Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
10
BAB 2
TINJAUAN TEORITIS
2.1 Tinjauan Teoritis Medis
2.1.1 Anatomi Fisiologi
2.1.1.1 Anatomi Tulang
Komponen utama sistem muskoluskeletal adalah jaringan
ikat. Sistem ini terdiri dari tulang, sendi, otot, rangka,
tendon, ligamen, bursa, dan jaringan khusus yang
menghubungkan struktur-struktur ini. Kerangka tulang
merupakan kerangka yang kuat menyangga struktur tubuh.
Sementara itu,otot yang melekat pada kerangka tulang
memungkinkan tubuh untuk bergerak (Muttaqin, 2008).
Gambar 2.1
Anatomi Tulang (Syaifuddin, 2011).
Tulang terbentuk dari jaringan-jaringan mesenkim. Pada
pembentukan tulang, zat-zat anorganik seperti kalsium,
11
fosfor, dan CO2 sangat diperlukan., selain zat-zat protein
dan lemak. Sementara itu, pertumbuhan tulang
dipengaruhi oleh vitamin D dan hormon-hormon, seperti
hormon tiroid dan pituitari. Sinar ultraviolet juga memiliki
pengaruh dalam proses biokimia pertumbuhan tulang
(Zairin, 2013).
Komponen utama dari jaringan tulang adalah mineral dan
jaringan organik (kolagen serta proteoglikan). Kalisum
dan dosfat membentuk suatu kristal garam
(hidroksiapatit), kemudian tertimbun pada matriks kolagen
dan proteoglikan. Matriks tulang disebut sebagai suatu
osteoid. Sekitar 70% dari osteoid adalah kolagen tipe I
yang mempunyai kekakuan dan kekerasan tinggi pada
tulang. Materi organik lain yang juga menyusun tulang
adalah proteoglikan (Muttaqin, 2008).
Tulang diselimuti di bagian luarnya oleh periosteum,
periosteum mengandung saraf, pembuluh darah dan
limfatik. Endosteum adalah membran vaskuler tipis yang
menutupi rongga sumsum tulang panjang dan rongga
dalam tulang kanselus. Sumsum tulang merupakan
jaringan vaskuler dalam rongga. Sumsum (batang) tulang
panjang dan tulang pipih, tulang kanselus menerima
asupan darah yang sangat banyak melalui pembuluh
metafisis dan epifisis (Muttaqin, 2008).
Tubuh manusia tersusun atas tulang-tulang dengan
berbagai bentuk dan jenisnya yang membentuk satu
rangkaian menjadi rangka. Fungsi umum rangka/tulang
adalah (Tarwoto & Wartonah, 2011)
a. Memberi bentuk pada tubuh. Seseorang terlihat tinggi
atau pendek karena penyusun rangkanya.
12
b. Melindungi organ atau jaringan vital yang ada
didalamnya.
c. Menyangga berat badan. Tulang-tulang aksial yang
membentuk poros tubuh berfungsi menyanggah berat
badan misalnya tulang leher, tulang vertebra dan
tulang pelvis.
d. Tempat melekatnya otot yaitu otot-otot lurik atau otot
rangka.
e. Membantu pergerakan. Adanya persendian dan
kerjasama dengan otot serta sistem saraf
memungkinkan tulang dapat bergerak.
f. Tempat menyimpan energi, yaitu simpanan lemak
yang ada pada sumsum kering.
Gambar 2.2
Klasifikasi bentuk tulang (Muttaqin,2008).
Secara garis besar, tulang dibagi menjadi enam:
a. Tulang panjang (long bone)
Terdiri dari batang tebal panjang yang disebut diafisis
dan dua ujung yang disebut efisis. Di sebelah
proksimal dari efisis terdapat metafisis. Di antara
epifisis dan metafisis terdapat daerah tulang rawan
yang tumbuh, yang disebut lempeng efisis atau
13
lempeng pertumbuhan. Tulang panjang tumbuh
karena akumulasi tulang rawan di lempeng efisis.
Tulang rawan digantikan oleh sel-sel tulang yang
dihasilkan oleh osteoblas, dan tulang yang
memanjang. Batang dibentuk oleh jaringan tulang
yang padat. Efisis dibentuk oleh jaringan tulang yang
padat. Efisis dibentuk dari spongi bone (cancellous
atau trabecular). Pada akhir tahun remaja tulang
rawan habis, lempeng efisis berfusi, dan tulang
berhenti tumbuh. Hormon pertumbuhan, estrogen, dan
testosteron merangsang pertumbuhan tulang panjang.
Estrogen, bersama dengan testosteron, merangsang
fusi lempeng epifisis. Batang suatu tulang panjang
memiliki rongga yang disebut kanalis medularis.
Kanalis medularis berisi sumsum tulang (Abdul
Wahid, 2013).
Contoh tulang panang adalah femur, tibia, fibula, ulna
dan humerus (Muttaqin, 2008).
b. Tulang pendek (short bone)
Bentuknya tidak teratur dan inti dari cansellous
(spongy) dengan suatu lapisan luar dari tulang yang
padat (Abdul Wahid,2013). Contohnya: tulang-tulang
karpal (Muttaqin, 2008).
c. Tulang pipih (flat bone)
Misalnya tulang pariental, iga, skapula, dan pelvis
(Muttaqin, 2008).
d. Tulang yang tidak beraturan (irreguler bone) sama
seperti dengan tulang pendek, misalnya tulang
vertebra (Muttaqin, 2008).
e. Tulang Sesamoid, merupakan tulang kecil yang
terletak disekitar tulang yang berdekatan dengan
persendian dan didukung oleh tendon dan jaringan
14
faisal, misalnya patella (kap lutut) (Abdul Wahid,
2013). Misalnya tulang patela (Muttaqin ,2008).
f. Tulang sutura (sutural bone)
Ada di atap tengkorak (Muttaqin, 2008).
Secara fisiologis tungkai bawah terdiri atas kaki dan
pergelangan kaki yang berfungsi sebagai suatu unit yang
terpadu serta bersama-sama memberikan dukungan stabil,
propriosepsi, keseimbangan, dan mobilitas. Untuk
mempertahankan fungsi tersebut, maka diperlukan kondisi
tulang dan jaringan lunak (otot, lemak, tendon jaringan
saraf, dan pembuluh darah) yang optimal. Tibia atau
tulang kering merupakan kerangka utama dari tungkai
bawah dan terletak medial dari fibula atau tulang betis.
Pada kondisi klinik perawat sering menemukan adanya
gangguan pada tungai bawah akibat trauma, tumor,
infeksi, in dan kelainan kongenital, serta setelah mendapat
intervensi medik (Muttaqin, 2010).
Tulang tungkai bawah terdiri dari tulang pipa yaitu tulang
tibia (Os Tibia) dan fibula (Os Fibula) .Tibia adalah tulang
pipa dengan sebuah batang dan dua ujung. Ujung atas
memperlihatkan adanya kondil medial dan lateral. Kondil-
kondil ini merupakan bagian yang paling atas dan paling
pinggir dari tulang. Permukaan superiornya
memperlihatkan dua dataran permukaan persendian untuk
femur dalam formasi sendi lutu. Permukaan-permukaan
tersebut halus dan diatas permukaannya yang terdapat
tulang rawan semilunar (setengah bulan) yang membuat
permukaan persendian lebih dalam untuk penerimaan
kondil femur (Wibowo Daniel, 2013).
15
Bagian-bagian tulang Tibia (Tulang kering) (Pearce
Evelyn C, 2013):
a. Epiphysis Proximalis (Ujung atas)
Bagian ini melebar secara transversal dan memiliki
permukaan sendi superior pada tiap condylus, yaitu
condylus lateral. Ditengah-tengahnya terdapat suatu
peninggian yang disebut eminenta intercondyloidea.
b. Diaphysis (Corpus)
Pada penampang melintang merupakan segitiga dengan
puncaknya menghadap ke muka, sehingga corpus
mempunyai tiga sisi yaitu margo anterior (disebelah
muka), margo medialis (di sebelah medial), dan crista
interossea (di sebelah lateral) yang membatasi facies
lateralis, facies posterior dan facies medialis. Facies
medialis langsung terdapat dibawah kulit dan margo
anterior disebelah proximal.
c. Epiphysis diatalis (ujung bawah)
Ke arah medial bagian ini kuat menonjol dan disebut
maleolus medialis (mata kaki). Epiphysis distalis
mempunyai tiga dataran sendi yang horizontal (facies
articularis inferior) dan di sebelah lateral terdapat
cekungan sendi (incisura fibularis).
Gambar 2.3
Tulang Tibia Fibula (Wibowo Daniel,2013).
16
Tulang Fibula adalah tulang betis yang berada disebelah
lateral tungkai bawah. Ujung atas berbentuk kepala dan
bersendi dengan bagian belakang sebelah luar dari tibia
tapi tidak ikut dalam formasi lutut. Ujung bawah
memanjang menjadi maleolus lateralis. Seperti tibia, arteri
yang memperdarahinya adalah arteri tibialis posterior.
Dan otot-otot yang terdapat pada daerah betis adalah
msukulus gastroknemius dan muskulus soleus pada sisi
posterior serta muskulus peroneus dan tibialis anterior
pada sisi anterior. Nervus peroneus dan tibialis juga
mempersarafi daerah sekitar tulang fibula ini (Pearce
Evelyn C, 2013).
Pada fibula bagian ujung bawah disebut malleolus
lateralis. Disebelah bawah kira-kira 0,5cm disebelah
bawah medialits, juga letaknya lebih posterior. Sisi-sisinya
yang mendatar mempunyai permukaan anterior dan
posterior yang sempit dan permukaan-permukaan medialis
dan lateralis yang lebih lebar. Permukaan anterior menjadi
tempat lekat dari ligamentum talofibularis anterior.
Permukaan lateralis terletak subkutan dan berbentuk
sebagai penonjolan lubang. Pinggir lateral alur tadi
merupakan tempat lekat retina kulum. Permukaan sendi
yang berbentuk segitiga pada permukaan medialis
bersendi dengan ostalus, persendian ini merupakan
sebagian dari sendi pergelangan kaki. Fosa malleolaris
terletak disebelah belakang permukaan sendi, mempunyai
banyak foramina vaskularis dibagian atasnya. Pinggir
inferior malleolus mempunyai aspek yang menjorok
kebawah. Disebelah anterior dari aspek terdapat sebuah
insissura yang merupakan tempat lekat dari ligamentum
kalkaneofibularis (Pearce Evelyn C, 2013).
17
2.1.1.2 Fisiologi Tulang
Fisiologi tulang adalah sebagai berikut :
a. Mendukung jaringan tubuh dan memberikan
bentuk tubuh.
b. Melindungi organ tubuh (misalnya jatung, otak,
dan paru-paru).
c. Memberikan pergerakan (otot yang berhubungan
dengan kontraksi dan pergerakan).
d. Membentuk sel-sel darah merah didalam sumsum
tulang belakang (hema topoiesis)
e. Menyimpan garam mineral, misalnya kalsium,
fosfor.
(Abdul Wahid, 2013).
Sedangkan menurut Muttaqin, 2008 Fungsi Utama
Tulang adalah :
a. Membentuk rangka tubuh
b. Sebagai pengumpil dan tempat melekat otot
c. Sebagai bagan dari dalam tubuh untuk melindungi
dan mempertahankan alat-alat dalam (seperti otak,
sumsum tulang belakang, jantung, dan paru-paru)
d. Sebagai tempat mengatur dan defosit kalsium,
fosfat, magnesium, dan garam
e. Ruang di tengah tulang tertentu sebagai organ yang
mempunyai fungsi tambahan lain, yaitu sebagai
jaringan hemopoietik untuk memproduksi sel darah
merah, sel darah putih dan trombosit.
2.1.2 Pengertian
Fraktur adalah patah tulang,biasanya disebabkan oleh trauma atau
tenaga fisik. Kekuatan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang,
dan jaringan lunak di sekitar tulang akan menentukan apakah
18
fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap (Huda &
Kusuma, 2013).
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas tulang,
retak atau patahnya tulang yang utuh, yang biasanya disebabkan
oleh trauma/rudapaksa atau tenaga fisik yang ditentukan jenis dan
luasnya trauma (Lukman & Ningsih, 2012).
Fraktur yang terjadi pada tulang tibia dan fibula sering disebut
fraktur cruris. Fraktur cruris merupakan suatu istilah untuk patah
tulang tibia dan fibula yang biasanya terjadi pada bagian
proksimal (kondilus), diafisis atau persendian pergelangan kaki.
Pada beberapa rumah sakit, kejadian fraktur cruris biasanya
terbanyak kedua setelah fraktur femur. Oleh karen itu, peran
perawat dalam memberikan asuhan keperawatan trauma
muskoluskeletal pada fraktur cruris akan semakin besar sehingga
diperlukan pengetahuan-pengetahuan mengenai anatomi,
fisiologi, dan patofisiologi tulang normal dan kelainan yang
terjadi pada pasien fraktur cruris (Muttaqin, 2008).
Fraktur cruris terbuka adalah terputusnya hubungan tulang tibia
dan fibula disertai dengan kerusakan jaringan lunak (otot, kulit,
jaringan saraf, pembuluh darah) sehingga memungkinkan
terjadinya hubungan antara fragmen tulang yang patah dengan
udara luar yang disebabkan oleh cidera dari tulang langsung yang
mengenai kaki (Muttaqin, 2013)
2.1.3 Klasifikasi Fraktur
Penampikan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan
yang praktis, dibagi menjadi beberapa kelompok (Abdul wahid,
2013) :
a. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan)
1) Fraktur Tertutup (Closed)
19
Bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan
dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih
utuh) tanpa komplikasi.
2) Fraktur Terbuka (Open/Compound)
Bila terdapat hubungan antara hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.
b. Berdasarkan komplit atau ketidak komplitan fraktur
1) Fraktur Komplit
Bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau
melalui kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto.
2) Fraktur Inkomplit
Bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang
seperti:
a) Hair Line Fracture
Salah satu jenis fraktur tidak lengkap pada tulang. Hal
ini disebabkan oleh “stres yang tidak biasa atau
berulang-ulang” dan juga karena berat badan terus
menerus pada pergelangan kaki atau kaki. Hal ini
berbeda dengan jenis patah tulang yang lain, yang
biasanya ditandai dengan tanda yang jelas. Hal ini
dapat digambarkan dengan garis sangat kecil atau retak
pada tulang, ini biasanya terjadi di tibia, metatarsal
(tulang kaki), dan walau tidak umum kadang bisa
terjadi pada tulang femur. Hairline fracture/stress
fracture umum terjadi pada cedera olahraga, dan
kebanyakan kasus berhubungan dengan olahraga.
b) Buckle atau Torus Fracture
Bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan kompresi
tulang spongiosa dibawahnya.
20
c) Green Stick Fracture
Mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya
yang terjadi pada tulang panjang.
3) Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan
mekanisme trauma
a) Fraktur Transversal
Fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
b) Fraktur Oblik
Fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut
terhadap sumbu tulang dan merupakann akibat trauma
angulasi juga.
c) Fraktur Spiral
Fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang
disebabkan trauma rotasi.
d) Fraktur Kompresi
Fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang ke arah permukaan lain.
e) Fraktur Avulsi
Fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau
traksi otot pada insersinya pada tulang.
4) Berdasarkan jumlah garis patah
a) Fraktur Komunitif
Fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan.
b) Fraktur Segmental
Fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan.
21
c) Fraktur Multiple
Fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
pada tulang yang sama.
5) Berdasarkan pergeseran fragmen tulang
a) Fraktur Undisplaced (tidak bergeser)
Garis patah lengkap tetapi kedua fragmen tidak
bergeser dan periosteum masih utuh.
b) Fraktur Displaced (bergeser)
Terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga disebut
lokasi fragmen, terbagi atas :
(1) Dislokasi ad longitudinam cum contractionum
(pergeseran searah sumbu dan overlapping).
(2) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk
sudut).
(3) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua
fragmen saling menjauh).
6) Fraktur Patologis
Fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang.
7) Fraktur Kelelahan
Fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
Klasifikasi Fraktur Tertutup Berdasarkan Keadaan Jaringan
Lunak di Sekitar Trauma (Asikin & Nasir, 2016) :
1) Tingkat 0 : Fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera
jaringan lunak sekitarnya.
2) Tingkat 1 : Fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit
dan jaringan subkutan.
3) Tingkat 2 : Fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan
lunak bagian dalam dan pembengkakan.
4) Tingkat 3 : Cedera berat dengan keruskan jaringan lunak yang
nyata dan ancaman sindroma kompartemen.
22
2.1.4 Etiologi
Menurut Sugeng (2012), penyebab fraktur dapat dibagi menjadi
tiga yaitu :
1. Cedera traumatik
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh:
a. Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang
sehingga tulang patah secara spontan. Pemukulan biasanya
menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit di
atasnya.
b. Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh
dari lokasi benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur
dan menyebabkan fraktur klavikula.
c. Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak
dari otot kuat.
2. Fraktur Patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana
dengan trauma minor dapat mengakibatkan fraktur dapat juga
terjadi pada berbagai keadaan berikut:
a. Tumor tulang (jinak atau ganas): pertumbuhan jaringan baru
yang tidak terkendali dan prgresif
b. Infeksi seperti osteomielitis: dapat terjadi sebagai akibat
infeksi akut atau dapat timbul sebagai salah satu proses
yang progresif, lambat dan sakit nyeri.
c. Rakhitis: suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh
defisiensi Vitamin D yang mempengaruhi semua jaringan
skelet lain, biasanya disebabkan oleh defisiensi diet, tetapi
kadang-kadang dapat disebabkan kegagalan absorbsi
Vitamin D atau oleh karena asupan kalsium atau fosfat yang
rendah.
23
d. Secara spontan: disebabkan oleh stress tulang yang terus
menerus misalnya pada penyakit polio dan orang yang
bertugas dikemiliteran.
Menurut Kholid Rosyidi (2013), etiologi fraktur adalah :
1. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik
terjadinya kekerasan. Fraktur demikian sering bersifat fraktur
terbuka dengan garis patah melintang atau miring.
2. Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang
ditempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang
patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam jalur
hantaran vektor kekerasan.
3. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi.
Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan, dan
penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.
2.1.5 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi,
deformitas, pemendekan ekstremitas, krepitus, pembengkakan
lokal, dan perubahan warna (Smeltzer, 2008). Gejala umum
fraktur menurut Reeves (2011) adalah rasa sakit, pembengkakan,
dan kelainan bentuk.
Menurut Asikin & Nasir (2016) tanda dan gejala fraktur:
a. Deformitas
b. Bengkak/edema
c. Ekimosis (Memar)
d. Spasme otot
e. Nyeri
f. Kurang/hilang sensasi
24
g. Krepitasi
h. Pergerakan abnormal
Menurut Lukman & Ningsih (2012) tanda dan gejala fraktur
adalah sebagai berikut:
a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen
tulang di imobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur
merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk
meminimalkan gerakan antarfragmen tulang.
b. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian yang tak dapat
digunakan dan cenderung bergerak secara tidak alamiah
(gerakan luar biasa) bukannya tetap rigid seperti normalnya.
Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai
menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstremitas
yang bisa diketahui dengan membandingkan ekstremitas
normal. Ekstremitas tak dapat berfungsi dengan baik karena
fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat
melengketnya otot.
c. Pada fraktur tulang panjang , terjadi pemendekan tulang yang
sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat di atas dan
bawah temoat fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu
sama lain sampai 2,5-5 cm (1-2 inchi).
d. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya
derik tulang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan
antara fragmen satu dengan lainnya. Uji krepitus dapat
mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih berat.
e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi
sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti
fraktur. Tanda ini bisa baru terjadi setelah beberapa jam atau
hari setelah cedera.
25
2.1.6 Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan
gaya pegas untuk menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang
datang lebih besar dari yang diserap tulang, maka terjadilah
trauma pada tulang kon yang mengakibatkan rusaknya atau
terputusnya tinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum
pembuluh darah serta saraf dalam konteks, marrow dan jaringan
lunak yang membungkus tulang rusak perdarahan terjadi karena
kerusakan tersebut dan terbentuklah berdekatan medula tulang
(Abdul wahid, 2013).
Fraktur kruris dapat terjadi akibat daya puntar atau puntir yang
menyebabkan fraktur spiral pada kedua tulang kaki dalam tingkat
yang berbeda; daya angulasi menimbulkan fraktur melintang atau
oblik pendek, biasanya pada tingkat yang sama (Muttaqin, 2011).
Kondisi klinis fraktur kruris tertutup menimbulkan berbagai
masalah keperawatan kepada klien, meliputi respons nyeri hebat
akibat rusaknya jaringan lunak dan kompresi saraf, risiko tinggi
cedera jaringan akibat kerusakan vaskular dengan pembengkakan
lokal yang menyebabkan sindrom kompartemen yang sering
terjadi pada proksimal tibia, dan hambatan mobilitas fisik
sekunder akibat kerusakan fragmen tulang. Pada beberapa
keadaan, perawat sering melakukan asuhan keperawatan klien
fraktur kruris tertutup. Fraktur kruris tertutup menyebabkan
terjadinya mau-union, non-union, dan delayed union (Muttaqin,
2011).
Jaringan segera kebagian tulang yang patah. Jaringan yang
mengalami nekrosis terjadinya respon inflamasi yang ditandai
dengan vasodilatasi, eksudasi dan leukosit, dan infiltrasi sel darah
26
putih. Inilah yang merupakan dasar dan proses penyembuhan
tulang nantinya (Abdul wahid, 2013).
Intervensi medis dengan penatalaksanaan pemasangan fiksasi
interna menimbulkan masalah risiko tinggi infeksi pasca-bedah,
nyeri akibat trauma jaringan lunak, dampak psikologis ansietas
sekunder akibat rencana bedah dan prognosis penyakit serta
pemenuhan informasi (Muttaqin, 2011).
27
2.1.7 Pathway
Gambar 2.1 Patofisologi Fraktur Cruris Terbuka (Muttaqin, 2008).
Trauma pada ekstremitas bagian bawah
Kekuatan daya trauma lebih besar daripada
kemampuan daya menahandari tulang kruris
Fraktur kruris
Fraktur kruris terbuka
Prosedur
pemasangan
OREF
Kerusakan
neurovaskular Kerusakan
pembuluh darah
- Keluhan nyeri
- Keterbatasan
melakukan pergerakan
- Penurunan
kemampuan otot
- Perubahan bentuk
tubuh
- Perubahan status
psikologis
- Pemenuhan informasi
program pengobatan
1. Kerusakan fragmen
tulang
2. Spasme otot
3. Cedera jaringan
lunak
4. Deformitas
5. Kerusakan
neuromuskular
Nyeri Hambatan
mobilitas
fisik
Resiko
tinggi
trauma
Ganggua
n citra
diri
Ansietas Defisiensi
pengetahuan
dan informasi
Ketidakefe
ktifan
koping
individu
Adanya port
de entree
Vaskularisasi yang
kurang pada ujung
fragmen
Perubahan
peran
dalam
keluarga,
biaya
operasi
Resiko sindrom
kompartemen
Resiko
komplikasi
delayed union,
non-union,
dan mal-union
Banyak darah
yang keluar
Resiko tinggi
infeksi
Resiko syok
hipovolemik
28
2.1.8 Faktor-faktor penyembuhan fraktur
Terdapat beberapa faktor yang bisa menentukan lama
penyembuhan fraktur. Setiap faktor akan memberikan pengaruh
penting terhadap proses penyembuhan. Faktor yang bisa
menurunkan proses penyembuhan fraktur pada pasien harus
dikenali sebagai parameter dasar untuk pemberian intervensi
selanjutnya yang lebih komprehensif. Penyembuhan fraktur
berkisar antara tiga minggu sampai empat bulan. Waktu
penyembuhan pada anak secara kasar separuh waktu
penyembuhan daripada dewasa (Zairin, 2013).
a. Umur penderita
Waktu penyembuhan tulang pada anak-anak jauh lebih cepat
daripada orang dewasa. Hal ini terutama disebabkan karena
aktivitas proses osteogenisis pada periosteum dan endosteum,
serta proses remodeling tulang. Pada bayi proses penyembuhan
sangat cepat dan aktif, namun kemampuan ini makin
berkurang apabila umur bertambah.
b. Lokalisasi dan konfigurasi fraktur
Lokalisasi fraktur memegang peranan penting. Fraktur
metafisis penyembuhannya lebih cepat daripada diafisis.
Disamping itu konfigurasi fraktur seperti fraktur transversal
lebih lambat penyembuhannya dibandingkan dengan fraktur
oblik karena kontak yang lebih banyak.
c. Pergeseran awal fraktur
Pada fraktur yang tidak bergeser dimana periosteum tidak
bergeser, maka penyembuhan dua kali lebih cepat
dibandingkan pada fraktur yang bergeser.
d. Vaskularisasi pada kedua fragmen
Apabila kedua fragmen mempunyi vaskularisasi yang baik,
maka penyembuhan biasanya tanpa komplikasi. Namun,
apabila salah satu sisi fraktur vaskularisasinya buruk, maka
29
akan menghambat atau bahkan tidak terjadi tautan yang
dikenal dengan non-union.
e. Reduksi serta imobilisasi
Reposisi fraktur akan memberikan kemungkinan untuk
vaskularisasi yang lebih baik dalam bentuk asalnya.
Imobilisasi yang sempurna akan mencegah pergerakan dan
kerusakan pembuluh darah yang akan mengganggu dalam
penyembuhan fraktur.
f. Waktu imobilisasi
Jika imobilisasi tidak dilakukan sesuai waktu penyembuhan
sebelum terjadi tautan (union), maka kemungkinan terjadinya
non-union sangat besar.
g. Ruangan diantara kedua fragmen serta interposisi oleh jaringan
lunak
Jika ditemukan interposisi baik berupa periosteum maupun
otot atau jaringan vibrosa lainnya, maka akan menghambat
vaskularisasi kedua ujung fraktur.
h. Faktor adanya infeksi dan keganasan lokal
Infeksi dan keganasan akan memperpanjang proses inflamasi
lokal yang akan menghambat proses penyembuhan dari
fraktur.
i. Cairan sinovia
Pada persendian, dimana terdapat cairan sinovia merupakan
hambatan dalam penyembuhan fraktur.
j. Gerakan aktif dan pasif pada anggota gerak
Gerakan aktif dan pasif pada anggota gerak akan
meningkatkan vaskularisasi daerah fraktur, tetapi gerakan yang
dilakukan daerah fraktur tanpa imobilisasi yang baik juga akan
mengganggu vaskularisasi.
k. Nutrisi
Asupan nutrisi yang optimal dapat memberikan suplai
kebutuhan protein untuk proses perbaikan. Pertumbuhan tulang
30
menjadi lebih dinamis bila ditunjang dengan asupan nutrisi
yang optimal.
l. Vitamin D
Vitamin D mempengaruhi deposisi dan absorbsi tulang.
Vitamin D dalam jumlah besar dapat menyebabkan absorpsi
tulang seperti yang terlihat pada kadar hormon paratiroid yang
tinggi. Vitamin D dalam jumlah yang sedikit akan membantu
klasifikasi tulang (membantu kerja hormon paratiroid), antara
lain dengan meningkatkan absorpsi kalsium dan fosfat oleh
usus halus.
Faktor yang mempengaruhi fraktur menurut Abdul Wahid, 2013:
a. Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang
tergantung terhadap besar, waktu dan arah tekanan yang dapat
menyebabkan fraktur.
b. Faktor Instrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan
daya tahan untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi
dari tekanan, elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau
kekerasan tulang.
2.1.9 Proses penyembuhan tulang
Menurut Asikin & Nasir (2016), Tulang dapat beregenerasi sama
seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur yang merangsang tubuh
untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan
membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang. Tulang
baru dibentuk oleh aktivitas sel tulang. Sejumlah tahapan dalam
penyembuhan tulang yaitu inflamasi, proliferasi sel, pembentukan
kalus, osifikasi, dan remoeling menjadi tulang dewasa. Ada lima
stadium penyembuhan tulang, yaitu:
31
a. Stadium Satu - Pembentukan Hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar dan
didalam area fraktur. Sel darah membentuk fibrin untuk
melindungi tulang yang rusak dan sebagai tempat tumbuhnya
kapiler baru dan fibroblast. Stadium ini berlangsung 24-48 jam
dan perdarahan berhenti sama sekali. Tulang pada permukaan
fraktur mati sekitar 1-2mm akibat kekurangan suplai darah.
b. Stadium Dua - Inflamasi dan Poliferasi Seluler
Pada stadium ini terjad reaksi inflamasi akut dengan
perpindahan sel inflamasi, serta proliferasi dan diferensiasi sel
menjadi fibro kartilago yang berasal dari periosteum,
endosteum, dan sumsum tulang yang telah mengalami trauma.
Sel yang mengalami proliferasi ini akan masuk kedalam
lapisan yang lebih dalam dan osteoblast beregenerasi.
Kemudian, terjadi proses osteogenesis. Dalam beberapa hari,
terbentuklah tulang baru yang menggabungkan kedua fragmen
tulang yang patah. Fase ini berlangsung selama 8 jam setelah
terjadinya fraktur sampai selesai, tergantung dari frakturnya.
c. Stadium Tiga - Pembentukan kalus
Sel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan
osteogenik. Jika berada pada keadaan yang tepat, maka sel
tersebut akan mulai membentuk tulang dan kartilago. Populasi
sel ini dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast
yang mulai berfungsi dengan mengabsorpsi sel tulang yang
mati. Massa sel yang tebal dengan tulang imatur dan kartilago
membentuk kalus pada permukaan endosteal dan periosteal.
Sementara itu, tulang yang imatur (anyaman tulang) menjadi
lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang
pada 4 minggu setelah fraktur menyatu.
d. Stadium Empat - Konsolidasi
Jika aktivitas osteoklast dan osteoblast berlanjut, maka
anyaman tulang berubah menjadi lamellar. Sistem ini telah
32
cukup kuat untuk osteoklast menerobos melalui reruntuhan
pada garis fraktur, dan berada tepat di belakangnya. Osteoklast
mengisi celah yang tersisa diantara fragmen dengan tulang
yang baru. Hal ini merupakan proses yang lambat dan
membutuhkan waktu beberapa bulan sebelum tulang kuat
untuk membawa beban yang normal.
e. Stadium Lima - Remodeling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu tulang yang padat. Selama
beberapa bulan atau tahun, pengerasan kasar ini dibentuk ulang
oleh proses resorpsi dan pembentukan tulang yang terus
menerus. Lamellae/lamela tulang yang lebih tebal diletakkan
pada tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak
diperlukan dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya
membentuk struktur yang mirip dengan normalnya.
2.1.10 Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Lukman & Ningsih (2012), pemeriksaan diagnostik pada
pasien fraktur adalah :
a. Pemeriksaan Rontgen: menentukan lokasi/luasnya
fraktur/trauma, dan jenis fraktur.
b. Scan tulang, tomogram,CT Scan/MRI: memperlihatkan
tingkat keparahan fraktur, juga dapat untuk mengidentifikasi
kerusakan jaringan lunak.
c. Arteriogram: dilakukan bila dicurigai adanya kerusakan
vaskular.
d. Hitung darah lengkap: Ht mungkin meningkat
(hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna pada
sisi fraktur atau organ jauh pada multipel trauma).
Peningkatan jumlah SDP adalah proses stress normal setelah
trauma.
e. Kreatinin: trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk
klien ginjal.
33
f. Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada kehilangan
darah, transfusi multipel atau cedera hati.
Pemeriksaan diagnostik pada pasien fraktur adalah (Abdul wahid,
2013) :
a. Pemeriksaan radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah
“pencitraan” menggunakan X-ray. Untuk mendapatkan
gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit,
maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau AP dan lateral.
Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan khusus
ada indikasi untuk memperlihatkan patologi yang dicari karena
adanya supersiposisi. Perlu disadari bahwa permintaan X-ray
harus atas dasar indikasi kegunaan pemeriksaan penunjang dan
hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang harus
dibaca pada X-ray.
1) Bayangan jaringan lunak.
2) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum
atau biomekanik atau juga rotasi.
3) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
4) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Selain foto polos X-ray (Plane X-ray mungkin perlu teknik
khususnya seperti:
1) Tomografi menggambarkan tidak satu struktur saja tapi
struktur saja tapi struktur yang lain tertutup yang lain
divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur
yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi
pada struktur lain yang mengalaminya.
2) Myelografi menggambarkan cabang-cabang saraf spinal
dan pembuluh darah diruang tulang vertebra yang
mengalami kerusakan akibat trauma.
34
3) Arthrografi menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang
rusak karena ruda paksa.
4) CT-Scan menggambarkan potongan secara transversal dari
tulang dimana didapatkan suatu struktur yang rusak.
b. Pemeriksaan laboratorium
1) Kalsium serum dan fosfor serum meningkat pada tahap
penyembuhan tulang
2) Alkalin fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan
menunjukkan kegiatan dalam membentuk tulang
3) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat
Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat Amino Transferase
(AST, Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan
tulang).
c. Pemeriksaan lain-lain
1) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas.
Didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.
2) Biopsi tulang dan otot, pada intinya pemeriksaan ini sama
dengan pemeriksaan diatas tapi lebih diindikasikan bila
terjadi infeksi.
3) Elektromyografi terdapat kerusakan konduksi saraf yang
diakibatkan fraktur.
4) Arthroscopy di dapat sak atau sobek karena trauma yang
berlebihan.
5) Indium Imaging pada pemeriksaan ini didapatkan adanya
infeksi pada tulang.
6) MRI menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
(Ignatavicius, Donna D, 2010).
35
2.1.11 Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan kedaruratan menurut Asikin & Nasir (2016) :
a. Segera setelah cedera, klien berada dalam keadaan bingung,
tidak menyadari adanya fraktur, dan berusaha berjalan
dengan tungkai yang patah. Oleh karena itu, jika dicurigai
adanya fraktur, maka penting untuk segera imobilisasi bagian
tubuh sebelum klien dipindahkan.
b. Jika klien yang mengalami cedera harus dipindahkan dari
kendaraan sebelum dapat dilakukan pembidaian, maka
ekstremitas harus disangga pada bagian atas dan bagian
bawah tempat terjadinya fraktur untuk mencegah gerakan
rotasi maupun angulasi.
c. Gerakan fragmen patah tulang dapat menyebabkan nyeri,
kerusakan jaringan lunak, dan perdarahan lebih lanjut.
d. Nyeri sehubungan dengan fraktur merupakan hal yang sangat
berat dan dapat dikurangi dengan menghindari gerakan
fragmen tulang dan sendi sekitar fraktur. Pembidaian yang
memadai sangat penting untuk mencegah kerusakan jaringan
lunak dan fragmen tulang.
e. Area yang cedera di imobilisasi dengan memasang bidai
sementara dengan bantalan yang memadai, yang kemudian di
bebat dengan kencang.
f. Imobilisasi tulang panjang ekstremitas bawah juga dapat
dilakukan dengan membebat kedua tungkai bersama, dengan
ekstremitas yang sehat bertindak sebagai bidai bagi
ekstremitas yang cedera. Pada cedera lengan dapat
dibebatkan ke dada, atau lengan bawah yang cedera yang
digantung pada sling.
g. Peredaran darah pada bagian distal dari cedera harus dikaji
untuk menentukan kecukupan perfusi jaringan perifer.
h. Pada fraktur terbuka, luka ditutup dengan pembalut bersih
(steril) untuk mencegah kontaminasi jaringan yang lebih
36
dalam. Tidak boleh melakukan reduksi fraktur, bahkan jika
terdapat fragmen tulang yang keluar melalui luka.
i. Pada bagian gawat darurat, klien dievaluasi dengan lengkap
dan pakaian dilepas dengan lembut. Pertama, dilakukan pada
bagian tubuh yang sehat. Setelah itu, dilanjutkan ke bagian
sisi yang cedera. Pakaian klien harus dipotong pada sisi yang
cedera. Pada bagian ekstremitas, sebisa mungkin tidak boleh
digerakkan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.
Menurut buku Arif Muttaqin (2008) ada 2 penatalaksanaan medis,
yaitu:
a. Penatalaksaan Konservatif
Proteksi adalag proteksi fraktur terutama untuk mencegah
trauma lebih lanjut dengan cara memberikan sling (mitela)
pada anggota gerak atas atau tongkat pada anggota gerak.
Imobilisasi dengan bidai ekstren. Imobilisasi pada fraktur
dengan bidai ekstrena hanya memberikan imobilisasi.
Biasanya menggunakan gips atau dengan macam-macam
bidai dari plastik atau metal.
Reduksi tertutup dengan menggunakan manipulasi dan
imobilisasi eksterna yang menggunakan gips. Reduksi
tertutup yang diartikan manipulasi dilakukan dengan
pembiusan umum dan lokal. Reduksi tertutup dengan traksi
kontinu dan counter traksi. Tindakan ini mempunyai tujuan
utama, yaitu beberapa reduksi yang bertahap dan imbolisasi.
b. Penatalaksanaan Pembedahan
Penatalaksaan ini sangat penting diketahui oleh perawat, jika
ada keputusan bahwa pasien diindikasikan untuk menjalani
pembedahan, perawat mulai berperan dalam asuhan
keperawatan tersebut.
37
Reduksi tertutup dengan fiksasi eksternal atau fiksasi
perkutan dengan K-Wire. Reduksi terbuka dan fiksasi
internal dan eksternal tulang yaitu Open Reduction and
Internal Fixation (ORIF) atau Reduksi Terbuka dengan
Fiksasi Internal.
ORIF akan mengimobilisasi fraktur dengan melakukan
pembedahan untuk memasukan paku, sekrup atau pen
kedalam tempat fraktur untuk memfiksasi bagian-bagian
tulang pada fraktur secara bersamaan. Fiksasi internal sering
digunakan untuk merawat fraktur pada tulang pinggul yang
sering terjadi pada orangtua.
Open Reduction and Eksternal Fixation (OREF) atau
Reduksi Terbuka dengan Fiksasi Eksternal. Tindakan ini
merupakan pilihan bagi sebagian besar fraktur. Fiksasi
eskternal dapat menggunakan konselosascrew atau dengan
metilmetakrilat (akrilik gigi) atau fiksasi eksterna dengan
jenis-jenis lain seperti gips.
Menurut Brunner & Suddarth (2015) penatalaksaan komplikasi
pada pasien fraktur adalah:
a. Terapi syok terdiri dari menstabilkan fraktur untuk mencegah
hemoragi lebih lanjut, mengembalikan volume dan sirkulasi
darah, meredakan nyeri pasien, memberikan imobilisasi yang
tepat, dan melindungi pasien dari cedera lebih lanjut dan dari
komplikasi lain.
b. Pencegahan dan penatalaksanaan embolisme lemak mencakup
mengimobilisasi fraktur dengan cepat, menopang tulang yang
mengalami fraktur ketika berpindah dan memperbaiki posisi
secara tepat, dan mempertahankan keseimbang cairan dan
eletrolit.
38
c. Sindrom kompartemen ditangani dengan mengendalikan
pembengkakan dengan meninggikan ekstremitas setinggi
jantung atau dengan melepaskan alat restriktif (balutan dan
gips). Fasiotomi (dekompresi bedah dengan eksisi fasia)
mungkin diperlukan untuk meredaka fasia otot yang
mengalami kontriksi.
d. Fraktur yang tidak menyatu (non-union) (kegagalan ujung
tulang fraktur untuk menyatu) diterapi dengan fiksasi internal,
tandur tulang (osteogenesis, osteokonduksi, osteoinduksi),
stimulasi tulang elektrik, atau kombinasi dari semua ini.
e. Penatalaksanaan reaksi terhadap alat fiksasi internal mencakup
perlindungan dari refraktur akibat osteoporosis, perubahan
struktur tulang, dan trauma.
f. Penatalaksanaan CRPS mencakup upaya meninggikan
ekstremitas; pereda nyeri, latihan rentang pergerakan; dan
membantu pasien mengatasi nyeri kronis, atrofi otot akibat
tidak digunakan (disuse atrophy) dan osteoporosis. Hindari
memeriksa tekanan darah atau melakukan punki vena di
ekstremitas yang terganggu.
g. Komplikasi lain diterapi sesuai indikasi.
Penatalaksanaan fraktur terbuka (Brunner & Suddarth, 2015):
a. Sasaran penatalaksanaan adalah untuk mencegah infeksi luka,
jaringan lunak, dan tulang serta untuk meningkatkan
pemulihan tulang dan jaringan lunak. Pada kasus fraktur
terbuka, terdapat risiko osteomielitis, tetanus, dan gas
ganggren.
b. Berikan antibiotik IV dengan segera saat pasien tiba di rumah
sakit bersama dengan tetanus toksoid jika diperlukan.
c. Lakukan irigasi luka dan debridemen.
d. Tinggikan ekstremitas untuk meminimalkan edema.
e. Kaji status neurovaskular dengan sering.
39
f. Ukur suhu tubuh pasien dalam interval teratur, dan pantau
tanda-tanda infeksi.
Menurut buku Brunner & Suddarth (2015), Penatalaksanaan
fraktur pada tempat spesifik adalah:
a. Tibia dan Fibula
1) Fraktur Tibia dan Fibula (fraktur paling sering terjadi
dibawah lutut) cenderung terjadi akibat pukulan langsung,
jatuh dengan posisi tungkai fleksi, atau akibat gerakan
memuntir yang keras.
2) Ajarkan tentang langkah perawatan long leg walking cast
atau patella-tendon-bearing cast.
3) Ajarkan dan bantu pasien untuk menopang sebagian berat
badannya, biasanya dalam 7 sampai 10 hari.
4) Ajarkan pasien mengenai perawatan gips atau short leg
brace (dalam 3 sampai 4 minggu), yang memungkinkan
gerakan lutut.
5) Ajarkan pasien tentang perawatan traksi skeletal, jika
dapat diterapkan. Dorong pasien untuk melakukan latihan
pinggul, kaki, dan lutut dalam batasan alat imobilisasi.
6) Instruksikan pasien untuk mulai menopang berat badannya
ketika sudah diprogramkan (biasanya sekitar 4 sampai 8
minggu).
7) Instruksikan pasien untuk meninggikan esktremitas guna
mengontrol edema.
8) Lakukan evaluasi neurovaskular kontinu.
2.1.12 Prognosis
Prognosis dari fraktur tibia fibula untuk kehidupan adalah bonam.
Pada sisi fungsi dari kaki yang cedera, kebanyakan pasien
kembali ke perfoma semula, namun hal ini sangat tergantung dari
gambaran frakturnya, macam terapi yang dipilih, dan bagaimana
40
respon tubuh terhadap pengobatan. Komplikasi infeksi yang
menyebabkan osteomielitis biasanya merupakan akibat dari
fraktur terbuka meskipun tidak jarang terjadi setelah reposisi
terbuka.
2.1.13 Komplikasi
Menurut Abdul Wahid (2013) Komplikasi Fraktur dibagi
menjadi:
a. Komplikasi Awal
1) Kerusakan Vaskular
Pecahnya arteri karena trauma ditandai dengan nadi tidak
teraba, CRT menurun, sianosis bagian distal, hematoma
yang lebar, dan ekstremitas teraba dingin yang
disebabkan oleh tindakan emergencysplinting, perubahan
posisi bagian yang sakit, tindakan reduksi, dan
pembedahan.
2) Sindrom Kompartemen
Sindrom kompartemen merupakan komplikasi serius
yang terjadi karena otot, tulang, saraf, dan pembuluh
darah terjebak dalam jaringan parut. Kondisi ini
disebabkan oleh edema atau perdarahan yang menekan
otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu, juga
disebabkan oleh adanya tekananan dari luar, misalnya
bidai dan pembebatan yang terlalu kuat. Tanda khas
untuk sindrom kompartemen adalah 5P, yaitu: pain
(nyeri lokal), paralysis (kelumpuhan tungkai), pallor
(pucat bagian distal), parestesia (tidak ada sensasi) dan
pulsesessness (tidak ada denyut nadi, perubahan nadi,
perfusi yang tidak baik, dan CRT >3 detik pada bagian
distal kaki).
41
3) Fat Embolism Syndrome (FES)
FES merupakan komplikasi serius yang sering kali
terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi
karena sel lemak yang dihasilkan sumsum tulang kuning
masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen
dalam darah rendah yang ditandai dengan gangguan
pernafasan, takikardia, hipertensi, takipnea, dan demam.
4) Infeksi
Sistem pertahanan tubuh akan rusak jika terdapat trauma
pada jaringan. Pada trauma ortopedik, infeksi dimulai
pada kulit (superfisial) dan pada lapisan kulit bagian
dalam. Kondisi ini biasanya terjadi pada kasus fraktur
terbuka. Selain itu, juga dapat disebabkan oleh
penggunaan bahan lain dalam pembedahan, misalnya pin
dan plat.
5) Avaskular Nekrosis (AVN)
AVN terjadi karena terganggunya aliran darah ke tulang
yang dapat menyebabkan nekrosis tulang dan diawali
dengan adanya Volkman’s ischemia.
6) Syok
Syok terjadi karena kehilangan banyak darah dan
meningkatnya permeabilitas kapiler yang dapat
menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya
terjadi pada fraktur.
b. Komplikasi dalam Waktu Lama
1) Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur
berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan
tulang untuk menyambung. Hal ini disebabkan oleh
penurunan suplai darah ke tulang, kerusakan jaringan
lunak yang berat, atau perioteum yang robek.
42
2) Non-Union
Non-Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi
dan memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan
stabil setelah 6-9 bulan, jika tidak dilakukan intervensi.
Non-Union ditandai dengan adanya pergerakan yang
berlebih pada sisi fraktur yang membentuk celah
antarfraktur atau pseudoartrosis.
3) Mal-Union
Mal-Union merupakan penggabungan fragmen tulang
dalam posisi yang tidak memuaskan (angulasi, rotasi,
atau pemendekan). Pada Mal-Union dilakukan
pembedahan dan remobilisasi yang baik.
2.2 Tinjauan Teoritis Keperawatan
2.2.1 Pengkajian
Pengkajian pada gangguan muskuloskeletal adalah salah satu dari
komponen usaha yang dilakukan oleh dokter untuk menetapkan
diagnosis yang optimal. Data tentang kondisi fisik, emosi,
pertumbuhan, dan perkembangan, sosial, kebudayaan, intelektual,
dan aspek spiritual menjadi materi pengting dalam melakukan
pengkajian (Zairin, 2013).
2.2.1.1 Identitas atau biodata klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, pendidikan,
pekerjaan, status perkawinan, agama, suku/bangsa, tanggal
masuk rumah sakit, diagnosa medis, dan nomor rekam
medik.
2.2.1.2 Keluhan utama
Diisi tentang keluhan yang dirasakan klien pada saat
perawat melakukan pengkajian pada kontak pertama
dengan klien. Pada umumnya keluhan utama pada kasus
43
muskuloskeletal adalah rasa nyeri hebat. Untuk
memperoleh pengkajian yang lengkap mengenai rasa nyeri
klien, perawat dapat menggunakan PQRST.
a. Provokingincident : pengkajian untuk menentukan
faktor atau peristiwa yang mencetuskan keluhan nyeri.
b. Quality of pain : pengkajian sifat keluhan (karakter),
seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan
pasien.
c. Region, refered : pengkajian untuk menentukan area
atau lokasi keluhan nyeri, apakah nyeri menyebar dan
apakah nyeri menjalar ke area lain.
d. Scale of pain : pengkajian seberapa jauh rasa nyeri
yang dirasakan pasien.
e. Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah
bertambah buruk pada malam hari dan siang hari.
2.2.1.3 Riwayat kesehatan
Pengkajian riwayat kesehatan diperlukan untuk
mendukung hasil anamnesis keluhan utam. Setiap keluhan
utama yang dinyatakan oleh penderita perlu diklarifikasi
secara lengkap dengan menggali riwayat kesehatan.
Riwayat kesehatan yang diperlukan, meliputi riwayat
penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat
penyakit keluarga, serta riwayat psiko-sosio-spiritual
(Zairin, 2013).
a. Riwayat penyakit sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan
sebab dari fraktur, yang nantinya membantu dalam
membuat rencana tindakan terhadap klien.
Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut
sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi
dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan
44
mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa
diketahui luka kecelakaan yang lain. Pengkajian
lainnya yang juga penting adalah pengkajian pada
status kesehatan secara umum dan sistem lainnya yang
berhubungan dengan penjadwalan operasi (pada pasien
yang direncanakan operasi selektif), meliputi status
sistem kardiovaskular, pernapasan, perkemihan, dan
gastrointestinal yang semuanya bisa berpengaruh pada
jenis pembiusan secara umum.
b. Riwayat penyakit dahulu
Penyakit-penyakit yang dialami sebelumnya yang
kemungkinan mempunyai hubungan dengan masalah
yang dialami pasien sekarang, seperti apakah pasien
pernah mengalami fraktur atau trauma sebelumnya,
peningkatan kadar gula darah, atau tekanan darah
tinggi. Hal lain yang perlu ditanyakan adalah
penggunaan obat-obatan yang digunakan oleh pasien
sebelumnya perlu dilakukan karena dapat menimbulkan
komplikasi misalnya pemakaian kortison dapat
menimbulkan nekrosis avaskular pada panggul. Selain
itu ditanyakan pula pada pasien tentang adanya riwayat
alergi terhadap obat-obatan.
c. Riwayat penyakit keluarga
Penelusuran riwayat keluarga sangat penting, karena
beberapa penyakit muskuloskeletal berkaitan dengan
kelainan genetik dan dapat diturunkan. Perlu
ditanyakan apakah pada generasi terdahulu ada yang
mengalami keluhan sama dengan keluhan pasien saat
ini.
d. Riwayat psiko-sosio-spiritual
Kaji respon emosi klien terhadap penyakit yang
dideritanya, peran klien dalam keluarga dan
45
masyarakat, serta repon dan pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-hari, baik dalam keluarga maupun
dalam masyarakat.
e. Pola-pola fungsi kesehatan (Abdul wahid, 2013):
1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan
terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus
menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk
membantu penyembuhan tulangnya.
2) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi
melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium,
zat besi, protein, Vitamin C dan lainnya untuk
membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi
terhadap pola nutrisi klien bisa membantu
menentukan penyebab masalah muskoluskeletal
dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang
tidak adekuat terutama kalsium atau protein.
3) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur cruris tidak ada gangguan pada
pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga
dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feses
pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola
eliminasi urin dikaji frekuensi, kepekatannya,
warna, bau, dan jumlah.
4) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka
semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang
dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh
orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk
aktivitas klien terutama pekerjaan klien.
46
5) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam peran dalam
keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien
harus menjalani rawat inap.
6) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu
timbul ketidakutan akan kecacatan akibat
frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan
untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah.
7) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanyaberkurang terutama
pada bagian distal fraktur, sedang pada indera yang
lain tidak timbul gangguan. Begitu juga pada
kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu
juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur.
8) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa
melakukan hubungan seksual karena harus
menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta
rasa nyeri yang dialami klien.
9) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang
keadaan dirinya, yaitu timbul kecacatan pada diri
dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang
ditempuh klien bisa tidak efektif.
10) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan
kebutuhan beribadah dengan baik terutama
frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan
karena nyeri dan keterbatasan gerak klien.
47
2.2.2 Pemeriksaan Fisik
Menurut Zairin (2013), ada dua macam pemeriksaan fisik, yaitu
pemeriksaan umum (status general) untuk mendapatkan gambaran
umum dan pemeriksaan setempat (lokal). Pengkajian fisik ini
dilakukan sebagaimana pengkajian fisik lainnya dan bertujuan
untuk mengklarifikasi hasil temuan dari anamnesis, untuk
mengevaluasi keadaan fisik pasien secara umum, serta melihat
apakah ada indikasi penyakit lainnya selain kelainan
muskuloskeletal.
a. Gambaran umum
1) Keadaan umum
Keadaan baik dan buruknya klien. Tanda-tanda vital tidak
normal karena ada gangguan lokal,baik fungsi maupun
bentuk. Adanya defisit neurologis dan status kesadaran pada
fase awal kejadian trauma, terutama pada klien yang
menunjukkan tanda cedera spina tidak stabil. Setiap ada
perubahan keadaan umum, tanda vital, defisit neurologis,
dan tingkat kesadaran secara bermakna, harus secepatnya
dilakukan kolaborasi dengan dokter.
b. Secara sistemik dari kepala sampai kelamin (Abdul wahid,
2013)
1) Sistem integumen
Terdapat eritema, suhu sekitar daerah trauma meningkat,
bengkak, odema, nyeri tekan.
2) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan,
tidak ada nyeri kepala.
3) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan,
refleks menelan ada.
48
4) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan
fungsi maupun bentuk. Tidak ada lesi, simetris, dan
oedema.
5) Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karen
tidak terjadi perdarahan).
6) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak
ada lesi atau nyeri tekan.
7) Hidung
Tidak ada deformitas, tidak ada pernafasan cuping hidung.
8) Mulut dan Faring
Tidak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan,
mukosa mulut tidak pucat.
9) Thoraks
Tidak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada
simetris.
10) Paru
a) Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung
pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan
paru.
b) Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
c) Perkusi
Suara ketok sonor, tidak ada redup atau suara tambahan
lainnya.
d) Auskultasi
Suara nafas normal, tidak ada wheezing, atau suara
tambahan lainnya seperti stidor dan ronchi.
49
11) Jantung
a) Inspeksi
Tidak tampak ictus cordis.
b) Palpasi
Nadi meningkat, ictus tidak teraba.
c) Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tidak ada mur-mur.
12) Abdomen
a) Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
b) Palpasi
Turgor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak
teraba
c) Auskultasi
Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
13) Genetalia
Tidak ada hernia, tidak ada pembesaran limfe, tidak ada
kesulitan BAB.
c. Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal
terutama mengenai status neurovaskuler (untuk status
neurovaskuler → 5 P yaitu Pain, Palor, Parestesia, Pulse,
Pergerakan. Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah
(Abdul wahid, 2013)
1) Look (Inspeksi)
Terlihat adanya luka pada tungkai bawah dengan deformitas
yang jelas. Kaji berapa luas kerusakan jaringan lunak yang
terlibat. Kaji apakah pada luka terbuka ada fragmen tulang
yang keluar dan apakah ada kerusakan arteri yang beresiko
meningkatkan respons syok hipovolemik. Pada fase awal
trauma, sering didapatkan adanya serpihan didalam luka,
50
terutama pada trauma kecelakaan lalu lintas darat yang
mempunyai indikasi untuk risiko tinggi infeksi.
Kaji adanya keluhan nyeri lokal hebat disertai parastesia,
perubahan nadi, perfusi yang tidak baik (akral dingin dan
pucat pada sisi lesi), dan CRT >3 detik pada bagian distal
kaki yang merupakan respons terhadap pembengkakan pada
bagian proksimal betis.
Hal ini merupakan tanda-tanda penting terjadinya sindrom
kompartemen yang harus dihindari perawat. Apabila tidak
segera dilakukan intervensi lebih dari 6 jam dalam batas
waktu kemampuan jaringan perifer, akan terjadi nekrosis
jaringan distal.
Pada kondisi klinis, perawat sering menemukan klien
fraktur kruris terbuka dengan komplikasi lanjut. Komplikasi
tersebut adalah non-union akibat infeksi dan kerusakan
jaringan lunak luas yang menyebabkan asuhan keperawatan
yang lama (Muttaqin, 2018).
2) Feel (Palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita
diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada
dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan
informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien. Yang
perlu dicatat adalah: Apabila ada pembengkakan, apakah
terdapat fluktuasi atau odema terutama disekitar persendian,
nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3
proksimal, tengah atau distal)
(Abdul wahid, 2013).
3) Move
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan
dengan menggerakan ekstremitas dan dicatat apakah
51
terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup
gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum
dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran
derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi
netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini
menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau
tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan
pasif (Abdul wahid, 2013).
2.2.3 Pemeriksaan Penunjang
2.2.3.1 Pemeriksaan Khusus
a) Sinar X
Sinar X diperlukan untuk pengkajian paripurna struktur
yang sedang diperiksa. Sinar X korteks tulang dapat
menunjukkan adanya pelebaran, penyempitan, dan
tanda iregularitas.
b) CT Scan (Computed Tomografi Scan)
CT Scan digunakan untuk mengidentifikasi lokasi dan
panjangnya patah tulang didaerah yang sulit dievaluasi,
seperti asetabulum. Pemeriksaan dilakukan bisa dengan
atau tanpa kontras dan berlangsung sekitar satu jam.
c) MRI (Magnetic Resonance Imaging)
MRI adalah teknik pencitraan khusus, non invasif yang
menggunakan medan magnet, gelombang radio, dan
komputer untuk memperlihatkan abnormalitas, misal
tumor atau penyempitan jaringan lunak.
d) Angiografi
Angiografi adalah pemeriksaan sistem arteri.
Pemeriksaan ini sangat baik untuk mengkaji perfusi
arteri dan bisa digunakan untuk indikasi tindakan
amputasi yang akan dilaksanakan. Perawatan setelah
dilakukan prosedur yaitu, klien dibiarkan berbaring
52
selama 12-24 jam untuk mencegah perdarahan pada
tempat penusukan arteri.
e) Mielografi
Suatu pemeriksaan dengan menyuntikkan bahan
kontras kedalam rongga subarakhnoid spinal lumbal,
dilakukan untuk melihat adanya herniasi diskus,
stenosis spinal (penyempitan kanalis spinalis) atau
adanya tumor.
f) Artroskopi
Merupakan prosedur endoskopi yang memungkinkan
pandangan langsung kedalam sendi. Pemeriksaan ini
dilakukan dikamar operasi, dan memerlukan anastesi
lokal atau umum sebelumnya.
g) Skintigrafi Tulang (Pemindai Tulang)
Menggambarkan derajat sejauh mana matriks tulang
“mengambil” isotop radioaktif khusus tulang yang
diinjeksikan kedalam sistem tersebut. Pemindai
dilakukan empat sampai enam jam setelah isotop
diinjeksikan.
h) Termografi
Mengukur derajat pancaran panas dari permukaan kulit.
Kondisi inflmasi seperti artitis dan infeksi, neoplasma
harus dievaluasi.
i) Elektromiografi
Memberi informasi mengenai potensial listrik otot dan
saraf yang menyarafi. Tujuannya adalah menentukan
abnormalitas fungsi unit motor end.
(Lukman & Ningsih, 2012).
2.2.3.2 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap meliputi kadar hemoglobin dan
hitung sel darah putih. Pemeriksaan darah dan urine dapat
53
memberikan informasi penyakit Paget, infeksi, serta acuan
pemberian tetapi antikoagulan. Pemeriksaan kimia darah
memberikan data mengenai berbagai macam kondisi
muskuloskeletal. Kadar kalsium serum berubah pada
osteomalasia, fungsi paratiroidm penyakit Paget, tumor
tulang metastatis, dan pada imobilisasi lama
(Lukman & Ningsih, 2012).
2.2.4 Diagnosa keperawatan
2.2.4.1 Nyeri akut berhubungan dengan spasme otot, gerakan
fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak,
pemasangan traksi, stress/ansietas.
2.2.4.2 Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan
rangka neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif (imobilisasi).
2.2.4.3 Gangguan integritas kulit berhubungan dengan fraktur
terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat, sekrup).
2.2.4.4 Resiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan
pertahanan primer (kerusakan kulit, trauma jaringan lunak,
prosedur invasif/traksi tulang).
2.2.4.5 Kurang pengetahuan tentang kondisi,prognosis dan
kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang
terpajan atau salah interpersi terhadap informasi,
keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi
yang ada.
2.2.4.6 Gangguan citra tubuh berhubungan dengan pemasangan
fiksasi eksterna, rencana amputasi.
2.2.4.7 Resiko cedera berhubungan dengan hilangnya kekuatan
otot dan sendi.
2.2.4.8 Ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan
mengenai proses penyakitnya.
54
2.2.4.9 Resiko tinggi syok hipovolemik berhubungan dengan
hilangnya darah dari luka terbuka, kerusakan vaskular, dan
cedera pada pembuluh darah.
2.2.5 Intervensi Keperawatan
Tabel 2.1 Diagnosa, Intervensi dan Rasional
No Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional
1 Nyeri akut
berhubungan
dengan spasme
otot, gerakan
fragmen tulang,
edema, cedera
jaringan lunak,
pemasangan
traksi,
stress/ansietas
Klien mengatakan
nyeri berkurang
atau hilang dengan
menunjukkan
tindakan santai,
mampu
berpartisipasi dalam
beraktivitas, tidur,
istirahat dengan
tepat, menunjukkan
penggunaan
keterampilan
relaksasi dan
aktivitas terapeutik
sesuai indikasi
untuk situasi
individual.
1. Kaji keluhan
nyeri (skala,
petunjuk verbal
dan non verbal,
perubahan tanda-
tanda vital).
2. Tinggikan posisi
esktremitas yang
terkena.
3. Lakukan dan
awasi latihan
gerak. pasif/aktif .
4. Ajarkan
penggunaan
teknik
manajemen nyeri
(latihan nafas
dalam, imajinasi
visual, aktivitas
dipersional).
5. Kolaborasi
pemberian
analgetik sesuai
indikasi.
1. Menilai
perkembangan
masalah klien.
2. Meningkatkan
aliran balik vena,
mengurangi
edema/nyeri.
3. Mempertahankan
kekuatan otot dan
meningkatkan
sirkulasi vaskular.
4. Mengalihkan
perhatian terhadap
nyeri,
meningkatkan
kontrol terhadap
nyeri yang
mungkin
berlangsung lama.
5. Menurunkan nyeri
melalui
mekanisme
penghambatan
rangsang nyeri
baik secara sentral
maupun perifer.
2 Ganguan
mobilitas fisik
berhubungan
dengan
kerusakan
rangka
neuromuskular,
nyeri, terapi
restriktif
Klien dapat
meningkatkan/mem
empertahankan
mobilitas pada
tingkat paling tinggi
yang mungkin
dapat
mempertahankan
posisi fungsional
1. Kaji kemampuan
mobilisasi klien
dan program
imobilisasi.
2. Bantu latihan
rentang gerak
pasif aktif pada
1. Menilai
perkembangan
masalah klien.
2. Meningkatkan
sirkulasi darah
muskuloskeletal,
55
(imobilisasi) meningkatkan
kekuatan/fungsi
yang sakit dan
kompensasi bagian
tubuh menunjukkan
teknik yang
memampukan
melakukan
aktivitas.
ekstremitas yang
sakit maupun
yang sehat sesuai
keadaan klien.
3. Ubah posisi
secara periodik
sesuai keadaan
klien.
4. Berikan papan
penyangga kaki,
gulung
troknter/tangan
sesuai indikasi.
5. Kolaborasi
pelaksanaan
fisioterapi sesuai
indikasi.
mempertahankan
tonus otot,
mempertahankan
gerak sendi.
3. Menurunkan
insoden
komplikasi kulit
dan pernapasan
(dekubitus,
atelektasis,
penumonia).
4. Mempertahankan
posisi fungsional
ekstremitas.
5. Kerjasama dengan
fisioterapis perlu
untuk menyusun
program aktivitas
fisik secara
individual.
3 Gangguan
integritas kulit
berhubungan
dengan fraktur
terbuka,
pemasangan
traksi (pen,
kawat, sekrup)
Klien menyatakan
ketidaknyamanan
hilang,
menunjukkan
perilaku teknik
untuk mencegah
kerusakan
kulit/memudahkan
penyembuhan
sesuai indikasi,
mencapai
penyembuhan luka
sesuai
waktu/penyembuha
n lesi terjadi
1. Observasi
keadaan kulit,
penekanan
gips/bebat
terhadap kulit,
inserasi
pen/traksi.
2. Pertahankan
tempat tidur yang
nyaman dan aman
(kering, bersih,
alat tenun
kencang, bantalan
bawah siku,
tumit).
3. Massase kulit
terutama daerah
penonjolan tulang
dan area distal
bebat/gips.
4. Lindungi kulit
dan gips pada
daerah perianal.
1. Menilai
perkembangan
masalah klien.
2. Menurunkan
resiko
kerusakan/abrasi
kulit yang lebih
luas.
3. Meningkatkan
sirkulasi perifer
dan meningkatkan
kelemasan kulit
dan otot terhadap
tekanan yang
relatif konstan
pada imobilisasi.
4. Mencegah
gangguan
integritas kulit dan
jaringan akibat
kontaminasi fekal.
4 Resiko infeksi
berhubungan
dengan
Klien mencapai
penyembuhan luka
sesuai waktu, bebas
1. Observasi tanda-
tanda vital dan
tanda-tanda
1. Mengevaluasi
perkembangan
masalh klien.
56
ketidakadekuata
n pertahanan
primer
(kerusakan
kulit, trauma
jaringan lunak,
prosedur
invasif/traksi
tulang)
drainase purulen
atau eritema dan
demam.
peradangan lokal
pada luka.
2. Analisa hasil
pemeriksaan
laboratorium
(hitung darah
lengkap, LED,
kultur dan
sensitivitas
luka/serum/tulang
).
3. Lakukan
perawatan
penstreril dan
perawatan luka
sesuai protokol.
4. Ajarkan klien
untuk
mempertahankan
sterilitas inserasi
pen.
5. Kolaborasi
pemberian
antibiotika dan
toksoid tetanus
sesuai indikasi.
2. Leukositosis
biasanya terjadi
pada proses
infeksi, anemia
dan peningkatan
LED dapat terjadi
pada osteomielitis.
3. Mencegah infeksi
sekunder dan
mempercepat
penyembuhan
luka.
4. Meminimalkan
kontaminasi.
5 Kurang
pengetahuan
tentang kondisi,
prognosis dan
kebutuhan
pengobatan
berhubungan
dengan kurang
terpajan atau
salah
interpretasi
terhadap
informasi,
keterbatasan
kognitif, kurang
akurat/lengkapn
ya informasi
yang ada.
Klien akan
menunjukkan
pengetahuan
meningkat dengan
kriteria klien
mengerti dan
memahami tentang
penyakitnya.
1. Kaji kesiapan
klien mengikuti
program
pembelajaran.
2. Diskusikan
metode mobilitas
dan ambulasi
sesuai program
terapi fisik.
3. Ajarkan
tanda/gejala klinis
yang memerlukan
evaluasi medik
(nyeri berat,
demam,
perubahan sensasi
kulit distal
cedera).
1. Efektivitas proses
pembelajaran
dipengaruhi oleh
kesiapan fisik dan
mental klien untuk
mengikuti
program
pembelajaran.
2. Meningkatkan
partisipasi dan
kemandirian klien
dalam
perencanaan dan
pelaksanaan
program terapi
fisik.
3. Meningkatkan
kewaspadaan
klien untuk
mengenali
tanda/gejala dini
yang memerlukan
intervensi yang
lanjut.
57
4. Persiapkan klien
utnuk mengikuti
terapi
pembedahan bila
diperlukan.
5. Jelaskan kapan
klien harus
kontrol (periksa
ulang).
4. Upaya
pembedahan
mungkin
diperlukan untuk
mengatasi
masalah sesuai
kondisi klien.
5. Memberikan
gambaran tentang
perkembangan
penyakit dalam
rangka proses
penyembuhan
penyakit.
6 Gangguan citra
tubuh
berhubungan
dengan
pemasangan
fiksasi eksterna,
rencana
amputasi.
Klien mampu
mengimplementasik
an pola koping
yang baru dan
mengungkapkan,
serta menunjukkan
rasa percaya diri.
1. Motivasi klien
untuk
mengungkapkan
rasa takut dan
kecemasannya
dalam
menghadapi
proses penyakit.
2. Berikan
dukungan
emosional yang
sesuai.
3. Identifikasi
kekuatan/kelebiha
n lain yang
dimiliki oleh
klien agar dapat
membantu fokus
klien pada konsep
diri yang baru.
4. Fasilitasi
lingkungan dan
aktivitas yang
dapat
meningkatkan
harga diri klien.
1. Kondisi ini dapat
membantu untuk
menyadari
keadaan diri klien.
2. Hal ini dapat
membantu
meningkatkan
upaya penerimaan
dirinya.
3. Aspek positif yang
dimiliki klien
sangat
berkontribusi
dalam
pembentukan
konsep
penerimaan
dirinya.
4. Modifikasi
lingkungan dapat
membantu klien
untuk beradaptasi
dengan
lingkungannya.
7 Resiko cedera
berhubungan
dengan
hilangnya
kekuatan otot
dan sendi.
Klien terbebas dari
cedera dan mampu
menjelaskan
cara/metode untuk
mencegah
terjadinya cedera.
1. Anjurkan klien
untuk
menggunakan
sepatu untuk
menyokong.
1. Untuk
menghindari
cedera yang
mungkin terjadi
akibat jatuh.
58
2. Berikan
lingkungan yang
aman, misalnya
hindari lantai
yang licin dan
gunakan
pegangan
dikamar mandi.
3. Motivasi klien
untuk
menggunakan alat
bantu ambulasi
(misalnya tongkat
atau walker).
4. Motivasi klien
dan keluarga
untuk
mempertahankan
aktivitas sehari-
hari sesuai
kemampuan.
2. Untuk
menghindari
cedera yang
mungkin terjadi
akibat jatuh.
3. Mempertahankan
aktivitas normal
dengan
meminimalkan
resiko jatuh
4. Meningkatkan
mobilitas dan
kekuatan otot,
serta
mempertahankan
fungsi gerak
semaksimal
mungkin.
8 Ansietas
berhubungan
dengan
kurangnya
pengetahuan
mengenai proses
penyakitnya.
Klien mampu
mengidentifikasi
dan
mengungkapkan
gejala ansietas,
serta mampu
menunjukkan
teknik untuk
mengontrol
ansietas.
1. Kaji tingkat
ansietas pasien.
2. Berikan
lingkungan yang
tenang di mana
pasien merasa
diterima untuk
mendiskusikan
perasaan.
3. Ajarkan pasien
metode untuk
menurunkan
kecemasan
(misalnya teknik
nafas dalam,
distraksi,
visualisasi,
meditasi,
relaksasi otot
progresif, dan
mendengarkan
musik yang
menyenangkan)
jika diperlukan.
4. Berikan informasi
yang benar tentan
prosedur yang
1. Mengetahui tingkat
kecemasan pasien
dan menentukan
intervensi
selanjutnya.
2. Membantu klien
agar pasien merasa
diterima dan
diperhatikan.
3. Membantu pasien
untuk mengetahui
cara mengatasi
ansietas.
4. Agar pasien
mengerti tentang
penyakitnya dan
59
akan dijalani
pasien.
5. Beri dukungan
spiritual.
tidak cemas lagi.
5. Memberikan
pemahaman bahwa
selain pengobatan
dan perawatan
masih ada yang
lebih kuasa
menyembuhkan
penyakitnya.
9. Resiko tinggi
syok
hipovolemik
berhubungan
dengan
hilangnya darah
dari luka
terbuka,
kerusakan
vaskular, dan
cedera pada
pembuluh darah
Klien tidak
mengeluh pusing,
membran ukosa
lembab, turgor kulit
norma, TTP dalam
batas norma, CRT
<3 detik, urin >600
ml/hari.
1. Kaji warna kulit,
suhu, nadi perifer,
dan diaforesis
secara teratur.
2. Pantau status cairan
( turgor kulit,
membran
mukosa, halu aran
urine ).
3. Auskultasi tekanan
darah.
4. Pantau frekuensi
kehilangan cairan.
5. Kolaborasi
pemberian cairan
intervena.
1. Mengetahui adanya
pengaruh
peningkatan tekanan
perifer.
2. Jumlah dan tipe
cairan pengganti di
tentukan oleh
keadaan status
cairan.
3. Hipotensi dapat
terjadi pada
hipovolemi yang
menunjukkan
terjadinya sistem
kardiovaskuler
untuk melakukan
kompensasi
mempertahankan
tekanan darah.
4. Kehilangan cairan
dapat berasal dari
faktor ginjal.
Penyakit yang
mendasari
terjadinya
kekurangan volume
cairan ini juga harus
di atasi. Perdarahan
harus di kendalikan.
5. Jalur yang paten
penting untuk
pemberian cairan
yang cepat dan
memudahkan
perawat dalam
melakukan kontrol
asupan dan haluaran
cairan.