28
125 Bab 5 Istri Nelayan dan Kegiatan Produktif Makna Kegiatan Produktif Kegiatan produktif merupakan fenomena yang umum dan merupakan suatu kebutuhan individu untuk pemenuhan kebutuhan hidup ekonomi. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa bekerja atau kerja memiliki nilai bagi kehidupan manusia. Ross (1999) menyatakan bahwa banyak peneliti mengidentifikasi tiga tipe nilai kerja yakni: (a) nilai kerja intrinsik paralel dengan nilai-nilai: kekuasaan, kepentingan, kemajuan dan kreativitas dalam pekerjaan, (b) nilai kerja ekstrinsik paralel dengan aspek pendapatan demi keberlangsungan dan ketahanan hidup manusia dan (c) nilai sosial atau personal dari kerja paralel dengan nilai transedence diri sendiri, bekerja dipandang sebagai alat positif bagi hubungan sosial serta dapat memberi sumbangan bagi masyarakat. Taraf hidup masyarakat pesisir yang rendah merupakan sebuah fakta empiris yang terlihat pada sebagian besar rumah tangga nelayan. Hal ini terjadi karena berbagai sebab antara lain pekerjaan melaut sangat bergantung pada musim dan hasil tangkapan serta tingginya biaya setiap kali melaut. Pola hidup masyarakat pesisir yang relatif boros, budaya nrimo ing pandum atau menerima yang menjadi haknya, ono dino ono upo atau ada hari ada makanan juga berkontribusi terhadap keadaan tersebut. Oleh karena itu, sebagian istri nelayan akhirnya memilih untuk keluar dari zona nyaman sebagai ibu rumah tangga atau pada ranah domestik dan melakukan kegiatan produktif

Bab 5 Istri Nelayan dan Kegiatan Produktifrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/6/D_902009007_BAB V.pdfatau kerja memiliki nilai bagi kehidupan manusia. Ross (1999) menyatakan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Bab 5 Istri Nelayan dan Kegiatan Produktifrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/6/D_902009007_BAB V.pdfatau kerja memiliki nilai bagi kehidupan manusia. Ross (1999) menyatakan

125

Bab 5

Istri Nelayan dan Kegiatan Produktif

Makna Kegiatan Produktif

Kegiatan produktif merupakan fenomena yang umum dan merupakan suatu kebutuhan individu untuk pemenuhan kebutuhan hidup ekonomi. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa bekerja atau kerja memiliki nilai bagi kehidupan manusia. Ross (1999) menyatakan bahwa banyak peneliti mengidentifikasi tiga tipe nilai kerja yakni: (a) nilai kerja intrinsik paralel dengan nilai-nilai: kekuasaan, kepentingan, kemajuan dan kreativitas dalam pekerjaan, (b) nilai kerja ekstrinsik paralel dengan aspek pendapatan demi keberlangsungan dan ketahanan hidup manusia dan (c) nilai sosial atau personal dari kerja paralel dengan nilai transedence diri sendiri, bekerja dipandang sebagai alat positif bagi hubungan sosial serta dapat memberi sumbangan bagi masyarakat.

Taraf hidup masyarakat pesisir yang rendah merupakan sebuah fakta empiris yang terlihat pada sebagian besar rumah tangga nelayan. Hal ini terjadi karena berbagai sebab antara lain pekerjaan melaut sangat bergantung pada musim dan hasil tangkapan serta tingginya biaya setiap kali melaut. Pola hidup masyarakat pesisir yang relatif boros, budaya nrimo ing pandum atau menerima yang menjadi haknya, ono dino ono upo atau ada hari ada makanan juga berkontribusi terhadap keadaan tersebut. Oleh karena itu, sebagian istri nelayan akhirnya memilih untuk keluar dari zona nyaman sebagai ibu rumah tangga atau pada ranah domestik dan melakukan kegiatan produktif

Page 2: Bab 5 Istri Nelayan dan Kegiatan Produktifrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/6/D_902009007_BAB V.pdfatau kerja memiliki nilai bagi kehidupan manusia. Ross (1999) menyatakan

MELAMPAUI “KASUR - SUMUR - DAPUR”

126

atau pada ranah publik untuk mendapatkan pendapatan agar lebih mampu memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga sehingga mereka dapat keluar dari belenggu kemiskinan.

Kegiatan produktif dapat diartikan sebagai sebuah kegiatan dengan alokasi sumber daya seperti tenaga, waktu, dana tertentu dengan orientasi untuk memperoleh sejumlah pendapatan sebagai hasil kegiatan yang dilakukan. England & Ruiz Quintanilla (1994) dalam proyek Meaning of Work mengidentifikasi tiga kategori tujuan melakukan kegiatan produktif yakni: (a) sosial, (b) ekspresi atau perasaan dan (c) instrumental. Kategori tersebut paralel dengan tipe sosial, intrinsik dan ekstrinsik yang diturunkan dari teori nilai- nilai dasar manusia. Dengan demikian pekerjaan yang dilakukan oleh istri nelayan dapat digolongkan ke dalam kegiatan produktif dan kegiatan non produktif. Kegiatan non produktif meliputi kegiatan yang terkait dengan pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mencuci pakaian, membersihkan rumah, mengurus anak dan sebagainya. Hal ini juga disebut pekerjaan yang meliputi kasur-sumur-dapur. Kasur mengandung arti pekerjaan yang berkaitan dalam melayani suami dan anak. Sumur pekerjaan yang berkaitan dengan mencuci atau membersihkan rumah dan dapur pekerjaan untuk menyiapkan konsumsi bagi anggota rumah-tangganya. Seperti telah dijelaskan di depan, ada beberapa pekerjaan yang dilakukan oleh sebagian istri nelayan tradisional dan pekerjaan tersebut memberikan hasil finansial atau pendapatan bagi mereka. Inilah yang disebut dengan kegiatan produktif.

Kegiatan produktif yang dilakukan oleh istri nelayan tradisional umumnya bersifat independen. Mereka melakukan kegiatan produktif sebagai wirausaha dengan berbagai variasi jenis pekerjaannya, kebanyakan kegiatan usaha mereka bersifat mikro. Wilayah penelitian yakni di Kecamatan Rowosari, Kabupaten Kendal, sangat jarang ditemui istri nelayan yang bekerja sebagai buruh untuk mendapatkan upah.

Kemampuan untuk melengkapi peran suami atau nelayan sebagai mesin pendapatan rumah tangga ini merupakan sebuah bentuk

Page 3: Bab 5 Istri Nelayan dan Kegiatan Produktifrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/6/D_902009007_BAB V.pdfatau kerja memiliki nilai bagi kehidupan manusia. Ross (1999) menyatakan

BAB 5 – ISTRI NELAYAN DAN KEGIATAN PRODUKTIF

127

fenomena empiris. Apabila pada struktur masyarakat kota, perempuan dituntut untuk bekerja sebagai bentuk aktualisasi diri, namun mereka lazimnya dibekali dengan pendidikan yang memadai, sehingga akses ke lapangan kerja formal lebih mudah. Tidak demikian pada kondisi nelayan pesisir. Istri nelayan dituntut untuk melakukan kegiatan produktif tanpa dibekali dengan pendidikan yang memadai serta kemudahan akses pekerjaan. Dorongan untuk melakukan kegiatan produktif muncul sebagai respon akan upaya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga dan keinginan untuk beraktualisasi. Istri nelayan mengakui bahwa salah satu dorongan terbesar yang membuat mereka melakukan kegiatan produktif adalah untuk membantu suami mencari tambahan pendapatan rumah-tangganya, sehingga akan terdapat pembagian beban antara suami dan istri terkait dengan pekerjaan rumah tangga.

Tidak semua istri nelayan tradisional mau dan mampu melakukan kegiatan produktif. Sebagian kecil istri nelayan di Kecamatan Rowosari melakukan kegiatan produktif, sebagian lainnya memilih tidak melakukan kegiatan produktif. Alasan mereka yang memilih tidak melakukan kegiatan produktif sederhana antara lain masih harus mengurus anak-anaknya yang masih kecil, adapula karena malu dan malas. Mereka lebih memilih menunggu suami pulang dari laut dan membawa hasil. Hasil itulah yang akan dipergunakan untuk hidup cukup atau tidak cukup. Inilah yang menyebabkan banyak rumah tangga nelayan tradisioanal yang terbelit utang, karena biasanya ketika pendapatan suami atau nelayan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah-tangganya maka nelayan biasanya berutang kepada pihak ketiga. Pihak ketiga tersebut bisa pedagang ikan, juragan atau lembaga keuangan seperti BRI, Koperasi dan sebagainya. Memang keputusan kaum perempuan untuk berusaha agar memperoleh pendapatan atau melakukan kegiatan produktif merupakan keputusan yang sangat kasuistis, tergantung pada masing-masing individu. Sebagaimana dinyatakan oleh Hakim (2002), bahwa posisi kaum perempuan di pasar tenaga kerja sesungguhnya tidak ada hambatan apapun dan hal itu mencerminkan suatu pilihan mereka sendiri. Meskipun menurut Hunga dalam Candraningrum Dewi (2013)

Page 4: Bab 5 Istri Nelayan dan Kegiatan Produktifrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/6/D_902009007_BAB V.pdfatau kerja memiliki nilai bagi kehidupan manusia. Ross (1999) menyatakan

MELAMPAUI “KASUR - SUMUR - DAPUR”

128

kegiatan produktif yang dilakukan perempuan kondisinya “tersembunyi”, hal ini demi untuk kepentingan kapitalis dan patriaki sehingga proses marginalisasi lebih dirasakan perempuan.

Hakim (2002) menunjukkan fakta di negara maju dan makmur tidak ada kendala atau hambatan kaum perempuan untuk memutuskan pilihannya antara bekerja di rumah atau bekerja untuk karier. Lebih lanjut Hakim menyatakan “ ...that there are three qualitatively different types of women, who differs among one another in their preferences about work and home : (a) the home – centred , who prefer a home life labour market work , (b) the work – centred , of whom many are childless and all have strong commitment in their employment careers ,and ( c ) the adaptive , who want to do some labour market work but do not commit themselves to their careers. Berbeda dengan Hakim, Crampton & Harris, 1999) melihat keterlibatan kaum perempuan dalam kegiatan rumah (home work activities) maupun market activities lebih didasarkan pada peran sosial dan ekonominya. Mengacu pada pemikiran Becker (1965), bahwa alokasi sumber daya rumah tangga untuk berbagai kegiatan senantiasa berorientasi pada upaya untuk maksimisasi utilitas.

Istri Nelayan dan Tuntutan Melakukan Kegiatan Produktif Pandangan mengenai rumah tangga nelayan memang tidak jauh dari kemiskinan, ketidakpastian pendapatan dan beragam fenomena sosial lainnya seperti pendidikan yang rendah, budaya boros, budaya nrimo ing pandum atau menerima apa yang sudah dibagikan. Rumah tangga nelayan senantiasa dituntut memenuhi kebutuhan ekonominya di tengah ketidakpastian pendapatan suami dari kegiatan melaut. Nelayan tidak dapat melaut setiap hari karena berbagai sebab seperti harus membantu pekerjaan istri, faktor iklim atau cuaca, kelangkaan bahan bakar, keterbatasan modal dan sebagainya. Jikalau melaut pun hasilnya tidak pasti besarnya, belum lagi resiko yang harus ditanggung ketika melaut, baik resiko tidak mendapat hasil, resiko teknis, maupun resiko keselamatan.

Page 5: Bab 5 Istri Nelayan dan Kegiatan Produktifrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/6/D_902009007_BAB V.pdfatau kerja memiliki nilai bagi kehidupan manusia. Ross (1999) menyatakan

BAB 5 – ISTRI NELAYAN DAN KEGIATAN PRODUKTIF

129

Kondisi di tengah keterbatasan inilah yang menyebabkan istri nelayan tradisional terdorong mengambil peran untuk membantu ekonomi rumah-tangganya. Para istri nelayan ini akhirnya memilih untuk melakukan kegiatan produktif guna menambah pendapatan rumah tangga.Variasi kegiatan produktif yang dilakukan oleh para istri nelayan tradisional biasanya tidak jauh dari kegiatan kenelayanan atau kegiatan yang terkait dengan kehidupan sehari-hari seperti warung makan, toko kelontong dan sebagainya. Namun, walaupun para istri nelayan tradisional melakukan kegiatan produktif untuk memperoleh pendapatan mereka tidak pernah mengabaikan peran utama mereka sebagai ibu rumah tangga yang melakukan kegiatan yang berkaitan dengan kasur-sumur-dapur. Para istri nelayan tradisional tetap mengerjakan pekerjaan rumah tangga mereka. Seperti kutipan hasil wawancara dengan Ibu Kusniah, seorang istri nelayan tradisional.

“la pripun malih, bapake meniko mboten saget dijagake hasile. Kulo kan mboten saget mendhel mawon. Nanging nggih tetep gawean omah kulo cekel sedoyo. Sinten malih ingkang mbantu mangke” (“Habis bagaimana lagi, bapaknya itu tidak dapat diandalkan hasilnya. Saya tidak bisa diam saja. Tetapi pekerjaan rumah tetap saya yang mengerjakan. Siapa lagi yang membantu nanti)

Kutipan wawancara di atas semakin menguatkan argumen bahwa sebenarnya istri nelayan tradisional memiliki peran ganda dan sentral dalam rumah tangga. Selain menjalankan fungsi sebagai ibu rumah tangga, mereka juga berperan vital dalam membantu suami melakukan kegiatan produktif untuk menambah pendapatan rumah tangga. Tidak ada alasan bagi para istri nelayan tradisional yang melakukan kegiatan produktif ini untuk berpangku tangan saja mengharapkan suami pulang dari melaut dengan membawa hasil yang melimpah, hal itu menurut mereka sangat jarang terjadi, pada hal ada anggota rumah tangga yang harus mereka hidupi.

Terdapat beberapa hal yang menarik dari pengalaman mengikuti kegiatan para istri nelayan tradisional. Kebanyakan istri nelayan tradisional yang mapan lebih menginginkan agar suaminya tidak melaut. Harapannya supaya suami dapat membantu kegiatan

Page 6: Bab 5 Istri Nelayan dan Kegiatan Produktifrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/6/D_902009007_BAB V.pdfatau kerja memiliki nilai bagi kehidupan manusia. Ross (1999) menyatakan

MELAMPAUI “KASUR - SUMUR - DAPUR”

130

produktif istrinya, mengingat melaut sangat beresiko dan tidak dapat dipastikan hasilnya, sehingga daripada harus membayar tenaga kerja atau tidak dapat memaksimalkan bahan baku maka lebih baik menggunakan jasa suami sebagai tenaga kerja agar dapat membantu istri. Hal ini sempat diutarakan oleh salah satu nelayan yang akhirnya membantu istrinya mengasinkan ikan, yaitu Bapak Jumadi sebagai berikut:

“Nak dherek ibune meniko kan hasile luwih kathah to mas. Kulo saget mbantu-bantu ibune. Tinimbangane kulo miang mangke mboten mesti angsal hasil.Umpami mbantu ibune kan angsal hasil mbendinane, kerjane ibune hasile luwih gede”.(Kalau ikut ibunya itu hasilnya lebih banyak mas. Saya dapat membantu ibunya. Daripada saya melaut nanti tidak tentu hasilnya. Seandainya membantu ibunya kan dapat hasil setiap harinya, pekerjaan ibunya hasilnya lebih besar).

Berdasarkan kutipan di atas semakin jelas terlihat bahwa peran istri nelayan dalam mendukung ekonomi rumah tangga dapat dikatakan sangat penting karena istri nelayan mampu menopang ekonomi rumah tangga nelayan dengan cara melakukan kegiatan produktif sehingga menambah pendapatan rumah tangga. Walaupun secara sadar mereka paham bahwa dengan melakukan kegiatan produktif maka curahan waktu mereka untuk bekerja menjadi lebih banyak, dan tanggung jawab pekerjaan pun semakin berat. Peranan perempuan di pedesaan tidak hanya terbatas sebagai pengelola keuangan keluarga namun juga dalam aktivitas pertanian, seperti mempersiapkan benih, dan lain sebagainya. Intinya bahwa perempuan dalam berbagai bidang khususnya lingkup mikro ternyata memiliki peranan yang sentral ketika dilibatkan.

Istri nelayan sebenarnya lebih luwes dalam memilih berbagai jenis kegiatan produktif, lebih dapat beradaptasi dalam kondisi ekonomi apapun. Kegiatan produktif yang dilakukan istri nelayan sebenarnya juga lebih stabil, karena mereka tidak bergantung pada tuntutan volume produksi: ada barang diolah, tidak ada barang ya tidak rugi, kata ibu Sulianah. Kegiatan produktif yang dilakukan istri

Page 7: Bab 5 Istri Nelayan dan Kegiatan Produktifrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/6/D_902009007_BAB V.pdfatau kerja memiliki nilai bagi kehidupan manusia. Ross (1999) menyatakan

BAB 5 – ISTRI NELAYAN DAN KEGIATAN PRODUKTIF

131

nelayan juga relatif beresiko rendah dibandingkan dengan pekerjaan sebagai nelayan seperti yang dilakukan oleh suaminya. Sebenarnya apabila dikaji lebih jauh dalam keadaan normal pendapatan suami atau nelayan akan jauh lebih besar daripada istri nelayan.

Peran istri nelayan tradisional sebagai ibu rumah tangga tidak bisa diabaikan sama sekali. Hal ini nampak bahwa meskipun mereka melakukan kegiatan produktif, pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mencuci, membersihkan rumah, mengurus anak dan lain sebagainya atau kegiatan yang berkaitan dengan kasur-sumur-dapur selalu dilakukan di tengah-tengah rutinitas aktivitas harian sebagai perempuan yang melakukan kegiatan produktif, artinya alokasi waktu istri nelayan dalam bekerja itu sebenarnya bisa jadi lebih banyak dari suami atau nelayan, karena mereka melakukan kegiatan produktif namun tetap bertanggungjawab atas pekerjaan rumah tangga.

Kemampuan untuk melengkapi peran suami atau nelayan sebagai mesin pendapatan rumah tangga merupakan sebuah bentuk fenomena empiris. Apabila pada struktur masyarakat kota, perempuan dituntut untuk bekerja sebagai bentuk aktualisasi diri, namun mereka dibekali dengan pendidikan yang tinggi, akses ke lapangan kerja formal lebih mudah. Tidak demikian pada kondisi nelayan pesisir. Istri nelayan dituntut untuk melakukan kegiatan produktif tanpa dibekali pendidikan yang memadai serta kemudahan akses pekerjaan, artinya, pola pikir telah berubah. Dorongan untuk melakukan kegiatan produktif muncul sebagai respon akan upaya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi rumah-tangganya dan keinginan untuk beraktualisasi dalam kehidupan bermasyarakat. Istri nelayan tradisional mengakui bahwa salah satu motivasi terbesar yang membuat mereka melakukan kegiatan produktif adalah untuk membantu suami agar dapat menambah pendapatan rumah-tangganya. Dengan demikian akan terdapat pembagian beban antara suami dan istri terkait alokasi pendapatan. Hal inilah yang menjadi kunci di tengah keterbatasan kehidupan rumah tangga nelayan.

Pada wilayah penelitian ini tidak semua istri nelayantradisional melakukan kegiatan produktif, sebagian istri nelayan tidak melakukan

Page 8: Bab 5 Istri Nelayan dan Kegiatan Produktifrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/6/D_902009007_BAB V.pdfatau kerja memiliki nilai bagi kehidupan manusia. Ross (1999) menyatakan

MELAMPAUI “KASUR - SUMUR - DAPUR”

132

kegiatan produktif. Aspek rumah tangga, ketiadaan modal dan sikap hidup pragmatis, pendidikan menjadi alasan yang paling dominan di samping budaya malu dan malas. Kondisi masyarakat pesisir yang serba kekurangan dan miskin, namun tidak tampak adanya disharmonisasi sosial di masyarakat pesisir khususnya bagi rumah tangga yang istri nelayannya melakukan kegiatan produktif dan yang tidak melakukan kegiatan produktif, semua saling memahami kondisi satu sama lain.

Meneruskan pernyataan dari Hakim (2002) yang membagi klasifikasi kualitas istri nelayan yang bekerja ke dalam tiga kategori. Apabila acuan tadi diturunkan berdasarkan fenomena empiris di lapangan, maka para istri nelayan yang melakukan kegiatan produktif cenderung masuk ke dalam kategori pertama dan ketiga. Dalam kajian di lapangan ternyata jumlah istri nelayan yang tidak melakukan kegiatan produktif relatif lebih banyak dibandingkan istri nelayan yang melakukan kegiatan produktif. Hal ini terjadi mengingat banyaknya tanggungan pekerjaan rumah tangga yang masih harus diselesaikan seperti memasak, mencuci pakaian, membersihkan rumah, merawat anak dan lain sebagainya. Selain karena alasan ketiadaan modal, faktor malas dan malu, namun hampir semua istri nelayan yang melakukan kegiatan produktif masuk ke dalam kategori ketiga, mereka tidak condong kepada karir namun lebih adaptif. Para istri nelayan yang memilih melakukan kegiatan produktif lebih karena kesukarelaan dan didorong oleh alasan ekonomi dan sosial.

Ragam Kegiatan Produktif Istri Nelayan Kegiatan produktif yang dilakukan istri nelayan tradisional

cenderung lebih bervariasi meskipun kebanyakan pada sub sistem hilir,yakni pengolahan ikan menjadi produk-produk yang beragam seperti menjadi ikan asin atau nggereh, terasi, kerupuk atau menjual kembali ikan tangkapan atau ikan segar atau ngeber. Alasan memilih kegiatan produktif menjual hasil tangkapan ke dalam beberapa variasi produk antara lain disebabkan berbagai hal seperti memang sejak muda

Page 9: Bab 5 Istri Nelayan dan Kegiatan Produktifrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/6/D_902009007_BAB V.pdfatau kerja memiliki nilai bagi kehidupan manusia. Ross (1999) menyatakan

BAB 5 – ISTRI NELAYAN DAN KEGIATAN PRODUKTIF

133

sebelum menikah sudah melakukan kegiatan produktif sehingga sulit untuk berganti pekerjaan, rendahnya pendidikan juga berdampak pada kurangnya kreativitas dan inovasi.

Bahan baku untuk menjalankan kegiatan produktif relatif mudah didapat dan harganya murah. Pada saat musim melaut, hampir setiap hari nelayan menangkap ikan dan hasil laut lainnya. Sepanjang itu pula pasokan bahan baku untuk usaha yang dibutuhkan istri nelayan akan terpenuhi. Pekerjaan pengolahan hasil tangkapan juga telah memiliki pasar yang jelas. Istri nelayan tidak akan kesulitan menjual produk yang dihasilkan karena telah banyak pembeli atau pedagang yang siap menampung hasil produksi mereka. Selain itu, aktivitas ini juga relatif lebih stabil dan resiko yang lebih rendah.

Faktor lain yang menyebabkan pilihan kegiatan produktif istri nelayan pada kegiatan pengolahan ikan, penjualan hasil laut antara lain disebabkan karena keterbatasan kemampuan. Biasanya kemampuan untuk melakukan pekerjaan yang digeluti sekarang oleh para istri nelayan adalah karena pengetahuan yang diwariskan secara turun- temurun, atau belajar secara autodidak dari pengamatan pekerjaan yang dilakukan orangtuanya dan dari lingkungan sekitar. Kegiatan produktif yang ditekuni para istri nelayan bukan muncul karena inovasi atau kejelian menangkap peluang, namun lebih kepada melakukan kegiatan yang bisa dilakukan sesuai dengan kemampuan dan kebiasaan.

Sedangkan untuk kegiatan pengolahan hasil laut yang dilakukan istri nelayan tradisional relatif cukup beragam. Kegiatan pengasinan ikan, pemanggangan ikan, pembuatan terasi dan beberapa olahan hasil laut lain sering ditemui di kawasan pesisir. Ketersediaan bahan baku dan jaminan pemasaran menjadi alasan kegiatan usaha ini terus ditekuni oleh istri nelayan. Umumnya seperti pada usaha penjualan ikan, unit usaha pengolahan hasil laut juga memanfaatkan tangkapan dari nelayan setiap harinya. Pengolahan hasil laut juga dilakukan tidak jauh dari lokasi TPI atau tempat tinggal mereka. Kegiatan usaha ini sangat tergantung pada alam, hal ini terkait pasokan bahan baku dan proses produksi yang sangat tinggi. Aktivitas

Page 10: Bab 5 Istri Nelayan dan Kegiatan Produktifrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/6/D_902009007_BAB V.pdfatau kerja memiliki nilai bagi kehidupan manusia. Ross (1999) menyatakan

MELAMPAUI “KASUR - SUMUR - DAPUR”

134

pengolahan ikan relatif lebih menyita waktu dibandingkan dengan pekerjaan menjual ikan segar. Istri nelayan dalam melakukan kegiatan produktif ada yang harus memulai dari pagi hari untuk membeli bahan baku dari penjual ikan atau mengikuti lelang ikan di TPI. Setelah itu mereka akan langsung mengolah bahan baku di lokasi produksi. Hal ini akan memakan waktu lama, bahkan hingga mendekati sore hari baru dapat selesai untuk esok harinya dijual kepada konsumen. Ada istri nelayan yang melakukan kegiatan produktif setelah mereka melakukan pekerjaan rumah tangga dengan dibantu anggota keluarga yang lain. Bagi istri nelayan ini, mereka memulai melakukan kegiatan produktif sekitar jam13.00 sampai sore hari.

Salah satu jenis kegiatan produktif yang paling banyak dilakukan oleh istri nelayan tradisional di wilayah penelitian ini adalah pengasinan ikan, membuat terasi dan menjual ikan segar. Bahan baku ikan cukup banyak ditemukan, terlebih ketika musim tangkapan ikan tiba di bulan Maret-Mei. Apabila hasil ikan melimpah maka pengasinan ikan menjadi salah satu cara untuk mengawetkan ikan dan meningkatkan nilai tambah (value added) hasil perikanan. Kegiatan ini dilakukan setiap hari tanpa libur. Mereka hanya akan libur ketika ikan hasil tangkapan nelayan sebagai bahan baku sangat sulit ditemukan atau ketika alasan tertentu saja misalnya ada acara keluarga seperti pernikahan atau khitanan dan sebagainya.

Berdasarkan pengalaman, selama ini tidak pernah ada hambatan untuk menjual produk yang dihasilkan dari usaha pengolahan dan penjualan hasil tangkapan ikan segar yang dilakukan oleh istri nelayan. Selama ini yang menjadi kendala adalah pasokan bahan baku yang tidak kontinyu sehingga akan berimplikasi pada volume produksi dan harga jual produk. Kendala lain adalah faktor alam, yaitu perubahan musim, walaupun perubahan musim tidak langsung berpengaruh pada pasokan hasil tangkapan nelayan. Perubahan musim akan berpengaruh pada jenis hasil laut yang ditangkap.

Kebanyakan kegiatan produktif yang dilakukan oleh istri nelayan dilakukan di sekitar kawasan pesisir. Apabila usaha penjualan

Page 11: Bab 5 Istri Nelayan dan Kegiatan Produktifrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/6/D_902009007_BAB V.pdfatau kerja memiliki nilai bagi kehidupan manusia. Ross (1999) menyatakan

BAB 5 – ISTRI NELAYAN DAN KEGIATAN PRODUKTIF

135

ikan dan hasil laut lain atau pengolahan ikan pada saat ini dengan juenis ikan tertentu maka pada saat musim tertentu mereka tidak akan dapat menjual jenis tangkapan yang sama, bahkan pada saat musim hujan dan badai mereka tidak akan mendapat hasil laut untuk diolah atau dijual. Apabila sering terjadi hujan, maka istri nelayan tidak dapat berjualan sebab lapak mereka tak dapat ditempati. Pembeli pun jarang datang, namun apabila usahanya adalah kegiatan pengolahan hasil laut maka selain berpengaruh pada pasokan bahan baku, faktor alam akan berdampak pada kegiatan usaha istri nelayan tersebut. Apabila musim hujan datang, sinar matahari berkurang sehingga ikan asin dan terasi sulit untuk dikeringkan atau membutuhkan waktu lebih lama sehingga ikan asin dan terasi tidak dapat diproduksi secara maksimal.

Beberapa istri nelayan tradisional yang menjadi pedagang kecil ikan segar menyatakan tidak mampu membeli langsung dari nelayan atau membeli dari TPI tetapi membeli dari pedagang besar atau juragan. Pedagang besar atau tengkulak memperoleh ikan hasil tangkapan dari TPI atau dari para nelayan. Nelayan yang melaut biasanya sudah terikat perjanjian dengan pedagang ikan besar yang umumnya pemodal besar yang mampu menjalankan praktek monopsoni. Hal ini terjadi mengingat kebanyakan nelayan membutuh-kan modal untuk melaut. Modal seringkali diperoleh dari pinjaman pedagang besar dan atau juragan, sedangkan kompensasi pembayarannya adalah penjualan hasil tangkapan ikan.

Pedagang kecil sering mengalami kesulitan memperoleh ikan hasil tangkapan nelayan untuk dijual atau diolah lebih lanjut menjadi ikan asin atau terasi. Untuk mengikuti pelelangan ikan di TPI pun mereka juga terkendala, sebab ikan yang dilelang biasanya sudah dibeli oleh pedagang besar. Maka, pilihan yang diambil adalah membeli dari pedagang besar dan atau tengkulak walaupun marjin keuntungan yang diterima kecil. Dampaknya adalah pendapatan yang diperoleh istri nelayan menurun, sehingga hal ini akan mempengaruhi kemampuan mereka dalam mendukung ekonomi rumah-tangganya.

Rumah tangga nelayan pada umumnya senantiasa dihadapkan pada permasalahan klasik yakni rendahnya kualitas hidup. Rendahnya

Page 12: Bab 5 Istri Nelayan dan Kegiatan Produktifrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/6/D_902009007_BAB V.pdfatau kerja memiliki nilai bagi kehidupan manusia. Ross (1999) menyatakan

MELAMPAUI “KASUR - SUMUR - DAPUR”

136

kualitas hidup tampaknya berkorelasi dengan ketidakpastian pendapatan yang diperoleh. Kondisi rumah tangga nelayan tak ubahnya berada pada jurang kemiskinan dan hanya mampu memenuhi kebutuhan hidup secara subsisten saja. Walaupun semua elemen dalam rumah tangga melakukan kegiatan produktif, namun tingginya kebutuhan hidup juga menyebabkan kondisi perekonomian mereka tidak berubah ke arah yang lebih baik. Selain kegiatan mengasinkan ikan dan menjual ikan segar, kegiatan produktif yang dilakukan oleh istri nelayan lainnya adalah pembuatan terasi. Bahan baku terasi yakni udang kecil atau rebon yang melimpah menjadi faktor pendukung kegiatan usaha ini.

Alokasi Waktu dalam Melakukan Kegiatan Produktif Dalam melakukan kegiatan pengolahan ikan, biasanya istri nelayan tradisional banyak dibantu oleh keluarganya saja karena kebanyakan skala usahanya masih bersifat rumahan dengan skala kecil. Kegiatan pengolahan ikan ini biasanya dimulai pada pukul 13.00 siang hari, pada saat itu para istri nelayan membeli bahan baku ikan segar dari nelayan dengan cara menunggu di pinggir muara sungai atau membeli dari pedagang besar atau tengkulak. Sebelum perahu bersandar di dermaga TPI biasanya mereka sudah terlebih dahulu akan menjual tangkapannya kepada pembeli di sepanjang sungai menuju dermaga TPI. Para istri nelayan lebih menyukai cara membeli ikan dari perahu nelayan dan tidak membeli dengan sistem lelang di TPI karena pertimbangannya di TPI hanya ada pedagang besar dan mereka tidak akan dapat membeli ikan dalam jumlah yang diinginkan.

Pada umumnya para istri nelayan tradisional juga tidak membeli ikan dari satu nelayan atau pedagang ikan saja, contohnya, para pengusaha ikan asin mampu menghabiskan sedikitnya 3 (tiga) hingga 5 (lima) kuintal sekali mengasinkan ikan setiap harinya sehingga sangat mustahil apabila jumlah tersebut dipenuhi dari satu nelayan atau pedagang saja. Oleh karena itu, mereka umumnya mengumpulkan ikan dari beberapa pedagang besar atau nelayan.

Page 13: Bab 5 Istri Nelayan dan Kegiatan Produktifrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/6/D_902009007_BAB V.pdfatau kerja memiliki nilai bagi kehidupan manusia. Ross (1999) menyatakan

BAB 5 – ISTRI NELAYAN DAN KEGIATAN PRODUKTIF

137

Setelah mendapatkan ikan untuk diasinkan, curahan waktu kemudian tertuju pada proses pengasinan ikan. Pengasinan ikan memakan waktu hingga dua jam, tergantung pada jumlah ikan yang diperoleh sebagai bahan baku dan sinar matahari. Proses selanjutnya, ikan digarami dan direndam selama satu malam. Pada saat pagi hari istri nelayan kembali bekerja untuk menjemur ikan.Tahap inilah yang memakan waktu lama hingga tengah hari. Kegiatan penjemuran ikan adalah proses yang paling mengandung resiko tinggi sebab ketika tidak ada sinar matahari maka penjemuran ikan membutuhkan waktu lama atau tidak dapat dilakukan. Tenaga kerja yang digunakan pun juga bertambah sehingga biaya yang dikeluarkan juga bertambah.

Untuk usaha penjualan ikan segar biasanya dalam bekerja istri nelayan tradisional menggunakan lapak sementara. Lapak dibuka secara lesehan di sekitar TPI dan mereka akan bekerja mulai pukul 05.00 pagi hingga 09.00 pagi pada saat lelang pagi dimulai. Karena istri nelayan terlebih dahulu harus membeli ikan dari pedagang besar atau nelayan untuk mengumpulkan barang dagangan. Kemudian nantinya ketika proses lelang siang hari jam 13.00 dibuka, mereka akan kembali berjualan pukul 13.00 hingga 17.00 sore, untuk menghabiskan dagangan mereka yang tidak habis terjual di pagi hari.

Memang hasil yang diperoleh istri nelayan tradisional kadang tidaklah seberapa,namun untuk pekerjaan yang fungsinya hanya membantu suami, maka pendapatan yang diperoleh per hari dapat dikatakan cukup mendukung ekonomi rumah-tangganya. Para istri nelayan tradisional yang melakukan kegiatan produktif sebagai penjual ikan segar dan pengolah tangkapan hasil laut dapat memperoleh pendapatan bersih hingga Rp 100.000,- sekurang-kurangnya Rp 30.000,- per hari. Usaha yang dijalankan juga minim resiko karena apabila ikan tidak habis maka akan disimpan di dalam es atau cold boox dan akan dijual lagi keesokan harinya. Berbeda dengan nelayan tangkap, mereka akan berhadapan dengan resiko alam, resiko ekonomi seperti tidak adanya tangkapan sehingga tidak mampu mencukupi biaya melaut.

Page 14: Bab 5 Istri Nelayan dan Kegiatan Produktifrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/6/D_902009007_BAB V.pdfatau kerja memiliki nilai bagi kehidupan manusia. Ross (1999) menyatakan

MELAMPAUI “KASUR - SUMUR - DAPUR”

138

Satu hal yang menjadi catatan adalah, alokasi waktu pekerjaan istri nelayan tradisional sebenarnya merupakan kebiasaan. Mereka dapat mengatur sendiri jam kerjanya,sehingga dapat disesuaikan dengan aktivitas rumah tangga. Sejalan dengan itu, Karmilah dalam Candraningrum Dewi (2014) menyatakan bahwa, kondisi demikian sejatinya membuat jam kerja perempuan menjadi lebih panjang, meskipun alokasi waktunya yang sangat dinamis dan fleksibel.

Dasar Pertimbangan Pilihan Melakukan Kegiatan Produktif

Para istri nelayan tradisional yang melakukan kegiatan produktif umumnya telah menjalankan kegiatannya selama lebih dari 20 tahun. Lamanya waktu ini mencerminkan betapa mereka sangat menguasai metode atau cara melakukan kegiatannya. Lamanya waktu menjalankan kegiatannya juga membuat mereka kadangkala malas untuk menerima inovasi yang konstruktif. Mereka nyaman dengan metode atau cara yang telah mereka lakukan selama bertahun-tahun. Hal ini berkorelasi dengan rendahnya tingkat pendidikan yang mereka miliki. Rendahnya tingkat pendidikan berdampak pada rendahnya pengetahuan dan daya inovasi, serta kecenderungan enggan untuk menyerap ilmu baru, karena belajar belum menjadi budaya mereka.

Kemampuan untuk mengolah ikan menjadi ikan asin juga tidak didapat dari bangku sekolah. Mereka belajar secara autodidak, mengamati dan diajari oleh orang tua atau tetangga atau lingkungannya, sehingga kemampuan tersebut justru diperoleh secara turun-temurun. Para istri nelayan mengaku bisa menjalankan usaha karena pengaruh tetangga atau lingkungan. Berikut kutipan wawancara dengan Ibu Kusniah:

“kulo saget ngasin ngeten niki sing marai tonggone bu, mboten wonten ingkang ngajari. Tonggoku kok iso nggawe aku yo mesti iso. Tak ematke cara ne nggawe, njaluk warah terus kulo saget piyambak. Umpami tonggone saget kerjo kan awake dewe iki dadi pengen to bu”(Saya bisa membuat ikan asin yang mengajari tetangga bu. Tetangganya bisa membuat saya pastinya juga bisa. Saya perhatikan cara mengerjakan, minta diajari berkali-kali akhirnya saya bisa

Page 15: Bab 5 Istri Nelayan dan Kegiatan Produktifrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/6/D_902009007_BAB V.pdfatau kerja memiliki nilai bagi kehidupan manusia. Ross (1999) menyatakan

BAB 5 – ISTRI NELAYAN DAN KEGIATAN PRODUKTIF

139

sendiri. Seandainya tetangganya bisa bekerja kita juga ingin bekerja bu).

Berdasarkan kutipan di atas semakin jelas bahwa aspek lingkungan menjadi salah satu sebab para istri nelayan tradisional dalam memilih kegiatan produktif.Lingkungan sekitar menyediakan nuansa pembelajaran dan pelatihan kegiatan produktif kepada para istri nelayan yang memiliki etos kerja tinggi. Mereka melakukan kegiatan karena didorong oleh lingkungan sekitar.

Kegiatan produktif dilakukan di sekitar lokasi tempat pelelangan ikan. Hampir tidak ada istri nelayan yang menjalankan kegiatan pengasinan ikan di rumah. Banyak lahan warga yang sengaja disewakan atau hanya dipinjam bahkan dibeli untuk lokasi mengasinkan dan menjemur ikan. Umumnya rumah nelayan terlalu kecil, jauh dari lokasi TPI, dan tempat penjualan ikan serta kurang representative untuk melakukan kegiatan produktifnya, maka hampir semua istri nelayan melakukan kegiatan produktifnya dengan menyewa, meminjam atau membeli lahan di sekitar TPI. Dasar pilihan lokasi kegiatan juga disesuaikan dengan lokasi tempat tinggal. Hal ini dimaksudkan agar istri nelayan dapat terus menjalankan kegiatan rumah tangga dan tidak jauh dari keluarga. (Karmilah dalam Candraningrum Dewi, 2014).

Seperti telah dijelaskan di atas, istri nelayan tradisional yang memilih melakukan kegiatan produktif karena didorong oleh beberapa faktor, dan faktor terbesar adalah karena alasan kebutuhan. Pendapatan suami tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari rumah-tangganya. Hal inilah yang mendorong istri nelayan tradisional untuk melakukan kegiatan produktif membantu suami untuk menambah pendapatan rumah tangga agar dapat memenuhi kebutuhan hidup ekonomi rumah-tangganya. Alasan lain adalah pertimbangan sukarela. Apabila tidak melakukan kegiatan produktif maka mereka tidak tahu akan berbuat apa. Mereka memilih melakukan kegiatan produktif daripada hanya menganggur di rumah. Hal ini lebih kepada alasan kebutuhan untuk aktualisasi diri. Menurut para istri nelayan melakukan kegiatan produktif merupakan kegiatan yang

Page 16: Bab 5 Istri Nelayan dan Kegiatan Produktifrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/6/D_902009007_BAB V.pdfatau kerja memiliki nilai bagi kehidupan manusia. Ross (1999) menyatakan

MELAMPAUI “KASUR - SUMUR - DAPUR”

140

menyenangkan dan justru membuat mereka lebih bisa mengembangkan diri. Seperti kutipan wawancara dengan Ibu Suliyah sebagai berikut:

”kulo niki malah seneng kerjo kok Bu, mboten ngrepoti bapake. Saget gadhah arto piyambak. Dadine umpami butuh-butuh mboten usah nyuwun bapake. Kerjo niki kulo nggih seneng Bu.Mboten nganggur, saget ketemu rencang-rencang. Timbangane nganggur teng ngomah” (Saya ini senang bekerja Bu, tidak merepotkan bapaknya. Bisa punya uang sendiri. Jadi seandainya mempunya kebutuhan tidak usah minta bapaknya. Bekerja itu saya senang Bu, tidak menganggur, bisa bertemu banyak teman. Daripada menganggur di rumah).

Ungkapan di atas kiranya sesuai dengan pandangan Herzberg (1996), bahwa melakukan kegiatan produktif dapat dipandang dari dua perspektif yakni: (a) perspektif fungsi individu dan (b) perspektif fungsi sosial dan psikologis. Apa yang dikemukakan Ibu Suliyah tersebut menunjukkan operasionalisasi kegiatan produktif dari perspektif fungsi individu maupun perspektif fungsi sosial. Dari perspektif inividu melakukan kegiatan produktif merupakan sarana atau alat untuk mencapai tujuan kepentingan diri sendiri, sebagaimana diungkapkan Ibu Suliyah bahwa bekerja itu menyenangkan dan menghasilkan pendapatan atau uang. Sedangkan dari perspektif sosial seperti pernyataannya bahwa melakukan kegiatan produktif itu dapat menjadi sarana komunikasi atau membangun relasi dengan banyak orang. Bertemu dan dapat membangun relasi sosial dari kegiatan produktif merupakan bentuk atau perwujudan bekerja dipandang dari perspektif sosial.

Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara, rumah tangga nelayan tradisional yang istrinya melakukan kegiatan produktif, relatif taraf kehidupan ekonominya lebih baik dibanding dengan rumah tangga nelayan tradisional yang istrinya tidak melakukan kegiatan produktif. Dengan melakukan kegiatan produktif, sumber perolehan pendapatan menjadi lebih dari satu. Rumah tangga nelayan yang istrinya melakukan kegiatan produktif umumnya lebih bisa menabung meskipun jumlahnya relatif kecil. Terlebih sekarang banyak terdapat

Page 17: Bab 5 Istri Nelayan dan Kegiatan Produktifrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/6/D_902009007_BAB V.pdfatau kerja memiliki nilai bagi kehidupan manusia. Ross (1999) menyatakan

BAB 5 – ISTRI NELAYAN DAN KEGIATAN PRODUKTIF

141

lembaga keuangan yang telah menyediakan fasilitas jemput bola agar rumah tangga nelayan mau menabung dan meminjam uang ketika membutuhkan.

Namun, bagi rumah tangga nelayan tradisional yang istrinya tidak melakukan kegiatan produktif, relatif tidak dapat menabung. Jangankan untuk menabung, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari rumah tangganya saja kadang-kadang tidak cukup. Sebenarnya para istri nelayan tradisional yang memilih tidak melakukan kegiatan produktif ini memiliki pekerjaan rumah tangga yang cukup menyita waktu. Kendala modal sebenarnya bukan menjadi hambatan bagi istri nelayan tradisional untuk melakukan kegiatan produktif. Umumnya untuk melakukan kegiatan produktif istri nelayan tradisional juga membu-tuhkan modal, namun modal yang dibutuhkan tidak harus besar karena pembelian bahan baku di samping dibeli secara tunai juga dapat dibeli dengan membayar bila hasil olahannya atau penjualan ikan segarnya sudah laku.

Lembaga keuangan seperti koperasi mampu menyediaan pinjaman modal lunak kepada calon-calon wirausaha yang mau membuka usaha tanpa agunan. Sebagai contoh, para istri nelayan tradisional yang bekerja mengasinkan ikan hanya membutuhkan tidak lebih dari Rp 500.000,- per hari untuk modal harian usaha. Hasil bersih yang diperoleh kadangkala lebih dari Rp 100.000,- Lembaga keuangan telah masuk pada skim ini. Sekretaris Desa Gempolsewu dalam kutipan wawancara menyatakan sebagai berikut:

“Sebenarnya modal tidak menjadi alasan untuk tidak bekerja, sekarang koperasi sudah banyak masuk hingga ke bawah.Tinggal bagaimana kita memanfaatkan saja. KUD, BMT sudah masuk ke Gempolsewu semua bahkan bank juga. Mereka jemput bola.Tabungan, pinjaman semua bisa. Tinggal di mental saja”

Ada hal yang perlu digarisbawahi dari pernyataan perangkat desa tersebut yaitu berdasarkan hasil wawancara, mental dianggap menjadi kendala.Hal ini ternyata sesuai dengan pernyataan informan-informan sebelumnya yang menyatakan bahwa para istri nelayan yang

Page 18: Bab 5 Istri Nelayan dan Kegiatan Produktifrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/6/D_902009007_BAB V.pdfatau kerja memiliki nilai bagi kehidupan manusia. Ross (1999) menyatakan

MELAMPAUI “KASUR - SUMUR - DAPUR”

142

tidak melakukan kegiatan produktif umumnya malas dan malu. Hal ini merupakan kendala mental. Apabila dapat ditambahkan, maka sifat takut mencoba hal baru juga memberikan andil. Mereka takut rugi, kalau nanti rugi yang menanggung kerugiannya siapa? Padahal kebutuhan keluarga masih banyak bahkan sampai tidak terpenuhi.

Pola Melakukan Kegaitan Produktif

Pola melakukan kegiatan produktif di Kecamatan Rowosari memuat keputusan-keputusan yang dibuat oleh istri nelayan tradisional dalam aktivitas sehari-hari. Istri nelayan tradisional memposisikan dirinya sebagai individu yang rasional, sebagai konsumen dan juga sebagai produsen yang kemudian membentuk pola-pola dalam melakukan kegiatan produktif yaitu: (a) pola pembelian bahan baku, (b) pola pengolahan atau produksi, (c) pola penjualan, (d) pola pemenuhan modal usaha, (e) pola pemasaran, dan (f) pola penyelesaian pekerjaan rumah tangga. Sebagai seorang produsen, istri nelayan dapat diposisikan sebagai sebuah perusahaan yang memiliki batas kemungkinan produksi, sumber daya dan juga alternatif penggunaan sumber daya dalam melakukan kegiatan produktif serta memaksimalkan sumber daya produksi yang tersedia seperti modal, tanah dan tenaga kerja. Oleh karena itu, setiap keputusan yang diambil akan sangat berpengaruh terhadap pendapatan yang diterima oleh rumah tangga. Kegiatan produktif merupakan sarana aktualisasi istri nelayan, dan bagian dari upaya pemenuhan kebutuhan hidup ekonomi rumah-tangganya.

Pola Pembelian Bahan Baku Beberapa pola pembelian bahan baku yang dilakukan oleh istri nelayan meliputi: (a) membeli dengan ikut lelang di TPI. Untuk istri nelayan yang kegiatan produktifnya mengolah ikan, mengikuti pelelangan ikan di TPI. Ada empat jenis ikan yang dibeli, diolah, dikeringkan kemudian dijual yaitu gereh jui, gereh empar, gereh teri dan gereh japu. Namun tidak semua jenis ikan tersebut selalu dapat

Page 19: Bab 5 Istri Nelayan dan Kegiatan Produktifrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/6/D_902009007_BAB V.pdfatau kerja memiliki nilai bagi kehidupan manusia. Ross (1999) menyatakan

BAB 5 – ISTRI NELAYAN DAN KEGIATAN PRODUKTIF

143

dibeli, hal tersebut tergantung dari hasil tangkapan para nelayan. Harga beli keempat jenis ikan tersebut bervariasi dan menyesuaikan dari lelang di TPI. Gereh jui berkisar antar Rp 2000,- - Rp 5.500,- per kg, gereh empar Rp 1.700,--Rp2.200,- per kg, gereh teri Rp 7.000,- - Rp 8.000,- per kg dan gereh japu Rp 6.500,- -Rp 7.000,- per kg., (b) membeli dari nelayan yang menjual bagian tangkapannya. Rata-rata satu hari membeli ikan sebanyak 3 kuintal. Salah satu informan yaitu Ibu Sutria bahkan juga memberikan pinjaman sekitar Rp 3.000.000,- kepada nelayan agar mereka mau menjual ikannya kepadanya, (c) membeli ikan segar di TPI atau menjual hasil tangkapan suaminya dengan membelinya juga dengan harga pasar, karena digunakan untuk modal melaut, (d) membeli dari nelayan langsung, dibeli terlebih dahulu sebelum hasil tangkapan ikan masuk ke dalam proses pelelangan di TPI.

Nilai yang terkait dengan kegiatan pembelian bahan baku yaitu tidak menggantungkan hanya pada suami atau nelayan untuk memperoleh ikan karena terkadang ikan hasil tangkapan suami atau nelayan tidak menentu. Sedangkan, hambatan yang dihadapi oleh para istri nelayan dalam melakukan kegiatan pembelian bahan baku adalah ketergantungan terhadap bahan baku atau ikan pada hasil tangkapan nelayan. Jika terjadi penurunan hasil tangkapan nelayan maka akan berpengaruh pada keberlangsungan usaha yang dilakukan oleh para istri nelayan, jika tidak ada ikan berarti para istri nelayan tidak dapat melakukan kegiatan produksi yang berdampak pada penurunan pendapatan yang diperoleh. Selain itu, penurunan tangkapan ikan juga terkait dengan cuaca buruk seperti tingginya gelombang laut yang mengakibatkan para nelayan tidak berani untuk melaut. Salah satu penurunan tangkapan ikan juga terkait pengaruh faktor kerusakan lingkungan. Oleh karena itu guna mendukung keberlangsungan kegiatan produktif istri nelayan ini diperlukan upaya-upaya untuk pelestarian sumber daya laut.

Page 20: Bab 5 Istri Nelayan dan Kegiatan Produktifrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/6/D_902009007_BAB V.pdfatau kerja memiliki nilai bagi kehidupan manusia. Ross (1999) menyatakan

MELAMPAUI “KASUR - SUMUR - DAPUR”

144

Pola Pengolahan atau Produksi

Pola Pengolahan atau produksi yang dilakukan oleh istri nelayan yaitu: (a) Pola pengolahan atau produksi istri nelayan yang melakukan kegiatan produktif sebagai penjual ikan yaitu: ikut lelang di TPI dan dijual di sekitar TPI atau setengah jumlah ikan hasil tangkapan suami dijual ke Juragan pemberi kredit perahu dan separuhnya di jual di sekitar TPI, (b) pola pengolahan atau produksi istri nelayan yang melakukan kegiatan produktif mengolah ikan menjadi ikan asin yaitu: ikan yang dibeli langsung dari nelayan, pedagang besar atau tengkulak maupun TPI dibersihkan terlebih dahulu, kemudian ikan diletakan di dalam bak dan dicampur dengan garam lalu dibiarkan atau direndam selama 2 jam. Sesudah direndam ikan dikeringkan selama 1-2 hari di halaman gudang. Jika cuaca panas proses pengeringan akan lebih cepat, maksimal 1 hari. Jika cuaca tidak mendukung atau mendung atau hujan, maka proses pengeringan akan kebih lama hingga 2-3 hari. Setelah dikeringkan, ikan kemudian disortir berdasarkan kualitas dan ukurannya. Rata- rata produksi 1,5 kuintal per hari.

Biaya produksi dalam proses pengeringan ikan meliputi pembelian garam sebesar Rp 50.000,- per kuintal, dalam sehari dibutuhkan 1-2 kuintal. Usaha pengeringan ikan ini dilakukan sendiri dan kadang-kadang dibantu beberapa karyawan yang dibayar rata-rata Rp 15.000,- per hari per orang.Jika suami tidak berangkat melaut maka tenaganya dicurahkan sepenuhnya untuk membantu istri. Terkadang anak, adik atau sanak saudara yang lain ikut membantu namun meminta upah yang lebih tinggi dari karyawan biasa.

Nilai-nilai yang terkait dengan kegiatan pengolahan atau produksi yaitu bahwa mencari uang tidaklah mudah dan harus kerja keras, sehingga perlu mensyukuri apapun hasil yang diperoleh suami dan hasil yang diperoleh dari diri sendiri. Apalagi kegiatan produksi atau pengolahan sangat bergantung pada alam, yang kadang dapat lebih, kadang harus menghadapi masa paceklik, sehingga para istri nelayan tersebut kadang memperoleh keuntungan dan kadang mengalami kerugian.

Page 21: Bab 5 Istri Nelayan dan Kegiatan Produktifrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/6/D_902009007_BAB V.pdfatau kerja memiliki nilai bagi kehidupan manusia. Ross (1999) menyatakan

BAB 5 – ISTRI NELAYAN DAN KEGIATAN PRODUKTIF

145

Hambatan yang dihadapi oleh para istri nelayan dalam melakukan kegiatan pengolahan atau produksi terkait dengan cuaca atau musim. Kegiatan pengeringan ikan sangat bergantung pada sinar matahari yang dibutuhkan untuk mempercepat proses pengeringan. Pada musim hujan, intensitas sinar matahari mengalami penurunan yang berdampak pada kualitas hasil yang jelek karena membutuhkan pengeringan yang lebih lama. Kondisi tersebut sangat berdampak pada penurunan penjualan dan penerimaan pendapatan. Apalagi kondisi cuaca pada saat ini sulit diprediksi karena adanya anomali cuaca sebagai dampak dari pemanasan global.

Hambatan lain yang dihadapi adalah ketidakmampuan untuk mempekerjakan tenaga atau karyawan. Para istri nelayan kesulitan dalam pembayaran upah tenaga atau karyawan. Oleh karena itu, sebagian dari istri nelayan bekerja sendiri dengan hanya dibantu suami atau anggota keluarganya. Namun, apabila kondisi kesehatan menurun maka kegiatan produksi akan terhambat. Oleh sebab itu guna mendukung keberlangsungan usaha para istri nelayan ini diperlukan upaya-upaya penguasaan atau pemilikan teknologi tangkap bagi nelayan dan teknologi pengolahan hasil tangkapan sehingga memungkinkan peningkatan produktivitas kerja mereka.

Hambatan berikutnya terkait dengan ketersediaan lahan untuk kegiatan pengeringan ikan. Sebagian besar mereka tidak memiliki lahan milik sendiri, masih banyak yang menggunakan lahan milik tetangga atau memakai badan jalan untuk mengeringan ikan tersebut. Kondisi tersebut berdampak pada kuantitas ikan yang dikeringkan tidak terlalu banyak.

Pola Pemasaran Beberapa pola pemasaran yang dilakukan oleh istri nelayan

yaitu (a) dilakukan sendiri istri nelayan tradisional yang melakukan kegiatan produktif sebagai penjual ikan yakni menjual di sekitar TPI, yang dijual kepada pembeli atau bakul atau wisatawan atau pengunjung yang datang langsung ke lokasi atau istri nelayan membuat

Page 22: Bab 5 Istri Nelayan dan Kegiatan Produktifrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/6/D_902009007_BAB V.pdfatau kerja memiliki nilai bagi kehidupan manusia. Ross (1999) menyatakan

MELAMPAUI “KASUR - SUMUR - DAPUR”

146

lapak di sekitar TPI untuk memudahkan proses penjualan ikan, (b) dilakukan istri nelayan tradisional yang bekerja mengolah ikan menjadi ikan asin dan terasi yakni para pembeli atau bakul langsung datang ke tempat pengolahan atau gudang dan sudah memiliki pelanggan tetap yang berasal dari daerah Weleri, Batang, Pekalongan, Limpung bahkan ada yang datang dari Cilacap.

Harga jual ikan kering atau ikan asin bervariasi dari keempat jenis gereh tersebut dan juga tergantung kualitasnya. Gereh jui berkisar antara Rp 5.000,--Rp 6.000,- per kg, gereh empar Rp 6.000,- - Rp 8.000,- per kg, gereh teri Rp 22.000,- - Rp 30.000,- per kg dan gereh japu Rp 13.000,-- Rp 14.000,- per kg. Gereh hanya dijual kepada bakul/pedagang kecil dan tidak dijual langsung kepada pengunjung karena penjualan ikan asin hanya dilakukan di dalam gudang dan tidak menggelar lapak di sekitar TPI. Pada dasarnya hasil produksi ikan asin atau terasi laku terjual pada hari itu juga.

Berdasarkan penjelasan para informan dapat disimpulkan bahwa pola pemasaran yang dilakukan para itri nelayan adalah langsung di lokasi yang tidak jauh dari TPI baik kepada pedagang atau bakul maupun wisatawan atau pengunjung yang datang. Nilai yang terkait dengan kegiatan pemasaran yaitu mencari sedikit laba karena jika laba yang diambil terlalu besar maka akan dapat kehilangan pembeli. Selain itu, bahwa proses kegiatan produktif ini halal, menyenangkan, membahagiakan keluarga, dan hasil dari pemasaran dapat memberikan sumbangan berarti bagi ekonomi rumah tangga sehingga kegiatan produktif memiliki keuntungan ganda.

Hambatan yang dihadapi dalam pemasaran adalah terbatasnya akses dalam menjual ikan segar atau ikan asin karena hanya bisa menjual di sekitar TPI. Mereka tidak punya akses untuk menjual di tempat lain selain di sekitar TPI. Selain itu, banyak istri nelayan yang tidak mempunyai kios atau lapak permanen untuk berjualan.

Page 23: Bab 5 Istri Nelayan dan Kegiatan Produktifrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/6/D_902009007_BAB V.pdfatau kerja memiliki nilai bagi kehidupan manusia. Ross (1999) menyatakan

BAB 5 – ISTRI NELAYAN DAN KEGIATAN PRODUKTIF

147

Pola Pemenuhan Modal Usaha

Untuk memenuhi modal usaha dalam melakukan kegiatan produktif, istri nelayan tradisional melakukan beberapa cara yaitu: (a) modal awal berasal dari milik sendiri, dan ada yang ditambah dengan meminjam ke BPR Bangkit dengan bunga 20%. Pelunasannya dengan sistem angsuran harian, dilunasi dalam 30 hari. Setiap pinjaman Rp1.000.000,- dipotong administrasi Rp 5.000,- atau Pinjam ke BRI atau Koperasi. (b) bila kurang modal, nilai lelang di TPI, garam dibayar sesudah hasil olahan laku dijual, (c) perputaran laba dari sebelumnya, atau utang ke suami untuk hasil tangkapannya, setelah laku dijual baru dibayar dan (d) untuk kegiatan pengolahan ikan dengan modal patungan dari 3-5 orang yang ikut bekerja.

Bertititik tolak dari penuturan tersebut dapat disimpulkan bahwa pola penyediaan modal usaha meliputi (a) modal milik sendiri, (b) utang serta (c) modal patungan. Nilai yang terkait dengan pemenuhan modal yaitu dibutuhkan kehati-hatian dalam proses pengambilan keputusan untuk meminjam modal, jangan sampai salah mengambil keputusan yang berdampak negatif atau kerugian bagi istri nelayan.

Keterbatasan modal menjadi hambatan yang dihadapi oleh para istri nelayan tradisional dalam melakukan kegiatan produktif. Para istri nelayan tradisional mengalami ketergantungan peminjaman modal usaha pada BPR, Bank Tongol atau lembaga keuangan non formal yang datang setiap saat, istilah yang diberikan oleh istri nelayan tradisional kepada Bank Tongol yang lokasinya dekat dengan TPI. Walaupun bunga pinjaman tinggi, namun sebagian besar para istri nelayan tradisional tetap memilih meminjam di Bank Tongol tersebut dengan alasan keterbatasan lembaga yang meminjamkan uang dan proses pencairan dananya cepat.

Page 24: Bab 5 Istri Nelayan dan Kegiatan Produktifrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/6/D_902009007_BAB V.pdfatau kerja memiliki nilai bagi kehidupan manusia. Ross (1999) menyatakan

MELAMPAUI “KASUR - SUMUR - DAPUR”

148

Pengalaman Pembelian Bahan Baku Beberapa hal yang dihadapi oleh istri nelayan tradisional dalam

proses pembelian bahan baku yaitu : (a) membeli dengan mengikuti lelang di TPI. Dalam proses lelang dibutuhkan keberanian, keterampilan dan penuh perhitungan. Terkadang proses lelang tidak transparan bahkan untuk memperlancar proses lelang, harus memberi rokok kepada petugas lelang, (b) membeli ikan dari nelayan tergantung pada hasil tangkapan dan terkadang juga hasil tangkapan suami.

Oleh sebab itu kegiatan pembuatan ikan asin tidak dapat direncanakan berapa banyak sebelumnya tergantung pada banyak sedikitnya ikan yang dapat dibeli, sehingga penghasilan dari usaha ini juga tidak pasti, kadang banyak dan kadang sedikit. Pembelian bahan baku hampir tidak pernah terhambat sebab bahan baku diperoleh dari hasil tangkapan suami kecuali kalau suami tidak dapat melaut atau hasil tangkapan suami sedikit.

Pelelangan Ikan di TPI Sendang Sikucing dan TPI Tawang tidak ada jadwal tetap, setiap nelayan kembali dari melaut, proses lelang di TPI langsung dilaksanakan, sehingga tidak ada kesulitan dalam pembelian bahan baku, namun karena mereka tidak membeli ikan dari tempat lain, maka pada musim paceklik yakni saat para nelayan tidak dapat miang, maka istrinyapun tidak dapat melakukan kegiatan produktif, memang tidak rugi tetapi juga tidak memperoleh pendapatan.

Berdasarkan penuturan informan tersebut dapat disimpulkan bahwa pengadaan bahan baku tidaklah sulit pada masa panen ikan, sedang untuk mengikuti lelang di TPI diperlukan adanya keberanian, keterampilan dalam mengikuti lelang dan kadang perlu memberi sesuatu seperti uang rokok kepada petugasnya.

Pengalaman Pemasaran Hal-hal yang dihadapi oleh istri nelayan tradisional dalam

memasarkan hasil pengolahan ikan dan penjualan ikan segar yaitu:

Page 25: Bab 5 Istri Nelayan dan Kegiatan Produktifrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/6/D_902009007_BAB V.pdfatau kerja memiliki nilai bagi kehidupan manusia. Ross (1999) menyatakan

BAB 5 – ISTRI NELAYAN DAN KEGIATAN PRODUKTIF

149

tidak pernah kesulitan dalam menjual ikan, selalu habis terjual karena selalu ada pembeli yang datang, pedagang atau bakul, wisatawan atau pengunjung yang langsung datang ke TPI. Pemasaran hasil olahan di jual di tempat pengolahan baik langsung kepada pembeli atau konsumen maupun pedagang atau bakul sehingga tidak perlu memasarkannya ke tempat lain.

Berdasarkan ungkapan informan tersebut dapat disimpulkan bahwa pemasaran produksi tidaklah sulit karena selalu ada pembelinya. Dengan demikian sesungguhnya kegiatan produktif para istri nelayan tradisional di wilayah penelitian ini memiliki prospek yang bagus untuk mendukung ekonomi rumah tangga, namun diperlukan sentuhan-sentuhan tertentu agar kegiatan mereka lebih dapat berkembang, seperti teknologi pengeringan dan peningkatan volume produksi melalui kemungkinan mendatangkan bahan baku dari daerah lain, adanya pendampingan dari pihak-pihak terkait sehingga bantuan yang diberikan kepada istri nelayan lebih berdaya guna.

Rangkuman Para istri nelayan tradisional yang semula hanya melakukan kegiatan yang berkaitan kasur-sumur-dapur yang artinya mereka mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang tidak dibayar atau tidak mendapatkan penghasilan. Kenyataannya menunjukkan bahwa rumah tangga nelayan tradisional jika hanya mengandalkan pendapatan dari suami saja maka sulit untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Hal ini mendorong para istri nelayan untuk mencari tambahan pendapatan dengan melakukan kegiatan produktif tanpa meninggalkan pekerjaan rumah-tangganya. Jadi pada kehidupan istri nelayan tradisional telah terjadi pertambahan peran. Istri nelayan tradisional yang semula hanya melakukan pekerjaan rumah tangga yang meliputi kasur-sumur-dapur, yang tidak dibayar atau tidak mendapatkan penghasilan, juga melakukan kegiatan produktif seperti nggereh dan ngeber, yang menghasilkan pendapatan sehingga dapat menambah pendapatan

Page 26: Bab 5 Istri Nelayan dan Kegiatan Produktifrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/6/D_902009007_BAB V.pdfatau kerja memiliki nilai bagi kehidupan manusia. Ross (1999) menyatakan

MELAMPAUI “KASUR - SUMUR - DAPUR”

150

rumah tangga. Dengan dua sumber pendapatan maka rumah tangga akan semakin dapat memenuhi kebutuhan hidup ekonominya.

Meskipun istri nelayan telah melakukan peran ganda dalam rumah tangga yakni melakukan pekerjaan rumah tangga yang meliputi kasur-sumur-dapur dan melakukan kegiatan produktif seperti dijelas-kan di atas tetapi kehidupan rumah tangga nelayan masih dalam keadaan kurang atau jauh dari kesejahteraan. Hal ini dikarenakan pendapatan yang lebih besar yang diperoleh dari dua sumber hanya dapat dipakai memenuhi kebutuhan pokok hidup sehari-hari. Kondisi ini dapat dicermati dalam kehidupan rumah tangga nelayan dalam memenuhi kebutuhan pokok hidupnya dan asset yang dimilikinya. Banyak faktor yang mempengaruhi kondisi tersebut, misalnya rumah tangga nelayan tradisional kehidupannya boros, yang didapat hari ini dihabiskan hari ini juga karena filosofi mereka “ono dino ono upo” yang artinya ada hari ada makanan. Pendidikan yang rendah juga berdampak pada kehidupan rumah-tangganya, daya inovasi, kreatifitas yang rendah dan tidak mudah untuk menerima masukan berdampak pada lambatnya terjadi perubahan sehingga sulit untuk berkembang.

Kegiatan produktif bagi istri nelayan tradisional memiliki makna tersendiri. Berbagai makna dari kegiatan produktif tersebut antara lain: (a) menyenangkan, (b) meringankan beban suami atau rumah tangga, (c) mencerminkan aktualisasi seorang istri. Bagi istri nelayan tradisional yang melakukan kegiatan produktif pada umumnya menyatakan bahwa melakukan kegiatan produktif merupakan suatu keharusan, suatu kebutuhan demi upaya memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga. Mengapa demikian, karena pendapatan suami dari kegiatan melaut atau menangkap ikan saat ini tidak dapat diandalkan lagi sebagai dampak dari (a) perubahan iklim sehingga sulit memprediksi cuaca dan gelombang, sulit memprediksi lokasi ikan, (b) persaingan antar nelayan yang menggunakan alat tangkap lebih baik serta, (c) pola pembagian hasil tangkapan yang cenderung merugikan nelayan tradisional.

Berbagai jenis kegiatan produktif istri nelayan tradisional antara lain: (a) membeli ikan dari nelayan kemudian dijual atau ngeber,

Page 27: Bab 5 Istri Nelayan dan Kegiatan Produktifrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/6/D_902009007_BAB V.pdfatau kerja memiliki nilai bagi kehidupan manusia. Ross (1999) menyatakan

BAB 5 – ISTRI NELAYAN DAN KEGIATAN PRODUKTIF

151

(b) mengolah ikan menjadi ikan asin atau nggereh dan (c) membuat terasi.

Pola kegiatan produktif istri nelayan dapat dijelaskan sebagai berikut (a) pola pengadaan bahan baku yang dilakukan oleh para istri nelayan dalam melakukan kegiatan produktif adalah hasil tangkapan ikan nelayan. Oleh sebab itu pola pengadaan bahan baku, mereka juga mengikuti pola nelayan dalam menjual hasil tangkapan mereka yakni dijual langsung dari nelayan atau dijual di TPI. Banyak sedikitnya bahan baku tergantung dari hasil tangkapan nelayan, (b) pola produksi atau pengolahan yang dilakukan di lokasi sekitar TPI, dengan teknologi tradisional dan dengan tenaga kerja keluarga dan (c) pola penjualan hasil produksi umumnya langsung dibeli oleh konsumen, pedagang atau bakul yang datang dan atau wisatawan atau pengunjung yang datang ke tempat mereka berusaha.

Bagi istri nelayan tradisional, melakukan kegiatan produktif memiliki nilai-nilai positif baik bagi kehidupan rumah tangga maupun kehidupan sosialnya. Nilai-nilai positif tersebut antara lain: halal, menyenangkan, memberikan sumbangan berarti bagi ekonomi rumah tangga, dapat berinteraksi dengan banyak orang seperti sesama istri nelayan tradisional, pembeli dan pengunjung sehingga melakukan kegiatan produktif memiliki keuntungan ganda. Adanya nilai-nilai positif melakukan kegiatan produktif yang dilakukan istri nelayan tradisional, meskipun tidak terlepas dari sejumlah hambatan seperti ketergantungan terhadap bahan baku yang dapat diperoleh dari kegiatan melaut para nelayan. Akhir-akhir ini kegiatan melaut tidak lagi dapat dipastikan hasilnya. Gangguan hasil tangkapan yang dialami nelayan tradisional berimbas pada kegiatan produktif para istri nelayan tradisional.

Bagi istri nelayan tradisional yang memiliki peran ganda dalam kehidupan rumah-tangganya berarti lebih banyak mengalokasikan waktunya untuk menyelesaikan dua kegiatan atau pekerjaannya. Pertama, kegiatan yang meliputi kasur-sumur-dapur dan yang kedua pekerjaan atau kegiatan produktif seperti ngeber dan nggereh. Meskipun istri nelayan tradisional memiliki peran ganda pada

Page 28: Bab 5 Istri Nelayan dan Kegiatan Produktifrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/6/D_902009007_BAB V.pdfatau kerja memiliki nilai bagi kehidupan manusia. Ross (1999) menyatakan

MELAMPAUI “KASUR - SUMUR - DAPUR”

152

umumnya kondisi ini tidak mengganggu keharmonisan rumah tangga. Hal ini tecermin dalam rumah tangga nelayan tradisional yang jarang terjadi konflik atau disharmoni meski dalam kehidupan yang relatif tidak berkembang.