31
1 Bab I Menilik Persoalan Konversi Orang Suku Laut A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang sampai saat ini masih dikategorikan sebagai negara berkembang. Berbagai upaya perubahan melalui pembangungan hingga saat ini masih dilakukan oleh pemerintah di berbagai wilayah di Indonesia dalam berbagai bidang dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya dan mencatatkan diri sebagai salah satu negara yang dikategorikan negara maju. Upaya pemerintah ini tidak hanya sekedar memajukan negara dalam bidang ekonomi, sosial, politik, pertahanan dan keamanan, tetapi juga berkaitan dengan bagaimana pemerintah mengubah mental dan pola pikir masyarakatnya agar siap dengan berbagai perubahan tersebut. Hal yang sering terjadi dalam upaya pembangunan daerah baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun pihak swasta adalah di samping upaya tersebut ada aspek-aspek lain yang mau tidak mau juga harus ikut berubah agar sejalan dengan pembangunan yang dilakukan. Hal ini menjadi semacam dampak dari upaya pembangunan itu sendiri dan subjek utama dalam pembangunan yang terkena dampak tersebut adalah masyarakat. Oleh karena itu, apapun alasannya kepentingan warga negara atau masyarakat harus tetap menjadi prioritas dalam setiap proyek pembangunan yang diupayakan pemerintah maupun pihak lainnya. Karakter masyarakat Indonesia yang multietinis menjadi tantangan tersendiri bagi pihak yang melakukan upaya pembangunan agar apa yang telah

Bab I Menilik Persoalan Konversi Orang Suku Laut A. Latar ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/72589/potongan/S1-2014...Provinsi Kepulauan Riau. Letaknya yang strategis karena

  • Upload
    lylien

  • View
    221

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

Bab I

Menilik Persoalan Konversi Orang Suku Laut

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang sampai saat ini masih dikategorikan

sebagai negara berkembang. Berbagai upaya perubahan melalui pembangungan

hingga saat ini masih dilakukan oleh pemerintah di berbagai wilayah di Indonesia

dalam berbagai bidang dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya

dan mencatatkan diri sebagai salah satu negara yang dikategorikan negara maju.

Upaya pemerintah ini tidak hanya sekedar memajukan negara dalam bidang

ekonomi, sosial, politik, pertahanan dan keamanan, tetapi juga berkaitan dengan

bagaimana pemerintah mengubah mental dan pola pikir masyarakatnya agar siap

dengan berbagai perubahan tersebut.

Hal yang sering terjadi dalam upaya pembangunan daerah baik yang

dilakukan oleh pemerintah maupun pihak swasta adalah di samping upaya

tersebut ada aspek-aspek lain yang mau tidak mau juga harus ikut berubah agar

sejalan dengan pembangunan yang dilakukan. Hal ini menjadi semacam dampak

dari upaya pembangunan itu sendiri dan subjek utama dalam pembangunan yang

terkena dampak tersebut adalah masyarakat. Oleh karena itu, apapun alasannya

kepentingan warga negara atau masyarakat harus tetap menjadi prioritas dalam

setiap proyek pembangunan yang diupayakan pemerintah maupun pihak lainnya.

Karakter masyarakat Indonesia yang multietinis menjadi tantangan

tersendiri bagi pihak yang melakukan upaya pembangunan agar apa yang telah

2

direncanakan tersebut tepat sasaran dan sesuai dengan harapan masyarakatnya.

Dari berbagai etnis masyarakat di Indonesia, beberapa di antaranya masih

dikategorikan sebagai masyarakat terasing dan dalam upaya pembangunan yang

dilakuan oleh pemerintah mereka dianggap sebagai penghambat.

Oleh sebab itu, berbagai upaya konversi terhadap kelompok masyarakat

yang dikategorikan terasing tersebut dilakukan oleh pemerintah agar mereka dapat

menyesuaikan diri dan sejalan dengan program pengembangan potensi dan

pembangunan daerah yang terus berjalan. Akan tetapi, dalam beberapa kasus

banyak yang menunjukkan bahwa upaya tersebut tidak sesuai dengan harapan

masyarakatnya sehingga menimbulkan berbagai persoalan.

Misalnya saja kasus mengenai komunitas Kajang yang berada di Desa

Tanah Toa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Mereka

pernah bentrok dengan aparat keamanan dalam sengketa yang telah sekian lama

menjadi konflik dengan pihak investor PT London Sumatera (LONSUM)

mengenai pembukaan lahan di kawasan tanah adat komunitas Kajang

(Syamsurijal Adhan 2007, h. 557).

Contoh lainnya adalah kasus yang diteliti oleh Heru Prasetia (dalam

Nurkhoiron 2007, hh. 52-54) mengenai pergulatan masyarakat adat di Wet

Semokan, Pulau Lombok, atau yang lebih dikenal dengan sebutan komunitas

Wetutelu. Mereka menolak pembangunan masjid yang akan dilakukan oleh

aparatur negara, meskipun mereka mengaku Islam karena praktek keagamaan

Islam yang mereka yakini berbeda dengan cara pandang Islam sebagaimana yang

diyakini oleh orang Islam di pada Umumnya. Hingga saat ini, upaya-upaya

3

memurnikan Islam terhadap komunitas Wetutelu di Kecamatan Boyan, Lombok

Barat, masih terus dilakukan (Prasetia 2007, h. 127).

Beberapa kasus yang disebutkan di atas hanyalah sebagain kecil dari

kisah-kisah perlawanan atau ketegangan yang muncul pada kelompok masyarakat

etnis minoritas di Indonesia yang menggambarkan sisi lain dari upaya

pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Hal itu mereka lakukan sebagai

salah satu cara mereka untuk mempertahankan eksistensi dari tradisi dan budaya

yang menjadi bagian dari identitas mereka.

Terlepas dari ada atau tidaknya perlawanan, upaya pembangunan yang

dilakukan oleh pemerintah maupun pihak swasta tentunya berdampak pada

masyarakat yang menjadi subjek pembangunan itu sendiri dan seringkali

memunculkan kondisi di mana masyarakat mau tidak mau harus menyesuaikan

diri terhadap hal tersebut. Masyarakat terpaksa melakukan perubahan dalam

berbagai aspek kehidupannya agar sejalan dengan upaya pengembangan potensi

dan pembangunan daerah yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta.

Sebagaimana halnya yang terjadi pada masyarakat Suku Laut di Kota Batam.

Kota Batam merupakan salah satu pulau yang menjadi bagian dari

Provinsi Kepulauan Riau. Letaknya yang strategis karena dikelilingi oleh lautan

dan perairan serta berbatasan langung dengan negara-negara seperti Singapura dan

Malaysia menjadikan Kota Batam merupakan kawasan yang sempurna sebagai

jalur pelayaran dan perdagangan serta memiliki potensi besar untuk

pengembangan dan pembangunan di bidang industri/ekonomi dan pariwisata.

Kota Batam yang saat ini dikenal sebagai kawasan industri dan pariwisata yang

4

cukup besar dan terus berkembang menjadi bukti bahwa terjadi perubahan yang

sangat cepat sebagai dampak dari upaya pembangunan yang dilakukan oleh

pemerintah daerah maupun pihak sawasta. Hal ini tentu saja harus didukung

dengan adanya mental yang tangguh dan pola pikir maju dari masyarakatnya.

Akan tetapi, di sisi lain ada salah satu bagian dari masyarakat Kota Batam

yang masih dikategorikan sebagai kelompok masyarakat “terasing” dan

“terbelakang”, yaitu kelompok masyarakat Suku Laut. Salah satunya adalah

kelompok masyarakat Suku Laut yang berada di Pulau Air Mas Kelurahan

Ngenang Kecamatan Nongsa Kota Batam Provinsi Kepulauan Riau. Suku Laut

diyakini sebagai penduduk asli Kepulauan Riau yang sudah ada sejak lama,

bahkan sebelum Indonesia merdeka. Mereka dikategorikan masyarakat “terasing”

dan “terbelakang” dikarenakan pola hidup mereka yang jauh berbeda dengan

masyarakat pada umumnya, yaitu hidup mengembara di lautan, serta menganut

kepercayaan animisme. Selain itu, karakternya nya tertutup dan memiliki pola

pikir sederhana menjadikan mereka sulit untuk menerima pengaruh dari luar.

Sehingga proses mereka untuk beradaptasi dengan segala kemungkinan adanya

perubahan dan pengaruh yang datang dari luar akan menjadi proses panjang dari

rangkaian perubahan sosial itu sendiri.

Suku Laut hidup dengan karakter dan pola hidup seperti itu di tengah-

tengah lingkungan dan masyarakat di mana perubahan itu terjadi dengan sangat

cepat. Perubahan yang terjadi dengan cepat itu terbukti dengan jangka waktu dua

dekade terakhir Kota Batam sudah mampu berkembang menjadi daerah

perdagangan, perindustrian, dan pariwisata yang cukup maju. Lalu bagaimana

5

pula dengan perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Suku Laut yang hidup

dalam kondisi lingkungan seperti itu?

Orang Suku Laut terpaksa dikonversi agar bisa menyesuikan dengan

perkembangan zaman dan upaya pembangunan yang terus berlangsung. Dari segi

agama misalnya, pada tahun 2005 pihak Lembaga Amil Zakat (LAZ) Masjid Raya

Batam mengadakan sunat (khitan) massal bagi masyarakat Suku Laut di pulau

tersebut dalam rangka untuk mengislamkan mereka (Pak Dollah, komunikasi

personal, 12 Maret 2013). Meskipun tidak keseluruhan, tetapi banyak masyarakat

Suku Laut yang pada saat itu mengikuti sunat massal dan menjadi pemeluk agama

Islam.

Hal yang menarik lainnya di sini adalah tidak pernah terdengar berita atau

kabar yang menceritakan tentang adanya perlawanan dari masyarakat Suku Laut

disepanjang proses perubahan serta pembangunan daerah yang dilakukan seperti

halnya yang terjadi pada beberapa kelompok masyarakat minoritas yang telah

diceritakan di awal. Lalu bagaimana cara masyarakat Suku Laut beradaptasi dan

bertahan hidup hingga saat ini di tengah-tengah kondisi lingkungan dan

masyarakat yang terus berkembang dan berbenah diri melalui upaya-upaya

pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah daerah maupun pihak swasta

dalam rentang waktu yang cukup panjang tersebut.

Dari sinilah kemudian muncul pertanyaan besar tentang bagaimana proses

perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Suku Laut tersebut. Oleh karena

itu, persoalan ini jelas akan menjadi studi yang sangat menarik dan patut dikaji

dengan tujuan untuk melihat dan menjelaskan seperti apa proses-proses perubahan

6

sosial yang terjadi pada masyarakat Suku Laut dan siapa saja aktor-aktor yang

terlibat di sepanjang proses perubahan sosial tersebut.

Tidak hanya itu, studi ini akan menjadi lebih menarik lagi karena tidak

hanya identitas yang akan dipersoalkan, tetapi kita juga bisa melacak bagaimana

masyarakat Suku Laut bertahan selama berpuluh-puluh tahun bahkan ratusan

tahun di tengah-tengah lingkungan dan mayoritas masyarakat yang memiliki

kepercayaan dan budaya yang jauh berbeda dengan mereka. Fokus terhadap

perilaku masyarakat tersebut juga menjadi hal yang paling diutamakan. Perlu

diketahui bahwa Suku Laut sebagai masyarakat minoritas telah ada lebih dulu,

jauh sebelum Pulau Batam dibangun sebagai sebuah kota industri sekitar tahun

1970. Selain itu, kita juga bisa melacak sejauh mana keterlibatan negara dalam

fenomena perubahan sosial yang dialami kelompok masyarakat Suku Laut ini,

yang mungkin saja bisa membuka jalan bagi kita untuk mendapatkan sebuah

penjelasan guna menjawab pertanyaan kunci atau rumusan masalah yang

diajukan.

Untuk mendapatkan jawaban serta penjelasan mengenai beberapa hal

tersebut, maka penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan metode

penelitian kualitatif. Data dokumen dan wawancara secara mendalam (indepth

interview) akan menjadi sumber data utama dalam studi ini.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka pertanyaan kunci yang akan

diawab dalam penelitian ini adalah:

7

Bagaimana proses perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Suku

Laut di Pulau Air Mas, Kota Batam?

C. Tujuan Penelitian

Studi ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat dan memahami

bagaimana proses perubahan sosial yang terjadi pada pada sebuah masyarakat

etnis minoritas yang dikategorikan sebagai masyarakat terasing.

D. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan Teori Strukturasi dari

Anthony Giddens (2011) yang dijadikan sebagai sebuah pendekatan untuk

menjelaskan proses perubahan sosial yang terjadi. Fokus pembahasan Teori

Strukturasi ini adalah pada upaya memahami agensi manusia dan lembaga-

lembaga sosial. Teori Strukturasi ini menjelaskan tentang keterkaitan struktur dan

agen, tentang bagaimana orang bereaksi pada pola struktur yang dibentuk. Teori

ini hadir sebagai koreksi Giddens terhadap perspektif dalam ilmu-ilmu sosial yang

memproduksi analisis mengenai agensi dan struktur secara terpisah atau sendiri-

sendiri. Misalnya, perspektif strukturalisme yang terlalu fokus pada struktur dan

menganggap agen atau pelaku (yang berada di level mikro) bukanlah hal yang

penting, ataupun perspektif fungsionalisme yang lebih fokus terhadap individu

atau agensi dan mengabaikan struktur.

Giddens berpendapat bahwa agensi dan struktur justru memiliki

keterkaitan yang erat dalam sebuah analisis sosial dan melihat realitas yang ada

dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, Teori Strukturasi ini dianggap tepat

8

untuk menjelaskan alasan-alasan serta pelaku-pelaku yang mempengaruhi pilihan

atas tindakan-tindakan individu maupun kelompok masyarakat untuk melakukan

dan tidak melakukan sesuatu, termasuk dalam menjelaskan aktor-aktor dibalik

tidak adanya resistensi ketika terjadi sebuah konversi agama. Artinya, analisis

mengenai keterkaitan agensi dan struktur sangat diperlukan dan dirasa mampu

untuk menjawab rumusan masalah serta memenuhi tujuan penelitian dari studi ini.

Inti dari teori strukturasi ini adalah ingin mengatakan bahwa pembentukan

agen (pelaku) dan struktur bukanlah dua hal yang terpisah (dualisme), tetapi

merupakan penggambaran dua fenomena yang saling berkaitan (dualitas).

Giddens menyebut keterkaitan tersebut dengan istilah ‘dualitas struktur’. Gagasan

dualitas struktur ini menjelaskan bahwa sifat-sifat struktural sistem sosial

keduanya merupakan media dan hasil praktek-praktek yang mereka organisir

secara rekursif (Giddens 2011, hh. 31-32). Dengan kata lain, agen membentuk

struktur dan setelah struktur itu terbentuk, maka agen akan bertindak mengikuti

atau mentaati struktur yang telah mereka bentuk tersebut. Inilah yang disebut oleh

Giddens sebagai dualitas struktur. Selain itu, dalam gagasan dualitas struktur,

aturan dan sumberdaya yang digunakan dalam produksi dan reproduksi tindakan

sosial sekaligus merupakan alat reproduski sistem.

Penjelasan logis dan lebih terperinci mengenai gagasan dualitas struktur

tersebut tersirat dalam dua konsep penting dari Teori Strukturasi yang akan

digunakan dalam studi ini yaitu konsep agensi dan konsep struktur.

9

D.1. Agensi

Dalam konsep agensi, manusia dipahami sebagai pelaku atau pelaku yang

memiliki kesadaran dalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari yang kemudian

menjadi sebuah rutinitas dan akhirnya membentuk struktur. Pada tahap

selanjutnya, struktur yang telah dibentuk itu pada gilirannya membentuk perilaku

atau tindakan manusia. Singkatnya, struktur itu dibentuk melalui tindakan

manusia sebagai pelaku atau agen dan tindakan agen dibentuk oleh struktur.

Giddens menyakini bahwa agen-agen selalu bisa menjelaskan atau menguraikan

apa yang mereka lakukan beserta alasan-alasan dibalik perilaku atau tindakan

mereka tersebut. Para agen selalu memahami kondisi dan konsekuensi-

konsekuensi atas apa yang mereka lakukan. Intinya, selalu ada penjelasan dibalik

pilihan tindakan atau perilaku seseorang. Hal tersebut menjadikan teori ini relevan

untuk digunakan dalam menjelaskan alasan serta pelaku-pelaku yang

mempengaruhi bagaimana individu atau sekelompok orang merespon konversi

agama yang dilakukan terhadap mereka.

D.2. Struktur

Giddens (2011, h. 31) mendefinisikan struktur sebagai seperangkat aturan

dan sumberdaya yang diorganisasikan secara rekursif (berulang), berada diluar

ruang dan waktu, dan memerlukan koordinasi. Sumberdaya yang dimaksud oleh

Giddens (2011, h. 19) adalah merupakan sifat-sifat sistem sosial yang terstruktur,

yang ditimbulkan dan direproduksi oleh agen-agen yang berpengetahuan

mumpuni selama interaksi berlangsung. Lebih lanjut Giddens menjelaskan bahwa

10

apa yang dilakukan oleh pelaku atau agen muncul dari pelaku-pelaku yang secara

eksternal mempengaruhi mereka, yaitu struktur itu sendiri.

Konsep struktur yang dikemukakan oleh Giddens dalam Teori Strukturasi

yang dikembangkannya menjelaskan bahwa struktur itu tidak hanya memberikan

kekangan (constraining), tetapi juga memberikan kemungkinan (enabling) bagi

manusia sebagai agensi untuk melakukan sesuatu (Maliki 2012, h. 298). Hal

tersebut tergambar dari ungkapan Giddens (2011, h. 32) dalam tulisannya bahwa:

Struktur tidak disamakan dengan kekangan (constraint), namun selalu mengekang (constraining) dan membebaskan (enabling).

Artinya, dari berbagai bentuk pengekangan yang dihasilkan oleh struktur di

banyak sisi juga merupakan bentuk pembebasan. Bentuk-bentuk tersebut

berfungsi membuka kemungkinan-kemungkinan bagi seseorang untuk melakukan

tindakan tertentu sekaligus membatasi atau mengingkari bentuk-bentuk tindakan

lainnya. Kedua aspek ini (struktur yang constarining dan enabling) harus dikaji

secara bersama.

Dalam menjelaskan hal ini, Giddens banyak mengkoreksi argumen yang

dikemukakan oleh para ahli sosiologi struktural mengenai struktur. Para ahli

sosiologi struktural menurut Giddens ketika mendefinisikan structural constraint

terlalu memberikan penekanan yang besar dalam mengasosiasikan antara

“struktur” dengan “constraint”, salah satunya adalah Durkheim. Giddens

mengkritik Durkheim yang mengatakan bahwa struktur itu adalah sebuah

kekangan dan mengikat tindakan seseorang (Giddens 2011, h. 209). Artinya,

Durkheim menganggap bahwa struktur membuat seseorang tidak bisa melakukan

apapun. Di titik inilah Giddens menentang argumen tersebut dengan meyakini

11

bahwa struktur itu tidak sepenuhnya memberikan kekangan bagi manusia atau

agensi, tetapi struktur juga bisa meng-enable agensi untuk bisa melakukan

sesuatu. Enable di sini memiliki arti bahwa manusia atau agensi dimungkinkan

untuk melakukan sesuatu berdasarkan hubungan yang ada antara struktur dan

agensi serta agensi dan kekuasaan. Melalui teori strukturasi ini juga, Giddens

ingin meminimalkan signifikasi aspek-aspek pengekang dari struktur.

Lebih lanjut, Giddens (2011, h. 225) mengungkapkan bahwa structural

constraint tidak bekerja secara terpisah dengan penjelasan mengenai motif atau

alasan para agen atas apa yang dilakuannya. Pemahaman mengenai ‘constraint’

dalam menjelaskan tindakan seseorang perlu dicermati secara teliti. Hal pertama

yang harus dipahami betul adalah bahwa ‘constraint’ tidak ‘mendorong’ siapapun

untuk melakukan sesuatu jika orang tersebut memang belum siap untuk

‘didorong’. Kedua, istilah ‘constraint’ memiliki beberapa definisi yang berbeda-

beda. ‘Constraint’ yang dipahami dalam konsep ‘structural constraint’

sebagaimana yang telah dijelaskan di atas berbeda dengan ‘constraint’ yang ada

dalam konsep sanksi. Dalam pengertian sanksi, ‘constraint’ dipahami sebagai

kekangan yang muncul akibat dari pemberian sanksi itu sendiri. Artinya,

kekangan yang diberikan adalah bentuk hukuman sebagai konsekuensi dari sanksi

yang ia dapatkan, misalnya pembatasan atas kebebasan seseorang. Ketiga, untuk

mengkaji bekerjanya ‘structural constraint’ dalam konteks tindakan tertentu,

berarti kita harus melacak aspek-aspek yang relevan berkaitan dengan

pengetahuan agen secara spesifik (Giddens 2011, h. 385). Misalnya saja, kita

menspesifikkan hal-hal apa yang mungkin diketahui oleh para agen mengenai

12

berbagai hal disekitanya. Pengetahuan yang dimiliki agen bisa jadi merupakan

bentuk kesadaran mereka atas terbatasnya pilihan yang ada sehingga

keputusanpun harus diambil. Berbagai jenis pengetahuan yang dimiliki oleh agen

bisa digunakan untuk menjelaskan alasan-alasan atau faktor yang menjadi

pertimbangan serta motivasi atas perilaku dan tindakan yang dilakukan. Hal ini

perlu dilakukan karena ‘structural constraint’ selalu bekerja melalui alasan dan

motif-motif agen, yang mampu mencipatakan konsekuensi-konsekuensi dan

kondisi-kondisi yang mempengaruhi pilihan-pilihan yang terbuka bagi orang lain,

serta apa yang mereka inginkan dari apapun pilihan yang dimiliki.

Hal tersebut secara sederhana bisa kita jelaskan melalui fenomena

konversi agama. Konversi agama bisa saja tidak memunculkan resistensi jika ada

struktur yang mendorong munculnya kebutuhan akan adanya perubahan. Artinya,

konversi agama tidak akan memunculkan resistensi karena perubahan itu memang

dibutuhkan oleh sebuah kelompok masyarakat. Ketika mereka tidak bisa survive

dalam struktur sosial ekonomi yang sedemikian rupa dengan kepercayaan dan

budaya yang jauh berbeda dari masyarakat mayoritas disekelilingnya, maka hal

tersebut akan mendorong tumbuhnya kebutuhan akan perubahan. Dengan kata

lain, struktur sosial ekonomi yang ada di lingkungan sekitar masyarakat

tersebutlah yang mempengaruhi dan mendorong mereka untuk melakukan

perubahan pada budaya dan tradisi beragama yang selama ini diyakini.

Jika yang terjadi adalah benar demikian, berarti nilai-nilai fundamental dan

kesakralan dari identitas yang bernama agama tidak lagi menjadi hal yang bisa

dan harus dipertahankan dengan segala cara. Nilai fundamental dan kesakralan

13

paraktek beragama juga tidak lagi menjadi pertimbangan utama dalam pilihan

identitas. Sehingga kasus ini bukan lagi menjadi persoalan agama sebagai

identitas, tetapi lebih pada soal adanya relasi struktur yang mulai bergeser yang

kemudian menentukan dan sangat mempengaruhi perilaku seseorang atau

sekelompok orang.

E. Kerangka Teori

Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah

disampaikan di atas, maka pada tahap ini penting untuk memaparkan kerangka

teoritik yang akan digunakan untuk menganalisa sekaligus mengkerangkai data-

data hasil temuan penelitian untuk mencapai sebuah kesimpulan sebagai jawaban

atas rumusan masalah atau pertanyaan kunci yang diajukan dalam studi ini.

Studi ini akan menggunakan Teori Perubahan Sosial yang dijelaskan

dengan pendekatan Strukturasi dari Anthony Giddens (2011) sebagaimana yang

telah dijelaskan di atas.

Mendefinisikan apa yang dimaksud dengan perubahan sosial secara pasti

tidaklah mudah, karena ada perdebatan-perdebatan mengenai hal tersebut diantara

para ahli yang memunculkan definisi perubahan sosial berbeda-beda. Perubahan

sosial memiliki pengertian yang cukup luas karena masyarakat sering diasumsikan

sebagai sesuatu yang life, sehingga pasti akan terus mengalami perkembangan dan

perubahan (Narwoko & Suyatno 2011, h. 362). Oleh sebab itu, kajian mengenai

perubahan sosial semestinya juga menyangkut segala aspek kehidupan masyarakat

secara menyeluruh, termasuk dimensi struktural, kultural, dan interaksioanl. Akan

tetapi, pemahaman yang seperti ini banyak dikritik oleh para sosiolog yang

14

menganggap bahwa asumsi tersebut terlalu luas, sehingga akan sulit untuk

melakukan analisis secara mendalam. Para pengkritik berpendapat bahwa harus

ada batasan-batasan yang jelas dalam definisi dan orientasi kajian perubahan

sosial. Hal ini menyebabkan adanya berbagai macam definisi mengenai perubahan

sosial menurut masing-masing ahli.

William F. Ogburn pada tahun 1922 (dalam Soekanto 1975, h. 233) dalam

tulisannya mengemukakan bahwa ruang lingkup perubahan-perubahan sosial

mencakup unsur-unsur kebudayaan baik dari segi materiil maupun immateriil,

dengan menekankan bahwa adanya pengaruh yang besar dari unsur-unsur

kebudayaaan materiil terhadap unsur-unsur immateriil. Kingsley Davis (1960)

mengartikan perubahan sosial sebagai perubahan-perubahan yang terjadi dalam

struktur dan fungsi masyarakat. Dalam kaitannya dengan perubahan kebudayaan,

Kingsley Davis berpendapat bahwa perubahan sosial itu sendiri merupakan bagian

dari perubahan kebudayaan yang mencakup kesenian, ilmu pengetahuan,

teknologi, filsafat, dan seterusnya termasuk perubahan-perubahan dalam bentuk

serta aturan-aturan organisasi sosial.

Mac Iver pada tahun 1937 (dalam Soekanto 1975, h. 234) dalam bukunya

mengatakan bahwa perubahan sosial merupakan perubahan-perubahan dalam

hubungan sosial (social relationship) atau sebagai perubahan terhadap

keseimbangan (equilibrium) hubungan sosial. Sementara, Gillin dan Gillin

mengatakan bahwa perubahan sosial adalah suatu variasi dari cara-cara hidup

yang telah diterima, baik itu disebabkan oleh kondisi geografis, kebudayaan

15

materiil, komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya difusi ataupun

penemuan-penemuan baru dalam masyarakat (Soekanto 1975, hh. 233-234).

Sedangkan menurut Wilbert E. Moore (1965, h. 6), perubahan sosial

merupakan perubahan yang terjadi pada sistem sosial termasuk di dalamnya

interaksi antar aktor serta aturan atau norma yang berlaku. Oleh sebab itu, dalam

menganalisa perubahan sosial ada tiga hal penting yang harus diamati, yaitu

perubahan struktur sosial, pola-pola perilaku, dan sistem interaksi sosial, termasuk

perubahan norma, nilai, dan fenomena kultural yang ada dalam lingkungan

masyarakat.

Selain beberapa sosiolog di atas, Selo Soemardjan tahun 1962 (dalam

Soekanto 1975, h. 234) juga mencoba mendefinisikan apa yang disebut sebagai

perubahan sosial. Menurutnya, perubahan sosial adalah segala bentuk perubahan-

perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam sebuah masyarakat,

yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap, dan

pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Ia sangat

menekankan bahwa faktor penting perubahan itu ada pada lembaga-lembaga

kemasyarakatan sebagai himpunan pokok manusia yang kemudian mempengaruhi

segi-segi struktur masyarakat lainnya.

Dari sekian banyak definisi tentang perubahan sosial tersebut, penelitian

ini sepertinya akan lebih banyak mengarah pada perubahan sosial yang

didefinisikan oleh Wilbert E. Moore. Menurut Moore (1965, h. 5), tindakan atau

perilaku manusia memiliki keteraturan dan pola tertentu yang ditandai dengan

adanya perubahan dari waktu ke waktu. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Moore

16

(dalam Soekanto 1975, hh. 232-233) bahwa perubahan-perubahan yang terjadi di

dalam masyarakat terikat oleh ruang dan waktu, tetapi karena sifatnya yang

berantai, maka keadaan tersebut belangsung secara terus menerus, meskipun

terkadang diselingi oleh keadaan-keadaan di mana masyarakat yang bersangkutan

mengadakan reorganisasi unsur-unsur struktur masyarakat yang terkena oleh

proses perubahan tersebut.

Struktur sosial menjadi hal penting ketika melihat perubahan sosial dalam

masyarakat. Hal ini dikarenakan ketika struktur sosialnya berubah, maka pola

relasi antar aktor yang terlibat di dalamnya juga akan turut berubah sehingga

mempengaruhi perubahan-perubahan lainnya karena adanya kepentingan aktor

yang berbeda-beda. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Sztompka (2011, h. 5),

bahwa struktur sosial merupakan sejenis kerangka pembentukan masyarakat dan

operasinya. Sehingga ketika strukturnya berubah, maka semua unsur lainnya juga

cenderung berubah, termasuk perubahan sistem secara keseluruhan.

Perubahan sosial sendiri memeiliki beberapa bentuk, sebagaimana yang

dijelaskan oleh Soekanto dalam bukunya. Berikut adalah beberapa bentuk

perubahan sosial menurut Soerjono Soekanto (1945, hh. 237-242):

1. Perubahan yang berjalan lambat dan perubahan yang berjalan cepat.

Perubahan yang berjalan lambat atau yang disebut evolusi ini dikarenakan

usaha-usaha masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan keperluan-

keperluan, keadaan-keadaan, dan kondisi-kondisi baru yang timbul sejalan

dengan pertumbuhan masyarakat tidak perlu sejalan dengan rentetan

17

peristiwa-peristiwa di dalam sejarah masyarakat yang bersangkutan. Ilmuan-

ilmuan yang menjadi pelopor teori evolusi adalah seperti Charles Darwin,

August Comte, Herbert Spencer, dan Emile Durkheim. Sedangkan perubahan

yang berjalan secara cepat yang dinamakan revolusi ini biasanya mengenai

perubahan pada dasar-dasar atau sendi-sendi pokok kehidupan masyarakat,

mislanya saja revolusi di Inggris.

2. Perubahan kecil dan perubahan besar.

Perubahan kecil merupakan perubahan yang tidak membawa dampak

dalam masyarakat secara keseluruhan. Contohnya seperti perubahan mode

pakaian, perubahan ini tidak membawa pengaruh bagi masyarakat secara

keseluruhan karena tidak mengakibatkan perubahan-perubahan pada lembaga-

lembaga kemasyarakatan.

3. Perubahan yang dikehendaki (intended change) atau perubahan yang

direncanakan (planned change) dan perubahan yang tidak dikehendakai

(unintended change) atau perubahan yang tidak direncanakan (unplenned

change).

Perubahan yang dikehendakai merupakan perubahan yang diperkirakan

atau direncanakan terlebih dahulu oleh pihak-pihak yang ingin melakukan

perubahan terhadap masyarakat tersebut. Pihak-pihak ini disebut sebagai agen

of change, yaitu seseorang atau sekelompok orang yang dipercaya oleh

masayarakat untuk memimpin mereka dalam melakukan perubahan. Suatu

perubahan yang dikehendakai atau yang direncanakan ini selalu berada di

18

bawah pengendalian dan pengawasan agen of change tersebut. Sedangkan

perubahan sosial yang tidak dikehendaki atau tidak direncanakan merupakan

perubahan-perubahan yang terjadi diluar jangkauan pengawasan masyarakat

dan dapat menimbulkan akibat- akibat sosial yang tidak diharapkan. Akan

tetapi, konsep perubahan yang dikendaki atau tidak dikehendaki ini tidak

berarti bahwa perubahan tersebut diharapkan atau tidak diharapkan oleh

masyarakat. Perubahan yang tidak dikehendaki bisa saja menjadi memnuhi

harapan dan dapat diterima oleh masyarakat, begitupula sebaliknya.

Lebih lanjut, Soekanto (1945, hh. 234-235) menjelaskan bahwa perubahan

sosial terjadi karena adanya kondisi-kondisi sosial primer yang mengalami

perubahan seperti kondisi-kondisi ekonomis, kondisi geografis, teknologis, atau

biologis. Perubahan pada kondisi-kondisi tersebut menyebabkan terjadinya

perubahan pada aspek-aspek kehidupan sosial lainnya. Perubahan sosial terjadi

dikarenakan adanya faktor-faktor yang baik yang berasal dari dalam masyarakat

itu sendiri (faktor internal) maupun yang berasal dari luar masyarakat tersebut

(faktor eksternal). Secara lebih rinci, Soekanto (1945, hh. 243-250) memaparkan

faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan sosial dan kebudayaan

dalam masyarakat adalah sebagai berikut:

1. Faktor internal

a) bertambah dan berkurangnya penduduk

b) penemuan-penemuan baru

c) pertentangan (conflict) dalam masyarakat

d) terjadinya pemberontakan atau revolusi dalam masyarakat itu sendiri

19

2. Faktor ekternal

a) bencana alam

b) peperangan dengan negara lain

c) pengaruh kebudayaan masyarakat lain

Selanjutnya, di dalam proses perubahan itu sendiri, ada faktor-faktor yang

mempengaruhi jalannya proses perubahan, baik itu faktor-faktor yang mendorong

proses perubahan tersebut ataupun faktor-faktor yang menghambat proses

perubahan sosial. Berikut adalah beberapa faktor tersebut (Soekanto, hh. 283-

287):

1. Faktor-faktor yang mendorong jalannya proses perubahan:

a) kontak dengan kebudayaan lain

b) sistem pendidikan yang maju

c) sikap menghargai hasil karya seseorang dan keinginan untuk maju

d) toleransi terhadap perbuatan-perbuatan menyimpang

e) sistem lapisan masyarakat yang terbuka

f) penduduk yang heterogen

g) ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu

h) orientasi ke masa depan

i) nilai meningkatkan taraf hidup

2. Faktor-faktor yang menghambat terjadinya perubahan:

a) kurangnya hubungan dengan masyarakat lain

b) perkembangan ilmu pengetahuan yang terlambat

c) sikap masyarakat yang tradisional

20

d) adanya keinginan-keinginan yang telah tertanam dengan kiut

e) rasa takut akan terjadinya kegoyahan pada integrasi kebudayaan

f) prasangka terhadap hal-hal yang baru atau asing

g) hambatan ideologis

h) kebiasaan

i) sikap pasrah

Berbagai faktor diatas akan ikut menentukan apakah masyarakat tersebut

akan melakukan penyesuaian terhadap perubahan, ataupun terjadi ketidakserasian

dalam perubahan tersebut sehingga menimbulkan cultural lag (ketertinggalan

budaya). Hal ini dikarenakan di dalam masyarakat itu sendiri ada unsur-unsur

yang bisa berubah secara cepat dan ada pula unsur-unsur yang sulit untuk dirubah.

Unsur-unsur yang sulit dirubah tersebut adalah seperti hal-hal yang berkaitan

dengan kebudayaan rohaniah, misalnya agama. Jika hal ini yang terjadi maka

cultural lag sangat mungkin terjadi karena ketidakseimbangan taraf kemajuan dari

berbagai bgaian dalam masyarakat yang mengalami perubahan.

F. Definisi Konseptual

Berdasrakan kerangka teori yang dipaparkan di atas dan dari sekian

banyak konsep perubahan sosial yang dirumuskan oleh para ilmuan, maka konsep

yang akan digunakan dalam studi ini adalah konsep perubahan sosial yang

merujuk pada perubahan sosial yang dirumuskan oleh Wilbert E. Moore yaitu

perubahan sosial yang terjadi pada sistem sosial, termasuk didalamnya struktur

sosial, pola-pola perilaku, dan sistem interaksi sosial.

21

G. Metode Penelitian

Studi ini menggunakan metode penelitian kualitatif karena permasalahan

yang ingin dikaji sangat kompleks dan memerlukan pemahaman serta pemaknaan

secara mendalam, sehingga untuk mendapatkan data dan teknik analisa dalam

masalah sosial seperti ini tidak akan cukup jika hanya dilakukan dengan metode

penelitian kuantitatif yang menggunakan instrumen seperti kuesioner, pedoman

wawancara, atau obeservasi. Jenis penelitian kualitatif yang akan digunakan

adalah metode fenomenologi. Fenomenologi dipilih karena dirasa sesuai untuk

bisa memahami secara mendalam mengenai konteks dan fenomena konversi atau

perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat etnis Suku Laut yang unik dan

jarang terjadi di masyarakat etnis minoritas pada umumnya karena tidak

memunculkan konflik atau perlawanan yang masif. Dengan menggunakan metode

fenomenologi, pemahaman arti dan pemaknaan dari sebuah pengalaman seseorang

atau individu bisa dilakukan secara mendalam. Konversi sebagai sebuah

fenomena perubahan sosial yang dialamai oleh masyarakat Suku laut merupakan

pengalaman yang bisa dilacak sebagai sebuah pengalaman individu maupun

sekelompok orang yang memiliki arti dan makna tersendiri.

Untuk bisa menjawab rumusan masalah yang telah diajukan, kita perlu

mengetahui tentang bagaimana pergulatan dan dinamika kehidupan masyarakat

Suku Laut. Artinya, kita akan melacak sejarah kemunculan dan keberadaan

masyarakat Suku Laut. Selain itu, kita juga akan melihat bagaimana relasi kuasa

antara masyarakat Suku Laut dengan struktur kekuasaan politik negara, serta

bagaimana interaksi mereka dengan masyarakat disekitarnya. Semua hal tersebut

22

dapat dideskripikan dengan baik dan jelas ketika peneliti mampu mengeksplorasi

pengalaman-pengalaman masyarakat Suku Laut tersebut secara mendalam. Hal ini

sesuai dengan inti dari penggunaan metode fenomenologi itu sendiri, yaitu untuk

memahamai dan mendeskripsikan esensi dari pengalaman yang menjadi fenomena

kehidupan seseorang atau sekelompok orang (Herdiansyah 2010, h. 66).

Tabel berikut adalah pemaparan secara lebih spesifik data-data yang

diperlukan dalam studi ini –tetapi tidak menutup kemungkinan ada data tambahan

yang dibutuhkan dalam studi ini-, yaitu:

Tabel 1.1

Deskripsi dan Pemetaan Data yang di Perlukan

Perubahan

Sosial

1. Perubahan apa saja yang terjadi di dalam kelompok

masyarakat Suku Laut? Untuk itu, perlu diketahui

bagaimana dinamika kehidupan masyarakat Suku Laut

sejak awal hingga saat ini.

2. Bagaimana proses perubahan perubahan tersebut

berlangsung?

3. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi jalannya

proses perubahan sosial masyarakat Suku Laut?

Agensi atau

Aktor

1. Siapa yang berperan sebagai aktor dalam proses

prubahan sosial masyarakat Suku Laut. Hal ini berguna

untuk mengetahui aktor-aktor yang terlibat dalam proses

perubahan sosial masyarakat Suku Laut.

2. Sejauh mana keterlibatan para aktor dalam proses

islamisasi dan perubahan sosial lainnya.

3. Sejauh mana keterlibatan aktor dalam membentuk

struktur. Melacak mengenai sejarah mereka, mulai dari

asal usul, kemunculan, dan dinamikanya.

23

Struktur Untuk memahami lebih dalam mengenai hal ini, maka hal

yang harus dilacak adalah adanya kemungkinan faktor-faktor

yang mempengaruhi individu atau masyarakat Suku Laut

dalam mengambil keputusan. Masing-masing individu

mungkin bertindak dengan harapan memperoleh keuntungan

lebih.

1. Dalam memutuskan untuk beragama islam diantara

berbagai pilihan agama/kepercayaan apakah individu

didorong atau memang keinginan pribadi?

2. Apakah latar belakang kelas mempengaruhi individu

dalam memilih agama?

3. Apakah ada dorongan kebutuhan ekonomi? Jika iya,

lacak pendapatan mereka saat sebelum masuk islam dan

sesudah masuk islam.

4. Apakah yang mereka bayangkan ketika memutuskan

untuk ikut serta memeluk agama islam? Biasanya,

masyarakat dari kelompok minoritas atau kelas sosial

yang rendah memiliki pemahaman yang realistis terhadap

kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi agar tetap

mampu bertahan dalam sistem kehidupan sosial dan

ekonomi yang ada disekitar mereka.

5. Bagaimana tingkat perkembangan ekonomi yang ada

dilingkungan sekitar mereka/masyarakat Suku Laut.

Kesadaran mengenai hal ini dirasa mampu

mempengaruhi keputusan-keputusan mereka dalam

bertindak.

6. Bagaimana pengetahuan masyarakat Suku Laut tentang

peluang kerja dan bagaimana sikap/pandangan mereka

terhadap kerja/pekerjaan. Hal ini bisa dianggap sebagai

motivasi bagi masyarakat Suku Laut untuk melakukan

24

perubahan. Islamisasi bisa jadi oleh Orang-orang Suku

Laut dipahami sebagai strategi baru untuk mengikuti

perkembangan zaman dan perkembangan ekonomi

sehingga mampu mengakses peluang kerja untuk

memperbaiki hidup.

7. Untuk mengetahui bekerjanya ‘structural constraint’,

perlu diselidiki bagaimana motif dan proses penalaran

aktor dipengaruhi atau dibentuk oleh faktor dalam

pengalaman saat ini dan pengalaman sebelumnya, serta

bagaimana faktor-faktor tersebut pada gilirannya

dipengaruhi oleh ciri-ciri institusional masyarakat umum

yang lebih luas.

Untuk bisa memperoleh data-data tersebut, penelitian kualitatif akan

sangat membantu untuk bisa mengekplorasi informasi dan data secara mendalam

dengan cara menemukan informan yang tepat dan relevan. Pemilihan informan

akan dilakukan dengan teknik purposive sampling, yaitu pemilihan informan

dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu, misalnya orang yang dianggap

paling tahu mengenai permasalahan yang ada dan mengerti apa yang diharapkan

peneliti, atau mungkin orang yang dianggap sebagai penguasa atau yang disegani

sehingga memudahkan peneliti memperoleh data yang dibutuhkan.

Yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah individu-individu dalam

kelompok masyarakat Suku Laut yang mengalami fenomena konversi agama yang

sama di Pulau Air Mas, Kota Batam Provinsi Kepulauan Riau. Masyarakat Suku

Laut atau yang lebih sering disebut dengan Orang Suku Laut ini adalah kelompok

masyarakat etnis yang sering ditemukan di daerah-daerah perairan Provinsi

25

Kepulauan Riau, Indonesia. Akan tetapi, saat ini sudah jarang ditemukan Orang

Suku Laut yang menghabiskan hidupnya di laut atau perairan, mereka saat ini

lebih banyak membangun rumah di pesisir pantai dan menetap di sana.

Orang Suku Laut di wilayah Kota Batam tidak hanya terdapat di Pulau Air

Mas Saja, tetapi juga bisa ditemukan di bagian-bagian wilayah Kota Batam

lainnya. Akan tetapi, untuk penelitian ini, unit analisisnya tetap hanya akan fokus

pada masyarakat Suku Laut yang ada di Pulau Air Mas saja. Hal ini dirasa penting

untuk ditegaskan agar penelitian ini lebih jelas, terarah, dan lebih fokus.

G.1. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini lebih berdasarkan pada ‘social situation’

atau situasi sosial yang ditemukan dilapangan seperti tempat, pelaku, dan aktivitas

yang berinteraksi secara sinergis. Akan tetapi, sebagai gambaran awal peneliti,

ada beberapa sumber data yang dianggap relevan untuk memperoleh data dan

informasi yang dibutuhkan–tetapi tidak menutup kemungkinan akan ada sumber

data tambahan selain ini-, yaitu:

1. Masyarakat Suku Laut

Informasi atau data dari masyarakat Suku Laut sangat penting karena

mereka menjadi fokus analisis dari penelitian ini. Mereka adalah pihak

yang paling mengetahui seluk beluk dan dinamika kehidupan masyarakat

Orang-orang Suku Laut. Karena yag akan dianalisis adalah pengalaman

individu dari kelompok masyarakat Suku Laut dalam fenomena konversi

agama, maka informasi dengan cara wawancara secara langsung kepada

26

orang-orang tersebut sangat dibutuhkan. Data atau informasi dari

masyarakat Suku Laut ini akan menjadi data utama yang digunakan oleh

peneliti.

2. Lembaga Amil Zakat (LAZ) Kota Batam

LAZ menjadi sumber data penting karena mereka adalah pihak yang

terlibat secara langsung dalam konversi agama yang dilakukan terhadap

masyarakat Suku Laut di Pulau Air Mas.

3. Pemerintah Setempat

Pemerintah setempat seperti Pemerintah Kota Batam, Dinas Sosial, dan

pihak kelurahan merupakan pihak yang memiliki otoritas atas masyarakat

Suku Laut sehingga relevan untuk dijadikan sebagai informan penting.

4. Data Dokumen

Berbagai data dokumen berbentuk tulisan, gambar, maupun karya-karya

seseorang akan digunakan untuk melengkapi data-data yang diperoleh dari

masyarakat Suku Laut dan juga LAZ. Misalnya saja media massa baik

internet maupun cetak, data-data literatur seperti buku, hasil penelitian,

jurnal-jurnal, dan dokumen-dokumen lainnya yang mencatat sejarah

mengenai Orang-orang Suku Laut juga menjadi penting untuk

memperoleh konsep-konsep dan teori yang berkaitan dengan studi ini.

G.2. Teknik Pengumpulan Data

Untuk bisa memperoleh data dan informasi yang dibutuhkan secara

lengkap agar bisa menjawab pertanyaan penelitan, maka teknik pengumpulan data

yang akan dilakukan yaitu dengan menggunakan observasi, wawancara

27

mendalam, dan data dokumen. Observasi dan wawancara mendalam menjadi data

primer yang akan digunakan daam studi ini. Sedangkan teknik pengumpulan data

dengan dokumen akan menjadi data sekunder.

Wawancara langsung secara mendalam akan dilakukan dengan masyarakat

Suku Laut, Guru Agama yang ditempatkan di Pulau Air Mas, Pihak LAZ Kota

Batam, dan informan-informan lainnya yang dianggap relevan dalam penelitian

ini. Pemilihan informan ini sebagaimana yang telah dijelaskan di atas akan

dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling. Teknik ini

diharapkan bisa membantu peneliti untuk memperolah data secara mendalam dan

akurat serta membantu peneliti melakukan pengecekan atas kebenaran data atau

informasi yang diberikan oleh informan satu dan yang lainnya.

Sementara observasi akan sangat berguna untuk bisa memahami lebih

dalam terkait bagaimana kehidupan masyarakat Suku Laut di Pulau Air Mas

dengan cara mengamati kegiatan sehari-hari mereka, serta mengamati bagaimana

relasi mereka dengan masyarakat sekitarnya dan juga pemerintah setempat.

Observasi ini akan sangat bermanfaat untuk menambah pengetahuan dan

pemahaman peneliti mengenai berbagai hal tentang Masyarakat Suku Laut yang

mungkin saja tidak bisa didapatkan pada saat wawancara.

Selain Observasi dan wawancara langsung, studi dokumen juga diperlukan

guna memperoleh data tambahan/penunjang yang akan digunakan untuk

memperkuat dan melengkapi data dari hasil wawancara dan observasi. Studi

dokumen yang akan dilakukan berbentuk tulisan, gambar, atau hasil karya

seseorang. Dokumen dalam bentuk tulisan misalnya catatan harian, sejarah

28

kehidupan yang menceritakan tentang masyarakat Suku Laut, artikel, jurnal,

laporan-laporan hasil penelitan terdahulu mengenai Orang-orang Suku Laut,

peraturan dan kebijakan pemerintah, atau informasi-informasi dari media massa

seperti surat kabar dan internet (website) yang sekiranya relevan dengan

penelitian ini.

G.3. Teknik Analisa Data

Selanjutnya, metode triangulasi akan digunakan untuk menganalisis data

hasil observasi, wawancara dan dokumen. Penggunaan teknik triangulasi seperti

ini sekaligus bertujuan untuk menguji kredibilitas data yang diperoleh. Dalam

studi ini, peneliti akan melakukan analisa data dalam dua tahap yaitu pada saat

proses pengumpulan data berlangsung dan setelah proses pengumpulan data

selesai. Hal seperti ini sangat mungkin dilakukan dalam metode penelitian

kualitatif. Inilah yang juga menjadi salah satu alasan mengapa peneliti memilih

menggunakan metode penelitian kualitatif. Analisa data pada saat proses

pengumpulan data berlangsung berarti bahwa untuk melakukan analisa data,

peneliti tidak harus menunggu seluruh data terkumpul. Analisa data bisa dimulai

dengan mengumpulkan hasil temuan yang telah diperoleh dan membuat semacam

transkrip ataupun catatan-catatan dari hasil obeservasi dan wawancara di

lapangan. Hal tersebut juga bermanfaat bagi peneliti untuk mengecek data-data

apa saja yang masih kurang dan harus dicari lebih lanjut. Kegiatan seperti ini akan

dilakukan secara terus menurus hingga seluruh data yang diperlukan terkumpul.

Setelah seluruh hasil temuan penelitian baik dilapangan (observasi dan

wawancara mendalam), media, maupun literatur dan dokumen-dokumen telah

29

diperoleh, maka peneliti akan melakukan analisa secara menyeluruh. Selanjutnya,

data-data tersebut akan dibaca secara berulang dengan tujuan untuk memahami

dan memilah data-data yang dianggap relevan dan berguna dalam studi ini.

Artinya, tidak semua informasi yang didapat selama proses pencarian data akan

digunakan. Dengan adanya proses penyaringan data, maka peneliti bisa

memahami dan memastikan bahwa data yang digunakan benar-benar relavan dan

dibutuhkan untuk bisa menjawab rumusan masalah yang diajukan. Penyaringan

data ini sekaligus dilakukan untuk mengkategorikan data–data yang ada sesuai

dengan perencanaan bab yang telah ditentukan. Membaca data secara berulang-

ulang juga bisa membantu peneliti untuk lebih mudah memahami gambaran

permasalahan secara utuh. Dengan demikian, data dan informasi yang diperoleh

akan tersusun secara sistematis sehingga dapat dengan mudah dipahami dan

diinformasikan kepada orang lain sebagai pembaca. Rangkaian proses analisa data

ini akan memudahkan peneliti untuk menarik kesimpulan sebagai jawaban dari

rumusan masalah.

H. Sistematika Penulisan

Seluruh hasil temuan atau data penelitian yang telah dianalisa akan

dipaparkan dengan membaginya menjadi empat bagian. Akan tetapi, seluruh

bagian dalam tulisan ini tetap akan memperilhatkan secara jelas bagaimana

prubahan sosial itu berlangsung dalam masyarakat Suku Laut. Bagian pertama,

kita akan melihat siapa dan bagaimana sejarah serta dinamika kehidupan

masyarakat Suku laut yang ada di Pulau Air Mas, termasuk budaya, tradisi dan

agama atau kepercayaan yang mereka anut dimulai sejak kemunculannya hingga

30

saat ini. Penjelasan mengenai hal ini penting untuk memperlihatkan bagaimana

masyarakat atau Orang-orang Suku laut ini menjadi agen utama yang membentuk

strukur kehidupan mereka sendiri.

Pada bagian kedua, kita akan melihat bagaimana proses konversi yang

dilakukan terhadap kelompok masyarakat Suku Laut serta alasan-alasan dibalik

dilakukannya konversi tersebut. Bagian ini juga akan menjelaskan bagaimana

keterkaitan antara negara dengan agama, serta pemetaan agen atau pelaku yang

terlibat dalam proses islamisasi dan bagaimana keterkaitan antar pelaku tersebut.

Di sinilah konsep agensi akan sangat berperan.

Pada bagian ketiga, kita akan melihat bagaimana kelanjutan proses

konversi tersebut dan bagaimana dampak dari proses panjang konversi yang

dilakukan terhadap Suku Laut tersebut, serta faktor-faktor yang mempengaruhi

atau menyebabkan tidak adanya resistensi dalam proses islamisasi yang dilakukan

oleh LAZ terhadap masyarakat Suku Laut di Pulau Air Mas. Dalam menjelaskan

hal ini, konsep mengenai struktuk akan sangat berperan penting. Di sinilah akan

dijelaskan bagaimana struktur dan faktor-faktor lainnya berperan dalam

mendorong adanya kebutuhan akan perubahan yang terlihat melalui konversi

agama yang diterima dengan tangan terbuka oleh masyarakat Suku Laut di Pulau

Air Mas.

Bagian terakhir, akan dipaparkan kesimpulan dari berbagai pembahasan

yang telah dijelaskan sebelumnya sebagai jawaban atas rumusan masalah yang

telah diajukan dan mencoba memetik sebuah pelajaran penting yang bisa kita

31

ambil dari studi ini sebagai kontribusi bagi teoritisasi perubahan sosial dalam ilmu

sosial dan politik.