menyesuaikan diri akibat penurunan (konsolidasi/settlement) dari pondasi
atau tanah dasar. Penurunan tersebut dapat terjadi karena repetisi beban
lalu lintas ataupun akibat beban sendiri tanah timbunan yang berada
diatas tanah asli.
4. Ketahanan terhadap kelelahan (fatigue resistance) adalah kemampuan
campuran beraspal untuk menerima lendutan berulang akibat repetisi
21
beban, tanpa terjadinya kelelahan berupa alur dan retak. Hal ini dapat
tercapai dengan menggunakan kadar aspal yang tinggi.
5. Ketahanan terhadap geser adalah kemampuan permukaan aspal beton
terutama pada kondisi basah untuk memberikan gaya gesek sehingga
kendaraan tidak tergelincir atau selip. Untuk menghasilkan kekesatan
jalan yang baik diperlukan faktor-faktor seperti kekasaran permukaan
dari butiran agregat, luas bidang kontak antar butiran agregat, gradasi
agregat, kepadatan campuran dan tebal lapisan film aspal.
6. Kedap air adalah kemampuan aspal beton menahan resapan air dan udara
melalui lapisan permukaan. Air dan udara dapat mengakibatkan
percepatan proses penuaan aspal dan pengelupasan selimut aspal dari
permukaan agregat.
7. Workability adalah suatu tingkat pelaksanaan campuran aspal beton untuk
dihamparkan dan dipadatkan. Kemudahan pelaksanaan menentukan
tingkat efisiensi pekerjaan.
Ketujuh karakteristik tersebut tidak mungkin dapat terpenuhi dalam satu
campuran. Pemilihan karakteristik aspal yang dominan dipengaruhi fungsi dan
kelas jalan itu sendiri, sehingga perlu diperhatikan pada saat merancang tebal
perkerasan jalan.
2.5 AC-WC (Asphalt Concrete – Wearing Course)
Aspal beton adalah jenis perkerasan jalan yang terdiri dari campuran
agregat halus, agregat kasar dan aspal, dengan atau tanpa bahan tambahan.
22
Material-material pembentuk aspal beton dicampur pada suhu yang ditentukan
berdasarkan jenis aspal yang akan digunakan. Pada umumnya suhu pencampuran
campuran beraspal dengan menggunakan semen Portland mencapai 145-155°C,
sehingga disebut juga campuran panas (hotmix).
Salah satu produk campuran beraspal yang kini banyak digunakan adalah
AC-WC (Asphalt Concrete – Wearing Course) / Lapis Aus Aspal Beton.
Penggunaan AC-WC untuk lapis permukaan dalam struktur perkerasan, memiliki
tekstur yang paling halus dibandingkan jenis lapis aspal beton lainnya. Pada
campuran laston yang bergradasi menerus tersebut mempunyai sedikit rongga
dalam struktur agregatnya dibandingkan dengan campuran bergradasi senjang.
Hal tersebut menyebabkan campuran AC-WC lebih peka terhadap variasi dalam
proporsi campuran.
2.6 Metode Pengujian Laboratorium
Rancangan campuran beraspal bertujuan untuk mendapatkan komposisi
campuran dari material yang direncanakan akan digunakan, sehingga pada
akhirnya akan menghasilkan campuran beraspal yang memenuhi spesifikasi
campuran yang telah ditetapkan. Saat ini, metode perancangan untuk campuran
beraspal di Indonesia pada umumnya menggunakan metode Marshall dengan
melakukan pengujian empiris dengan menggunakan alat tes Marshall.
Metode perancangan berdasarkan pengujian empiris terdiri dari 4 tahap,
yaitu :
23
1. Menguji sifat agregat dan aspal yang akan digunakan sebagai bahan dasar
campuran.
2. Rancangan campuran di laboratorium yang menghasilkan rumus campuran
rancangan.
3. Kalibrasi hasil rancangan campuran ke instalasi pencampur yang akan
digunakan.
4. Berdasarkan hasil kedua tahap di atas, dilakukan percobaan produksi di
instalasi pencampur, dilanjutkan dengan penghamparan dan pemadatan dari
hasil campuran percobaan.
Rancangan campuran berdasarkan metode Marshall ditemukan oleh Bruce
Marshall, dan telah distandarisasi oleh ASTM maupun AASTHO melalui
beberapa modifikasi , yaitu ASTM D 1559-76, atau AASTHO T-245-90. Prinsip
dasar dari metode Marshall adalah pemeriksaan stabilitas dan kelelehan (flow),
serta analisis kepadatan dan pori dari campuran padat yang terbentuk. Langkah-
langkah rancangan campuran metode Marshall adalah:
a. Mempelajari spesifikasi gradasi agregat campuran yang diinginkan
dari spesifikasi campuran pekerjaan.
b. Merancang proporsi dari masing-masing fraksi agregat yang tersedia
untuk mendapatkan agregat campuran dengan gradasi sesuai butir.
c. Menentukan kadar aspal total dalam campuran.
d. Membuat benda uji atau briket beton aspal.
24
e. Melakukan penimbangan terhadap benda uji tersebut, dalam hal ini
ada 3 macam penimbangan, yaitu ditimbang: dalam keadaan kering,
dalam air, dalam keadaan basah (SSD).
f. Melakukan perendaman benda uji didalam waterbath dengan suhu
60°C selama 30 menit.
g. Melakukan uji Marshall untuk mendapatkan stabilitas dan kelelahan
(flow) benda uji.
h. Menghitung parameter Marshall yaitu AV, VMA, VFA, Stabilitas
dan Flow sesuai dengan parameter yang ada pada spesifikasi
campuran.
i. Menggambarkan hubungan antara kadar aspal dan parameter
Marshall.
j. Menentukan nilai kadar aspal optimum dari hubungan antara kadar
aspal dan parameter Marshall.
k. Menghasilkan rumus rancangan campuran
Penggunaan aspal harus memperhatikan hal-hal berikut:
Suhu saat aspal mulai menyala. Hal ini terkait dengan batas
pemanasan izin dengan tanpa menimbulkan bahaya kebakaran.
Suhu pada saat aspal mulai meleleh. Hal ini terkait dengan proses
pencampuran, penghamparan dan pemadatan.
Penetrasi aspal. Hal ini terkait dengan dengan lokasi penggunaan
aspal, jenis struktur.
25
Kehilangan berat akibat pemanasan, hal ini terkait dengan
pencegahan kerapuhan aspal.
Kekerasan aspal dinyatakan dengan angka penetrasinya. Semakin besar
angka penetrasinya, maka tingkat kekerasannya makin rendah. Sebagai bahan
untuk campuran perkerasan, aspal harus mempunyai kinerja, kekuatan dan
keawetan yang memadai. Oleh karena itu, pemilihan jenis aspal harus meninjau
dari segi jenis, sifat dan maksud penggunaan yang terkait dengan syarat teknis
dan kondisi di lapangan.
Metoda kepadatan mutlak dan uji durabilitas diabaikan pada penelitian kali
ini, dengan anggapan bahwa lapisan AC-WC dihampar pada keadaan lalu lintas
belum melintas diatas lapisan tersebut dan tidak ada air yang menggenangi
lapisan AC-WC tersebut.
2.7 Parameter dan Formula Perhitungan
Parameter-parameter dan formula untuk menganalisa campuran aspal
panas adalah sebagai berikut :
2.7.1 Kadar Aspal Rencana
Perkiraan awal kadar aspal optimum dapat direncanakan setelah
dilakukan pemilihan dan penggabungan pada tiga fraksi agregat. Perhitungannya
adalah sebagai berikut :
26
Pb = 0,035(%CA) + 0,045(%FA) + 0,18(%FF) + K ........................................... (2.2)
Dimana :
Pb = Perkiraan kadar aspal optimum
CA = Nilai persentase agregat kasar
FA = Nilai persentase agregat halus
FF = Nilai persentase filler
K = Konstanta (0,5 – 1,0 untuk campuran Laston)
2.7.2 Berat Jenis Bulk dan Apparent dari total agregat
Agregat total terdiri atas fraksi-fraksi agregat kasar, agregat halus dan
filler, yang masing-masing memiliki berat jenis yang berbeda, baik berat jenis
kering (bulk specific gravity) dan berat jenis semu (apparent specific gravity).
Setelah didapatkan kedua macam berat jenis pada masing-masing agregat pada
pengujian material agregat, maka berat jenis total agregat tersebut dapat dihitung
dalam persamaan berikut :
1. Berat jenis kering (bulk specific gravity) dari total agregat
nsb
n
sbsbsb
n
G
P....
G
P
G
P
G
P
P....PPP
3
3
2
2
1
1
321
sbG
......................................................... (2.3)
Dimana :
Gsb = Berat jenis kering agregat gabungan
27
Gsb1, Gsb2,.. Gsbn = Berat jenis kering dari masing-masing agregat
P1, P2, P3,.. Pn = Persentase berat dari masing-masing agregat (%)
2. Berat jenis semu (apparent specific gravity) dari total agregat.
nsa
n
sasasa
n
G
P....
G
P
G
P
G
P
P....PPP
3
3
2
2
1
1
321
saG
......................................................... (2.4)
Dimana :
Gsa = Berat jenis semu agregat gabungan
Gsa1, Gsa2,.. Gsan = Berat jenis semu dari masing-masing agregat
P1, P2, P3,.. Pn = Persentase berat dari masing-masing agregat (%)
2.7.3 Berat Jenis Efektif Agregat
Berat jenis efektif total agregat dapat ditentukan dengan menggunakan
persamaan dibawah ini :
2
sasb
se
GGG
........................................................................................................... (2.5)
Dimana :
Gse = Berat jenis efektif
Gsb = Berat jenis kering agregat
Gsa = Berat jenis semu agregat
28
2.7.4 Penyerapan Aspal
Penyerapan aspal dinyatakan dalam persen terhadap berat agregat total.
Perhitungan penyerapan aspal (Pba) adalah sebagai berikut :
b
sbse
sbse
ba GGG
GGP
100
..................................................................................... (2.6)
Dimana :
Pba = Penyerapan aspal, persen total agregat (%)
Gsb = Berat jenis kering agregat
Gse = Berat jenis efektif agregat
Gb = Berat jenis aspal
2.7.5 Void in the Mineral Aggregate (VMA)
VMA, rongga dalam agregat mineral. Adalah rongga antar partikel
agregat pada campuran padat termasuk rongga udara dan kadar aspal efektif,
dinyatakan dalam persen volume total. VMA dihitung berdasarkan Berat jenis
agregat curah (bulk) dan dinyatakan dalam persentase dari volume curah
campuran padat. Jika komposisi campuran ditentukan sebagai persen berat dari
campuran total, maka VMA dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
sb
smb
G
PGVMA 100 ............................................................................................. (2.7)
Dimana :
VMA = Rongga udara pada mineral agregat (%)
Gmb = Berat jenis curah campuran padat
29
Ps = Agregat, persen berat total campuran
Gsb = Berat jenis kering agregat
2.7.6 Void in the Compacted Mixture (VIM)
Rongga udara (VIM) dalam campuran padat terdiri atas ruang-ruang kecil
antara partikel agregat terselimuti aspal. Rongga udara dihitung dengan
persamaan sebagai berikut:
mmG
mbG
mmG
VIM
100
)(UdaraRongga ................................................................ (2.8)
Dimana :
VIM = Rongga udara pada campuran setelah pemadatan (%)
Gmm = Berat jenis maksimum campuran ( tidak ada rongga udara )
Gmb = Berat jenis curah campuran padat
2.7.7 Void Filled with Asphalt (VFA)
VFA adalah rongga udara terisi aspal, merupakan persentase rongga antar
agregat pertikel (VMA) yang terisi aspal. VFA, tidak termasuk aspal yang
terserap agregat, dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
VMA
VIMVMAVFA
100 ........................................................................................ (2.9)
Dimana :
VFA = Rongga udara yang terisi aspal (%)
VIM = Rongga udara dalam campuran padat (%)
30
VMA = Rongga dalam agregat mineral (%)
2.7.8 Kepadatan (Density)
Density adalah tingkat kepadatan dari suatu campuran aspal yang telah
dipadatkan. Density dapat dihitung dengan persamaan berikut :
sbaba G/PG/PDensity
100
100 ...................................................................... (2.10)
Dimana :
Pa = Kadar aspal ( % )
Gb = Berat jenis curah aspal
Gsb = Berat jenis kering agregat
2.7.9 Stabilitas
Nilai stabilitas diperoleh berdasarkan nilai masing-masing yang
ditunjukkan pada jarum dial. Untuk nilai stabilitas, nilai yang ditunjukkan pada
jarum dial perlu dikonversikan terhadap alat Marshall. Selain itu pada umumnya
alat Marshall yang digunakan mempunyai satuan Lbf (pound force), sehingga
harus disesuaikan terhadap satuan kilogram. Selanjutnya nilai tersebut juga harus
disesuaikan dengan angka koreksi terhadap ketebalan atau volume benda uji.
2.7.10 Flow
Seperti halnya untuk memperoleh nilai stabilitas, nilai flow diperoleh
berdasarkan nilai yang ditunjukkan oleh jarum dial. Hanya saja untuk alat uji
31
jarum dial flow biasanya sudah dalam satuan millimeter (mm), sehingga tidak
perlu dikonversikan lebih lanjut.
2.7.11 Marshall Quotient (MQ)
Marshall Quotient (MQ) merupakan hasil pembagian dari stabilitas
dengan kelelehan. Sifat Marshall tersebut dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan :
MF
MSMQ .................................................................................................................... (2.9)
Dimana :
MQ = Marshall Quotient (kg/mm)
MS = Marshall Stability (kg)
MF = Marshall Flow (mm)