60
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam berdarah dengue atau dengue haemorrhagic fever (DHF) merupakan suatu penyakit demam berat yang disebabkan oleh beberapa virus yang dibawa arthropoda, ditandai dengan peningkatan permeabilitas kapiler, kelainan hemostasis, dan pada kasus berat disertai dengan sindrom syok kehilangan protein (Nelson, Behrman, & Kliegman, 2000). DHF mempunyai bentukan yang lebih ringan, yaitu demam dengue dan bentukan yang lebih berat yaitu dengue shock syndrome (DSS) (WHO, 2011). DHF merupakan suatu penyakit epidemik yang sering terjadi di daerah hutan tropis, subtropis, dan daerah dengan suhu temperatut cukup tinggi di dunia. Data WHO tahun 2000 – 2008 menyatakan bahwa sekitar 1.656.870 penduduk di dunia mengalami DHF dengan negara terbanyak terdapat di wilayah Asia Tenggara, yaitu di Thailand dan Indonesia. Indonesia bersama dengan Bangladesh, India, Maldives, Myanmar, Sri Lanka, Thailand, dan Timor Leste merupakan daerah yang mempunyai angka kejadia DHF tertinggi di dunia. Angka kejadian DHF di Indonesia semakin meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2006, angka kejadian DHF di Indonesia sekitar 106.425 kasus dan meningkat hingga 155.607 kasus pada tahun 2008. Angka 1

BAB I New

Embed Size (px)

DESCRIPTION

bab 1

Citation preview

Page 1: BAB I New

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Demam berdarah dengue atau dengue haemorrhagic fever (DHF) merupakan

suatu penyakit demam berat yang disebabkan oleh beberapa virus yang dibawa

arthropoda, ditandai dengan peningkatan permeabilitas kapiler, kelainan hemostasis,

dan pada kasus berat disertai dengan sindrom syok kehilangan protein (Nelson,

Behrman, & Kliegman, 2000). DHF mempunyai bentukan yang lebih ringan, yaitu

demam dengue dan bentukan yang lebih berat yaitu dengue shock syndrome (DSS)

(WHO, 2011).

DHF merupakan suatu penyakit epidemik yang sering terjadi di daerah hutan

tropis, subtropis, dan daerah dengan suhu temperatut cukup tinggi di dunia. Data

WHO tahun 2000 – 2008 menyatakan bahwa sekitar 1.656.870 penduduk di dunia

mengalami DHF dengan negara terbanyak terdapat di wilayah Asia Tenggara, yaitu di

Thailand dan Indonesia. Indonesia bersama dengan Bangladesh, India, Maldives,

Myanmar, Sri Lanka, Thailand, dan Timor Leste merupakan daerah yang mempunyai

angka kejadia DHF tertinggi di dunia. Angka kejadian DHF di Indonesia semakin

meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2006, angka kejadian DHF di Indonesia

sekitar 106.425 kasus dan meningkat hingga 155.607 kasus pada tahun 2008. Angka

kematian akibat DHF juga masih tinggi di Indonesia, yaitu 1.396 kasus pada tahun

2009 (WHO, 2011).

Morbiditas dan mortalitas DHF yang dilaporkan berbagai negara bervariasi

disebabkan beberapa faktor, antara lain status umur penduduk, kepadatan vektor,

tingkat penyebaran virus dengue, prevalensi serotipe virus dengue dan kondisi

meteorologis. Secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan antara jenis kelamin,

tetapo kematian ditemukan lebih banyak pada anak perempuan daripada anak laki-

laki. Proporsi kasus DHF terbamyak pada golongan anak <15 tahun (86 – 95%)

(IDAI, 2010).

DHF adalah penyakit yang disebabkan oleh empat tipe virus dengue yaitu

DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan

Aedes albopictus. Masa inkubasi penyakit ini tergolong cepat, yaitu sekitar 2 – 5 hari

1

Page 2: BAB I New

sesudah gigitan nyamuk. Fase pertama relatif ringan dengan demam yang muncul

secara mendadak, malaise, muntah, nyeri kepala, anoreksia, dan batuk. Pada fase

kedua, pasien mulai merasakan ekstremitas dingin, gelisah, iritabel, dan nyeri

epigastrium. Kadang-kadang dapat ditemukan adanya petekie yang tersebar pada dahi

dan tungkai. Pernapasan akan semakin cepat dan sering berat, nadi lemah, cepat, dan

kecil. Fase ketiga muncul 24 – 36 jam setelah fase kedua dimana anak merasa

semakin sehat dan sembuh. Suhu badan kembali normal (Nelson, Behrman, &

Kliegman, 2000; WHO, 2011).

Awalnya KLB penyakit DBD setiap lima tahun, selanjutnya menjadi tiga tahun,

dua tahun dan akhirnya setiap tahun. Hal ini berhubungan erat dengan adanya

perubahan iklim dan kelembaban yang terjadi di Indoensia, terjadinya migrasi

penduduk dari daerah yang jarang ditemukan infeksi virus dengue ke daerah endemis,

meningkatnya kantong-kantong jentik nyamuk Aedes aegypti di perkotaan terutama

daerah kumuh pada bulan-bulan tertentu, urbanisasi yang tidak terencana dan

terkendali. Oleh karena itu, penyakit DBD ini menjadi masalah kesehatan masyarakat

yang banyak menyerang anak-anak. Infeksi dengue termasuk dalam 10 besar infeksi

akut endemis di Indonesia sehingga diharapkan tidak terjadi kesalahan dalam

diagnosis dan penatalaksanaan yang diberikan (Soegeng, 2006).

1.2 Tujuan

Tujuan penulisan tutorial ini adalah untuk mengetahui definisi, etiologi,

patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, terapi, komplikasi, dan prognosis dari

demam berdarah dengue serta membandingkannya dengan teori berdasarkan literatur.

2

Page 3: BAB I New

BAB II

DATA PASIEN

2.1 Identitas

Identitas Pasien

Nama : An. NF

Umur : 4 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Anak ke : 2 dari 2 bersaudara

Alamat : Jalan Asrama Brimob Samarinda Seberang

MRS : 8 Agustus 2015

Identitas Orang Tua

AYAH

Nama : Tn. E

Umur : 36 tahun

Alamat : Jalan Asrama Brimob Samarinda Seberang

Pekerjaan : Polri

Pendidikan Terakhir : SLTA

Ayah perkawinan ke : I

IBU

Nama : Ny. A

Umur : 37 tahun

Alamat : Jalan Asrama Brimob Samarinda Seberang

Pekerjaan : IRT

Pendidikan Terakhir : SLTA

Ibu perkawinan ke : I

3

Page 4: BAB I New

2.2 Anamnesis

Anamnesis dilakukan pada tanggal 10 Agustus 2015 pukul 12.20 WITA, di

bangsal Melati RSUD AW. Sjahranie Samarinda. Aloanamnesa oleh ibu kandung

pasien.

Keluhan Utama

Demam

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien di bawa ke IGD dengan keluhan demam. Demam dirasakan selama kurang

lebih 7 hari, demam naik turun, tidak ada waktu tertentu demam muncul. Sudah

diberikan obat penurun demam namun tidak sembuh juga. Menurut pengakuan

orangtua pasien demam dirasakan terus-menerus tidak ada hari bebas demam.

Demam kemudian disusul muntah 2 hari SMRS, muntah ≤ 5x, berisi makanan yang

dimakan. Nafsu makan pasien menurun, serta ada tanda perdarahan berupa gusi

berdarah. BAB dan BAK dbn.

Pasien juga mengeluhkan batuk dan pilek sejak 2 hari SMRS, batuk berdahak (+).

Pasien juga mengeluhkan perutnya membesar semenjak 1 minggu SMRS. Menurut

pengakuan ibu pasien perut membesar setelah pengobatan jantungnya di stop.

Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat Sindrom Down dan VSD

Riwayat Penyakit Keluarga

a. Ayah : sehat, tidak pernah menderita keluhan serupa

b. Ibu : sehat, tidak pernah menderita keluhan serupa

c. Keluarga dekat : sehat, tidak pernah menderita keluhan serupa

4

Page 5: BAB I New

Riwayat Pengobatan

Pasien sudah berobat 1 kali di IGD dan disarankan untuk berobat jalan oleh dokter

karena hasil pemeriksaan laboratorium masih dalam batas normal. Pasien hanya

diberikan obat penurun panas.

Pertumbuhan dan Perkembangan Anak

a. Berat badan lahir : 3.100 gram

b. Panjang badan lahir : 49 cm

c. Tersenyum : 5 bulan

d. Miring : 12 bulan

e. Tengkurap : 14 bulan

f. Duduk : 18 bulan

g. Gigi keluar : 12 bulan

h. Merangkak : 2 tahun

i. Berdiri : 2 tahun 5 bulan

j. Berjalan : 2 tahun 8 bulan

k. Berbicara dua suku kata : 3 tahun

l. Sekolah : -

Makan Minum Anak

Makan dan minum anak

ASI : 0 bulan - 10 bulan

Susu sapi : 6 bulan

Bubur susu : 6 bulan

Tim saring : -

Buah : 2 tahun

Lauk dan makan padat : 3 tahun

Pemeliharaan Prenatal

Periksa di : Dokter

Penyakit Kehamilan : -

Obat-obatan yang sering diminum : Tablet asam folat dan zat besi

5

Page 6: BAB I New

Riwayat Kelahiran :

Lahir di : RS

Persalinan ditolong oleh : Dokter

Berapa bulan dalam kandungan : 9 bulan (aterm)

Jenis partus : Spontan

Pemeliharaan postnatal :

Periksa di : Dokter

Keadaan anak : Sindrom Down + PJB

Keluarga berencana : Ya

Jenis kontrasepsi : Suntik 3 bulan

Jadwal Imunisasi

ImunisasiUsia saat imunisasi

I II III IV Booster I Booster II

BCG + //////////// //////////// //////////// //////////// ////////////

Polio + + + + - -

Campak + //////////// //////////// //////////// //////////// ////////////

DPT + + + //////////// - -

Hepatitis B + + + + - -

2.3 Pemeriksaan Fisik

Dilakukan pada tanggal 10 Agustus 2015 pukul 12.20 WITA.

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : E4V5M6

Tanda Vital

a. Tekanan darah : 90/60 mmHg

b. Nadi : 88 x/menit, reguler, kuat angkat

c. RR : 34 x/menit, reguler

d. Suhu (axila) : 37,1C

Antropometri

6

Page 7: BAB I New

a. Berat Badan : 14,5 kg

b. Panjang Badan : 89 cm

c. Lingkar Kepala : 48 cm

d. Lingkar Lengan Atas : 15 cm

e. Status Gizi : Gizi baik

7

Page 8: BAB I New

8

Page 9: BAB I New

9

Page 10: BAB I New

Kepala/leher

Rambut : Warna hitam, tipis, tidak mudah dicabut

Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), mata cowong (-/-),

kornea tampak suram (-/-), refleks cahaya (+/+), pupil isokor

(3mm/3mm)

Telinga : Sekret (-), darah (-)

Hidung : Sekret (-), pernafasan cuping hidung (-)

Mulut : Mukosa bibir normal, sianosis (-), lidah bersih

Tonsil : Normal, hiperemis (-/-), membesar (-/-)

Faring : Normal, hiperemis (-)

Gigi : Normal, karies (-)

Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-)

Thorax

Paru Inspeksi : Bentuk dada normal, tidak tampak simetris D = S,

retraksi intercosta (-)

Palpasi : Pergerakan simetris D = S

Perkusi : Sonor

Auskultasi : Vesikuler (+/+) , rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Jantung Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat

Palpasi : Ictus cordis tidak teraba

Perkusi : Batas jantung kiri = ICS V MCL Sinistra

Batas jantung kanan = ICS IV PSL Dextra

Auskultasi : S1 S2 tunggal, regular, murmur (-), gallop (-)

Abdomen

Inspeksi : Flat, tidak terlihat kontur usus, kembung (-)

Palpasi : Soefl, nyeri tekan (+) daerah epigastrium, defens muskular (-),

organomegali (+), turgor kulit baik

Perkusi : Timpani

Auskultasi : Bising usus (+) kesan normal

10

Page 11: BAB I New

Alat Kelamin

Normal, gatal (-), sekret abnormal (-), perdarahan (-), luka (-)

Ekstremitas

Superior : Akral hangat, pucat (-/-), edema (-/-),tidak ada pembengkakan sendi atau

tulang

Posterior : Akral hangat, pucat (-/-), edema (-/-),tidak ada pembengkakan sendi atau

tulang,

2.4 Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium

Pemeriksaan08 Agus

2015

10 Agus

2015

12 Agus

2015

13 Agus

2015

Leukosit 3.300 4.210 6.090 6.090

Hemoglobin 12,1 13,2 14 13,1

Hematokrit 35,3 38,6 39,9 37,8

Trombosit 155.000 115.000 126.000 125.000

Na 134 - - -

K 5,4 - - -

Cl 106 - - -

Ureum 113,3 93,9 - -

Creatinin 0,8 0,7 - -

Albumin 4,4 - - -

SGOT 126 - - -

SGPT 97 - - -

11

Page 12: BAB I New

Pemeriksaan Serologi

Tanggal Pemeriksaan Hasil

10 Agustus 2015 Tubex test (+) Skala 6

Dengue Ig G (+)

Dengue Ig M (-)

12

Page 13: BAB I New

2.5 Lembar Follow Up

Tanggal Subjective Objective Assesment Planning

10

Agustus

2015

Demam (+) H-6,

Batuk (+),

Pilek (+),

Muntah (+),

Perdarahan gusi

(+)

BAB cair (-)

Kesadaran : cm

N : 90 x/menit,

kuat angkat

RR : 24 x/menit

T : 36,6o C

Down

Syndrome

+ VSD +

Observasi

febris

1. Inj. Transamin 3 x 125 mg

2. Inj. Cefotaxime 3 x 400 mg

3. Cek DL, Tubex, Ig G Ig M

Anti dengue, Ur/Cr, PT

APTT

11

Agustus

2015

Demam (+) H-7,

Muntah (-),

Batuk (+),

Pilek (+),

Perdarahan (-),

BAB Cair (-)

Kesadaran : cm

N :110 x/menit,

kuat angkat

RR : 28 x/menit

T : 37,8o C

Down

Syndrome

+ VSD +

Demam

Tifoid +

DHF

1. IVFD Futrolit 8 tpm

2. Inj. Transamin 3 x 125 mg

3. Inj. Cefotaxime 3 x 400 mg

4. Nebu 2x/hr

5. Observasi ketat vital sign

6. Cek DL/hari

12

Agustus

2015

Demam (-) H-8,

Muntah (-),

Batuk (+),

Pilek (+)

Kesadaran : cm

N : 100 x/menit,

kuat angkat

RR : 30 x/menit

T : 36,3o C

Down

Syndrome

+ VSD +

Demam

Tifoid +

DHF

1. IVFD Futrolit 8 tpm

2. Inj. Transamin 3 x 125 mg

3. Inj. Cefotaxime 3 x 400 mg

4. Nebu 2x/hr

5. Cek DL/hari

13

Agustus

2015

Demam (+) H-9,

Muntah (+)

darah (+),

Kesadaran : cm

N : 88 x/menit,

kuat angkat

RR : 34 x/menit

T : 37,1o C

Down

Syndrome

+ VSD +

Demam

Tifoid +

DHF

1. IVFD D5 ½ 500 cc/24 jam

2. Inj. Cefotaxime 2x 400 mg

(stop)

3. Inj. Ceftriaxone 2 x 600 mg

4. Inj. PCT 4 x 150 mg iv

5. Inj. Transamin 3 x 180 mg

6. Inj. Ranitidin 2 x 13 mg

7. Ambroxol 3 x ½ cth

13

Page 14: BAB I New

8. Obat jantung lanjut

14

Agustus

2015

Demam (-),

Muntah (-),

Batuk (+),

Pilek (+)

Kesadaran : cm

N : 80 x/menit,

kuat angkat

RR : 30 x/menit

T : 36,6o C

Down

Syndrome

+ VSD +

Demam

Tifoid +

DHF

1. IVFD D5 ½ 500 cc/24 jam

2. Inj. Ceftriaxone 2 x 600 mg

3. Inj. PCT 4 x 150 mg iv

4. Inj. Transamin 3 x 180 mg

5. Inj. Ranitidin 2 x 13 mg

6. Ambroxol 3 x ½ cth

7. Obat jantung lanjut

2.6 Diagnosis Kerja

Down Syndrome + VSD + Dengue Haemorrhagic Fever Grade II + Demam

Tifoid

2.7 Penatalaksanaan

Terapi pada pasien ini adalah:

1. IVFD D5 ½ 500 cc/24 jam

2. Inj. Ceftriaxone 2 x 600 mg

3. Inj. PCT 4 x 150 mg iv

4. Inj. Transamin 3 x 180 mg

5. Inj. Ranitidin 2 x 13 mg

6. Ambroxol 3 x ½ cth

7. Obat jantung lanjut

2.8 Prognosis

Dubia

14

Page 15: BAB I New

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi

Demam berdarah dengue atau dengue haemorrhagic fever (DHF) merupakan

suatu penyakit demam berat yang disebabkan oleh beberapa virus yang dibawa

arthropoda, ditandai dengan peningkatan permeabilitas kapiler, kelainan hemostasis,

dan pada kasus berat disertai dengan sindrom syok kehilangan protein (Nelson,

Behrman, & Kliegman, 2000). DHF mempunyai bentukan yang lebih ringan, yaitu

demam dengue dan bentukan yang lebih berat yaitu dengue shock syndrome (DSS)

(WHO, 2011).

3.2 Epidemiologi

Istilah haemorrhagic fever di Asia Tenggara pertama kali digunakan di Filipina

pada tahun 1953 dimana telah terjadi epidemi di Bangkok. Di Indonesia, DHF

pertama kali ditemukan di Surabaya pada tahun 1968 dan konfirmasi virologis

ditemukan pada tahun 1970 (IDAI, 2010). DHF merupakan suatu penyakit epidemik

yang sering terjadi di daerah hutan tropis, subtropis, dan daerah dengan suhu

temperatut cukup tinggi di dunia. Data WHO tahun 2000 – 2008 menyatakan bahwa

sekitar 1.656.870 penduduk di dunia mengalami DHF dengan negara terbanyak

terdapat di wilayah Asia Tenggara, yaitu di Thailand dan Indonesia. Indonesia

bersama dengan Bangladesh, India, Maldives, Myanmar, Sri Lanka, Thailand, dan

Timor Leste merupakan daerah yang mempunyai angka kejadia DHF tertinggi di

dunia. Angka kejadian DHF di Indonesia semakin meningkat setiap tahunnya. Pada

tahun 2006, angka kejadian DHF di Indonesia sekitar 106.425 kasus dan meningkat

hingga 155.607 kasus pada tahun 2008. Angka kematian akibat DHF juga masih

tinggi di Indonesia, yaitu 1.396 kasus pada tahun 2009 (WHO, 2011).

Morbiditas dan mortalitas DHF yang dilaporkan berbagai negara bervariasi

disebabkan beberapa faktor, antara lain status umur penduduk, kepadatan vektor,

tingkat penyebaran virus dengue, prevalensi serotipe virus dengue dan kondisi

meteorologis. Secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan antara jenis kelamin,

tetapo kematian ditemukan lebih banyak pada anak perempuan daripada anak laki-

15

Page 16: BAB I New

laki. Proporsi kasus DHF terbamyak pada golongan anak <15 tahun (86 – 95%)

(IDAI, 2010).

Gambar 3.1 Data Penyebaran Risiko Transmisi Virus Dengue di Dunia (WHO, 2011)

3.3 Etiologi

Virus dengue termasuk grup B arthropod borne virus (arboviruses) dan

sekarang dikenal sebagai genus flavivirus, famili Flaviviridae, yang mempunyai 4

jenis serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Infeksi salah satu serotipe

akan menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi

tidak ada perlindungan terhadap serotipe lain. Seseorang yang tinggal di daerah

epidemis dengue dapat terinfeksi dengan 3 atau bahkan 4 serotipe selama hidupnya.

Keempat jenis serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia.

Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan sering dihubungkan dengan

kasus DHF yang berat (IDAI, 2010).

Virus dengue berukuran kecil yaitu 50 nm dan terdiri dari RNA rantai tunggal

dengan berat molekul 4x106. Virion terdiri dari nukleokapsid dengan simetrisitas

16

Page 17: BAB I New

berbentuk kubus yang ditutupi oleh lapisan lipoprotein. Amplop glikoprotein, NS1,

merupakan bagian diagnostik yang penting untuk diagnosis DHF (WHO, 2011).

Vektor dari virus dengue adalah Aedes aedypti dan Aedes albopictus. Aedes

aedypti banyak ditemukan di daerah Afrika dan mulai menyebar ke Asia Tenggara

pada abad ke 19 sepanjang perang dunia II. Aedes albopictus merupakan subgenus

Stegomyia yang banyak ditemukan di daerah Asia Tenggara dan Samudera Hindia.

Sifat nyamuk ini adalah antropofilik dan menggigit berulang yaitu menggigit

beberapa orang secara bergantian dalam waktu singkat dan mempermudah

pemindahan virus, aktivitas menggigit pagi sampai dengan petang dengan puncak

aktivitas 09.00-10.00 dan 16.00-17.00, kemampuan terbang nyamuk betina 40-100

meter, kebiasaan istirahat serta menggigit dalam rumah, dan tempat hinggap dalam

rumah adalah barang-barang bergantungan seperti baju, gorden, kabel, peci dan lain-

lain. Hal-hal yang mempengaruhi transmisi dan perkembangan nyamuk jenis ini

adalah musim penghujan dan daerah kumuh yang terdiri dari banyak tempat

penampungan air (WHO, 2011).

Gambar 3.2 Distribusi nyamuk Aedes aedypti di dunia (WHO, 2011)

17

Page 18: BAB I New

Gambar 3.3 Distribusi nyamuk Aedes albopictus di dunia (WHO, 2011)

3.4 Klasifikasi

Pembagian derajat DHF menurut WHO pada tahun 1975 adalah sebagai berikut

(IDAI, 2010).

1. Derajat I

Demam diikuti gejala tidak spesifik. Satu-satunya manifestasi perdarahan adalah

tes torniquet yang positif atau mudah memar.

2. Derajat II

Gejala yang ada pada tingkat I ditambah dengan perdarahan spontan.  Perdarahan

bisa terjadi di kulit atau di tempat lain.

3. Derajat III

Kegagalan sirkulasi ditandai oleh denyut nadi yang cepat dan lemah, tekanan nadi

menurun (<20mmHg) atau hipotensi, suhu tubuh rendah, kulit lembab dan

penderita gelisah.

4. Derajat IV

Syok berat dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan darah tidak dapat diperiksa.

Sedangkan pembagian DHF menurut WHO pada tahun 2012 sangat berbeda

apabila dibandingkan dengan pembagian WHO pada tahun 1975 (WHO, 2011).

18

Page 19: BAB I New

Gambar 3.4 Klasifikasi Dengue Berdasarkan Derajat Berat Penyakit (WHO, 2012)

3.5 Patogenesis

Mekanisme sebenarnya tentang patofisiologi, hemodinamika, dan biokimiawi

DHF belum diketahui secara pasti karena kesukaran mendapatkan model binatang

percobaan yang dapat dipergunakan untuk menimbulkan gejala klinis DHF pada

manusia. Hingga kini sebagian besar literatur masih menganut the secondary

heterologus infection hypothesis atau the sequential infection hypothesis yang

menyatakan bahwa DHF dapat terjadi apabila seseorang setelah terinfeksi virus

dengue pertama kali mendapatkan infeksi kedua dengan virus dengue serotipe lain

dalam jarak waktu 6 bulan sampai 5 tahun (IDAI, 2010).

The Immunological Enhancement Hypothesis

Antibodi yang terbentuk pada infeksi dengue terdiri dari IgG yang berfungsi

menghambat replikasi virus dalam monosit, yaitu enhancing-antibody dan

neutralizing antibody. Pada saat ini dikenal 2 jenis tipe antibodi yaitu kelompok

monoklonal reaktif yang tidak mempunyai sifat menetralisir tetapi memacu replikasi

19

Page 20: BAB I New

virus dan antibodi yang dapat menetralisir secara spesifik tanpa disertai daya memacu

replikasi virus. Perbedaan ini berdasarkan adanya virion determinant spesificity.

Antibodi non-neutralisasi yang dibentuk pada infeksi primer akan menyebabkan

terbentuknya kompleks imun pada infeksi sekunder dengan akibat memacu replikasi

virus. Teori ini pula yang mendasari pendapat bahwa infeksi sekunder virus dengue

oleh serotipe dengue yang berbeda cenderung menyebabkan manifestasi berat. Dasar

utama hipotesis adalah meningkatnya reaksi imunologis (the immunological

enhancement hypothesis) yang berlangsung sebagai berikut (IDAI, 2010).

1. Sel fagosit mononuklear, yaitu monosit, makrofag, histiosit, dan sel Kupffer

merupakan tempat utama terjadinya infeksi virus dengue primer

2. Non neutralizing antibody baik yang bebas dalam sirkulasi maupun yang melekat

pada sel, bertindak sebagai reseptor spesifik untuk melekatnya virus dengue pada

permukaan sel fagosit mononuklear. Mekanisme pertama ini disebut sebagai

mekanisme aferen

3. Virus dengue kemudian akan bereplikasi dalam sel fagosit mononuklear yang

telah terinfeksi

4. Selanjutnya sel monosit yang mengandung kompleks imun akan menyebar ke

usus, hati, limpa, dan sum-sum tulang. Mekanisme ini disebut sebagai

mekanisme eferen. Parameter perbedaan terjadinya DHF dengan atau tanpa

renjatan ialah jumlah sel yang terkena infeksi

5. Sel monosit yang telah teraktivasi akan mengadakan interaksi dengan sistem

humoral dan sistem komplemen dengan akibat dilepaskannya mediator yang

mempengaruhi permeabilitas kapiler dna mengaktivasi sistem koagulasi.

Mekanisme ini disebut sebagai mekanisme efektor

Aktivasi Limfosit T

Limfosit T juga memegang peranan penting dalam patogensis DHF. Akibat

rangsangan monosit yang terinfeksi virus dengue atau antigen virus dengue, limfosit

dapat mengeluarkan interferon (INF- dan ). Pada infeksi sekunder oleh virus

dengue (serotipe berbeda dengan infeksi pertama), limfosit T CD4+ berproliferasi dan

menghasilkan INF-. INF- selanjutnya merangsang sel yang terinfeksi virus dengue

dan mengakibatkan monosit memproduksi mediator. Oleh limfosit T CD4+ dan CD8

+

20

Page 21: BAB I New

spesifik virus dengue, monosit akan mengalami lisis dan mengeluarkan mediator

yang menyebabkan kebocoran plasma dan perdarahan.

Hipotesis kedua patogenesis DHF mempunyai konsep dasar bahwa keempat serotipe

virus dengue mempunyai potensi patogen yang sama dan gejala berat terjadi sebagai

akibat serotipe atau galur serotipe virus dengue yang paling virulen.

3.6 Patofisiologi

Beberapa hal penting yang terjadi pada pasien dengan infeksi virus dengue

adalah perubahan volume plasma, trombositopenia, perubahan pada sistem koagulasi

dan fibrinolisis, perubahan pada sistem komplemen, dan respon leukosit (IDAI,

2010).

Volume Plasma

Fenomena patofisiologi utama yang menentukan derajat penyakit dan membedakan

antara DD dengan DBD ialah peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah,

penurunan volume plasma, terjadinya hipotensi, trombositopenia, serta diatesis

hemoragik. Penyelidikan volume plasma pada kasus DBD dengan menggunakan 131

Iodine labelled human albumin sebagai indikator membuktikan bahwa plasma

merembes selama perjalanan penyakit mulai dari permulaan masa demam dan

mencapai puncaknya pada masa syok. Pada kasus berat, syok terjadi secara akut, nilai

hematokrit meningkat bersamaan dengan menghilangnya plasma melalui endotel

dinding pembuluh darah. Meningginya nilai hematokrit pada kasus syok

menimbulkan dugaan bahwa syok terjadi sebagai akibat kebocoran plasma ke daerah

ekstra vaskular (ruang interstisial dan rongga serosa) melalui kapiler yang rusak.

Bukti yang mendukung dugaan ini ialah meningkatnya berat badan, ditemukannya

cairan yang tertimbun dalam rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura, dan

perikardium yang pada otopsi ternyata melebihi cairan yang diberikan melalui infus,

dan terdapatnya edema.

Pada sebagian besar kasus, plasma yang menghilang dapat diganti secara efektif

dengan memberikan plasma atau ekspander plasma. Pada masa dini dapat diberikan

cairan yang mengandung elektrolit. Syok terjadi secara akut dan perbaikan klinis

terjadi secara cepat dan drastis. Sedangkan pada otopsi tidak ditemukan kerusakan

21

Page 22: BAB I New

dinding pembuluh darah yang bersifat dekstruktif atau akibat radang, sehingga

menimbulkan dugaan bahwa perubahan fungsional dinding pembuluh darah agaknya

disebabkan oleh mediator farmakologis yang bekerja secara cepat. Gambaran

mikroskop elektron biopsi kulit pasien DBD pada masa akut memperlihatkan

kerusakan sel endotel vaskular yang mirip dengan luka akibat anoksia atau luka

bakar. Gambaran itu juga mirip dengan binatang yang diberi histamin atau serotonin

atau dibuat keadaan trombositopenia.

Trombositopenia

Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang ditemukan pada sebagian

besar kasus DBD. Nilai trombosit mulai menurun pada masa demam dan mencapai

nilai terendah pada masa syok. Jumlah trombosit secara cepat meningkat pada masa

konvalesens dan nilai normal biasanya tercapai 7-10 hari sejak permulaan sakit.

Trombositopenia yang dihubungkan dengan meningkatnya megakariosit muda dalam

sumsum tulang dan pendeknya masa hidup trombosit diduga akibat meningkatnya

destruksi trombosit. Dugaan mekanisme lain trombositopenia ialah depresi fungsi

megakariosit. Penyelidikan dengan radioisotop membuktikan bahwa penghancuran

trombosit terjadi dalam sistem retikuloendotel, limpa dan hati. Penyebab peningkatan

destruksi trombosit tidak diketahui, namun beberapa faktor dapat menjadi penyebab

yaitu virus dengue, komponen aktif sistem komplemen, kerusakan sel endotel dan

aktivasi sistem pembekuan darah secara bersamaan atau secara terpisah. Lebih lanjut

fungsi trombosit pada DBD terbukti menurun mungkin disebabkan proses imunologis

terbukti ditemui kompleks imun dalam peredaran darah. Trombositopenia dan

gangguan fungsi trombosit dianggap sebagai penyebab utama terjadinya perdarahan

pada DBD.

Sistem koagulasi dan fibrinolisis

Kelainan sistem koagulasi juga berperan dalam perdarahan DBD. Masa perdarahan

memanjang, masa pembekuan normal, masa tromboplastin parsial yang teraktivasi

memajang. Beberapa faktor pembekuan menurun, termasuk faktor II, V, VII, VIII, X

dan fibrinogen. Pada kasus DBD berat terjadi peningkatan Fibrinogen Degradation

Products (FDP). Penelitian lebih lanjut faktor koagulasi membuktikan adanya

22

Page 23: BAB I New

penurunan aktivitas antitrombin III. Disamping itu juga dibuktikan bahwa

menurunnya aktivitas faktor VII, faktor II, dan antitrombin III tidak sebanyak seperti

fibrinogen da faktor VIII. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa menurunnya kadar

fibrinogen dan faktor VIII tidak hanya diakibatkan oleh konsumsi sistem koagulasi,

tetapi juga oleh konsumsi sistem fibrinolisis. Kelainan fibrinolisis pada DBD

dibuktikan dengan penurunan alpha 2 plasmin inhibitor dan penurunan aktivitas

plasminogen. Seluruh penelitian di atas menunjukan bahwa :

1. Pada DBD stadium akut telah terjadi proses koagulasi dan fibrinolisis

2. Diseminated intravaskular coagulation secara potensial dapat terjadi

juga DBD tanpa syok. Pada masa dini DBD, peran DIC tidak menonjol

dibandingkan dengan perubahan plasma tetapi apabila penyakit memburuk

sehingga terjadi syok dan asidosis maka syok akan memperberat DIC sehingga

perannya akan mencolok. Syok dan DIC saling mempengaruhi sehingga penyakit

akan memasuki syok irreversible disertai perdarahan hebat, terlibatnya organ-

organ vital yang biasanya diakhiri dengan kematian.

3. Perdarahan kulit pada umumnya disebabkan oleh faktor kapiler,

gangguan fungsi trombosit dan trombositopeni, sedangkan perdarahan masif

ialah akibat kelainan mekanisme yang lebih komplek seperti trombositopenia,

gangguan faktor pembekuan, dan kemungkinan besar oleh faktor DIC, terutama

pada kasus dengan syok lama yang tidak dapat diatasi disertai komplikasi

asidosis metabolik.

4. Antitrombin III yang merupakan kofaktor heparin. Pada kasus dengan

kekurangan antitrombin III, respon pemberian heparin akan berkurang.

Sistem Komplemen

Penelitian sistem komplemen pada DBD memperlihatkan penurunan kadar C3, C3

proaktivaktor, C4, dan C5 baik pada kasus yang disertai syok maupun tidak. Terdapat

hubungan positif antara kadar serum komplemen dengan derajat penyakit. Penurunan

ini menimbulkan perkiraan bahwa pada dengue, aktivasi komplemen terjadi baik

melalui jalur klasik maupun jalur alternatif. Hasil penelitian radio isotop mendukung

pendapat bahwa penurunan kadar serum komplemen disebabkan oleh aktivasi sistem

komplemen dan bukan oleh karena produksi yang menurun atau ekstrapolasi

23

Page 24: BAB I New

komplemen. Aktivasi ini menghasilkan anafilatoksin C3a dan C5a yang mempunyai

kemampuan stimulasi sel mast untuk melepaskan histamin dan merupakan mediator

kuat untuk menimbulkan peningkatan permeabilitas kapiler, pengurangan plasma dan

syok hipopolemik. Komplemen juga bereaksi dengan epitop virus pada sel endotel,

permukaan trombosit dan limfosit T, yang menimbulkan waktu paruh trombosit

memendek, kebocoran plasma, syok, dan perdarahan. Disamping itu komplemen juga

merangsang monosit untuk memproduksi sitokin seperti tumor nekrosis faktor (TNF),

interferon gama, interleukin (IL-2 dan IL-1).

Bukti-bukti yang mendukung peran sistem komplemen pada penderita DBD ialah

ditemukannya kadar histamin yang meningkat dalam urin 24 jam, adanya kompleks

imun yang bersirkulasi (circulating immune complex) baik pada DBD derajat ringan

maupun berat, dan adanya korelasi antara kadar kuantitatif kompleks imun dengan

derajat berat penyakit.

Respon Leukosit

Pada perjalanan penyakit DBD, sejak demam hari ketiga terlihat peningkatan limfosit

atopik yang berlangsung sampai hari ke delapan. Pemeriksaan limfosit plasma biru

secara seri dari preparat hapus darah tepi memperlihatkan bahwa LPB pada infeksi

dengue mencapai puncak pada hari ke enam. Selanjutnya dibuktikan pula bahwa

diantara hari keempat sampai kedelapan demam terdapat perbedaan bermakna

proporsi LPB pada DBD dengan demam dengue. Dari penelitian imunologi

disimpulkan bahwa LPB merupakan campuran antara limfosit B dan limfosit T.

3.7 Manifestasi Klinis

DHF ditandai dengan 4 manifestasi klinis yang khas, yaitu demam tinggi,

perdarahan, terutama perdarahan kulit, hepatomegali, dan kegagalan peredaran darah.

Fenomena patofisiologi utama yang menentukan derajat penyakit dan membedakan

DHF dengan demam dengue adalah peningkatan permeabilitas dinding pembuluh

darah, menurunnya volume plasma, trombositopenia, dan diatesis hemoragik. Pada

DHF terdapat perdarahan kulit, uji tourniquet positif, memar, dan perdarahan pada

tempat pengambulan darah vena. Petekie halus yang tersebar di seluruh anggota

gerak, muka, dan aksila seringkali ditemukan pada masa dini demam. Epistaksis dan

24

Page 25: BAB I New

perdarahan gusi jarang dijumpai, sedangkan perdarahan saluran cerna hebat lebih

jarang lagi ditemukan dan biasanya timbul setelah syok tidak dapat diatasi (IDAI,

2010).

Infeksi virus dengue mempunyai gejala sistemik. Gejala yang hampir muncul

pada semua pasien dengan DHF adalah demam. Tiga fase terpenting pada infeksi

virus dengue adalah sebagai berikut (Nelson, Behrman, & Kliegman, 2000; WHO,

2012).

1. Fase demam

Demam pada pasien DHF biasanya langsung meningkat secara mendadak dan

berlangsung selama 2 – 7 hari disertai dengan kemerahan pada wajah, eritema

pada kulit, nyeri pada seluruh tulang dan sendi, arthralgia, nyeri retro orbita,

fotofobia, eksantema rubeliform, dan sakit kepala. Pada beberapa pasien

biasanya disertai pula dengan nyeri tenggorokan, kemerahan pada mata (injeksi

konjungtiva), anoreksia, mual, dan muntah. Uji tourniquet yang positif

mengindikasikan adanya infeksi virus dengue. Pada beberapa kasus biasanya

terjadi perdarahan terutama pada perdarahan mukosa seperti perdarahan vagina

pada wanita dan perdarahan gastrointestinal. Hasil pemeriksaan darah

menunjukkan adanya penurunan jumlah sel darah putih.

2. Fase kritis

Selama perubahan dari fase demam ke fase kritis, pasien biasanya tidak

mengalami demam namun hal yang harus diperhatikan adalah terjadinya

peningkatan permeabilitas kapiler yang akan berefek pada penurunan trombosit

dan peningkatan hematokrit. Fase ini berlangsung selama 24 – 48 jam. Keadaan

ini dapat menyebabkan pasien mengalami syok akibat peningkatan volume

plasma.

3. Fase recovery

Setelah pasien melewati fase kritis, pasien akan memasuki fase perbaikan yang

berlangsung selama 48 – 72 jam. Hemodinamik pasien akan semakin membaik

dan keluhan-keluhan pasien akan berkurang.

25

Page 26: BAB I New

Gambar 3.5 Perjalanan Penyakit DHF (WHO, 2012)

3.8 Diagnosis

Diagnosis DHF berdasarkan kriteria WHO tahun 1975 dibagi berdasarkan

gejalka klinis dan laboratorium (IDAI, 2010; WHO, 2011).

A. Klinis

1. Demam

DHF didahului oleh demam mendadak disertai gejala klinik yang tidak

spesifik seperti anoreksia, lemah, nyeri punggung, tulang, sendi, dan kepala.

Demam sebagai gejala utama terdapat pada semua kasus. Lama demam

sebelum dirawat berkisar antara 2 – 7 hari. Alasan mengapa orangtua

membawa anaknya berobat karena khawatir akan keadaan anak yang demam,

menjadi gelisah, dan teraba dingin pada kaki dan tangan. Gejala ini

menggambarkan keadaan pre-syok, atau oleh karena demam dan manifestasi

perdarahan di kulit menjadi nyata.

2. Manifestasi perdarahan

Manifestasi perdarahan minimal uji tourniquet positif dan salah satu bentuk

perdarahan lain (petekie, purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi),

26

Page 27: BAB I New

hematemesis dan atau melena. Uji tourniquet sebagai manifestasi perdarahan

kulit paling ringan dan dapat dinilai sebagai uji presumtif oleh karena uji ini

positif pada hari-hari pertama demam. Di daerah endemis DHF, uji tourniquet

merupakan pemeriksaan penunjang presumtif bagi diagnosis DHF apabila

dilakukan pada yang menderita demam lebih dari 2 hari tanpa sebab yang

jelas. Pemeriksaan dilakukan dengan terlebih dahulu menetapkan tekanan

darah anak. Selanjutnya diberikan tekanan antara sistolik dan diastolik pada

alat pengukur yang dipasang pada lengan di atas siku, tekanan ini diusahakan

menetap selama percobaan. Setelah dilakukan tekanan selama 5 menit,

perhatikan timbulnya petekie di bagian volar lengan bawah. Uji dinyatakan

positif apabila satu inchi persegi (2,8 x 2,8 cm) didapatkan lebih dari 20

petekie. Pada DHF, uji tourniquet pada umumnya memberikan hasil positif.

Pemeriksaan ini dapat memberikan hasil negatif atau positif lemah selama

masa syok. Apabila pemeriksaan diulangi setelah syok ditanggulangi, pada

umumnya akan didapatkan hasil positif, bahkan positif kuat.

3. Hepatomegali

Hati yang membesar pada umumnya dapat diraba pada permulaan penyakit

dan pembesaran hati ini tidak sejajar dengan berat penyakit. Nyeri tekan

seringkali ditemukan tanpa disertai dengan ikterus. Hati anak berumur 4

tahun dan/atau lebih dengan gizi baik biasanya tidak dapat diraba.

Kewaspadaan perlu ditingkatkan apabila semua hati tidak teraba kemudian

selama perawatan membesar dan/atau pada saat masuk rumah sakit hati sudah

teraba dan selama perawatan menjadi lebih besar dan kenyal. Hal ini

merupakan tanda terjadinya syok.

4. Syok

Manifestasi syok pada anak terdiri dari :

a. Kulit pucat, dingin, dan lembab terutama pada ujung jari kaki, tangan,

hidung. Kuku menjadi biru. Hal ini disebabkan oleh sirkulasi yang

insufisien yang menyebabkan peninggian aktivitas simpatikus secara

refleks

27

Page 28: BAB I New

b. Anak yang semula rewel, cengeng, dan gelisah lambat laun kesadarannya

menurun menjadi apatis, sopor, dan koma. Hal ini disebabkan kegagalan

sirkulasi serebral

c. Perubahan nadi, baik frekuensi maupun amplitudonya. Nadi menjadi

cepat dan lembut sampai tidak dapat diraba karena kolaps sirkulasi

d. Tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau kurang

e. Tekanan sistolik pada anak menurun menjadi 80 mmHg atau kurang

f. Oliguria sampai anuria karena menurunnya perfusid arah yang meliputi

arteri renalis

B. Laboratorium

1. Trombositopenia

Nilai trombosit 100.000/ul biasanya ditemukan pada hari sakit ke 3 – 7 hari

2. Hemokonsentrasi

Hemokonsentrasi yang ditandai dengan peningkatan nilai hematokrit 20%

dibandingkan dengan nilai hematokrit pada masa sebelum sakit atau masa

konvalesen. Peningkatan kadar hematokrit merupakan bukti adanya

kebocoran plasma

Ditemukannya dua atau tiga patokan klinis pertama disertai dua patokan

laboratorium menandakan klinis DHF.

Setelah satu minggu tubuh terinfeksi virus dengue, terjadi viremia yang diikuti

oleh pembentukan IgM-antidengue. IgM hanya berada dalam waktu yang relatif

singkat dan akan disusul segera oleh pembentukan IgG. Pada kira-kira hari kelima

infeksi terbentuklah antibodi yang bersifat menetralisir virus (neutralizing antibody =

NT). Titer antibbodi NT akan naik dengan cepat kemudian menurun secara lambat

untuk waktu yang lama, biasanya seumur hidup. Setelah antibodi NT, akan timbul

antibodi yang mempunyai sifat menghambat hemaglutinasi sel darah merah

(haemaglutination inhibiting antibodi = HI). Titer antibodi HI itu naik sejajar dengan

antibodi NT, kemudian turun secara perlahan-lahan, tetapi lebih cepat daripada

antibodi NT. Antibodi yang terakhir terbentuk adalah antibodi yang mengikat

komplemen (complement fixing antibody = CF) yang timbul pada hari sekitar hari ke

duapuluh. Titer antibodi itu naik setelah perjalanan penyakit mencapai maksimum

28

Page 29: BAB I New

dalam waktu 1 – 2 bulan, kemudian turun secara cepat dan menghilang setelah 1 – 2

tahun. Pada dasarnya diagnosis konfirmasi infeksi virus dengue ditegakkan atas hasil

pemeriksaan serologik atau hasil isolasi virus. Dasar pemeriksaan serologis adalah

membandingkan titer antibodi pada masa akut dengan konvalesen. Teknik

pemeriksaan serologi yang dianjurkan WHO adalah pemeriksaan HI dan CF. Kedua

cara itu membutuhkan 2 contoh darah. Contoh darah pertama diambil pada waktu

demam akut, sedangkan yang kedua pada masa konvalesen sekitar 1 – 4 minggu

dalam perjalanan penyakit (IDAI, 2010).

3.9 Diagnosis Banding

Demam pada fase akut mencakup spektrum infeksi bakteri dan virus yang luas.

Pada hari pertama diagnosis DHF sulit dibedakan dari morbili dan idiopathic

thrombocytopenic purpura (ITP) yang disertai demam. Pada hari demam ke 3 – 4

kemungkinan diagnosis DHF akan lebih besar apabila gejala klinis seperti manifestasi

perdarahan dan pembesaran hati menjadi nyata. Kesulitan kadang-kadang dialami

dalam membedakan syok pada DHF dengan sepsis, dalam hal ini trombositopenia

dan hemokonsentrasi disamping penilaian gejala klinis lain seperti tipe dan lama

demam dapat membantu (IDAI, 2010).

3.10 Penatalaksanaan

Pada dasarnya pengobatan DHF bersifat suportif, yaitu mengatasi kehilangan

cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler sebagai akibat

perdarahan. Pasien DHF dirawat di ruang perawatan biasa tetapi pada DHF dengan

komplikasi diperlukan perawatan intensif. Kunci keberhasilan tatalaksana DHF

terletak pada keterampilan untuk mengatasi masa peralihan dari fase demam ke fase

penurunan suhu dalam fase kritis dan fase syok dengan baik (IDAI, 2010).

Penderita yang sianosis atau mengalami nafas berat harus diberi oksigen.

Penggantian cepat cairan dan elektrolit intravena sering dapat mempertahankan

penderita sampai terjadi penyembuhan secara spontan. Bila kenaikan hematokrit

menetap sesudah pemberian cairan, pemberian plasma atau preparat koloid plasma

terindikasi. Harus hati-hati dilakukan agat tidak terjadi overhidrasi yang mungkin

turut menyebabkan gagal jantung. Transfusi darah segar atau suspensi trombosit

29

Page 30: BAB I New

dalam plasma mungkin diperlukan untuk mengendalikan perdarahan. Transfusi ini

tidak boleh diberikan selama hemokonsentrasi tetapi hanya sesudah evaluasi harga

hemoglobin atau hematokrit (Nelson, Behrman, & Kliegman, 2000). Pemberian

cairan awal sebagai pengganti volume plasma dapat diberikan larutan garam isotonik

atau ringer laktat yang kemudian dapat disesuaikan dengan berat ringan penyakit. .

Jenis kristaloid yang direkomendasikan WHO adalah laritan Ringer Laktat (RL),

dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RL), ringer asetat (RA), atau dekstrosa

5% dalam larutan ringer asetat (D5/RA), NaCl 0,9%, atau dekstrosa 5% dalam larutan

garam faali. Sedangkan larutan koloid adalah dekstran-40 dan plasma darah. Cairan

intravena diperlukan apabila anak terus menerus muntah, tidak mau minum, demam

tinggi sehingga tidak mungkin diberikan minum per oral, ditakutkan terjadinya

dehidrasi sehingga mempercepat terjadinya syok, dan nilai hematokrit yang

cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala (IDAI, 2010).

30

Page 31: BAB I New

Gambar 3.6 Algoritma Penatalaksanaan Kasus Infeksi Dengue (WHO, 2012)

Gambar 3.6 Algoritma Penatalaksanaan Kasus Infeksi Dengue (WHO, 2012)

31

Page 32: BAB I New

Gambar 3.7 Tatalaksana Kasus Tersangka DHF (IDAI, 2010)

32

Page 33: BAB I New

Gambar 3.8 Tatalaksana Kasus DHF Derajat I dan Derajat II (IDAI, 2010)

33

Page 34: BAB I New

Gambar 3.9 Tatalaksana Kasus DHF Derajat II dengan Peningkatan Hemokonsentrasi

20% (IDAI, 2010)

34

Page 35: BAB I New

Gambar 3.10 Tatalaksana Kasus DHF Derajat III dan IV (IDAI, 2010)

Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi secara teratur

untuk menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang harus diperhatikan pada monitoring

adalah nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat setiap 15 – 30

menit atau lebih sering, sampai syok dapat teratasi. Kadar hematokrit harus diperiksa

setiap 4 – 6 jam sampai keadaan klinis pasien stabil. Setiap pasien harus mempunyai

lembar pemantauan mengenai jenis cairan, jumlah, dan tetesan, untuk menentukan

35

Page 36: BAB I New

apakah cairan yang diberikan sudah mencukupi, jumlah serta frekuensi diuresis.

Kriteria memulangkan pasien dengan DHF adalah sebagai berikut (IDAI, 2010).

1. Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik

2. Nafsu makan membaik

3. Tampak perbaikan klinis

4. Hematokrit stabil

5. Tiga hari setelah syok teratasi

6. Jumlah trombosit >50.000/ul dan cenderung meningkat

7. Tidak dijumpai distres pernapasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis)

3.11 Komplikasi

Pada pasien DHF yang terlambat mendapatkan penanganan, syok merupakan

komplikasi terbesar yang dapat terjadi pada pasien disertai dengan asidosis metabolik

dan perdarahan hebat akibat kegagalan multiorgan seperti disfungsi hati dan ginjal.

Akibat hemokonsentrasi dapat terjadi akumulasi cairan plasma yang berlebihan

seperti efusi pleura dan gagal jantung kongestif. Syok yang berkepanjangan dapat

menyebabkan kegagalan terapi cairan dan gangguan pada elektrolit. Gangguan

metabolik yang umumnya terjadi adalah hipoglikemia, hiponatremia, hipokalsemia,

dan kadang-kadang terjadi hiperglikemia. Gangguan yang terus menerus terjadi ini

dapat menyebabkan ensefalopati dengue (WHO, 2011). Pada pasien di daerah

endemis yang mengalami demam disertai kejang dan disertai manifestasi perdarahan

harus dipikirkan terjadi ensefalopati dengue (IDAI, 2010).

3.12 Prognosis

Kematian telah terjadi pada 40 – 50% kasus dengan syok, tetapi dengan

perawatan intensif yang cukup, kematian akan kurang dari 2%. Ketahanan hidup

secara langsung terkait dengan manajemen awal dan intensif (Nelson, Behrman, &

Kliegman, 2000).

36

Page 37: BAB I New

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Anamnesis

Fakta Teori

Pasien di bawa ke IGD dengan

keluhan demam. Demam dirasakan

selama kurang lebih 7 hari, demam

naik turun, tidak ada waktu tertentu

demam muncul. Sudah diberikan

obat penurun demam namun tidak

sembuh juga. Menurut pengakuan

orangtua pasien demam dirasakan

terus-menerus tidak ada hari bebas

demam.

DHF ditandai dengan 4 manifestasi klinis yang

khas, yaitu demam tinggi, perdarahan, terutama

perdarahan kulit, hepatomegali, dan kegagalan

peredaran darah. Demam pada pasien DHF biasanya

langsung meningkat secara mendadak dan

berlangsung selama 2 – 7 hari.

Pada hari pertama SMRS didapatkan

adanya perdarahan gusi.

Petekie (-)

Uji Tourniquet (-)

Fenomena patofisiologi utama yang menentukan

derajat penyakit dan membedakan DHF dengan

demam dengue adalah peningkatan permeabilitas

dinding pembuluh darah, menurunnya volume

plasma, trombositopenia, dan diatesis hemoragik.

Pada DHF terdapat perdarahan kulit, uji tourniquet

positif, memar, dan perdarahan pada tempat

pengambulan darah vena. Petekie halus yang

tersebar di seluruh anggota gerak, muka, dan aksila

seringkali ditemukan pada masa dini demam. Uji

tourniquet yang positif mengindikasikan adanya

infeksi virus dengue. Pada beberapa kasus biasanya

terjadi perdarahan terutama pada perdarahan

mukosa seperti perdarahan vagina pada wanita dan

perdarahan gastrointestinal

Demam kemudian disusul muntah 2 Demam biasanya disertai dengan kemerahan pada

37

Page 38: BAB I New

hari SMRS, muntah ≤ 5x, berisi

makanan yang dimakan. Nafsu

makan pasien menurun, serta ada

tanda perdarahan berupa gusi

berdarah. BAB dan BAK dbn.

wajah, eritema pada kulit, nyeri pada seluruh tulang

dan sendi, arthralgia, nyeri retro orbita, fotofobia,

eksantema rubeliform, dan sakit kepala. Pada

beberapa pasien biasanya disertai pula dengan nyeri

tenggorokan, kemerahan pada mata (injeksi

konjungtiva), anoreksia, mual, dan muntah

Pasien juga mengeluhkan batuk dan

pilek sejak 2 hari SMRS, batuk

berdahak (+). Pasien juga

mengeluhkan perutnya membesar

semenjak 1 minggu SMRS. Menurut

pengakuan ibu pasien perut

membesar setelah pengobatan

jantungnya di stop.

Yang membedakan DHF dengan demam dengue

adalah peningkatan permeabilitas dinding pembuluh

darah, menurunnya volume plasma,

trombositopenia, dan diatesis hemoragik Epistaksis

dan perdarahan gusi jarang dijumpai, sedangkan

perdarahan saluran cerna hebat lebih jarang lagi

ditemukan. Selama perubahan dari fase demam ke

fase kritis, pasien biasanya tidak mengalami demam

namun hal yang harus diperhatikan adalah

terjadinya peningkatan permeabilitas kapiler yang

akan berefek pada penurunan trombosit dan

peningkatan hematokrit yang bermanifestasi sebagai

perdarahan

4.2 Pemeriksaan Fisik

Fakta Teori

Kesadaran : komposmentis Apabila pasien memasuki keadaan syok, maka anak

yang semula rewel, cengeng, dan gelisah lambat laun

kesadarannya menurun menjadi apatis, sopor, dan

koma. Hal ini disebabkan kegagalan sirkulasi serebral

Tanda vital :

1. Tekanan darah : 100/60

2. Frekuensi nadi : 88 x/menit,

kuat angkat

3. Frekuensi pernapasan : 34

Apabila pasien datang pada fase demam, maka dapat

ditemukan peningkatan suhu tubuh pasien. Nadi

menjadi cepat dan lembut sampai tidak dapat diraba

karena kolaps sirkulasi, tekanan nadi menurun

menjadi 20 mmHg atau kurang, tekanan sistolik pada

38

Page 39: BAB I New

x/menit

4. Temperatur : 37,1o C

anak menurun menjadi 80 mmHg atau kurang.

Pemeriksaan uji tourniquet dapat dilakukan apabila

sudah dilakukan pengukuran tekanan darah

Pada pemeriksaan fisik pasien

ditemukan hepatomegali, lain-lain

dbn.

Apabila pasien memasuki keadaan syok, maka kulit

pasien akan menjadi pucat, dingin, dan lembab

terutama pada ujung jari kaki, tangan, hidung, kuku

menjadi biru, perubahan nadi, baik frekuensi maupun

amplitudonya, oliguria sampai anuria karena

menurunnya perfusi arah yang meliputi arteri renalis.

Hati yang membesar pada umumnya dapat diraba

pada permulaan penyakit dan pembesaran hati ini

tidak sejajar dengan berat penyakit. Nyeri tekan

seringkali ditemukan tanpa disertai dengan ikterus.

Hati anak berumur 4 tahun dan/atau lebih dengan gizi

baik biasanya tidak dapat diraba.

4.3 Pemeriksaan Penunjang

Fakta Teori

Leukopenia pada awal fase demam Hasil pemeriksaan darah menunjukkan adanya

penurunan jumlah sel darah putih pada fase demam

Trombositopenia pada fase demam

dan fase kritis (-)

Trombositopenia. Nilai trombosit 100.000/ul

biasanya ditemukan pada hari sakit ke 3 – 7 hari

Peningkatan hematokrit pada fase

demam dan fase kritis

Hemokonsentrasi. Hemokonsentrasi yang ditandai

dengan peningkatan nilai hematokrit 20%

dibandingkan dengan nilai hematokrit pada masa

sebelum sakit atau masa konvalesen. Peningkatan

kadar hematokrit merupakan bukti adanya

kebocoran plasma

4.4 Penatalaksanaan

39

Page 40: BAB I New

Fakta Teori

1. IVFD D5 ½ 500 cc/24 jam

2. Inj. Ceftriaxone 2 x 600 mg

3. Inj. PCT 4 x 150 mg iv

4. Inj. Transamin 3 x 180 mg

5. Inj. Ranitidin 2 x 13 mg

6. Ambroxol 3 x ½ cth

7. Obat jantung lanjut

Pada dasarnya pengobatan DHF bersifat

suportif, yaitu mengatasi kehilangan cairan

plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas

kapiler sebagai akibat perdarahan. Pasien DHF

dirawat di ruang perawatan biasa tetapi pada

DHF dengan komplikasi diperlukan perawatan

intensif. Kunci keberhasilan tatalaksana DHF

terletak pada keterampilan untuk mengatasi

masa peralihan dari fase demam ke fase

penurunan suhu dalam fase kritis dan fase syok

dengan baik. Terapi lain diberikan berdasarkan

gejala yang dialamu pasien. Penderita yang

sianosis atau mengalami nafas berat harus diberi

oksigen

4.5 Prognosis

Fakta Teori

Dubia Kematian telah terjadi pada 40 – 50% kasus

dengan syok, tetapi dengan perawatan intensif

yang cukup, kematian akan kurang dari 2%.

Ketahanan hidup secara langsung terkait

dengan manajemen awal dan intensif

BAB V

PENUTUP

40

Page 41: BAB I New

4.1 Kesimpulan

DHF adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan

manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai lekopenia,

ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik. Pada DHF terjadi

perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit)

atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Menegakkan diagnosis DHF pada stadium

dini sangatlah sulit karena tidak adanya satupun pemeriksaan diagnostik yang dapat

memastikan diagnosis DHF dengan sekali periksa, oleh sebab itu perlu dilakukan

pengawasan berkala baik klinis maupun laboratoris. Infeksi dengue termasuk dalam

10 besar infeksi akut endemis di Indoensia sehingga diharapkan tidak terjadi

kesalahan dalam diagnosis dan penatalaksanaan yang diberikan. Pada pasien ini,

sebagian besar anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, dan

penatalaksanaan sesuai dengan teori yang ada di berbagai referensi.

4.2 Saran

Mengingat masih banyaknya kekurangan dari tutorial klinik ini, baik dari segi

diskusi, penulisan tutorial dan sebagainya, untuk itu saya mengharapkan kritik dan

saran dari dosen-dosen yang mengajar, dari rekan-rekan sesama dokter muda dan dari

berbagai pihak demi kesempurnaan tutorial klinik ini.

DAFTAR PUSTAKA

IDAI. (2010). Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.

Nelson, Behrman, & Kliegman. (2000). Nelson Textbook of Pediatrics. Jakarta: EGC.

41

Page 42: BAB I New

Soegeng, S. (2006). Demam Berdarah Dengue. Surabaya: Universitas Airlangga Press.

WHO. (2011). Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever. WHO , 1-212.

WHO. (2012). Handbook for Clinical Management of Dengue. WHO , 1-124.

42