Upload
dinhthuan
View
217
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ada Apa Dengan Cinta?/AADC (sutradara Rudy Soedjarwo, 2001) memang
hanyalah film remaja yang struktur dunia naratifnya1 bercerita tentang perempuan
remaja bernama Cinta yang berjuang mendapatkan cinta Rangga, teman satu SMA-
nya. Meskipun demikian, menurut saya, film ini layak disebut sebagai “tonggak
kebangkitan” film remaja/kaum muda di era 2000-an dengan beberapa alasan, bukan
semata-mata karena pemeran Cinta—Dian Sastro Wardoyo—dipilih sebagai “Pemeran
Terbaik Perempuan” dalam Festival Film Indonesia 2002. Pertama, keberhasilan AADC
secara finansial karena menjadi box office 2 telah mendorong para sineas lainnya
memproduksi film-film dengan pola tematik dan struktur dunia naratif serupa, seperti
Eiffel I’m in Love, 30 Hari Mencari Cinta, dan lain-lain. Akibatnya, industri film kembali
bangkit setelah sempat mati suri pada akhir 1990-an. Kedua, secara naratif AADC
menghadirkan makna-makna tentang perempuan remaja yang berhak menikmati
dunia dan cintanya, tanpa harus dibebani oleh kehadiran fungsi integratif keluarga
atau generasi tua (Setiawan, 2008).
1 Struktur dunia naratif dalam kajian ini, mengikuti pendapat Stam, Bourgoyne, & Flitterman-Lewis (1999: 70-71) saya maknai sebagai rangkaian dua atau lebih peristiwa filmis—babak dalam film yang melibatkan tokoh, latar, kostum, sudut pengambilan gambar, dan lain-lain—yang terhubung satu sama lain sebagai kesatuan secara logis, melewati batasan waktu, serta dikaitkan oleh subjek makna. 2 Dalam 3 minggu pertama pemutaran, AADC, menurut produsernya, Mira Lesmana, berhasil menyedot 1,3 juta penonton. Ini hasil dari pemutaran di 24 layar bioskop (kemudian bertambah menjadi 76 layar) di 12 kota Indonesia. Bisa diperkirakan bahwa hasil yang didapat oleh produser paling tidak Rp. 4,5 milyar. Lihat Kristanto, 2006: 184.
2
Dengan demikian, dalam konteks film remaja/kaum muda, era 2000-an bisa
dikatakan sebagai “babak baru” industri film karena selain mengkomodifikasi
dinamika hidup generasi muda sebagai formula untuk mendapatkan keuntungan
finansial para sineas juga menghadirkan makna-makna baru terkait narasi-diri tanpa
harus memberi penekanan pentingnya kehadiran orang tua sebagai metafor kekuatan
integratif. Hal ini tentu berbeda dengan narasi film remaja/kaum muda pada masa
Orde Baru—khususnya di era 1970-an sampai dengan 1990-an—di mana orang tua
berperan penting untuk mengintegrasikan tokoh remaja ke dalam konsep
keharmonisan keluarga (Sen & Hill, 2002: 153). Perubahan representasi keluarga
dalam narasi film era 2000-an bisa dibaca sebagai kecenderungan para sineas untuk
membaca dan memaknai-ulang persoalan “budaya” 3 dalam praktik komodifikasi.
Mereka berusaha melampaui model komodifikasi keluarga sebagai metafor budaya
bangsa yang pada masa-masa sebelumnya menjadi bentuk kontrol rezim negara
terhadap industri perfilman.4
3 Budaya dalam konteks kajian ini, mengikuti pemikiran Raymond Williams, dipahami sebagai cara hidup partikular yang mengeskpresikan makna dan nilai tertentu—tidak hanya dalam seni dan pembelajaran, tetapi juga dalam organisasi dan kehidupan sehari-hari—serta tidak terlepas dari struktur dan praktik sosial di masyarakat. Kajian tentang budaya dalam media, termasuk film di dalamnya, membutuhkan usaha untuk menganalisis teks guna menemukan makna sebagai cara hidup yang dipengaruhi oleh praktik sosial (konteks) yang bersifat dinamis. Lihat, Turner, 2003: 45-46.
4 Rezim Soekarno menerapkan kebijakan perfilman yang berwarna nasionalisme anti-kolonial. Para sineas komunis mendukung kebijakan tersebut dengan memproduksi realisme sosialis yang mengekspos permasalahan keseharian rakyat kecil—seperti kehidupan keluarga semasa revolusi fisik—dan mengutamakan kepentingan revolusioner, bukan cerita yang mengharu-biru seperti model Hollywood (Sen, 2003: 149-151; Roberts, 2000: 164; Siagian, 1957). Sementara, rezim Soeharto membuat kebijakan perfilman yang mengutamakan kepribadian dan budaya bangsa—dalam semangat ketertiban dan integrasi (Novi Kurnia, dkk, 2007)—agar para sineas tidak mewacanakan hal-hal yang bisa mengganggu pembangunan dan kekuasaan rezim. Dalam konteks itulah, ketertiban dan integrasi keluarga menjadi elemen penting dalam film Indonesia di era Orde Baru, termasuk dalam film remaja yang mewacanakan kehidupan modern (Sen & Hill, 2000: 153).
3
Kalau kemudian keluarga diposisikan sebagai bentuk ketradisionalan, maka
dengan menarasikan kaum remaja/kaum muda tanpa harus dikontrol oleh orang tua
para sineas era 2000-an lebih memilih mengkomodifikasi dan mengartikulasikan
kebebasan individual sebagai salah satu aspek penting modernitas (Setiawan, 2010).
Secara ekonomis, pilihan itu diharapkan bisa menarik minat penonton karena narasi
yang mereka suguhkan mendekati realitas yang berkembang dalam kehidupan kaum
remaja/kaum muda, dari masalah percintaan sampai dengan gaya hidup. Secara
ideologis, para sineas bisa menegosiasikan makna dan wacana tentang bagaimana
menjadi modern kepada para penonton di tengah-tengah dinamika kultural yang
berlangsung.
Modernitas 5 dalam kehidupan masyarakat pascakolonial 6 seperti Indonesia
memang masih menjadi permasalahan kultural tersendiri. Di satu sisi, masyarakat
sejak zaman kolonial sudah terbiasa dengan budaya modern yang berorientasi ke
Barat.7 Mereka ingin menjadi maju dan menempati posisi setara dengan masyarakat di
negara-negara maju (Lombard, 2000; Alisjahbana, 1998: 7-9). Di sisi lain, mereka tetap
5 Modernitas merupakan kondisi kehidupan yang menekankan pentingnya kebebasan, rasionalitas, kemajuan, dan kedaulatan individu, serta pembebasan diri dari doktrin agama, tradisi, dan kekuasaan yang menghambat kemajuan. Meskipun berkaitan erat dengan kolonialisme, masyarakat di seluruh dunia tetap menjadikannya orientasi utama. Pengetahuan modernitas diproduksi secara ajeg dalam praktik pemerintahan, pendidikan, ekonomi, media, dan budaya. Inilah yang menjadikan modernitas sebagai pengetahuan paling berpengaruh dalam kehidupan manusia. Lihat, Venn, 2006: 55-57; 2000: 17-19. 6 Dalam kajian ini istilah “pascakolonial” merujuk kepada periode historis selepas kemerdekaan, sedangkan istilah “poskolonial” merujuk kepada perspektif teoretis (poskolonialisme) atau kondisi kultural pascakolonial (poskolonialitas).
7 Istilah Barat dalam kajian ini bukan dimaksudkan sebagai kategori geografis, tetapi konstruksi wacana dan praktik kultural yang berasal dari negara-negara Eropa dan berkembang pesat di Amerika, seperti modernitas, kapitalisme, dan liberalisme. Barat menjadi bentuk peradaban yang mengendalikan perkembangan umat manusia. Wacana Barat masih kuat dalam pikiran masyarakat poskolonial, karena ia bersemayam sebagai figur imajiner yang terus dibayangkan. Lihat Venn, 2000: 44-45; Chakrabarty, 2000: 3-4; Hesse, 2002: 161-162.
4
ingin menjalankan sebagian budaya lokal,8 sehingga mengakibatkan dualisme kultural
(Faruk, 2007). Artinya, masyarakat di masa kolonial dan pascakolonial sudah terbiasa
hidup dalam keberantaraan dan ambivalensi sebagai strategi kedirian untuk merasakan
modernitas tanpa harus larut sepenuhnya dalam kuasa Barat (Bhabha, 1994).
Dalam tataran ideal, praktik budaya modern dalam kehidupan sehari-hari tidak
akan menjadi masalah ketika masyarakat masih bisa menegosiasikan budaya lokal
mereka di tengah-tengah poskolonialitas. 9 Kondisi ideal inilah yang oleh Bhabha
disebut vernacular cosmopolitanism.10 Dalam konteks masyarakat Indonesia, kondisi ideal
ini menjadi problematis karena, di satu sisi, kuatnya hasrat kebebasan dan
keterbukaan di tengah-tengah semangat Reformasi serta globalisasi yang menghadirkan
tawaran-tawaran baru dalam hal konsumsi, gaya hidup, maupun ideologi bisa
memperlemah eksistensi budaya lokal. Di sisi lain, kebebasan menjanjikan “ruang dan
kesempatan baru” bagi aktualisasi diri setiap individu untuk menjalani kehidupan dan
mengoptimalisasikan kemampuan demi mewujudkan impian tanpa dibebani rasa
takut seperti yang berlangsung di masa Orde Baru.
8 Budaya lokal dalam konteks ini saya maksudkan sebagai nilai, keyakinan, aturan, dan praktik ritual, yang berkembang dalam masyarakat. Karena sudah biasa dilakukan secara turun-temurun, maka budaya lokal merupakan tradisi yang membedakan masyarakat di satu wilayah dengan masyarakat di wilayah lain.
9 Poskolonialitas merupakan kondisi kultural masyarakat pascakolonial yang diwarnai ambivalensi. Kesadaran untuk mentransformasi yang modern ke dalam yang tradisional sebenarnya bisa menjadi kekuatan bagi masyarakat untuk mengganggu kemapanan epistemologis Barat (Radhakrisnan, 2003: 1-2). Namun, poskolonialitas bisa menjadi makna dan praktik yang menyulitkan, ketika masyarakat sulit melepaskan diri dari kuasa Barat (Gandhi, 1998: 5-7).
10 Vernacular cosmpolitanism merupakan praktik kultural yang berlangsung dalam masyarakat pascakolonial di mana mereka berusaha menerjemahkan beragam budaya dan melintasi mereka sebagai cara untuk bertahan hidup. Masyarakat pascakolonial berada dalam proses “menjadi modern”, namun tidak menerima sepenuhnya konsep individualisme liberal—ambivalensi. Jadi, poskolonialitas membuka peluang hadirnya artikulasi hibrid, seperti “yang suci-di dalam-yang sekuler”, “fantasi psikis sebagai bagian dari rasionalitas sosial”, serta “yang lampau dalam yang kontemporer”. Lihat, Bhabha & Comaroff, 2002: 24.
5
Dalam produksi film, perubahan formasi kultural dalam masyarakat merupakan
konteks yang menjadi basis bagi para sineas untuk memproduksi beragam narasi
dengan makna-makna yang tidak hanya sesuai dengan kepentingan ekonomis, tetapi
juga kepentingan ideologis pemodal dan sineas.11 Agar tampak sebagai kewajaran dan
mendekati realitas, mobilisasi makna-makna untuk kepentingan ekonomis dan
ideologis tentu membutuhkan struktur dunia naratif yang bisa mengkomodifikasi,
mengartikulasikan, dan merepresentasikan beragam bentuk kultural, seperti budaya
lokal (“yang Timur, yang tradisional, maupun “yang komunal”), budaya modern (“yang
Barat, yang progresif, maupun yang bebas”), maupun budaya hibrid sebagai
karakteristik poskolonialitas dalam masyarakat. Representasi ketradisionalan,
modernitas, dan hibriditas kultural dalam struktur dunia naratif film itulah yang saya
sebut sebagai budaya poskolonial.
“Membuka layar impian”, dengan demikian, merupakan usaha untuk membaca
dan menganalisis dinamika dan kompleksitas struktur dunia naratif film-film populer
Indonesia era 2000-an dalam mengkomodifikasi dan merepresentasikan budaya
poskolonial yang berjalin-kelindan dengan kondisi sosio-historis serta disesuaikan
dengan kepentingan ekonomi-politik sineas dan pemodal. Dengan mengetahui makna-
makna ideal yang dianggit oleh sineas dalam struktur dunia naratif, akan bisa
diketahui wacana dan pengetahuan seperti apa yang sedang dinegosiasikan oleh para
11 Saya mengembangkan pendapat ini dari argumen Louw (2001: 29) yang menggunakan logika Foucauldian tentang subjek diskursif. Ia mengatakan bahwa pekerja media (termasuk di dalamnya sineas) ditentukan oleh konteks mereka. Mereka bekerja dalam mesin produksi-makna, sehingga harus berperilaku dan bekerja dengan cara-cara yang sesuai dengan aturan institusi (dalam hal ini perusahaan film). Setiap perusahaan film sebagai institusi, tentu, mengembangkan serangkaian aturan dan wacana. Setiap sineas harus menghubungkan diri dengan praktik dan wacana yang sesuai dengan situs institusional tersebut.
6
sineas dalam memandang persoalan kultural—termasuk di dalamnya masalah
nasionalisme—yang berjalin-kelindan dengan kondisi masyarakat di era 2000-an.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sebelumnya, saya mengasumsikan film
Indonesia era 2000-an—dalam hal ini film populer 12—menghadirkan makna-makna
terkait kebebasan dan perjuangan individual sebagai kekuatan untuk berkompetisi
dalam kehidupan yang semakin dinamis dan cepat.
Untuk membaca kompleksitas budaya poskolonial dalam narasi film, perspektif
kajian budaya, kajian media/film, dan kajian poskolonial—tanpa meninggalkan
pertimbangan ekonomi-politik—akan saya gunakan untuk analisis dalam ranah teks dan
konteks. Teks merupakan struktur dunia naratif film yang tersusun dari peristiwa-
peristiwa filmis sebagai praktik penandaan dan diskursif yang merepresentasikan dan
memproduksi pengetahuan partikular. Teks tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi
berjalin-kelindan dengan konteks, yakni kondisi sosio-historis berupa pengaruh
gerakan Reformasi 1998, globalisasi, penerapan ekonomi-politik yang mengarah ke
pasar bebas—baik dalam ranah industri budaya maupun kebijakan negara—serta
dinamika industri perfilman pada era 2000-an. Dengan alur berpikir demikian,
kepentingan ideologis yang hadir dalam industri perfilman sebagai praktik
komodifikasi yang merepresentasikan budaya poskolonial akan bisa dibaca secara
kritis, khususnya terkait keterhubungan wacana kebebasan dan perjuangan individual
dengan relasi kuasa dalam kehidupan nyata, baik dalam lingkup nasional maupun
internasional.
12 Terkait film-film populer yang saya analisis bisa dilihat pada sub-subbab 1.7.1 Tentang Pilihan Data.
7
1.2 Permasalahan
Berdasarkan argumentasi-argumentasi di atas, permasalahan utama yang akan
saya bahas adalah representasi budaya poskolonial dalam narasi film-film Indonesia era 2000-
an. Untuk membahas permasalahan tersebut secara komprehensif, beberapa sub-
masalah berikut akan mendapatkan penekanan:
1. Bagaimana struktur dunia naratif film Indonesia era 2000-an menempatkan
representasi “yang Barat” dan “yang Timur” beserta konsep turunannya seperti
“yang modern” dan “yang tradisional”, serta “yang metropolitan/global” dan
“yang lokal”, dalam dunia imajiner?
2. Makna-makna ideologis dan wacana apa yang dimobilisasi dan dinaturalisasi
untuk mendapatkan legitimasi secara naratif dan diskursif sebagai usaha untuk
memproduksi budaya poskolonial melalui struktur dunia naratif film?
3. Pengetahuan ideologis apa yang dinegosiasikan dalam representasi budaya
poskolonial? Konteks sosio-historis apa yang menjadi latar dari perkembangan
industri film dan ikut berkontribusi dalam memproduksi pengetahuan
ideologis tersebut?
4. Kebijakan ekonomi-politik perfilman apa yang dibuat rezim negara pada era
2000-an? Bagaimana tanggapan insan perfilman terhadap kebijakan tersebut?
Bagaimana tegangan yang terjadi antara rezim negara dan insan perfilman?
5. Apa implikasi dari budaya poskolonial dan pengetahuan ideologis yang ada di
dalamnya terhadap konsep budaya nasional dan nasionalisme Indonesia di era
2000-an?
8
6. Bagaimana terbentuknya blok historis berbasis budaya poskolonial dan
pengetahuan ideologis yang ada di dalamnya? Kepentingan ideologis siapa yang
muncul dalam blok historis serta menggerakkan relasi kuasa hegemonik?
1.3. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menganalisis representasi budaya poskolonial dalam narasi film Indonesia di
era 2000-an sebagai usaha untuk menunjukkan bagaimana makna-makna dan
kepentingan ideologis yang diidealisasikan dalam masyarakat beroperasi.
2. Menghasilkan kerangka teoretis dan metodologis baru yang menyandingkan
kajian budaya, kajian media/film, dan kajian poskolonial dengan tetap
menimbang kajian ekonomi-politik.
3. Memunculkan konsepsi teoretis terkait budaya poskolonial Indonesia berbasis
pada pembacaan struktur dunia naratif film dan konteks sosio-historis dan
kultural masyarakat pada era 2000-an yang dipengaruhi oleh gerakan
Reformasi dan penerapan sistem ekonomi-politik pasar oleh negara dan
industri budaya.
1. 4 Tinjauan Pustaka
Sebagian besar kajian tentang film Indonesia memang lebih banyak mengambil
latar waktu Orde Baru, meskipun sebagian kecil ada yang menggunakan periode
kolonial, rezim Soekarno, dan era 2000-an. Terdapat beberapa kecenderungan tematik
kajian yang telah dilakukan oleh para peneliti, baik dari dalam negeri maupun luar
9
negeri. Pertama, berorientasi pada pendekatan sosio-historis yang membicarakan
perkembangan film dari waktu ke waktu; baik dalam konteks industri, kebijakan
negara dan konflik politik yang terjadi, model narasi dan genre, dan para sineas (Salim
Said, 1982). Kedua, fokus kajian kepada film di masa kolonial, utamanya tentang
kontribusinya dalam menghadirkan pesona budaya Barat serta kebijakan rezim
kolonial untuk mengendalikan industri film (Antariksa, 2005; Saputro, 2005). Ketiga,
kajian lebih mengarah kepada pengaruh kuasa negara atau budaya masyarakat
terhadap wacana-wacana yang dikembangkan dalam narasi film, baik dalam latar Orde
Baru maupun pasca Reformasi (Sen & Hill, 2000; Sen, 2010; Sen, 1990; Setiawan,
2008; Irawanto, 1999; Heider, 1991; Clark, 2008; Heryanto, 2008; Van Heeren,
2012). Meskipun demikian, dalam beberapa kajian tersebut juga muncul pembicaraan
persoalan kultural yang bisa saya gunakan sebagai perbandingan agar tidak terjebak
dalam model kajian yang sama.
Salim Said dalam bukunya Profil Perfilman Indonesia (1982) membicarakan
perkembangan film Indonesia—dari masa kolonial, rezim Soekarno, dan rezim Orde
Baru—dengan menekankan pada proses produksi dan jumlah film yang diproduksi
serta pelaku industri film. Ia juga mengupas kecenderungan para sineas—dari zaman
Hindia Belanda hingga zaman awal kemerdekaan—untuk meniru film-film Hollywood,
Bollywood, ataupun film-film asing lainnya sebagai formula untuk mengeruk
keuntungan; baik dalam struktur naratif maupun tematik, walaupun sudah
disesuaikan dengan konteks lokal. Fokus terhadap aspek industri perfilman
menjadikan kajian Said kurang menyentuh persoalan kultural seperti pengaruh
budaya asing di dalam narasi dan praktik diskursif film.
10
Dengan menggunakan latar kolonial, Antariksa melalui tulisannya, “Bioskop dan
Kemajuan Indonesia Awal Abad XX” (2005), membahas kehadiran bioskop dan film
pada awal abad ke-20 yang menjadi salah satu tonggak zaman kemajuan Hindia-
Belanda. Bioskop dan film menjadi “gairah budaya baru” yang menandakan masuknya
rakyat ke dalam jejaring modernitas. Kajian Antariksa, paling tidak, bisa menjadi bukti
akademik bahwa persoalan “memandang dan meniru Barat” yang terjadi hari ini
merupakan kelanjutan dari proses yang terjadi pada masa kolonial. Apa yang masih
kurang diungkapkan oleh Antariksa adalah konteks kehidupan kultural dalam
masyarakat kolonial Hindia-Belanda, utamanya terkait bagaimana mereka memaknai,
meniru, dan mempraktikkan modernitas yang dibawa penjajah.
Saputro melalui tulisannya “Melihat Ingatan Buatan, Menonton Film Indonesa
1900-1964” (2005) menelaah kehadiran penonton dari zaman kolonial hingga era
kepemimpinan Soekarno. Penonton merupakan pihak yang harus tetap dikontrol,
diawasi, dan diarahkan, sehingga institusi sensor sejak zaman kolonial hingga rezim
pascakemerdekaan di bawah Soekarno tetap dibutuhkan. Di samping itu, Saputro juga
menjelaskan tegangan politik berbasis budaya bangsa yang menyertai perkembangan
film Indonesia di masa Soekarno. Film-film Hollywood dianggap membahayakan nalar
penonton karena mengumbar kebebasan individual. Sayangnya, kajian Saputro kurang
mengekspos lebih jauh lagi persoalan diskusif yang berlangsung dalam narasi film dan
kondisi kultural masyarakat.
Berbeda dengan ketiga penulis sebelumnya, Karl Heider dalam bukunya
Indonesian Cinema: National Culture On Screen (1991), menggunakan analisis
antropologis untuk melihat bagaimana budaya direfleksikan dalam film-film
11
Indonesia, dengan titik tekan pada film-film di era Orde Baru. Heider menawarkan
dua pola dalam melihat persoalan budaya dalam narasi film Indonesia. Pertama,
pertentangan antara orientasi individual dan kelompok. Pola ini merupakan satu cara
pandang dalam narasi film yang menentang budaya individual dan tetap memimpikan
tipe budaya tradisional yang lebih mengedepankan kolektivitas kelompok. Kedua,
pertentangan antara keberaturan dan ketidakberaturan (order vs disorder). Pertentangan
dua kutub ini merefleksikan pola pikir dan orientasi kultural masyarakat yang tidak
menyukai pertentangan dan konflik terbuka, sehingga memilih pada keberaturan
hidup yang akan membahagiakan. Meskipun tidak menjelaskan mengapa
pertentangan orientasi kultural itu muncul dan ada tidaknya relasi kuasa yang coba
membatasi munculnya stereotipisasi pola kultural tersebut, kajian Heider, paling tidak,
bisa memberikan satu konsep awal terkait kehadiran “yang tradisional” dan “yang
modern” yang bisa saya kembangkan lebih lanjut dalam kajian ini, tentu dengan
menimbang aspek kontekstual yang berbeda dari masa Orde Baru.
Budi Irawanto dalam bukunya, Film, Ideologi, dan Militer (1999), menggunakan
analisis semiotika untuk membahas representasi militerisme dalam film-film bergenre
militer yang berlatar perjuangan tentara pada masa-masa revolusi bersenjata.
Menurutnya, film-film bergenre militer merupakan aparatus hegemonik rezim Orde
Baru yang menegaskan superioritas faksi militer dalam sistem kepemerintahan dan
kebangsaan. Meskipun masih kurang dalam menjelaskan kompleksitas tegangan
militer-sipil dalam film, kajian Irawanto bisa dijadikan perbandingan untuk melihat
militerisme yang mungkin masih muncul dalam genre non-militer dalam film
Indonesia era 2000-an.
12
Khrisna Sen dan David T. Hill, pada Bab “National Cinema: Global Image,
Contested Meaning” dalam Media, Culture, and Politics in Indonesia (2000), secara
singkat menjelaskan peran Lembaga Sensor Film (LSF) sebagai kepanjangan tangan
rezim Orde Baru dalam menentukan layak atau tidaknya sebuah film ditayangkan
secara luas, khususnya terkait pilihan tema dan struktur dunia naratifnya. Pelaku
industri film diharuskan memproduksi film yang merepresentasikan kehidupan moral
dan kultural untuk menghindari benih-benih disintegrasi sehingga film menjadi
medium untuk mengendalikan pola pikir dan perilaku masyarakat. Akibatnya, film-
film yang menghadirkan konflik serius di antara para tokoh akan „disesuaikan‟—
dipotong atau diganti—oleh LSF sehingga bisa berubah menjadi narasi yang bersifat
normatif dengan mengedepankan aspek solusi bijak. Meskipun tidak membicarakan
pengaruh modernitas dalam kehidupan masyarakat, karya akademik Sen dan Hill bisa
menjadi contoh bagaimana kajian naratif bisa bersanding dengan kajian ekonomi-
politik (dalam hal ini kekuasaan rezim negara melalui kebijakan perfilman).
Meskipun diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia setelah 15 tahun
penerbitan pertamanya dalam edisi bahasa Inggris, buku Krishna Sen, Kuasa dalam
Sinema: Negara, Masyarakat (2010) merupakan karya akademis yang sangat berharga
dalam kajian film Indonesia. Dengan menggunakan perspektif kajian komunikasi
massa/media, cultural studies, dan ekonomi-politik, Sen mengungkapkan dinamika,
tegangan, dan kepentingan ideologis dalam industri film Indonesia. Warna kental dari
kajiannya adalah pembacaan terhadap kuasa rezim dalam mengendalikan struktur
dunia naratif dan makna-makna ideologis yang harus disesuaikan dengan kepentingan
nasional. Beberapa wacana konsensual tentang keluarga, jender, integrasi, dan
13
keharmonisan selalu mewarnai narasi film Indonesia di masa Orba. Kajian
mendalamnya tentang stereotipisasi peran domestik perempuan menjadi kontribusi
tersendiri dalam kajian jender dengan objek material film/media. Selain itu, Sen juga
menganalisis film-film yang menampilkan kritik terhadap kemiskinan dan
ketidakadilan di tengah-tengah masyarakat. Secara jeli, Sen melihat kritik-kritik
tersebut berjalin-kelindan dengan tumbuhnya kelas menengah Indonesia yang bersikap
kritis terhadap rezim, namun masih menggunakan perspektif elitis. Akibatnya,
persoalan pemerataan ekonomi belum banyak diungkap. 13 Meskipun kurang
mengungkapkan bagaimana kapitalisme beroperasi di level negara dan industri film,
model analisis Sen yang menyandingkan beberapa pendekatan kritis, paling tidak, bisa
menjadi rujukan awal bagi cara kerja untuk melihat kepentingan ideologis yang
beroperasi dalam narasi film Indonesia era 2000-an.
Ikwan Setiawan (2008) dalam tesis S-2, berjudul Perempuan dalam Layar Bergerak:
Representasi Perempuan dan Pertarungan Ideologis dalam Film Indonesia Era 2000-an
(Analisis Semiotika Barthesian dan Wacana Foucauldian), menyinggung sedikit persoalan
poskolonialitas dalam kaitannya dengan perempuan dan peran serta perjuangan jender
yang mereka jalani. Dengan menggunakan beberapa film populer era 2000-an,
Setiawan memang tidak memfokuskan kajiannya pada representasi budaya poskolonial
dalam film, tetapi melihat persoalan poskolonialitas sebagai bagian kecil dari
pertarungan ideologis yang melibatkan para perempuan Indonesia. Banyak pengaruh
diskursif dari Barat yang mulai dilakoni oleh tokoh perempuan dalam film, meskipun
13 Paparan tentang perilaku rezim Orde Baru terhadap narasi film dan munculnya makna-makna kritis dengan sudut pandang kelas menengah terhadap persoalan sosial di masyarakat juga diungkap oleh Sen dalam artikelnya, “Persoalan-persoalan Sosial dalam Film Indonesia”, dalam Prisma, 4, 1990.
14
ada juga film yang mewacanakan keberantaraan yang memadukan perspektif Barat dan
Timur dalam relasi perempuan dan laki-laki. Karena terlalu memfokuskan kajian pada
aspek representasi perempuan dan pertarungan ideologis dengan laki-laki, kajian ini
masih sangat kurang dalam memposisikan kehadiran pengaruh kebebasan perempuan
berperspektif Barat yang mulai menguat dalam kehidupan perempuan Indonesia saat
ini. Pembicaraan tentang tegangan kehadiran “yang Barat” di tengah-tengah
perempuan dan budayanya serta kemungkinan munculnya hibriditas kultural terkait
anggitan jender dalam film masih belum dieksplorasi secara maksimal.
Masih dalam latar era 2000-an, Marshall Clark dalam artikelnya “Indonesian
cinema: exploring cultures of masculanity, censorship, and violence” (2008),
mengeksplorasi bagaimana makna maskulinitas dihadirkan dalam film Indonesia era
2000-an. Argumen yang ia kembangkan adalah bahwa sedikit longgarnya rezim sensor
oleh negara—meskipun tidak demikian dengan sensor oleh kelompok sosial-
keagamaan—ikut mempengaruhi produksi maskulinitas dan kekerasan dalam film
Indonesia. Hal tersebut berjalin-kelindan dengan budaya endemik kekerasan yang
masih berlangsung dalam masyarakat serta menegaskan dominasi kekerasan maskulin
dalam ruang privat dan publik, baik yang terkait persoalan ekonomi, politik, dan
agama. Kajian Clark, meskipun dilakukan dengan pembacaan yang kurang detil
terhadap aspek penandaan, berhasil menghubungkan pembacaan tekstual dengan
praktik kekerasan maskulin yang terus meningkat pasca gerakan Reformasi.
Dengan lokus berbeda, Ariel Heryanto dalam artikelnya “Citizenship and
Indonesian ethnic Chinese in post-1998 films” (2008) mengkaji perkembangan baru
penggambaran etnis minoritas, khususnya Cina, dalam film-film Indonesia selepas
15
gerakan Reformasi. Dengan menelusuri secara kontekstual persoalan ke-Cina-an pada
masa Orde Baru dan kelanjutannya di masa Reformasi, Ariel menggunakan beberapa
film yang menggambarkan tokoh Cina-Indonesia—Ca-bau-kan (sutradara Nia Dinata,
2002) dan Gie (sutradara Riri Riza, 2005)—untuk melihat bagaimana subjektivitas
kewarganegaraan mereka dibentuk dalam narasi film. Lebih jauh Ariel menjelaskan
bahwa kedua film tersebut berusaha membuat gambaran yang menyimpang dari dan
menentang terhadap konsepsi stereotip minoritas Cina, tetapi dalam beberapa aspek
masih terjebak ke dalam stereotipisasi yang selama ini berkembang. Selain itu, Gie
lebih menekankan bagaimana etnis Cina mengakomodasi proyek kebangsaan di dalam
subjektivitas mereka yang secara umum masih dipermasalahkan. Paling tidak, film-film
Indonesia era 200-an memberikan gambaran yang beragam terkait warga Cina dalam
formasi kebangsaan Indonesia. Hal tersebut berjalin-kelindan dengan perjuangan
masyarakat Cina untuk mendapatkan legitimasi dan pengakuan dalam kebijakan
negara, ketimbang mendekonstruksi keseluruhan ide etnisitas, ke-Cina-an, ke-pribumi-
an, dan konsepsi resmi kebangsaan. Tulisan Ariel, meskipun tanpa menyentuh
persoalan ekonomi-politik film secara spesifik, mampu memberikan gambaran, betapa
persoalan etnisitas tetap menjadi permasalahan aktual yang berlangsung dalam
masyarakat dan dalam produksi film di era ketika rezim otoriter sudah ambruk.
Buku Katinka Van Heeren, Contemporary Indonesian Film: Spirits of Reform and
ghost from the past (2012), menurut saya, merupakan karya akademis termutakhir yang
bisa menandingi karya akademis Khrisna Sen. Dengan menggunakan analisis wacana
kritis yang dikembangkan Fairclough, Van Heeren memfokuskan kajiannya pada
praktik mediasi, praktik diskursif, dan praktik naratif film yang berlangsung dalam
16
film Indonesia di era Orde Baru dan era Reformasi. Dalam analisis terhadap praktik
mediasi, Van Heeren menganalisis aspek produksi, distribusi, penayangan, dan
konsumsi, termasuk di dalamnya, aspek sensor yang melibatkan negara maupun yang
melibatkan kelompok sosial-keagamaan. Sementara, untuk praktik diskursif, ia
memfokuskan kepada struktur naratif, strategi retorik, serta moda distribusi dan
penayangan film di masa Orde Baru dan Reformasi. Adapun untuk urusan praktik
naratif, ia memfokuskan kepada sirkulasi genre-genre populer dan komposisi cerita
dalam genre film. Sayangnya, buku ini lebih banyak memfokuskan kepada dua genre
yang berkembang dalam industri perfilman Indonesia pada era Reformasi, yakni film
hantu dan islami, sehingga untuk film-film bergenre lain seperti anak-anak dan kaum
remaja kurang mendapatkan penekanan. Selain itu, beban konteks sosio-historis
menjadikan Van Heeren tidak memberikan penekanan kepada struktur naratif dan
praktik diskursif, tetapi lebih banyak mengeksplorasi praktik di luar narasi—persoalan
sensor dan tanggapan sineas serta maupun pertentangan sineas dan kelompok sosial-
keagamaan—sehingga ia kehilangan fokus kepada produksi subjek, wacana, serta relasi
kuasa yang berlangsung di dalamnya. Namun, paling tidak, karya akademis ini bisa
menjadi model, meskipun harus banyak dikritisi dan dimodifikasi, ketika seorang
pengkaji hendak menggunakan analisis wacana kritis dengan model yang
dikembangkan Fairclough, khususnya untuk melihat bagaimana wacana terhubung
dengan praktik kultural.
Paling tidak, kajian-kajian di atas bisa memberikan gambaran bahwa sampai saat
ini masih belum ada usaha akademis untuk membicarakan persoalan budaya
poskolonial dalam film Indonesia era 2000-an. Realitas itulah yang, sekali lagi,
17
mendorong saya mengkaji representasi budaya poskolonial dalam narasi film dengan
menekankan pembacaan tekstual-kontekstual/ulang-alik. Model pembacaan tekstual-
kontekstual akan membantu dalam membuka kompleksitas persoalan kultural dan
ideologis dalam struktur dunia naratif film yang berjalin-kelindan dengan persoalan-
persoalan serupa dalam kehidupan masyarakat saat ini.
1.5 Kerangka Teoretis
Untuk bisa menjawab permasalahan dan memenuhi tujuan dalam kajian ini
serta menghasilkan analisis dan temuan yang berbeda dari kajian-kajian sebelumnya,
saya akan menggunakan kerangka konseptual yang berasal dari beberapa pendekatan—
kajian budaya dan media/film, dan kajian poskolonial dengan tetap menimbang
ekonomi-politik—sebagai acuan dalam kerja-kerja analitik. Paling tidak, terdapat tiga
argumen mengapa saya menggunakan pendekatan-pendekatan tersebut. Pertama,
budaya poskolonial yang dimaksudkan dalam kajian ini adalah anggitan makna dan
wacana dalam struktur dunia naratif film Indonesia era 2000-an yang menormalisasi
kepentingan ideologis partikular dan relasi kuasa melalui praktik representasi—produksi
makna melalui bahasa (Hall, 1997a). Kedua, representasi budaya poskolonial
merupakan kompleksitas yang dibangun melalui praktik representasi—penandaan dan
diskursif—yang menghadirkan “yang tradisional” dan “yang modern” yang
memungkinkan berlangsungnya proses saling melintasi dalam peristiwa naratif
sehingga menghadirkan ambivalensi dan menghasilkan hibriditas kultural sebagai
karakteristik poskolonialitas. Ketiga, produksi budaya poskolonial dalam struktur
dunia naratif tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosio-historis dalam masyarakat, yakni
18
pengaruh diskursif gerakan Reformasi, penerapan sistem ekonomi-politik negara dan
industri budaya, dan arus globalisasi yang semakin mengarah ke mekanisme pasar
bebas. Berikut saya paparkan beberapa teori yang akan memperkuat penerapan
keempat pendekatan tersebut dalam analisis.
1.5.1 Film dan Politik Representasi: Eks-nominasi Ideologi dan Normalisasi Kuasa
Film merupakan seni audio-visual yang menyampaikan cerita tentang
kompleksitas dunia yang direka-ulang kepada para penonton melalui dialog dan
peristiwa yang melibatkan para pemain di dalamnya (Cavell, 2006; Spharshott, 2006;
Arnheim, 1957). Implikasinya, film adalah struktur dunia naratif yang di dalamnya
berlangsung proses penandaan audio-visual dengan teknik-teknik filmis—semisal
pengadeganan pemain, sudut pandang kamera, teknik editing, tata cahaya, tata musik,
dan lain-lain—yang menyampaikan dan memapankan makna-makna partikular yang
berjalin-kelindan dengan persoalan dalam masyarakat (Turner, 1988: 56-58; Ponech,
2009; Andrew, 1984: 64-65). Persoalan-persoalan dalam masyarakat tentu tidak
ditampilkan apa adanya, tetapi melalui proses representasi; praktik penandaan yang
memproduksi makna-makna atau realitas baru yang lebih menarik dan mudah
diterima oleh khalayak yang lebih luas (Hall, 1997a: 15-19, 1982: 64). Pemahaman
tersebut menjadikan representasi filmis, mengikuti pemikiran Hall (1982: 65-66),
sebagai proses ideologis yang memobilisasi dan menegosiasikan makna-makna terkait
permasalahan partikular melalui praktik penandaan yang menjadikan mereka tampak
wajar; seolah-olah tanpa kepentingan.
Teori semiotika mitos yang dikembangkan Roland Barthes bisa menjadi piranti
untuk membaca penandaan filmis yang menghadirkan makna-makna kultural. Mitos
19
merupakan moda penandaan atau sistem komunikasi yang menggunakan penandaan
level denotatif sebagai titik-pijak untuk membaca pesan atau konsep yang dihadirkan
secara natural; seolah-olah sudah begitu adanya, tanpa kepentingan (Barthes, 1983:
109-116). Produk-produk budaya populer seperti film merupakan medium yang
berkontribusi secara signifikan bagi perkembangan masyarakat kontemporer karena
sifatnya yang massif dan bisa menampilkan penandaan mitis yang mendepolitisasi
makna atau konsep yang bersifat ideologis. Proses itulah yang Barthes disebut sebagai
eks-nominasi, proses pengaburan kepentingan ideologis dari kelompok atau kelas
partikular dalam masyarakat melalui bermacam praktik representasi dalam budaya
populer (Barthes, 1983: 138-139; Fiske, 2002: 43).
Dalam perspektif mitos-Barthesian, film bisa dikonseptualisasikan sebagai
“struktur dunia naratif audio-visual sebagai praktik penandaan yang menaturalisasi
dan mendepolitisasi—dalam praktik eks-nomisasi—makna-makna ideologis agar tampak
menjadi sebuah kewajaran, seolah-olah tanpa kepentingan politis”. Dalam konsep
tersebut, ideologi bukan lagi menjadi konsep deterministik ataupun kesadaran palsu,
tetapi “menyebar sebagai praktik representasi” (Althusser, 1971: 162-177; Hall, 1997b;
van Dijk, 1995: 284; Heck, 2005: 110) yang terstruktur dalam narasi film berupa
peristiwa-peristiwa naratif adegan dalam babak dengan partikularitas latar, dialog,
konflik, sudut pengambilan gambar, dan lain-lain.
Mobilisasi makna-makna ideologis yang disebarkan melalui struktur dunia
naratif film, tidak bisa dilepaskan begitu saja dari persebaran wacana terkait
permasalahan partikular yang berkembang dalam masyarakat pada periode historis
partikular. Dalam hal itulah, pemikiran wacana Foucauldian bisa menjadi titik-hubung
antara teks/struktur dunia naratif dan konteks sosio-historis, termasuk poskolonialitas
20
kultural dalam masyarakat dan penerapan sistem ekonomi-politik. Sementara,
semiotika mitos-Barthesian memosisikan film sebagai struktur dunia naratif yang
menyampaikan dan memobilisasi makna-makna ideologis, wacana Foucauldian
memosisikan makna-makna tersebut sebagai pembentuk subjek—wacana, individu, dan
pengetahuan—dalam praktik diskursif yang berjalin-kelindan dengan formasi diskursif
dalam masyarakat.
Dalam pandangan Foucault (2002: 177), paling tidak, terdapat dua pengertian
terkait wacana. Pertama, wacana merupakan sekelompok pernyataan—bisa berupa teks
maupun gambar dengan beragam variannya—yang membicarakan sebuah objek
bermakna, semisal wacana klinis, wacana ekonomi, wacana tentang sejarah alamiah,
dan wacana psikiatris. Kedua, wacana sebagai sekelompok pernyataan terbatas yang
berkaitan dengan formasi diskursif yang sama. Pengertian tersebut mengimplikasikan
adanya keberagaman—persamaan dan perbedaan—dalam hal wacana tetapi masih
terhubung dalam kesamaan objek/topik (Foucault, 2002: 52-58; Hall, 1997a: 44).
Proses pembentukan wacana mensyaratkan beberapa elemen yang saling terkait
satu sama lain. Pertama, person yang berhak dan mampu membicarakan persoalan-
persoalan partikular—dalam artian menamai, mengklasifikasi, menganalisis, dan
memecahkan permasalahan yang muncul—dan institusi sebagai medan penyemai
wacana (Foucault, 2002: 72-83). Kedua, praktik diskursif, yakni seperangkat prosedur
atau sistem dalam proses produksi wacana yang menentukan batasan ataupun aturan
yang menjadikan wacana-wacana sebagai kerangka pikir bagi subjek individu maupun
masyarakat sehingga siapa yang tidak mengikuti mereka akan diposisikan sebagai liyan
(Foucault, 1981; Young, 1981: 48-49). Praktik diskursif yang digerakkan person-person
21
tertentu—akademisi, sastrawan, seniman, sineas, dan lain-lain—akan terkait dengan
praktik diskursif lain dalam sebuah formasi yang menghasilkan pengetahuan serta
membentuk subjek-subjek diskursif di dalam wacana (Foucault, 1980: 194-196).
Kapasitas wacana dan pengetahuan untuk membentuk subjek diskursif melalui
beragam batasan dan argumen-argumen yang bisa terterima oleh nalar itulah yang
melahirkan dan mendukung kuasa. Namun, hal itu tidak berarti bahwa kuasa tidak
ikut menentukan pengetahuan. Kuasa juga mempunyai peran yang sangat kuat untuk
menentukan dalam kondisi apa sebuah pengetahuan bisa diaplikasikan atau tidak;
kuasa dan pengetahuan saling berhubungan serta tidak dapat dipisahkan—
kuasa/pengetahuan (Hall, 1997a: 49; McHoul & Grace, 1993: 59). Bisa dikatakan,
relasi kuasa—dalam kaitannya dengan pengetahuan—berlangsung dalam pola menyebar
karena memiliki beragam mekanisme yang mampu menjadikannya sebagai sesuatu
yang normal dalam periode dan masyarakat partikular (Foucault, 1998: 94-95).
Dengan mekanisme yang demikian, kuasa tidak lagi dipahami sebagai paksaan
karena subjek masyarakat mendapatkan wacana dan pengetahuan yang bersifat
menjelaskan terkait permasalahan tertentu dengan pertimbangan-pertimbangan
ilmiah, sehingga mereka akan memposisikannya sebagai kebenaran dan kebutuhan.
Dengan kata lain, kuasa dibangun melalui mekanisme “pendisiplinan” dengan rujuan-
rujukan wacana dan pengetahuan yang sesuai dengan kondisi dan permasalahan yang
ada dalam masyarakat pada periode historis partikular (Wickman, 2008; Widder 2004:
412). Individu-individu dalam masyarakat, dengan demikian, diciptakan sebagai
subjek-subjek manusia yang berada dalam relasi kuasa melalui wacana dan
22
pengetahuan yang menyebar di semua titik—keluarga maupun institusi-institusi
lainnya—dengan mengedepankan rasionalitas (Focault, 1989).
Mengikuti alur pemikiran Foucauldian, film bisa didefinisikan sebagai “struktur
dunia naratif yang diproduksi para sineas dalam institusi industri perfilman di mana
di dalamnya berlangsung praktik diskursif yang memproduksi wacana dan
pengetahuan tentang permasalahan-permasalahan partikular yang berjalin-kelindan
dengan permasalahan-permasalahan dalam masyarakat pada latar historis partikular,
sekaligus sebagai bentuk mekanisme kuasa”. Dengan kerangka film sebagai wacana dan
kuasa/pengetahuan yang menekankan praktik diskursif dalam pembentukan subjek
dan mekanisme kuasa dalam rentang historis partikular, perlu pula dibaca
permasalahan-permasalahan yang berlangsung dalam masyarakat, termasuk di
dalamnya persoalan sosial, ekonomi, politik, dan kultural yang menjadi sumber
material bagi para sineas dalam memproduksi narasi film. Maka, sekali lagi, wacana
merupakan jembatan yang menghubungkan struktur dunia naratif yang diproduksi
para sineas dengan konteks sosio-historis dari produksi film, yakni permasalahan-
permasalahan riil dalam masyarakat dan kepentingan ekonomi-politik yang melibatkan
rezim negara dan pemodal. Artinya, sebagai person-person yang berhak berbicara dan
bersuara melalui film, para sineas akan membuat struktur dunia naratif yang
memobilisasi makna-makna sebagai pembentuk subjek yang berhubungan dengan
permasalahan-permasalahan riil dalam masyarakat tanpa melupakan pertimbangan
ideologis dan komersil.
23
1.5.2 Poskolonialitas Kultural dalam Pusaran Neoliberalisme
Salah satu permasalahan aktual dalam ranah kebudayaan yang berimplikasi pada
permasalahan-permasalahan lain seperti ekonomi, sosial, dan politik adalah
poskolonialitas. Mengapa demikian? Karena dalam poskolonialitas masyarakat bekas
jajahan diwarnai secara dominan oleh dualitas tragis (Mbembe, 2001: 12) atau
kegandaan psiko-kultural (Quayson, 2000: 16-17). Di satu sisi, masyarakat pascakolonial
berusaha mengapropriasi budaya modern dari bekas penjajah dengan bermacam
turunannya karena menjanjikan aspek-aspek kemajuan—dari persoalan pendidikan,
politik negara, hingga ekonomi (Baxi, 2005: 540-544; Venn, 2006: 69). Lebih jauh
lagi, modernitas dilembagakan dalam sistem pemerintahan dan direpresentasikan
dalam narasi media sebagai sebuah rezim kebenaran, sehingga sebagai subjek ia
menjadi visi dan idealisasi bagi subjek masyarakat pascakolonial untuk terus
mendamba dan mengharapkan diri mereka menjadi modern (Venn, 2000: 49; 2006:
55). Di sisi lain, mereka masih belum bisa lepas sepenuhnya dari ikatan komunal dan
budaya lokal sebagai kekuatan kolektif yang diwariskan secara turun-temurun.
Dualitas psiko-kultural merupakan subjektivitas baru yang menandai dan
menjadi karakteristik masyarakat pascakolonial di mana tidak mungkin lagi ditemukan
jalan untuk kembali ke sebuah kemurnian atau kemasalampauan genius, meskipun
tidak sepenuhnya pula budaya residual ditinggalkan. Kegandaan psiko-kultural
memunculkan kompleksitas permasalahan dalam praktik kebangsaan dan budaya di
masa pascakolonial apabila tidak bisa disiasati secara strategis. Dalam membincang
tentang budaya nasional, misalnya, Fanon (1963: 232-233) mengingatkan bahwa
konsep budaya nasional memang bisa menggunakan masa lampau, tetapi menuntut
24
pemikiran emansipatoris modern untuk membuka masa depan yang lebih baik bagi
masyarakat pascakolonial, bukannya menggunakan secara mentah-mentah budaya
tradisional.
Sementara, terkait konsep nasionalisme, Chateerje (1993: 41-51) menjelaskan
bahwa nasionalisme tidak bisa semata-mata digerakkan oleh kepentingan anti-kolonial,
tetapi harus dibangun secara jeli, liat, dan kritis di tengah-tengah subjektivitas
pascakololonial yang berlangsung—perang posisi. Kekuatan nasionalis harus bisa
membaca secara objektif struktur kelas dalam negara—baik borjuis, militer, petani,
buruh, maupun intelektual—beserta kepentingan mereka untuk kemudian
memformulasikan agenda politik dan wacana ideologis yang bisa menjadi konsensus
baru secara nasional dan membentuk aliansi strategis dalam negara. Sebagai proyek
ideal, nasionalisme pascakolonial memang akan berhadapan dengan perkembangan
kapitalisme yang menghadirkan banyak kontradiksi. Dalam kondisi itu, pemikir
nasionalis harus bersiasat dalam “momen manuver” yang menuntut kemampuan
konsolidasi historis dari “yang nasional” dengan cara mengkritisi “yang modern”;
sebuah persiapan untuk memperluas produksi kapitalis dengan mengambil jalan
ideologi anti-kapitalisme; “pengembangan sebuah tesis dengan cara menginkorporasi
bagian yang menjadi antitesis”.
Dalam kajian poskolonial/poskolonialisme, kompleksitas kultural dalam
masyarakat pascakolonial—baik dalam ranah diskursif maupun praksis—yang
dihasilkan dari perjumpaan dengan “yang Barat” atau “yang modern” mendapatkan
tempat utama. Kuatnya kehendak untuk menjadi modern bukan berarti meniadakan
kemampuan subversif mereka terhadap modernitas yang diasumsikan bisa
25
memusnahkan secara menyeluruh aspek-aspek tradisional dalam masyarakat
pascakolonial. Beberapa konsep kunci yang memungkinkan kemampuan bersiasat
masyarakat pascakolonial, sebagaimana dijelaskan Bhabha, adalah ambivalensi, mimikri,
dan hibriditas.
Mimikri merupakan proses kultural yang memberi peluang berlangsungnya
agensi subjek pascakolonial untuk memasuki kuasa dominan sekaligus bermain-main
di dalamnya dengan menunjukkan subjektivitas kultural yang menyerupai budaya
dominan tetapi tidak sepenuhnya sama (Bhabha, 1984: 126). Sebagai artikulasi ganda,
mimikri memunculkan ambivalensi terus-menerus sebagai bentuk kesadaran agensi
yang memunculkan apropriasi dan inapropriasi subjektivitas dalam medan kuasa
dominan. Dengan cara tersebut, liyan melakukan perbaikan diri dengan cara belajar
dalam institusi pendidikan maupun membiasakan diri dengan gaya hidup modern,
tetapi mereka tetap bisa menegosiasikan kedirian kultural yang berbeda. Kondisi itulah
yang menjadikan mimikri sebagai ancaman sekaligus ejekan terhadap budaya dan
kuasa dominan karena ia hadir dalam visi ganda dan ambivalensi yang mengganggu
kebenaran epistemologis kekuasaan berbasis binerisme (Bhabha, 1984: 129-130).
Ketika mimikri berlangsung dalam produk-produk representasional yang
mengganggu konstruksi keutuhan wacana dan pengetahuan sebagai dalam sebuah
relasi kekuasaan berbasis oposisi biner, efek lanjutnya adalah ketidakadaan atau
ketidakhadiran budaya yang bersifat otentik atau murni. Bhabha menyebut produk
budaya yang demikian sebagai “hibriditas”. Namun, apa yang harus dipahami adalah
bahwa hibriditas bukan sekedar wacana tentang percampuran antarbudaya—seperti
dalam pengertian asimilasi, sinkretisme, ataupun kreolisasi. Lebih dari itu, konsep
hibriditas merupakan proyek untuk mensubversi secara diskursif budaya dan kuasa
26
dominan (Bhabha 1994: 112-115). Dengan hibriditas kultural, masyarakat
pascakolonial bisa keluar dari asumsi-asumsi stereotip tentang subjektivitas mereka
yang bersifat diskriminatoris yang di masa lampau menjadi siasat kolonial untuk bisa
menguasai mereka. Selain itu hibriditas juga menjadi situs untuk mempermainkan
tanda-tanda kultural dari kuasa dominan melalui peniruan dan percampuran yang
tidak sepenuhnya. Dengan cara seperti itu, mereka bisa melakukan pemaknaan-
pemaknaan ulang terhadap budaya ataupun kuasa—dalam orientasi perlawanan—
karena tidak mengakui budaya dan kuasa tersebut secara sepenuhnya.
Dengan pemahaman-pemahaman tersebut, subjektivitas hibrid bisa dibaca
sebagai negosiasi gagasan dan praktik kultural yang mengartikulasikan lokalitas dan
modernitas dalam ruang ketiga demi kepentingan politiko-kultural masyarakat
pascakolonial. Mereka bisa menarasikan sebagian budaya tradisional, meskipun harus
masuk dan bermain dalam formasi diskursif budaya dominan (Huddart, 2007).
Hibriditas mempunyai fungsi politiko-kultural sebagai usaha untuk mengkontestasi
budaya dominan melalui “operasi ganda yang ganjil”, yakni percampuran elemen-
elemen kultural dari budaya dominan (Barat/modern) dan budaya lokal yang semula
saling berkonflik menjadi struktur-struktur baru dalam produksi kultural yang diulangi
secara terus-menerus; sebuah repetisi struktural (Young, 1995: 23-25). Konsep peniruan,
pengejekan, kegandaan, keberantaraan, hibriditas kultural, dan potensi-potensi
politisnya banyak mempengaruhi formasi diskursif kajian poskolonial (Bhabha, 1995;
Loomba, 2000; López, 2001; Leela Gandhi, 1998; Young, 2003; Huggan, 2008: 6;
Ahluwalia, 2002: 196-197; Sankaran Krishna, 2009).
27
Konsep-konsep teoretis di atas tentu harus diuji secara kritis karena wacana
poskolonialitas yang diproduksi dalam praktik diskursif sastra maupun media populer
tidak bisa dilepaskan dari kondisi kontekstual. Apakah benar hibriditas masih bisa
menjadi kekuatan strategis ketika masyarakat semakin terbiasa dengan arus budaya
modern dari negara-negara maju yang menawarkan bermacam nilai-nilai ideal bagi
kehidupan dalam globalisasi dan neoliberalisasi? Apakah benar wacana hibriditas bisa
menjadi bentuk resistensi terhadap kuasa dominan ketika industri budaya yang
memiliki kepentingan komersil dan ideologis mengartikulasikan mereka dalam
produk-produk naratif? Dua pertanyaan tersebut menuntut pemahaman lebih
terhadap kondisi kontekstual berupa glonbalisasi dan penerapan ekonomi-politik
dalam ranah kebijakan negara maupun industri budaya, khususnya industri film.
Globalisasi dalam sektor ekonomi-politik menunjukkan bahwa negara-negara
maju dengan ditopang korporasi transnasional serta institusi finansial dan politik
internasional melakukan praktik imperialisme sehingga sebagian besar negara
pascakolonial mengalami eksploitasi sekaligus ketergantungan terhadap mereka,
utamanya dalam hal kebijakan nasional—mengedepankan fungsi pasar dan
mengurangi wewenang pemerintah (Steger, 2006: 38-40; Edwards, 2007: 262-263;
Stallings, 2007: 214; Kien, 2004: 473-477; Gills, 2002: 164-171; Pieterse, 2004).
Dalam konteks kultural globalisasi neoliberal memunculkan tesis tentang imperialisme
kultural di mana industri budaya menyebabkan “homogenisasi kultural”—utamanya
komodifikasi dalam bentuk, model, dan representasi—di negara-negara Dunia
Ketiga/pascakolonial (Banerjee, 2002: 519-520; Sparks, 2007: 145-147; Wise, 2008:
34-35).
28
Dalam kondisi tersebut, neoliberalisme yang secara genealogis memodifikasi
liberalisme yang berprinsip pada kebebasan pasar menjadi sistem ekonomi-politik
utama yang digerakkan oleh negara-negara maju dan disebarluaskan kepada negara-
negara pascakolonial serta membawa pengaruh-pengaruh diskursif dan praksis dalam
kehidupan masyarakat. Menurut Rachel S. Turner (2008: 4-5), terdapat empat prinsip
ekonomi-politik neoliberalisme dalam kehidupan bernegara. Pertama, kemutlakan
aturan pasar bebas yang diasumsikan menjamin efisiensi dan efektifitas sumber
ekonomi serta menjamin kebebasan individual. Kedua, berkomitmen kepada
penguatan Rechtsstaat yang menekankan aturan negara hukum sebagai instrumen
regulasi yang mengatur relasi-relasi konfliktual di antara individu-individu otonom
dalam masyarakat pasar di mana fungsi negara hanylah mengamankan kohesi dan
stabilitas sosial melalui pelestarian kemerdekaan individual. Ketiga, minimalisasi peran
dan regulasi negara. Keempat, kepemilikan pribadi yang memberi penghormatan
mutlak terhadap hak intelektual ataupun kekayaan individual yang tidak bisa
digunakan secara semena-mena untuk kepentingan kolektif.
Dari keempat prinsip tersebut, individualisme merupakan pengetahuan kunci
yang menjadi landasan diskursif dan praksis dari neoliberalisme. Individualisme yang
berkembang dalam neoliberalisme merupakan modifikasi dan transformasi dari
konsep otonomi-individual yang dikembangkan dalam liberalisme. Menurut Stopford
(2009: 1 & 30-31), konsep diri-otonom akan menjadikan individu-individu
berkemampuan menilai, bersikap kritis, dan mempermasalahkan nilai-nilai komunitas
yang mengikat mereka, sehingga mereka akan memiliki pilihan-pilihan otonom dalam
menjalani hidup—apakah harus menggunakan sebagian budaya komunitas yang sesuai
29
dengan situasi terkini atau menggunakan budaya baru yang lebih bisa
mensejahterakan. Menguatnya kebebasan dan diri-otonom dalam masyarakat akan
memberikan individu peluang baru untuk memaknai subjektivitas mereka di tengah-
tengah kuasa modernitas dengan menggunakan pilihan-pilihan yang bisa diterima
nalar dan bisa mendukung capaian ideal.
Selain itu, agar individu bisa mendapatkan keuntungan maksimal, ia harus
mengembangkan diri-otonomnya sebagai diri-penuh-skill. Stopford (2009: 115-116)
menjelaskan bahwa kondisi penuh-skill bisa dicapai melalui tindakan-tindakan
rasional, yakni pendidikan, sehingga seorang individu bisa menguasai kompetensi
tertentu dan menjadikannya pribadi unggul.14 Dengan penguasaan tersebut, ia akan
menjadi fokus bagi tindakan-tindakan rasional yang diarahkan dan diproyeksikan bagi
pencerahan kehidupan individualnya, bukan komunitasnya. Kalaupun komunitas
merasakan akibat positif dari tindakan rasionalnya, itu merupakan akibat dari
bertemunya tindakan-tindakan antarindividu dalam masyarakat yang diberikan
kebebasan untuk melakukan pilihan-pilihan yang masuk akal dan berdaya-guna.
Adapun modifikasi yang dilakukan adalah individualisme yang lebih dilekatkan
kepada mekanisme pasar sebagai rezim kebenaran. Dalam kapitalisme neoliberal,
individu dituntut memiliki “speasialisasi” skill yang memudahkannya untuk
melakukan “kompetisi” dengan individu-individu lain dalam sebuah mekanisme pasar
yang menjamin “kebebasan” dan “efisiensi” untuk memperoleh keuntungan finansial
yang menjadi kepemililikan pribadi. Untuk bisa mencapai kondisi tersebut, setiap
individu dituntut untuk tidak terlalu terikat dengan aturan-aturan negara karena akan
14 Terima kasih kepada Prof. Dr. Faruk, S.U., yang memberikan masukan tentang konsep pribadi unggul yang menjadi salah satu karakteristik dari individualisme dalam pemikiran liberalisme.
30
merusak kemampuan kompetisi dan menghalangi mereka masuk ke dalam budaya
korporasi, khususnya yang dihadirkan oleh korporasi transnasional yang memang
melampaui batas-batas geopolitis negara (Peter Dicken, 2007). Meskipun demikian,
kehadiran negara tetap penting bagi keberlangsungan individualisme untuk
memperkuat kebijakan yang mempermudah dan menjamin kebebasan semua individu
untuk berkompetisi serta menjamin keberlangungan pasar bebas, baik dalam lingkup
domestik/nasional maupun transnasional (Munck, 2005: 63; Clarke, 2005: 50-51;
Lapavitsas, 2005; Duménil & Lévy, 2005: 9; Palley, 2005: 20-24; Harvey, 2007: 64-87;
England & Ward, 2007: 12; Howard & King, 2008: 219-220).
Formasi diskursif individualisme yang mengutamakan kebebasan, pendidikan,
penghormatan terhadap hak-hak individual, skill-tinggi, dan kompetensi yang sesuai
dengan mekanisme pasar dan budaya korporasi diyakini sebagai rezim kebenaran yang
diwacanakan dan dipraktikkan secara ajeg di dalam banyak institusi pendidikan,
perusahaan, maupun media; tidak hanya pada level transnasional tetapi juga nasional.
Selain itu, sebagian besar negara pascakolonial juga sudah menerapkan neoliberalisme
sebagai sistem ekonomi-politik mereka.15 Akibatnya, neoliberalisme menjadi ideologi
dan sistem ekonomi-politik yang diidealisasi bisa menjamin tercapainya kesejahteraan
karena memungkinkan setiap individu bebas berkompeteisi dan berinvestasi berbasis
aturan pasar. Dalam realitas demikian, poskolonialitas kultural yang menjadi penanda
kekuatan masyarakat pascakolonial berada dalam “pusaran neoliberalisme” di mana 15 Ada beberapa faktor yang mendukung keberhasilan neoliberalisme sebagai ekonomi-politik global, yakni: [a] kesiapan aparatus intelektual, institusi, dan strategi gerakan untuk penyebarannya secara internasional (Plehwe & Walpen, 2006: 27-45; Hull, 2006: 142-154; Harvey, 2007: 22; Carroll & Carson, 2006: 52-68; Weller & Singleton, 2006: 71-85); [b] eksploitasi ekonomi dan ketergantungan teknologi dan kultural menciptakan elit-elit nasional yang berada dalam kuasa institusi kapitalisme internasional serta memperkuat mekanisme pasar bebas, sehingga menyebabkan amnesia historis dan politis (Bhabha & Comaroff, 2002: 16; Kapoor, 2008: 4-6); dan, [c] desakan institusi keuangan internasional kepada negara-negara pascakolonial untuk mengadopsi neoliberalisme karena diasumsikan lebih menjanjikan kesejahteraan bagi warga negara (Hindess, 2005; 2004).
31
endapan terhadap ketradisionalan dan impian terhadap modernitas bisa
diinkorporasi, dikomodifikasi, dan dipasarkan secara luas dalam produk-produk
industri budaya, termasuk film. Inkorporasi dan komodifikasi terhadap budaya
tradisional merupakan salah satu karakteristik neoliberalisme yang membedakannya
dengan liberalisme yang menolak budaya tradisional.
1.5.3 Ekonomi-Politik Film
Formasi diskursif poskolonialitas masyarakat yang ditandai oleh hibriditas
kultural dan menguatnya nilai-nilai individualisme merupakan sumber wacana yang
akan dibaca dan dimaknai-kembali oleh para kreator film dalam praktik komodifikasi
serta direpresentasikan ke dalam struktur dunia naratif. Artinya, bisa jadi
poskolonialitas mendapatkan pemaknaan-pemaknaan baru oleh para sineas yang
disesuaikan dengan kepentingan ekonomis dan ideologis industri perfilman sebagai
bagian dari kapitalisme pasar, meskipun mereka juga harus bersiasat dengan kebijakan
perfilman yang dibuat oleh rezim negara. Dengan kata lain, wacana dan pengetahuan
yang dihadirkan dalam struktur dunia naratif film tidak hanya menormalisasi
kepentingan ekonomi-politik pemodal, tetapi juga sebagai bentuk „siasat diskursif‟
dalam menghadapi idealisasi negara terhadap produksi pengetahuan melalui film
sebagaimana dituangkan dalam kebijakan dan peraturan perundang-undangan. Dalam
konteks itulah, pertimbangan ekonomi-politik film tetap dibutuhkan dalam kajian ini.
Kajian ekonomi-politik film ataupun media mendasarkan konsepsi-konsepsi
teoretisnya pada tesis base/superstructure Marxisme. Tesis utama yang diusung adalah
bahwa basis ekonomi dan produksi akan menentukan superstructure—ideologi, agama,
relasi sosial, politik maupun budaya. Kelas pemodal dengan kemampuan modal dan
32
alat produksinya menggerakkan mekanisme dan moda produksi yang melibatkan
kreator dan buruh dalam organisasi dan praktik kerja untuk menciptakan benda-
benda industrial yang mempunyai nilai tukar dan nila guna serta bisa memenuhi
kebutuhan konsumen melalui proses sirkulasi, distribusi, dan konsumsi yang
menyebabkan perubahan orientasi ideologi masyarakat sehingga mengakibatkan
perubahan pada struktur dan praktik sosio-kultural (Marx, 1991, 1992; Lebowitz,
2002; Wood, 2003).
Mengikuti tesis tersebut, kajian ekonomi-politik film memosisikan produk film
tidak semata-mata sebagai representasi yang mewacanakan pengetahuan partikular,
tetapi ia terhubung dengan sistem organisasi produksi dan distribusi kapitalis,
perubahan sosial, termasuk peran negara di dalamnya. Wasko (2004: 227),
mengelaborasi pemikiran Mosco, memosisikan film sebagai bagian integral dari sistem
industri dan masyarakat kapitalis, baik dalam produksi maupun distribusinya. Dalam
proses produksi terdapat formula-formula komersil maupun diskursif yang menjadi
acuan sineas dan pemodal agar sebuah film bisa diterima oleh pasar. Dalam proses
distribusi perlu dilihat mekanisme-mekanisme apa yang digunakan untuk menjadikan
film bisa meraup keuntungan dari segi komersil dan bagaimana peran dan keterlibatan
negara. Yang tidak kalah pentingnya untuk dikaji adalah implikasi politiko-ideologis
dari proses produksi dan kebijakan negara karena ia tidak pernah terlepas dari konteks
ekonomi, sosial, kultural, dan politik yang berkontribusi bagi keberlangsungan dan
reprodukis struktur dan relasi kuasa dalam sebuah negara.
Berdasarkan pemahaman tersebut, pembacaan terhadap cara pandang negara
dan industri dalam memahami produksi dan distribusi film menjadi penting.
33
Termasuk di dalamnya adalah bagaimana respons para sineas terhadap kebijakan
perfilman serta artikulasi mereka terhadap persoalan budaya dan kebangsaan
sebagaimana diidealisasi negara. Namun demikian, dalam kajian ini saya tidak akan
masuk ke dalam sistem organisasi, produksi, dan distribusi film, tetapi bukan berarti
mengabaikannya. Titik ekonomi-politik film akan diarahkan pada bagaimana formasi
diskursif poskolonialitas kultural dalam masyarakat di tengah-tengah sistem pasar yang
memunculkan tegangan antara idealisasi pemodal dan sineas dengan idealisasi rezim
negara. Dalam bingkai normatif, di tengah-tengah keinginan mereka untuk
mendapatkan keuntungan dari industri perfilman, rezim negara masih memosisikan
film sebagai medium untuk menyebarkan kekuatan budaya bangsa dan nasionalisme—
sebuah idealisasi film pascakolonial16—di tengah-tengah popularitas budaya individual.
Sementara, para pemodal dan sineas sebagai bagian dari sistem organisasi industri
budaya kapitalis, tentu saja, menginginkan film yang mereka produksi bisa
mendatangkan keuntungan komersil sekaligus bisa berfungsi untuk menyebarkan
kepentingan ideologis mereka.17
16 Secara ideal, film bagi bangsa pascakolonial memiliki kontribusi strategis untuk menyebarkan gagasan-gagasan kolektif tentang bagaimana menjadi bangsa dengan subjektivitas baru yang terlepas dari pengaruh-pengaruh ideologis kolonialisme (Berry dikutip dalam Zhang, 2004: 6). Terdapat beberapa cara yang bisa dilakukan para sineas untuk menyukseskan proyek kebangsaan tersebut. Pertama, merepresentasikan nostalgia masa lampau yang penuh keemasan dan budaya lokal sebagai kekuatan kolektif (McMillin, 2007: 77-78; Higson, 2000: 60-61). Kedua, menarasikan semangat kebangsaan, pembangunan, penguatan kedaulatan dan integrasi, serta mempersiapkan bangsa untuk berpartisipasi dalam kehidupan antarbangsa (Hallin, 1998: 155-157). Ketiga, membicarakan persoalan kultural dalam konteks yang tidak kaku, tetapi dinamis dan terkadang penuh kontestasi di tengah-tengah pengaruh ragam budaya dan teknik filmis dari luar, meskipun secara naratif tetap menegaskan identitas kolektif melalui pola dan rangkaian narasi bersifat lokal (Berry & Farquhar, 2006: 1-8; Yearwood, 1987). 17 Secara umum para pemodal dan sineas berada dalam satu faksi ketika membicarakan kepentingan komersil dan ideologis, meskipun tetap ada hirarki yang berbeda di antara mereka. Menurut Louw (2001: 32-34), penyebaran pengetahuan ideologis tertentu terjadi karena (1) kuatnya patronase terhadap kepentingan pemodal dalam industri budaya yang hanya menghendaki wacana tertentu; (2) kecenderungan wacana dari para kreator dan pekerja; dan (3) tekanan dari relasi kuasa lainnya, semisal negara maupun institusi agama. Terkait tekanan negara ataupun institusi agama, hal itu akan
34
Itulah mengapa kajian poskolonial yang mengunggulkan wacana hibriditas
dalam praktik representasi maupun diskursif perlu diuji secara kritis karena bisa jadi
industri perfilman mempunyai logika yang berbeda dengan idealisasi poskolonialisme.
Poskolonialitas dalam masyarakat yang ditandai dengan impian terhadap budaya
modern tanpa meninggalkan sepenuhnya budaya tradisional, perkembangan
kapitalisme pasar, maupun proyek budaya bangsa dan nasionalisme tentu akan
menjadi sumber diskursif yang akan diartikulasikan dalam struktur naratif film yang
berbeda dengan cara pandang negara. Hal itu tidak bisa dilepaskan dari posisi industri
film sebagai bagian dari kapitalisme pasar itu sendiri. Menurut Fulton (2005: 5-7),
narasi formulaik media pada abad kapitalisme akhir berusaha menaturalisasi
kepentingan ideologis neoliberal dengan cara menciptakan subjek-subjek yang koheren
dengan tawaran akan pembebasan dan kebebasan untuk menentukan pilihan dalam
jejaring pasar. Sebagai produk yang sangat dekat dengan kehidupan, tentu saja para
pemodal dan sineas memiliki prinsip-prinsip artikulasi untuk mengakomodasi
beragam kecenderungan wacana dan pengetahuan dalam masyarakat, termasuk
idealisasi negara, meskipun tetap menegosiasikan pengetahuan ideal berkebudayaan
dan berkebangsaan di tengah pasar.
Pembacaan terhadap kompleksitas struktur naratif film, praktik dan formasi
diskursif, serta ekonomi-politik, pada akhirnya, akan membantu untuk membaca relasi
kuasa yang berlangsung. Dalam kerangka pikir demikian, film merupakan “sebuah
menjadikan para sineas bersiasat secara naratif dan diskursif untuk menetralisir persoalan yang terjadi. Pembatasan kreativitas dalam film termasuk produksi pengetahuan partikular, juga terjadi karena sistem industri budaya tetap menempatkan kreator dalam posisi subsistem. Para kreator bertugas untuk membuat film yang bisa memenuhi kebutuhan estetik masyarakat sehingga bisa mendatangkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Lihat Backer, 1982: 122; Granham, 1997; Hesmondhalgh, 2007.
35
media untuk menciptakan konsensus dan kuasa melalui artikulasi beragam
kepentingan kelompok/kelas, wacana, dan permasalahan yang berlangsung dalam
masyarakat”. Mengikuti pemikiran Kellner (1995: 1) tentang budaya media, struktur
naratif film bukan hanya menyediakan bermacam materi dan citra tentang
permasalahan sehari-hari, tetapi juga menegosiasikan pengetahuan yang bisa
membantu pemahaman penonton dalam memaknai budaya dan menciptakan
identitas ideal di tengah-tengah kapitalisme pasar saat ini.
Dengan memproduksi pengetahuan ideal berbasis permasalahan kultural dalam
masyarakat, struktur naratif dan praktik diskursif film, mengikuti pemikiran Hall
(1997b: 425-426), akan mempertemukan kepentingan ideologis bermacam
kelompok/kelas—termasuk di dalamnya negara—dalam sebuah blok historis.
Terbentuknya blok hitoris dalam narasi film menjadikan perbedaan-perbedaan kelas
lebur. Namun, kelas penguasa tidaklah hilang, tetapi bertransformasi menjadi kelas
pemimpin. Tentu saja, kategori kelas dalam narasi tidak dimunculkan secara vulgar,
tetapi lebih dihadirkan melalui tokoh tertentu dengan wacana-wacana yang ia
sampaikan. Kehadiran blok historis yang diikat oleh pengetahuan ideal sebagai
konsensus akan mempermudah berlangsungnya relasi kuasa-hegemonik. Hegemoni
merupakan relasi kuasa yang dibangun dengan kepemimpinan intelektual, kultural,
dan moral, sehingga prinsip artikulasi dan negosiasi menjadi lebih dominan karena
kelas pemimpin mengutamakan penerimaan kuasa secara konsensual (Gramsci, 1981:
191-192; Laclau & Mouffee, 1981: 226; Boggs; 1984: 161; Bennet, 1986: xv; Williams,
2006: 134-137; Hall, 1997c: 425-426; Howson & Smith, 2008; Boothman, 2008;
Fontana, 2008; Hall, 1982: 87-88).
36
1.6 Hipotesis
Berdasarkan permasalahan, tujuan, dan landasan teoretis di atas, hipotesis yang
akan saya uji secara kritis dalam kajian ini adalah bahwa di dalam kompleksitas
representasi budaya poskolonial yang menghadirkan budaya modern dan budaya lokal dalam
struktur dunia naratif film beoperasi individualisme yang dianggit sebagai orientasi ideal bagi
masyarakat di tengah-tengah pengaruh ekonomi-politik neoliberalisme.
1.7. Kerangka Metodologis
Untuk melakukan analisis yang bisa menjawab permasalahan, memenuhi tujuan,
dan membuktikan hipotesis berdasarkan landasan teoretis di atas, saya akan
menggunakan kerangka metodologis multiperspektif yang bersiat ulang-alik, tekstual-
kontekstual. Mengikuti pemikiran Saukko (2003: 25), pilihan untuk menggunakan
beberapa pendekatan teoretis sebagai kerangka metodologis merupakan kesengajaan
agar bisa menganalisis secara kritis representasi budaya poskolonial dalam struktur
dunia naratif film Indonesia era 2000-an. Selain itu, dialog antarpendekatan saya
harapkan memunculkan “terobosan baru” dalam hal metodologi. Apa yang saya
maksud sebagai terobosan baru adalah bagaimana mendialogkan pendekatan-
pendekatan untuk menghasilkan sintesa metodologis baru yang akan menjadi
panduan dalam melakukan analisis.
1.7.1 Tentang Pilihan Data
Untuk kepentingan analisis yang lebih fokus dan terarah, saya akan
menggunakan film-film Indonesia populer era 2000-an sebagai sumber data. Film-film
37
populer saya pilih karena mereka—mengikuti pemikiran cultural studies (Hall, 1986,
2002; Cardiff & Scannell, 1986; Davies, 1995: 113-114; Walton, 2008: 203-204;
O‟Shaughnessy, 1990: 90-104)—merupakan tempat berlangsungnya proses relasi kuasa
dan kemungkinan tegangan di dalam proses tersebut. Selain itu, karena ditujukan
untuk kepentingan komersil, narasi film populer menghadirkan cerita dan tema yang
mudah dipahami, sehingga makna-makna yang disuguhkan tampak sebagai kewajaran.
Adapun alasan saya memilih era 2000-an adalah karena para era tersebut
terdapat kondisi sosio-historis berupa gerakan Reformasi 1998 dan penerapan sistem
ekonomi-politik neoliberalisme yang berpengaruh pada poskolonialitas kultural—dari
persoalan pendidikan, olah raga, gairah kebebasan kaum remaja/muda, menguatnya
hasrat untuk sukses secara ekonomi, perkembangan media, hingga isu-isu masyarakat
di wilayah pedalaman—dalam masyarakat sebagai sumber kreatif produksi film.
Poskolonialitas tersebut misalnya bisa dijumpai dalam „gairah‟ nasionalisme melalui
budaya populer, seperti olah raga. Para produser dan sineas menangkap peluang dari
gairah tersebut melalui produksi film yang memiliki pola tematik “anak-anak/remaja,
olah raga, dan nasionalisme”, seperti King, Garuda di Dadaku dan Tendangan dari
Langit. Isu pendidikan bagi masyarakat pedalaman juga menjadi pola tematik yang
menghasilkan beberapa film seperti Denias Senandung di Atas Awan dan Serdadu
Kumbang. Belum lagi popularitas film-film remaja yang memiliki pola tematik “narasi
diri dalam atmosfer kebebasan metropolitan”.
Pemilihan judul film akan menimbang kecenderungan mobilisasi makna
ideologis dalam narasi yang saya pandang sesuai dengan “permasalahan” dan
“hipotesis” dalam kajian ini. Pertama, permasalahan sosio-kultural di masyarakat lokal—
38
desa dan kampung—terkait tegangan antara tradisionalisme dan modernisme, semisal
perbedaan pandangan antara anak-orang tua, terkait kebebasan, pendidikan, dan
capaian-capaian kemajuan lainnya. Kedua, bagaimana individualisme mempengaruhi
narasi-diri dan perspektif kaum remaja/kaum muda terhadap institusi sosial seperti
keluarga serta perilaku mereka dalam menikmati kehidupan dan bagaimana
kecenderungan individualisme mempengaruhi kebebasan narasi-diri di tengah-tengah
modernitas. Keempat, sudut pandang baru dalam memaknai identitas bangsa dan
nasionalisme di tengah-tengah pengaruh diskursif gerakan Reformasi dan peradaban
pasar saat ini. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka film-film yang
saya analisis adalah Denias, Senandung Di Atas Awan (sutradara John De Rantau, 2006),
Garuda Di Dadaku (sutradara Ifa Isfansyah, 2009), Not for Sale (sutradara Nayato Fio
Nuala, 2011), Susahnya Jaga Keperawanan di Jakarta (sutradara Joko Nugroho, 2010),
dan Tiga Pejantan Tanggung (sutradara Iqbal Rais, 2011). Terdapat beberapa argumen
yang menjadi landasan untuk memilih kelima film tersebut.
Film pertama, misalnya, mengangkat persoalan pendidikan modern di
pedalaman Papua yang bersanding dengan persoalan nasionalisme dan uluran tangan
pemodal internasional. Film kedua menarasikan persoalan olah raga dan nasionalisme
yang disematkan ke dalam pikiran anak remaja serta menghadirkan institusi olah raga
internasional untuk mewujudkan cita-cita si anak. Dari kedua film tersebut akan bisa
dilihat bagaimana impian untuk menjadi modern dalam hal pendidikan dan menjadi
sukses dalam olah raga, di satu sisi, harus berhadapan dengan budaya dan kuasa
tradisional dan, di sisi lain, bersandingan dengan isu nasionalisme yang semakin cair
di mana kehadiran pemodal internasional ikut berperan.
39
Film ketiga menghadirkan kebebasan hidup kaum remaja di metropolitan yang
didorong oleh bermacam persoalan, dari hasrat untuk budaya konsumsi hingga
persoalan keluarga, sehingga memunculkan tegangan antara yang komunal dan yang
individual. Film keempat secara spesifik mengangat persoalan migrasi perempuan
muda dari desa ke kota untuk merasakan kesuksesan ekonomi. Siasat kultural
dilakukan para tokoh dalam film ini di mana mereka berusaha meniru cara-cara
metropolitan untuk sukses, tetapi tidak meninggalkan sepenuhnya kearifan lokal.
Meskipun demikian, kota tetap menjadi orientasi dominan sedangkan yang desa harus
ditinggalkan. Adapun film kelima menghadirkan cerita tentang pemuda metropolitan
yang masuk ke dalam kehidupan pedalaman Kalimantan dengan permasalahan-
permasalahannya. Para tokoh dengan segala nalar dan gaya hidup metropolitan harus
menghadapi kehidupan pedalaman dan berjuang untuk ikut menyelesaikan
permasalahan yang dihadapi warga.
Dari aspek industrial, partikularitas persoalan tersebut sangat sesuai dengan
persoalan yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia di era 2000-an,
sehingga mendorong produser dan sineas untuk memfilmkannya dengan harapan
untuk mendapatkan keuntungan komersil sekaligus menyebarkan pengetahuan ideal
kepada penonton. Film Garuda di Dadaku, misalnya, ditonton oleh 1.371.131
penonton.18 Dengan aturan dari setiap karcis produser mendapatkan keuntungan Rp.
5.000,-, maka estimasi keuntungan berkisar Rp. 6.855.655.000. Besarnya jumlah
18 Lihat, “10 Film Indonesia peringkat teratas dalam perolehan jumlah penonton pada tahun 2007-2013 berdasarkan tahun edar film”, tersedia di http://filmindonesia.or.id/movie/viewer/2007-2013#.UeYA26zSOho, diunduh 16 Juli 2013.
40
penonton juga semakin memperluas penyebaran pengetahuan ideal yang dianggit oleh
para sineas.
Saya memosisikan beberapa babak dalam film-film tersebut sebagai data primer
yang membutuhkan „perlakuan khusus‟ agar sesuai dengan kepentingan analisis.
Perlakuan khusus yang saya maksudkan adalah memilih secara teliti dan jeli “adegan-
adegan visual” dan “adegan percakapan antartokoh” berdasarkan alur cerita (awal-
tengah-akhir) yang merepresentasikan permasalahan utama kajian ini. Tujuannya adalah
untuk melihat dinamika artikulasi kultural dan negosiasi makna ideologis dalam
struktur dunia naratif dan kemungkinan-kemungkinan dekonstruktif dalam struktur
serta naturalisasi dan normalisasi pengetahuan individualisme yang disampaikan.
Karena penekanan analisis adalah pada relasi teks-konteks, maka pembacaan
secara kritis terhadap kepentingan politis dalam narasi membutuhkan data penunjang
atau sekunder untuk melihat kondisi sosio-historis masyarakat Indonesia pada era
2000-an. Data-data sekunder tersebut lebih berkaitan dengan impian kebebasan dan
keterbukaan di era Reformasi, keberantaraan kultural, orientasi terhadap modernitas
dan mekanisme pasar dalam kehidupan masyarakat, dan penerapan sistem ekonomi-
politik neoliberalisme dalam negara dan industri film. Data-data tersebut diperoleh
dari artikel ilmiah (majalah/surat kabar/jurnal), berita-berita media (surat kabar
cetak/on line), maupun hasil-hasil penelitian yang bisa diakses.
1.7.2 Metode Analisis
1.7.2.1 Membaca Poskolonialitas dalam Struktur Dunia Naratif
Struktur dunia naratif film dibentuk dari relasi antarbabak yang terdiri dari
banyak adegan. Dalam masing-masing adegan terdapat peristiwa naratif yang terdiri
41
dari dialog/konflik antar tokoh, latar, sudut pengambilan gambar, kostum dan make
up, maupun ilustrasi musik. Kesatuan dari masing-masing elemen dalam satu adegan
akan membentuk proses penandaan yang berhubungan dengan adegan lainnya sehingga
membentuk struktur sebuah babak. Saya tidak akan menelaah semua babak, tetapi
hanya memilih beberapa babak sesuai dengan alur narasi. Dalam konteks kajian ini,
adegan dikategorikan ke dalam dua model: (1) visualitas dan (2) perpaduan antara
visualitas dan percakapan (atau bisa juga monolog).
Visualitas berasal dari adegan dalam film yang diubah dalam bentuk rangkaian
beberapa still photo. Meskipun dalam bentuk foto diam (gambar), visualitas yang
dihadirkan diusahakan tidak menghilangkan aspek dinamika dan keutuhan
penandaan yang terkait elemen tokoh (ekspresi wajah, gerak tubuh, dll), gesture
komunikasi/konflik yang terjadi antartokoh, setting (tempat dan waktu), sudut
pengambilan gambar, pencahayaan, dan kostum. Masing-masing gambar tidak berada
dalam relasi penandaan mitis mandiri, meskipun masing-masing dari mereka adalah
penanda mitis. Rangkaian gambar tersebut diposisikan berkorelasi dengan satu
petanda (konsep): sebuah visualitas babak.19 Dalam babak yang penandaan mitis-nya
membutuhkan pembacaan resiprokal—saling mendukung dan mempengaruhi satu
sama lain—analisis akan saya arahkan pada visualitas dan percakapan/monolog.
19 Konsepsi ini dikembangkan dari pendapat Metz (dikutip dalam Stam, Burgoyne, Flitterman-Lewis, 1999: 46) ketika membicarakan tentang babak. Menurutnya, satu babak dalam film terdiri lebih dari satu pengambilan gambar (shot), tetapi bersifat kronologis, saling mengikuti, dan linear. Penanda dipecah-pecah ke dalam bermacam pengambilan gambar, tetapi petanda bersifat kontinyu. Sebagai contoh, adegan sepasang kekasih yang sedang melakukan candle light dinner di sebuah restoran mewah akan terdiri dari beberapa gambar, seperti situasi ruangan yang remang-romantis, long shot (LS) yang menampilkan dua tokoh secara bersama-sama, maupun close up (CU) yang menampilkan secara bergantian wajah mereka untuk memberikan penekanan pada ekspresi muka. Penekanan kepada makna-makna yang dianggit dalam pertemuan kedua tokoh tersebut menjadikan elemen-elemen visual lainnya dibaca menyatu dengan adegan yang dilakukan oleh mereka.
42
Mengikuti cara kerja strukturalis (Faruk, 2012; Barthes, 1989, 1977; Allen,
2003:53-61; Edgar & Sedgwick, 2002: 16-18), pemilihan babak-babak yang akan
dianalisis lebih didasarkan pada pertimbangan kehadiran oposisi biner antarsubjek
tokoh atau subjek makna, baik yang berlangsung dalam satu babak, atau antara babak
satu dengan babak lainnya. Oposisi-oposisi biner itulah yang akan membentuk narasi
film sebagai struktur penandaan mitis. Subjek kaum remaja atau anak-anak dengan
segenap hasrat kebebasan, misalnya, akan beroposisi dengan subjek orang tua dengan
segenap paradigma konservatifnya.
Dengan cara berpikir strukturalis, saya memosisikan babak sebagai submitos.
Logikanya, mitos adalah keseluruhan rangkaian babak yang membentuk struktur film
dengan pengetahuan ideologis yang dinaturalisasikan, sehingga babak adalah submitos
yang di dalamnya terdapat oposisi biner atau beroposisi dengan submitos lainnya.
Berikut adalah skema analisis dengan kerangka submitos dan mitos.
Adegan-adegan/ Penanda
Petanda
Adegan-adegan/ Penanda
Petanda
Babak/Tanda filmis Penanda mitis: Makna & Bentuk
Konsep
Babak/Tanda filmis Penanda mitis: Makna & Bentuk
Konsep
Penandaan Mitis (sub-mitos 1)
Penandaan Mitis (sub-mitos 1)
Penandaan Mitis (Mitos)/Keseluruhan narasi: film
Alur analisis semiotika mitos-Barthesian berdasarkan skema tersebut bisa diuraikan
sebagai berikut. Pertama, mengkaji adegan-adegan yang ada dalam setiap babak secara
43
linguistik/denotatif dan memposisikannya sebagai “tanda global”. Kedua, memosisikan
tanda global tersebut sebagai “makna/bentuk” (penanda mitis) yang berhubungan
dengan “konsep” dalam proses “penandaan mitis” atau “submitos”. Ketiga, analisis
berlanjut dengan membaca rangkaian submitos-submitos yang sudah ada untuk
menemukan kecenderungan pengetahuan ideologis yang dinaturalisasi melalui mitos.
Analisis terhadap masing-masing babak akan menjadi „pintu masuk‟ untuk
melihat dinamika artikulasi dan negosiasi yang berlangsung dalam struktur dunia
naratif film. Konsepsi tersebut bisa memungkinkan terjadinya proses saling menunda
keutuhan struktur, serta, tentunya juga, kemapanan masing-masing makna-ideologis
yang dibayangkan utuh. Dalam fase ini cara baca dekonstruksi akan digunakan. Hal
itu, mengikuti cara baca Derridean (Derrida, 1997, 1989; Lucy, 2004; Culler, 1985;
Borradori, 2000; Leledakis, 2000; Saul, 2001; Cilliers, 2005, bukan dimaksudkan
untuk mengatakan bahwa dalam film tidak ada struktur, tetapi lebih kepada
munculnya proses saling menunda antarbabak dan antarmakna-ideologis sebagai
akibat dinamika artikulasi dan negosiasi yang menjadi karakteristik poskolonialitas
kultural. 20
20 Faruk (2002: 30) memberi contoh bagaimana analisis dekonstruksi terhadap karya sastra: “Sebagai contoh dapat dilihat oposisi antara desa dengan kota, Timur dengan Barat, Rapiah/Kerabat dengan Corrie/Kekasih, dalam Salah Asuhan. Gerakan Hanafi ke kota, ke Barat, ke Corrie, hanya membuat lelaki itu menderita, berada dalam keterpecahan, keterpisahan, dari “Sang Sumber”, “pusat”, yang...menentramkan. Untuk meniadakan penderitaan tersebut, Hanafi harus pulang. Itulah sebabnya setelah mati, mayatnya dibawa kembali ke desanya, ke “Sang Sumber”. Akan tetapi, kembalinya mayat Hanafi ke desa tidak dengan sendirinya berarti tersatukan dan terleburkana seluruh dirinya ke tempat asalnya…Ia membunuh diri karena ingin menyusul Corrie yang sudah mati mendahuluinya. Karena itu, sementara “tubuh”-nya kembali ke Rapiah, ke Kerabat; “roh”-nya tetap tinggal di kota, pada diri Corrie. Kesatuan antara Hanafi dan “pusat” dengan “Sang Sumber”, dengan tempat asalnya merupakan kesatuan yang “tertunda” karena “Sang Sumber” merupakan “petanda” yang tidak pernah ada walau perlu ada, merupakan “jejak” belaka.”
44
Pembacaan dekonstruksi terhadap kemapanan submitos, berguna untuk melihat
bagaimana struktur dunia naratif di dalam proses artikulasi beragam bentuk kultural
dan kepentingan ideologis dalam masyarakat bisa memunculkan tegangan yang saling
menunda keutuhan makna ideologis. Tegangan tersebut berguna untuk mendekatkan
narasi film dengan poskolonialitas masyarakat yang memang sangat kompleks.
Pemunculan peristiwa-peristiwa yang saling menunda makna-ideologis antarbabak
merupakan strategi untuk mewajarkan negosiasi pengetahuan-ideologis film (mitos)
yang dibangun dari rangkaian makna-ideologis pada masing-masing babak (submitos).
1.7.2.2. Membaca Poskolonialitas dalam Praktik Diskursif
Setelah membaca kompleksitas struktur dunia naratif film dan makna-makna
ideologis di dalamnya, analisis berikutnya akan diarahkan kepada praktik diskursif
dalam narasi film dan formasi diskursifnya, sesuai dengan kerangka metodologis
Foucauldian. Untuk menganalisis praktik diskursif, metode yang akan digunakan
adalah analisis kritis. Dalam pandangan Foucault (1981: 70), analisis kritis dikerjakan
melalui prinsip pembalikan, yakni usaha untuk menemukan bentuk-bentuk eksklusi,
pembatasan, dan apropriasi, khususnya terkait bagaimana mereka dibentuk, untuk
merespons kebutuhan apa, bagaimana mereka dimodifikasi dan diganti atau diubah,
hambatan-hambatan yang mereka kerahkan secara efektif, dan pada tingkatan apa
mereka dihindarkan. Dalam kerangka metode demikian, saya akan menggunakan
peristiwa-peristiwa naratif film yang sudah dijelaskan dengan strukturalisme mitos
Barthesian dan dekonstruksi Derridean sebagai basis untuk mengungkap bentuk-
45
bentuk eksklusi, pembatasan, dan apropriasi dalam pembentukan wacana
individualisme di tengah-tengah poskolonialitas.
Analisis akan diarahkan, pertama-tama, kepada bagaimana eksklusi terhadap
wacana dan subjek yang bertentangan dengan wacana ideal dalam narasi, hambatan-
hambatan untuk mengeksklusi wacana dan subjek tersebut, serta bagaimana ia
dimunculkan sebagai praktik yang lebih sesuai. Kedua, melihat bagaimana modifikasi
terhadap bentuk-bentuk eksklusi yang disesuaikan atau diubah berdasarkan latar
tempat dan waktu serta tingkatan atau peristiwa tertentu di mana mereka dihindarkan,
atau tidak harus dilakukan. Ketiga, kebutuhan atau kepentingan apa yang melahirkan
praktik diskursif tersebut. Dengan model analisis tersebut, akan diketahui bagaimana
individualisme dibentuk dan dioperasikan dalam narasi film secara wajar, sebagai
pengetahuan ideologis yang menjadi rezim kebenaran. Analisis terhadap beberapa film
akan memungkinkan munculnya variasi sistem eksklusi dalam membentuk
individualisme yang disesuaikan dengan keinginan individual tokoh, masyarakat,
negara, maupun kekuatan modal.
Sementara, untuk menganalisis formasi diskursif, metode yang akan digunakan
adalah analisis genealogis. Menurut Foucault (1981: 70), analisis genealogi diarahkan
kepada: bagaimana serangkaian wacana dibentuk, melintasi ranah seperti apa atau
dengan bantuan sistem hambatan, norma spesifik apa dari masing-masing wacana, dan
dalam kondisi apa wacana-wacana tersebut muncul, tumbuh, dan bervariasi. Analisis
genealogis dalam kajian ini akan saya arahkan pada proses terbentuknya wacana
individualisme, khususnya ranah-ranah apa saja dalam film—apakah itu pendidikan,
ekonomi, olah raga, maupun kebangsaan. Selanjutnya, analisis diarahkan kepada
46
norma-norma spesifik yang dimunculkan dalam masing-masing wacana tersebut. Pada
akhirnya, saya akan melihat kondisi sosio-historis seperti apa yang memungkinkan
wacana-wacana tersebut hadir/muncul, tumbuh, dan bervariasi dalam film dan
masyarakat.
Sama dengan yang berlangsung dalam analisis struktur naratif, analisis
poskolonial juga akan masuk ke dalam analisis praktik diskurif. Analisis diskursif
terhadap pembentukan subjek tradisional dan subjek modern—baik dalam bentuk
wacana maupun individu tokoh—yang dipadukan dengan analisis dekonstruksi yang
biasa digunakan kajian poskolonial bisa digunakan untuk melihat kemungkinan
terjadinya pertemuan di ruang antara yang menghasilkan subjektivitas hibrid serta
kepentingan ideologis yang menyertainya.
1.7.2.3. Membaca Ekonomi-Politik Film
Kehadiran wacana atau pengetahuan apapun dalam narasi film, tentu, harus
dilihat juga keterkaitannya dengan aspek kebijakan yang diambil negara dan
kepentingan pemodal film. Dalam konteks demikian, analisis ekonomi-politik,
pertama-tama, akan saya fokuskan pada bagaimana pandangan negara terhadap
industri film pada era 2000-an, bagaimana anggitan-anggitan ideal rezim negara terkait
persoalan kebangsaan dan kebudayaan dalam narasi film, dan bagaimana batasan-
batasan yang diatur oleh rezim negara melalui kebijakan-kebijakan perfilman yang
mereka buat.
Analisis berikutnya akan saya arahkan kepada pernyataan atau komentar yang
diberikan oleh para pelaku industri film (pemodal/produser dan sineas) dan gerakan
47
praksis yang dilakukan oleh para sineas dalam menanggapi kebijakan film, serta
wacana-wacana kebudayaan dan kebangsaan seperti apa yang diinginkan oleh para
sineas dan produser. Dari analisis kebijakan negara dan respons diskursif para sineas
dan produser film akan bisa dilihat bagaimaana tegangan diskursif dalam
mempersoalkan wacana-wacana ideal kebudayaan dan kebangsaan. Bisa jadi,
pertentangan dua faksi tersebut akan menghasilkan penyandingan, diskontinyuitas,
modifikasi, ataupun perubahan wacana terkait kedua persoalan tersebut.
Pembacaan ulang-alik antara pandangan negara dan sineas/produser, kondisi
sosio-historis, dan persoalan diskursif dalam struktur naratif menjadi penting. Dengan
cara itu, akan bisa diketahui anggitan budaya poskolonial seperti apa yang diidealisasi
para pemodal melalui para sineas dengan cara pandang rezim negara dan konteks
masyarakat Indonesia era 2000-an. Ketika anggitan yang muncul merupakan bentuk
modifikasi dari cara pandang negara terhadap persoalan kebudayaan maupun
kebangsaan di tengah-tengah hukum pasar, akan bisa ditemukan titik-temu antara
kepentingan negara dan kepentingan pemodal. Artinya, para sineas bisa menarasikan
wacana yang tampak „melayani‟ kampanye negara. Dari sini, analisis dekonstruksi akan
kembali dijalankan untuk mengetahui bagaimana sebenarnya relasi kuasa beroperasi
melalui narasi film yang memunculkan pengetahuan yang dianggit berkesesuaian
dengan kepentingan rezim negara. Maka, analisis terkait hegemoni menjadi bagian
akhir dari kajian ini, khususnya untuk menentukan subjek siapa sebenarnya yang
menggerakkan blok historis dan mengarahkan kepemimpinan kultural melalui
pengetahuan terkait bagaimana menjadi subjek pascakolonial di tengah-tengah
mekanisme pasar saat ini.
48
1.8 Sistematika Disertasi
Dalam bab ini saya telah memaparkan latar belakang, permasalahan dan tujuan,
tinjauan pustaka, landasan teoretis, hipotesis, dan kerangka metodologis sebagai basis
untuk melakukan kajian representasi budaya poskolonial dalam film Indonesia era
2000-an. Adapun bahasan utama dalam bab-bab selanjutnya saya paparkan secara
singkat sebagai berikut.
Memasuki Bab II, saya akan memulai kerja analisis dengan fokus pada struktur
dunia naratif film Indonesia era 2000-an. Analisis dalam bab ini saya fokuskan pada
anggitan makna-makna kultural dengan menggunakan cara kerja strukturalis yang
disandingkan dengan analisis dekonstruksi. Pertama-tama, saya akan membahas
representasi makna kultural terkait budaya tradisional dan budaya modern serta
kompleksitas di dalamnya, termasuk kemungkinan berlangsungnya hibriditas kultural.
Analisis selanjutkan difokuskan kepada produksi makna-makna kultural baru berbasis
poskolonialitas yang dianggit menjadi makna-makna ideal bagi kehidupan para tokoh
utama.
Bab III membahas akan praktik diskursif dalam narasi film dan keterkaitannya
dengan konteks sosio-historis dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara pada era 2000-an. Sama dengan prinsip kerja pada Bab III, pertama-tama
saya akan mengkaji bagaimana praktik diskursif dalam narasi film memproduksi
budaya tradisional dan budaya modern. Selanjutnya, saya akan menganalisis produksi
individualisme dan kelenturan subjektivitas dalam poskolonialitas yang dianggit
sebagai pengetahuan ideal. Penelusuran terhadap konteks sosio-historis menjadi
penting untuk melihat bagaimana keterkaitakan produksi budaya poskolonial dalam
49
narasi film berjalin-kelindan dengan persoalan-persoalan yang berkembang dalam
masyarakat.
Sementara, pembicaraan pada Bab IV difokuskan kepada aspek ekonomi-politik
film Indonesia era 2000-an. Adapun fokusnya adalah bagaimana kebijakan negara
dalam mengatur industri perfilman, khususnya terkait proyek kebangsaan dan aspek
ekonomi-kreatif film yang cukup menjanjikan. Saya juga akan membahas bagaimana
tegangan antara negara dan para insan perfilman terkait kebijakan tersebut. Untuk
bisa melihat bagaimana para sineas menyiasati kebijakan negara terkait proyek
kebangsaan, saya akan menggunakan dua wacana, yakni budaya nasional dan
nasionalisme, berdasarkan cara pandang budaya poskolonial yang dihadirkan dalam
narasi film. Dari analisis tersebut akan bisa diketahui blok historis seperti apa yang
terbentuk melalui narasi dan siapa yang mengendalikan relasi kuasa-hegemonik,
apakah rezim negara ataukah rezim pemodal.
Adapun Bab V merupakan simpulan dari semua kajian yang telah saya kerjakan
dalam disertasi. Selain itu, dalam bab ini saya juga akan memunculkan konsepsi
teoretis terkait budaya poskolonial dalam film Indonesia era 2000-an serta implikasi
teoretis dan metodologisnya bagi perkembangan kajian film, pada khususnya, serta
kajian budaya/media dan kajian poskolonial pada umumnya.