Upload
vanthuan
View
236
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Wayang kulit merupakan kesenian purba yang masih terjaga eksistensinya
dalam perkembangan zaman yang begitu pesat. Kekuatan eksistensi wayang kulit
dikarenakan kesenian tersebut tidak hanya sebagai sebuah seni pertunjukan
melainkan juga sebagai media pembelajaran bagi masyarakat karena memadukan
aspek kehidupan seperti pendidikan, sosial, politik, dan ekonomi (Arifin, 2013:
78). Selain itu, eksistensi kesenian ini tidak lepas dari sebuah upaya pemahaman
terhadap masyarakat multikultur seperti di Indonesia dengan melibatkan unsur
Islam, Buddha, Khatolik, Kristen, bahkan kelompok etnis tertentu (Korsovitis,
2001: 59—68). Bahkan dalam sebuah riset seni pertunjukan menyebutkan bahwa
seni pertunjukan –seperti wayang kulit- dapat dijadikan sebagai media untuk
merefleksi keadaan, ingatan, dan emosi sehingga dapat memulihkan depresi
seseorang secara visual (Argyle & Bolton, 2005: 340—354).
Sejarahnya sendiri, wayang kulit di Jawa muncul dari kepercayaan
animisme dan dinamisme yang sangat kental, sehingga masyarakat percaya bahwa
nenek moyang yang sudah mati menjadi roh pelindung bagi masyarakat yang
masih hidup. Oleh karena itu, pertunjukan wayang –dahulunya masih bebentuk
boneka- dilakukan sebagai rasa terima kasih masyarakat terhadap roh para leluhur
(Sunarto, 1997: 11). Dalam perkembangannya, beberapa komponen dari
2
pagelaran wayang mulai digantikan dengan komponen baru sesuai dengan
keadaan masyarakat, seperti boneka diganti dengan wayang kulit, dukun
digantikan dalang, sajian digantikan sajen, nyanyian dan hymne digantikan suara
suluk dan sindenan, bunyi-bunyian digantikan gamelan, tempat pemujaan batu
digantikan dengan panggung dan debog (Mulyono, 1978: 56—57). Kemudian
pada awal abad ke-20, wayang kulit mulai memberikan pengaruh pada seni
pertunjukan teater di Eropa dan Amerika bahkan banyak akademisi mereka yang
mempelajari wayang di tahun 1960-an. Hal tersebut ternyata karena pengaruh
koleksi di Museum Raffles di Inggris ketika mereka menjajah Indonesia dan
membawa sebagian bentuk peradaban yang ada (Cohen, 2007: 340).
Dalam hal ini wayang kulit menjadi subyek dari penelitian bahasa karena
eksistensi wayang kulit di era revolusi teknologi dan budaya populer saat ini.
Penelitian ini akan melihat fenomena bahasa yang muncul dengan pendekatan
metafora dan etnolinguistik. Hal tersebut dikarenakan penggunaan bahasa dalam
wayang kulit penuh dengan unsur metaforis dan mencerminkan kebudayaan
masyarakatnya karena bahasa wayang tidak mengikuti perkembangan zaman dan
tetap mencirikan kebudayaan masyarakatnya.
Penelitian ini mengasumsikan bahwa metafora dan etnolinguistik sebagai
alat untuk melihat kebudayaan masyarakat Jawa dalam mendeskripsikan
pandangan hidup mereka melaui tuturan-tuturan metaforis yang muncul
berdasarkan hasil pengamalan kultural. Metafora sendiri adalah the essense of
metaphor is understanding and experiencing one kind of thing in term of another
(Lakoff & Johanson, 1980: 5). Dalam kognisi manusia, terkadang untuk
3
menjelaskan atau memahami suatu konsep bisa menggunakan konsep lainnya.
Ditambah lagi pendapat Kovecses (2005: 8) bahwa metafora secara esensi juga
mengandung aspek pikiran, praktik sosial-budaya, pengetahuan, dan tubuh.
Oleh karena itu, metafora merupakan instrumen yang sesuai untuk
mengkaji bahasa dan pikiran masyarakat Jawa yang tercermin dalam seni
pertunjukan wayang kulit. Bentuk data yang akan dianalisis dalam penelitian ini
seperti pada contoh berikut:
(I.1) PUNTADEWA : Nuwun inggih, menawi sandhanganing
jiwa menika menapa?
PUNTADEWA : maaf sebelumnya, misalkan pakaiannya
jiwa itu apa?)
KILATBUWANA : Sandhanganing jiwa iku, cipta, rasa, budi,
karsa. Cipta iku kang anampa samubarang, karsa iku kang
nenimbang samubarang, budi iku keng ngleramake samubarang,
karsa iku nindakake samubarang. Iku sesandhangani pun jiwa.
KILATBUWANA : pakaiannya jiwa itu, cipta, rasa, budi,
karsa. Cipta itu yang menerima segalanya, karsa itu yang
menimbang segalanya, budi itu yang menyelaraskan semuanya,
karsa itu menjalankan semuanya. Itulah pakaiannya jiwa.)
(Feinstein, dkk, 1986: 11)
(I.2) KILATBUWANA: [...]si bapa kang ndarbeni sedya ngrukunake
Pandawa lan Ngastina aja nganti tuwuhing peperangan gede [...]
KILATBUWANA: [...] si bapa memiliki keinginan merukunkan
Pandawa dan Astina supaya jangan sampai tumbuhnya peperangan
besar [...]
(Feinstein, dkk, 1986: 295)
Sepenggal dialog antara Puntadewa dan Kilatbuwana pada contoh (I.1)
tersebut merupakan data yang akan dianalisis dengan menggunakan metafora.
Dari ungkapan yang dituturkan Puntadewa dan Kilatbuwana mengungkapkan kata
sandhangan jiwa yang merupakan sebuah bentuk ekspresi metafora. Pada
metafora tersebut jiwa merupakan sebuah target sedangkan kata sandhangan
4
adalah sarana untuk menjelaskan target nya. Metafora tersebut memiliki source
tubuh untuk menerangkan ranah targetnya. Penggunaan bahasa metaforis tersebut
merefleksikan kebudayaan Jawa dalam melihat konsep ‘jiwa’ diibaratkan dengan
konsep material meskipun ‘jiwa’ sendiri adalah sebuah kebenaran yang abstrak.
Hal tersebut merupakan hasil kognisi masyarakat terhadap pengalaman yang
mereka alami sehingga menggunakan konsep-konsep tersebut untuk
menggambarkan orang Jawa. Dilihat dari aspek metaforisnya contoh (I.1) tersebut
mengindikasikan bahwa masuk dalam jenis metafora tertentu. Oleh karena itu,
penelitian ini akan melihat jenis metafora apa saja yang muncul dalam temuan
data yang lain.
Pada contoh (I.2) menunjukkan bahwa ‘tumbuhan’ sebagai ranah sumber
untuk menjelaskan bentuk perang. Menurut Wahab (1991: 96) sebagai seorang
pengikut aliran relativisme Sapir dan Whorf yang menyatakan dunia nyata tidak
diperoleh secara langsung melainkan dibangun berdasarkan pengaruh
pengetahuan dan bahasa, sehingga metafora memiliki peranan penting dalam
segala aspek kehidupan karena pengetahuan realita -seperti konsep kecantikan-
tercipta melalui interaksi antara informasi yang ada dengan lingkungan (source
domain). Dengan begitu juga bahasa menjadi karakter umum sebagai sistem tanda
yang muncul karena cerminan dari realita serta menjadi gambaran dari dunia
(Fiumara, 1995: 8). Oleh karena itu, metafora dalam wayang memiliki keterkaitan
dengan kebudayaan dalam proses pembentukan ranah sumber dan ranah target.
Setelah menelaah dari kedua pemahaman tersebut, penelitian ini akan
melihat bagaimana metafora wayang kulit lakon Kilatbuwana dapat
5
merepresentasikan kehidupan masyarakat Jawa. Berdasarkan data metafora yang
ditemukan, penelitian ini hanya akan melihat metafora dalam wayang kulit lakon
Kilatbuwana yang merefleksikan konsep kehidupan masyarakat Jawa.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang yang sudah dijelaskan di atas, penelitian
ini merangkum beberapa rumusan masalah yang akan dijawab melalui hasil
penelitian sebagai berikut.
1. Apa saja jenis metafora yang digunakan dalam wayang kulit lakon
Kilatbuwana?
2. Bagaimana elemen ranah sumber dan ranah target pada pembentukan
metafora dalam wayang kulit lakon Kilatbuwana?
3. Bagaimana kehidupan masyarakat Jawa tercermin dalam wayang kulit
lakon Kilatbuwana? Mengapa demikian!
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian bertujuan untuk menjawab rumusan masalah yang sudah
dirumuskan di atas sebagai berikut.
1. Mengklasifikakan jenis metafora yang muncul dalam wayang kulit lakon
Kilatbuwana.
2. Mendeskripsikan elemen ranah sumber dan ranah target pada
pembentukan metafora wayang kulit lakon Kilatbuwana.
6
3. Menjelaskan kehidupan orang Jawa dari konsep metafora wayang kulit
lakon Kilatbuwana.
1.4 Ruang Lingkup
Penelitian ini merupakan penelitian linguistik yang mengkaji wayang kulit
untuk melihat konsep kehidupan masyarakat Jawa dengan pendekatan metafora
dan etnolinguistik. Banyaknya seni pertunjukan wayang yang ada di Indonesia,
seperti wayang kulit purwa, wayang golek, wayang beber, wayang kancil, wayang
suket, dan sebagainya, penelitian ini hanya difokuskan pada wayang kulit purwa
khususnya cerita Mahabharata karena dianggap penggunaan bahasa yang
digunakan sudah dapat merepresentasikan cerita yang lainnya.
Selain itu, untuk lebih membatasi data temuan yang begitu banyak
penelitian ini tidak akan melihat semua metafora wayang kulit, melainkan
metafora-metafora tertentu yang mencerminkan kehidupan masyarakat Jawa pada
wayang kulit lakon Kilatbuwana. Hal ini dikarenakan penggunaan metafora dalam
wayang sangat banyak sekali sehingga temuan data hanya akan dibatasi pada fakta
bahasa metaforis yang mencerminkan konsep kehidupan masyarakat Jawa.
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki beberapa manfaat yang akan dibagi dalam dua
kategori, yaitu manfaat penelitian secara teoritis dan praktis.
7
1.5.1 Manfaat Teoritis
Metafora dan etnolinguistik adalah sebuah cabang ilmu linguistik yang
mengkorelasikan antara fakta bahasa dengan kebudayaan yang ada. Secara
teoritis, penelitian ini akan memberikan sebuah pengetahuan baru dalam bidang
ilmu linguistik yang mengkaji wayang kulit dari perspektif bahasa maupun
budaya. Lebih dari itu, penelitian ini juga merupakan salah satu upaya untuk
pengembangan bidang makro linguistik dalam ranah kebudayaan.
1.5.2 Manfaat Praktis
Seorang akademisi sudah sewajarnya menjunjung tinggi Tri Dharma
Perguruan Tinggi, penelitian, pengajaran, pengabdian. Penelitian ini merupakan
salah satu bentuk implikasi dari Tri Dharma Perguruan Tinggi tersebut sehingga
secara langsung memberikan manfaat praktis. Ditambah lagi penelitian ini dibuat
bukan sebagai sebuah manfaat material tetapi lebih pada manfaat imaterial, yaitu
share knowledge atau berbagi pengetahuan mengenai wayang. Penelitian ini akan
menunjukkan metafora wayang kulit dalam mencerminkan orang Jawa bisa
dijadikan acuan untuk diikuti dari nilai-nilai positifnya untuk hidup yang lebih
baik. Harapanya supaya masyarakat dapat belajar dari kebudayaan luhur masa lalu
untuk menghadapi kebudayaan baru yang sudah populer.
1.6 Tinjauan Pustaka
Dalam penelitian ini menemukan beberapa penelitian sebelumnya yang
dijadikan sebagai tinjauan untuk melihat kemurnian dari penelitian sekaligus
8
sebagai acuan untuk lebih baik lagi. Ada beberapa penelitian sebelumnya yang
mengkaji tentang metafora ataupun wayang kulit seperti pada penelitian Setyari
(2007) yang berjudul Panyandra Bentuk Tubuh Indah Dalam Masyarakat Jawa
yang menjelaskan mengenai pembentukan istilah-istilah panyandra , faktor-faktor
yang mempengaruhi pembentukan kata tersebut, dan cara pandang masyarakat
Jawa yang terlihat. Inti dari penelitian yang dilakukan adalah melihat hubungan
antara tubuh indah dengan bentuk lingkungan masyarakat Jawa yang cenderung
bersifat agraris. Dari keseluruhan data yang ditemukan untuk melihat konsep
cantik dalam masyarakat Jawa. Penelitian Panyandra Bentuk Tubuh Indah Dalam
Masyarakat Jawa berbeda dengan penelitian yang akan Peneliti lakukan karena
dalam penelitian tersebut hanya melihat bentuk tubuh yang indah dari wanita,
sedangkan dalam penelitian ini membahas mengenai perilaku baik dan buruk
orang Jawa yang dilihat dari bentuk metaforanya.
Selain itu ada Wulandari (2013) yang meneliti tentang Kajian Metafora
Dalam Novel Para Priyayi. Penelitian metafora yang dilakukan Wulandari
membuktikan bahwa metafora dalam Novel Para Priyayi memiliki bentuk dan
jenis, memuat ranah kehidupan masyarakat Jawa, dan mengandung nilai-nilai
kearifan budaya Jawa. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa metafora dalam
novel Para Priyayi menjelaskan ranah kehidupan masyarakat Jawa dan
mengandung nilai-nilai kearifan budaya Jawa. Wulandari tidak menyinggung
sama sekali metafora dalam wayang kulit untuk melihat nilai-nilai kearifan
budaya Jawa sehingga Peneliti menjadikan penelitian ini sebagai tinjaun untuk
penelitian Metafora Wayang Kulit Dalam Mencerminkan orang Jawa. Rachmad
9
Efendi (2012) meneliti tentang Metafora Dalam Percakapan Antar-Tokoh Pada
Film The King’s Speech yang menunjukkan bahwa dalam percakapan antar-tokoh
pada film tersebut menggunakan metafora yang terbentuk dari fungsi atau peran
elemen penyusunnya serta konteks yang ada di dalamnya.
Ada lagi penelitian dari Suhandano (2014) dengan judul Metafora dan
Etnofilosofi yang menjelaskan bagaimana metafora bekerja untuk menganalisis
data kebahasaan, juga tinjauan etnofilosofi yang memaparkan nilai-nilai filosofi
kehidupan. Suhandano menggunakan data dari beberapa istilah yang sering
muncul di kalangan masyarakat Jawa. Dia juga sedikit menyinggung tentang
bahasa dalam pewayangan. Namun, yang membedakan penelitian dia dengan ini
adalah bahwa Suhandano tidak menjelaskan konsep kebudayaan masyarakat Jawa
secara menyeluruh karena hanya berupa jurnal ilmiah dengan sedikit contoh.
Sedangkan untuk etnolinguistik dalam metafora, penelitian milik Ishak Bagea
(2013) yang berjudul Metafora Dalam Wacana Pingitan Masyarakat
Mawasangka Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara juga menjadi
tinjauan pustaka karena menjadi sebuah acuan untuk melihat pola relasi yang
terjadi di masyarakat antara metafora dan kebudayaan yang ada.
Selain itu, Penulis juga menemukan beberapa jurnal yang berkaitan
dengan riset pada wayang kulit purwa sebagai sebuah tinjaun pustaka untuk
memahami lebih mendalam mengenai wayang kulit itu sendiri. Jones (1957)
mengkaji wayang kulit Jawa dan Bali sebagai studi material di Inggris karena
ketika penjajahan Inggris atas Indonesia, Raffles sempat membawa beberapa
wayang kulit ke Inggris sebagai sebuah koleksi dan akhirnya saat ini wayang
10
tersebut dikoleksi dan diteliti oleh pihak Victoria and Albert Museum di Oxford.
Ada lagi peneliti asal Amarika Ward Keeler (1995) yang mengkaji javanese
shadow puppet sebagai sebuah seni pertunjukan yang dikorelasikan dengan aspek
psikologis dan budaya. Dalam penelitiannya, dia hanya menekankan pada
pengaruh Islam yang menggeser nilai-nilai Hiduisme dan Budaisme sebagai akar
dari wayang kulit. Riset terakhir mengenai wayang kulit dilakukan oleh
Schechner (1990) dengan judul Wayang Kulit in the Colonial Margin yang hanya
menekankan pada sejarah singkat perkembangan wayang kulit yang
dikomodifikasi oleh pihak kolonial sebagai aset ekonomi dan mengajarkan kepada
para dalang untuk bisa menulis supaya terdapat teks naskah pedalangan yang bisa
mereka pelajari.
Dari temuan pustaka di atas, belum ada yang secara spesifik membahas
mengenai tentang metafora wayang kulit sebagai cerminan kebudayaan
masyarakat Jawa. Dari tinjauan tersebut penelitian ini masih bisa dilanjutkan
karena sejauh ini belum ada yang pernah menuliskannya, sedangkan dari tinjaun
pustaka tersebut akan digunakan sebagai acuan untuk membantu penelitian ini
supaya baik hasilnya. Oleh karena itu, penelitian ini akan menggunakan beberapa
konsep penelitian yang sudah ada tersebut sebagai acuan pustaka.
1.7 Landasan Teori
Penelitian ini menggunakan teori metafora dan etnolinguistik untuk
menjawab rumusan masalah yang ada. Hal tersebut dikarenakan kedua teori saling
11
melengkapi untuk menganalisis data yang akan muncul dalam wayang kulit lakon
Kilatbuwana.
1.7.1 Metafora
Untuk melihat dan menganalisi data yang ditemukan dalam wayang kulit,
penelitian ini mendasari dengan teori yang dikemukakan Lakoff dan Johanson
(1980: 5—6) menjelaskan esensi dari sebuah metafora adalah pemahaman dan
pengalaman yang dijelaskan dengan pengalaman atau pemahaman lain, sehingga
pada dasarnya sistem konseptual manusia bisa didefinisi dan distruktur secara
metaforis. Pendapat Lakoff dan Johanson selaras dengan penjelasan Knowles dan
Moon (2005: 93) bahwa metafora merupakan alat kreatifitas dalam sebuah
fenomena kebahasaan karena menjelaskan suatu hal dengan hal lain, sehingga
para penulis karya sastra menjadikannya sebuah alat dalam menciptakan karya.
Oleh karena itu, metafora dianggap sebagai ekspresi-ekspresi linguistik yang
terdapat dalam sistem konseptual seseorang.
Untuk menjawab rumusan masalah yang pertama pada klasifikasi jenis
metafora yang ada dalam wayang kulit lakon Kilatbuwana akan menggunakan
teori Lakoff dan Johanson (1980) yang mengklasifikasikan tiga jenis metafora
menjadi tiga jenis metafora, yaitu (1) metafora struktural, (2) metafora
ontologikal, dan (3) metafora orientasional, dengan masing-masing penjelasannya
sebagai berikut.
12
1.7.1.1 Metafora Struktural
Metafora struktural merupakan jenis metafora yang domain sumbernya
membentuk struktur pengetahuan terhadap konsep target, dengan kata lain fungsi
kognitif bentuk-bentuk metafora struktural memungkinkan penutur memahami
target A dengan makna-makna yang terstruktur dalam sumber B. Namun,
pemahaman mengenai metafora struktural terjadi dengan mengkonseptualisasikan
elemen-elemen yang ada pada A dan elemen-elemen pada B. Penggunaan
konseptualisasi elemen harus sesuai dengan mapping yang tidak hanya
menjelaskan ciri-ciri ekspresi yang diartikan tetapi juga membentuk keseluruhan
struktur dasar, sehingga tanpa pemahaman ini akan sulit untuk memahami
metafora struktural yang menjelaskan struktur dan pemahaman konsep target,
seperti kasus yang dicontohkan Lakoff dan Johanson berikut.
Times are things (waktu adalah benda)
The passing of time is motion (pergantian waktu adalah gerakan)
Dari kedua contoh di atas, bahasa Inggris menunjukkan bahwa
kebudayaan di sana menganggap time (waktu) merupakan sesuatu yang memiliki
elemen dasar, yaitu obyek fisik, loksasi, dan pergerakannya. Elemen tersebut
terstruktur dengan beberapa mapping yang muncul dalam kalimat bahasa Inggris
seperti berikut.
The time for action has arrived (waktu untuk beraksi telah tiba)
The time will come when... (waktu akan datang ketika...)
Time is flying by (waktu terbamg tinggi)
13
Selain menggunakan contoh waktu, Lakoff dan Johanson juga
memberikan contoh konsep metafora struktural dengan theory is building dengan
mengekspresikan building (bangunan) adalah bentuk konstruksi bangunan untuk
mengacu pada ranah target theory (teori) yang juga harus dibangun.
1.7.1.2 Metafora Ontologikal
Metafora ontologikal atau ontological metaphor kurang lebih membentuk
struktur kognisi untuk konsep target daripada yang dilakukan metafora struktural.
Metafora yang masuk dalam kategori ontologikal merupakan bentuk kategori
umum dari sebuah konsep target yang abstrak dikonseptualisasikan menjadi
sebuah bentuk entitas yang konkrit. Metafora ontologikal melihat kejadian ,
aktifitas, emosi, sebagai entitas dan substansi. Selain itu juga metafora ontologikal
untuk mengklasifikasikan pemahaman mengenai kejadian, tindakan, aktifitas, dan
keadaan. Kejadian-kejadian dan berbagai tindakan dikonseptualisasikan secara
metafora sebagai obyek-obyek, aktifitas sebagai sub-stance, keadaan sebagai
container. Selain itu semua, bentuk klasifakasi metafora ontologikal lainnya
adalah personifikasi (Lakoff dan Johanson, 2003: 25—33). Berikut adalah
gambaran singkat mengenai metafora ontologikal.
source domain target domain
physical object nonphysical or abstract entities (e.g.,
the mind)
event (e.g going to the race)
actions (e.g giving someone a call)
14
substance activities (e.g., a lot of running in the
game)
container undelineated physical obyek (e.g.,
clearing the forest)
surfaces (e.g., land areas, the visual
field)
states (e.g., in love)
(Kovecses, 2002: 35)
1.7.1.3 Metafora Orientasional
Metafora orientasional menentukan kurang struktur konseptual untuk
target konsep daripada metafora ontologikal. Jenis metafora ini berasal dari
metafora yang berhubungan dengan orientasi ruang dasar manusia seperti atas-
bawah, tengah-samping, dan sebagainya. Beberapa orang juga menganggap jenis
metafora konseptual ini sebagai metafora koherensi yang lebih ke arah dengan
memainkan fungsi kognisi. Menurut Lakoff dan Johanson (2002: 15) orientasi
ruang ini muncul dari kenyataan bahwa manusia memiliki tubuh dan tubuh
berfungsi sebagai lingukungan fisik. Mereka juga menambahkan bahwa
penerapan metafora orientasional bukan berdasarkan sebuah kesepakatan
melainkan berdasarkan pada pengalaman fisik dan lebih cenderung pada pengaruh
budaya sehingga memungkinkan untuk terjadi perbedaan pemahaman mengenai
orientasi dari suatu budaya dengan budaya lain.
15
more is up; less is down : Speak up, please. Keep your voice down,
please.
healthy is up; sick is down : Lazarus rose from the dead. He fell ill.
conscious is up; unconscious is down: Wake up. He sank into a coma.
control is up; lack of control is down : I’m on top of the situation. He is under my
control.
happy is up; sad is down : I’m feeling up today. He’s really low these
days.
virtue is up; lack of virtue is down : She’s an upstanding citizen. That was a
low-down thing to do.
rational is up; nonrational is down : The discussion fell to an emotional level.
He couldn’t rise above his emotions.
Contoh di atas merupakan bentuk metafora orientasi yang dicontohkan
Kovecses (2002: 36) bahwa posisi up atau atas cenderung bermakna positif
daripada orientasi down yang mengacu pada sesuatu yang negatif. Namun, apa
yang dicontohkan oleh Kovecses tersebut merupakan pengalaman fisik yang
terjadi pada kebudayaan di Inggris, sedangkan pada penelitian ini nantinya akan
melihat apakah ruang orientasi orang Jawa berbeda dengan orang Inggris atau
sama dari yang terlihat pada data metafora orientasional di wayang kulit lakon
Kilatbuwana.
16
1.7.2 Elemen Pembentuk Ranah Sumber dan Ranah Target Metafora
Wayang Kulit Lakon Kilatbuwana
Untuk menjawab rumusan masalah kedua mengenai bagaimana elemen
pembentuk metafora wayang kulit lakon Kilatbuwana menggunakan teori source
domain dan target domain. Dalam melihat kasus pada temuan data metafora
wayang kulit lakon Kilatbuwana menggunakan teori dari Kovecses (2005: 15—
25) menjelaskan bagaimana source domain dan target domain terbentuk. Ada
beberapa penjelasan menurut Kovecses bahwa secara umum source domain terdiri
dari beberapa unsur seperti tubuh manusia, kesehatan dan penyakit, binatang,
tumbuhan, bangunan dan konstruksi, mesin dan alat, permainan dan olahraga,
uang dan transaksi ekonomi, memasak dan makanan, panas dan dingin, cahaya
dan kegelapan, kekuatan, serta gerakan dan arah. Sedangkan dalam pembentuk
target domain ada beberapa bentuk secara umum yang meliputi emosi, nafsu,
moral, pikiran, negara dan masyarakat, politik dan ekonomi, hubungan manusia,
komunikasi, waktu, hidup dan kematian, agama, serta kejadian dan tindakan.
Selain itu juga Wahab (1991: 85—86) menjelaskan bahwa untuk melihat metafora
bisa dikelompokkan menjadi dua, yaitu metafora universal yang bisa dipahami
oleh semua makhluk dan metafora kultural yang terikat oleh kebudayaan tertentu.
Oleh karena itu, kedua pemahaman tersebut digunakan untuk menjelaskan
rumusan masalah nomor dua.
17
1.7.3 Etnolinguistik
Agar bisa melihat konsep kehidupan masyarakat Jawa dalam pewayangan
melalui metaforanya, penelitian ini juga menggunakan teori linguistik
antropologis atau yang juga dikenal sebagai etnolinguistik. Teori ini juga
dijelaskan dalam linguistic relativity yang dicontohkan oleh linguis sekaligus
filosofer Jerman pada abad ke-18, Wilhem von Humboldt, bahwa struktur bahasa
mencerminkan dunia dan ada hubungan antara bahasa, pikiran, pandangan hidup,
dan budaya (Trask, 1999: 112).
Awal dari teori etnolinguistik ini dipicu sejak seorang antropolog
Amerika, Franz Boas, melakukan penelitian pada masyarakat Indian Amerika.
Boas mengungkapkan bahwa untuk memahami adat istiadat dan kepercayaan
suatu masyarakat daerah, seorang peneliti harus mengerti bahasa yang mereka
gunakan karena bahasa merupakan bagian terpenting untuk mengetahui mental
kehidupan masyarakat. Dia memandang peran bahasa dalam kehidupan bisa
dijadikan petunjuk untuk melihat sistem kebudayaan yang ada. Kemudian setelah
peninggalan Boas, gagasan tersebut dilanjutkan oleh muridnya Edward Sapir dan
Benjamin Lee Whorf yang mengungkapkan bahwa bahasa mengandung esensi
penting dalam suatu ekspresi kebudayaan yang dikenal dengan semua orang dan
mereka juga mempercayai bahwa struktur dari bahasa mengandung teori dari
struktur alam semesta (Duranti, 1997: 56—58).
Pandangan bahwa bahasa merefleksikan kebudayaan tidak hanya dipahami
oleh Boas, Sapir, maupun Whorf, melainkan juga Wilhem van Humbolt yang
beranggapan bahwa setiap bahasa mengandung karakteristik pandangan hidup
18
dari seseorang. Bahasa merupakan mediasi antara manusia dan alam yang
mempengaruhinya. Selain itu, Humbolt juga beranggapan bahwa setiap bahasa
menggambarkan lingkaran kehidupan masyarakat yang ada di dalamnya
(Wierzbicka, 1992: 3).
Dari beberapa pandangan terhadap bahasa dan kebudayaan, kemudian
teori ini dikembangkan oleh Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf yang
menggagas bahasa mencerminkan kebudayaan dalam sebuah hipotesis yang
sering dikenal dengan hipotesis Sapir-Whorf (Sampson, 1980: 80—102).
Hipotesis tersebut menunjukkan bahwa bahasa membentuk persepsi manusia
terhadap realitas dunia, sehingga penutur bahasa memandang realitas dunia dapat
terlihat dari bahasanya (Ahaern, 2012: 40). Hipotesis Sapir-Whorf juga didukung
oleh Ward Goodenough (1957|1964: 36) yang menyatakan bahwa kebudayaan
bukan hanya bentuk fenomena material saja melainkan juga pengaturan berbagai
hal pada bentuk-bentuk yang ada dalam pikiran manusia yang direfleksikan dalam
bahasa (Duranti, 1997: 27).
Selain itu, Wierzbicka (1992: 7) mengungkapkan bahwa bahasa
mencerminkan konseptualisasi manusia dan penafsiran manusia terhadap dunia.
Pernyataan tersebut merupakan pengembangan dari hipotesis Sapir-Whorf bahwa
pandangan hidup manusia bisa terlihat dari bahasanya, sehingga bahasa mampu
mencerminkan konseptualisasi manusia dalam menghadapi kehidupan. Ditambah
lagi, Wierzbicka (1992: 63) menyebutkan sebuah bahasa bisa dianggap sebagai
sebuah clues untuk melihat perbedaan kebudayaan secara universal dan hal
demikian juga mengacu pada bukti sebagai etnofilosofi modern yang berlaku.
19
Oleh karena itu, bahasa yang dimaksudkan dalam penjelasan teori tersebut
terdapat dalam metafora-metafora di pewayangan, sehingga teori ini akan
mengungkapkan kehidupan masyarakat Jawa dari metafora yang ada.
1.8 Metode Penelitian
Berdasarkan tahap dan pelaksanaannya, metode penelitian ini terdiri dari
cara penyediaan data, cara analisis, dan cara pemaparan hasil data (Sudaryanto,
1992: 57). Hal tersebut merupakan metode paling mendasar dalam sebuah
penelitian linguistik.
1.8.1 Metode Pengumpulan Data
Cara penyediaan atau pengumpulan data penelitian ini dengan mencari
transkripsi teks pedalangan lakon Kilatbuwana yang kemudian dikoreksi dengan
dalang secara garis besarnya kemudian dituliskan sebagai sebuah data. Data yang
dikumpulkan oleh peneliti pada dasarnya menggunakan hasil riset dari tim
Akademi Seni Karawitan Indonesia (AKSI) Surakarta yang mentranskripsikan
beberapa teks pedalangan khususnya lakon-lakon carangan dari beberapa dalang
yang ada.
Dari beberapa teks pedalangan yang sudah ditranskripsikan oleh AKSI,
penelitian ini mengambil salah satu lakon sebagai bentuk studi kasus penelitian
metafora, yaitu lakon Kilatbuwana. Teks lakon carangan Kilatbuwana tersebut
kemudian diidentifikasi bentuk metafora apa saja yang sekiranya muncul dan bisa
menjadi sebuah data.
20
1.8.2 Metode Analisis Data
Setelah data dikumpulkan secara cukup untuk mendapatkan gambaran
umum tentang konsep perilaku orang Jawa dalam metafora wayang kulit lakon
Kilatbuwana, kemudian data tersebut dianalisis sesuai dengan rumusan masalah
penelitian ini, yaitu dengan klasifikasi temuan data sesuai dengan teori yang
digunakan, menganalisis ranah kehidupan masyarakat Jawa, dan menganalisis
lebih mendalam aspek kebudayaan dalam temuan metafora tersebut.
Namun, untuk mengaitkan penelitian bahasa dan budaya, penelitian ini
menggunakan arah metodologi dari Mathiot (1964) yang menyebutkan bahwa ada
dua kemungkinan arah metodologi yang dapat ditempug oleh peneliti, pertama
yaitu berangkat dari bahasa ke budaya dengan memeriksa kandungan budaya yang
ada dalam kelas-kelas linguistik; dan kedua adalah peneliti berangkat dari budaya
ke bahasa dengan memeriksa kandungan linguistik yang ada dalam kelas-kelas
budaya (Suhandano, 2004: 21—22).
Metode tersebut cocok untuk penelitian model etnolinguistik karena aspek
bahasa maupun aspek budaya akan diperhatikan dengan seksama. Dengan
menggunakan metode tersebut akan meminimalisis kemungkinan untuk
melakukan kesalahan proses pengerjaan. Hal demikian dilakukan karena
penelitian ini bersifat kajian pustaka dan lapangan, sehingga peneliti harus bisa
lebih terstruktur dalam proses pencarian data supaya tidak terjadi kesalahan dan
pengulangan pengambilan data.
21
1.8.3 Metode Penyajian Data
Setelah data dianalisis, tahap selanjutnya adalah tahap penyajian hasil
analisis data. Hasil analisis data pada penelitian ini disajikan dengan menjabarkan
keseluruhan penjelasan dari rumusan masalah yang ada, yaitu dengan menyajikan
jenis-jenis metafora yang muncul pada wayang kulit lakon Kilatbuwana,
menyajikan analisis ranah sumber dan ranah target pembentuk metafora, dan
menyajikan penjabaran mengenai kehidupan masyarakat Jawa yang tercermin
dalam wayang kulit.
1.9 Sistematika Penyajian
Hasil penyajian data di dalam penelitian ini disajikan dalam beberapa bab,
yaitu: BAB I merupakan pendahuluan. Bab ini menguraikan latar belakang,
rumusan masalah, tujuan penelitian, ruang lingkup penelitian, manfaat penelitian,
tinjauan pustaka, kerangka teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian.
BAB II berisi tentang klasifikasi jenis metafora dalam pewayangan. BAB III
berisi tentang elemen ranah sumber dan ranah target sebagai pembentuk metafora
wayang kulit lakon Kilatbuwana. BAB IV berisi tentang penjelasan metafora
sebagai bentuk konsep kehidupan masyarakat Jawa. BAB V merupakan
kesimpulan dan saran dari BAB I sampai BAB IV, saran dari penulis, dan juga
dilengkapi dengan daftar pustaka dan lampiran.