Upload
andi-nurmayasari
View
214
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
skripsi
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gangguan jiwa dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu gangguan jiwa ringan
(neurosa) dan gangguan jiwa berat (psikosis). Psikosis ada dua jenis yaitu
psikosis organik, dimana didapatkan kelainan pada otak dan psikosis
fungsional tidak terdapat kelainan pada otak. Psikosis salah satu bentuk
gangguan jiwa merupakan ketidakmampuan untuk berkomunikasi atau
mengenali realitas yang menimbulkan kesukaran dalam kemampuan seseorang
berperan sebagaimana mestinya dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu gejala
psikosis yang dialami penderita gangguan jiwa adalah yang merupakan
gangguan persepsi dimana pasien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya
tidak terjadi. Kecemasan merupakan gangguan kesehatan jiwa ringan,
kecemasan berbahaya ketika berada pada tingkatan panik atau ketakutan. Ada
berbagai macam tingkat kecemasan tetapi ketika kecemasan menimpa pada diri
seseorang maka harus segera dipikirkan cara untuk mengatasinya. (Davison, et
al, 2006).
Menurut Kaplan, Sadock, dan Grebb (2010) kecemasan adalah respon
terhadap situasi tertentu yang mengancam, dan merupakan hal yang normal
terjadi menyertai perkembangan, perubahan, pengalaman baru atau yang belum
pernah dilakukan, serta dalam menemukan identitas diri dan arti hidup. Namun
cemas yang berlebihan, apalagi yang sudah menjadi gangguan akan
menghambat fungsi seseorang dalam kehidupannya.
1
2
Kecemasan masih menjadi salah satu masalah gangguan kesehatan jiwa
yang masih banyak terjadi, baik di negara-negara maju maupun di negara
berkembang seperti di Indonesia. Gangguan kecemasan di Amerika Serikat
menjadi salah satu masalah psikiatrik yang sering terjadi. Tercatat setiap
tahunnya lebih dari seperempat penduduk Amerika Serikat (23 juta jiwa)
mengalami kecemasan. Kecemasan mempengaruhi sekitar 40 juta orang
dewasa Amerika usia 18 tahun dan lebih tua (sekitar 18%) pada tahun tertentu.
Dalam survey yang dilakukan di Amerika Serikat pasien yang mengalami
serangan panik rata-rata dalam satu tahun melakukan 37 kali kunjungan di
Rumah Sakit (NIMH, 2010).
Angka kecemasan semakin meningkat, prevalensi keadaan kecemasan
(anxietas) di Indonesia berkisar antara 2-5% dari populasi umum atau 7-16%
dari semua penderita gangguan jiwa (Pietra, 2001). Prevalensi tertinggi untuk
kecemasan dan depresi terdapat di Provinsi Jawa Barat (20,0%), terendah di
Provinsi Kep.Riau (5,1%) (Yuke, 2010).
Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, prevalensi gangguan
mental emosional berupa depresi dan cemas pada penduduk Indonesia sebesar
11,6 persen dari populasi orang remaja saat ini. Berarti dapat diketahui bahwa
jumlah populasi remaja di Indonesia kurang lebih 150.000.000 ada 1.740.000
orang yang mengalami gangguan mental emosional. Angka prevalensi ini
cenderung akan mengalami kenaikan seiring dengan pertambahan usia.
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008).
3
Datangnya ansietas tidak terduga tergantung dari stressor yang
mempengauruhi. Ansietas sering terjadi oleh para mahasiswa diantaranya
ketika mahasiswa akan menghadapi situasi yang sulit atau keadaan yang
dirasakan sangat mengganggu ketenangannya. Beberapa keadaan yang
membuat mahasiswa sering merasa tidak nyaman atau ansietas adalah
banyaknya tugas, serta beban tugas kuliah yang sangat berat (Hersen &
William Sledge 2012).
Stresor atau penyebab kecemasan pada mahasiswa dapat bersumber dari
kehidupan akademiknya, terutama dari tuntutan eksternal dan tuntutan dari
harapannya sendiri. Tuntutan eksternal dapat bersumber dari tugas-tugas
kuliah, beban pelajaran, tuntutan orang tua untuk berhasil di kuliahnya, dan
penyesuaian sosial di lingkungan kampusnya. Tuntutan ini juga termasuk
kompetensi perkuliahan dan meningkatnya kompleksitas materi perkuliahan
yang semakin lama semakin sulit. Tuntutan dari harapan mahasiswa dapat
bersumber dari kemampuan mahasiswa dalam mengikuti pelajaran (Heiman &
Kariv, 2005).
Mahasiswa kedokteran dilaporkan memiliki stressor yang tinggi atau penuh
dengan kecemasan dan ketika dibandingkan dengan populasi umum,
mahasiswa kedokteran lebih banyak mengalami tekanan, depresi, dan
kecemasan (Mahajan & Jadon, 2010).
4
Penelitian mengenai prevalensi kecemasan pada mahasiswa kedokteran
telah dilakukan pada beberapa universitas. Penelitian di Amerika Utara yang
dilakukan terhadap 100 mahasiswa menunjukkan bahwa prevalensi kecemasan
pada mahasiswa adalah 38% (Shannone, 1999). Penelitian sejenis dilakukan
oleh Firth (2004) pada salah satu fakultas kedokteran di Inggris. Penelitian
yang melibatkan 165 partisipan tersebut menunjukkan prevalensi kecemasan
pada mahasiswa fakultas kedokteran adalah 31,2%. Sementara itu, tiga
penelitian yang dilakukan di Asia menunjukkan hasil sebagai berikut: (1)
prevalensi kecemasan mahasiswa fakultas kedokteran Pakistan dengan 161
partisipan adalah 30,84% (Shah, Hasan, Malik, & Sreeramareddy, 2010). (2)
prevalensi kecemasan mahasiswa fakultas kedokteran Thailand dengan 686
partisipan adalah 61,4% (Saipanish, 2003). (3) prevalensi kecemasan
mahasiswa fakultas kedokteran Malaysia dengan 396 partisipan adalah 41,9%
(Sherina, 2004).
Selain itu, penelitian juga dilakukan di Amerika Serikat dan Kanada
menunjukkan prevalensi kecemasan pada mahasiswa kedokteran adalah 43%
(tahun 2006). Prevalensi kecemasan pada mahasiswa kedokteran Lithuania
adalah 43% (tahun 2008), Republik Makedonia tahun 2008 (65,5%), Saudi
Arabia tahun 2009 (29%), Mesir tahun 2008 (33,6%), Pakistan tahun 2008
(43,7%), Indonesia tahun 2010 pada Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga (45%) (Haryono, 2011).
5
Berdasarkan masa pendidikan di fakultas kedokteran terbagi menjadi
praklinik (perkuliahan) dan klinik (koasistensi). Untuk memperoleh gelar
dokter, seseorang mahasiswa kedokteran memerlukan waktu yang panjang,
dewasa ini seorang mahasiswa kedokteran diharuskan menempuh 5 sampai 6
tahun bahkan lebih untuk menjadi seorang dokter.
Selama 3,5 tahun pertama mahasiswa kedokteran dibekali pengetahuan
dasar tentang dunia kedokteran, kemudian selama 2 tahun mereka harus
mampu menerapkan teori ilmu kedokteran di masyarakat. Dalam hal ini
mahasiswa koasisten diharuskan bersikap profesional selayaknya seorang
dokter. Sehingga nantinya menjadi dokter profesional yang sesuai dengan
kebutuhan masyarakat, yang arif dan kompetitif. Dalam menjalani pendidikan
koasisten, kenyataanya mahasiswa kedokteran yang sedang menjalankan
koasisten banyak mengalami tekanan. Tekanan yang dialami oleh mahasiswa
koasisten dapat bersumber dari dalam diri maupun dari luar. Tekanan dari
dalam diri dapat disebabkan oleh kurangnya pengetahuan maupun pengalaman.
Tekanan dari luar dapat muncul dari dosen pembimbing, dokter pembimbing
atau dokter senior maupun antar rekan sejawat. Akibatnya mahasiswa
koasistensi cenderung mengalami kecemasan (Zuhriyah, 2011).
Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik melakukan penelitian untuk
mengetahui adakah perbedaan tingkat kecemasan antara mahasiswa preklinik
dan ko-asisten Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo.
6
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut, maka rumusun masalah
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana tingkat kecemasan mahasiswa preklinik FK UHO?
2. Bagaimana tingkat kecemasan mahasiswa ko-asisten FK UHO?
3. Apakah ada perbedaan tingkat kecemasan antara mahasiswa preklinik dan
ko-asisten FK UHO?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Untuk menganalisis tingkat kecemasan mahasiswa FK UHO.
2. Tujuan khusus
a. Untuk menganalisis tingkat kecemasan mahasiswa preklinik FK UHO.
b. Untuk menganalisis tingkat kecemasan mahasiswa ko-asisten FK UHO.
c. Untuk menganalisis perbedaan tingkat kecemasan mahasiswa preklinik
dan ko-asisten FK UHO.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Untuk memperluas wawasan tentang ilmu pengetahuan khususnya
Kedokteran Jiwa dan memberikan data ilmiah tentang perbedaan tingkat
kecemasan antara mahasiswa preklinik dan ko-asisten FK UHO.