51
BAB I PENDAHULUAN i. Latar Belakang Permasalahan Kecamatan Boja memiliki luas wilayah 64,11km 2 , atau sebesar 6,39% wilayah Kabupaten Kendal secara administratif. Dilihat dari topografinya Kecamatan Boja berada di derah perbukitan dengan ketinggian berkisar 250m sampai 370m di atas permukaan laut. Batas-batas wilayah Kecamatan Boja sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Kaliwungu Selatan, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Limbangan, sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Singorojo, dan sebelah timur berbatasan dengan Kota Semarang. Jumlah penduduk Kecamatan Boja setiap tahun mengalami pertumbuhan hingga pada tahun 2011 ditaksir jumlah penduduk Kecamatan Boja adalah 71.417jiwa atau dengan kata lain kepadatan penduduknya sebesar 1114orang/km 2 . Pertumbuhan penduduk Kecamatan Boja dan makin beragamnya aktifitas kesemuanya memerlukan tempat. Keadaan ini menyebabkan perubahan tata guna lahan, umumnya berupa lahan terbuka menjadi lahan terbangun. Dampak negatif dari pembangunan antara lain, kerusakan lingkungan, kebutuhan

BAB I Edited Aedo

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

i. Latar Belakang Permasalahan

Kecamatan Boja memiliki luas wilayah 64,11km2, atau sebesar 6,39% wilayah

Kabupaten Kendal secara administratif. Dilihat dari topografinya Kecamatan Boja

berada di derah perbukitan dengan ketinggian berkisar 250m sampai 370m di atas

permukaan laut. Batas-batas wilayah Kecamatan Boja sebelah utara berbatasan dengan

Kecamatan Kaliwungu Selatan, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan

Limbangan, sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Singorojo, dan sebelah timur

berbatasan dengan Kota Semarang. Jumlah penduduk Kecamatan Boja setiap tahun

mengalami pertumbuhan hingga pada tahun 2011 ditaksir jumlah penduduk Kecamatan

Boja adalah 71.417jiwa atau dengan kata lain kepadatan penduduknya sebesar

1114orang/km2.

Pertumbuhan penduduk Kecamatan Boja dan makin beragamnya aktifitas

kesemuanya memerlukan tempat. Keadaan ini menyebabkan perubahan tata guna lahan,

umumnya berupa lahan terbuka menjadi lahan terbangun. Dampak negatif dari

pembangunan antara lain, kerusakan lingkungan, kebutuhan air bersih meningkat pesat,

penurunan muka air tanah drastis, perubahan iklim (peningkatan suhu udara,

kelembaban udara menurun, dll). Beberapa permasalahan air meliputi pencemaran air,

penggundulan hutan, terganggunya fungsi resapan, berubahnya fungsi tangkapan air

menunjukkan perlu langkah yang strategis dalam pengelolaan sumber daya air

(Kodoatie, 2002). Dalam pengelolaan drainase harus ada pemikiran dan usaha merubah

paradigma lama pengaliran drainase yaitu “mengumpulkan, mengalirkan, dan

membuang air limpasan permukaan secepat dan efisien mungkin” menjadi paradigma

baru “mempertahankan keseimbangan air”. Sistem drainase konvensional yang efisien

kinerjanya akan menurunkan penambahan air tanah, meningkatkan volume limpasan

permukaan, mempersingkat waktu pengaliran, meningkatkan frekuensi, dan menambah

besarnya banjir. Bisa dibayangkan jika pengaliran drainase secapat-secapatnya masih

terus terjadi melalui saluran-saluran maka daerah hilir dalam hal ini Kota Semarang

akan mengalami banjir. Untuk menjawab tantangan tersebut perlu dilakukan upaya

yang sungguh-sungguh dalam pelestarian sumber daya air agar air memperoleh

kesempatan meresap ke dalam tanah (Siswanto, 2001).

Resiko peningkatan limpasan dan perubahan kualitas air akibat perubahan fungsi

lahan dapat dikurangi dengan langkah yang tepat. Teknologi LID diharapkan mampu

untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan akibat pengembangan suatu

daerah dengan mencapai keseimbangan antara konservasi, perkembangan, proteksi

ekosistem, dan kualitas hidup. Konservasi dan peran serta masyarakat untuk

menanggulangi daya rusak air merupakan elemen kunci dari LID.

Dalam kesempatan ini, kami ingin merencanakan pengembangan suatu kawasan

dalam hal ini pengembangan perumahan di Kecamatan Boja yang menggunakan konsep

LID agar dapat mengontrol polusi air limpasan permukaan, mengurangi volumenya,

memperpanjang waktu pengaliran, dan menyelesaikan masalah-masalah yang berkaitan

dengan ekologi.

ii. Tujuan

Tujuan pengembangan perumahan di Kecamatan Boja dengan menggunakan konsep

LID adalah:

a. Mempertahankan kondisi hidrologi suatu daerah yang dikembangkan sama dengan

kondisi hidrologi awal daerah tersebut pada saat sebelum dikembangkan.

b. Mereduksi resiko akibat peningkatan kekedapan permukaan.

c. Menjaga keseimbangan air dengan memasukkan air ke dalam tanah.

d. Mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan akibat pengembangan suatu

daerah dengan mencapai keseimbangan antara konservasi, perkembangan, proteksi

ekosistem, dan kualitas hidup.

e. Mengetahui efektivitas pembangunan perumahan di Kecamatan Boja dengan

menggunakan konsep LID untuk mengurangi debit limpasan, dengan

membandingkan pengurangan debit limpasan perumahan yang menggunakan

konsep LID dan yang tidak menggunakan konsep LID.

BAB II

KAJIAN TEORI

i. Uraian Umum

LID adalah teknik pengelolaan air hujan secara lokal yang ramah lingkungan.

Didalam perencanaan dan pelaksanaannya melibatkan berbagai disiplin ilmu yang

mendukung, seperti ilmu hidrologi, ilmu teknik lingkungan untuk menganalisis sejauh

mana manfaat yang diperoleh dari pembangunan dengan konsep LID ini.

Untuk menunjang proses perencanaan pembangunan perumahan dengan konsep

LID maka berbagai teori dan rumus-rumus dari berbagai studi pustaka sangat

diperlukan, terutama ketika pengolahan data maupun desain rencana bangunan.

ii. Perhitungan Curah Hujan Rencana

a. Pengukuran Dispersi

Setelah mendapatkan curah hujan rata-rata dari beberapa stasiun yang

berpengaruh di daerah aliran sungai, selanjutnya dianalisis secara statistik untuk

mendapatkan pola sebaran yang sesuai dengan sebaran curah hujan rata-rata yang

ada. Pada kenyataannya bahwa tidak semua varian dari suatu variabel hidrologi

terletak atau sama dengan nilai rata-ratanya. Variasi atau dispersi adalah besarnya

derajat atau besaran varian di sekitar nilai rata-ratanya. Cara mengukur besarnya

dispersi disebut pengukuran dispersi (Soewarno, 1995).

Adapun cara pengukuran dispersi antara lain:

a. Deviasi Standar (S)

b. Koefisien Skewness (Cs)

c. Pengukuran Kurtosis (Ck)

d. Koefisien Variasi (Cv)

a. Standar Deviasi (S)

Jika dirumuskan dalam suatu persamaan adalah sebagai berikut (Soewarno,

1995):

dimana,

S = standar deviasi

Xi = curah hujan minimum (mm/hari)

= curah hujan rata-rata (mm/hari)

n = lamanya pengamatan

b. Koefisien Skewness (Cs)

Kemencengan (Skewness) adalah ukuran asimetri atau penyimpangan

kesimetrian suatu distribusi. Jika dirumuskan dalam suatu persamaan adalah

sebagai berikut (Soewarno,1995):

dimana,

Cs = koefisien kemencengan

Xi = nilai variat

= nilai rata-rata

n = jumlah data

S = standar deviasi

c. Koefisien Kurtosis (Ck)

Kurtosis merupakan kepuncakan (peakedness) distribusi. Biasanya hal ini

dibandingkan dengan distribusi normal yang mempunyai Ck = 3 dinamakan

mesokurtik, Ck < 3 berpuncak tajam dinamakan leptokurtik, sedangkan Ck > 3

berpuncak datar dinamakan platikurtik.

Rumus koefisien kurtosis adalah (Soewarno, 1995):

dimana,

Ck = koefisien kurtosis

Xi = nilai variat

= nilai rata-rata

n = jumlah data

S = standar deviasi

d. Koefisien Variasi (Cv)

Koefisien variasi adalah nilai perbandingan antara deviasi standar dengan

nilai rata-rata hitung dari suatu distribusi. Koefisien variasi dapat dihitung

dengan rumus sebagai berikut (Soewarno, 1995):

dimana,

Cv = koefisien variasi

S = standar deviasi

= nilai rata-rata

b. Pemilihan Jenis Sebaran

Pengujian statistik dapat dilakukan untuk masing-masing syarat tersebut (Sri

Harto, 1993)

Tabel 2.1 Tabel Pedoman Pemilihan Sebaran

Didalam statistik dikenal beberapa jenis distribusi, diantaranya yang banyak

digunakan dalam hidrologi adalah:

a. Distribusi normal

b. Distribusi log normal

c. Distribusi gumbel

d. Distribusi log pearson III

Dengan mengikuti pola sebaran yang sesuai selanjutnya dihitung curah hujan

rencana dalam beberapa metode ulang yang akan digunakan untuk mendapatkan

debit banjir rencana.

a. Metode distribusi normal

Dalam analisis hidrologi distribusi normal banyak digunakan untuk

menganilisis frekuensi curah hujan, analisis statistik dari distribusi curah hujan

tahunan, debit rata-rata tahunan. Distribusi normal atau kurva normal disebut

pula distribusi Gauss.

dimana,

Xt = curah hujan rencana (mm/hari)

= curah hujan maksimum rata-rata (mm/hari)

Sx = standar deviasi =

z = faktor frekuensi (Tabel 2.1) (Ir. C. D. Soemarto, 1999)

Tabel 2.2 Nilai Koefisien Untuk Distribusi Normal

b. Metode distribusi log normal

Distribusi log normal, merupakan hasil transformasi dari distribusi normal,

yaitu dengan mengubah varian X menjadi nilai logaritmik varian X.

dimana,

Xt = besarnya curah hujan yang mungkin terjadi pada periode ulang T tahun

(mm/hari)

Sx = standar deviasi =

= curah hujan maksimum rata-rata (mm/hari)

Kt = standar variabel untuk periode ulang tahun (Tabel 2.2) (Ir. C. D. Soemarto,

1999)

Tabel 2.3 Nilai Koefisien Untuk Distribusi Log Normal

c. Metode distribusi gumbel

dimana,

Xt = curah hujan rencana dalam periode ulang T tahun (mm/hari)

= curah hujan rata-rata hasil pengamatan (mm/hari)

Yt = reduced variabel, parameter gumbel untuk periode T tahun (Tabel 2.5)

(Ir.C.D. Soemarto, 1999)

Yn = reduced mean, merupakan fungsi dari banyaknya data (n) (Tabel 2.3)

(Ir.C.D. Soemarto, 1999)

Sn = reduced standar deviasi, merupakan fungsi dari banyaknya data (n) (Tabel

2.4) (Ir.C.D. Soemarto, 1999)

Sx = standar deviasi =

Xi = curah hujan maksimum (mm)

n = lamanya pengamatan

Tabel 2.4 Reduced Mean (Yn)

Tabel 2.5 Reduced Standard Deviasi (Sn)

Tabel 2.6 Reduced Variate (Yt)

d. Metode Distribusi Log Pearson III

Bentuk distribusi log pearson tipe III merupakan hasil transformasi dari

distribusi pearson tipe III dengan menggantikan variat menjadi nilai logiritmik.

Nilai rata-rata :

Standar deviasi :

Koefisien kemencengan :

Logaritma debit dengan waktu balik yang dikehendaki dengan rumus:

dimana,

LogXt = logaritma curah hujan dalam periode ulang T tahun (mm/hari)

= jumlah pengamatan

n = jumlah pengamatan

Cs = koefisien kemencengan (Tabel 2.6) (Ir. C. D. Soemarto, 1999)

Tabel 2.7 Distribusi Log Pearson III untuk Koefisien Kemencengan Cs

c. Pengujian Kecocokan Jenis Sebaran

Pengujian kecocokan sebaran berfungsi untuk menguji apakah sebaran yang dipilih

dalam pembuatan duration curve cocok dengan sebaran empirisnya.

a. Metode Chi Kuadrat

Uji sebaran ini dimaksudkan untuk mengetahui distribusi-distribusi yang

memenuhi syarat untuk dijadikan dasar dalam menentukan debit banjir rencana

dengan periode ulang tertentu. Salah satu metode yang digunakan adalah

metode chi kuadrat.

Metode chi kuadrat ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

Penggambaran distribusi curah hujan dilakukan untuk setiap metode

distribusi.

Penggambaran distribusi ini dilakukan untuk mengetahui beda antara

frekuensi yang diharapkan (Ef) dengan frekuensi yang terbaca.

Sebelum penggambaran terlebih dahulu dihitung peluang (P) masing-

masing curah hujan rata-rata dengan rumus:

dimana,

P = peluang terjadinya curah hujan tertentu

m = nomor ranking curah hujan

n = jumlah data

Setelah plotting data selesai maka dibuat garis yang memotong daerah rata-

rata titik tersebut, nilai titik-titik merupakan nilai frekuensi yang terbaca

(Of), dan nilai pada garis adalah frekuensi yang diharapkan (Ef).

Menentukan parameter uji chi kuadrat hasil plotting data dengan rumus:

Menentukan parameter uji chi kuadrat sesungguhnya berdasarkan nilai

derajat kepercayaan sebesar 0,95 atau 95% (α=0,05 atau 5%) dan derajat

kebebasan (Dk) dimana:

Dk = K – (p+1)

K = jumlah data

P = probabilitas

(C.D. Soemarto, Ir, 1987, Hidrologi Teknik)

b. Metode Smirnov-Kolmogorov

Dikenal dengan uji kecocokan non parametric karena pengujiannya tidak

menggunakan fungsi distribusi tertentu.

Prosedurnya adalah sebagai berikut:

Urutkan data dari besar ke kecil atau sebaliknya dan tentukan peluangnya

dari masing-masing data tersebut.

Tentukan nilai variabel reduksi f(t).

Tentukan peluang teoritis P’(Xi) dari nilai f(t) dengan tabel.

Dari kedua nilai peluang tersebut tentukan selisih antara pengamatan dan

peluang teoritis.

Berdasarkan tabel nilai kritis Smirnov-Kolmogorov tentukan harga Do.

(C.D. Soemarto, Ir, 1987, Hidrologi Teknik)

Tabel 2.8 Wilayah Luas di bawah Kurva Normal Uji Smirnov-Kolmogorov untuk

α=0,05

Tabel 2.9 Nilai Kritis (Do) Smirnov-Kolmogorov

d. Intensitas Curah Hujan

Intensitas hujan adalah tinggi atau kedalaman air hujan per satuan waktu.

Sifat umum hujan adalah makin singkat hujan berlangsung intensitasnya cenderung

makin tinggi dan makin besar periode ulangnya makin tinggi pula intensitasnya.

Hubungan antara intensitas, lama hujan, dan frekuensi hujan biasanya dinyatakan

dalam lengkung Intensitas – Durasi – Freskuensi (IDF = Intensity – Duration –

Frequency Curve). Diperlukan data hujan jangka pendek, misalnya 5 menit, 10

menit, 30 menit, 60 menit dan jam-jaman untuk membentuk lengkung IDF. Data

hujan jenis ini hanya dapat diperoleh dari pos penakar hujan otomatis. Selanjutnya,

berdasarkan data hujan jangka pendek tersebut lengkung IDF dapat dibuat (Suripin,

2004).

Untuk menentukan debit banjir rencana (design flood) perlu didapatkan

harga suatu intensitas curah hujan terutama bila digunakan metode rasional.

Intensitas curah hujan adalah ketinggian curah hujan yang terjadi pada suatu kurun

waktu dimana air tersebut berkonsentrasi. Analisis intensitas curah hujan ini dapat

diproses dari data curah hujan yang telah terjadi pada masa lampau (Loebis, 1987).

Untuk menghitung intensitas curah hujan dapat digunakan beberapa rumus empiris

sebagai berikut:

a. Menurut Dr. Mononobe

Seandainya data curah hujan yang ada hanya curah hujan harian, maka

intensitas curah hujannya dapat dirumuskan (Loebis, 1987):

dimana,

I = intensitas curah hujan (mm/jam)

t = lamanya curah hujan (jam)

R24 = curah hujan maksimum dalam 24 jam (mm)

b. Menurut Sherman

Rumus yang digunakan (Soemarto, 1999):

dimana,

I = intensitas curah hujan (mm/jam)

t = lamanya curah hujan (menit)

a, b= konstanta yang tergantung pada lama curah hujan yang terjadi di daerah

aliran

n = banyaknya pasangan data i dan t

c. Menurut Talbot

Rumus yang dipakai (Soemarto, 1999):

dimana,

I = intensitas curah hujan (mm/jam)

t = lamanya curah hujan (menit)

a, b= konstanta yang terkandung pada lama curah hujan yang terjadi di daerah

aliran

n = banyaknya pasangan data i dan data t

d. Menurut Ishiguro

Rumus yang digunakan (Soemarto, 1999):

dimana,

I = intensitas curah hujan (mm/jam)

t = lamanya curah hujan (menit)

a, b= konstanta yang tergantung pada lama curah hujan yang terjadi di daerah

aliran.

n = banyaknya pasangan data i dan data t

iii. Perhitungan Debit Banjir

Dalam perhitungan debit banjir dalam perencanaan ini menggunakan metode

sebagai berikut:

a. Metode rasional

b. Metode hidrograf satuan sintetik gamma I

c. Metode FSR Jawa Sumatera

a. Metode rasional

Metode untuk memperkirakan laju aliran permukaan puncak yang umum

dipakai adalah metode Rasional USSCS (1973).

Metode ini sangat simpel dan mudah penggunaannya, namun penggunaannya

terbatas untuk DAS-DAS dengan ukuran kecil, kurang dari 300 ha (Goldman et.al.,

1986)

Qp = 0,00278 CIA

dimana,

Qp = laju aliran permukaan (debit) puncak dalam m3/detik.

C = koefisien aliran permukaan (0 ≤ C ≤ 1).

I = intensitas hujan dalam mm/jam, dan

A = luas DAS dalam hektar.

Koefisien limpasan (C), dapat diperkirakan dengan meninjau tata guna lahan.

Harga koefisien limpasan disajikan dalam tabel.

Tabel 2.9 Koefisien Limpasan

Sumber: (Subarkah, 1980)

Sumber: (Subarkah, 1980)

Sumber: (Loebis, 1984)

Metode lainnya yang didasarkan pada metode rasional dalam memperkirakan

puncak debit banjir di sungai adalah sebagai berikut:

a. Metode Melchior

b. Metode haspers

Perhitungan debit banjir untuk metode ini menggunakan persamaan-

persamaan sebagai berikut:

b. Metode hidrograf satuan sintetik Gamma I

Perhitungan hidrograf satuan sintetik gamma I menggunakan persamaan yang

dijelaskan pada langkah-langkah perhitungan sebagai berikut:

1) Menentukan data yang digunakan dalam perhitungan hidrograf sintetik gamma I

Sungai Blorong adalah sebagai berikut:

Luas DAS

Panjang sungai utama

Panjang sungai semua tingkat

Panjang sungai tingkat Satu

Jumlah sungai tingkat Satu

Jumlah sungai semua tingkat

Jumlah pertemuan sungai

Kelandaian sungai

Perhitungan kemiringan dasar sungai:

S = (Elev. Hulu – Elev. Hilir)/Panjang sungai

Indeks kerapatan sungai (D):

D = Panjang sungai semua tingkat/Panjang sungai tingkat Satu

Faktor sumber (SF) yaitu perbandingan antara jumlah panjang sungai tingkat

satu dengan jumlah panjang sungai semua tingkat.

Faktor lebar (WF) adalah perbandingan antara lebar DAS yang diukur dari

titik berjarak ¾ L dengan lebar DAS yang diukur dari titik yang berjarak ¼

L dari tempat pengukuran (WF).

Perbandingan antara luas DAS yang diukur di hulu garis yang ditarik tegak

lurus garis hubung antara stasiun pengukuran dengan titik yang paling dekat

dengan titik berat DAS melewati titik tersebut dengan luas DAS total

(RUA).

Faktor simetri ditetapkan sebagai hasil perkalian antara faktor lebar (WF)

dengan luas relatif DAS sebelah hulu (RUA).

Frekuensi sumber (SN) yaitu perbandingan antara antara jumlah segmen

sungai-sungai tingkat satu dengan jumlah segmen sungai semua tingkat.

2) Menghitung TR (time of resesion) dengan menggunakan persamaan berikut:

3) Menghitung debit puncak Qp dengan menggunakan persamaan berikut:

4) Menghitung waktu dasar TB (time base) dengan menggunakan persamaan

berikut:

5) Menghitung koefisien tampungan k dengan menggunakan persamaan sebagai

berikut:

6) Membuat unit hidrograf dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:

c. Metode FSR Jawa Sumatera

iv. Perhitungan kebutuhan fasilitas pereduksi debit

a. Sumur Resapan (Metode PU)

dimana,

D = durasi hujan (jam)

I = intensitas hujan (m/jam)

At = luas tadah hujan (m2), dapat berupa atap rumah atau permukaan tanah

yang diperkeras.

k = permeabilitas tanah (m/jam)

P = keliling penampang sumur (m)

As = luas penampang sumur (m2)

H = kedalaman sumur (m)

b. Sumur Resapan (Sunjoto, 1998)

dimana,

H = tinggi muka air dalam sumur (m)

F = faktor geometrik (m)

Q = debit air masuk (m3/dt)

T = waktu pengaliran (detik)

K = koefisien permeabilitas tanah (m/dt)

R = jari-jari sumur (m)

Qo = F.K.H

BAB III

ANALISA DAN PERHITUNGAN

i. Analisa data hujan, hujan rencana

Pengukuran dispersi

Tabel 3.1 Data Curah Hujan Maksimum

CURAH HUJAN

TAHUN JAN FEB MAR APRL MEI JUN JUL AGT SEPT OKT NOV DES

mm 1989 281 741 176 186 252 256 96 71 30 139 327 330mm 1990 667 82 300 119 98 139 186 172 150 18 120 205

mm 1991 247 662 110 241 87 4 5 1 4 22 208 466

mm 1992 207 137 206 178 163 77 6 186 134 314 257 165

mm 1993 924 184 282 180 50 124 18 47 120 71 20 106

mm 1994 439 160 429 210 26 25 0 1 0 66 178 473

mm 1995 241 325 246 33 308 136 13 0 76 84 474 322

mm 1996 220 400 111 204 104 59 95 141 68 328 300 393

mm 1997 690 212 344 287 73 30 1 6 0 268 109 411

mm 1998 145 140 100 269 88 169 127 108 112 224 102 230

Tabel 3.2 Parameter Statistik Curah Hujan

No Tahun

RH

(Xi-X)(Xi-

X)^2(Xi-X)^3 (Xi-X)^4

rencana

(mm)

Xi

1 1989 741 179.6 32256.2 5793206.34 1040459858

2 1990 667 105.6 11151.4 1177583.62 124352829.8

3 1991 662 100.6 10120.4 1018108.22 102421686.5

4 1992 314 -247 61206.8 -15142552.4 3746267470

5 1993 924 362.6 131479 47674198.4 17286664331

6 1994 473 -88.4 7814.56 -690807.104 61067347.99

7 1995 474 -87.4 7638.76 -667627.624 58350654.34

8 1996 400 -161 26050 -4204463.54 678600416

9 1997 690 128.6 16538 2126781.66 273504121

10 1998 269 -292 85497.8 -24999545 7309866965

Jumlah 5614 0 389752 12084882.5 30681555679

Rata2

(X)561.4

Macam pengukuran dispersi antara lain sebagai berikut:

1. Standar deviasi

Perhitungan standar deviasi digunakan rumus sebagai berikut:

= 208,1

2. Koefisien Skewness

Perhitungan koefisien skewness digunakan rumus sebagai berikut:

= 0,1862

3. Koefisien Kurtosis

Perhitungan koefisien kurtosis digunakan rumus sebagai berikut:

4. Koefisien Variasi

Perhitungan koefisien variasi digunakan rumus sebagai berikut:

= 0,3707

Pemilihan jenis sebaran

Ketentuan dalam pemilihan distribusi tercantum dalam tabel.

Tabel 3.3 Parameter Pemilihan Distribusi Curah Hujan

Jenis Sebaran Kriteria Hasil Keterangan

NormalCs ≈ 0

Ck = 3

Cs = 0,1862

Ck = 3,25Memenuhi

GumbelCs ≤ 1,1396

Ck ≤ 5,4002

Cs = 0,1862

Ck = 3,25Memenuhi

Log Pearson Tipe III Cs ≠ 0 Cs = 0,1862 Memenuhi

Log NormalCs ≈ 3Cv + Cv2 = 3

Ck = 5,383

Cs = 0,1862

Ck = 3,25Tidak memenuhi

Berdasarkan perbandingan hasil perhitungan dan syarat di atas, maka dapat dipilih jenis

distribusi yang memenuhi syarat, yaitu Distribusi Normal.

Pengujian Kecocokan Jenis Sebaran

Dalam hal ini menggunakan metode Chi-Kuadrat.

Perhitungan Chi-Kuadrat:

1. Jumlah kelas = 1 + 3,322 log n

= 1 + 3,322 log 10

= 4,322 ≈ diambil nilai 4 kelas

2. Derajat kebebasan (dk) = k – R – 1

= 4 – 2 – 1

= 1

Untuk dk = 2, signifikan (α) = 5%, maka dari tabel uji chi-kuadrat didapat harga X2

= 3,841.

3. Ef = n / k

= 10 / 4

= 2,5

4. Dx = (Xmax - Xmin) / (k - 1)

= (924 - 269) / (4 - 1)

= 218,333

5. Xawal = Xmin – (0,5 x Dx)

= 269 – (0,5 x 218,333)

= 159,833

6. Tabel perhitungan X2

Tabel 3.4 Perhitungan Uji Chi-Kuadrat

No Nilai Batasan Of Ef (Of - Ef)2

1 159,833 – 378,166 2 2,5 0,25 0,1

2 378,166 – 596,499 3 2,5 0,25 0,1

3 596,499 – 814,832 4 2,5 2,25 0,9

4 814,832 – 1033,165 1 2,5 2,25 0,9

Jumlah 2

Dari hasil perhitungan di atas didapat nilai X2 sebesar 2 yang kurang dari X2 pada

tabel uji chi-kuadrat yang besarnya adalah 3,841. Maka dari pengujian kecocokan

penyebaran distribusi normal dapat diterima.

Perhitungan Curah Hujan Maksimum

Untuk menentukan besarnya debit banjir rencana yang akan terjadi di Boja,

Semarang , maka terlebih dahulu dicari kemungkinan curah hujan harian

maksimum. Metode yang digunakan dalam perhitungan curah hujan maksimum ini

adalah metode normal.

Rumus:

dimana,

Xt = curah hujan rencana (mm/hari)

= curah hujan maksimum rata-rata (mm/hari)

Sx = standar deviasi =

z = faktor frekuensi (Tabel 2.1) (Ir. C. D. Soemarto, 1999)

Tabel 3.5 Nilai Koefisien Untuk Distribusi Normal

Berikut ini adalah salah satu perhitungan curah hujan harian maksimum

dengan menggunakan metode normal pada periode ulang 2 tahun.

Data yang ada:

= 561,4

Sx = 208,1

z = 0,00

Curah hujan maksimum:

= 561,4 mm

Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada tabel 3.6 di bawah ini:

NoPeriode Ulang

(Tahun)Sx z

Hujan Maksimum

(mm)

1 2 561,4 208,1 0,00 561,4

2 5 561,4 208,1 0,84 736,204

3 10 561,4 208,1 1,28 827,768

4 20 561,4 208,1 1,71 917,251

5 50 561,4 208,1 2,05 988,005

6 100 561,4 208,1 2,33 1046,373

ii. Analisa & Perhitungan Debit Banjir & Hidrograf Banjir Pra Pembangunan

1. Perhitungan Hidrograf Metode Rasional

Luas kawasan pra pembangunan : 100 ha

C : 0,30 (hutan berbukit 10%-30%)

tc = (0,885*L2/ S)0,385

L = 645 m = 0,6449 km

S = (El. Hulu – El. Hilir)/ Panjang Sungai

= (366 - 344)/ 645

= 0,096 m/m

tc = (0,885*0,64492/ 0,096)0,385

= 1,68 jam

I = 50 mm/jam (kala 2 tahunan)

Q = 0,002778 * C * I * A

= 0,002778 * 0,30 * 50 * 100

= 4,167 m3/detik

Untuk kala ulang 5, 25, 100 tahun

Kala ulang

(thn)

tc (jam) I (mm/jam) Q

5 1,68 117 9,7507

25 1,68 123 10,2508

100 1,68 140 11,6676

2. Perhitungan Hidrograf Satuan Sintetik Gamma I

Perhitungan Hidrograf Satuan Sintetik Gamma I menggunakan persamaan yang

dijelaskan pada langkah-langkah perhitungan sebagai berikut :

Menentukan data yang digunakan dalam perhitungan. hidrograf sintetik gamma I

DAS adalah sebagai berikut :

Luas DAS (A) = 0,1459 km²

Panjang sungai utama (L) = 0,649 km

Panjang sungai semua tingkat = 1,526 km

Panjang sungai tingkat satu = 0,877 km

Jumlah sungai tingkat 1 = 7

Jumlah sungai semua tingkat = 14

Jumlah pertemuan sungai (JN) = 6

Kelandaian sungai (S)

Perhitungan kemiringan dasar sungai :

S = (Elev. Hulu – Elev. Hilir)/Panjang sungai.

S = (366 – 304) / 644

S = 0.096

Indeks kerapatan sungai ( D )

D = 1,526 / 0,877

D = 1,74

Faktor sumber (SF) yaitu perbandingan antara jumlah panjang sungai tingkat 1

dengan jumlah panjang sungai semua tingkat

SF =0,877/1,526

SF = 0,5747

Faktor lebar (WF) adalah perbandingan antara lebar DAS yang diukur dari titik

berjarak ¾ L dengan lebar DAS yang diukur dari titik yang berjarak ¼ L dari

tempat pengukuran (WF)

Wu = 0,092 km

Wi = 0,0678 km

WF = 0,092/0,0678

WF = 1,356

Perbandingan antara luas DAS yang diukur di hulu garis yang ditarik tegak

lurus garis hubung antara stasiun pengukuran dengan titik yang paling dekat

dengan titik berat DAS melewati titik tersebut dengan luas

DAS total (RUA)

Au = 0,788 km²

RUA = A/Au

= 0,1459/0,788

= 0,185 km²

Faktor simetri ditetapkan sebagai hasil perkalian antara faktor lebar (WF)

dengan luas relatif DAS sebelah hulu (RUA)

SIM = WF x RUA

SIM = 1,356 × 0,185

SIM = 0,25086

Frekuensi sumber (SN) yaitu perbandingan antara jumlah segmen sungai –

sungai tingkat 1 dengan jumlah segmen sungai semua tingkat.

SN = 7/14

SN = 0,5

Menghitung TR (time of resesion) dengan menggunakan persamaan berikut :

TR = jam

Menghitung debit puncak QP dengan menggunakan persamaan berikut :

QP = 0,1836 . A0,5886 . TR 0,0986 . JN0,2381

= 0,1836 . 0,14590,5886 . 0,0986 . 60,2381

= 0,09456 m³/det

Menghitung waktu dasar TB (time base) dengan menggunakan persamaan

berikut :

TB = 27,4132 . TR 0,1457 . S- 0,0986 . SN 0,7344 . RUA0,2574

= 27,4132 . 1,54508 0,1457 . 0,096-0,0986 . 0,50,7344 . 0,1850,2574

= 14,326 jam

Menghitung koefisien tampungan k dengan menggunakan

persamaan sebagai berikut :

k = 0,5617 . A0,1798 . S −0,1446 . SF −1,0897 . D0,0452

= 0,5617 . 0,14590,1798 . 0,096-0,1446 . 0,5747-1,0897 . 1,740,0452

= 1,045 jam

Membuat unit hidrograf dengan menggunakan persamaan sebagai

berikut :

Tabel Perhitungan Resesi Unit Hidrograft (Jam) Qp k(Jam) -t/k Qt

0 0,09456 01 0,09456 1,045 -10,5753 2,415,E-06

2 0,09456 1,045 -21,1506 6,168,E-11

3 0,09456 1,045 -31,7259 1,575,E-15

4 0,09456 1,045 -42,3012 4,023,E-20

5 0,09456 1,045 -52,8765 1,027,E-24

6 0,09456 1,045 -63,4518 2,624,E-29

7 0,09456 1,045 -74,0271 6,701,E-34

8 0,09456 1,045 -84,6024 1,711,E-38

9 0,09456 1,045 -95,1777 4,371,E-43

10 0,09456 1,045 -105,753 1,116,E-47

11 0,09456 1,045 -116,328 2,851,E-52

12 0,09456 1,045 -126,904 7,281,E-57

13 0,09456 1,045 -137,479 1,860,E-61

14 0,09456 1,045 -148,054 4,749,E-66

15 0,09456 1,045 -158,629 1,213,E-70

16 0,09456 1,045 -169,205 3,098,E-75

17 0,09456 1,045 -179,78 7,911,E-80

18 0,09456 1,045 -190,355 2,020,E-84

19 0,09456 1,045 -200,931 5,160,E-89

20 0,09456 1,045 -211,506 1,318,E-93

21 0,09456 1,045 -222,081 3,366,E-98

22 0,09456 1,045 -232,657 8,595,E-103

23 0,09456 1,045 -243,232 2,195,E-107

24 0,09456 1,045 -253,807 5,606,E-112

iii. Analisa & Perhitungan Debit Banjir & Hidrograf Banjir Pasca Pembangunan

1. Perhitungan Hidrograf Metode Rasional

Luas kawasan pra pembangunan : 100 ha

C : 0,40 (perkampungan)

: 0,50 (industri ringan)

: (0,40 * 50 + 0,50 * 50)/ 100

: 0,45

tc = (0,885*L2/ S)0,385

L = 645 m = 0,6449 km

S = (El. Hulu – El. Hilir)/ Panjang Sungai

= (366 - 344)/ 645

= 0,096 m/m

tc = (0,885*0,64492/ 0,096)0,385

= 1,68 jam

I = 50 mm/jam (kala 2 tahunan)

Q = 0,002778 * C * I * A

= 0,002778 * 0,45 * 50 * 100

= 6,2505 m3/detik

Untuk kala ulang 5, 25, 100 tahun

Kala ulang

(thn)

tc (jam) I Q

5 1,68 117 14,6262

25 1,68 123 15,3762

100 1,68 140 17,5014

2. Perhitungan Hidrograf Satuan Sintetik Gamma I

Perhitungan Hidrograf Satuan Sintetik Gamma I menggunakan persamaan yang

dijelaskan pada langkah-langkah perhitungan sebagai berikut :

Menentukan data yang digunakan dalam perhitungan. hidrograf sintetik gamma I

DAS Kali Ketro adalah sebagai berikut :

Luas DAS (A) = 0,2084 km²

Panjang sungai utama (L) = 0,649 km

Panjang sungai semua tingkat = 1,526 km

Panjang sungai tingkat satu = 0,877 km

Jumlah sungai tingkat 1 = 7

Jumlah sungai semua tingkat = 14

Jumlah pertemuan sungai (JN) = 6

Kelandaian sungai (S)

Perhitungan kemiringan dasar sungai :

S = (Elev. Hulu – Elev. Hilir)/Panjang sungai.

S = (366 – 304) / 644

S = 0,096

Indeks kerapatan sungai ( D )

D = 1,526 / 0,877

D = 1,74

Faktor sumber (SF) yaitu perbandingan antara jumlah panjang sungai tingkat

1 dengan jumlah panjang sungai semua tingkat

SF =0,877/1,526

SF = 0,5747

Faktor lebar (WF) adalah perbandingan antara lebar DAS yang diukur dari

titik berjarak ¾ L dengan lebar DAS yang diukur dari titik yang berjarak ¼

L dari tempat pengukuran (WF)

Wu = 0,092 km

Wi = 0,0678 km

WF = 0,092/0,0678

WF = 1,356

Perbandingan antara luas DAS yang diukur di hulu garis yang ditarik tegak

lurus garis hubung antara stasiun pengukuran dengan titik yang paling dekat

dengan titik berat DAS melewati titik tersebut dengan luas

DAS total (RUA)

Au = 0,788 km²

RUA = A/Au

= 0,2084/0,788

= 0,2645 km²

Faktor simetri ditetapkan sebagai hasil perkalian antara faktor lebar (WF)

dengan luas relatif DAS sebelah hulu (RUA)

SIM = WF x RUA

SIM = 1,356 × 0,2645

SIM = 0,3587

Frekuensi sumber (SN) yaitu perbandingan antara jumlah segmen sungai –

sungai tingkat 1 dengan jumlah segmen sungai semua tingkat.

SN = 7/14

SN = 0,5

Menghitung TR (time of resesion) dengan menggunakan persamaan berikut :

TR=

jam

Menghitung debit puncak QP dengan menggunakan persamaan berikut :

QP = 0,1836 . A0,5886 . TR 0,0986 . JN0,2381

= 0,1836 . 0,20840,5886 . 0,0986 . 60,2381

= 0,11747 m³/det

Menghitung waktu dasar TB (time base) dengan menggunakan persamaan

berikut :

TB = 27,4132 . TR 0,1457 . S- 0,0986 . SN 0,7344 . RUA0,2574

= 27,4132 . 1,6601 0,1457 . 0,096-0,0986 . 0,50,7344 . 0,26450,2574

= 15,8722 jam

Menghitung koefisien tampungan k dengan menggunakan

persamaan sebagai berikut :

k = 0,5617 . A0,1798 . S −0,1446 . SF −1,0897 . D0,0452

= 0,5617 . 0,20840,1798 . 0,096-0,1446 . 0,5747-1,0897 . 1,740,0452

= 1,1148 jam

Membuat unit hidrograf dengan menggunakan persamaan

sebagai berikut :

Tabel Perhitungan Resesi Unit Hidrograf

t (Jam) Qp k(Jam) t/k Qt

0 0,11747     0

1 0,11747 1,1148 -8,51281 2,360,E-05

2 0,11747 1,1148 -17,0256 4,740,E-09

3 0,11747 1,1148 -25,5384 9,522,E-13

4 0,11747 1,1148 -34,0512 1,913,E-16

5 0,11747 1,1148 -42,5641 3,842,E-20

6 0,11747 1,1148 -51,0769 7,718,E-24

7 0,11747 1,1148 -59,5897 1,550,E-27

8 0,11747 1,1148 -68,1025 3,115,E-31

9 0,11747 1,1148 -76,6153 6,256,E-35

10 0,11747 1,1148 -85,1281 1,257,E-38

11 0,11747 1,1148 -93,6409 2,525,E-42

12 0,11747 1,1148 -102,154 5,071,E-46

13 0,11747 1,1148 -110,667 1,019,E-49

14 0,11747 1,1148 -119,179 2,046,E-53

15 0,11747 1,1148 -127,692 4,111,E-57

16 0,11747 1,1148 -136,205 8,258,E-61

17 0,11747 1,1148 -144,718 1,659,E-64

18 0,11747 1,1148 -153,231 3,332,E-68

19 0,11747 1,1148 -161,743 6,693,E-72

20 0,11747 1,1148 -170,256 1,345,E-75

21 0,11747 1,1148 -178,769 2,701,E-79

22 0,11747 1,1148 -187,282 5,426,E-83

23 0,11747 1,1148 -195,795 1,090,E-86

24 0,11747 1,1148 -204,307 2,189,E-90

iv. Perhitungan Kebutuhan Fasilitas Pereduksi Debit (Tampungan

dan/ atau Resapan)

Drainase dengan sumur resapan

Air dari atap masuk sumur resapan:

Atap : 70 m2 (per rumah)

C : 0,95 (atap)

Td = 2 jam, I = 48 mm/jam

Q max dari atap = 0,002778 * 0,95 * 48 * 70 * 10-4

= 0,8867 * 10-3 m3/detik

F = 5,5 R

Ambil diameter sumur 1m, jari-jari R = 0,50 m

F = 5,5 * 0,5 = 2,75m

K = 1,5 * 10-4m/detik (permeabilitas tanah)

H = Q/FK (1 – e-FKT/ πR^2)

= 1,27 * 10-3 / 2,75 * 1,5 * 10-4 (1 – e-2,75 * 1,5 * 10^-4 * 7200 / π * 0,5^2)

= 3,0 meter

Jadi sumur yang diperlukan tiap rumah berdiameter 1 meter kedalaman 3 meter.

Air hujan yang masuk ke saluran drainase:

Air berasal dari halaman dan jalan (jalan dibuat dari paving block, C = 0,50):

Luas halaman = 30 m2 (per rumah)

Luas jalan = 35 m2

C gabungan = (30*0,1 + 35*0,5) / 65

= 0,32

Q = 0,002778 * C * I * A

= 0,002778 * 0,32 * 50 * 70

= 3,1114 m3/detik

Pengurangan debitnya sebesar: 6,2505 – 3,1114 = 3,1391 m3/detik, atau 50,22%.

Kala Ulang

(thn)

Tc (jam) I (mm/jam) Q (m3/detik) Pengurangan

5 1,68 117 7,2805 50,22%

25 1,68 123 7,6539 50,22%

100 1,68 140 8,7118 50,22%

BAB IV

SIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

1. Pengembangan suatu kawasan akan menyebabkan perbedaan debit banjir antara

sebelum adanya pengembangan dan sesudah adanya pengembangan kawasan

tersebut.

2. Dari perhitungan pada bab analisis dan perhitungan didapatkan bahwa limpasan air

hujan sebelum adanya pembangunan adalah 4,167 m3/detik, limpasan air setelah

adanya pembangunan adalah 6,2505 m3/detik, limpasan air setelah adanya fasilitas

pereduksi debit adalah 3,1114 m3/detik.

4.2 Saran

1. Pengembangan suatu kawasan hendaknya disertai dengan pertimbangan adanya

ruang terbuka hijau dan fasilitas pereduksi debit untuk mereduksi adanya limpasan

yang berlebih ketika musim hujan, dan untuk ketersediaan air tanah.