40
127 BAB EMPAT KEHIDUPAN KOMUNITAS PENGUSAHA INDUSTRI KECIL BISNIS KELUARGA BORDIR DI KABUPATEN KUDUS Kudus sebagai Kota Industri Kabupaten Kudus sebagai salah satu Kabupaten di Jawa Tengah bagian utara, di lereng gunung Muria, sekitar 50 km dari Kota Semarang, ibukota Jawa Tengah. Letak wilayah Kabupaten Kudus di antara 4 (empat) Kabupaten yaitu di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Jepara, dan Kabupaten Pati, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Pati, sebelah selatan dengan Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Pati serta sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Demak dan Jepara. Letak Kabupaten Kudus antara 110 o 36 dan 110 o 90‟ Bujur Timur dan antara 6 o 51‟ dan 7 o 16‟ Lintang Selatan, jarak terjauh dari barat ke timur adalah 16 km dan dari utara ke selatan 32 km. Berada pada ketinggian rata-rata ± 55 meter di atas permukaan air laut. Secara umum Kabupaten Kudus yang berada di sebelah selatan Gunung Muria dipengaruhi iklim tropis, dan bertemperatur sedang, berkisar antara 18,3 0 (C ) - 29,6 0 (C ). Kabupaten Kudus bercurah hujan relatif rendah, yaitu rata-rata di bawah 2.000mm/tahun, dan berhari hujan rata-rata 103 hari/tahun. Berdasarkan luas penggunaan lahan, secara administrasi Kabupaten Kudus terbagi menjadi 9 kecamatan (Kaliwungu, Kota, Jati, Undaan, Mejobo, Jekulo, Bae, Gebog, dan Dawe) dan 123 desa serta 9 kelurahan. Luas wilayah Kabupaten Kudus tercatat sekitar 42.516 hektare atau sekitar 1,31 persen dari luas Propinsi Jawa Tengah. Kecamatan yang terluas adalah Kecamatan Dawe yaitu 8.584 Ha (20,19

BAB EMPAT KEHIDUPAN KOMUNITAS PENGUSAHA INDUSTRI … · 2016. 5. 17. · Sunan Kudus mulai membuka kota, mata pencaharian di antara masyarakat telah berkembang mengingat jarak yang

  • Upload
    others

  • View
    3

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • 127

    BAB EMPAT

    KEHIDUPAN KOMUNITAS PENGUSAHA

    INDUSTRI KECIL BISNIS KELUARGA BORDIR

    DI KABUPATEN KUDUS

    Kudus sebagai Kota Industri

    Kabupaten Kudus sebagai salah satu Kabupaten di Jawa Tengah

    bagian utara, di lereng gunung Muria, sekitar 50 km dari Kota

    Semarang, ibukota Jawa Tengah. Letak wilayah Kabupaten Kudus di

    antara 4 (empat) Kabupaten yaitu di sebelah utara berbatasan dengan

    Kabupaten Jepara, dan Kabupaten Pati, sebelah timur berbatasan

    dengan Kabupaten Pati, sebelah selatan dengan Kabupaten Grobogan

    dan Kabupaten Pati serta sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten

    Demak dan Jepara. Letak Kabupaten Kudus antara 110o 36‟ dan 110o 90‟

    Bujur Timur dan antara 6o 51‟ dan 7o16‟ Lintang Selatan, jarak terjauh

    dari barat ke timur adalah 16 km dan dari utara ke selatan 32 km.

    Berada pada ketinggian rata-rata ± 55 meter di atas permukaan air laut.

    Secara umum Kabupaten Kudus yang berada di sebelah selatan Gunung

    Muria dipengaruhi iklim tropis, dan bertemperatur sedang, berkisar

    antara 18,30(C ) - 29,60 (C ). Kabupaten Kudus bercurah hujan relatif

    rendah, yaitu rata-rata di bawah 2.000mm/tahun, dan berhari hujan

    rata-rata 103 hari/tahun.

    Berdasarkan luas penggunaan lahan, secara administrasi

    Kabupaten Kudus terbagi menjadi 9 kecamatan (Kaliwungu, Kota, Jati,

    Undaan, Mejobo, Jekulo, Bae, Gebog, dan Dawe) dan 123 desa serta 9

    kelurahan. Luas wilayah Kabupaten Kudus tercatat sekitar 42.516

    hektare atau sekitar 1,31 persen dari luas Propinsi Jawa Tengah.

    Kecamatan yang terluas adalah Kecamatan Dawe yaitu 8.584 Ha (20,19

  • “GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

    128

    persen), sedangkan yang paling kecil adalah Kecamatan Kota seluas

    1.047 Ha (2,46 persen) dari luas Kabupaten Kudus.

    Sumber: Kudus dalam Angka, 2013

    Gambar 4.1

    Peta Kabupaten Kudus

    Jumlah penduduk Kabupaten Kudus Tahun 2012, berdasarkan

    Laporan Kudus dalam Angka 2012/2013 tercatat sebesar 791.691 jiwa,

    terdiri dari 390.722 laki-laki (49,47 persen) dan 400.169 perempuan

    (50,53 persen). Apabila dilihat penyebarannya, maka kecamatan yang

  • Kehidupan Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir di Kabupaten Kudus

    129

    paling tinggi persentase jumlah penduduknya adalah Kecamatan Jati

    yakni sebesar 12,90 persen dari jumlah penduduk yang ada di

    Kecamatan Kudus, kemudian berturut-turut Kecamatan Jekulo 12,76

    persen dan Kecamatan Dawe 12,28 persen. Dari jumlah itu, tenaga

    kerja terampil yang merupakan gambaran sumber daya manusia di

    Kudus sebesar 125.401 orang terdiri dari jumlah tenaga kerja

    perempuan sebesar 88.610 orang (70,66 persen), sedangkan laki-laki

    sebanyak 36.791 orang (29,34 persen) yang tersebar pada 1.178

    perusahaan.

    Berdasarkan jumlah penduduk Kabupaten Kudus (Laporan

    Kudus dalam Angka 2012/2013) yang memeluk agama Islam sebanyak

    772.473 orang, Kristen Protestan sebanyak 12.657 orang, Kristen

    Katolik sebanyak 5.159 orang, Hindu sebanyak 24 orang, Budha

    sebanyak 1.114 orang dan lain-lain (aliran kepercayaan) sebanyak 464

    orang dan memiliki tempat peribadatan yang beragam, yaitu masjid

    657 unit, Mushola/Langgar 1.931 unit, Gereja Kristen 22 unit, Gereja

    Katholik sebanyak 2 unit, Vihara Budha 11 unit, Klenteng sebanyak 3

    unit. Ini menunjukan suasana kerukunan hidup beragama dan

    kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sangat didambakan

    masyarakat, juga menunjukan betapa hidupnya pluralisme masyarakat

    Kudus.

    Wilayah Kudus Kota dibelah oleh sungai Kaligelis yang

    mengalir ke selatan dan membagi kota Kudus menjadi dua bagian yaitu

    Kudus Kulon yakni terletak di sebelah barat sungai Kaligelis dan Kudus

    Wetan yang terletak di sebelah timur sungai. Keberadaan Kaligelis

    sekarang bukan sekedar sungai yang menyimpan cerita masa lalu, atau

    tempat bergantung sumber ekonomi sebagian warga Kudus sekarang.

    Kaligelis menjadi simbol kultur Kudus menjadi Kudus Kulon dan

    Kudus Wetan. Di wilayah Kudus Kulon inilah terletak artefak

    peninggalan purbakala yakni Menara Kudus yang berdampingan

    dengan Masjid Al-Aqsha yang dikenal dengan sebutan Masjid Menara

    Kudus dan di belakangnya terdapat Kompleks Makam Sunan Kudus.

  • “GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

    130

    Sumber: Dokumentasi pribadi, 2014

    Gambar 4.2

    Masjid dan Menara Kudus

    Sejarah keberadaan Kota Kudus tidak lepas dari sosok wali yang

    dikenal dengan Kanjeng Sunan Kudus dan Sunan Muria, namun Sunan

    Kudus pengaruhnya lebih menonjol dibanding Sunan Muria dalam

    kiprah dakwahnya di Kudus. Nama Kudus menurut cerita masyarakat,

    tidak lepas dari jasa Sunan Kudus atau Ja‟far Shodiq, salah seorang

    Walisongo yang menjadi senopati di Demak, yang diperintahkan oleh

    penguasa Demak untuk menyiarkan agama Islam di Kudus (Salam,

    1977). Namun menurut Graaf dan Pigeaud (1985), perpindahan Ja‟far

    Shodiq dari Demak ke Kudus diakibatkan oleh perselisihan tentang

    awal bulan Ramadhan dengan raja Demak1 dan terjadi persaingan

    antara Ja‟far Shodiq dengan Sunan Kalijaga yang berasal dari Cirebon

    datang mengabdi di Kerajaan Demak, maka untuk menghindari

    persaingan yang tidak baik Ja‟far Shodiq meminta Sultan Demak agar

    hijrah ke Kudus. Sebelum kedatangan Ja‟far Shodiq di Kudus terlebih

    dahulu telah datang seorang dari Yunan bernama The Ling Sing yang

    kemudian dikenal dengan nama Kyai Telingsing.

    Bersama-sama dengan Ja‟far Shodiq, Kyai Telingsing

    membangun daerah kecil ini menjadi besar dan berkembang. The Ling

    Sing2 seorang seniman pemahat berasal Yunan-Cina dan seorang

    pedagang yang kemudian menyerahkan kekuasaan Kota Kudus kepada

    Ja‟far Shodiq dan The Ling Sing setelah meninggal dimakamkan di

  • Kehidupan Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir di Kabupaten Kudus

    131

    kampung Sunggingan-Kudus. Pada waktu Ja‟far Shodiq menunaikan

    ibadah Haji sambil menuntut ilmu di tanah Arab telah terjadi wabah

    penyakit yang membahayakan masyarakat Arab pada waktu itu.

    Kemudian atas bantuan Ja‟far Shodiq wabah penyakit tersebut bisa

    reda. Oleh karena itu Ja‟far Shodiq mendapat hadiah dari salah seorang

    amir, namun Ja‟far Shodiq menolak hadiah yang diberikan amir

    tersebut, ia hanya meminta batu sebagai kenang-kenangan. Batu3

    tersebut menurut sang amir berasal dari kota Baitul Makdis atau

    Jeruzalem (Al Quds) yang kemudian batu tersebut dipasang di atas

    Mihrab Masjid Kudus sebagai peringatan dimana Ja‟far Shodiq sebagai

    penguasa Kudus yang kemudian dikenal dengan gelar Sunan Kudus,

    kata “Kudus” berasal dari bahasa arab “Al Quds4” yang berari “suci”.

    Geertz (1977) dalam bukunya ”Penjaja dan Raja” meng-

    ungkapkan bahwa tenaga pendorong dalam perkembangan kota secara

    tetap dan pasti bukanlah perdagangan setempat dan bukan pihak

    pembikinan barang setempat, melainkan perdagangan jarak jauh,

    bahkan akhirnya perdagangan internasional. Perdagangan jarak jauh

    itu telah menyatukan berbagai daerah di Jawa menjadi satu jaringan

    perdagangan dan juga menghubungkan Pulau Jawa sebagai

    keseluruhan dengan jalan lalu lintas yang vital untuk ekonomi

    perdagangan yang meliputi seluruh dunia. Menurut Wikantari (1995),

    kehidupan ekonomi dan budaya masyarakat pada awalnya ketika

    Sunan Kudus mulai membuka kota, mata pencaharian di antara

    masyarakat telah berkembang mengingat jarak yang tidak terlalu jauh

    dari Demak maupun Jepara sebagai bandar perdagangan yang cukup

    ramai5 pada saat itu. Pada masa kekuasaan Kerajaan Mataram, daerah

    sekitar Kudus berkembang menjadi daerah pemasok beras utama

    Kerajaan Mataram. Perdagangan palawija maupun perdagangan

    lainnya meningkat pesat yang memberikan banyak keuntungan bagi

    para pedagang Kudus khususnya di Kudus Kulon.

    Menurut Castles (1982), selama masa penjajahan Belanda

    kondisi masyarakat Kota Kudus terbagi menjadi beberapa strata, yaitu

    pertama, golongan priyayi yang merupakan pegawai negeri yang bekerja untuk Pemerintah Belanda serta para intelektual dan tinggal di

  • “GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

    132

    kota baru seperti guru, dokter dan pejabat pemda dan sejenisnya;

    kedua, golongan pedagang dengan berbagai produk industri rumahan atau pabrikan yang mengambil sikap bersebrangan dengan Pemerintah

    Belanda; ketiga, golongan wong cilik, yakni buruh, para penganggur dan petani yang tinggal di daerah-daerah pertanian seputar kota.

    Menjelang akhir abad 19, kemakmuran masyarakat kembali meningkat

    karena melimpahnya hasil pertanian. Hasil panen menjadi barang

    perdagangan bagi pedagang-pedagang Kudus. Castles (1982)

    mengungkapkan, daerah jelajah pedagang-pedagang Kudus juga

    semakin luas walaupun masih terbatas di dalam Pulau Jawa.

    Sejak tahun 1906 Industri di Kudus terutama industri rokok

    berkembang sangat pesat, semula industri rokok merupakan kerajinan

    rumah tangga namun kemudian berkembang menjadi industri besar

    sejak kehadiran perusahaan-perusahaan rokok yang didirikan oleh

    Nitesemito6. Perkembangan ini menarik kalangan masyarakat Cina

    mulai ikut terjun dalam industri rokok. Persaingan ini memicu

    pertentangan antar etnis yang puncaknya terjadi pada tahun 1918

    dengan pecahnya “geger pecinan”. Setelah peristiwa tersebut mulailah

    perkembangan rokok kretek milik pribumi mengalami kemunduran

    dan banyak yang kemudian bangkrut dan tutup, industri rokok ini

    kemudian banyak dipegang oleh etnis Cina yang mengembangkan

    menjadi industri raksasa. Bahkan The Kian Wee (1994) menyimpulkan

    bahwa tidak mengherankan jika industri milik pribumi di Indonesia

    sampai tahun 1930-an belum banyak berarti7.

    Pada masa Sunan Kudus, kehidupan para saudagar berkembang

    dengan baik. Hal ini karena spirit keteladanan Sunan Kudus yang

    kebetulan dikenal sebagai seorang “Wali Saudagar” sehingga kekayaan berlimpah namun penggunaan keuntungan diutamakan untuk

    kepentingan dakwah agama Islam. Sehingga tidak berlebihan bila

    masyarakat Kudus disamping sebagai santri yang taat agama atau kyai

    yang mengasuh pesantren, tetapi juga memiliki bermacam-macam

    usaha seperti industri atau pedagang yang dikelola dengan

    perhitungan–perhitungan ekonomi dan selalu didasarkan norma-

    norma atau nilai-nilai agama yang dianut8. Jadi kalau dilihat lebih

  • Kehidupan Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir di Kabupaten Kudus

    133

    mendalam, pola yang dikembangkan Sunan Kudus ini bersumber dari

    kearifan pemahamanya tentang prinsip ekonomi Islam yang

    menyatakan bahwa Allah SWT adalah pemilik sumber daya dan

    pemberi rejeki bagi semua mahkluk. Karena sumber daya yang dimiliki

    oleh Allah SWT di bumi sangat berlimpah dan sangat mencukupi

    untuk sekedar memenuhi kebutuhan manusia dan untuk memenuhi

    keinginan semua mahluk di atas bumi ini. Oleh karena itu, bila terjadi

    di kehidupan dapat diketahui banyak orang yang tidak mampu

    memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga ada orang miskin dan kaya,

    dimana orang kaya semakin kaya maupun orang miskin semakin

    miskin, sebenarnya bukan karena persoalan supply melainkan karena distribusi yang tidak adil yang disebabkan adanya ketimpangan sosial

    yaitu keserakahan (tidak memenuhi kehidupan sesuai kebutuhan).

    Menurut Bapak Deny Nur Hakim, Humas YM3SK9 waktu

    ditanya peneliti mengenai sukses bisnis itu karena kodrat

    mengungkapkan demikian:

    ”Setiap orang dalam menjalankan bisnis memiliki kesempatan yang sama dan orang harus kerja keras dan menjalankan ibadah sholat atau dekat dengan Tuhan. Jadi orang-orang yang melarat itu terutama karena orang itu malas, bodoh atau berjudi atau bersenang-senang saja. Sebaliknya orang-orang yang kaya karena mereka bekerja keras, pandai dan tidak lupa dengan Tuhannya dan bukan adanya kodrat Illahi, melainkan arena ikhtiar sekuat tenaga serta wajib bersyukur kepada Allah atas nasib baik yang didapatnya”.

    Sampai sekarang masyarakat Kudus banyak dikenal sukses

    sebagai pedagang antar-kota maupun antar-pulau, dimana mereka

    sudah bisa memasarkan barang-barang dagangannya, seperti kain,

    konfeksi, batik, bordir berhari-hari bahkan berminggu-minggu ke

    kota-kota lain, khususnya kota –kota di Jawa Tengah dan Jawa Timut.

    H.Moch Anshori10, seorang pengusaha bordir menceritakan kepada

    peneliti sebagai berikut:

    ”orang-orang Kudus yang melakukan bisnis sampai ke luar kota dalam waktu berhari-hari, bahkan sampai berbulan-

  • “GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

    134

    bulan, akhirnya telah membentuk komunitas perkampungan orang-orang Kudus di luar kota Kudus, seperti di kota Malang Jawa Timur ada daerah yang dikenal dengan daerah Kudusan, dan jalan yang melintas di tempat itu dikenal dengan Jalan Kudusan. Konon daerah itu tempat komunitas orang-orang Kudus yang merantau melakukan aktivitas bisnis dan bertempat tinggal. Demikian pula sebaliknya pasar Kliwon Kudus yang merupakan pusat perdagangan masyarakat Kudus, sekarang ini sebagai tujuan “kulakan” bagi para pedagang daerah lain seperti para pedagang dari kota Semarang, Pekalongan, Jawa Timur bahkan dari Kalimantan”.

    Kehandalan jiwa dagang masyarakat Kudus dapat ditemui dari

    penelitian Clifford Geertz11 dan Lace Castles12 yang intinya menya-

    takan bahwa masyarakat Kudus telah ”terbiasa” melakukan

    perdagangan dari satu kota ke kota lainnya di Jawa. Temuan Castles

    dalam penelitiannya, umumnya orang Kudus yang merantau ke Jawa

    Timur, mereka hidup mengelompok pada suatu wilayah tertentu yang

    oleh mereka telah dijadikan pemukiman para pendahulunya dengan

    memberikan nama kampung atau jalan “Kudus” dan umumnya

    beraktivitas di sektor industri atau perdagangan pakaian dan bordir,

    bahkan terdapat beberapa orang Kudus telah bermukim dan memiliki

    toko di Mojokuto dengan sebutan Toko Kudus13 karena orang muda

    sebagai pendatang baru yang membuka toko adalah keturunan seorang

    pedagang terkemuka dari Kabupaten Kudus-Jawa Tengah.

    Pada tahun 2013, industri (industri besar, industri sedang,

    industri kecil dan industri rumah tangga) bagi Kabupaten Kudus

    merupakan penyangga utama dari perekonomian Kabupaten Kudus

    dengan kontribusi sebesar 61,44 persen terhadap PDRB Kabupaten

    Kudus. Sektor ini dibedakan dalam kelompok industri besar, industri

    sedang, industri kecil dan rumah tangga. Menurut BPS (2013), Industri

    besar adalah perusahaan dengan tenaga kerja 100 orang atau lebih,

    Industri sedang adalah perusahaan dengan tenaga kerja antara 20 s/d 29

    orang dan Industri Rumah tangga memiliki tenaga kerja kurang dari 5

    orang. Besarnya kontribusi sektor industri menunjukkan bahwa sektor

    ini memegang peranan penting dalam menopang perekonomian di

  • Kehidupan Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir di Kabupaten Kudus

    135

    Kudus, walaupun secara geografis Kabupaten Kudus merupakan

    kabupaten dengan wilayah terkecil, namun dari sisi industri memiliki

    potensi dan peluang pasar yang dapat diandalkan, lihat Tabel 4.1.

    Tabel 4.1

    Nilai dan Pertumbuhan Sektor dalam PDRB Tahun 2011-2014

    Atas Dasar Harga Konstan tahun 2000 Kabupaten Kudus Lapangan Usaha 2011

    ( Rp) 2012 (Rp)

    % 2013* ( Rp)

    % 2014* * (Rp)*

    %

    1. Pertanian. 2. Pertam-

    bangan & Penggalian

    3. Industri Pengolahan

    4. Listrik,Gas & Air Bersih

    5. Kontruksi 6. Perdagangan

    Hotel & Restoran.

    7. Pengangkutan & Komunikasi

    8. Keuang, Persewaan & Jasa Perus

    9. Jasa-jasa

    437,630 4.294

    7.938.351

    52.597

    233.681 3.652.622

    279.799

    300.049

    295.030

    461,633 4.760

    8.168.626

    56.398

    245.636 3.878.330

    298.910

    324.439

    315.852

    5,48 10,85

    3,90

    7,23

    5,12 6,18

    6,83

    8.13

    7.00

    477.142 4.824

    8.543.023

    60.358

    249.786 4.229.973

    308.787

    330.909

    324.128

    3,30 1,34

    4.58

    7.02

    1,69 6,23

    3.30

    1,99

    2.62

    495.681 4.913

    8.969.675

    64.232

    265.798 4.349.097

    324.765

    345.451

    339.011

    3,89 1,84

    4,99

    6,42

    6,41 5,56

    5,17

    4,39 4,59

    Total BDRB 13.184.051 3.754.585 4,33 14.418.932 4.83 15.158.623 5,13

    Keterangan : * Angka Sementara

    ** Angka Sangat sementara

    Sumber: BPS Kabupaten Kudus Tahun 2013.

    Berdasarkan data Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa, perkembangan

    ekonomi masih didominasi sektor industri yang mengalami

    peningkatan dari tahun 2011 sebesar 3,75%, tahun 2012 menjadi 3,90%

    serta diperkirakan tahun 2014 meningkat 4,99%, ini merupakan sektor

    berdaya ungkit tertinggi. Perkembangan kedua sektor industri

    mendorong pertumbuhan sektor konstruksi, keuangan dan angkutan.

    Sektor perdagangan berkembang hampir merata di berbagai wilayah

    baik yang modern maupun tradisional. Maka dapat disimpulkan jika

    kedua lapangan kerja itu menjadi tumpuan hidup bagi masyarakat

    Kudus. Dinas Perindagkop dan UKM pada tahun 2012 melaporkan ada

    11.483 perusahaan industri dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak

    244.330 orang, adapun industri yang berkembang di Kabupaten Kudus

  • “GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

    136

    antara lain industri rokok, garmen, kertas, elektronik, furniture,

    kerajinan kuningan, bordir, hiasan dinding (handycraft) maupun tekstil serta industri pusat kuliner (soto kudus, lentog tanjung, dan

    jenang kudus). Melihat kondisi perkembangan industri di Kabupaten

    Kudus sangat menggembirakan karena dapat menyediakan lapangan

    kerja yang kompetitif, akan tetapi bila dilihat dari sisi lain, kondisi itu

    sangat mengkuatirkan karena industri yang mendominasi ternyata

    industri berskala besar yang sangat tergantung dengan situasi dan

    kondisi dunia internasional, misalnya bahan baku, daerah pasaran

    internasional maupun gejolak ekonomi internasional yang sangat sulit

    dikendalikan sehingga sangat rawan terjadi goncangan dan ketidak-

    mandiriannya terhadap kekuatan internasional.

    Hal tersebut dapat dilihat dalam Tabel 4.2 di bawah, yaitu

    jumlah Perusahaan Besar sejumlah 80 perusahaan dengan menyerap

    tenaga kerja sebanyak 94.822 orang, sedangkan Perusahaan Menengah

    89 perusahaan dengan menyerap tenaga kerja sebanyak 3.922 orang.

    Tabel 4.2

    Jumlah Perusahaan Besar, Menengah serta Daya Serap Tenaga Kerja

    di Kabupaten Kudus Tahun 2012 No Kecamatan Besar Naker

    Besar Menengah Naker

    Menengah Total

    Perusa-haan

    Total Naker

    1 Kaliwungu 16 23.619 16 846 32 24.465

    2 Kota Kudus

    15 18.614 32 1.260 47 19.874

    3 Jati 14 14.559 8 274 22 14.824

    4 Undaan - - 7 253 7 253

    5 Mejobo 5 4.713 3 95 8 4.808

    6 Jekulo 8 8.379 - - 8 8.379

    7 Bae 10 11.886 7 383 17 12.269

    8 Gebog 11 12.940 14 681 25 13.621

    9 Dawe 1 121 2 130 3 251

    Total 80 94.822 89 3.922 189 98.744

    Sumber: Dinas Perindag & UKM, 2014

    Berdasarkan data BPS (2012), aktivitas ekonomi/bisnis di Kudus

    cukup berkembang, antara lain: jumlah Pasar Lokal sebanyak 5 unit,

    Pasar Desa 22 unit dan Pasar Hewan 1 unit serta mall dan pusat

  • Kehidupan Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir di Kabupaten Kudus

    137

    pertokoan (ruko) yaitu Ruko Agus Salim, Ruko Jember, pasar swalayan

    (Ramayana, Hypermart dan Matahari) serta pasar tradisional (Pasar

    Kliwon, pusat kulakan para pedagang), Pasar Bitingan, Pasar Ploso

    serta pasar tradisional di setiap kecamatan maupun industri pendukung

    yaitu hotel berbintang, 24 unit dan hotel melati sebanyak 18 unit, dan

    obyek wisata (Menara Kudus, Colo, Tugu Identitas, Kolam Renang

    Pemda dan Notosari, Museum Kretek, air terjun Montel serta Hutan

    Wisata Kajar). Ini menunjukkan bahwa industrialisasi, perdagangan,

    dan aktivitas bisnis lain di Kudus lebih maju bila dibandingkan dengan

    daerah lainnya di eks Karisidenan Pati.

    Kudus sebagai Kota Santri

    Berbicara tentang lahirnya Kota Kudus tidak lepas dari spirit perilaku dari 2 (dua) Sunan yang menyebarkan agama Islam di Jawa

    yaitu Sunan Kudus yang hidup dan tinggal di pusat Kota Kudus dan

    Sunan Muria yang hidup dan tinggal di Gunung Muria, dan ini dapat

    dibuktikan dari peninggalan berupa artefak yang memiliki nilai sejarah

    yang tinggi berupa makam. Sunan Kudus dimakamkan di kompleks

    Masjid Menara, sedangkan makam Sunan Muria yang berada di lereng

    Gunung Muria. Keberadaan 2 (dua) sunan atau wali di antara sembilan

    “Walisanga” di Jawa menunjukkan akar dakwah14 dan pendidikan agama Islam sudah mulai dikembangkan sejak lama, sehingga mampu

    mengajarkan masyarakat Kudus mengamalkan ajaran Islam (santri).

    Strategi dakwah penyebaran agama Islam yang dilakukan

    Sunan Kudus mengedepankan kedamaian dan keharmonisan dengan 2

    jalur sekaligus yaitu jalur struktural dan jalur budaya. Jalur struktural,

    dengan terlibat dalam sistem pemerintahan di Kusunanan Demak

    sebagai senopati Kerajaan Demak sekaligus sebagai pendiri Kota Kudus

    merupakan pimpinan yang tangguh, tegas dan berwibawa yang

    memiliki kharisma dan figur keteladanan. Jalur kebudayaan (cultural), dengan pendekatan budaya Sunan Kudus sangat toleran dan

    menghargai perbedaan latar budaya setempat, dengan cara mencip-

    takan ruang budaya yang dijiwai nilai-nilai Islam, seperti membangun

  • “GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

    138

    Menara dan Masjid Kudus yang dijiwai semangat multicultural, mengubah cerita-cerita yang bersifat ketaukhidan maupun

    perdagangan. Dampaknya perkembangan agama Islam di Kudus maju

    dengan pesat.

    Berdasarkan laporan Kudus dalam Angka 2012/2013, di

    Kabupaten Kudus terdapat 134 unit pondok pesantren, jumlah Kyai

    sebanyak 217 orang, Ustadz sebanyak 1.285 orang, dan jumlah santri

    sebanyak 12.372 orang, dengan tempat ibadah masjid sebanyak 657

    unit, Mushola/Langgar sebanyak 1931 unit, sedangkan pendidikan MI

    sebanyak 138 unit. MTs sebanyak 63 unit dan MA sebanyak 29 unit.

    Predikat sebagai “waliyyul ilmy” bagi Sunan Kudus merupakan tanda simbolik untuk merepresentasikan citra yang melekat pada diri

    yang dibangun Sunan Kudus secara internal, yaitu sosok wali yang

    benar-benar memiliki pengetahuan ilmu agama yang tinggi, terutama

    dalam Ilmu agama Tauhid, Sunah, Hadits, Sastra Mantiq dan lebih-

    lebih di dalam Ilmu Fiqih yang sangat dikenal. Pada kenyatannya

    predikat tersebut hanya berlaku pada daerah kota lama atau Kudus

    Kulon, sementara daerah-daerah lain lebih merupakan daerah sekuler

    (Bonnef, 1983). Pada mulanya Sunan Kudus tinggal dan berdakwah

    dilakukan di sekitar Masjid Menara di Kudus Kulon, dalam

    perkembangannya karena murid (santri) Sunan Kudus sangat banyak

    serta mobilitas murid-murid cukup tinggi dan menyebar di luar Masjid

    Menara Kudus, melakukan kegiatan sosial ekonomi seperti berdagang,

    telah mampu menyebarkan ajaran Sunan Kudus keluar dari Kudus

    Kulon sehingga Kudus berkembang menjadi pusat pengetahuan dan

    pembangunan agama Islam yang terkenal di Jawa, bahkan sampai

    Nusantara.

    Masyarakat yang tinggal di sekitar masjid di Kudus Kulon

    sering disebut sebagai orang Kudus Kulon, berbeda dengan masyarakat

    pada umumnya yang tinggal di kawasan luar masjid dengan sebutan

    orang Kauman. Sebutan orang Kudus Kulon mencerminkan suatu

    sistem budaya dan pola kelakuan yang khas yang berbeda dengan

    masyarakat yang tinggal di kawasan luar masjid. Pada umumnya,

  • Kehidupan Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir di Kabupaten Kudus

    139

    mereka dikenal dan percaya memiliki hubungan kekerabatan dengan

    pendiri masjid ini, yang dimakamkan di samping masjid Menara.

    Masyarakat Kudus Kulon dikenal sebagai masyarakat muslim yang

    fanatik dan tertutup.

    Mereka berusaha menjalankan semua perintah agamanya dan

    menjauhi larangan-larangan agama. Dalam melaksanakan agamanya,

    masyarakat Kudus Kulon banyak menjalankan ajaran Sunan Kudus.

    Ajaran Sunan Kudus relatif lebih puritan dengan mengharamkan

    kegiatan berbau mistik dan sirik, di kalangan masyarakat Kudus Kulon

    tidak pernah sama sekali menyelenggarakan kegiatan pagelaran

    wayang kulit yang dianggap banyak memasukkan unsur Hindu serta

    aliran Kepercayaan15. Wayang kulit dalam ajaran Sunan Kalijaga yang

    berkembang di Demak serta daerah pedalaman yang banyak ajaran

    Hindu maupun kepercayaan animisme dan dinamisme. Menurut

    Sardjono (1996), wayang kulit merupakan alat ampuh bagi Sunan

    Kalijaga untuk menyebarkan ajaran Islam. Sehingga sampai saat ini

    dalam hal agama, masyarakat Kudus Kulon merasa sebagai penganut

    Islam fanatik sementara penganut Islam yang lain disebut sebagai Islam

    abangan.

    Namun dalam perjalanan hidupnya, Sunan Kudus banyak

    berguru kepada Sunan Kalijaga, sehingga cara berdakwahpun sejalan

    dengan pendekatan dakwah Sunan Kalijaga yang menekankan kearifan

    lokal dengan mengapresiasi terhadap budaya setempat, demikian juga

    Sunan Kudus sebagai “waliyyul ilmi” dan sebagai “Guru Akbar” tentu akan bijaksana dan terbuka kepada para murid/santrinya untuk

    berguru kepada siapapun termasuk kepada Sunan Kalijaga. Bentuk

    toleransi Sunan Kudus yang dipelihara para pengikutnya sampai

    sekarang antara lain: Sunan Kudus melarang menyembelih hewan sapi

    kepada pengikutnya, meskipun hewan sapi halal bagi kaum muslim

    karena masyarakat yang waktu itu menganggap hewan sapi sebagai

    hewan suci, membangun pancuran atau padasan yang berjumlah

    delapan yang sekarang digunakan sebagai tempat berwudhu dan setiap

    pancuran dihiasi relief arca sebagai ornamen dan jumlah pancuran ada

    8 (delapan) buah yang mengadopsi dari ajaran Budha yakni Asta

  • “GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

    140

    Sanghika Marga atau delapan jalan utama kehidupan manusia; Membangun menara Kudus yang mirip dengan bangunan Candi Jago

    atau bangunan Pura di Bali sebagai akulturasi budaya lokal Hindhu-

    Budha.

    Sikap tolerensi yang diwariskan Sunan Kudus telah

    terinternalisasikan pada diri masyarakat Kudus dan dipratikkan dalam

    kehidupan sehari-hari di Kudus, secara empiris dapat diketahui dekat

    Menara dan Masjid Kudus yang jaraknya sekitar seratus meter terdapat

    bangunan Klenteng “Hok Ling Bio”, di Desa Langgar Dalem,

    Kecamatan Kota Kudus merupakan bangunan sejarah yang memiliki

    nilai sejarah tinggi. Tempat ibadah umat Tri Dharma diyakini sebagai

    klenteng tertua dan bukti toleransi umat beragama yang ada di

    Kabupaten Kudus sehingga jamaahnya yang mayoritas kaum Tionghoa

    tetap bisa menjalankan ritual keyakinannya tanpa merasa terganggu

    sedikitpun. Demikian juga bukti toleransi mayarakat Kudus yang

    demikian tinggi diungkapkan dalam prasasti yang dipampangkan di

    batu marmer hitam di depan Kantor Bupati Kudus sebelum masuk

    pendopo, terukir kata-kata indah yang penuh makna keluhuran jiwa

    masyarakat Kudus dengan tulisan:”Lamun siro banter aja nglancangi, Lamun sira landep aja natoni, Lamun siro mandi, aja mateni” yang artinya kurang lebih adalah “Apabila anda memiliki kecepatan jangan

    mendahului, Apabila anda memiliki ketajaman janganlah untuk

    menyakiti, apabila anda memiliki kesaktian, jangan untuk

    membunuh”.

    Dalam memposisikan Sunan Kudus sebagai tanda, pada

    hubungan simbolik akan mampu membuka peluang untuk melakukan

    imajinasi simbolik sehingga makna atas Sunan Kudus dengan predikat

    “waliyyul ilmy” bisa jadi akan mengalami perkembangan sesuai dinamika masyarakat yang menafikannya16 dan ini akan melahirkan

    anggapan salah satu ciri masyarakat Kudus sebagai masyarakat santri.

    Salah satu paradigma yang berkembang di masyarakat Kudus, menurut

    Bapak Denny Nur Hakim,17 Pengurus Yayasan Masjid Menara dan

    Makam Sunan Kudus (YM3SK) menjelaskan kepada peneliti:

  • Kehidupan Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir di Kabupaten Kudus

    141

    ”untuk bisa disebut wong Kudus, harus bercirikan sebagai santri atau muslim yang taat sekaligus pandai berdagang dan menunaikan ibadah haji, bahkan kalau mampu menjadi pemuka agama (kyai atau ustad) serta mendirikan pesantren setelah kembali dari tanah suci sesuatu yang sangat diidam-idamkan. Gelar haji adalah gelar terhormat yang menjadi idaman bagi setiap muslim masyarakat Kudus, apalagi menjadi Kyai Haji. Haji menjadi puncak perwujudan pelaksanaan rukun Islam terakhir, sedangkan Kyai melambangkan tingginya ilmu agama Islam yang dimiliki manusia untuk diamalkan pada sesamanya”.

    Sedangkan Islam borjuis yang berkembang di Kudus juga tidak

    lepas dari kesadaran dan menerima dari tanda ”santri saudagar” yang

    memiliki spirit kapitalisme meskipun kapitalisme yang dibangun

    dengan berbasis nilai-nilai religius (agama Islam). Hal ini tidak lepas

    dari spirit Sunan Kudus yang diposisikan sebagai ”wali saudagar” yang

    dalam melakukan kegiatan ekonomi yaitu berdagang semata-mata

    dengan tujuan berdakwah agama Islam, sehingga Sunan Kudus bila

    mendapatkan kelimpahan keuntungan dengan berdagang, maka

    keuntungannya akan dipergunakan untuk mempercantik dan

    memperindah Menara dan Masjid Kudus.

    Perubahan perilaku masyarakat Kudus setelah menerima,

    meresapi dan melaksanakan ajaran Sunan Kudus, khususnya mereka

    yang beragama Islam bukan suatu proses yang cepat tetapi dalam

    jangka panjang. Geertz (1977) menjelaskan:

    “perubahan-perubahan masyarakat akan berjalan setahap demi setahap dalam jangka waktu yang lama, yang dimulai dari perubahan-perubahan di dalam nilai-nilai kehidupan masyarakat, dan karakteristik fungsi lembaga masyarakat, yang kemudian merembes melalui kehidupan keluarga, sistem pendidikan, organisasi-organisasi ekonomi dan politik, untuk akhirnya muncul sebagai perubahan-perubahan sosial budaya yang besar di masyarakat, perubahan-perubahan inilah yang berada di belakang perubahan-perubahan variabel-variabel ekonomi18”

    Dominasi pekerjaan masyarakat Kudus pada umumnya di sektor

    perdagangan telah menumbuhkan pola pikir dan cara hidup rasional

  • “GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

    142

    dan ekonomis, sehingga kadang-kadang masyarakat Kudus dikenal

    dengan sebutan “uthil” atau “pelit”. Mereka selalu memperhitungkan dengan cermat apa yang akan dilakukan, tekun dan bersaing untuk

    memperoleh keuntungan yang banyak dari orang lain. Waktu siang

    hari digunakan untuk bekerja dan baru beristirahat pada maham hari,

    sehingga membawa pengaruh terhadap kegiatan sosial keagamaan yang

    diselenggarakan pada malam hari seperti pengajian, sunatan,

    perkawinan maupun pertemuan RT/RW.

    Rumah sebagai Pusat Kegiatan Ekonomi

    Secara umum, rumah dapat diartikan sebagai tempat tinggal

    untuk melakukan kegiatan disamping sebagai tempat berlindung dari

    pengaruh kondisi alam (hujan, panas, angin maupun debu) serta

    merupakan tempat beristirahat dari kepenatan bekerja sehari-hari.

    Menurut Sarwono (dalam Budihardjo, 1998), dalam bukunya ”Kota

    yang Berkelanjutan” menyatakan, rumah merupakan sebuah

    bangunan, tempat manusia tinggal dan melangsungkan kehidupannya.

    Disamping itu rumah juga merupakan tempat berlangsungnya proses

    sosialisasi pada saat seseorang individu diperkenalkan kepada norma

    dan adat kebiasaan yang berlaku bagi warganya. Tempat sosialisasi bagi

    manusia membutuhkan suatu ruang yang disebut ruang sosial yaitu

    ruang yang tidak dapat dilepaskan dari ilmu arsitektur maupun

    kehidupan manusia19. Pada hakekatnya manusia sebagai mahkluk sosial

    yang menghuni rumah tidak hanya sebagai perlindungan dari

    pengaruh alam tetapi juga sebagai ruang aktivitas seperti makan,

    beribadat, beristirahat bahkan aktivitas ekonomi.

    Masyarakat Kudus pada umumnya dan khususnya masyarakat

    sekitar Menara Kudus dalam membangun rumah adat baik itu bentuk

    dan fungsinya tidak terlepas dari nilai-nilai agama Islam yang

    dianutnya, karena kehidupan ibadah merupakan ikatan sosial yang

    tercermin dalam berbagai aspek, antara lain menggambarkan dimensi

    sosial kehidupan masyarakat dalam menentukan pengaturan ruang-

    ruang di dalam rumah.

  • Kehidupan Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir di Kabupaten Kudus

    143

    Rumah tradisional masyarakat Kudus tidak merupakan

    bangunan tunggal tetapi kesatuan beberapa bangunan yang berfungsi

    untuk tempat tinggal dan melakukan kegiatan sehari-hari di rumah.

    Pola tata bangunan terdiri dari bangunan utama yaitu: Dalem atau rumah induk berbentuk bujur sangkar atau segi empat digunakan

    untuk tidur serta kegiatan yang bersifat privat, di dalamnya dibagi dua

    bagian yakni jogan serta sentong. Jogan digunakan untuk kegiatan aktif di dalam rumah yang bersifat pribadi, Sentong terdiri dari 3 ruangan yakni sentong kiwo (kiri) dan tengen (kanan) yang digunakan sebagai ruang tidur pemilik rumah sera sentong tengah (krobongan) yang keseharian dibiarkan kosong atau untuk tempat sholat. Jogosatru merupakan ruang untuk menerima tamu, terletak di depan Dalem, karena merupakan ruang yang bisa dipamerkan pada tamu yang

    datang, oleh karena itu kelengkapan dan ornamentasi pada jogosatru paling menonjol dibanding dengan ruang-ruang yang lain. Pawon terletak di samping Dalem yang digunakan untuk kegiatan bersama (ruang keluarga) yang paling sering digunakan dalam kehidupan

    keseharian serta tempat memasak pada bagian belakang. Bagian tengah

    tapak atau di depan bangunan utama terdapat halaman terbuka

    (plataran), sedangkan di seberangnya terdapat kamar mandi dan sumur

    (pekiwan). Sumur terbuka tanpa atap dibatasi dinding yang membagi

    dua sumur digunakan untuk mandi, mencuci serta berwudhu. Sisir terletak di sebelah kamar mandi, berbentuk los merupakan tempat

    kerja atau tempat menyimpan (gudang) atau ruang serba guna. Kadang-

    kadang dipakai sebagai dapur umum ketika ada hajatan atau sebagai

    kamar tidur tambahan.

    Sistem nilai tersebut berbeda antara satu perumahan dengan

    perumahan yang lain, tergantung pada daerah atau pun keadaan

    masyarakat setempat. Sedangkan Tjahyono (2000) mengatakan bahwa,

    dalam tradisi Jawa rumah merupakan suatu konsep orang Jawa dalam

    mengaktualisasikan diri baik secara pribadi maupun sosial sehingga

    mencerminkan konsep budaya berpenghuni.20 Menurut Bourdieu

    (dalam Richard Harker dkk., 2004), rumah sebagai ruang sosial

    merupakan ruang dalam kelompok-kelompok status yang dicirikan

  • “GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

    144

    berbagai gaya hidup yang berbeda. Pertarungan simbolik atas persepsi

    dunia sosial dapat mengambil dua bentuk yang berbeda pada sisi

    obyektif dan sisi subyektif. Sisi obyektif, orang dapat bertindak melalui

    perepresentasian baik yang bersifat individual maupun sosial agar dapat

    mengendalikan berbagai pandangan tertentu yang realitas. Jadi dengan

    bahasa lain, sikap, kecenderungan persepsi, berperasaan, bertindak,

    dan berpikir seseorang merupakan hasil yang diinternalisasikan berkat

    kondisi objektif orang tersebut.21 Sedangkan sisi subyektif, orang dapat

    bertindak dengan cara menggunakan strategi presentasi diri atau

    dengan mengubah kategori persepsi dan apresiasi tentang dunia

    sosial22.

    Bourdieu menganalisis praktik budaya didasarkan pada

    penetrasi timbal balik antara struktur obyektif dan subyektif dalam

    suatu dialektika aktif. Inti prosesnya adalah ”internalisasi eksternalitas

    dan ekternalisasi internalitas” dan praktik individu atau kelompok

    sosial harus dianalisis sebagai hasil interaksi yaitu habitus23 dan ranah24. Dalam kehidupan sehari-hari, bagi para pengusaha bordir di Kudus dan

    khususnya di Desa Padurenan Kecamatan Gebog, rumah tempat tinggal

    merupakan pusat kegiatan sehari-hari. Rumah tempat tinggal

    pengusaha bordir bukanlah sekedar tempat berlindung atau

    beristirahat dari kesibukkan bekerja dan memproduksi sehari-hari

    seperti membordir, mendisain rencana bordir dan kegiatan potong-

    memotong sesuai ukuran. Karena itu, rumah pengusaha bordir akan

    selalu dipenuhi mesin jahit, mesin bodir komputer, barang-barang

    dagangan hasil produksi sendiri, bahkan kebutuhan bordir (kain,

    benang dll,) atau produksi orang lain. Rumah mereka selalu ramai

    keluar masuk dengan aktivitas para pekerja maupun calon pembeli

    yang datang dari desa-desa sekitar Kudus maupun dari luar Kudus.

    Pusat kegiatan pengusaha bordir dalam kehidupan sehari-hari

    berada di rumah, pasar dan masjid. Rumah bagi masyarakat Kudus bukan sekedar sebagai tempat tinggal dan tempat beristirahat tetapi

    juga sebagai tempat bekerja yang bernilai komersial, sekaligus

    digunakan kegiatan spiritual seperti sholat. Mereka memiliki

    semboyan: ”Rumahku adalah tempat kerjaku”, tempat memproduksi

  • Kehidupan Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir di Kabupaten Kudus

    145

    barang dagangan seperti konfeksi dan bordir. Hampir seluruh waktu

    dihabiskan untuk bekerja di rumah kecuali malam hari untuk kegiatan

    keagamaan dan sosial. Setelah kegiatan di rumah sebagai tempat usaha,

    pasar mempunyai fungsi yang sangat penting, karena di pasar itulah

    pengusaha bordir akan memenuhi kebutuhan bahan baku maupun

    menjual produksi bordir, dan ini sangat menentukan nasib usaha dan

    hidupnya lebih lanjut. Masjid sebagai tempat untuk melaksanakan

    ibadah yaitu sholat, mengaji atau kegiatan keagaman yang lain.

    Hal itu dituturkan oleh para informan yang menerangkan

    kepada peneliti alasannya membuka usaha bordir di rumah, sebagai

    berikut:

    Ibu Hj.Sri Murni‟ah25 mengatakan alasan rumah sebagai tempat

    usaha bordir dan tempat tinggal yaitu:

    “langkung praktis” injih meniko saget momong lare-lare, lan masakaken bapakipun, amargi bapakipun ngasto perangkat kelurahan Padurenan lan kawulo tetep saget usaha bordir” . Artinya: lebih praktis yaitu bisa menjaga anak-anak dan memasak untuk suami karena suami bekerja sebagai perangkat Kelurahan Padurenan dan masih dapat tetap bisa kegiatan bisnis bordir.

    Ibu Nurul Hikmah26, mengatakan rumah sebagai tempat usaha

    bordir dan tempat tinggal yaitu:

    “yah gimana lagi, sebetulnya ingin sekali punya rumah tempat usaha sendiri dan tidak menjadi satu tempat tinggal, namun karena tidak ada modal maka rumah disamping untuk tempat tinggal juga untuk usaha bordir dan juga untuk usaha suami membuka usaha perbaikan alat-alat rumah tangga, seperti kulkas, mesin cuci, kipas angin maupun televisi ”.

    Ibu Mirah27, seorang pengusaha bordir berusia sekitar 53 tahun

    dengan 3 orang anak yang tempat tinggalnya di depan rumah

    Sekretaris Kelurahan Padurenen, Bapak Achsannudin Ismanto RT

    05/RW01 melakukan usaha bordir mulai tahun 1980 dan usaha bordir

    ini meneruskan usaha orang tua. Ibu Mirah mengungkapkan kepada

  • “GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

    146

    peneliti alasannya menggunakan rumah tempat tinggalnya sebagai

    tempat usaha karena:

    “menawi usahanipun dateng griyo sanes injih langkung sae, namun betahaken modal langkung katah lan kaping kalihipun amargi Bapak gerah stroke sampun dangu, usaha bordir injih dateng griyo kemawon, saget merawat Bapak kaliyan ngawasi lare-lare tetep saget usaha,usaha bordir meniko sampun tahun 1980 lan usaha meniko warisan tiyang sepuh lan rumiyen bapak wedal tasih sehat usahanipun konveksi, saksampun ipun gerah injih dateng griyo kemawon”. Artinya: Kalau usahanya di rumah lain ya lebih baik namun membutuhkan modal lebih banyak dan yang kedua disebabkan bapak sakit stroke sudah lama, usaha bordir ya di rumah saja, karena dapat merawat bapak dan ngawasi anak-anak dan tetap masih bisa usaha bordir, usaha bordir dimulai tahun 1980 dan usaha ini merupakan warisan orang tua dan dahulu waktu bapak masih sehat usahanya konveksi, namun setelah sakit stroke hanya di rumah saja.

    Bapak H.Hasan28 Pengusaha bordir berusia 31 tahun, lulusan

    SMA, memiliki 2 (dua) orang anak dan bertempat tinggal di Kelurahan

    Padurenan RT 05/RW 01 Gebog Kudus, membuka usaha bordir

    dirintisnya sejak tahun 2006 dengan menggunakan mesin manual dan

    tahun 2011 menggunakan mesin komputer untuk memproduksi bordir.

    Pengelolaan usaha bordir di rumah dan dibantu oleh keluarga sendiri

    yaitu isteri. Mengungkapkan alasannya melakukan usaha di rumah

    sebagai berikut:

    “Kalau tempat usaha jauh dari rumah, ya siapa yang akan menunggu, repot “wira-wiri” nambah ongkos transport beli bensin dan tidak bisa mengawasi anak-anak”.

    Bapak.H. Moch Anshori29 Pengusaha bordir berusia berusia 51

    tahun, merupakan salah satu tokoh masyarakat yang tinggal di

    Padurenan RT 1 /RW 1 Kecamatan Gebog, seorang pengusaha bordir

    yang cukup berhasil dan salah satu penggerak dan pendiri Koperasi

    Simpan Pinjam (KSU) Pedurenan Jaya, menyatakan bahwa tempat

    usaha jadi satu dengan rumah tinggal dengan alasan:

  • Kehidupan Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir di Kabupaten Kudus

    147

    ”langkung praktis, lan gampil pengawasanipun, menawi tempat usaha wonten griyo sanes kedhah kagungan modal langkung katah lan meniko saget dipun agem ngembangaken usaha usaha ingkang langkung penting lan ingkang utami amargi dusun Padurenen sampun dipun kenal usaha bordir, konsumen sampun dateng kiambak dateng mriki” Artinya: Lebih praktis dan mudah pengawasan, disamping itu kalau di tempat lain memerlukan modal besar dan itu bisa dipakai untuk pengembangan usaha lebih lanjut dan yang lebih penting Desa Padurenan sudah dikenal konsumen usaha bordir, konsumen sudah datang sendiri ke sini.

    Ibu Mufarrikhah30 seorang pengusaha bordir berusia 32 tahun,

    pendidikan S1 dan beralamat di Kelurahan Padurenan RT 3 RW 6

    Kecamatan Gebog, memulai usaha sejak tahun 2005, merintis produksi

    bordir dengan alasan bordir memiliki keunikan dan klasik sehingga

    akan terus dapat diterima konsumen. Oleh karena itu, lebih banyak

    memproduksi bordir Icik seperti kebaya, kain, baju, jilbab, kerung dan

    lain-lain sesuai pesanan konsumen. Usaha bordir dimulai dari warisan

    leluhur ibunya yang juga seorang pengusaha bordir, kemudian usaha

    dikembangkan sendiri dengan bantuan suami dan anak-anaknya dan

    masyarakat sudah mengenal Padurenan sebagai pusat bordir di Kudus

    sehingga konsumen yang akan datang ke sini. Alasan rumah tinggalnya

    menjadi tempat usaha diungkapkan kepada peneliti sebagai berikut:

    ”Sebetulnya menginginkan punya bengkel dan showroom

    usaha bordir terpisah dengan rumah tempat tinggal, karena

    lebih bersih, kehidupan keluarga tidak terganggu dan lebih

    berkonsentrasi dalam berusaha, namun karena anak-anak

    masih kecil-kecil perlu pengawasan dan modal belum

    terkumpul untuk membuka bengkel tersendiri”.

    Sedangkan Ibu Islahiyah31, mengungkapkan kepada peneliti

    sebagai berikut:

    “Saya memiliki 2 (dua) tempat usaha yaitu di Desa Padurenan-Kecamatan Gebog dan di Desa Krandon, Kecamatan kota Kudus. Alasan memiliki 2 tempat usaha adalah “di sini (desa Krandon) tempat tinggal asli suaminya dan dekat dengan Kota Kudus dimana anak-anaknya sekolah

  • “GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

    148

    dan mendekati konsumen, kalau di Desa Padurenan Kecamatan Gebog tempat asli saya, tetap saya pakai untuk usaha, namun keseharian kegiatan usaha bordir Ibu Islahiyah ada di Desa Krandon. Usahanya itu dilakukan sepenuhnya di rumah, baik untuk produksi dan showroom produk bordir”.

    Alasannya melakukan usaha di rumah adalah:

    “Rumah di Desa Krandon ini cukup besar disamping mudah di cari konsumen/pelanggan, karyawan bordir rata-rata tinggal di Desa Krandon mudah pengawasan dalam proses membordir oleh para karyawan, karyawan masih bisa „nyambi‟ menjaga dan merawat anak-anak, tidak menge-luarkan ongkos dan pemasarannya dengan “getuk tular” dan sering ikut pameran dan bazar di berbagai kota (Semarang, Jepara, Salatiga, Kudus maupun Demak) yang dikoordinir oleh KSU Padurenan Jaya yang bekerja sama dengan Bank Jateng atau Bank Indonesia, karena saya sebagai anggota aktif KSU Padurenanan Jaya”.

    Pada umumnya pengusaha bordir membuka usaha bordir di

    rumah disamping sebagai tempat tinggal juga sebagai tempat bekerja

    dan berproduksi antara lain: 1) Memilih rumah sebagai tempat usaha

    tidak mengeluarkan banyak biaya sewa, dan kontrak atau menyediakan

    dana cukup besar kalau membuat/membangun tempat usaha terpisah

    dengan rumah tinggal, 2) Kalau rumah juga sebagai tempat usaha

    mengurangi wira-wiri tidak jauh dan masih bisa mengerjakan kegiatan domestik di rumah seperti memasak, merawat anak, memantau

    kegiatan anak-anak, 3). Desa Padurenan Kecamatan Gebog Kudus

    sudah dikenal sebagai pusat Desa Produktif Bordir dan Konfeksi

    sehingga menjadi tujuan para calon pembeli dan pelanggan,

    menurutnya bagai ”mutiara” pasti akan dicari, 4) Ada keinginan tempat

    bengkel bordir atau showroom hasil bordir terpisah dengan kegiatan keluarga di rumah supaya lebih konsentrasi, suasana lebih tertib dan

    dapat tertata rapi.

  • Kehidupan Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir di Kabupaten Kudus

    149

    Profil Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga

    Bordir di Kudus

    Kehidupan masyarakat Kudus mempunyai karakteristik

    perilaku yang berbeda bila dibandingkan dengan perilaku daerah lain

    (Jepara, Demak maupun Semarang), dimana perilaku hemat sangat

    menonjol, hal ini disebabkan masyarakat Kudus menempatkan masalah

    ekonomi atau kekayaan yang dimiliki mempunyai “arti” yang sangat

    tinggi. Perilaku ulet dalam berusaha, rajin dan berlaku hemat

    merupakan manifestasi dari tata nilai yang hidup di kalangan

    masyarakat Kudus. Segala macam tindakan ekonomi dalam sistem nilai

    seperti ini akan dipertimbangkan dengan prinsip-prinsip ekonomi.

    Hanya dalam keadaan tertentu dan dengan alasan (agama), mereka

    baru melakukan suatu tindakan ekonomi untuk kepentingan sosial

    misalnya sedekah, zakat, pembangunan Masjid.

    Di bawah ini, ungkapan beberapa informan pengusaha bordir

    yang diwawancarai peneliti sebagai berikut:

    Ibu Hj. Sri Murni‟ah32, pengusaha bordir “Fadillah Embroider” berusia 50 tahun, memiliki 3 orang anak (2 orang perempuan dan 1

    orang laki-laki), beragama Islam dengan suami bernama Bapak

    H.Maskan usia 54 tahun yang bekerja sebagai perangkat Kelurahan

    Padurenan yang tinggal di Jl.K.Hasyim Padurenan RT 01/RW 01-

    Gebog yang mulai usaha sejak tahun 1980 dengan modal awal

    pemberian orang tua. Dalam menjalankan usahanya Ibu Hj Sri

    Murni‟ah dibantu suami dan anak pertama dan kedua. Memulai

    usahanya dengan belajar dari orang tuanya yang juga seorang

    pengusaha bordir dan konfeksi dengan menggunakan mesin bordir

    manual dan kemudian karena permintaan konsumen sangat banyak

    dan produksi mulai menggunakan mesin Komputer. Produksinya

    penuh kreativitas dan inovasi sesuai dengan keinginan konsumen

    tetapi tetap cengkok bordir Kudus kelihatan, berupa kain motif bordir,

    jilbab, baju koko, selendang, baju wanita maupun kebaya yang

    diproduksi berdasarkan pesanan maupun untuk memenuhi kebutuhan

    pasar. Namun meskipun saya sibuk mengurusi usaha bordir dan urusan

  • “GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

    150

    domestik tetapi tetap melaksanakan ibadah. Pada pagi hari, mulai jam

    4.30 sudah bangun dan melaksanakan sholat subuh sebagai umat

    Muslim yang taat. Kemudian mempersiapan sarapan pagi untuk suami

    dan anak-anak yang mau berangkat sekolah, sedangkan untuk bersih-

    bersih kamar dan halaman rumah, mencuci akan dikerjakan sambil

    mengerjakan yang lain setelah jam 09.00 WIB karena tidak memiliki

    pembantu rumah tangga. Mulai jam 7.00 WIB Ibu Hj.Sri Murni‟ah

    sudah menerima para pengrajin yang menyerahkan hasil pekerjaan

    bordir yang dikerjakan kemarin dan memberikan pekerjaan pesanan

    bordir baru untuk dikerjakan di rumah para pekerja atau para pekerja

    langsung ke bengkel bordir di belakang rumah. Ada yang membawa

    pulang bahan baku untuk dikerjakan di rumah dan menjadi bahan jadi

    Ibu Nurul Hikmah33, seorang pengusaha bordir berusia 36

    tahun memulai usaha sejak tahun 2008 yang dirintis sendiri, belajar

    dari orang tua. Beralamat di Kelurahan Padurenan RT 4 RW 2,

    suaminya juga membuka usaha reparasi kulkas, mesin cuci dan pompa

    air juga melakukan usaha di rumah, sehingga depan rumah banyak

    barang-barang rumah tangga elektronik yang sedang dan akan diservis

    mengatakan: memilih usaha di rumah meskipun kondisi rumah jadi

    tidak bisa rapi karena tidak punya modal untuk membuka toko (tempat

    usaha) terpisah dengan rumah tinggal, meskipun sebenarnya punya

    keinginan memiliki tempat usaha terpisah dengan tempat tinggal, dan

    dengan rumah tinggal sebagai tempat usaha bisa “nyambi” pekerjaan

    rumah dan merawat anak di rumah. Keluarga Ibu Nurul Hikmah mulai

    aktivitas kegiatan setiap hari, dimulai pagi hari jam 4.30 WIB untuk

    melaksanakan sholat subuh. Setelah itu mengerjakan pesanan bordir

    sebelum para pengrajin sebagai karyawan datang. Jumlah karyawan

    sebanyak 5 orang yang berasal dari tetangga sebanyak 3 orang dan

    kampung lain sebanyak 2 orang, dan kalau pesanan banyak dan segera

    selesai misalnya membuat souvenir pernikahan bisa menggunakan

    tenaga kerja lebih dari 10 orang dan semuanya dibayar dengan sistem

    borongan. Produksi bordir yang dikelola Ibu Nurul Hikmah

    bermacam-macam variasi berupa souvenir, jilbab, kebaya dan baju

    koko taqwa masih menggunakan mesin bordir manual maupun mesin

  • Kehidupan Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir di Kabupaten Kudus

    151

    jahit dengan menggunakan tenaga dinamo listrik. Meskipun setiap hari

    sibuk mengurusi usahanya, tidak pernah meninggalkan sholat,

    pengajian, zakat atau sedekah.

    Ibu Islahiyah34, seorang pengusaha bordir yang bertempat

    tinggal di Padurenan RT 1 RW 1 Kecamatan Gebog dan juga memiliki

    tempat usaha bordir di Krandon RT 05/RW 1 Kota Kudus. Ibu

    Islahiyah mulai usaha sejak tahun 1980 dan merupakan pengusaha

    bordir yang mulai belajar usaha bordir dari orang tuanya, kemudian

    mengembangkan usaha bordir sendiri dengan nama “La Risma” yaitu

    mengerjakan bordir untuk memenuhi pesanan dari para pelanggan

    berupa kain bordir, bordir kebaya, jilbab, baju, mukenah, slayer, gamis

    dan akesoris dan menyediakan stok hasil produksi bordir untuk

    konsumen. Dalam melakukan usaha Ibu Islahiyah dibantu oleh suami

    yang bekerja sebagai pengusaha membuat tas, sandal dan sepatu yang

    kadang-kadang asesorinya dikombinasikan dengan bordir.

    Di dalam memproduksi bordir mengunakan mesin yuki untuk membuat bordir yang rumit-rumit, halus dengan kualitas yang baik

    seperti bordir Icik, dan mesin komputer untuk membuat bordir yang cepat jadi. Tenaga kerja sebanyak 9 orang yang terdiri dari tenaga

    membordir 7 orang yang mengerjakan di rumahnya masing-masing

    dan 2 orang mengerjakan di rumah pengusaha atau bengkel dan bila

    pesanan banyak maka tenaga kerja bisa mencapai 20 orang, yang

    dibayar dengan sistem borongan dan harian. Tenaga kerja berasal dari

    tetangga di sekitar rumah atau tetangga kampung/desa lain, tenaga

    kerja terdiri dari tenaga aktif, yang bekerja dari jam 07.00 s/d jam 16.00

    bekerja di rumah pengusaha rata-rata tenaga kerja sambilan, yang

    mengerjakan “batil” yaitu membersihkan benang-benang bordir yang

    tidak terpakai atau melubangi bordir dengan alat listrik solder yang

    membutuhkan tenaga kerja yang sabar, teliti, penuh konsentrasi sebab

    kalau tidak begitu bisa rusak.

    Ibu Mufarrikhah35, pengusaha bordir berusia 32 tahun,

    pendidikan S1 dan beralamat di Kelurahan Padurenan RT 3 RW 6

    Kecamatan Gebog, dan mulai usaha sejak tahun 2005, mengatakan

  • “GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

    152

    mulai merintis produksi bordir dengan alasan, bordir memiliki

    keunikan dan klasik sehingga akan terus dapat diterima konsumen.

    Oleh karena itu, lebih banyak memproduksi bordir Icik seperti kebaya, kain, baju, jilbab, kerung dan lain-lain sesuai pesanan konsumen.

    Usaha bordir dimulai dari warisan leluhur ibunya yang juga seorang

    pengusaha bordir, kemudian usaha dikembangkan sendiri dengan

    bantuan suami dan anak-anaknya, dan masyarakat sudah mengenal

    Padurenan sebagai pusat bordir di Kudus sehingga konsumen yang

    akan datang ke sini.

    Pada umumnya, pengusaha bordir memiliki hubungan sosial

    dengan karyawan yang lebih longgar dari hubungan formal majikan-

    buruh, kekeluargaan dan harmonis, serta pengusaha rata-rata

    memberikan banyak kebebasan kepada karyawannya untuk bekerja

    sesuai dengan caranya masing-masing, asal pekerjaannya selesai sesuai

    dengan yang diharapkan para majikan, dan rata-rata karyawan sudah

    bekerja lebih dari 2 tahun.

    Dr.Abdul Jalil.M.Ei.36, staf pengajar STAIN Kudus dan wakil

    sekretaris Yayasan Pendidikan Islam Qudsiyyah (YAPIQ) Menara

    Kudus, mengungkapkan kepada peneliti bahwa:

    “Karakteristik hemat dan ulet masyarakat Kudus diyakini berkaitan dengan pengaruh spirit dari Sunan Kudus. Dalam tradisi tersebut digambarkan bahwa selain sebagai seorang penyebar agama Islam yang faqih. Sunan Kudus digambarkan sebagai seorang pedagang yang ulet. Kesuksesan ini, kata Jalil, salah satu faktor pentingnya adalah soal spiritualitas. Spiritualitas seseorang, yang berbasis pada keimanan, dapat diwujudkan dengan sepuluh karakter untuk mengem-bangkan usaha. Sepuluh karakter ini adalah amanah, orientasi jangka panjang, kontrol diri, komparatif, sinergis, emphaty, kreatif, taktis, mandiri, dan belajar dari kegagalan. “Sepuluh karakter ini ditemukan dalam profil pengusaha Kudus yang membuat usahanya terus berkembang dan sukses”

    Tradisi lokal yang diwariskan dari Sunan Kudus masih tetap

    hidup di kalangan masyarakat, dan figur Sunan Kudus yang patuh

    dalam beragama dan ulet, rajin dalam berdagang. Keuletan dan

  • Kehidupan Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir di Kabupaten Kudus

    153

    rajinnya masyarakat Kudus dalam bidang ekonomi menurut Benjamin

    White (1976), disebut sebagai occupational multiplicit37, perilaku tersebut merupakan perilaku dalam bidang ekonomi dari masyarakat

    Kudus, sehingga hal yang wajar bila masyarakat Kudus menjadi

    masyarakat santri muslim yang taat beragama sekaligus sebagai

    pengusaha yang ulung baik kaum laki-laki maupun kaum

    perempuannya.

    Dalam memilih pekerjaan masyarakat Kudus lebih dominan

    memilih pekerjaan di sektor perdagangan dan industri, ini

    menumbuhkan cara hidup rasional dan ekonomis dalam masyarakat

    Kudus. Mereka selalu memperhitungkan dengan teliti dan cermat

    setiap apa yang dilakukan, tekun dan berusaha memperoleh

    keuntungan yang lebih banyak daripada dengan orang lain. Setiap

    siang hari dilakukan untuk bekerja dan malam hari baru beristirakat

    atau digunakan kegiatan sosial keagamaan seperti hajat sunatan,

    perkawinan, syukuran dan pengajian maupun pertemuan RT/RW

    diselenggarakan malam hari. Pada umumnya keuntungan yang

    diperoleh tidak khusus digunakan untuk investasi usaha lebih lanjut

    tetapi digunakan untuk kegiatan lain seperti naik haji, sedekah, zakat,

    disimpan dalam bentuk membeli emas, memperbaiki rumah, maupun

    untuk kegiatan sosial keagamaan lain.

    Produk Bordir Kudus

    Usaha bordir di Kudus yang dikelola para pengusaha bordir

    rata-rata menggunakan rumah sebagai pusat kegiatan usaha bordir

    serta dikelola oleh keluarga, sehingga peneliti menyebutnya dengan

    Industri Kecil Bisnis Keluarga (IKBK). Dimana suami atau isteri sebagai

    pemiliknya dan anggota keluarga yang lain seperti saudara kandung,

    anak, menantu dan saudara sekampung saling bekerja sama membantu

    dan mengelola proses produksi bordir, pembelian bahan baku, pekerja

    membordir sampai pemasarannya.

  • “GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

    154

    Bordir sebagai produk sosial-kultural menjadi simbol dan

    memberi makna, serta mendiskripsikan kehidupan manusia dari waktu

    ke waktu. Produk bordir memiliki nilai-nilai filosofi, simbol dan

    makna dari bentuk disain, kombinasi warna benang dan warna kain,

    proses pembuatannya, perannya dalam kehidupan sosial, dan sebagai

    simbol status bagi pemakainya dan cara penggunaannya seperti busana.

    Menurut sejarah, sejak jaman dahulu hiasan bordir memiliki

    proses perjalanan panjang dan seni hiasan bordir atau sulam dapat

    ditemukan di berbagai daerah di seluruh dunia, namun tiap-tiap daerah

    memiliki ciri khas tersendiri. Pada waktu pertama muncul barang

    bordir merupakan suatu hiasan barang mewah karena hanya dimiliki

    oleh orang-orang tertentu (orang-orang kaya atau raja-raja). Hal ini

    terjadi pada tahun 330 Sebelum Masehi sampai abad ke-15 di

    Byzantium telah ditemukan hiasan bordir yang dipadukan dengan

    ornamen dari emas. Kemudian pada zaman Mesir kuno hiasan bordir

    sudah ada, ini dibuktikan pada makam raja-raja telah ditemukan

    lukisan yang berindikasi mengenai keberadaan bordir yang

    digambarkan dalam hiasan bordir pada pakaian raja-raja, pelapis

    tempat duduk, gantungan baju bahkan tenda. Demikian pula pada

    bangsa Yunani kuno sekitar abad ke 7 dan ke 6 Sebelum Masehi sudah

    mengenal hiasan bordir yang dibuktikan pada lukisan yang terdapat di

    vas bunga.

    Kemudian hiasan bordir berkembang di Asia khususnya di

    China pada masa Dinasti Tang sekitar tahun 618-907 Sesudah Masehi

    dan hiasan bordir mencapai puncaknya pada saat Dinasti Cing yang

    bertahta pada tahun 1644 – 1912 dimana jubah kerajaan yang terbuat

    dari sutera diramaikan oleh hiasan bordir. Perkembangan di Benua

    Asia, bordir juga berkembang di India dengan motif hiasan bordir tidak

    jauh dari berbagai bentuk aneka tumbuhan dan bunga-bunga maupun

    pepohanan yang sedang berbunga serta barang bordir sudah

    diperdagangkan sampai masuk ke Eropa (Inggris dan Belanda) pada

    abad ke-17 dan abad ke-18. Pada abad ke -16 bordir berkembang di

    Turki telah menciptakan bordir yang memadukan emas dengan sutera

    berwarna, sampai hiasan bunga tulip. Perkembangan seni bordir juga

  • Kehidupan Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir di Kabupaten Kudus

    155

    tersebar di seluruh wilayah Indonesia seperti di Tasikmalaya, Padang,

    Palembang, Jawa Timur, Madura, Bali dan Jawa Tengah termasuk

    Kudus.

    Dari uraian tersebut di atas, menimbulkan pertanyaan kapan

    bordir mulai dikenal di Kudus. Guna mengetahui perkembangan

    hiasan bordir di Kudus tidak lepas dari era perdagangan yang

    dikembangkan masa Sunan Kudus, seperti telah diungkapkan pada

    bab-bab sebelumnya, karakter Sunan Kudus disamping dikenal

    sebagai “wali saudagar”. Posisi Sunan Kudus sebagai ”wali saudagar” menandai bahwa Sunan Kudus memiliki kepekaan keahlian berdagang

    serta memiliki etos kerja yang tinggi, ini dibuktikan dari kekayaan

    melimpah namun dipergunakan untuk kepentingan jalan dakwah,

    dibuktikan dengan adanya berbagai ornamen dan ragam hias yang

    terpasang di menara Kudus berupa piring dan mangkok keramik yang

    berasal dari berbagai negara (Tiongkok, Vietnam, India, Arab, maupun

    Eropa) disamping itu tentunya yang diperdagangkan bermacam-macam

    barang, baik hasil bumi pertanian maupun kain sutera dengan berbagai

    motif antara lain bordir. Kekayaan berupa barang-barang keramik dari

    berbagai negara termasuk dari Tiongkok tersebut dipasang dan

    ditempelkan pada bagian tubuh menara Kudus juga sebagai petanda

    bukti persahabatan antara Sunan Kudus dengan mubalig Tiongkok

    bernama The Liang Sing yang berasal dari Sun Ging An38, seorang

    penyebar agama Islam yang mengajar seni ukir dan lukis pada

    penduduk sekitarnya.

    Pada dasarnya bordir merupakan seni sulam-menyulam yang

    identik dengan seni lukis yang dituangkan dalam media serat, benang,

    dan kain. Bordir atau sering dikenal dengan sulaman merupakan

    bentuk hiasan yang dibuat di atas kain atau bahan-bahan lain dengan

    menggunakan jarum jahit dan benang. Istilah bordir lebih dikenal dari

    pada sulam, sehingga orang mendefinisikan bordir sebagai salah satu

    kerajinan ragam hias (aksesoris berbagai busana) yang menitikberatkan

    pada keindahan dan komposisi warna benang pada media berbagai kain

    dengan teknik tusukan.

  • “GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

    156

    Ada 4 (empat) jenis teknik bordir yaitu (1) Bordir tangan yaitu

    bordir yang proses pembuatannya dikerjakan dengan tangan. Pada

    bordir tangan menggunakan jenis tusuk yang dipakai sangat bervariasi

    yaitu tusuk balik/tusuk tilam, tusuk batang/tangkai, tusuk rumani

    (untuk membuat daun dan bunga-bunga), tusuk veston (buat bunga, lubang kancing, memperkuat dan menghias tepi kain), tusuk bunga,

    tusuk rantai (membuat garis pembatas, dahan dan ranting), tusuk datar

    (membuat bentuk bunga, daun, dan mengisi bidang), tusuk flane (membuat hiasan tepi dan garis pembatas), tusuk daun (membuat

    berbagai bentuk daun), tusuk bullion (membuat bunga kecil dan hiasan bulir-buliran), tusuk lurus (membuat bunga dan rumput), tusuk satin

    (membuat helai daun dan bentuk bebas), dan tusuk jelujur (membuat

    garis dan menjelujur sambungan dan lipatan kain. (2) Bordir mesin

    manual, yaitu bordir yang proses pembuatannya dikerjakan dengan

    mesin jahit biasa (manual), yang jika akan dipakai untuk membordir

    maka mesin ini harus dilepas “sepatu” dan “gigi” mesinnya.

    Jenis tusuk bordir mesin pada dasarnya ada 2 (dua) yaitu

    Pertama, tusuk lurus, biasanya digunakan untuk membuat kerangka motif sebelum dibordir, untuk membuat isian pada motif, untuk

    mengisi bidang yang lebar dan untuk membuat motif yang berupa garis

    lurus maupun melengkung. Kedua, tusuk zig-zag yang digunakan untuk berbagai bentuk motif, baik berupa garis, bentuk geometris,

    bentuk flora dan fauna, dan sebagainya. (3) Bordir mesin listrik/dinamo

    listrik, yaitu mesin yang proses kerjanya digerakkan dengan

    motor/dinamo dan jenis tusuk bordir mesin jahit listrik/dinamo

    prinsipnya sama dengan teknik mesin jahit manual, dan (4) Bordir

    mesin komputer mulai yang berkepala satu, tiga, enam, sepuluh sampai

    berkepala dua belas dan bahkan bisa lebih banyak lagi, proses kerjanya

    diatur sesuai program untuk mendapatkan bentuk-bentuk motif yang

    diinginkan, sehingga proses membordir tidak membutuhkan

    kelincahan tangan manusia sebagaimana pada bordir manual. File

    gambar yang dapat dibaca oleh mesin bordir komputer hanyalah file

    gambar yang memiliki alur urutan gerakan benang dalam proses

    membordir. File gambar itu harus dibuat menggunakan software

  • Kehidupan Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir di Kabupaten Kudus

    157

    khusus untuk mesin bordir komputer, dan yang paling umum dipakai

    adalah Software Wilcom, mesin bordir komputer banyak dipakai oleh para pengusaha di Kudus yang berasal dari China, Korea Selatan, dan

    Jepang. Gambar 4.3, berbagai jenis mesin border:

    Sumber: Dokumentasi pribadi, 2014

    Gambar 4.3

    Mesin Bordir Listrik Merk Juki dan Mesin Bordir Komputer

    Sumber: Dokumentasi pribadi, 2014.

    Gambar 4.4

    Mesin Jahit Bordir Manual

    Sedangkan bahan bordir, selain benang dari wol, linen, dan

    sutra, bordir modern menggunakan benang sulam dari katun atau

    rayon. Akibat berbagai kemajuan jaman dan perkembangan mode,

    hiasan untuk sulaman atau bordir dapat menggunakan bahan-bahan

    seperti potongan logam, pita, mutiara, manik-manik, bulu burung, dan

    payet. Demikian pula, aplikasi bordir berkembang sesuai dengan

  • “GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

    158

    perkembangan dalam dunia mode, serta didukung oleh sarana dan

    prasarana yang lebih baik dengan daya kreatifitas yang tinggi tidak

    hanya untuk hiasan busana, tetapi juga untuk perlengkapan seperti

    taplak, sarung bantal, seprei, saputangan, dasi, tutup TV, tutup almari

    es, alas perangkat minum, maupun diterapkan dalam hiasan interior

    dan eksterior rumah.

    Pada umumnya para informan yang diwawancarai peneliti

    mengungkapkan, dalam memproduksi bordir, ternyata bordir mesin

    manual atau bordir “Icik” yang memiliki keunikan, khas Kudus yang

    patut dilestarikan, yaitu membordir dengan menggunakan mesin

    manual tenaga manusia yang mengayuh dan menimbulkan bunyi “icik-

    icik” sehingga membutuhkan proses yang lama, butuh kejelian dan

    keterampilan dalam membuatnya, namun sekarang ini banyak generasi

    muda yang enggan untuk memproduksi bordir icik karena generasi

    muda tidak banyak yang memiliki jiwa telaten dan sabar.

    Seperti kata informan Ibu Sa‟adah39 bahwa membutuhkan

    waktu setahun untuk belajar bordir icik dengan hasil bordir yang halus. Menurut Ibu Sa‟adah dalam pembuatan satu baju bordir icik, berdasarkan pengalaman memerlukan waktu satu minggu sampai 10

    hari, tergantung jenis motif dan hasilnya lebih baik dengan harga yang

    cukup mahal. Harga bordir sendiri sebenarnya ditentukan oleh

    beberapa hal yaitu: (1) jumlah bahan yang akan dibordir, (2) lama

    waktu yang diberikan untuk membuat, (3) jumlah stick pada kain, (4) tingkat kerumitan dari disain gambar maupun tulisan, dan (5) jumlah

    warna yang digunakan.

    Selanjutnya informan Ibu Sa‟adah pemilik usaha bordir Dalia

    mengungkapkan pada peneliti bahwa:

    “awal mulanya, bordir icik hanya terdapat di sekitar Menara Kudus. Produksinya dilakukan oleh para gadis pingitan di daerah sekitar Menara kudus. Kemudian masyarakat sekitar setiap pagi sampai sore hari ikut serta bekerja membuat bordir icik bersama para gadis yang telah dipingit tersebut, akhirnya masyarakat sekitar tersebut menjadi pintar dan ahli membuat bordir icik dan setiap pulang kerja pada malam

  • Kehidupan Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir di Kabupaten Kudus

    159

    harinya mencoba mnerima pesanan bordir icik sebagai tambahan penghasilan, kemudian bordir icik mulai menyebar ke pelosok desa-desa di Kecamatan Kota Kudus, Gebog, Kaliwungu, dan Bae”.

    Sedangkan informan yang lain yaitu Bapak H.Moch Anshori40

    mengungkapkan:

    “Pada awalnya kejayaan bordir termasuk bordir icik di Desa Janggalan, Langgar Dalam, Kajeksan dan Purwasari, Kecamatan Kota Kudus dan dahulunya warga Padurenan Kecamatan Gebog dan desa-desa sekitar yang lain adalah pekerja bordir di desa-desa tersebut, sambil belajar dan bekerja bordir di desa-desa Kecamatan kota tersebut, dan kemudian setelah pintar tentang teknik bordir mengem-bangkan dan membuka usaha bordir sendiri di Desa Padurenan tempat tinggal mereka, karena keuletan, telaten dan sabar lama-kelamaan usaha maju dan berkembang, sementara di desa Janggalan, Kajeksan, Langgar Dalam dan Purwasari sebagai central bordir di Kecamatan Kota justru mengalami kemunduran dan bahkan banyak yang usaha bordir bangkrut (gulung tikar) sebab banyak ditinggalkan karyawannya yang mayoritas dari luar Kecamatan Kota, sedangkan bagi Desa Padurenan Kecamatan Gebog usaha bordir berkembang sampai sekarang”.

    Khusus bordir Kudus memiliki keunikan yang berbeda dengan

    daerah lain (Tasikmalaya, Padang, Palembang, maupun Pekalongan)

    dan merupakan karya asli nenek moyang Kudus yang mempunyai nilai

    seni yang sesuai dengan nilai Gus-ji-gang dan memiliki nilai komersial yang tinggi yaitu “bordir icik” yang menurut informan Ibu Islahiyah41

    maupun informan lain menyampaikan kepada peneliti bahwa ciri-ciri

    bordir icik yang proses pengerjaanya menggunakan mesin jahit biasa,

    dengan tingkat kesulitan yang cukup tinggi dan hasilnya mempunyai

    nilai seni yang tinggi dan eksklusif.

    Sehingga dapat disimpulkan antara lain bahwa bordir icik mempunyai ciri: Pertama, warna lembut dan motif kecil-kecil dengan teknik pembuatan butuh kejelian, keterampilan, rumit, teliti, sabar dan

    membutuhkan proses lama. Kedua, disain dengan cengkok “kluweran” yang halus dengan bunga melati (lambang keindahan, ketulusan dan

  • “GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

    160

    kerendahan hati) kecil-kecil atau titik-titik yang mengelilingi bentuk

    bordir yang besar, sebagai “tanda” atau simbol nilai “gus” dan “ji” yang

    menggambarkan simbol hubungan manusia yang baik (harmoni,

    rukun, tulus dan rendah hati) antara mikro kosmos dan makro kosmos.

    Ketiga, bordirnya halus, kecil-kecil, tebal dan kuat, sehingga bila dicuci tidak rusak, bahkan saat kainnya sudah rusak tetapi hiasan bordir

    masih tetap baik. Hal ini dapat dilihat dari contoh berbagai jenis bordir

    icik pada Gambar 4.5.

    Gambar 4.5

    Berbagai Corak Bordir “Icik” Kudus.

    Secara garis besar, tahapan proses produksi dan membuat bordir

    dengan menggunakan mesin jahit manual dapat digambarkan sebagai

    berikut:

    1. Persiapkan desain gambar atau tulisan yang diinginkan lalu

    dicetak 2 kali, yang satu berwarna agar si tukang bordir dapat

    lebih mengerti desain yang diharapkan dan yang satu lagi hitam

    putih untuk menjiplakan ke bahan yang akan dibordir.

  • Kehidupan Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir di Kabupaten Kudus

    161

    2. Mempersiapkan mesin jahit yang akan dipakai untuk membordir

    maka mesin ini harus dilepas “sepatu” dan “gigi” mesinnya dan

    diganti dengan plat bordir.

    3. Kemudian pengrajin bordir akan membuat bordir sesuai dengan

    disain yang telah dibuat.

    4. Proses selanjutnya melubangi dan membersihkan benang-benang

    yang tidak rapi dengan solder atau gunting kecil.

    Sedangkan bordir dengan menggunakan mesin bordir komputer

    dengan software Wilcom ada 7 (tujuh) langkah yaitu:

    1. Aktifkan software Wilson yang telah ter-install pada komputer dan panggil file gambar penuntun yang akan digunakan dan kemudian menentukan batasan area bordir dengan mengikuti

    gambar yang diinginkan, maka hasil bordir nanti akan sama

    dengan gambar yang diinginkan.

    2. Pilih gambar yang diinginkan tersebut karena banyak bagian-

    bagian yang sama sehingga area bordir tertentu sudah dibuat dapat

    diduplikasi ke tempat lain yang gambarnya sama dengan mengatur

    putaran dan kemiringannya sesuai gambar.

    3. Menentukan batasan area bordir tetapi pada lokasi beda dengan

    bentuk yang berbeda pula. Setelah ditentukan batasan-batasan area

    bordirnya, karena kebetulan di lokasi juga ada bentuk-bentuk yang

    sama, maka tinggal diduplikasikan saja.

    4. Menduplikasikan area bordir yang telah dibuat pada langkah tiga,

    pada lokasi tertentu yang memiliki bentuk sama. Dalam duplikasi

    dapat dilakukan putaran dan pemiringan gambar sesuai dengan

    gambar yang sedang dibuat.

    5. Tes uji coba untuk menggambarkan bagaimana alur perjalanan

    benang dalam proses bordir yang dilakukan secara otomatis oleh

    mesin komputer. Bila benang meloncat ada resiko putus benang,

    sehingga mesin harus dimatikan sejenak untuk menyambung

  • “GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

    162

    benang yang putus tersebut dan bila selamat tidak terjadi putus

    benang, hasil bordiran akan terdapat loncatan benang yang harus

    dirapikan (dipotong manual).

    6. Mengatur alur perjalanan benang dalam proses bordir otomatis

    yang akan dilakukan oleh mesin bordir komputer, sehingga dapat

    ditekan sampai seminimal mungkin terjadinya langkah loncatan

    benang jarak jauh yang dapat beresiko putus benang.

    7. Melubangi hasil bordir dilakukan dengan menggunakan solder

    atau gunting kecil. Finishing-Setelah proses pelubangan selesai,

    pola dilepaskan dari hasil bordir dan hasil bordir dirapikan dengan

    menggunting sisa-sisa benang.

    Hasil berbagai produksi bordir dapat dilihat pada Gambar 4.6 di

    bawah.

    Sumber: Dokumentasi pribadi, 2014

    Gambar 4.6

    Berbagai Corak Hasil Produksi Border

    Pekerjaan membordir, umumnya para pekerja bordir

    menggunakan mesin jahit manual dan mesin jahit dinamo merek juki.

  • Kehidupan Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir di Kabupaten Kudus

    163

    Mesin jahit menual dengan digerakan dengan tenaga kaki manusia

    untuk menjahit bordir icik (halus, kecil-kecil dan tebal), sedangkan mesin jahit merk Juki digunakan untuk bordir sering disebut bordir Juki. Dalam survei yang dilakukan, hanya ditemukan satu pengusaha yang telah memiliki 2 unit mesin Komputer untuk membordir yaitu

    Bapak H. Moch Anshori dengan alamat Kelurahan Padurenan RT 1

    RW 1 dan Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Padurenan Jaya memiliki 3

    unit mesin bordir komputer dengan 12 “kepala”.

    Informan Ketua KSP Padurenan Jaya yaitu Bapak Arif

    Chuzaimahtum42 mengatakan:

    “Keuntungan dari membordir dengan menggunakan mesin bordir Komputer adalah waktu yang dibutuhkan lebih singkat dan sekali produksi bisa banyak dengan motif yang sejenis dapat diperoleh dengan hasil yang sama dan pola bordir di buat oleh mesin jahit komputer dengan menggunakan program komputer “Wilcom”. Sedangkan membordir dengan menggunakan mesin manual, pola bordir yang merupakan desain motif yang akan dibordir dibuat di kertas untuk ditempelkan ke kain yang akan dibordir. Atau gambar design bordir langsung digambar di kain yang akan dibordir sesuai dengan kombinasi warna yang diharapkan”

    Ciri-ciri bordir yang baik, berkualitas dan memiliki nilai

    ekonomi yang tinggi menurut informan Ibu Islahiyah, Bapak H.Much

    Anshori, Ibu Hj.Sri Murni‟ah dan beberapa informan lainnya kalau

    disimpulkan oleh peneliti yaitu: Kunci membuat bordir yang memiliki

    kualitas itu ada 3 yaitu: Pertama, membuat desain bordir. Kedua, mengkombinasikan warna benang dengan dasar warna kain. Ketiga, keahlian pekerja membordir. Oleh karena itu, menurut Ibu Islahiyah

    dalam menjaga kualitas mereka awasi sendiri, kalau desain dan

    mengkombinasikan warna benang rata-rata saya tentukan sendiri dan

    kerjakan sendiri, sedangkan kalau membordirnya dilakukan oleh

    karyawan atas arahan saya. Kadang-kadang buatan bordir saya ditiru

    orang lain pun hasilnya tetap beda sehingga harga jualnya pun akan

    berbeda.

  • “GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

    164

    CATATAN-CATATAN KAKI

    1 H.J.de Graaf dan Th.G.Th, Pigeaud, “Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di Jawa”, Seri terjemahan Javanologi, (Jakarta: Grafiti Press, 1985). hlm.113.

    2 Kapan persisnya orang Cina mulai masuk ke Kudus masih perlu penelusuran lebih lanjut. Namun Kiai The Ling Sing berasal dari Hunan,Tiongkok Selatan. Ia datang bersama teman-teman sekampungnya yaitu Kiai Ageng Wajah, Kiai Ageng Kedangeyan dan Nyi Ageng Klati, karena itu tak mengherankan jika terdapat ukiran burung Hong dan Nagara pada ukiran-ukiran rumah di Kudus. Kudus Kulon masih terdapat perkampungan Cina yang terletak di daerah sekitar pasar bubar, tidak jauh dari kompleks Masjid Menara, terdapat sebuah Klenteng yang dianggap tertua di Kota Kudus. Syafwandi, ”Menara Masjid Kudus dalam Tinjauan Sejarah dan Arsitektur”. (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), hlm 73.

    3 Batu prasasti/inskripsi tersebut memberikan landasan dari tabir sejarah kota dan masjid Kudus yang memuat beberapa pokok–pokok mengenai: tahun pendirian masjid, nama tokoh yang mendirikan, nama kota Kudus, nama Masjid Kudus, dan Nama Menara Kudus. Baca, Solichin Salam, Kudus Purbakala Dalam Perjuangan Islam “,(Kudus:Menara Kudus,1977), hal 45. Selanjutnya untuk dibaca juga, Nur Said.”Jejak Perjuangan Sunan Kudus dalam Membangun Karakter Bangsa”, (Bandung, Brillian Media Utama, 2010) hlm.110-113.

    4 Al Quds yaitu harapan besar agar Kudus benar-benar suci (bersih)- sebagai makna al-Quds, baik dari kemusyikan maupun dari nilai-nilai yang bertentangan dengan sistem Islam. Selanjutnya untuk dibaca Syafwandi, “Menara Masjid Kudus dalam Tinjauan Sejarah dan Artitektur” (Jakarta: PT.Bulan Bintang, 1995),hlm.41.

    5 Wikantari,Ria R. “Safe Guarding A Lifing Heritage A Model for The Architectureal Conservation of an Historic Islamic District of Kudus Indonesia,” Thesis University of Tasmania, Tasmania.Yogyakarta:UGM,1995

    6 Nitisemito cikal bakal pengusaha rokok yang dilahirkan awal tahun 1863 sebagai putra bungsu dari dua bersaudara keluarga Haji Soelaeman,seorang Lurah (Kepala Desa) Janggalan, Kecamatan Kota, pada tahun 1906 mulai menjual rokok buatan sendiri yang bahannya dari rajangan tembakau,cengkeh, dan pembungkus daun jagung sehingga disebut rokok kretek karena kalau disulut api berbunyi kretek-kretek dan banyak dinikmati oleh masyarakat luas. Alex Soemadji Nitisemito, “Radja Kretek Nitisemito”.(Kudus,1980).

    7 Pada tahun 1939, derajat keswasembadaan produk rokok dan cerutu menempati posisi nomor 4 dan 5 di Indonesia. The Kian Wee, “Industrialisasi di Indonesia: Beberapa Kajian” (Jakarta:LP3ES,1994),hlm.16.

    8 Wawancara dengan Ketua yayasan Masjid,Menara,dan Makam sunan Kudus (YM3SK), Bapak Kyai Haji Najib Hassan, 15 Nopember 2014.

    9 Wawancara, 9 Mei 2014 di Kantor Yayasan Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus (YM3SK)

  • Kehidupan Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir di Kabupaten Kudus

    165

    10 Wawancara dengan Bapak.H.Moch Anshori tanggal 14 Juni 2014.

    11 Clifford Geertz, ”Wawancara, 14 Juni 2014.” Penjaja dan Raja: Perubahan Sosial dan Modernisasi Ekonomi di Dua Kota”.Cetakan pertama (Jakarta:PT Gamedia,1977).

    12 Lance Castles.”Tingkah Laku Agama, Politik dan Ekonomi di Jawa:Industri Rokok Kudus‟. Jakarta:Sinar Harapan,1982),hlm.81

    13 Ibid., hlm.56

    14 Dakwah Walisanga melalui jalan damai dengan strategi rekonsiliasi dengan nilai, kebiasaan dan budaya lokal. “Memahami Metode Dakwah Walisanga” (2009). Online di http://satriopinandito.wordpress.com/2009/01/07memahamimetode-dakwah-walisanga/ diakses 4 Nopember 2014)

    15 Wawancara dengan Staf Dokumentasi dan Sejarah Yayasan Masjid, Menara, dan Makam Sunan Kudus (YM3SK) Bapak Denny Nur Hakim, Selasa 4 Nopember 2014

    16 Nur Said. ”Tradisi Pendidikan Karakter Dalam Keluarga, Tafsir Rumah Adat Kudus” (Brillian Media Utama,2012),hlm.21.

    17 Wawancara tanggal 4 Nopember 2014 di Kantor Pusat YM3SK-Kota Kudus.

    18 Clifford Geertz. ”Penjaja dan Raja:Perubahan Sosial dan Modernisasi Ekonomi di Dua Kota”. (Jakarta:PT.Gramedia, 1977).hlm.xx

    19 Muhammad Rifqi, Anratiksa, Noviani. “Ruang Sosial Rumah Tradisional Baanjungan di Banjarnegara” arsitektur e-Journal Volume 7 Nomor 1 Juni 2014 http://www.academia.edu/7651426/ Ruang_SosialRumah_Tradisional_Baanjungan_di _Banjarmasin, diakses Selasa,11 Nopember 2014.

    20 Gunawan Tjahyono. “Kata Pengantar”, dalam Revianto Budi Santoso,Omah: Membaca Makna Rumah Jawa, (Yogyakarta: Benteng Budaya,2000) hlm.vii.

    21 Arizal Mutahir, “Intelektual Kolektif Pierre Bourdieu”,Yogyakarta: Kreasi Wacana Offset, 2011) hlm.63.

    22 Richard Harker,Cheelen Mahar, Chris Wilkes (ed). “Pengantar Paling Komprehensif Kepada Pemikiran Pierre Bourdieu (ed), (Yogyakarta: Jalasutra, 2004) hlm.7-8.

    23 Habitus adalah sistem disposisi yang berlangsung lama dan berubah dan berfungsi sebagai basis generatif bagi praktik-praktik yang terstruktur. Dengan kata lain habitus, adalah struktur kognitif yang memperantarai individu dengan realitas social. Lihat. Richard Harker, Cheelen Mahar, Chris Wilkes (ed). ”Pengantar Paling Komprehensif Kepada Pemikiran Pierre Bourdieu”, (Yogyakarta:Jalasutra,2004).hlm 9.

    24 Ranah adalah sistem relasi obyektif kekuasaan yang terdapat di antara posisi sosial yang berkorespondensi dengan sistem relasi obyektif yang terdapat dalam titik simbolik. Pierre Bourdieu, ”Outline of a Theory of Practise”, (Cambridge: Cambridge University Press,1977),hlm.72.

    25 Wawancara dengan Ibu Hj.Sri Murni‟ah tanggal 13 Oktober 2014

  • “GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

    166

    26 Wawancara dengan Ibu Nurul Hikmah tanggal12 Oktober 2014.

    27 Wawancara dengan Ibu Mirah tanggal13 Oktober 2014.

    28 Wawancara dengan Bapak H.Hasan tanggal 8 Juli, dan 14 Oktober 2014

    29 Wawancara dengan Bapak H.Moch Anshori tanggal 14 Juni,13 Oktober 2014

    30 Wawancara dengan Ibu Mufarrikhoh tanggal 10 Oktober 2014.

    31 Wawancara dengan Ibu Islahiyah tanggal 14 Oktober 2014

    32 Wawancara dengan Ibu Hj.Sri Murni „ah tanggal 13 Oktober 2014.

    33 Wawancara dengan Ibu Nurul Hikmah tanggal 13 Oktober 2014.

    34 Wawancara dengan Ibu Islahhiyah tanggal 14 Oktober 2014.

    35 Wawancara dengan Ibu Mufarrikhah tanggal 10 Oktober 2014.

    36 Wawancara dengan Dr.Abdul Jalil.M.Ei tanggal 7 Pebruari 2015, di rumah jl.Kudus Pati Km 5 Kavling Boto No.9 Golantepus Mejobo Kudus.

    37 Proses „ke dalam‟ yaitu proses invilusi yang terjadi pada masyarakat petani, guna menanggulangi kebutuhan ekonomi yang meningkat dengan cara memanfaatkan semaksimal mungkin yang ada untuk berproduksi, dan ini menjadi tanggung jawab kaum laki-laki dan perempuan. Selanjutnya untuk dibaca Benyamin White.1978 “Population, Involution, and Employmen Rural Java”, Development and Change, No7.

    38 Pamuji Suptandar.”Menara Masjid al Manar di Kudus”, Harian Kompas,8 September 2002.

    39 Wawancara, Ibu Sa‟adah 16 Oktober 2015 di rumah Desa Karang Malang Rt 04 RW II Kecamatan Gebog-Kudus.

    40 Wawancara dengan Bapak.H.Noch Anshori tanggal 14 Oktober 2014.

    41 Wawancara dengan Ibu Islahiyah tanggal 15 Nopember 2014.

    42 Wawancara dengan Bapak Arif Chuzaimahtum tanggal 15 Oktober 2014.