2
BAB I PENDAHULUAN Morbus Hansen merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susuan saraf pusat. Mycobacterium leprae merupakan bakteri yang tidak dapat dikultur,gram-positif,bersifat intra selular dan tahan asam . bakteri M.leprae tidak dapat dikultur dan membutuhkan keadaan intraselular untuk berkembang karena mempunyai beberapa enzim pernapasan untuk bertahan. Selain itu, M.leprae juga menyerang lamina basal dari unit akson sel Schwann sehingga saraf yang terkena adalah sistem saraf perifer. Klasifikasi penyakit morbus Hansen didasarkan pada gambaran klinis,bakterioskopik,dan histopatologis. Ridley-jopling mengkalsifikasikan morbus Hansen menjadi ; Tuberkuloid polar (TT) yang merupakan bentuk stabil,Broderline tuberculoid (Bt),Mid Borderline (BB), Borderline Lepromatous (Bl), lepromatosa polar (LL) yang merupakan bentuk yang stabil. Who membagi klasifikasi Morbus Hansen berdasarkan jumlah lesi dan hasil pemeriksaan bakterioskopik pada kulit,yaitu Pausi Basiler (PB) dengan jumlah satu-lima lesi dan hasil pemeriksaan bakteri negative. Sedangkan Multi Basiler (MB) dengan jumlah lebih dari lima lesi dan hasil pemeriksaan bakteri positif. Morbus Hansen mempunyai tiga gejala klinis yang utama disebut Cardinal sign, yaitu lesi hipopigmentasi atau eritematosa ,mendatar (makula) atau meninggi (plakat) yang bersifat atau hilangnya sensasi rasa, penebalan saraf perifer antara lain n.Ulnaris, n. medianus, n.auricularis magnus, n.politea lateralis, n.Tibialis Posterior, ditemukan basil tahan asam pada pemeriksaan bakterioskopik hapusan kulit cuping telinga dan lesi kulit yang aktif. Untuk menegakan penyakit kusta paling sedikit harus ditemukan satu tanda cardinal. Bila tidak atau belum dapat ditemukan, maka penderita perlu di amati dan di periksa ulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kusta dapat ditegakan atau disingkirkan.

BAB I

Embed Size (px)

DESCRIPTION

bab 1

Citation preview

Page 1: BAB I

BAB I

PENDAHULUAN

Morbus Hansen merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susuan saraf pusat.

Mycobacterium leprae merupakan bakteri yang tidak dapat dikultur,gram-positif,bersifat intra selular dan tahan asam . bakteri M.leprae tidak dapat dikultur dan membutuhkan keadaan intraselular untuk berkembang karena mempunyai beberapa enzim pernapasan untuk bertahan. Selain itu, M.leprae juga menyerang lamina basal dari unit akson sel Schwann sehingga saraf yang terkena adalah sistem saraf perifer.

Klasifikasi penyakit morbus Hansen didasarkan pada gambaran klinis,bakterioskopik,dan histopatologis. Ridley-jopling mengkalsifikasikan morbus Hansen menjadi ; Tuberkuloid polar (TT) yang merupakan bentuk stabil,Broderline tuberculoid (Bt),Mid Borderline (BB), Borderline Lepromatous (Bl), lepromatosa polar (LL) yang merupakan bentuk yang stabil.

Who membagi klasifikasi Morbus Hansen berdasarkan jumlah lesi dan hasil pemeriksaan bakterioskopik pada kulit,yaitu Pausi Basiler (PB) dengan jumlah satu-lima lesi dan hasil pemeriksaan bakteri negative. Sedangkan Multi Basiler (MB) dengan jumlah lebih dari lima lesi dan hasil pemeriksaan bakteri positif.

Morbus Hansen mempunyai tiga gejala klinis yang utama disebut Cardinal sign, yaitu lesi hipopigmentasi atau eritematosa ,mendatar (makula) atau meninggi (plakat) yang bersifat atau hilangnya sensasi rasa, penebalan saraf perifer antara lain n.Ulnaris, n. medianus, n.auricularis magnus, n.politea lateralis, n.Tibialis Posterior, ditemukan basil tahan asam pada pemeriksaan bakterioskopik hapusan kulit cuping telinga dan lesi kulit yang aktif. Untuk menegakan penyakit kusta paling sedikit harus ditemukan satu tanda cardinal. Bila tidak atau belum dapat ditemukan, maka penderita perlu di amati dan di periksa ulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kusta dapat ditegakan atau disingkirkan.

Tujuan dari WHO pada akhir tahun 2015 untuk mengurangi tingkat kasus baru diseluruh dunia sekurangnya 35%. Dari 115 negara, prevalensi terdaftar global kusta pada akhir kuartal pertama tahun 2013 mencapa 189.018 kasus, sementara jumlah kasus baru terdekteksi selama 2012 adala 232.857kasus. dari kasus baru , 95% terdeteksi diseluruh dunia selama tahun 2010 di Negara-negara berikut : Angola, Banglades, Brazil, Cina, India, Etiopia, Indonesia, Myanmar, Nepal, Nigeria, Filipina, sudan.

Dari 10 negara dengan jumlah kasus baru terbesar di sunia , Indonesia menempati posisi ke tiga setelah india dan Brazil. Berdasarkan data epidemiologi, jumlah kasus baru pada penyakir Morbus Hansen di Indonesia Tahun 2012, sebanyak 17.980 kasus, angka ini turun dari 2011 sebanyak 20.023 kasus. Menurut data dinas kesehatan provinsi papua , rata-rata pasien kusta mencapai 1300 kasus baru setiap tahun. Papua menempati urutan ke tiga dari papua barat dan Maluku. Terdapat 17 kabupaten di Papua yang mempunyai angka kasus morbus Hansen tertinggi. WHO merekomendasikan pengobatan Morbus Hansen dengan Regimen kombinasi MDT ( Multi Drug Treatemnt) yang terdiri atas kombinasi dapson,rimfampisin, klofazimin. Penggunaan MDT

Page 2: BAB I

dimaksudkan untuk mengurangi ketidak taatan penderita, menurunkan angka putus obat, dan mengatasi resistensi dapson sebagai monoterapi.namun dalam pelaksanan program MDT mengalami beberapa masalah. Oleh karena itu diperlukan obat-obat baru dengan mekanisme bakteri sidal yang berbeda dengan obat-obat MDT – WHO saat ini. Obat baru ini harus memenuhi syarat antara lain bersifat bakteri sidal kuat terhadap M.leprae tidak antagonis dengan obat yang sudah ada, aman, dapat diberikan peroral. Yang sudah terbukti efektif antara lain ofloksasin, minosiklin, dan klaritomisin.

Prognosis pada morbus Hansen tergantung pada tipe penyakit. Morbus Hansel tipe LL mempunyai komplikasi jangka panjang. Pasien dapat mengalami kerusakan saraf jangka panjang dan cacat. Prognosis juga tergantung pada akses pasien terhadap terapi , kepatuhan pasien dan inisiasi awal pengobatan . jika tidak diobati morbus Hansen tipe LL dapat berakibat pada kematian.