24
247 BAB 9 SPIRITUAL CAPITAL DALAM HIDUP MANUSIA SUKU BUNAMasyarakat suku Buna’ di DHL dalam kadar tertentu, masih menghayati hidup yang ‘kolektivistis, holistis dan organisistis’ (Veeger 1993:10), biarpun tidak lagi seperti leluhur mereka yang tertutup dan terisolir oleh tempat yang jauh di pedalaman pulau Timor. Mereka sedang mengalami perubahan sebagaimana yang dialami oleh setiap masyarakat di mana pun dan kapan pun saja (Piötr Sztompka 1993/2007: 9-10). Mereka berada di persimpangan jalan. Mau tetap berada dan bertahan dalam cara hidup yang kolektivistis, holistis dan organisistis atau mau beralih ke cara hidup yang bercorak ‘individualistis, atomistis dan mekanistis’? (Veeger 1993: 11-12). Orang-orang Buna’ mengalami perubahan secara menyeluruh. Dalam hidup sehari-hari mereka (Bab 4 )penulis menemukan perubahan yang mereka alami dari kehidupan yang lamban, statis ke arah kehidupan yang serba cepat dan dinamis, dari kebiasaan makan dik (ubi) ke makan nasi dan roti. Khusus dalam sistem kekerabatan melalui perkawinan (dalam Bab 5), penulis menemukan perubahan yang sangat berarti, dari kolektivisme ke arah individualisme. Penulis menemukan pula perubahan yang menyolok dalam sistem kepemimpinan dan perekonomian desa (dalam Bab 6). Mereka beralih dari pemerintahan di tangan kaum bangsawan ke pemerintahan yang demokratis. Dalam hal perekonomian desa, mereka mulai berusaha untuk menanam tanaman umur panjang seperti kopi dan kemiri yang lebih mendatangkan hasil dari pada hanya menanam jagung dan ubi-ubian. Masyarakat Bunamasih mempertahankan beberapa unsur kesenian dan hiburan tradisional ( Bab 7) namun di balik itu penulis menemukan pula perubahan berupa peralihan dari kesenian dan hiburan tradisional ke kesenian dan hiburan modern seperti dansa a ala Barat dan musik pop

BAB 9 SPIRITUAL CAPITAL DALAM HIDUP MANUSIA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/725/10/D_902006009_BAB IX… · dari pada hanya menanam jagung dan ubi-ubian. ... (1972), Bei

  • Upload
    vandat

  • View
    218

  • Download
    5

Embed Size (px)

Citation preview

247

BAB 9 SPIRITUAL CAPITAL

DALAM HIDUP MANUSIA SUKU BUNA’

Masyarakat suku Buna’ di DHL dalam kadar tertentu, masih menghayati hidup yang ‘kolektivistis, holistis dan organisistis’ (Veeger 1993:10), biarpun tidak lagi seperti leluhur mereka yang tertutup dan terisolir oleh tempat yang jauh di pedalaman pulau Timor. Mereka sedang mengalami perubahan sebagaimana yang dialami oleh setiap masyarakat di mana pun dan kapan pun saja (Piötr Sztompka 1993/2007: 9-10). Mereka berada di persimpangan jalan. Mau tetap berada dan bertahan dalam cara hidup yang kolektivistis, holistis dan organisistis atau mau beralih ke cara hidup yang bercorak ‘individualistis, atomistis dan mekanistis’? (Veeger 1993: 11-12).

Orang-orang Buna’ mengalami perubahan secara menyeluruh. Dalam hidup sehari-hari mereka (Bab 4 )penulis menemukan perubahan yang mereka alami dari kehidupan yang lamban, statis ke arah kehidupan yang serba cepat dan dinamis, dari kebiasaan makan dik (ubi) ke makan nasi dan roti. Khusus dalam sistem kekerabatan melalui perkawinan (dalam Bab 5), penulis menemukan perubahan yang sangat berarti, dari kolektivisme ke arah individualisme. Penulis menemukan pula perubahan yang menyolok dalam sistem kepemimpinan dan perekonomian desa (dalam Bab 6). Mereka beralih dari pemerintahan di tangan kaum bangsawan ke pemerintahan yang demokratis. Dalam hal perekonomian desa, mereka mulai berusaha untuk menanam tanaman umur panjang seperti kopi dan kemiri yang lebih mendatangkan hasil dari pada hanya menanam jagung dan ubi-ubian. Masyarakat Buna’ masih mempertahankan beberapa unsur kesenian dan hiburan tradisional ( Bab 7) namun di balik itu penulis menemukan pula perubahan berupa peralihan dari kesenian dan hiburan tradisional ke kesenian dan hiburan modern seperti dansa a ala Barat dan musik pop

248

menggantikan tei (tandak) dan teberai’ (likurai). Dalam Tentang sistem religi (Bab 8), penulis menemukan perubahan dari praktek agama suku yaitu agama Hot Esen ke agama Kristen Katolik biarpun masih ada praktek-praktek pencampur-adukan antara ritus kedua agama. Dalam penelitian ini penulis menemukan bukan hanya perubahan, tetapi ada juga proses sosial, perkembangan sosial dan kemajuan sosial (Piötr Sztompka 1993/2007: 12). Perubahan sosial dialami oleh masyarakat suku Buna’ di DHL dalam bentuk pergeseran dari yang lama, tradisional ke yang baru, modern. Proses sosial mereka alami dalam bentuk kejadian-kejadian yang menimpa mereka yaitu malapetaka peperangan yang menghancurkan harta milik dan harta budaya mereka dan diganti dengan yang baru. Perkembangan sosial mereka alami dalam bentuk ‘kristalisasi sosial, dan artikulasi kehidupan sosial’ dari yang lama ke yang baru ((Piötr Sztompka 1993/2007:12). Mereka mengalami perubahan, proses, perkembangan dan kemajuan sosial. Dalam pengalaman mereka ini terjadilah apa yang dikemukakan oleh Anthony Giddens, suatu kontinuitas dan diskontinuitas sosial (Anthony Giddens 1979/2009: 411-5).

Kenyataannya memang ada kontinuitas dan diskontinuitas dalam perubahan, proses, perkembangan dan kemajuan sosial yang dialami oleh masyarakat suku Buna’. Ada diskonuitas, berarti ada unsur-unsur sosial yang ditinggalkan entah sengaja atau tidak sengaja. Apa saja yang ditinggalkan? Apa saja yang diteruskan sehingga disebut adanya kontinuitas? Hal yang tertinggal dan tetap bertahan sampai sekarang oleh Bourdieu disebut habitus (Anthony Giddens 1979/2009: 414). Unsur-unsur yang bertahan itu (kontinuitas) semakin mantap melalui proses reproduksi sosial. Ada unsur-unsur yang mengalami diskontinuitas karena sedang memudar dan tergilas oleh arus zaman, seperti tais, kain tenun asli dilindas oleh melimpahnya bahan tekstil hasil dari pabrik yang mudah diperoleh dan murah harganya. Bahasa Buna’ sedang memudar tergeser oleh bahasa Indonesia. Berdoa di rumah adat sesuai habitus agama Hot Esen digantikan dengan berdoa di gereja sesuai tradisi Gereja Katolik.

Masyarakat suku Buna’ menghayati spiritual capital sebagai satu kesatuan dengan capital yang lain. Spiritual capital boleh disebut juga modal rohani merupakan capital atau modal yang ada dalam diri manusia sejak adanya manusia itu. Spiritual capital itu ada dalam diri

249

manusia yang adalah roh yang membadan dan badan yang me-roh ((Driyarkara 1956/2006: 366-375; 398-399). Kalau dilihat hanya sebagai capital atau modal saja, maka spiritual capital itu merupakan salah satu dari enam belas capital atau modal yang sampai sekarang ini diungkapkan oleh berbagai ahli dari sudut pandang keahliannya masing-masing (Alex Liu dkk. 2007). 37

Satu kelompok ahli dari kelompok Pasadena (The RM Institute’ , RM = Research Method, 2007-2008) merangkum semua capital yang berjumlah enam belas capital itu ke dalam empat kelompok besar atau hanya empat capital saja, yaitu material capital, intellectual capital, social capital dan spiritual capital. Mereka tidak mempersoalkan arti dan peranan dari tiga capital yang lain, material capital, intellectual capital, social capital. Mereka memfokuskan diri pada spiritual capital dengan alasan bahwa kepincangan dalam pembangunan secara menyeluruh di dunia saat ini karena masyarakat global sedang mengabaikan arti dan tempat serta peranan spiritual capital dalam pembangunan. Penekanan terlalu material capital sambil mengabaikan spiritual capital, membuat manusia semakin materialistis, egoistis dan hedonistis. Penekanan terlalu pada intellectual capital sambil mengabaikan spiritual capital, masyarakat semakin intelektualistis dan mendewakan ilmu pengetahuan dan teknologi sampai melecehkan sesama manusia dan terutama melecehkan eksistensi Yang Maha Tinggi. Penekanan terlalu pada social capital sambil mengabaikan spiritual capital mengakibatkan masyarakat manusia terjerumus ke dalam korporasi atau persekongkolan jahat antara sesama manusia yang mencelakakan diri sendiri. Inilah masyarakat dunia kita sekarang ini yang dilukiskan oleh Danah Zohar dan Ian Marshall sebagai “Monster yang memangsa dirinya sendiri” (Danah Zohar dan Yan Marshall 2004: 53). Kedua orang ini mengatakan

37 Alex Liu, Danah Zohar, Marshall (2007) dan kawan-kawan

menghasilkan satu rumusan definisi di Pasadena, yang berbunyi, “Spiritual capital refers to the power, influence and dispositions created by a person or an organization’s spiritual belief, knowledge and practice”. (Spiritual capital merujuk pada kekuatan, pengaruh dan keadaan yang diciptakan oleh kepercayaan, pengetahuan dan praktek rohani dari seseorang atau suatu organisasi). Kelompok Pasadena ini menyatakan bahwa definisi tersebut merupakan penemuan mereka dan mereka memegang hak cipta / copyright © The RM Institute 2007, 2008 (The RM Institute’ , RM = Research Method).

250

bahwa masyarakat internasional sekarang ini sedang membuat diri stress karena ulahnya sendiri yaitu tindakan ‘despiritisasi’, menghindari malah mau menyangkali adanya roh dalam diri dan di luar diri sehingga manusia baik pribadi maupun kelompok, semakin keropos, tak bertulang, sakit dan sakit yang paling parah yaitu sakit jiwa. Gejala gunung es yang sudah mulai muncul, kasus-kasus bunuh diri38 yang terjadi di mana-mana merupakan akibat dari ‘despiritisasi’ ini, atau dengan kata lain, mengabaikan spiritual capital oleh manusia yang tertanam dalam diri setiap manusia yang sedang diabaikan pemberdayaannya dalam kegiatan pembangunan diri, sesama dan alam sekitar. Keluhan tentang kebobrokan tindakan manusia ini sudah diungkapkan oleh Driyarkara pada tahun 1956 dengan mengungkapkan bahwa ibu kota (Jakarta) itu “ pusat kebudayaan juga pusat kebuayaan”. (Driyarkara 2006/1956: 603).

Kelompok Pasadena secara tegas membuat satu rumusan khusus tentang apa itu spiritual capital. Mereka membuat satu definisi: Spirituaal capital adalah kekuatan, pengaruh dan keadaan yang diciptakan oleh kepercayaan, pengetahuan dan praktek rohani dari seseorang atau suatu organisasi. (The RM Institute’ , RM = Research Method, 2007-2008). Untuk mengungkapkan apa itu spiritual capital dalam kaitan dengan setiap capital dan implikasinya dalam pembangunan, penulis kemukakan ulasan dalam Bab 9 ini. TEMUAN LAPANGAN: KONTINUITAS DAN DISKONUITAS

Tulisan Louis Berthe (1972), Bei Gua, tentang asal-usul suku Buna’ menungkapkan silsilah dan adat istiadat suku Buna’ dalam bentuk etnografis, pelukisan dan pendataan fakta sejarah dan budaya suku Buna’. Di sana tidak ada suatu gambaran tentang kontinuitas dan diskontinuitas keadaan sosio-budaya suku Buna’ atau interpretasi tentang makna yang terkandung dalam peristiwa dan upacara-upacara suku Buna’. Manuskrip A.A. Bere Tallo (1978) tentang Zapal (dongeng) dan Adat Kebiasaan Suku Buna’ berisi data penting tentang suku Buna’

38 Ada data dari Kepolisian Daerah Metro Jaya, tercatat kasus bunuh diri di Jakarta, tahun 2010, 175 kasus, tahun 2009, 165 kasus. (Kompas, Senin, 18 Juli 2011, hal. 25).

251

tanpa ada interpretasi tentang latar-belakang atau makna adat istiadat itu sendiri. Tulisan Claudine Friedberg (1982), Muk Gubul Nor tentang berbagai jenis tumbuhan yang dikenal oleh suku Buna’ benar-benar berisikan data yang sangat lengkap tentang berbagai jenis tumbuhan yang dikenal suku Buna’ tanpa pelukisan tentang makna tumbuh-tumbahan tersebut sebagai pengungkapan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat suku Buna’. Tiga karya monumental tentang suku Buna’ ini memang tidak mempunyai tujuan untuk membuat analisis filosofis tentang kehidupan suku Buna’.

Penulis berusaha mempelajari kehidupan suku Buna’ melalui pengamatan, wawancara, diskusi dan studi dokumentasi untuk mengungkapkan falsafah kehidupan suku Buna’ melalui pengungkapan mereka dalam kehidupan sehari-hari mereka. Untuk studi filosofis ini, penulis memakai satu alat ukur yaitu alat ukur pembangunan yang didasarkan pada rumusan kelompok Pasadena tentang capital dalam pembangunan (Alex Liu, dkk. 2007). Kelompok Pasadena ini sudah penulis gambarkan siapa mereka dalam Bab II.

Alat ukur pembangunan yang penulis maksudkan ialah ‘Kuadran CN’. Dua huruf CN singkatan dari ‘Capital N’. Kalau ada yang kemudian mau mengalih-bahasakan nama alat ini ke dalam bahasa Inggris, penulis mengusulkan untuk memakai nama ‘C-Quadrant’.39 Alat ukur ini penulis rumuskan dengan tujuan untuk memudahkan orang mengukur maju-mundurnya, baik-buruknya proses dan hasil pembangunan. Disebut kuadran karena gambar kuadran yang dipakai untuk menampilkan bidang-bidang kekuatan dan kelemahan capital yang didaya-gunakan manusia dalam pembangunan.

Dalam alat ukur ‘kuadran’ ini kata capital dipakai untuk dengan jelas menunjukkan bahwa gambar kuadran ini memuat capital (modal pembangunan) sebagai pokok uraian. Huruf N itu merupakan huruf awal dari empat kata yang menggambarkan dalam alam pikiran bangsa Indonesia tentang apa yang secara universal dikenal dengan empat istilah, material capital, intellectual capital, social capital dan spiritual

39 Dalam versi Inggris kalau ada yang kemudian mau meng-inggris-kan gambar ini maka setiap capital itu cukup diberi saja singkatan: material capital (Mc), intellectual capital (Mi), social capital (So), Spiritual capital (Sp). Dengan demikian tidak perlu lagi ada penomoran seperti dalam versi Indonesia ini, N1, N2, N3, N4.

252

capital. Empat istilah ini di-Indonesia-kan dengan kata, Nafsu (material capital ), Nalar (intellectual capital ), Naluri (social capital ) dan Nurani (spiritual capital ). Setiap kata diberi kode dengan huruf awal, N ditambah dengan angka sesuai urutannya, Nafsu = N1, Nalar = N2, Naluri = N3 dan Nurani = N4.

Pembangunan yang dilaksanakan oleh suku Buna’ sekarang

tidak seimbang karena mereka mengabaikan spiritual capital yang terdapat dalam agama asli mereka, agama Hot Esen.Dalam agama itu dibiasakan untuk memelihara pohon-pohon besar di sumber air karena sakral. Pemunculan dalam agama asli ini sebenarnya spiritual capital yang dirumuskan untuk ditaati. Dengan masuknya agama Kristen Katolik, yang mengajarkan bahwa di sumber air tidak ada roh-roh yang menjaga air dan pohon-pohon, maka mereka menebang pohon-pohon itu tanpa rasa bersalah sedikitpun. Di sinilah terjadi ketimpangan dalam pembangunan, khususnya dalam pelestarian lingkungan hidup. Seharusnya dijaga keseimbangan, tetapi keseimbangan antara empat capital itu tidak dijaga sehingga terjadilah kekeringan yang membuat masyarakat suku Buna’ menderita. Ketimpangan ini dapat digambarkan dalam kuadran CN dalam gambar 47.

Material capital (Nafsu)

Intellectual Capital (Nalar)

Social capital (Naluri)

Spiritual capital

(Nurani)

Gambar 47. Kuadran CN. Perpaduan antara empat capital sebagai syarat untuk tindakan manusia secara seimbang.

253

Dalam gambar 48. yang menampilkan perpaduan capital-capital

itu menunjukkan satu cita-cita pembangunan yang ideal di mana empat capital itu diupayakan untuk didayagunakan secara seimbang. Kalau tidak seimbang maka pembangunan apa pun akan kurang memenuhi harapan manusia itu sendiri yaitu kesejahteraan lahir dan bathin.

Material capital

(Nafsu)

Intel- lectual Capi tal (Nalar

Social capital (Naluri)

Spirit.Cap.

Gambar 48. Kuadran CN: pembangunan yang mengabaikan spiritual capital (Nurani). Menebang pohon di sumber air (material capital). Kurang memakai nalar dan merugikan kepentingan bersama.

254

Dalam temuan lapangan tentang masyarakat Suku Buna’ di DHL, khususnya dalam keseharian hidup orang-orang DHL, ternyata mereka tidak memilah-milah kehidupan atas mana yang rohani dan mana yang jasmani. Dalam adat molo a (makan sirih) sebagai satu kebiasaan menerima tamu dan kebiasaan memakai sirih dan pinang dalam berbagai acara adat dan keagamaan, empat capital itu diungkapkan secara serentak. Molo (sirih) itu tanaman yang dihargai sehingga dipelihara dan diperjual-belikan. Ini aspek material capital dari suku Buna’ yang terungkap dalam materi molo (sirih). Adat menyajikan sirih dan segala simbol yang dilekatkan pada sirih misalnya untuk meminang, untuk menjalin persahabatan, merupakan aspek intellectual capital dari molo. Dalam hal ini molo bukan lagi daun tanaman atau benda biasa tetapi sudah sarat dengan arti simbolik. Penghargaan terhadap molo sudah lain, sudah lebih tinggi dari penghargaan terhadap daun-daun yang lain. Molo ini tanaman yang membutuhkan banyak air

N1

N3

N4

N2

A

N1 + N3

D

N4 + N2

B

N2 + N3

C

N1 + N4

Gambar 49. Kuadran CN (Capital N) Empat capital (N1+N2+N3+N4) ditampilkan utuh

dalam hidup sehari-hari suku Buna’. Ada keseimbangan antara pemunculan N1=Nafsu (material capital); N2=Nalar (spititual capital); N3=Naluri (social capital); N4=Nurani

(spiritual capital)

255

maka biasa ditanam di tempat yang disebut natal hutan larangan atau tempat terlindung yang ada sumber mata air dan tempat terlarang bagi hewan dan manusia untuk mengambil kayu api. Tempat ini menjadi hutan sakral dan sirih yang tumbuh di dalamnya pun turut terlindung. Inilah unsur intellectual capital atau kearifan lokal masyarakat suku Buna’ yang terungkap dalam hal molo atau sirih ini. Molo ini juga masuk dalam aspek social capital sewaktu dipakai untuk saling menjamu. Selanjutnya molo masuk dalam aspek spiritual capital sewaktu dipakai untuk menjadi bahan persembahan waktu ada upacara religi agama Hot Esen.

Pemisahan antara yang sakral dan profan adalah konsep Barat yang membedakan hal-hal yang berkaitan dengan dunia roh itu disebut sakral dan ha-hal yang berkaitan dengan dunia jasmani itu disebut profan (Mariasusai Dhavamony 1973/1995: 147-8). Dalam fenomenologi agama, Dhavamony menggolongkan agama-agama atas agama primitif dan agama modern, agama polytheistis dan monotheistis. Penggolongan ini sama sekali tidak berdasar pada hakikat kepercayaan manusia itu sendiri. E.B. Tylor yang dikenal dengan istilahnya ‘animisme’ untuk kepercayaan masyarakat primitif (Dhavamony 1973/1995: 66) membuat kesalahan fatal karena menilai kepercayaan manusia berdasarkan perkembangan sosiologi di mana perubahan masyarakat itu memang mengikuti tahap-tahap perkembangan seturut ukuran manusia modern. Kontak antara manusia dengan Tuhan itu berlaku pada zamannya dan tidak boleh itu dikatakan primitif lalu manusia di zaman modern atau post-modern sekarang ini dikatakan modern. Dalam agama tidak ada primitif tidak ada modern. Agama sebagai ungkapan iman kepercayaan manusia kepada Yang Maha Tinggi tetap sah dan unik bagi pemeluknya. Tidak dapat diterima adanya pemikiran tentang orang yang menyatakan diri paling benar dalam agama yang ia anut sehingga orang yang beragama lain harus di-tobat-kan ke agama sendiri.

Masyarakat dunia sekarang ini sedang bergejolak dalam kasus beragama karena adanya persepsi yang salah ini. Di Pulau Timor saat ini ada suku Boti di wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan yang masih bertahan menganut agama asli mereka. Ada niat dari sementara kalangan yang mau meng-agama-kan orang-orang ini. Niat semacam ini sudah harus disadari sebagai suatu upaya pemerkosaan yang keji terhadap hak azasi sesama manusia (Franz Magnis-Suseno 2005: 225-7).

256

Pergaulan dengan suku ‘terasing’ yang menganut agama suku atau agama asli tidak dilarang. Kemudian mereka tertarik dan mau belajar lalu berpindah dari agama aslinya ke agama yang dibawa oleh orang yang datang dari luar, kalau secara wajar, dalam arti tanpa bujukan apalagi pemaksaan secara halus atau kasar, maka tindakan seperti itu dapat diterima oleh akal sehat dan nurani yang murni. Kalau ada pemaksaan dan bujukan teselubung, maka sudah harus disadari saat ini bahwa tindakan itu tindakan tidak manusiawi dalam arti sesama manusia membohongi sesama yang lain dengan dalih ‘menobatkan’. Lain halnya dengan pengalaman Nommensen di tanah Batak tahun 1865 dan 1866. Di sana Nommensen membawa pekabaran Injil dan membawa kedamaian (Lothar Scheriner 1972/2003: 43-44).

Sejarah sudah mencatat bahwa agama-agama ‘besar’ seperti Kristen pernah disebarkan dengan cara yang licik yang pernah diungkapkan dalam istilah ‘gold, glory, gospel’, penyebaran melalui pencaharian emas, perluasan kekuasaan dan penyebaran Injil. Ada niat baik dari Gereja Kristen (Katolik dan Protestan) sebagai institusi untuk mewartakan kabar gembira (Injil) tetapi sering dibelokkan oleh para pembawa agama itu yang berasal dari Barat. “Kolonialisme dan sekularisme mencoba membelokkannya dari hasrat rohani kepada kepentingan duniawi” (Rachmat Subagya 1981: 24). Hal itu tidak boleh lagi terjadi dalam abad ini dan selanjutnya.

Dalam upacara yang berkaitan dengan kelahiran, perkawinan dan kematian, empat aspek capital itu menyatu. Material capital terwujud dalam bentuk kain adat, alat-alat kurban yang disiapkan khusus untuk segala macam upacara itu. Tempat-tempat ibadat masuk dalam material capital ini. Bagaimana cara menata upacara dan menata urutan upacara merupakan aspek intellectual capital, kearifan lokal. Semua peristiwa itu, kelahiran, perkawinan dan kematian merupakan ajang pertemuan kekeluargaan dan ini jelas aspek social capital. Semua acara itu selalu dikaitkan oleh manusia yang hidup ini dengan mugen bei mil (arwah leluhur), pan muk gomo (roh-roh penghuni langit dan bumi) dan Hot Esen (Yang Maha Tinggi). Hal yang sama terjadi dengan sistem kepemimpinan lokal dalam diri turunan bangsawan dan rakyat di mana bangsawan ada untuk rakyat dan rakyat ada karena ada bangsawan yang menjamin keberadaan mereka secara aman dan damai. Dua kelompok ini menyatu

257

dalam kesatuan tempat hunian yang dijaga bersama kelestariannya, baik itu ladang, padang maupun hutan. Tempat bersama manusia itu bahagian dari aspek material capital. Norma adat yang disepakati dan ditaati bersama ini merupakan aspek intellectual capital. Kepentingan bersama itu masuk dalam aspek social capital. Hal-hal ini diungkapkan dengan bahasa Buna’ yang menjadi ungkapan cita dan rasa suku Buna’. Dan semuanya ini selalu didasarkan pada keyakinan pada adanya pengontrolan dari mugen bei mil (arwah leluhur), pan muk gomo (roh-roh penghuni langit dan bumi) dan Hot Esen (Yang Maha Tinggi). Yang terakhir ini masuk dalam unsur spiritual capital. Hal yang cukup mengherankan ialah adanya keterkaitan empat capital ini dalam kesenian dan hiburan rakyat masyarakat suku Buna’. Hasil kesenian seperti tenunan, anyaman dan ukiran serta seni sastra mempunyai keterpaduan antara empat aspek capital itu dalam satu keutuhan yang asri. Sebagai contoh, tais, kain tenun itu mempunyai nilai material, intellectual, social dan spiritual. Ini terjadi karena dalam kain tenun, tais, itu terpadu curahan dan ungkapan material capital, intellectual capital, social capital dan spiritual capital yang ada dalam diri pribadi dan kelompok masyarakat suku Buna’. Dalam sistem religi, agama suku Buna’, agama Hot Esen menjadi ajang pengungkapan terdalam dari spiritual capital itu yang dipadukan dengan material capital, intellectual capital dan social capital. Di sini perlu ada suatu refleksi baru, spiritual capital itu bukan religious capital atau sebaliknya, religious capital bukan spiritual capital. Dua hal ini sangat berbeda satu sama lain. Memang ada kaitan, tetapi bukan sama. Religious capital memampukan orang dapat hidup beragama. Spiritual capital merupakan modal yang ada dalam diri manusia untuk dimunculkan dalam agama sebagai pemunculan dari religious capital.

Dengan gambar 1, mau diungkapkan bahwa pada dasarnya suku Buna’ menampilkan penghayatan empat capital dalam hidup harian itu secara utuh terpadu. Sebagai contoh dipakai keterangan tentang kepemimpinan dalam suku Buna’ yang diurus oleh kelompok suku bangsawan. Kelompok suku bangsawan itu orang-orang oleh adat diberi wewenang untuk mengatur manusia sebagai rakyat. Ini ada unsur kemasyarakatan yang diberi kode N3=Naluri (social capital). Mereka juga diakui dan diberi wewenang oleh masyarakat untuk menata kampung serta kebun sebagai tempat

258

hunian. Ini termasuk dalam penampilan material capital, urusan ‘benda’ diberi kode N1=Nafsu (material capital). Perpaduan dari dua tugas ini, menata alam dan mengurus rakyat masuk dalam bidang A dalam Kuadran Capital N di mana ada pertemuan antara N1 + N3 (N1=Nafsu /material capital + N3=Naluri /social capital).

Selanjutnya dalam bidang B ada pertemuan antara N2 + N3 (N2=Nalar /intellectual capital + N3=Naluri /social capital). Kaum bangsawan ini termasuk pemegang kebijakan berdasarkan norma dan karifan lokal. Itu dilukiskan dengan kode N2, Nalar, intellectual capital. Dengan kearifan ini mereka mengurus rakyat yang dilukiskan dengan kode N3, Naluri, social capital. Perpaduan antara bidang A dan B atas cara yang wajar dan baik disebut kepemimpinan yang bertanggung-jawab dan arif bijaksana.

Dalam bidang C ada pertemuan antara N1 dan N4. N1, Nafsu yang berkaitan dengan alam bendawi bertemu denan N4 yang berkaitan dengan alam roh. Dalam bidang ini masyarakat Buna’ mengakui adanya kekuatan yang lebih besar dari kemampuan manusia. Kesadaran ini adalah kesadaran berdasarkan spiritual capital yang ada tertana dalam diri manusia. Mereka bukan berserah diri pada kekuatan ‘roh’ sebagai yang lebih tinggi dari dirinya dalam menata alam, tetapi hanya sebatas mengakui ‘roh’ daya tumbuh yang ada dalam alam. Keyakinan akan adanya roh ini dituduh sebagai animisme oleh E.B. Tylor (Rachmat Subagya 1981:76). Ini tidak benar dan pandangan harus dikoreksi dengan pandangan baru bahwa kesadaran manusia akan spiritual capital bukan suatu penyembahan kepada roh yang ada di luar dirinya melainkan suatu kesadaran bahwa diri manusia itu sendiri adalah roh dan roh dalam diri manusia itu berkontak dengan roh lain yang ada dalam alam. Dalam hal ini ada kecocokan antara agama Hot Esen yang dianut oleh suku Buna’ dengan agama Kristen yang sekarang dianut oleh suku Buna’ generasi muda. Agama Kristen dalam Gereja Katolik mengajarkan tentang adanya malaekat-malaekat sebagai roh-roh dan orang kudus, santo dan santa yang patut diteladani oleh setiap orang Kristen Katolik. Ini suatu penegasan pada kepercayaan suku Buna’ yang percaya akan adanya roh-roh (pan muk gomo) dan arwah leluhur (mugen tata bei mil). Kesadaran dan kepercayaan dari suku Buna’ ini bukan sesuatu yang primitif yang harus dibasmih. Ini hanya perlu ditegaskan dan dimurnikan dalam arti kesadaran ini diungkapkan secara

259

lain dalam agama Kristen Katolik. Kalau dalam agama Hot Esen, keterjalinan antara manusia yang hidup sekarang dengan leluhur diungkapkan dengan peletakan sirih-pinang, dalam Gereja Katolik diungkapkan dengan doa, pembakaran lilin dan perayaan Ekaristi (Misa Kudus). Di sini perlu ada penjembatanan, bukan penghapusan. Dan ternyata tidak bisa dihapuskan. Mengapa? Karena baik agama Hot Esen maupun agama Kristen-Katolik hanyalah suatu pengungkapan atas spiritual capital yang tertanam dalam diri manusia secara universal. Titik tolak untuk pertemuan antara semua manusia harus mulai bukan atas dasar agama, melainkan atas dasar kesadaran akan spiritual capital yang ada dalam diri setiap manusia. Upaya tobat-menobatkan ke dalam agama tertentu harus dirobah ke dalam upaya penyadaran akan adanya capital dalam dalam diri manusia, dan salah satu capital itu adalah spiritual capital.

Dalam bidang D ada pertemuan antara N4 dan N2, Nurani dan Nalar. Ini pertemuan dua capital, spiritual capital dan intellectual capital yang membuat manusia menjadi sangat manusiawi-ilahi dan ilahi-manusiawi. Manusia yang sadar melalui N2 (Nalar = intellectual capital) tentang adanya roh-roh melalui N4 (Nurani = spiritual capital) melahirkan agama dalam bentuk ajaran/dogma dan ritus, doa dan upacara (Dwi Narwoko – Bagong Suyatno 2007: 244-276). Orang Buna’ beragama atas dasar keterpaduan N2 dan N4 ini. Atas dasar ini kalau orang Buna’ beralih dari agama asli, agama Hot Esen ke agama baru, agama Kristen Katolik, harus berani untuk meninggalkan (diskontinuitas) simbol-simbol yang dipakai dalam agama Hot Esen dan harus menerima dan memakai simbol-simbol yang dipakai dalam agama Kristen Katolik. Pejabat agama seperti Mako’an harus beralih ke Guru Agama dan Pastor. Tempat upacara di bosok dan mot harus dialihkan ke kapela dan gereja. Dalam hal ini masyarakat suku Buna’ masih dalam taraf peralihan yang perlahan-lahan dari mot ke gereja, seperti dalam pola makan, dari ubi ke roti. Waktu lapar ubi pun jadi. Waktu kesepian, mot pun jadi.

Jadi masyarakat suku Buna’ menghayati spiritual capital bersamaan dengan capital yang lain secara serentak. Hal ini yang oleh Danah Zohar dan Ian Marshall disebut sebagai penjabaran pembangunan secara utuh dalam membangun persaudaraan sejati, suatu “persaudaraan umat manusia (the brotherhood of man)” (Danah Zohar

260

dan Ian Marshall 2004/2007: 89). Keakraban yang terjadi dalam pergaulan harian suku Buna’ menunjukkan persaudaraan yang sejati dalam arti saling menghargai atas dasar kesamaan asal-usul, kesamaan adat, kesamaan bahasa dan penghargaan atas status masing-masing sesuai peran masing-masing dalam masyarakat. Keakraban dan persaudaraan ini sudah menjadi satu pola mini untuk persaudaraan umat manusia sedunia saat ini dalam versi yang lebih luas. Untuk perwujudan persaudaraan seperti ini perlu ada modal dasar yang dimiliki bersama sebagai titik tolak. Modal dasar itu adalah empat capital ini: material capital, intellectuan capital, social capital, spiritual capital. Dalam tulisan ini penulis menamakan material capital itu Nafsu. Penulis memberi kode untuk nafsu itu N1. Intellectual capital itu dinamakan Nalar. Kode yang diberikan ialah N2. Social capital itu dinamakan Naluri. Kode yang diberikan N3. Spiritual capital itu diberi nama oleh penulis, Nurani dan diberi kode N4.

Gambar tentang penyatuan ini ditampilkan dalam bentuk ‘kuadran’ untuk memperlihatkan kekuatan dan kelemahan dalam keterpengaruh-an antara keempat-empatnya.

N1

N4

N2

N3

Gambar 50. Kesatuan empat capital: N1=Nafsu (material capital); N2=Nalar (intellectual capital); N3=Naluri (social capital); N4=Nurani (spiritual capital)

(Sumbe: Anton Bele)

261

Dalam kuadran ini terlihat di lajur atas dari kiri ke kanan, ada:

N1=Nafsu (material capital); N2=Nalar (spititual capital) . Di lajur kiri dari atas ke bawah ada: N3=Naluri (social capital); N4=Nurani (spiritual capital).

Dalam bidang A ada pertemuan antara N1 dan N3. Ini menandakan pripadi orang itu mempunyai kekuatan yang terpadu antara pengutamaan pada Nafsu dan Naluri. Ciri orang ini secara positif menghargai benda (spiritual capital) dan suka bergaul dengan orang lain (social capital). Secara negatif pribadi ini dapat menjadi orang yang serakah dan suka memperalat sesama, kalau tidak ditopang dengan bidang B,C,D. Pengenaan pada diri pribadi dapat dianalogikan dengan satu kelompok masyarakat lokal, nasional maupun internasional.

Dalam bidang B ada pertemuan antara N2 dan N3. Ini menandakan pribadi orang itu mempunyai kekuatan yang terpadu antara pengutamaan Nalar/N2 (Intellectual Capital) dan N/Naluri (Social Capital). Secara positif orang ini memakai nalarnya (intelectual capital) untuk mempengaruhi orang lain (social capital) untuk suatu kegiatan

A

N1 + N3

D

N4 + N2

B

N2 + N3

C

N1 + N4

N1

N3

N4

N2

Gambar 51. Kuadran CN (Capital N) N1=Nafsu (material capital); N2=Nalar (intellectual capital);

N3=Naluri (social capital); N4=Nurani (spiritual capital) (Sumbe: Anton Bele)

262

yang positif pula. Misalnya dalam urusan politik, orang ini mempunyai pengaruh yang baik untuk kepentingan umum. Tetapi secara negatif, orang ini dapat menjadi pembohong besar yang cerdik untuk memperdaya orang banyak demi kepentingan yang jahat. Hal negatif ini terjadi kalau bidang A, C dan D diabaikan.

Dalam bidang C ada pertemuan antara N1 dan N4. Ini menandakan pribadi orang itu mempunyai kekuatan yang terpadu antara pengutamaan Nafsu/N1 (Material Capital) dan N4 /Nurani (Spiritual Capital). Secara positif orang ini memakai nafsunya (material capital) untuk memenuhi kebutuhan hidup secara maksimal dengan memperhatikan nurani (spititual capital). Para tokoh agama yang alim masuk dalam kategori ini. Secara negatif, orang ini menjadi rakus dan tamak sambil memakai nurani yang diberangus untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya dalam posisi itu.

Dalam bidang D ada pertemuan antara N4 dan N2. Ini menandakan pribadi orang itu mempunyai kekuatan yang terpadu antara pengutamaan N4 /Nurani (Spiritual Capital) dan N2/Nalar (Intellectual Capital). Secara positif orang ini memakai N4 /Nurani (Spiritual Capital) untuk menggulati Nalar/N2 (Intellectual Capital) sehingga dirinya menjadi rohaniwan sekaligus ilmuwan atau sebaliknya. Secara positif orang ini sangat mempengaruhi pola pikir dan pola tindak masyarakat di sekitarnya. Secara negatif, orang ini bisa membuat skandal yang besar kalau dengan kemampuannya di bidang rohani dan ilmu untuk merusakkan watak orang lain.

Keadaan yang ideal adalah pengutamaan salah satu bidang sambil memakai pula bidang yang lain sebagai penyeimbang, penyaring dan penyatu. Pribadi utuh terpadu adalah pribadi yang unggul di salah satu ‘bidang’ sambil tidak mengabaikan ‘bidang’ yang lain,

Dengan kuadran ‘capital N’ ini pribadi atau masyarakat dapat diukur sejauh mana seseorang atau sekelompok orang itu mengabaikan atau merangkum dalam dirinya secara utuh terpadu empat capital secara bersama. KEPINCANGAN DALAM PEMBANGUNAN

Contoh yang jelas terlihat dalam masyarakat suku Buna’ ialah hilangnya rumah-rumah adat atau deu hoto mereka dalam dua kali

263

bencana peperangan antar kelompok (Timor Portugis/Fretelin dan Timor Indonesia). Masyarakat kehilangan simbol-simbol yang begitu kuat terungkap dalam deu hoto. Fungsi deu hoto sebagai tempat pemersatu suku merupakan pemunculan dari material capital. Segala simbol yang ada dalam deu hoto merupakan unsur intellectual capital suku Buna’. Deu hoto sebagai simbol pemersatu merupakan unsur social capital dan deu hoto sebagai tempat upacara keagamaan merupakan pemunculan spiritual capital masyarakat suku Buna’. Kesatuan empat capital itu melemah karena masyarakat dalam keterpaksaan mendirikan rumah-rumah yang hanya menjadi simbol dari simbol yang asli. Deu hoto yang asli hanya kenangan, deu hoto yang sekarang hanya bayangan. Jati diri masyarakat menjadi hambar, mengambang dan kehilangan arah.

Pembangunan yang terjadi sekarang ini di DHL banyak kepincangannya karena pembangunan tidak lagi dilaksanakan dalam keterpaduan antara empat capital. Sistim perladangan dilihat secara ekonomis melulu sehingga pelestarian alam perladangan ditinggalkan. Sumber air menjadi kering karena alam sekitar tidak dipelihara atas keterpaduan empat capital. Penebangan pohon-pohon di sumber air hanya dirasakan sebagai kesalahan di mata hukum sipil tetapi tidak disadari lagi sebagai kesalahan adat (intellectual dan social capital) dan lebih lagi tidak disadari sebagai kesalahan terhadap spiritual capital karena hutan sudah dicopot dari ke-sakral-annya. Ini yang oleh Danah Zohar dinamakan ‘despiritisasi’.

Dalam kenyataan yang dialami oleh suku Buna’ di DHL ini, ada satu kekurangan yang mereka tidak sadari, melunturnya spiritual capital dalam hidup mereka. Spiritual capital itu “khazanah pengetahuan dan kecakapan spiritual yang tersedia bagi seseorang atau suatu budaya. Spiritual capital itu sendiri merupakan makna, nilai-nilai dan tujuan fundamental dari hidup manusia” (Danah Zohar 2004: 94). Atas dasar pengertian ini, semua aktivitas manusia bersumber dari spiritual capital. Secara tegas Danah Zohar menulis, “Spiritual capital bukan agama”. Manusia itu mampu dan harus menampilkan spiritual capital ini dalam hidupnya. Penampilan itu tidak berdiri sendiri. Spiritual capital dapat ditampilkan dalam agama menjadi religious capital bukan sebaliknya, agama menampilkan spiritual capital. Masyarakat suku Buna’ mengalami kemerosotan dalam agama asli mereka, tetapi spiritual

264

capital tetap ada untuk memperbaiki perilaku mereka. Spiritual capital mendorong manusia, memotivasi manusia dan menarik manusia dengan visi yang luhur untuk menjadi manusia yang baik. Ungkapan yang dipakai oleh Danah Zohar, “Spiritual capital adalah lem yang merekatkan kita semua. Spiritual capital memberi kita kerangka moral dan motivasi, sebuah etos, sebuah ruh (spirit)” (Danah Zohar, 2004: 16). Selanjutnya Danah Zohar menyatakan, “Spiritual capital adalah modal yang merefleksikan berbagai nilai bersama, visi bersama, dan tujan mendasar kita dalam kehidupan” (Danah Zohar, 2004: 38). Sebagai pemunculan spiritual capital Danah Zohar juga menegaskan, “Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang kita gunakan untuk membuat kebaikan, kebenaran dan keindahan, dan kasih sayang dalam hidup kita” (Danah Zohar, 2004: 41).

AKAR KEPINCANGAN DALAM PEMBANGUNAN

“Manusia modern selaku apa pun dan di mana pun diingatkan supaya tetap bertanggungjawab moral atas perbuatannya. Adalah wajar jika setiap orang berusaha berperan dalam kehidupan bersama” (Daoed Yoesoef, Kompas 18 Juli 2011). Apa yang terjadi di Inonesia? Ada gambaran yang suram yang diungkapkan oleh Daoed Yoesoef. “Tingkah laku politisi yang saling menuduh dan mencerca, sikap para birokrat yang acuh tak acuh, ulah para pebisnis yang serba asosial dan antilingkungan, serta kebijakan pemerintah yang tidak merakyat dan membingungkan menunjukkan betapa tanggungjawab moral memudar”. Keadaan masyarakat yang sedang mengeluh tentang pembangnan di Indonesia diungkapkan oleh Kartini Kartono, “Di Indonesia, korupsi berkembang subur di segala bidang pemerintahan dan sektor kehidupan” (Kartini Kartono 2001: 116).

Dua kutipan ini menunjukkan Indonesia sedang berada dalam krisis besar, krisis kepemimpinan dan krisis dalam pembangunan secara menyeluruh. Di mana letak akar permasalahannya? Secara teoretis keadaan ini dapat dijelaskan dengan alat ukur kuadran capital N.

265

Dalam kuadran capital N yang ditampilkan pada gambar 7, terlihat bahwa Bidang A yang ditempati oleh N3 (Naluri/Social Capital) dan N1 (Nafsu/Material Capital). Bidang A menjadi begitu besar sehingga bidang B, C dan D menjadi kecil. Orang-orang yang berada pada posisi sebagai politisi, pebisnis menduduki bidang A ini yang berurusan dengan ‘materi’ (Material Capital / N1) dan ‘kemasyarakatan’ (Social Capital / N3). Kalau mereka menangani bidang A ini secara tepat dan baik, maka tidak akan ada kepincangan yang muncul dalam kekecewaan dan kerugian yang diderita oleh masyarakat. Kalau ada keluhan tentang pembangunan di Indonesia sekaang ini, maka sudah terjadi kepincangan dalam pengurusan ‘materi’ dan ‘masyarakat’.

Gejala itu terlihat dalam mengecilnya bidang B (N2 + N3) yaitu nalar dan naluri. Dengan kata lain, para penanggungjawab pembangun-an itu mengabaikan nalar dan naluri, kurang membuat perhitungan yang matang dan kurang mempertenggangkan kepentingan masyarakat. Ini kesalahan fatal. Hasil pembangunan menjadi tidak bermanfaat dan masyarakat tidak disejahterakan dengan pembangunan itu. Bidang C (N1 + N4), Nafsu dan Nurani diabaikan dalam arti penguasaan benda itu

N4

N3

N2 N1

A

N3 + N1

B

N2 +

N3

C N4 + N1

D N4 + N2

Gambar 52. Kuadran Capital N tentang kepincangan dalam pembangunan. (Sumber: Anton Bele)

266

tidak diimbangan dengan pertimbangan nurani sehingga kesewenang-wenangan telah terjadi. Akibatnya hal-hal yang mendasar seperti hak orang dilecehkan. Bidang D (N2 + N4), Nalar dan Nurani diabaikan. Pertimbangan akal sehat, perhitungan ilmu pengetahuan dan teknologi diabaikan dan hati nurani tidak didengarkan sehingga kepincangan pembangunan terjadi. Contoh konkrit, kasus Lapindo bisa dianalisa dengan alat kuadran Capital N ini.

Jadi yang diharapkan dalam pembangunan itu adalah keseimbangan antara empat bidang itu di mana empat capital itu dijadikan modal yang dipakai secara seimbang.

Dalam hal hidup beragama pun diharapkan empat capital itu didaya-gunakan secara seimbang, utuh terpadu. Penyebaran agama secara menggebu-gebu menandakan semangat membara para penganutnya. Penyebaran yang santun selalu dapat diterima dengan baik oleh semua pihak, baik internal agama sendiri maupun pihak eksternal dari agama yang bersangkutan. Penyebaran agama ini dapat diukur dengan Kuadran CN (C-Quadrant).

Idealnya bahwa bidang D ini harus sama luas dan seimbang

dengan bidang A (N1 + N3) dan bidang B (N2 + N3) dan bidang C (N1 + N4). Tetapi kalau tidak wajar, maka digambarkan dalam Kuadran CN seperti dalam gambar 53.

N1

A N1 + N3

B N3 + N2

C

N1 + N4

D

N2 + N4

N4

N3

N2

267

Pembangunan di bidang agama termasuk penyebaran dan pendirian rumah ibadat di mana-mana digambarkan dalam Kuadran CN, masuk di bidang D, di mana ada pertemuan antara N4 dan N2. Itu berarti ada pertemuan antara pengembangan N4 (spiritual capital) dan N2 (intellectual capital). Secara positif dapat digambarkan bahwa orang-orang yang mempunyai kerohanian yang dalam (N4) dan pengetahuan yang luas (N2) merancang dan melaksanakan penyebaran agama. Ini terpampang dalam bidang D.

Pembangunan di bidang agama yang dalam Kuadran CN terletak di bidang D ini ternyata mempersempit bidang B dan C. Yang paling dipersempit adalah bidang A. Ini berarti, pembangunan bidang Agama yang didasarkan pada pengembangan N2 + N4 (intellectual capital dan spiritual capital) tidak ditunjang dengan bidang A (N1+N3). Ini berarti N1 (Nafsu) dan N3 (Naluri) yang sangat dihambat. Dan itu dapat diungkapkan dengan kata lain, serakah (Nafsu/material capital) dan desakan masyarakat yang tidak wajar (Naluri/social capital) yang menguasai pengembangan keagamaan ini. Bidang A tidak diperhatikan. Sedangkan bidang B dan C kurang diperhatikan. Bidang B (Nalar/intellectual capital dan Naluri/social capital). Pertimbangan akal sehat kurang diperhatikan dan pertimbangan kemasyarakatan secara menyeluruh juga kurang diperhatikan. Bidang C juga kurang diperhatikan dalam arti N1 dan N4 (Nafsu/material capital dan Nurani/spiritual capital), pertimbangan akal sehat kurang diperhatikan dan bisikan nurani pun kurang diperhitungkan. Ini contoh kasus pengembangan agama yang tidak proporsional dalam segala bidang. Hasil dari pengembangan agama seperti ini akan merusak ke dalam agama sendiri dan ke luar agama. Ke dalam agama akan terjadi perpecahan dan ke luar agama akan terjadi antipati terhadap agama yang bersangkutan. Dalam kasus seperti ini jalan ke luarnya ialah penyeimbangan kembali semua bidang, A, B, C dan D harus seimbang. Untuk itu harus kembali ke posisi titik tolak awal yang sangat mendasar, bertolak dari perpaduan empat capital. Dalam hal ini harus diingat bahwa empat capital itu ada dan sama dalam diri setiap individu dan setiap kelompok masyarakat. Hanya ada perbedaan dalam pengembangan dan pengetrapan. Empat capital ini dapat salah dikembangkan melalui pendidikan yang keliru mulai dari keluarga sampai ke masyarakat. Peranan pendidikan sangat besar dalam

268

pembentukan perkembangan empat capital ini dalam diri pribadi dan masyarakat. Pengetrapan empat capital ini pun bisa berbeda dari tempat ke tempat dan dari waktu ke waktu. Yang diharapkan terjadi ialah empat capital ini dikembangkan dan ditrapkan secara seibang sesuai norma yang umum berlaku.

Untuk mudahnya daftar nilai-nilai ini disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1 Daftar nilai-nilai No. Material capital Intellectual

capital Social capital Spiritual

capital 1 Cinta tempat

tinggal ketekunan saling

memperhatikan percaya

pada yang ilahi

2 menghargai lingkungan hidup

ketabahan saling percaya ada harapan

3 menyatu dengan alam

kerajinan saling mendengar

kasih sayang pada sesama

4 memelihara alam ketaatan penghargaan kepada sesama

rendah hati

5 memelihara tanaman

keberanian gotong-royong takut buat kesalahan

6 hargai makanan keuletan

saling membantu

hidup jujur

7 hargai pakaian kecerdasan keakraban

murah hati

Sumber: Hasil wawancara dengan tokoh-tokoh masyakat suku Buna’ di DHL.

Nilai-nilai inilah dihayati oleh masyarakat suku Buna’ dalam

kehidupan mereka dan terus bertahan. Penghayatan nilai-nilai ini terlepas dari agama apa yang dianut. Mereka yang mengaut agama asli sebelum menganut agama Kristen Katolik, sudah membawa nilai-nilai ini dalam diri mereka. Nilai-nilai itu ditegaskan dalam agama asli mereka dan dipertegas dalam rumusan yang lain dalam agama yang baru, agama Kristen Katolik.

269

Jadi penghayatan nilai-nilai dari empat capital ini tidak terbatas pada suku, agama atau golongan. Oleh karena itulah melalui penemuan ini kehidupan masyarakat manusia seharusnya kembali penghayatan nilai-nilai yang umum ini agar tidak terjadi benturan-benturan dalam pertemuan budaya dan agama. Di sinilah letaknya tempat spiritual capital yang bukan religious capital. Spiritual capital bersama tiga capital yang lain merupakan satu kesatuan yang dapat terungkap dalam budaya mana pun saja sejauh budaya itu memanusiakan dan memanusiawikan manusia.

KESIMPULAN Masyarakat suku Buna’ di DHL hanyalah satu kelompok manusia yang dapat mewakili masyarakat yang lebih luas entah itu di tingkat regional, nasional malah bisa mewakili masyarakat mondial. Penghargaan manusia terhadap alam sudah sangat menipis. Pengurasan dan pengrusakan alam yang termasuk dalam material capital sudah sangat memprihatinkan. Pembangunan berkelanjutan sekarang ini hanya tinggal slogan. Ketahanan pangan, ketahanan lingkungan hidup semakin terancam. Arus de-sakralisasi dan profanisasi dianggap sebagai keunggulan manusia post-modern ini yang mengandalkan kehebatan dalam penemuan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang serba canggih. Namun sudah sering terbukti bahwa segala macam teknologi itu tak berdaya sedikitpun dalam kasus-kasus bencana alam. Itu tanda yang jelas bahwa manusia tidak dapat menggarap sesuka hati alam ini. Penemuan-penemuan yang spektakuler di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan hasil dari pendaya-gunaan intellectual capital yaitu capital yang kedua dalam tulisan ini. Berbagai penemuan dan aplikasinya dalam kehidupan kalau tidak dibarengi dengan kesadaran akan keterbatasan sumber daya alam (material capital), maka oleh Danah Zohar umat manusia diibaratkan dengan “monster yang memangsa dirinya sendiri”. Atau seperti yang diungkapkan oleh Driyarkara, di mana ada pusat kebudayaan tercipta pula pusat kebuayaan, binatang yang dapat memangsa manusia sampai luluh lantak.

270

Jejaring sosial yang terbentuk sekarang ini di seantero dunia sudah menghapus batas-batas alam dan suku bangsa. Ini adalah hasil dari pendayagunaan social capital dalam diri manusia baik perorangan maupun masyarakat. Sejauh korporasi itu diadakan dan bergiat untuk kesejahteraan umat manusia, maka patut diterima dengan segenap hati. Tetapi apa yang terjadi? Negara-negara kaya semakin kaya dan negara-negara miskin semakin miskin merupakan kenyataan yang memilukan sebagai hasil dari social capital yang didayagunakan tanpa ada kaitan yang erat dengan capital-capital yang lain seperti material capital, intellectual capital dan terlebih spiritual capital.

Penolakan terhadap agama oleh cukup banyak orang sekarang ini dianggap sebagai suatu krisis yang hebat dalam kehidupan beragama. Sebenarnya ini bukanlah krisis yang paling besar. Dunia ditimpa malapetaka saat ini karena terutama oleh pengingkaran atas kesadaran spiritual capital dalam diri manusia itu sendiri. Nilai-nilai percaya pada yang ilahi, adanya harapan, kasih sayang pada sesama, hidup suci, takut buat kesalahan, hidup jujur, murah hati dan rendah hati ada dalam spiritual capital itu. Nilai-nilai inilah yang diabaikan sehingga manusia menggarap alam (material capital) sesuka hati, memakai iptek hasil intellectual capital tanpa ada rasa tanggung-jawab dan bersekongkol (social capital) untuk membangun kekuatan sosial, politik dan ekonomi serta kekuatan persenjataan untuk saling menghancurkan antar kelompok, suku dan bangsa.

Keterpaduan pemahaman dan pemanfaatan empat capital sudah tidak dapat ditawar-tawar lagi. Danah Zohar menyerukan harus ada cultural shift (pergeseran budaya), pergeseran budaya tanpa spiritual capital sudah harus diganti dengan budaya penuh daya spiritual, daya tumbuh-kembang yang dijiwai oleh roh dan roh itulah yang memampukan manusia untuk rendah hati, saling menyayangi antara sesama dalam satu kesadaran akan adanya Yang Mutlak, Pencipta alam semesta ini.