25
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Film adalah medium komunikasi massa yang ampuh. Bukan saja untuk hiburan tetapi juga untuk penerangan dan pendidikan. Dalam ceramah- ceramah penerangan atau pendidikan kini banyak yang menggunakan media film sebagai alat pembantu untuk memberikan penjelasan. Melihat keberadaan film yang memiliki daya tarik kemasan gambar bergerak, warna, bentuk dan suara dengan aspek alur cerita, pemeran, dan setting, film mendapat tempat tersendiri. Film dapat memproduksi pesan yang akan dikomunikasikan lewat pemanfaatan teknologi kamera, warna, dialog, sudut pengambilan gambar, musik dan suara menjadi tampilan audio dan visual yang terekspresikan menjadi sebuah karya seni dan sastra yaitu bagaimana adegan satu dengan adegan yang lain dirangkai membentuk cerita film sehingga isi pesan yang disampaikan mudah dipahami oleh penonton. Film merupakan perwujudan dari seluruh realitas kehidupan dunia yang begitu luas dalam masyarakat, oleh karenanya, film mampu menumbuhkan imajinasi, ketegangan, ketakutan dan benturan emosional khalayak penonton, seolah mereka ikut merasakan dan menjadi bagian dari cerita film tersebut. Selain itu isi pesan film dapat menimbulkan aspek kritik sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, norma kehidupan dan hiburan bagi khalayak penonton. Saat ini banyak sekali film-film maupun tayangan televisi yang menampilkan atau mengangkat budaya etnis daerah dalam cerita. Sejak lama latar belakang etnis, budaya dan agama yang beragam menjadi bahan baku bagi kisah fiksi, termasuk film cerita di Indonesia, misal film Ca Bau Kan, Jangan Panggil Aku Cina. Tidak hanya mengangkat latar belakang etnis yang berbeda, film-film seperti Ayat-ayat Cinta, Cin(t)a menghadirkan sebuah kisah cinta dengan latarbelakang agama dan etnik yang berbeda. Dalam hal

BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67783/potongan/S1...berbeda, film-film seperti Ayat-ayat Cinta, Cin(t)a menghadirkan sebuah kisah cinta dengan latarbelakang

  • Upload
    ledung

  • View
    234

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Film adalah medium komunikasi massa yang ampuh. Bukan saja untuk

hiburan tetapi juga untuk penerangan dan pendidikan. Dalam ceramah-

ceramah penerangan atau pendidikan kini banyak yang menggunakan media

film sebagai alat pembantu untuk memberikan penjelasan. Melihat keberadaan

film yang memiliki daya tarik kemasan gambar bergerak, warna, bentuk dan

suara dengan aspek alur cerita, pemeran, dan setting, film mendapat tempat

tersendiri. Film dapat memproduksi pesan yang akan dikomunikasikan lewat

pemanfaatan teknologi kamera, warna, dialog, sudut pengambilan gambar,

musik dan suara menjadi tampilan audio dan visual yang terekspresikan

menjadi sebuah karya seni dan sastra yaitu bagaimana adegan satu dengan

adegan yang lain dirangkai membentuk cerita film sehingga isi pesan yang

disampaikan mudah dipahami oleh penonton.

Film merupakan perwujudan dari seluruh realitas kehidupan dunia

yang begitu luas dalam masyarakat, oleh karenanya, film mampu

menumbuhkan imajinasi, ketegangan, ketakutan dan benturan emosional

khalayak penonton, seolah mereka ikut merasakan dan menjadi bagian dari

cerita film tersebut. Selain itu isi pesan film dapat menimbulkan aspek kritik

sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, norma kehidupan dan hiburan bagi

khalayak penonton.

Saat ini banyak sekali film-film maupun tayangan televisi yang

menampilkan atau mengangkat budaya etnis daerah dalam cerita. Sejak lama

latar belakang etnis, budaya dan agama yang beragam menjadi bahan baku

bagi kisah fiksi, termasuk film cerita di Indonesia, misal film Ca Bau Kan,

Jangan Panggil Aku Cina. Tidak hanya mengangkat latar belakang etnis yang

berbeda, film-film seperti Ayat-ayat Cinta, Cin(t)a menghadirkan sebuah

kisah cinta dengan latarbelakang agama dan etnik yang berbeda. Dalam hal

2

ini, film-film Indonesia yang menggunakan tema-tema kebudayaan, etnik, dan

agama, akan menjadi sebuah cara pandang tersendiri tentang identitas

masyarakat dalam gambaran kehidupannya melalui media visual yang akan

ditangkap oleh para khalayak penonton. Keturunan Cina paling sering

diangkat ke dalam sebuah film. Padahal seperti yang kita ketahui, banyak

sekali keturunan-keturunan etnik dan budaya di Indonesia yang dapat diangkat

ke dalam sebuah film. Salah satunya adalah keturunan Arab yang terdapat

dalam film 3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta.

Di sisi lain, film ini juga mengangkat tema kebudayaan Arab yang

kental. Adalah seorang pemuda bernama Rosid yang hidup dalam keluarga

keturunan Arab yang sudah bertahun-tahun tinggal di Condet, Jakarta Timur.

Sebagai seorang laki-laki keturunan Arab, Rosid (Reza Rahadian) memiliki

wajah yang khas Timur Tengah, berhidung mancung dan berperawakan tinggi.

Hanya saja, yang membedakan Rosid dengan keluarganya adalah

keinginannya untuk memanjangkan rambutnya yang keriting. Karena

keinginannya itu pula Rosid tidak bisa memakai peci sebagaimana yang biasa

dikenakan oleh keluarga muslim, termasuk keluarga keturunan Arab di Betawi

(sekarang disebut dengan Jakarta).

Diadaptasi dari 2 novel cerdas karya Ben Sohib, Da Peci Code dan

Rosid dan Delia, film ini merepresentasikan kompleksitas keberagaman negeri

bernama Indonesia. Penggambaran kompleksitas, yang menjadi keunggulan

film ini percampuran etnik, budaya dengan agama dalam film ini

memperlihatkan sebuah sifat masyarakat Indonesia dalam berbagai kelas

sosial. Kita bisa lihat bahwa keluarga Rosid jelas sekali merupakan keluarga

keturunan Arab yang sudah berakulturasi dan menggunakan dialek Betawi

sebagai bahasa sehari-hari. Sementara itu Delia digambarkan berlatarbelakang

Sulawesi Utara dan bercakap dengan bahasa Indonesia yang bercampur

Bahasa Inggris untuk ungkapan-ungkapan sederhana. Mereka berasal dari

kelas sosial berbeda, dimana keluarga Rosid adalah pedagang kecil di sebuah

pasar tradisional, sedangkan keluarga Delia digambarkan berlatar kelas

menengah atas dengan rumah berpagar besi dan berhalaman luas serta dengan

3

mudah mengirim anak mereka bersekolah di Amerika. Film ini

menggambarkan bahwa kedua kelas sosial berbeda itu dalam menjalani hidup.

Dapat kita lihat dalam film tersebut, bahwa sesungguhnya Indonesia

adalah negara yang multietnik dan multisuku-budaya. Ada yang asli pribumi,

dan ada pula yang tidak. Salah satu etnis atau komunitas bukan pribumi

tersebut adalah komunitas keturunan Arab. Di samping itu, ada komunitas

Tionghoa. Umum diketahui bahwa kendatipun komunitas Arab bukan

penduduk asli Nusantara, mereka memiliki peranan penting dalam perjalanan

sejarah bangsa ini, mulai ketika bangsa ini masih sebagai imagined community

pada saat kolonialisme berlangsung, era kemerdekaan, hingga pada era

sekarang ini. Komunitas keturunan Arab ini juga mendiami salah satu kota

yaitu Betawi, atau yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan Jakarta.

Tarian Zapin dan marawis yang terdapat dalam salah satu adegan

dalam film ini merupakan kebudayaan Arab. Mendengar irama marawis kita

akan dibawa pada suasana Arab yang kental. Wajar karena kesenian ini sendiri

memang berasal dari negeri tersebut. Bersama dengan Gambus, masuknya

marawis ke Indonesia bisa dikatakan melewati dua pintu. Di Jakarta sendiri

dikenal adanya kaum Ulaiti. Yaitu keturunan orang-orang arab asal

Hadramaut, Yaman Selatan yang datang membanjiri pesisir nusantara sejak

dua abad lalu. desakan ekonomi dan keinginan berdakwah membuat mereka

mendatangi Indonesia.

Sejak pertengahan abad 19 dan awal abad 20 masyarakat keturunan

Arab sudah menetap di daerah Betawi atau yang lebih dikenal dengan Jakarta.

Umumnya mereka berasal dari darerah Hadramaut dan Aden yang sekarang

dikenal dengan nama Yaman Selatan. Mereka datang ke Jakarta untuk

berdagang. Kemudian mereka diharuskan tinggal di tempat tertentu yang

sudah ditetapkan oleh pemerintah Belanda yang kemudian dikenal sebagai

pemukiman kampung Arab. Selain itu, mereka juga dihimpun dalam

kelompok-kelompok yang tergantung dari jumlah banyaknya orang Arab yang

tinggal di daerah tersebut (Algadri 1984, Van den Berg 1989, dalam Zeffry,

4

2004: 17). Sebagian masyarakat Arab tersebut kemudian menikah dengan

pribumi, dan kemudian muncul kebudayaan Arab campuran.

Untuk bisa membaur dengan warga Jakarta, perpaduan bahasa pun

terjadi. Dulu kaum Ulaiti ini masih mengandalkan bahasa Arabnya untuk

berkomunikasi. Tapi lambat laun mulai bercampur aduk dengan bahasa

betawi. Contoh nyata adanya pengaruh arab dalam bahasa betawi adalah

penggunaan istilah. ―Ane‖ dan ―Ente‖ yang memang digunakan keluarga

Rosid dalam pergaulannya sehari-hari dalam film 3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta ini.

Penyebaran musik dan budaya Arab ke Jakarta bisa dikatakan

memiliki pola yang sama dengan penyebaran budaya India. Yaitu melalui

kunjungan orang-orangnya langsung maupun lewat media hiburan. Jika

beberapa tahun lalu, kita begitu banyak menyaksikan tayangan film India di

televisi begitu pula dengan budaya arab. Dulu, di kawasan Sawah Besar,

Jakarta Pusat terdapat Alhambra Theatre. Yaitu bioskop yang mengkhususkan

diri untuk memutar film-film mesir. Dari tontonan tersebut, rupanya warga

lokal semakin akrab dengan seni dan budaya Mesir-Arab.

Sebuah film hendaknya memperhatikan segi sosial dan budaya bangsa

yang menyangkut identitas bangsa secara menyeluruh. Dan dalam film 3 Hati,

2 Dunia, 1 Cinta, merupakan film yang memiliki tematikal tentang

masyarakat keturunan Arab, yang digambarkan dalam konteks sosio kultural

dalam masyarakat Indonesia. Sebagai kebudayaan Indonesia, keturunan Arab

juga merupakan salah satu kebudayaan bangsa yang harus diintegrasikan

dengan kebudayaan masyarakat Indonesia.

Film 3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta akan menjadi sebuah cara pandang

tersendiri tentang representasi keturunan Arab dalam gambaran kehidupannya

melalui media visual yang akan ditangkap oleh khalayak. Kehadiran film yang

mengangkat keturunan Arab ini merupakan fenomena yang menarik dan

jarang diteliti dimana dalam film tersebut terdapat simbol-simbol identitas

yang ditonjolkan oleh masyarakat Jakarta keturunan Arab. Namun perlu

diketahui bagaimanakah film ini merepresentasikan simbol-simbol keturunan

Arab di Jakarta.

5

Menurut Stuart Hall (1997 : 15, dalam Dewabrata, 2004: 26), konsep

representasi menempati tempat yang penting dalam studi tentang budaya.

Stuart Hall (dalam Budianta, 2007: 120) mengatakan bahwa identitas budaya

merupakan suatu produksi yang tidak pernah tuntas, selalu dalam proses, dan

selalu dibangun di dalam, bukan di luar representasi. Identitas bukanlah

esensi, melainkan sejumlah atribut identifikasi yang menunjukkan bagaimana

kita diposisikan dan memposisikan diri dalam masyarakat, karenanya tidak

bisa tidak terkait dengan aspek budaya dan kesejarahan. Karenanya, identitas

tidak bersifat statis, selalu dikonstruksi dalam ruang dan waktu, serta identitas

bersifat kompleks dan majemuk.

Masalah representasi dan narasi sangat penting dalam film ini. Hal ini

menyangkut masalah otoritas penulis sebagai pengirim, penonton sebagai

penerima, dan gambar-gambar yang dipilih sebagai pesan yang ingin

disampaikan. Untuk itu peneliti ingin meneliti lebih lanjut tentang

Representasi keturunan Arab di Jakarta dalam Film 3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta‖.

Pentingnya hal ini adalah untuk menjadikan analisis semiotik sebagai sarana

untuk menganalisa peristiwa, kejadian yang dianggap sebagai tanda dari

proses komunikasi.

B. RUMUSAN MASALAH

Dari latarbelakang tersebut dapat disimpulkan rumusan masalah yang

ingin diteliti adalah ―Bagaimana Representasi Keturunan Arab di Jakarta

dalam film 3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta?‖

C. TUJUAN PENELITIAN

1. Untuk mengetahui bagaimana representasi keturunan Arab di Jakarta

dalam film 3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta.

2. Untuk mengetahui relevansi yang ada antara film dan realita yang terjadi

di Masyarakat

6

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi tambahan bagi masalah

penelitian selanjutnya terutama yang berhubungan dengan studi perfilman.

2. Penelitian ini diharapkan menjadi masukan bagi para pembuat film untuk

lebih berkreasi dalam memproduksi sebuah film sehingga lebih berkualitas

dan berbobot, baik dari segi visual maupun cerita yang lebih menarik

maka pesan dapat tersampaikan dengan baik serta dapat meningkatkan

kesadaran masyarakat tentang multikulturalisme.

E. OBJEK PENELITIAN

Objek penelitian ini adalah Film 3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta yang

disutradaari oleh Beni Setiawan. Film berdurasi 100 menit ini terdiri dari

banyak scene. Dari scene-scene yang terdapat di dalam film ini, penulis

mengkhususkan pada scene yang berkaitan dengan simbol-simbol keturunan

Arab di Jakarta.

F. KERANGKA PEMIKIRAN

1. Film Sebagai Media Komunikasi Massa

Seiring dengan perkembangan jaman kebutuhan akan informasi

dalam masyarakat semakin meningkat. Media yang digunakan tentu saja

media yang dapat mencangkup orang banyak. Pada awal

perkembangannya media massa yang populer adalah surat kabar.

Kemudian dengan berkembangnya teknologi sinematografi muncul film

sebagai media informasi massa yang baru, yang dinilai cukup efektif

memberikan informasi kepada khalayak massa karena bersifat audio-

visual.

Sekarang film merupakan media komunikasi massa paling populer.

Seiring dengan munculnya kembali bioskop-bioskop dan didukung dengan

kemajuan teknologi film, kini film telah menemukan kembali ruhnya.

Bahkan di kota-kota besar film telah menjadi kebutuhan dan gaya hidup,

7

kebutuhan akan hiburan dan informasi ditengah-tengah padatnya aktifitas

kehidupan masyarakat massa di era globalisasi ini. Hal ini terjadi karena

sebagai bentuk karya seni, film dapat berpengaruh dalam memperkaya dan

sebagai referensi pengalaman hidup, dapat menjadi pendidik, dan bisa juga

menjadi media komunikasi yang menakutkan bila membawa pengaruh

yang buruk dalam pesan film tersebut.

Sebagai media komunikasi massa, maka film merupakan sebuah

pesan yang dikomunikasikan kepada khalayak luas atau kepada sejumlah

besar orang. Secara garis besar para ahli memetakan dua sisi relasi antara

media dengan masyarakat, sisi pertama fokus perhatiannya pada teori yang

berkaitan dengan relasi media-masyarakat, perhatian terhadap cara media

digunakan di masyarakat dan pengaruh timbal balik yang lebih besar

antara struktur sosial dan media. Pada sisi yang kedua fokus perhatiannya

pada relasi media-audiens dengan member penekanan pada pengaruh

kelompok dan individu serta hasil dari transaksi media (Junaedi, 2007:

15).

Film akan mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan

muatan pesan di baliknya, tanpa pernah berlaku yang sebaliknya. Karena

film merupakan potret dari masyarakat dimana film itu dibuat. Film selalu

merekam realitas yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat, dan

kemudian menampilkannya keatas layar (Irwanto, dalam Sobur, 2006:

127).

Menurut M. Alwi Dahlan seperti yang dikutip oleh Bestantia dalam

Potret Etnik Cina dalam Film Indonesia, keunggulan film sebagai media

komunikasi massa memiliki ciri-ciri:

a. Sifat informasi. Film lebih dapat menyajikan infrmasi yang

matang dalam konteks yang relatif lebih utuh dan lengkap. Pesan-

pesan film tidak bersifat topikal dan terputus-putus tetapi dapat

ditunjang oleh pengembangan masalah yang tuntas.

b. Kemampuan distorsi. Sebagai media informasi film dibatasi oleh

ruang dan waktu tertentu. Untuk mengatasinya menggunakan

‖distorsi‖ dalam proses konstruksinya, baik di tingkat fotografi

ataupun pemaduan gambar, yang dapat memampatkan informasi,

membesarkan ruang atau melompat batas waktu.

8

c. Situasi komunikasi. Film dapat membawakan situasi komunikasi

yang khas yang menambah intensitas keterlibatan khalayak. Film

dapat menimnbulkan keterlibatan yang seolah-olah sangat intim

dengan memberikan gambar wajah atau bagian badan yang sangat

dekat.

d. Kredibilitas. Situasi komunikasi film dan keterlibatan emosional

penonton dapat menambah kredibilitas pada suatu produk film.

Karena penyajian film disertai oleh perangkat kehidupan yang

mendukung (pranata sosial, manusia dan perbuatannya, hubungan

antara peran dan sebagainya), umumnya penonton dengan mudah

mempercayai keadaan yang digambarkan walaupun kadang-

kadang tidak logis atau tidak berdasar kenyataan (anonim, 2004:

19).

Bahasa dalam film adalah kombinasi antara bahasa suara dan

bahasa gambar. Dalam teori komunikasi, film mengandung pesan yang

disampaikan kepada komunikan. Makna yang diterima komunikan tidak

selalu sama, sistem pemaknaan dalam film berkaitan erat dengan khalayak

yang menontonnya. Oleh karena itu film dimaknai berbeda-beda oleh tiap

individu berdasarkan kemampuan berfikirnya yang mungkin karena faktor

pengalaman masa lalu, tingkat pendidikan, dan budaya yang dimilikinya

sehingga pada suatu film akan memiliki pemaknaan yang berbeda-beda

terhadap realitas yang ada oleh masing-masing individu. Keberhasilan

seseorang dalam memahami film secara utuh sangat dipengaruhi oleh

pemahaman orang tersebut terhadap aspek naratif serta aspek sinematik

dari sebuah film. Jadi jika sebuah film dianggap buruk bisa jadi bukan

karena film tersebut buruk, tapi karena kita sendiri masih belum mampu

memahaminya secara utuh (Pratista, 2008: 3).

Bagi para seniman, film dapat dijadikan sebagai sebuah karya seni,

bagi dunia pendidikan, film dapat digunakan untuk tujuan pendidikan dan

penerangan, serta menambah kajian-kajian diskusi dalam bidang

komunikasi seperti film 3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta yang sedang dibahas.

Film sebagai suatu media penyampai pesan sekaligus sebagai sebuah

produk budaya, film juga tak lepas dari kekuasaan yang dimiliki pembuat

film sebagai komunikator pesan untuk memasukkan berbagai nilai maupun

elemen yang mendasari hal yang tampak dalam film tersebut. Begitu pula

9

dengan film 3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta yang menjadi objek dari penelitian

ini yang mengangkat identitas keturunan Arab yang tinggal di Jakarta.

2. Representasi dalam Film

Telah banyak studi yang dibuat, yang berasal dari pendekatan

cultural studies, untuk memahami hubungan antara film dan kebudayaan,

yang menghasilkan tema-tema seperti: film and society, film and politics,

film and mass culture, film and pop culture, dan sebagainya. Kajian kultur

ini menganalisis cara-cara dimana makna-makna sosial dihasilkan melalui

kebudayaan (sistem nilai dan cara hidup masyarakat) yang terungkap pada

bentuk-bentuk dan praktek-praktek seperti televisi, radio, film, musik,

olahraga, serta fashion. Barthes dan Althusser kemudian mendefinisikan

ulang makna ‖kebudayaan‖ sebagai proses-proses yang mengkonstruksi

cara hidup suatu masyarakat melalui sistem-sistem dalam masyarakat yang

memproduksi makna, rasa, atau kesadaran, terutama sistem media

representasi yang menyajikan gambar-gambar.

Sebagai salah satu media massa, film masuk ke dalam kategori

media representasi tersebut. Sebagai mana media representasi lainnya, film

mampu mengkonstruksi dan menghadirkan kembali realitas yang terdapat

dalam masyarakat melalui sistem kode, konvensi, mitos dan ideologi

budaya masyarakat secara spesifik. Pembuat film menggunakan konvensi-

konvensi representasi dan segala perlengkapan yang tersedia di dalam

kebudayaannya untuk membuat sesuatu yang segar tapi familiar, baru tapi

bersifat umum, individual namun representatif ( Turner, 1999: 152-153).

Menurut Tim O‘Sullivan, dalam Noviani (2006) istilah representasi

memiliki dua pengertian. Pertama, representasi sebagai sebuah proses

sosial dari representing. Kedua, representasi sebagai ―produk‖ dari proses

sosial representing. Istilah yang pertama merujuk pada prosses sedangkan

yang kedua merupakan produk dari pembuatan tanda yang mengacu pada

suatu makna (Noviani, 2002:61).

10

Representasi merupakan salah satu praktek utama yang

memproduksi kebudayaan dan sebuah posisi kunci dalam sesuatu yang

disebut ―circuit of culture‖ ( Hall, 1997:1). Lingkaran kebudayaan terdiri

dari lima elemen yaitu identitas, produksi, konsumsi, regulasi, dan

representasi, yang masing-masing mempunyai hubungan timbal balik satu

sama lain. Secara sederhana, kebudayaan adalah tentang ―shared

meanings‖, ia merupakan sebuah proses, kesatuan praktek-praktek yang

berkenaan dengan produksi dan pertukaran makna di antara anggota

masyarakat atau kelompok. Dan, bahasa adalah sebuah media dimana kita

dapat menangkap dan memahami hal-hal dimana di dalamnya makna

diproduksi dan dipertukarkan. Bahasa mampu melakukan hal tersebut

karena ia beroperasi sebagai sebuah sistem representasi, demikian juga

halnya film bekerja.

Lebih jauh lagi Hall menyatakan bahwa representasi merupakan

sistem penghubung antara bahasa (baik secara verbal mapun visual) dan

kultur. Terdapat dua prinsip representasi sebagai produksi makna melalui

bahasa yaitu:

a. Mengartikan dalam pengertian menjelaskan atau

menggambarkan sesuatu dalam pikiran dengan sebuah gambaran

imajinasi untuk menempatkan persamaan dalam pikiran kita.

b. Representasi menjelaskan konstruksi makna sebuah simbol

Dengan prinsip ini berarti representasi digunakan untuk

menjelaskan (konstruksi) makna sebuah simbol, sehingga kita

dapat mengkomunikasikan makna objek melalui bahasa kepada

orang lain yang bisa mengerti dan memahami konvensi bahasa

yang sama ( Hall dalam Yusuf, 2005: 10-11).

Menurut Stuart Hall, representasi menunjuk pada proses maupun

produk dari pemaknaan suatu tanda. Ia merupakan bagian yang esensial

dari proses dimana makna dihasilkan atau diproduksi, dan diubah antara

anggota kulturnya. Ada dua pendekatan untuk memahami dan

menguraikan praktek representasi, yaitu dengan pendekatan semiotik dan

pendekatan wacana. Pendekatan semiotik berfokus pada bagaimana

reprsentasi tersebut dilakukan, pada bagaimana bahasa memproduksi

11

makna. Sedangkan pendekatan wacana lebih menitikberatkan pada efek

dan konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan oleh praktek representasi

tersebut. Pendekatan wacana tidak hanya mengulas bagaimana bahasa dan

representasi memproduksi makna, namun juga bagaimana pengetahuan

yang diproduksi oleh wacana tertentu itu berhubungan dengan kekuasaan,

mengatur perilaku-perilaku, mengkonstruksi identitas dan subyektivitas,

juga turut menentukan cara-cara hal tertentu direpresentasikan.

Didiskusikan, dipraktekakkan, serta dipelajari ( Hall, 1997: 6).

3. Film dan Semiotika

Proses pembelajaran mengenai pluralisme melalui media film akan

menghasilkan makna-makna yang dapat dipahami oleh masyarakat.

Khusus mengenai representasi hubungan antaretnik dalam film dapat

dikaji melalui simbol-simbol, tanda-tanda yang ada dalam film. Dalam

usaha pemahaman makna, film dapat dilihat sebagai teks yang tidak hanya

sebagai naskah yang tersaji secara audio visual, tetapi sebagai jalinan

tanda-tanda yang mengandung makna. Sebagai sebuah teks, film dapat

dikatakan merupakan bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi. Jadi

film merupakan sarana untuk mengekspresikan makna, ide, dan emosi

(Budhy K. Z dalam Indraswati, 2002: 30).

Dalam banyak penelitian tentang dampak film terhadap

masyarakat, hubungan antara film dan masyarakat selalu dipahami secara

linier. Artinya, film selalu mempengaruhi dan membentuk masyarakat

berdasarkan muatan pesan Film merupakan salah satu bidang penerapan

semiotika. Film dibangun dengan banyak tanda. Tanda-tanda itu termasuk

berbagai sistem tanda yang bekerjasama dengan baik dalam rangka

mencapai efek yang diharapkan.

Film dibangun dengan tanda semata-mata. Tanda-tanda itu

termasuk berbagai sistem tanda yang bekerjasama dengan baik untuk

mencapai efek yang diharapkan. Pada film digunakan tanda-tanda ikonis,

yaitu tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu. Gambar yang dinamis

12

dalam film merupakan ikonis bagi realitas yang dinotasikannya (Van

Zoest, dalam Sobur, 2004: 128).

Pada umumnya film dibangun dengan banyak tanda, yang

terpenting dalam film adalah gambar dan suara. Sardar & Loon (2001)

mengatakan film dan televisi memiliki bahasanya sendiri dengan sintaksis

dan tata bahasa yang berbeda. Film pada dararnya bisa melibatkan bentuk-

bentuk simbol visual dan linguistik untuk mengkodekan pesan yang

sedang disampaikan (Sardan & Loon dalam Sobur, 2004: 130).

Tata bahasa itu terdiri atas berbagai macam unsur yang akrab,

misalnya seperti pemotongan (cut), pemotretan jarak dekat (close-up),

pemotretan dua (two shot), pemotretan jarak jauh (long shot), pembesaran

gambar (zoom-in), pengecilan gambar (zoom-out), memudar (fade),

pelarutan (dissolve), gerakan lambat (slow motion), gerakan yang

dipercepat (speedded-up), dan efek khusus (special effect). Bahasa tersebut

juga mencangkup kode-kode representasi yang lebih halus, yang

tercangkup dalam kompleksitas dari penggambaran visual yang harfiah

sehingga sombol-simbol yang paling abstrak dan arbiter serta metafora.

Metafora visual sering menyinggung objek-objek dan simbol-simbol dunia

nyata serta mengkonotasikan makna-makna sosial dan budaya. Begitulah

sebuah film pada dasarnya bisa melibatkan bentuk-bentuk simbol visual

dan linguistik mengodekan pesan yang sedang disampaikan (Sobur, 2006:

131).

Figur utama dalam pemikiran semiotika sinematografi sampai

sekarang adalah Cristian Metz dari Ecole des Hautes Etudes et Sciences

Sociales (EHESS) Paris. Menurutnya, penanda (signifiant) sinematografis

mempunyai hubungan motivasi atau beralasan dengan penanda yang

tampak jelas melalui hubungan penanda dengan alam yang dirujuk.

Penanda sinematografis selalu kurang lebih beralasan dengan tidak pernah

semena-mena (Metz dalam Sobur, 2006: 131-132).

13

4. Identitas Keturunan Arab dalam Sinema Indonesia

Sebuah karya film tak bisa terlepas dari budaya, sistem sosial,

politik, ekonomi, di mana karya tersebut diciptakan. Sebagai produk

budaya, film memegang peranan penting dalam merepresentasikan aspek-

aspek yang mewakilinya. John Hartley (1999: 208 dikutip oleh Murtianti,

2009: 32) mengistilahkan peran film ini sebagai cultural citizenship yaitu

partisipasi dalam kehidupan budaya dalam suatu bangsa. Film sebagai

cultural citizenship dapat merangkul hak-hak warga negara sebagai

komunitas berdasarkan bentuk yang lain seperti etnisitas, gender, orientasi

seksual, usia, wilayah dan sebagainya. Semua hal tersebut berkaitan

dengan identitas.

Stuart Hall (1996 dikutip oleh Murtianti 2009: 32) melihat identitas

sebagai sebuah konstruk sosial yang tidak permanen. Identitas adalah

sebuah posisi subyektivitas. Kekuasaan bermain dalam menentukan

identitas seseorang. Seringkali kekuasaan menciptakan mitos yang

subyektifitas. Identitas ditandai dengan perbedaan yang ditandai secara

simbolik dan dialami secara sosial. Penanda simbolik dapat berupa

penampilan fisik dan warna kulit. Untuk penanda simbolik ini tidak selalu

berupa faktor biologis, kelas sosial juga dapat menjadi penanda seperti

pada waktu pemerintah kolonial Belanda dengan membagi masyarakat ke

dalam kelas-kelas.

Identitas adalah representasi budaya dalam hal ini film adalah cara

di mana kita dapat mengkonstruksi identitas, memilih media untuk

menceritakan diri dan kehidupan kita agara identitas dan makna yang kita

inginkan terbentuk. Film merupakan sebuah upaya untuk memilih makna

dari berbagai pengalaman yang kemudian dijadikan satu kedalam sebuah

cerita. Kemungkinan terjadinya perbedaan antara identitas yang

direpresentasikan dengan identitas dalam kehidupan nyata tidaklah dapat

dihindarkan kara pada dasarnya pembuatan film melibatkan interpretasi

sang sutradara. Pemilihan peristiwa apa dan siapa yang diceritakan dan

ditonjolkan adalah tindakan menginterpretasi.

14

Film sebagai bahasa memberikan tanda-tanda tempat makna

diproduksi. Visual dalam film merupakan konsep-konsep yang akan

dipertukarkan dalam proses representasi. Proses ini melibatkan pembuat

film dan penontonnya. Representasi selalu bekerja dalam dua operasi yaitu

inkulsi dan eksklusi ( Murtianti, 2009: 34). Sifat-sifat negatif atau stereotip

selalu dilakukan dalam operasi eksklusi atau pemisahan dengan pihak-

pihak yang lainnya. Pihak-pihak yang terkena stereotip adalah pihak-pihak

yang dieksklusi dari mayoritas atau normal. Di sini proses representasi

membedakan ―kita‖ dan ―mereka‖ adalah pihak-pihak yang kita eksklusi.

Dalam banyak kasus, media memang memiliki kecenderungan

untuk menampilkan secara tidak seimbang dan bias bahkan cenderung

mengabadikan stereotipe beberapa kelompok masyarakat yang bisa

dikategorikan sebagai kelompok minoritas dan marjinal. Stereotipe yang

dilakukan oleh oleh media terhadap kelompok masyarakat minoritas ini

merupakan salah satu bentuk komplain yang sering dialamatkan oleh

masyarakat kepada media. Kecenderungan media untuk merepresentasikan

secara negatif kelompok-kelompok minoritas ini diperhatikan oleh banyak

pengamat media.

Perempuan sebagai contohnya, telah banyak ditampilkan dalam

iklan televisi. Seringkali perempuan ditampilkan dalam bingkai yang

sangat bias, bahkan menjadi komoditas dalam iklan. Perempuan dalam

iklan hanya sebagai pelengkap kalaupun menjadi sentral tetap saja

ditampilkan secara tidak seimbang. Dalam film ataupun sinetron Indonesia

pula sering dijumpai sejumlah peran yang sangat melekat dengan etnik

tertentu. Pembantu rumah tangga diidentikan dengan perempuan berlogat

jawa yang sangat kental, pedagang minyak wangi di Jakarta digambarkan

dengan wajah-wajah Arab yang menggunakan bahasa Arab campuran,

sopir atau pengacara identik dengan laki-laki Batak, dan masih banyak

yang lainnya. Hal-hal seperti ini tidak dapat disalahkan karena ini

merupakan hak pembuat film. Tetapi yang harus diperhatikan di sini

15

adalah fakta bahwa yang ditampilkan oleh media sering dianggap sebagai

sebuah kebenaran oleh khalayak.

Realitas yang ditampilkan media dianggap sebagai realitas obyektif

oleh khalaykanya. Hal ini dimungkinkan karena khalayak terlalu banyak

mengonsumsi media sehingga banyak yang tidak memiliki perspektif di

luar perspektif yang ditampilkan di media. Hal ini menunjukan ―kuasa‖

media dalam membentuk kelompok minoritas dapat ditampilkan

sekenanya. Dengan demikian, etnisitas bukanlah konsep yang berangkat

dari sebuah kebenaran tentang tubuh dan karakteristiknya. Etnisitas dalam

konteks media didefinisikan sebagai sebuah konsep yang beroperasi dalam

kekuatan sosial politik dan ekonomi. Dengan kuasa yang dimilikinya,

media mampu mentransfer apa yang disebut dengan etnis yang menjadi

minoritas dalam masyarakat.

G. KERANGKA KONSEPTUAL

1. Film

Menurut Oey Hong Lee, film sebagai alat komunikasi massa

yang kedua muncul di dunia, mempunyai masa pertumbuhannya pada

akhir abad ke-19, dengan perkataan lain pada waktu unsur yang

merintangi perkembangan surat kabar sudah dibuat lenyap. Ini berarti

bahwa dari permulaan sejarahnya film dengan lebih mudah dapat

menjadi alat komunikasi yang sejati, karena ia tidak mengalami unsur-

unsur teknik, politik, ekonomi, sosial dan demografi yang merintangi

kemajuan surat kabar pada masa pertumbuhannya dalam abad ke-18

dan permulaan abad ke-19 (Sobur, 2004: 126).

Film merupakan perwujudan dari seluruh realitas kehidupan dunia

yang begitu luas dalam masyarakat, oleh karenanya, film mampu

menumbuhkan imajinasi, ketegangan, ketakutan dan benturan emosional

khalayak penonton, seolah mereka ikut merasakan dan menjadi bagian dari

cerita film tersebut. Selain itu isi pesan film dapat menimbulkan aspek

16

kritik sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, norma kehidupan dan hiburan

bagi khalayak penonton.

2. Representasi

―Representasi adalah sesuatu yang merujuk pada proses yang

dengannya realitas disampaikan dalam komunikasi, via kata-kata, bunyi,

citra atau kombinasinya‖ (Fiske, 2007).

Representasi adalah konsep yang digunakan dalam proses sosial,

pemaknaan melalui sistem penandaan yang tersedia: dialog, tulisan, video,

film, fotografi, dsb. Secara ringkas, representasi merupakan produksi

makna melalui bahasa. Menurut Stuart Hall (1997), representasi adalah

salah satu praktek penting yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan

merupakan konsep yang sangat luas, kebudayaan menyangkut pengalaman

berbagi. Seseorang dikatakan berasal dari kebudayaan yang sama jika

manusia-manusia yang ada di situ membagi pengalaman yang sama,

membagi kode-kode kebudayaan yang sama, berbicara dalam bahasa yang

sama, dan saling berbagi konsep-konsep yang sama.

Dalam hal ini kita gunakan bahasa sebagai medium perantara

dalam memaknai sesuatu, memproduksi dan mengubah makna. Disini

dapat kita lihat bahwa bahasa beroprasi sebagai sistem representasi. Lewat

bahasa (simbol-simbol, dan tanda, tertulis, lisan atau gambar) kita

mengungkapkan pikiran , konsep, dan ide-ide kita tentang sesuatu. Makna

sangat tergantung dari cara kita merepresentasikannya.

Istilah representasi itu sendiri menunjuk pada bagaimana

seseorang, satu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan

dalam pemberitaan. Representasi ini penting dalam dua hal. Pertama,

apakah seseorang kelompok atau gagasan tersebut ditampilkan

sebagaimana mestinya. Kedua, bagaimanakah representasi itu ditampilkan.

Dengan kata, kalimat, aksentuasi, kelompok, atau gagasan tersebut

ditampilkan dalam pemberitaan kepada khalayak. Persoalan utama dalam

17

representasi adalah bagaimana realitas, atau obyek tersebut ditampilkan

(Eriyanto, 2001:113).

Konsep representasi penting digunakan untuk menggambarkan

hubungan antar teks media dengan realitas. Chaira Giaccardi menyatakan

secara semantik, dapat diartikan: ―To decipt, to be a picture of, atau to ac

or speak for (in the place of in the name of) some body. Berdasarkan kedua

makna tersebut, to represent didefinisikan sebagai to stand for‖.

Representasi menjadi tanda yang tidak sama dengan realitas yang

direpresentasikan tetapi dihubungkan dengan, mendasarkan diri pada

realitas yang menjadi referensinya (Giaccardi dalam Noviani, 2002: 61).

Proses representasi melibatkan tiga elemen: pertama, obyek yakni

sesuatu yang di representasikan. Kedua, tanda yakni representasi itu

sendiri. Ketiga, coding yakni seperangkat aturan yang menentukan

hubungan tanda dengan pokok persoalan. Coding membatasi makna-

makna yang mungkin muncul dalam proses interpretasi tanda. Tanda dapat

menghubungkan obyek yang telah ditentukan secara jelas. Dengan

demikian didalam representasi ada sebuah kedalaman makna, termasuk di

dalamnya terdapat identitas suatu kelompok tertentu pada suatu tempat

tertentu (Noviani, 2002: 62).

Dalam representasi itu sendiri ada beberapa persoalan krusial yang

muncul ke permukaan, namun hal utama yang layak ditarik sebagai satu

persoalan adalah bagaimana representasi yang dilakukan media terhadap

dunia sosial dibandingkan dengan dunia nyata yang sifatnya eksternal.

Pada hakikatnya memang ada problematika antara realitas sosial yang kita

alami sehari-hari dengan realitas media yang membentuk kesadaran dan

cara kita berfikir.

3. Keturunan Arab

Tidak dapat dipungkiri, keturunan Arab sudah menjadi bagian dari

keberagaman etnis yang ada di Indonesia. Sama seperti keturunan

Tionghoa, keturunan Arab telah bermukim di Indonesia sejak beratus-ratus

18

tahun lalu. Diperkirakan sejak abad 15 bangsa Arab memasuki Indonesia

bersama dengan para pedagang India dan Gujarat. Keberadaan bangsa

Arab tersebar di hampir semua kepulauan Nusantara sejalan dengan proses

penyebaran agama Islam. Dapat dikatakan, bahwa para pedagang Arab lah

yang telah memperkenalkan Islam di Nusantara.

Setelah perpecahan besar di antara umat Islam yang menyebabkan

terbunuhnya khalifah keempat Ali bin Abi Thalib, mulailah terjadi

perpindahan besar-besaran dari kaum keturunannya ke berbagai penjuru

dunia. Ketika Imam Ahmad Al-Muhajir hijrah dari Irak ke daerah Hadramaut

di Yaman kira-kira seribu tahun yang lalu, keturunan Ali bin Abi Thalib ini

membawa serta 70 orang keluarga dan pengikutnya. Sejak itu

berkembanglah keturunannya hingga menjadi kabilah terbesar di

Hadramaut, dan dari kota Hadramaut ini lah asal-mula utama dari berbagai

koloni Arab termasuk orang-orang Arab yang sekarang ini bermukim di

tanah Nusantara. Hanya beberapa orang dari mereka yang berasal dari

tepian Teluk Persia, Yaman, Syiria, Mesir atau dari pantai timur Afrika.

Sejak awal kedatangannya, bangsa Arab hanya berorientasi pada

kepentingan penyebaran agama dan perdagangan. Oleh karena itu

pandangan hidup mereka ditentukan oleh kemampuan mereka

mengadaptasikan diri dengan budaya dan masyarakat setempat. Di semua

wilayah Nusantara keberadaan bangsa Arab selalu menempel (embedded)

dengan etnik setempat. Walaupun disana-sini terlihat seakan-akan terjadi

segregasi (adanya koloni "Kampung Arab") akan tetapi secara sosio-

kultural bangsa Arab tetap mewujudkan diri dalam tampilan budaya

setempat.

Menurut Hasan Bahanan dalam Masyarakat Etnis Arab dan

Identitas Budaya Lokal, beberapa faktor yang menyebabkan latar belakang

kedatangan bangsa Arab di suatu wilayah tertentu, yaitu:

a. Motivasi migrasi adalah perdagangan dan penyebaran Agama

Islam. Menggabungkan perdagangan dengan penyebaran

Agama menghasilkan proses asimilasi yang unik.

19

b. Dengan semangat keagamaan proses asimilasi terjadi melalui

perkawinan dengan penduduk setempat yang berlangsung

kemudian dalam jangka waktu yang panjang.

c. Hasil kawin campur itu menyebabkan etnis Arab Indonesia

tidak bersifat monolitik dalam kehidupan sosio-kulturalnya. Hal

ini bisa dilihat dari berbagai macam bahasa lokal yang

digunakan oleh sub-keturunan Arab di seluruh Indonesia.

d. Karena pengaruh penyebaran agama Islam sedemikain kuatnya

dalam praktek budaya suku-suku bangsa di Nusantara, maka

terjadilah percampuran beberapa unsur budaya Arab-Islam

dengan budaya lokal dalam setting sosio-kultural etnik

Indonesia. Konsekuensinya, budaya yang ditampilkan oleh

keturunan Arab cenderung berwarna lokal

(http://www.kampoengampel.com/berita/seputar-ampel/11-

masyarakat-etnis-arab-dan-identitas-budaya-lokal.html).

Akhir abad ke-18 menandakan keberhasilan orang-orang Arab

dalam berintegrasi dengan jaringan kekerabatan nusantara. Kemampuan

adaptasi dan asimilasi melalui perkawinan menyebabkan identitas diri

keturunan Arab dipengaruhi oleh warna lokal. Kondisi ini disadari

sepenuhnya oleh orang-orang Arab sejak awal. Walaupun dalam masa

penjajahan Belanda dilakukan politik segregasi melalui pemisahan status

hukum antara bangsa Eropa, Timur Asing dan Pribumi. Segregasi itu tidak

pernah mengurangi dan menghambat proses asimilasi. Pertumbuhan

koloni keturunan Arab di berbagai wilayah Indonesia tetap tinggi.

Bersama komunitas Melayu, Bugis dan Minangkabau, komunitas

Hadramaut membentuk jalinan kultural hibrida di Nusantara (Reid dalam

Berg). Komunitas Hadramaut ini mulai menempati sektor-sektor penting

di Nusantara sebagai penasihat para penguasa, ulama, bajak laut, bahkan

menjadi penguasa. Cara-cara komunitas lokal berhasil mereka adopsi dan

hubungan kekerabatan yang sangat kuat menjadikan mereka tidak dilihat

sebagai orang asing, namun sebagai bagian dari Nusantara yang sangat

pluralis. Para pendatang ini dengan mudah menjadi bagian dari identitas

bangsa dengan mengadopsi bahasa, gaya hidup, dan tata cara mereka.

(Terarsip dalam http://www.kampoengampel.com/berita/seputar-ampel/11-

masyarakat-etnis-arab-dan-identitas-budaya-lokal.html - sdfootnote3sym )

20

H. METODOLOGI PENELITIAN

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan analisis semiotik.

Semiotik dapat pula disebut sebagai Culture Meaning, artinya semiotik selalu

dikait-kaitkan dengan kebudayan. Peneliti ingin meneliti lebih lanjut tentang

―Representasi Keturunan Arab di Jakarta dalam Film 3 Hati, 2 Dunia, 1

Cinta‖. Dengan pertimbangan, semiotik melihat media sebagai struktur

keseluruhan, ia mencari makna yang laten atau konotatif Pentingnya hal ini

adalah untuk menjadikan analisis semiotik sebagai sarana untuk menganalisa

peristiwa, kejadian yang dianggap sebagai tanda dari proses komunikasi.

Untuk mengkaji representasi keturunan Arab yang terkandung pada

film 3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta, penelitian ini menggunakan metode analisis

semiotik yang mengacu pada teori Roland Barthes, dimana dirasa cocok

dengan penelitian sebuah film. Menurut Roland Barthes semiotik tidak hanya

meneliti mengenai penanda dan petanda, tetapi juga hubungan yang mengikat

mereka secara keseluruhan (Sobur, 2004: 123). Barthes mengaplikasikan

semiologinya ini hampir dalam setiap bidang kehidupan, seperti mode busana,

iklan, film, sastra dan fotografi.

Metode Barthes banyak dipengaruhi oleh Ferdinand de Saussure,

seorang peletak dasar linguistik modern (semiotika) dari Prancis. Peneliti

mengkaji tentang pemaknaan atas tanda dengan menggunakan metodologi

Roland Barthes yang memfokuskan perhatiannya pada gagasan mengenai

signifikasi dua tahap (two order signification). Di dalam semiotika Barthes

akan ditemukannya dua sifat makna yang yaitu denotatif dan konotatif.

―Makna denotatif adalah makna yang tampak secara langsung (makna asli

dari tanda). Sementara makna konotatif adalah makna yang merupakan

turunan dari makna denotatif dan lebih mengarah pada interpretasi yang

dibangun melalui budaya, pergaulan sosial dan lain sebagainya‖(Sobur,

2004: 69).

Sebagai contoh visual dalam film 3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta, denotasi adalah

setiap adegan (scene) yang ditampilkan atau nampak melalui indera

21

pengelihatan kita, misalnya foto atau potret: apa yang dipotret sedangkan

konotasi adalah bagaimana obyek tersebut dipotret atau difoto, misalnya

memotret dengan sudut pandang kamera close up.

Membongkar makna yang berada di balik sebuah film, dapat dilihat

melalui petanda-petanda yang berada di dalamnya. Dalam film objek, orang

atau pemandangan merupakan dimensi denotatif. Sedangkan prosedur

konotasi ditentukan/dipengaruhi oleh posisi dan angle kamera, posisi objek

atau manusia yang berada dalam frame, proses pencahayaan dan pewarnaan,

dan suara. Kode-kode dalam film dapat diidentifikasikan melalui penggunaan

tanda-tanda tertentu seperti teknik fotografi yang digunakan, dialog pemain,

musik atau soundtrack, sound effect dan efek grafis dalam film tersbut.

Pemaknaan atas tanda tidak bisa dilepaskan dari referensi budaya

dimana tanda itu berada. Artinya makna konotatif yang dilekatkan pada

sebuah tanda, sifatnya sangat konstekstual. Makna sebuah tanda tergantung

pada kode dimana tanda tersebut berada. Kode-kode tersebut memberikan

sebuah kerangka di dalamnya tanda-tanda menjadi masuk akal dan bisa

dipahami. Kode-kode ini juga menjadi pembatas bagi makna yang mungkin

muncul,karenanya kode-kode ini cenderung menstabilkan hubungan antara

penanda dan petanda (Noviani, 2002:78-79).

Analisis yang digunakan untuk mendukung kajian Barthes dengan

membagi film dalam suatu struktur film yaitu scene dan shot. Penulis

menggunakan konsep Arthur Asa Berger dengan melihat dari teknik-teknik

pengambilan gambar, teknik editing dan pergerakan kamera untuk mendukung

analisis ini. Fungsi dari teknik kamera adalah mencoba memahami makna dari

objek-objek yang direkam oleh kamera film dan disuguhkan pada penonton.

Dimana cara pengambilan gambar ini dapat berfungsi sebagai penanda.

Konsep cara pengambilan gambar, teknik editing dan pergerakan kamera

dapat dilihat pada tabel berikut:

22

Tabel 1.1

Camera Shot

Penanda – Camera

Shot

Defenisi

Petanda (Artinya)

Extreme Close Up

(E.C.U)

Sedekat mungkin dengan

objek (contoh: hanya

hanya mengambil bagian

dari wajah)

Kedekatan hubungan

dengan cerita dan atau

pesan film

Close Up (C.U) Wajah keseluruhan

menjadi objek

Keintiman, tetapi tidak

sangat dekat. Bisa juga

menandakan objek

sebagai inti cerita

Medium Close Up

(M.C.U)

Pengambilan gambar dari

kepala sampai dada

Memberikan penekanan

unsur dramatik terhadap

suatu adegan seperti

dialog atau aksi

Medium Shot (M.S) Setengah badan.

Pengambilan gambar dari

Kepala sampai pinggang

Hubungan personal

antara tokoh dan

menggambarkan

kompromi yang baik

Long Shot (L.S) Setting dan karakter

(shot penentuan)

Menekankan lingkungan

atau latar pengambilan

gambar. Mengganbarkan

konteks, skop dan jarak

publik

Full Shot (F.S) Seluruh badan objek Hubungan sosial

Sumber: Arthur Asa Berger, Media Analysis Techniques : Teknik-teknik

Analisis media, Alih Bahasa Setio Budi HH, Penerbitan UAJY, 2000. Hal : 32

Tabel 1.2

Tekning Editing dan Pergerakan Kamera

Penanda

Defenisi Petanda

Pan down Kamera mengarah ke

Bawah

Menunjukkan kekuasaan,

Kewenangan

Pan up Kamera mengarah ke atas Menunjukkan kelemahan,

Pengecilan

Dolly in Kamera mengarah ke Memperlihatkan sebuah

observasi, focus

23

Dalam

Fade in/out Image muncul dari gelap

ke terang dan sebaliknya

Permulaan dan akhir

Cerita

Cut Perpindahan dari gambar

Satu ke gambar yang lain

Simultan, kegairahan

Wipe Gambar terhapus dari

Layar

―Penutupan‖ kesimpulan

Sumber: Arthur Asa Berger, Media Analysis Techniques : Teknik-teknik

Analisis media, Alih Bahasa Setio Budi HH, Penerbitan UAJY, 2000. Hal : 33-34

Pada konsep Barthes, tanda konotatif tidak hanya memiliki makna

tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang

melandasi keberadaanya. Sistem signifikasi dalam semiotika Barthes dapat

dijelaskan sebagai berikut :

Tabel 1.3

Gambar Peta Tanda Roland Barthes

1. Signifier

(penanda)

2. Signified

(petanda)

4. Denotative sign

(tanda denotatif)

4. CONNOTATIVE SIGNIFIER

(PENANDA KONOTATIF)

5. CONNOTATIVE SIGNIFIED

(PETANDA KONOTATIF)

6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)

Sumber: Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya,

2004, hal: 69

1. Metode Pengumpulan Data

Metode dalam penelitian ini akan dikategorikan menjadi dua aspek

yaitu aspek mikro dan makro. Hal tersebut dilakukan semata-mata karena

alasan teknis yaitu untuk membuat data-data yang terkumpul menjadi

lebih sistematis sehingga akan mempermudah proses analisa dan

pemahaman terhadap obyek penelitian. Pengumpulan data ini dilakukan

24

dengan cara mengidentifikasi, mengamati, serta memahami isi dari film 3

Hati, 2 Dunia, 1 Cinta pada tingkat scene. Berikut ini pemaparannya:

Tabel 1.4

Aspek Mikro dan Makro Data

Aspek Jenis Data

Mikro Film 3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta

Film

Makro Representasi Keturunan Arab

Ciri fisik

Tempat tinggal

Pakaian

Bahasa

Kepercayaan

Mata pencaharian

Sistem kekerabatan

Kebudayaan

Sumber: hasil olah data penulis

2. Pengolahan Data

Setelah mengamati dan memahami isi film pada tingkat scene,

maka kemudian adegan-adegan tersebut diklasifikasikan.

Pengklasifikasian tersebut dibuat berdasarkan unsur-unsur pembentuk

representasi keturunan Arab yang terdapat dalam film tersebut.

3. Penyajian Data

Data diamati dan diseleksi untuk kemudian diklasifikasi sesuai

dengan unit analisis yang telah ditentukan. Data yang telah diklasifikasi

kemudian dianalisis berdasarkan pendekatan semiotika Roland Barthes.

Setelah dianalisis kemudian data-data tersebut diinterpretasikan. Setelah

dianalisis dan diinterpretasikan, kemudian akan ditarik suatu kesimpulan.

25

4. Metode Analisis Data

Langkah-langkah teknis dalam menganalisa data pada penelitian

ini adalah dengan melakukan interpretasi secara semiotik terhadap scene

film 3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta secara keseluruhan, untuk kemudian

memecahkan keseluruhan scene tersebut ke dalam sejumlah tabel.

5. Unit Analisis Penelitian

Tabel 1.5

Unit Analisis Penelitian

Unit Analisis Kategori Sub Kategori

Keturunan Arab Dapat dilihat dari simbol-

simbol keturunan Arab di

Jakarta

Simbol-simbol keturunan

Arab tersebut dapat

digolongkan berdasarkan ciri-

ciri fisik, kebudayaan,

kepercayaan, bahasa, pakaian,

sistem kekerabatan, dan mata

pencaharian di dalam

masyarakat keturunan Arab

tersebut

Sumber: Hasil olah data penulis

6. Instrumen Penelitian

Tabel 1.6

Instrumen Penelitian

Unit Terteliti Unsur Sub Unsur Visualisasi a. Teknik Visualisasi

b. Editing

c. Setting

Komposisi gambar, teknik

pengambilan gambar

Teknik Transisi, cut,

dissolve, dsb.

Objek (bangunan, benda,

manusia, hewan), lokasi,

situasi

Naskah a. Dialog

b. Karakterisasi

Aksen, pilihan kata, cara

berbicara, ungkapan non

verbal

Gerak-gerik, akting, bentuk

fisik, kostum