50
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebelum percetakan ditemukan, masyarakat mengandalkan komunikasi dengan menggunakan pendengaran. Secara emosional dan interpersonal, hubungan yang terjalin diantara mereka juga akrab. Akan tetapi, kehadiran media cetak mengubah kondisi ini. Semenjak ditemukannya mesin cetak oleh Gutenberg, indera penglihatan menjadi dominan dalam komunikasi. Awalnya adalah kata yang dicetak pada halaman kertas. Inilah peristiwa yang mengubah Eropa dari abad ke- 15 dan melahirkan komunikasi massa melalui penyebaran informasi atau apa yang kini disebut sebagai berita. Apabila menengok sejarah sosial 1, perkembangan media massa dari masa ke masa mengalami transformasi yang dinamis. Kehadiran media yang berfungsi sebagai alat untuk berkomunikasi mengalami pergeseran fungsi sesuai dengan dinamika sosial, politik, dan ekonomi yang terjadi ditengah masyarakat pada waktu itu. Tahun 1534 2 misalnya, kaum protestan di Perancis telah memanfaatkan pers untuk menyebarluaskan gagasan-gagasan mereka yang beraroma agama. Lembaran kertas 1 Asa Briggs dan Peter Burke, Sejarah Sosial Media, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006) untuk lebih memahami bagaimana sejarah perkembangan media dari waktu ke waktu. 2 Ibid., hlm 104

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalaheprints.umm.ac.id/28677/2/jiptummpp-gdl-s1-2011-annisanahd-21580...Mulai dari surat kabar harian, mingguan, dua mingguan, ... Semua berita

  • Upload
    lydieu

  • View
    216

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sebelum percetakan ditemukan, masyarakat mengandalkan komunikasi

dengan menggunakan pendengaran. Secara emosional dan interpersonal, hubungan

yang terjalin diantara mereka juga akrab. Akan tetapi, kehadiran media cetak

mengubah kondisi ini. Semenjak ditemukannya mesin cetak oleh Gutenberg, indera

penglihatan menjadi dominan dalam komunikasi. Awalnya adalah kata yang dicetak

pada halaman kertas. Inilah peristiwa yang mengubah Eropa dari abad ke- 15 dan

melahirkan komunikasi massa melalui penyebaran informasi atau apa yang kini

disebut sebagai berita.

Apabila menengok sejarah sosial1, perkembangan media massa dari masa ke

masa mengalami transformasi yang dinamis. Kehadiran media yang berfungsi sebagai

alat untuk berkomunikasi mengalami pergeseran fungsi sesuai dengan dinamika

sosial, politik, dan ekonomi yang terjadi ditengah masyarakat pada waktu itu. Tahun

15342 misalnya, kaum protestan di Perancis telah memanfaatkan pers untuk

menyebarluaskan gagasan-gagasan mereka yang beraroma agama. Lembaran kertas

1 Asa Briggs dan Peter Burke, Sejarah Sosial Media, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,

2006) untuk lebih memahami bagaimana sejarah perkembangan media dari waktu ke waktu.

2 Ibid., hlm 104

2

dan plakat yang menyerang massa Katolik dicetak di Swiss dan diselundupkan di

Perancis untuk disebarkan ditempat umum sebagai wadah misionaris kaum Protestan

melawan otoritas kaum Katolik.

Perkembangan selanjutnya, pers yang semula menjadi alat misionaris dan

perang agama kaum Protestan, beralih menjadi media perjuangan. Media kembali

terlibat dalam terjadinya Revolusi Perancis pada tahun 1789. Hal serupa juga terlihat

dalam Revolusi Amerika yang terjadi pada tahun 1776. Sebab, kemerdekaan Amerika

diberitakan tidak saja oleh pamflet, tetapi juga oleh surat kabar. Tanpa surat kabar,

Revolusi Amerika tidak akan pernah berhasil.3

Selanjutnya, komunikasi mengalami masa yang disebut sebagai revolusi

percetakan. Salah satu akibat penting lain dari penemuan percetakan adalah

terlibatnya para pengusaha secara lebih intens dalam proses penyebarluasan ilmu

pengetahuan. Penggunaan media ini mendorong bertambahnya kesadaran tentang

kepentingan publisitas, baik yang bersifat ekonomi maupun politik. Media cetak

menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari pada abad ke- 18. Mulai dari surat kabar

harian, mingguan, dua mingguan, diperkuat lagi bulanan/berkala dan majalah.

Dampaknya, kehadiran media cetak tersebut telah memperluas wawasan para

pembaca dan menjadikan orang sadar akan apa yang tidak mereka ketahui. Media

cetak ini juga sekaligus menyumbang pada timbulnya opini publik.

3 Ibid., hlm 119

3

Seiring dengan berjalannya waktu, perkembangan media massa semakin

dinamis. Apalagi ditunjang dengan pesatnya kemajuan teknologi. Kehadiran media

massa semakin tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia modern. Sebab, media

massa mampu menjawab kebutuhan informasi manusia modern. Kebutuhan ini yang

dinilai kalangan tertentu (entah itu pemerintah, pemilik media, ataupun pemegang

kebijakan) berpotensi ganda. Pers memang menggoda.

Harus diakui, netralitas pers masih menyisakan problem pelik yang hingga

kini belum mendapat sebuah jawaban yang memuaskan. Banyak kalangan menilai

media massa bukan sebuah lembaga yang independen jika dilihat dari

pemberitaannya. Semua berita akan berpengaruh oleh banyak hal di dalam dan di luar

media massa itu sendiri. Apalagi jika ditambah dengan level yang lain, yakni

kemalasan reporter untuk melakukan investigasi ke lapangan (individual level). Pers

seharusnya tidak lagi menyajikan laporan-laporan (berita) yang sekedar berdasarkan

realitas psikologis, akan tetapi berdasarkan realitas sosiologis.4 Shoemaker dan Reese

(1996) pernah melihat mengapa media massa bisa mempunyai perbedaan dan

persamaan dalam liputannya. Ada beberapa tahap yang mempengaruhinya; (1)

4 Deddy Mulyana, Komunikasi Populer: Kajian Komunikasi dan Budaya Kontemporer,

(Bandung: Pustaka Bani Quraisy,2004), hlm. 172 menjelaskan realitas psikologis merupakan

pendapat dan pandangan orang-orang. Sedangkan realitas sosiologis melakukan investigasi

langsung di lapangan dan mencari informasi dari nara sumber yang terlibat langsung disana.

4

individual level, (2) media routine level, (3) organizational level, (4) extramedia

level, dan (5) ideological level.5

Peristiwa sama digambarkan berbeda memang jamak ditemukan dalam

pemberitaan media. Hal ini tergantung dari politik media, seperti keberpihakan

terhadap kelompok tertentu dalam membingkai (framing) berita. Framing disini

berbicara tentang seleksi isu yang dimasukkan ke atau dikeluarkan dari wacana.

Menurut teori framing, dalam wacana berlangsung proses pemilihan fakta mana yang

mau diangkat, fakta mana yang mau disembunyikan, atau fakta mana yang

dihilangkan sama sekali. Wacana menurut framing terdiri dari sejumlah komponen

yang diisi dengan fakta-fakta yang sudah melalui tahapan pilihan itu.

Konsep framing inilah yang bisa digunakan oleh media massa dalam

melakukan konstruksi pemberitaannya. Tak terkecuali yang dilakukan oleh berbagai

media cetak yang beredar di tanah air. Mulai dari surat kabar, tabloid, hingga

majalah. Surat kabar adalah media yang paling konvensional sekaligus paling tua

dibandingkan jenis media cetak harian yang selalu menghadirkan berita-berita aktual.

Oleh karena itu sifatnya harian, menyebabkan isi pemberitaannya terbatas hanya

berupa pemaparan fakta. Berbeda dengan tabloid dan majalah. Periode terbit

keduanya relatif lebih lama dibandingkan dengan surat kabar. Sehingga media

tersebut memiliki cukup waktu untuk mengulas dan menganalisis berita lebih

5 “Hierarrchy of Influence” Shoemaker & Reese dalam Alex Sobur, Analisis Teks Media

(Bandung; Remaja Rosdakarya, 2002) hlm. 138.

5

mendalam (in depth coverage). Hal ini yang menjadikan pemberitaan yang tersaji di

tabloid dan majalah memiliki kekuatan pada framingnya dan menjadi selling point

yang dimiliki oleh keduanya. Sebab, kehadiran kedua media tersebut mampu

melengkapi apa yang tidak ada di surat kabar.

Apabila dibandingkan antara tabloid dengan majalah, pemberitaan yang diulas

dalam tabloid mayoritas berita-berita ringan yang sensasional. Tengok saja tabloid-

tabloid yang beredar di Indonesia. Kebanyakan target segmennya dikhususkan untuk

kaum hawa, seperti: tabloid Nyata, Nova, Mamamia, Realita, dan sebagainya.

Berbeda dengan majalah. Majalah sangat memperhatikan gaya bahasanya. Tema-

tema yang dipilih berita majalah dilaporkan secara mendalam dan tuntas pun diseleksi

dengan seksama. Tampilannya juga lebih eksklusif dibandingkan dengan tabloid.

Inilah nilai lebih yang ditawarkan oleh majalah.

Mendesain majalah membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan dengan

mendesain surat kabar. Lamanya persiapan dan kualitas cetak yang lebih membuat

para pembacanya harus membayar sedikit mahal atas nilai lebih yang dihadirkan oleh

sebuah majalah dan harus menunggu lama kehadirannya. Hal ini dikarenakan periode

terbit majalah biasanya mingguan, dwimingguan, atau bulanan.

Di Indonesia sendiri terdapat beragam majalah, salah satunya adalah majalah

berita. Rating tertinggi untuk majalah berita di Indonesia saat ini masih dipegang oleh

6

majalah Tempo.6 Sedangkan pada urutan kedua terdapat majalah Gatra. Kedua

majalah ini sukses mengaet khalayak di karenakan memiliki karakter yang kuat dan

khas dalam menyajikan setiap laporannya. Antara Tempo dan Gatra tentunya

memiliki perbedaan gaya bahasa dan peliputan sesuai dengan target segmennya

masing-masing serta bagaimana keduanya membingkai (framing) sebuah peristiwa.

Perbedaan framing di masing-masing majalah inilah yang membuat keduanya

memiliki pandangan tersendiri dalam menyikapi sebuah realitas. Bahkan untuk

realitas yang sama sekalipun.

Peneliti memilih kedua media tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa

kedua majalah ini merupakan dua media massa besar di Indonesia yang terbitnya

sama-sama mingguan dan memuat berita berkaitan tentang korupsi dana haji,

sehingga memungkinkan bila konstruksi yang dibangun oleh kedua media massa

tersebut akan mempengaruhi konstruksi yang dibangun dalam pikiran besar

pembacanya.

Maraknya kasus dugaan korupsi dana haji di lembaga Negara yang dimuat

dalam media massa, tentunya mengundang pertanyaan tentang apa yang sebenarnya

menjadi pokok pembahasan dalam dugaan korupsi dana haji. Sebagai majalah berita

mingguan, Tempo dan Gatra tentu tidak melewatkan kasus tersebut dalam

6 Menurut riset Survey Research Indonesia, Media Index 1999, Tempo merupakan majalah berita

mingguan dengan sirkulasi terbesar (lebih dari 65 ribu exemplar/minggu) dibandingkan 4

majalah lainnya, yaitu: Gatra, Forum, Panji Masyarakat, dan Gamma. Lihat ulasan Coen Husain

Pontoh dengan judul Konflik Nan Tak Kunjung Padam dalam Jurnalisme Sastrawi, (Jakarta:

Kepustakaan Populer Gramedia, 2008), hlm. 131

7

pemberitaannya. Bahkan kejadian ini dijadikan headline utama pada majalah Tempo

6-12 Desember 2010 dengan judul “Main-main duit haji “. Berbeda dengan majalah

Gatra yang terbit pada tanggal 18-24 November 2010. Gatra juga mengulas berita

tentang kasus dugaan korupsi dana haji ini dengan mengambil judul “Melipat ongkos

ke rumah Allah”. Hanya saja, Gatra tidak menjadikan kasus tersebut sebagai headline

berita.7 Porsi pemberitaan yang diberikan oleh kedua majalah tersebut juga berbeda.

Tempo mengulasnya sebagai laporan utama hingga mencapai 8 halaman.8 Sedangkan

Gatra memasukkannya dalam rubrik Nasional dengan jumlah halaman berita

sebanyak 2 halaman saja.

Tentu saja pembingkaian yang dilakukan oleh media, termasuk juga majalah

Tempo dan Gatra, tentang dugaan korupsi dana haji bisa mempunyai dampak pada

cara anggota audiensi akhirnya menafsirkan sebuah isu.9 Ekspos berlebihan yang

dilakukan oleh media terhadap peristiwa yang bernuansa Korupsi dan penyelewengan

dana ini akan memberikan dampak yang berlebihan juga di kalangan masyarakat. Hal

ini dikarenakan media menyikapi keberadaan kasus tersebut dengan beragam bingkai

dalam pemberitaannya. Semuanya tergantung dari sudut pandang media terhadap

realitas tersebut dan bagaimana mereka membingkainya. Sebab, media bukanlah

7 Headline majalah Gatra pada edisi 18-24 November 2010 adalah “memainkan kasus gayus”,

bukan tentang kasus korupsi dana haji. Sedangkan pembahasan kasus korupsi dana haji masuk

dalam rubrik Nasional dan terletak di halaman agak akhir, yakni halaman 94-95. 8 Mulai dari editorial Tempo, gambar karikatur, hingga surat pembaca yang dimuat juga

membahas masalah kasus korupsi dana haji. Sedangkan berita tentang kasus korupsi dana haji

ini dibahas dalam rubrik Laporan Utama mulai dari halaman 26-32. 9 Wanner J. Severin dan James W. Tankard, Jr dalam Teori Komunikasi: Sejarah, Metode, dan

Terapan di Dalam Media Massa, edisi kelima (Jakarta: Kencana, 2005) hlm. 333

8

saluran yang bebas. Media bukanlah seperti yang digambarkan, memberitakan apa

adanya, cermin dari realitas. Media seperti yang kita lihat justru mengkonstruksi

sedemikian rupa realitas. Semua kenyataan ini menyadarkan kita betapa subjektifnya

media.10 Perbedaan cara pandang kedua majalah ini muncul tergantung dari Frame.11

Berpijak pada fenomena tersebut, perlu dianalisis bagaimanakah framing

majalah Tempo dan Gatra dalam kontruksinya terhadap pemberitaan kasus dugaan

korupsi dana haji. Tempo dan Gatra merupakan dua majalah mingguan yang sengaja

dipilih dalam penelitian ini karena kedua majalah tersebut sama-sama memberitakan

kasus dugaan korupsi dana haji pada edisi bulan November 2010. Meskipun sama-

sama memberitakan kasus dugaan korupsi dana haji, namun keduanya memiliki

bingkai yang berbeda dalam melihat kasus dugaan korupsi dana haji. Disamping itu,

periode terbit keduanya juga sama-sama mingguan, sehingga apabila ke dalam isi

pemberitaannya dibandingkan akan setara.

Penggunaan analisis framing dalam penelitian ini sangat dinilai peneliti sangat

sesuai untuk mengetahui bagaimana realitas dibingkai oleh media. Atau dengan kata

lain, dengan cara dan teknik peristiwa (kasus dugaan korupsi dana haji) ditekankan

10 Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media (Yogyakarta: LKiS, 2005)

hlm. 2 11 Frame (bingkai) didefinisikan sebagai gagasan pengaturan pusat untuk isi berita yang

memberitakn konteks dan mengajukan isu melalui penggunaan pilihan, penekanan,

pengecualian, dan pemerincian. Lihat Wanner J. Severin dan James W. Tankard, Jr., op.cit,.

hlm. 332. Sedangkan Goffman (1974) mengembangkan konsep frame sebagai kepingan-

kepingan perilaku (strips of behavior) yang membimbing individu dalam membaca realitas.

Lihat Alex Sobur, op. cit, hlm 162.

9

dan ditonjolkan dalam pemberitaan di majalah Tempo dan Gatra.12 Apakah kasus

dugaan korupsi dana haji ini ditulis secara panjang atau pendek dan apakah

ditempatkan di halaman pertama atau tidak.13 Disamping itu, analisis framing secara

sederhana dapat digambarkan sebagai analisis untuk mengetahui bagaimana realitas

(peristiwa, aktor, kelompok, atau siapa saja) dibingkai oleh media. Pembingkaian

tersebut tentu saja melalui proses konstruksi.14

Dibandingkan teknik analisis teks media yang lainnya, framing memiliki

kelebihan dalam menganalisis bagaimana media mengemas sebuah berita. Hal ini

dikarenakan tiga alasan, yaitu: pertama, framing yang dilakukan media akan

menonjolkan aspek tertentu dan mengaburkan aspek yang lain. Framing umumnya

ditandai dengan menonjolkan aspek tertentu dari realitas. Akibatnya, ada aspek lain

yang tidak mendapat perhatian yang memadai. Kedua, framing yang dilakukan oleh

media akan menampilkan sisi tertentu dan melupakan sisi yang lain. Dengan

menampilkan sisi tertentu dalam berita, ada sisi lain yang terlupakan, menyebabkan

aspek lain yang penting dalam memahami realitas tidak mendapat liputan dalam

berita. Ketiga, framing yang dilakukan media akan menampilkan aktor tertentu dan

menyembunyikan aktor yang lain. Efek yang segera terlihat dalam pemberitaan yang

12 Eriyanto, op. cit., hlm 3. 13 Eriyanto, op. cit., hlm 24. 14 Eriyanto, op. cit., hlm 3.

10

memfokuskan pada satu pihak, menyebabkan pihak lain yang mungkin relevan dalam

pemberitaan menjadi tersembunyi.15

Berdasarkan efek framing tersebut dengan tetap pada koridor kualitatif

sebagai metode penelitian, peneliti tidak bermaksud membuktikan teori framing

secara deduktif, melainkan ingin melakukan sebuah penggalian (eksplorasi) terhadap

cara pandang media dalam melihat sebuah peristiwa dan bagaimana cara pandang itu

tertuang dalam berita. Sementara metode lainnya, seperti analisis wacana dan analisis

isi kurang tepat untuk digunakan dalam penelitian ini. Analisis wacana walaupun juga

menganalisis bahasa sebagai bagian dari teks, namun bukan merupakan studi

komparasi dimana hal ini menjadi ciri khas analisis framing untuk melihat perbedaan

bingkai. Sedangkan metode analisis isi tidak dapat menjawab bagaimana realitas itu

dikonstruksi media karena analisis isi menekankan makna adalah hasil transmisi.

Analisis isi justru menekankan pada negosiasi yang berarti memisahkan teks dan

peneliti. Dengan demikian, tipe riset yang hendak dilakukan adalah melihat

bagaimana pesan dibentuk (analisis frame media), tidak mengungkapkan bagaimana

pesan diterima (analisis frame khalayak).

Disamping itu, dengan menggunakan analisis framing akan semakin

memperlihatkan bingkai suatu media apabila bingkai tersebut telah dibandingkan

dengan bingkai media lain sehingga perbedaan-perbedaannya dapat terlihat dengan

15 AG. Eka Wenats Wuryanta yang dikutip dalam blog pribadinya,

http://ekawenats.blogspot.com/2006/12/priming-framing-agenda-setting.htm. Diakses tanggal 7

Desember 2010.

11

jelas nantinya. Pada penelitian ini peneliti juga ingin mengetahui perbandingan

bingkai media pada pemberitaan tentang kasus dugaan korupsi dana haji pada

majalah Tempo dan Gatra.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti merumuskan masalah yang

dikaji dalam penelitian sebagai berikut: Bagaimana majalah Tempo dan Gatra

membingkai pemberitaan tentang kasus dugaan korupsi dana haji yang dilakukan

oleh majalah Tempo dan Gatra?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah ingin menganalisis serta membandingkan bingkai

media pemberitaan kasus dugaan korupsi dana haji yang dilakukan oleh majalah

Tempo dan Gatra.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Akademis

a. Memberikan gambaran mengenai konteks media framing di Indonesia, khususnya

pada pemberitaan kasus dugaan korupsi dana haji.

12

b. Memperkaya Khazanah ilmu komunikasi, khususnya bidang jurnalistik untuk

memperlihatkan karakter pemberitaan media massa, dalam hal ini media cetak.

1.4.2. Manfaat Praktis

a. Bagi media massa sebagai bahan masukan untuk lebih memperbaiki kualitas

pemberitaannya agar lebih berimbang (cover all sides), khususnya redaksi

majalah Tempo dan Gatra.

b. Bagi pembaca pada umumnya dapat mengetahui bagaimana media

mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangannya, subyektifnya, biasnya,

dan pemihakannya maupun penolakannya terhadap kasus dugaan korupsi dana

haji , terutama pemberitaan di majalah Tempo dan Gatra.

c. Bagi kalangan civitas akademika, diharapkan penelitian ini dapat memberikan

masukan bagi mereka yang meneliti analisis framing dan politik media.

1.5 Tinjauan Pustaka

1.5.1 Konsep dan Teori

1.5.1.1. Komunikasi Massa

Dalam kehidupan sehari-hari komunikasi massa sering dipahami sebagai

komunikasi berhadapan dengan massa atau komunikasi berhadapan dengan orang

13

banyak atau berpidato di hadapan banyak orang. Secara konseptual pemahaman ini

kurang pas. Dalam bahasa inggris untuk menyebut komunikasi berhadapan dengan

massa atau yang sedang berpidato di hadapan massa pendukungnya di sebuah

lapangan terbuka. Dalam studi komunikasi, komunikasi massa selalu dimengerti

sebagai komunikasi dengan menggunakan media massa (baik itu cetak maupun

elektronik). Frasa komunikasi massa diadopsi dari istilah bahasa inggris mass

communication atau komunikasi media massa yang berarti komunikasi dengan

menggunakan media massa atau komunikasi yang mass mediated (komunikator tidak

dapat bertatap langsung dengan khalayak).

Menurut Scheidel (1976), manusia melakukan komunikasi terutama untuk

menyatakan dan mendukung identitas diri serta untuk mempengaruhi orang lain

sehingga ia merasa, berfikir, atau berperilaku seperti yang kita inginkan.16 Tidak

heran apabila di era globalisasi seperti sekarang, komunikasi memiliki peranan

penting. Komunikasi yang terbentuk pun kini melibatkan khalayak luas yang

biasanya menggunakan teknologi media massa (baik cetak maupun elektronik).

Cakupan bidang komunikasi ini dinamakan komunikasi massa.

Penjabaran tentang komunikasi masssa ini menjadi penting karena penelitian

ini masuk dalam ranah komunikasi massa. Dengan penjelasan yang terperinci tentang

komunikasi massa akan semakin memperjelas bidang kajian dalam penelitian ini.

16 Thomas M. Scheifel (1976) dalam Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar

(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005) hlm. 4

14

1.5.1.2. Media dan Fungsinya dalam Masyarakat

Secara harfiah, media berada diantara kita, audiens, dan materi orisinal yang

mereka gunakan. Hal ini adalah truism kebenaran yang membuktikan dirinya sendiri.

Apa yang tampil di layar atau halaman bukan hal yang sebenarnya, tetapi merupakan

salah satu versinya.17

Fakta bahwa terdapat banyak kebenaran dalam sebuah artikel berita tentang

beberapa negosiasi diplomatis, sebagai contoh, tidak berarti bahwa artikel tersebut

mengisahkan keseluruhan kebenaran. Membaca artikel tidak sama dengan berada di

tempat kejadian.18

Pada dasarnya, laporan berita itu dimediasi. Seperti semua

komunikasi manusia, laporan berita harus dituangkan dalam bentuk material seperti:

kata-kata, gesture, lagu, gambar, tulisan.19

Sehingga semua materi media sebenarnya

merupakan semacam representasi atau konstruksi yang bukanlah ide orisinal (the real

thing). Materi media bersifat artificial (dibuat-buat). Hal tersebut merupakan sesuatu

yang dikonstruksi dari seperangkat tanda. Citra mobil di televisi, dalam sebuah

thriller atau program tentang pameran mobil, bukanlah mobil itu sendiri. Citra

tersebut merupakan representasi mobil melalui kode gambar. Demikian pula artkel

17 Grame Burton, Yang Tersembunyi Dibalik Media (Yogyakarta: Jalasutra, 2008), hlm. 73 18 Ibid., hlm. 73 19 Zianuddin Sardar, Membongkar Kuasa Media (Yogyakarta: Resist Book, 2008), hlm. 8

15

seorang wartawan tentang mobil-mobil di pameran mobil tersebut adalah sekadar

representasi mobil-mobil tersebut dalam verbal tulisan.20

Tujuan dari mediasi itu adalah untuk mengkomunikasikan sesuatu melalui

ruang dan waktu yang menjangkau sebanyak mungkin orang. Jadi, hal pertama yang

harus diperhatikan adalah bahwa media dapat menjangkau sejumlah besar orang.

Kedua, pesan-pesan yang dimediasikan pada saat ini menggunakan teknologi yang

sangat canggih. Ketiga, sementara kita mempunyai pilihan untuk membuat musik kita

sendiri atau menggambar kartun kita sendiri, kebanyakan dari kita lebih memilih

menjadi konsumen dari produksi korporasi profesional yang jumlahnya relatif sedikit.

Keempat, secara virtual tidak ada komunikasi antar sumber dengan penerima.21

Media massa adalah “kependekan” dari media komunikasi massa. Media

massa lahir untuk menjembatani komunikasi antarmassa. Massa adalah masyarakat

luas yang heterogen, tetapi saling bergantung satu sama lain. Ketergantungan

antarmassa menjadi penyebab lahirnya media yang mampu menyalurkan hasrat,

gagasan dan kepentingan masing-masing agar diketahui dan dipahami oleh yang lain.

Penyaluran hasrat, gagasan dan kepentingan tersebut dinamai “pesan” (message).

Dengan demikian, pada hakikatnya media massa adalah media saling-silang pesan

antarmassa.22

20 Grame Burton, op.cit., hlm 74 21 Zianuddin Sardar, loc.cit., hlm. 8 22 Sam Abede Pareno, Media Massa: Antara Realitas dan Mimpi (Surabaya: Papyrus, 2005),

hlm. 27

16

Pada dasarnya media massa merupakan suatu pranata sosial (social intitution).

Media massa berinteraksi dengan pranata sosial lainnya yang ada didalam

masyarakat, seperti lembaga pemerintah, partai politik, keluarga, dan berbagai

organisasi sosial. Dalam kajian ini, sudah tentu istilah media massa dimaknai bukan

sekedar alat-alat teknologis, melainkan sebagai pranata sosial. Oleh karena itu,

menurut McQuail media massa menjalankan tugas sebagai silent characteristic, yakni

meliputi: (a) penggunaan teknologi pembuatan dan penyebarluasan pesan-pesan

secara masif, (b) organisasi dan regulasi yang bersifat sistematis, serta (c) arah pesan

bagi khalayak yang besar atau luas, anonim, dan bebas dalam mengakses. Dalam

kaitannya dengan politik secara luas, media massa dapat berperan secara meyakinkan,

seperti: (a) newsmaking, (b) analisis, penfsiran, dan pemberian makna terhadap

peristiwa-peristiwa, (c) socialization, (d) persuasion, (e) agenda setting.23

Dalam perkembangannya pembicaraan tentang fungsi media massa, Burton

(2008)24

membaginya menjadi lima fungsi, yakni: fungsi hiburan, fungsi informasi,

fungsi kultural, fungsi sosial, dan fungsi politik. Media dikatakan berfungsi sebagai

hiburan dikarenakan menghasilkan kesenangan dan mampu mengalihkan perhatian

audiens dari berbagai isu sosial yang serius. Sedangkan media memiliki fungsi

informasi lantaran media menghasilkan beragam informasi yang dibutuhkan bagi

audiensnya. Disamping itu, media juga memiliki fungsi kultural karena dianggap

23 McQuail (1996) dalam Pawito, Ph. D, Penelitian Komunikasi Kualitatif, (Yogyakarta: LKiS,

2007), hlm. 258-259 24 Grame Burton, op.cit., hlm. 86-89

17

mampu menghasilkan materi yang mencerminkan budaya khalayak yang menjadi

bagian dari budaya tersebut. Media juga menampilkan berbagai contoh dari

masyarakat, dari interaksi majalah, dan dari kelompok-kelompok sosial sehingga

layak disebut memiliki fungsi sosial. Sementara dengan fungsi politiknya, media

diharapkan menghasilkan bukti (evidence) dari berbagai aktivitas, isu, dan peristiwa

politik.

Dalam konteks, di Indonesia, berakhirnya Orde Baru membawa dampak

positif terhadap proses demokratisasi di Indonesia. Dapat tersebut antara lain ditandai

oleh kebebasan berserikat (berorganisasi), dan kebebasan menyatakan pendapat

(kebebasaan berekspresi), termasuk kebebasan pers dan media massa. Kebebasan ini

ditandai dengan pencabutan SIUPP (surat izin usaha penerbitan pers). Bahkan, pada

massa pemerintahan Habibie, kran kebebasan pers semakin terbuka. Bagi setiap

usaha memperoleh SIUPP semakin mempermudah, yakni cukup mengisi

permohonan, akte pendirian perusahaan pers, dan lampiran pengasuh penerbitan pers

tanpa keharusan menyertakan rekomendasi dari Persatuan Wartawan Indonesia

(PWI). Dengan pelonggaran ini melahirkan banyak penerbitan baru.

Khusus dalam kaitannya dengan demokrasi, seperti dikatakan oleh Curran

(1996)25

, media massa dapat berperan dalam penyebarluasan informasi yang beragam

perspektif, mewakili khalayak (representation) dalam arti memberikan tempat bagi

25 Pawito, loc.cit., hlm. 259

18

dapat dinyatakan pendapat-pendapat dari berbagai kelompok masyarakat yang

berbeda-beda sehingga ada debat publik yang signifikan, serta mendorong supaya

dapat dicapai pemecahan dari berbagai persoalan penting yang ada di dalam

masyarakat dan membantu mencapai titik tertentu diantara kelompok-kelompok yang

saling berbeda pandangan.

Dengan adanya pemaparan media dan fungsinya dalam masyarakat akan

memberikan konstribusi pemahaman yang positif sebagai pijakan peneliti dalam

memahami arti penting media dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dikarenakan

penelitian ini berkaitan dengan pemberitaan di media cetak sehingga peneliti

memiliki pijakan awal dalam memahami kaitan antara media dan masyarakat.

Terlebih lagi, peranan media setelah Orde Baru, yakni era demokrasi.

1.5.1.3. Paradigma Konstruksionis

Konsep konstruksionisme diperkenalkan oleh sosiolog interpretatif, Peter L.

Berger yang bersama Thomas Luckman menulis banyak karya, termasuk tesis

mengenai konstruksi sosial atas realitas. Dalam tesis Berger, manusia dan masyarakat

adalah produk dialektis, dinamis, dan plural secara terus-menerus. Masyarakat tidak

lain adalah produk manusia, namun secara terus-menerus mempunyai aksi kembali

tehadap penghasilnya. Sebaliknya, manusia adalah hasil atau produk dari masyarakat.

19

Seseorang baru menjadi seorang pribadi yang beridentitas sejauh ia tetap tinggal di

dalam masyarakatnya.26

Bagi Berger, realitas itu tidak dibentuk secara ilmiah, akan tetapi dibentuk dan

dikonstruksi. Dengan pemahaman ini, realitas dalam kehidupan sosial bukanlah

realitas yang natural. Akan tetapi, berwajah ganda dan bersifat dinamis. Setiap orang

bisa mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas yang dipegaruhi

oleh pengalaman, preferensi, pendidikan, dan lingkungan sosial tertentu.27

Konsentrasi analisis pada paradigma kontruksionis adalah menemukan bagaimana

peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi dan dengan cara apa konstruksi itu

dibentuk. Dalam studi komunikasi, paradigma konstruksionis ini sering kali disebut

sebagai paradigma produksi dan pertukaran makna yang sering dilawankan dengan

paradigma transmisi.28

Terdapat dua karakteristik penting dalam pendekatan konstruksionis.

Pertama, pendekatan konstruksionis menekankan pada politik pemaknaan dan proses

bagaimana sesorang membuat gambaran tentang realitas. Makna bukan sesuatu yang

absolut dan statis, namun proses aktif yang ditafsirkan seseorang dalam suatu pesan.

Kedua, pendekatan konstruksionis memandang bagaimana pembentukan pesan dari

26 Eriyanto, op.cit, hlm. 13-14 27 Ibid., hlm. 15-16 28 Ibid., hlm. 37

20

sisi komunikator dan sisi penerima. Dalam hal ini, penerima akan memeriksa

bagaimana konstruksi makna individu ketika menerima pesan.29

Dengan pendekatan konstruksionis, berita buka refleksi dari realitas dan

hanyalah konstruksi dari realitas. Berita tidak mungkin merupakan cermin dan

refleksi dari realitas. Hasil kerja jurnalistik tidak bisa dinilai dengan menggunakan

standar yang rigid karena ia merupakan pemaknaan atas realitas. Pemaknaan

seseorang atas suatu realitas bisa jadi berbeda dengan orang lain yang tentunya

menghasilkan realitas yang berbeda pula.30

Adapun tujuan dalam penelitian dengan paradigma kontruksionis adalah

untuk mengkonstruksi realitas sosial karena tidak ada realitas yang dalam riil yang

seolah-olah ada sebelum peneliti mendekatinya. Realitas sosial tergantung pada

bagaimana seseorang memahami dunia dan menafsirkannya. Dalam pandangan ini

peneliti berperan sebagai fasilitator yang menjembatani keragaman subjektivitas

sosial.31

Oleh karena itu, penjabaran tentang paradigma dalam penelitian ini menjadi

penting karena berfungsi untuk memahami paradigma dasar sebagai acuan berfikir

bagi peneliti.

1.5.1.4. Konstruksi Media Atas Realitas

29 Ibid., hlm. 41 30 Ibid., hlm. 19-27 31 Ibid., hlm. 44-50

21

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud dengan konstruksi

adalah susupan (model, tata letak) suatu bangunan (jembatan, rumah, dan

sebagainya). Apabila digunakan dalam kalimat, konstruksi bermakna lingkaran

susunan dan hubungan kata dalam kalimat atau kelompok kata.32

Dengan demikian,

konstruksi merupakan upaya penyusunan beberapa peristiwa, keadaan, atau benda

secara sistematis menjadi sesuatu yang bermakna. Sedangkan realitas adalah

peristiwa, keadaan, benda.33

Berger sendiri membedakan tiga jenis realitas, yaitu: realitas objektif, realitas

simbolis sosial, dan realitas sujektif sosial. Realitas objektif merupakan realitas yang

terbentuk dari pengalaman di dunia objektif yang berada di luar diri individu dan

dianggap sebagai kenyataan. Lain halnya dengan realitas simbolis sosial yang

diartikannya sebagai ekspresi simbolik dari realitas objektif dalam berbagai bentuk

termasuk isu media. Sedangkan realitas subjektif sosial adalah realitas yang terbentuk

akibat proses penyerapan kembali realitas obyektif dan simbolik ke dalam individu

melalui proses internalisasi. Berpijak pada pembagian makna realitas tersebut, apabila

dikaitkan dengan media, tentu saja pers berperan dalam membentuk realitas subjektif

dengan memproduksi realitas simbolik atas berbagai fakta peristiwa atau realitas

dengan menggunakan bahasa.

32 Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi 3, op.cit 33 Ibnu Hamad, Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa, (Jakarta: Granit, 2004), hlm. 11

22

Apabila digabungkan keduanya, maka konstruksi realitas bermakna sebagai

pengaturan kata-kata membentuk frase, klausa, atau kalimat yang bermakna untuk

menjelaskan atau menggambarkan suatu kualitas atau keadaan aktual, benar, atau

nyata. Dengan kata lain, konstruksi realitas yang terjadi pada media cetak merupakan

pengaturan kata-kata membentuk frase, klausa, kalimat yang bermakna untuk

menjelaskan atau menggambarkan suatu kualitas atau keadaan aktual, benar, atau

nyata dan dipublikasikan di media cetak. Mengenai realitas, makna yang dimaksud

disini adalah fakta peristiwa.

Tentang proses konstruksi realitas, prinsipnya setiap upaya “menceritakan”

(konseptualisasi) sebuah peristiwa, keadaan, atau benda adalah usaha mengkonstruksi

realitas. Hal ini dikarenakan sifat dan faktanya bahwa pekerjaan media massa adalah

menceritakan peristiwa-peristiwa, maka kesibukan utama media massa adalah

mengkonstrusi berbagai realitas yang akan disiarkan. Media menyusun realitas dari

berbagai peristiwa yang terjadi hingga menjadi cerita atau wacana yang bermakna.

Pembuatan berita di media pada dasarnya adalah penyusunan realitas-realitas hingga

membentuk sebuah cerita atau wacana yang bermakna. Dengan demikian, seluruh isi

media tiada lain adalah realitas yang telah dikonstruksi dalam bentuk wacana yang

bermakna.34

Dalam proses konstruksi realitas, bahasa adalah unsur utama. Sebab, bahasa

merupakan instrumen pokok untuk menceritakan realitas. Bahasa adalah

34 Ibid., hlm. 11

23

konseptualisasi dan alat narasi. Begitu pentingnya bahasa, maka tak ada berita, cerita,

ataupun ilmu pengetahuan tanpa bahasa. Selanjutnya, penggunaan bahasa (simbol)

tertentu menentukan format narasi dan makna tertentu, entah itu dalam bentuk verbal

maupun non-verbal.35

Sesuatu yang disajikan media, pada dasarnya adalah akumulasi dari pengaruh

yang beragam. Ada lima faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam

ruang pemberitaan.36

Pertama, faktor individual (individual media workers). Faktor

ini berhubungan dengan latar belakang personal dan profesional dari para pekerja dan

pengelola media, yang sanggup mempengaruhi pemberitaan yang akan ditampilkan

kepada khalayak. Kedua, level rutinitas media (media routine). Rutinitas media

berhubungan dengan mekanisme dan proses penentuan berita. Termasuk kegiatan

penyeleksian, tenggat (deadline), keterbatasan tempat (space), piramida terbalik

dalam penulisan berita maupun kepercayaan terhadap sumber resmi dalam berita

yang dihasilkan. Ketiga, level organisasi. Level organisasi berhubungan dengan

struktur organisasi yang secara hipotetik mempengaruhi pemberitaan. Pengelola

media, wartawan, redaksional dan siapa saja yang ada dalam organisasional media,

masing-masing komponen itu bisa jadi mempunyai kepentingan sendiri-sendiri.

Sehingga punya peran dalam mempengaruhi hasil berita yang disiarkan.

35 Ibid., hlm. 12 36 Shoemaker & Reese dalam Alex Sobur, op.cit., 63-251

24

Keempat, level ekstramedia. Level ini berhubungan dengan faktor lingkungan

di luar media. Meskipun berada di luar organisasi media, hal-hal di luar organisasi

media ini sedikit banyak mempengaruhi pemberitaan media. Faktor ini meliputi lobi

dari kelompok kepentingan terhadap isi media, seperti masyarakat (norma sosial),

praktisi media, pemerintah dan lain sebagainya. Kelima, level ideologi. Ideologi

diartikan sebagai kerangka berfikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai

individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya. Level

ideologi abstrak, ini berhubungan dengan konsepsi atau posisi seseorang dalam

menafsirkan realitas. Dan lebih jelas dapat dilihat pada gambar dibawah ini:

Gambar 1

Model Hierarchy of Influence

Tingkat Ideologi

Tingkat Ekstramedia

Tingkat Organisasi

Tingkat Rutinitas Media

Tingkat Individu

Sumber : Shoemaker dan Reese. 1996: 64

Dalam menentukan sebuah isi pemberitaan, redaksi sebuah media massa akan

dipengaruhi oleh level-level tertentu, seperti level-level yang telah diuraikan diatas.

Yaitu pertama, level pada lingkup yang paling mikro, adalah level individual

25

kebijakan redaksi dipengaruhi latar belakang individual dari para awak redaksi. Level

ini beranggapan bahwa kebijakan isi media dipengaruhi background dan karakteristik

penulis berita, seperti etnik, gender, orientasi seksual, pendidikan dan termasuk

diantaranya juga adalah tingkat pemahaman penulis terhadap suatu permasalahan

yang dijadikan berita dan tingkat emosi pada saat berita itu diterbitkan atau disiarkan.

Lalu sikap personal, nilai-nilai dan kepercayaan, seperti sikap politik, orientasi agama

dan sebagainya.

Kedua, yang mempengaruhi kebijakan redaksi dalam menentukan isi

pemberitaan adalah level rutinitas media. Level ini menguraikan isi pemberitaan

dipengaruhi regulasi internal mengenai batasan-batasan peristiwa yang dijadikan

berita dan termasuk juga adalah karakter media dalam menulis berita.

Ketiga, level organisasi. Faktor organisasi juga mempengaruhi isi

pemberitaan, seperti struktur organisasi, independent- ownership atau cross-

ownership, dan juga budaya kerja. Budaya kerja yang berkembang dalam sebuah

organisasi akan mempengaruhi semua hasil yang dicapai organisasi tersebut. Begitu-

pun dalam media massa, isi pemberitaan media akan dipengaruhi oleh rutinitas

organisasi media itu sendiri.

Keempat, level ekstramedia. Selain faktor internal media, kondisi di luar juga

mempengaruhi isi media. Misalnya, keadaan sosial, nilai-nilai sosial masyarakatnya,

politik dan budaya yang berkembang dimana media itu ada, sumber berita, organisasi

media yang lain, audiens, kebijakan pemerintah. Semua itu akan mempengaruhi isi

26

media saat akan disampaikan. Selain itu, pada level ini, media juga akan

mempertimbangkan sumber penghasilannya (orientasi pasar). Apakah dengan isi

berita seperti itu akan meningkatkan pendapatan media.

Kelima, level ideologi. Level dipandang dari level yang makro yaitu ideologi,

seperti pemetaan ideologi (sphere of deviance, sphere of legitimate controversy and

sphere of consensus), visi misi organisasi. Ideologi disini diartikan mekanisme

simbolik yang menyediakan kekuatan kohesif yang mempersatukan didalam

masyarakat. Level ini menjadi salah satu penentu isi pemberitaan media massa.

Karena level ini berangkat dari kerangka berfikir atau kerangka referensi tertentu

yang dipakai individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya.

Meski nilai abstrak, level ini bisa dikatakan penentu dari level-level sebelumnya.

Karena ideologi sebuah media atau pimpinan tertinggi dalam media itu akan

mempengaruhi seluruh level-level lainnya. Misalnya level rutinitas media, rutinitas

dalam media akan dipengaruhi oleh level individual, dalam level individu ini yang

paling berpengaruh adalah ideologi dari individu itu sendiri.37

Lebih jauh lagi, terutama dalam media massa, keberadaan bahasa tidak lagi

sebagai alat semata untuk menggambarkan sebuah realitas, melainkan bisa

menentukan gambaran (makna citra) mengenai suatu realitas media yang akan

muncul di benak khalayak. Terdapat berbagai cara media massa mempengaruhi

bahasa dan makna ini: mengembangkan kata-kata baru beserta makna asosiatifnya,

37 Alex Sobur, op.cit., hlm. 138-139

27

memperluas makna dari istilah-istilah yang ada, mengganti makna lama sebuah istilah

dengan makna baru, memantapkan konvensi makna yang telah ada dalam suatu

sistem bahasa.38

Penggunaan bahasa tertentu dengan demikian berimplikasi pada bentuk

konstruksi realitas dan makna yang dikandungnya, pilihan kata cara penyajian suatu

realitas ikut menentukan struktur konstruksi realitas dan makna yang muncul darinya.

Dari perspektif ini bahkan bahasa bukan hanya mampu mencerminkan realitas, tetapi

sealigus dapat menciptakan realitas.39

Menurut Giles dan Wielmann, bahasa (teks) mampu menentukan konteks,

bukan sebaliknya, teks menyesuaikan diri dengan konteks. Dengan begitu, lewat

bahasa yang dipakainya (melalui pilihan kata dan cara penyajian) sesorang bisa

mempengaruhi orang lain (menunjukkan kekuasaannya). Melalui teks yang

dibuatnya, ia dapat memanipulasi konteks. Dalam banyak kasus, kelompok-kelompok

yang memiliki kekuasaan umumnya sangat berkepentingan dengan pengendalian

makna di tengah pergaulan sosial dimana media massa merupakan alat Bantu yang

ampuh. Untuk kasus Indonesia misalnya, betapa kita telah menyaksikan pengendalian

bahasa secara sistematis oleh penguasa Orde Baru.40

Oleh karena elemen dasar seluruh isi media massa adalah bahasa, dengan

demikian, bahasa adalah nyawa kehidupan media massa. Hanya melalui bahasa para

38 Ibnu Hamad, loc.cit., hlm 11 39 Ibid, hlm. 13 40 Ibid., hlm. 14

28

pekerja media bisa menghadirkan hasil reportasenya kepada khalayak. Setiap hari,

para pekerja media memanfaatkan dalam menyajikan berbagai realitas (peristiwa,

keadaan, benda) kepada publik. Dengan bahasa secara massif, mereka menentukan

gambaran beragam realitas ke dalam benak masyarakat.41

Namun, dikarenakan adanya tuntunan teknis seperti keterbatasan kolom dan

halaman pada media cetak, jarang ada media yang membuat berita sebuah peristiwa

secara utuh mulai dari menit pertama hingga ke menit terakhir. Atas nama kaidah

jurnalistik, peristiwa yang panjang, lebar, dan rumit, dicoba “disederhanakan” melalui

mekanisme pembingkaian (framing) fakta-fakta dalam bentuk berita sehingga layak

terbit atau layak tayang.

Untuk kepentingan pemberitaan tersebut, komunikator massa seringkali hanya

menyoroti hal-hal yang “penting” dari sebuah peristiwa. Dari segi ini saja, mulai

dapat ditebak kearah mana pembentukan (farmasi) sebuah berita. Ditambah pula

dengan berbagai kepentingan, maka konstruksi realitas politik sangat ditentukan oleh

siapa yang memiliki kepentingan dengan suatu berita. Kepentingan itu bisa dimiliki

oleh media atau pihak yang memiliki relasi khusus dengan media tersebut.42

Pembuatan frame itu sendiri didasarkan atas berbagai kepentingan internal

maupun eksternal media, baik teknis, ekonomis, politis, ataupun ideologis. Sehingga

pembuatan sebuah wacana tidak saja mengindikasikan adanya kepentingan-

41 Ibid., hlm. 15 42 Ibid., hlm. 21

29

kepentingan itu, tetapi juga bisa mengarahkan hendak dibawa kemana isu yang

diangkat dalam wacana tersebut. Adapun cara membentuk wacana di media massa

adalah dengan mengemas (packaging) realitas ke dalam sebuah struktur sehingga

sebuah isu mempunyai makna. Di dalamnya terhimpun sejumlah fakta pilihan yang

diperlakukan sedemikian rupa atas dasar frame tertentu sehingga ada fakta yang

ditonjolkan, disembunyikan, bahkan dihilangkan sampai terbentuk satu urutan cerita

yang mempunyai makna. Setiap kemasan wacana itu memiliki struktur internalnya

sendiri dengan sebuah gagasan inti atau frame di dalamnya.43

Pada dasarnya terdapat banyak faktor yang turut mempengaruhi pembentukan

realitas media, baik itu eksternal maupun internal. Ketika faktor kapital telah menjadi

unsur yang esensial, proses kontruksi realitas pun diselaraskan dengan pertimbangan-

pertimbangan modal. Inilah yang menyebabkan konstruksi realitas lazim dilakukan

sedemikian rupa bila menyangkut kasus yang akan merugikan usaha atau relasi

mereka. Wujud lain dari faktor ekonomi yang berpengaruh atas penampilan isi media

adalah khalayak dan pengiklan. Pelaporan sebuah peristiwa jelas harus

memperhitungkan pasar. Semakin baik pelaporan (reportase) akan semakin banyak

khalayak yang mengkonsumsi dan secara otomatis pengiklan pun cenderung akan

bertambah.

Sebagai makhluk sosial, seorang wartawan juga mempunyai sikap, nilai,

kepercayaan, dan orientasi tertentu dalam politik, agama, ideologi, dan aliran dimana

43 Ibid., hlm. 22

30

semua komponen itu berpengaruh terhadap hasil kerjanya (media content), sehingga

kerapkali media tersebut terlibat dalam sebuah hegemoni (politik, budaya, atau

ideologi). Selain itu, latar belakang pendidikan, jenis kelamin, etnisitas, turut pula

mempengaruhi wartawan dalam mengkonstruksi realitas.44

Pembahasan konstruksi media terhadap realitas ini untuk memahami

bagaimana media massa dalam melakukan konstruksi dalam pemberitaannya

senantiasa berbeda-beda. Hal ini berkaitan erat untuk memahami mengapa media

melakukan pembingkaian sedemikian rupa dalam realitas kasus korupsi dana haji

yang menjadi fokus pembahasan.

1.5.1.5. Teori Agenda Setting

Menurut asumsi teori ini media mempunyai kemampuan untuk menyeleksi

dan mengarahkan perhatian masyarakat pada gagasan atau peristiwa tertentu. Dengan

kata lain, agenda media akan menjadi agenda masyarakatnya. Agenda setting ini

beroperasi dalam tiga bagian45

, sebagai berikut:

a. Agenda media itu harus diformat sendiri.

b. Agenda media dalam banyak hal mempengaruhi atau berinteraksi dengan agenda

publik atau kepentingan isu tertentu bagi publik.

44 Ibid., hlm. 27-28 45 Nurudin, Pengantar Komunikasi Massa (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 196-

198

31

c. Agenda publik mempengaruhi atau berinteraksi ke dalam agenda kebijakan.

Rogers dan Dearing dalam Anderson menyatakan fungsi agenda setting

merupakan proses linear yang terdiri dari tiga bagian, yaitu: pertama, agenda media

itu sendiri dalam memunculkan isu-isu mengenai bagaimana agenda media

ditempatkan pada tempat yang pertama. Kedua, agenda media dalam beberapa hal

mempengaruhi atau berinteraksi dengan agenda publik sehingga media mampu

mempengaruhi agenda publik dan bagaimana media melakukannya. Ketiga, agenda

media mempengaruhi agenda publik dan pada gilirannya agenda publik

mempengaruhi agenda kebijakan.46

Para peneliti sebelum Mc Combs dan Shaw mempunyai beberapa gagasan

yang sangat mirip dengan hipotesis penentuan agenda. Penyataan yang lebih

langsung tentang gagasan penentuan agenda terbit pada tahun 1958 dalam artikel

yang ditulis Long yang menyatakan bahwa dalam beberapa hal, surat kabar adalah

penggerak utama dalam menentukan agenda daerah. Surat kabar memiliki andil besar

dalam menentukan apa yang akan dibahas oleh sebagian besar orang, apa pendapat

sebagian orang tentang fakta yang ada, dan apa yang dianggap sebagian besar orang

sebagai cara untuk menangani masalah.47

46 Heru Puji Winarso, Sosiologi Komunikasi Massa (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2005), hlm. 103

47 Werner J. Severin dan James W. Tankard, Jr, Teori Komunikasi: Sejarah, Metode, dan

Terapan di Dalam Media Massa, edisi kelima (Jakarta: Kencana, 2001), hlm. 264

32

Lang dan Lang (1959) juga menghasilkan pernyataan awal tentang gagasan

penentuan agenda bahwa media media massa seringkali memaksakan perhatian pada

isu-isu tertentu dan secara konstan menghadirkan objek-objek yang menunjukkan apa

yang hendaknya dipertimbangkan, diketahui, dan dirasakan individu-individu dalam

masyarakat.48

Pemahaman akan fungsi agenda setting menjadi penting untuk kepentingan

analisis dalam penelitian ini. Sebab, bagaimanapun, fungsi agenda setting merupakan

salah satu rangkaian kegiatan yang dilakukan media dalam membingkai peristiwa

dalam konstruksi tertentu. Terlebih, permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini

adalah fenomena dalam kasus korupsi dana haji yang didekati dari perspektif

komunikasi massa. Semakin jelaslah korelasi positif diantara agenda setting function

dan framing analysis dalam penelitian ini. Akan tetapi, penelitian ini tidak mengarah

ada agenda setting function secara terperinci, mengingat fokus dalam penelitian ini

ditekankan pada sikap Tempo dan Gatra melalui pembentukan frame dalam upaya

mengkonstruksi kasus korupsi dana haji. Teori ini ditempatkan sebagai dasar

pandangan bahwa media massa menentukan isu-isu yang penting bagi khalayak.

1.5.1.6. Makna Kontruksi Ideologi

48 Heru Puji Winarso, loc.cit., hlm. 103

33

Ketika menulis berita tentang suatu peristiwa, wartawan bukan hanya

mengkonstruksi bagaimana peristiwa harus dipahami. Ketika menulis pun juga

memperhitungkan khalayak yang akan membaca teks berita tersebut. Sehingga ketika

berita itu di konstruksi, bukan hanya peristiwa yang dijelaskan dalam peta ideologi

tertentu, melainkan halayak sebagai pembaca teks berita juga di tempatkan dalam

peta ideologi tertentu. 49

Seperti dikatakan Matthew Kieran (dalam Eriyanto, 2005) berita tidak

dibentuk dalam ruang hampa. Berita diproduksi dari ideologi dominan dalam suatu

wilayah kompetensi tertentu. Ideologi disini tidaklah harus selalu dikaitkan dengan

ide-ide besar. Ideologi juga bisa bermakna politik, penandaan atau pemaknaan.

Bagaimana melihat peristiwa dari kaca mata dan pandangan tertentu, dalam arti luas

sebuah ideologi karena menggunakan titik melihat tertentu.50

Oleh karena itu, ketika mengkonstruksi sebuah realitas, media tidak hanya

menggambarkan realitas tersebut, tetapi khalayak juga diajak setuju atau tidak setuju.

Pada sisi ini, khalayak ditempatkan dalam sisi ideologi tertentu tentang pemaknaan

atas realitas.51

Asumsi ini menyediakan konstruksi dari sebuah citra bagaimana

wartawan dan jurnalis menempatkan dan ditempatkan dirinya dalam peta ideologis

tertentu. Asumsi ini juga yang dijadikan dasar bagaimana peristiwa tiap hari

49 Eriyanto, op.cit., hlm. 134 50 Ibid., hlm. 130-131 51 Ibid., hlm. 134

34

dimaknai. Bingkai yang diterapkan media menyediakan alat bagaimana bisa melihat

posisi tersebut.52

1.5.1.7. Analisis Framing

Framing (bingkai) tidaklah sepenuhnya lahir di ilmu komunikasi, melainkan

diadopsi dari ilmu kognitif (psikologi). Yang mengasumsi semua yang hadir di

masyarakat tidak datang begitu saja, tapi karena tercipta setelah melalui berbagai

proses. Budaya, adat, norma masyarakat atau manusia itu sendiri adalah produk yang

dengan sengaja dibentuk. Hal itu sangat jelas dalam teori kognitif Peter L. Berger

(1984) yang menyatakan bahwa “ manusia adalah produk dari masyarakat dan

sebaliknya masyarakat adalah produk dari manusia”.

Analisis framing adalah alternatif baru dalam pendekatan analisis wacana,

yang juga merupakan alternatif lain dari teknik penelitian terhadap teks berita atau

secara luas media. Berbeda dengan analisis isi kuantitatif, framing analisis lebih

menganalisa “bagaimana” realitas dibingkai oleh media. Sedang analisis isi

kuantitatif adalah menganalisa realita “apa” yang ada dalam berita. Yang kedua juga

tidak dapat dipakai untuk mengeneralisasi hasil penelitian, berbeda dengan analisis isi

kuantitatif yang sanggup melakukan generalisasi hasil penelitian pada permasalahan

yang sama.

52 Ibid., hlm. 135

35

Ada beberapa definisi mengenai framing. Menurut Entman (dalam Eriyanto,

2005), framing merupakan proses seleksi dari berbagai aspek realitas sehingga bagian

tertentu dari peristiwa itu lebih menonjol dibandingkan aspek lain. Ia juga

menyertakan penempatan informasi-informasi dalam konteks yang khas, sehingga

sisi tertentu mendapatkan alokasi lebih daripada sisi yang lain.

Gamson (dalam Eriyanto, 2005) menyatakan bahwa framing bercerita atau

gugusan ide-ide yang terorganisasi sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi

makna peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan objek suatu wacana. Cara bercerita

itu terbentuk sebuah kemasan (package). Kemasan itu semacam skema atau struktur

pemahaman yang digunakan individu untuk mengkonstruksi makna pesan-pesan yang

ia sampaikan, serta untuk menafsirkan makna pesan-pesan yang ia terima.

Sedangkan menurut Pan dan Kosicki (dalam Eriyanto, 2005), framing

merupakan strategi konstruksi dan memproses berita. Perangkat kognisi yang

digunakan dalam mengkode informasi, menafsirkan peristiwa, dan dihubungkan

dengan rutinitas dan konvensi pembentukan berita.

Dari pemaparan ketiga ahli tersebut meski memiliki perbedaan dalam

penekanan dan pengertiannya, namun ketiganya masih memiliki benang merah yang

sama dari definisi tersebut. Intinya, framing adalah pendekatan untuk melihat

bagaimana realitas itu dibentuk dan dikonstruksi oleh media. Sebab, framing adalah

sebuah cara bagaimana peristiwa disajikan oleh media. Penyajian tersebut dilakukan

dengan menekankan bagian tertentu, menonjolkan aspek tertentu, dan membesarkan

36

cara bercerita tertentu dari suatu realitas/peristiwa. Disini media menyeleksi,

menghubungkan, dan menonjolkan peristiwa sehingga makna dari peristiwa lebih

mudah menyentuh dan diingat oleh khalayak.53

Adapun menurut Sudibyo (2001), framing merupakan metode penyajian

realitas dimana kebenaran tentang suatu kejadian tidak diingkari secara total,

melainkan dibelokkan secara halus dengan memberikan penonjolan terhadap aspek-

aspek tertentu dengan menggunakan istilah-istilah yang punya konotasi tertentu, dan

dengan bantuan foto , karikatur, dan alat ilustrasi lainnya. Analisis bingkai (frame

analysis) berusaha untuk menentukan kunci-kunci tema dalam sebuah teks dan

menentukan bahwa latar belakang budaya membentuk pemahaman kita terhadap

sebuah peristiwa.

Disiplin ilmu ini bekerja dengan didasarkan pada fakta bahwa konsep ini bisa

ditemui di berbagai literatur lintas ilmu sosial dan ilmu perilaku. Secara sederhana,

analisis bingkai mencoba untuk membangun sebuah komunikasi secara bahas, visual,

dan perilaku serta menyampaikannya kepada pihak lain atau menginterpretasikan dan

mengklasifikasikan informasi baru. Melalui analisa bingkai, kita mengetahui

bagaimanakah pesan diartikan sehingga dapat di interpretasikan secara efisien dalam

hubungannya dengan ide peneliti.

53 Eriyanto, op.cit., hlm. 67-68

37

Ada dua aspek dalam framing: Pertama, memilih fakta/realitas. Proses

memilih fakta ini didasarkan pada asumsi, wartawan tidak mungkin melihat peristiwa

tanpa perspektif. Dalam memlih fakta ini selalu terkandung dua kemungkinan: apa

yang dipilih (included) dan apa yang dibuang (excluded). Bagian mana yang

ditekankan dalam realitas? Bagian mana dari realitas yang diberitakan dan bagian

mana yang tidak diberitakan? Penekanan aspek tertentu itu dilakukan dengan memilih

sudut tertentu, memilih fakta tertentu, dan melupakan fakta yang lain, memberitakan

aspek tertentu dan melupakan aspek yang lainnya. Intinya, peristiwa dilihat dari sisi

tertentu. Akibatnya, pemahaman dan konstruksi atas suatu peristiwa bisa jadi berbeda

antara satu media dengan media lain. Media yang menekankan aspek tertentu,

memiliki fakta tertentu akan menghasilkan berita yang bisa jadi berbeda kalau media

menekankan aspek atau peristiwa yang lain.

Kedua, menuliskan fakta. Proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta

yang dipilih itu disajikan kepada khalayak. Gagasan itu diungkapkan dengan kata,

kalimat, dan proposisi apa, dengan bantuan aksentuasi foto dan gambar apa, dan

sebagainya. Bagaimana fakta yang sudah dipilih tersebut ditekankan dengan

pemakaian perangkat tertentu: penempatan yang mencolok (menempatkan di headline

depan, atau bagian belakang), pengulangan, pemakaian grafis untuk mendukung dan

memperkuat penonjolan, pemakaian label tertentu ketika menggambarkan

orang/peristiwa yang diberitakan, asosiasi terhadap simbol budaya, generalisasi,

simplifikasi, dan pemakaian kata yang mencolok, dan sebagainya. Elemen menulis

38

fakta ini berhubungan dengan penonjolan realitas. Pemakaian kata, kalimat atau foto

itu merupakan implikasi dari memilih aspek tertentu dari realitas. Akibatnya, aspek

tertentu yang ditonjolkan menjadi menonjol, lebih mendapatkan alokasi dan perhatian

yang besar dibandingkan aspek lain. Semua aspek itu dipakai untuk membuat dimensi

tertentu dari konstrusi berita menjadi bermakna dan diingat oleh khalayak.54

Terdapat beberapa varian analisis framing. Cara menganalisis analisis wacana

dengan framing adalah memenuhi setiap komponen framing dengan fakta (bagian

naskah) yang terdapat dalam suatu naskah. Pertama, komponen framing Gamson dan

Modigliani yang membagi unit-unit analisis dalam metaphors, exemplars,

catchprases, depictions, visual images, roots, consequences, dan appeals to

principals. Kedua, komponen framing Pan&Kosicki yang membagi unit analisis

diantaranya: sintaksis (skema berita), skrip (kelengkapan berita), tematik (detail,

koherensi, bentuk kalimat, kata ganti), dan retoris (leksikon, grafis, metafora). Ketiga,

komponen framing Van Dijk dengan komponen penelitian yang terdiri dari summary

(headline; lead); story (situation and comments), situation (episode and

background); comments (verbal reactions and conclusions), episode (main events

and consequences), background (context and history), history (circumstances and

previous events), conclusion (expectations and evaluations). Terakhir, komponen

framing Robert N. Entman yang melihat framing dalam dua dimensi besar, yaitu

seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek-aspek tertentu dari sebuah isu.

54 Ibid., hlm. 69-70

39

Adapun unit analisis dalam framing Entman dibagi dalam empat bagian, yakni:

problem identification, causal interpretation, moral evaluation, dan treatment

recommendation.55

Penjabaran tentang analisis framing berikut konsep dan model tersebut

berkorelasi positif dengan permasalahan yang diangkat, mengingat penelitian ini

berkepentingan untuk menganalisis bagaimana bingkai (framing) majalah Tempo dan

Gatra dalam memberitakan kasus korupsi dana haji.

1.5.1.8. Objektivitas versus Subjektivitas Berita dalam Media

Dalam menyajikan suatu berita, media diharapkan objektif dan tidak

memihak. Objektif yang dimaksud disini adalah laporan fakta secara apa adanya, dan

bukan laporan tentang fakta yang seharusnya. Karena fakta-fakta yang disajikan

media kepada khalayak sesungguhnya merupakan realitas kedua (second hand

reality). Realitas tangan pertama adalah fakta atau peristiwa itu sendiri.56

Objektivitas jurnalistik adalah suatu pola pikir dari wartawan dan redaktur

yang meliputi upaya sadar untuk tidak menghakimi terlebih dahulu apa yang ia lihat,

tidak dipengaruhi oleh prasangka pribadinya sendiri, selera, keyakinan, serta

prasangka, tidak dicampuri oleh retorika kelompok, selalu beanggapan “kelompok

55 Loc.cit 56 AS Haris, op.cit., hlm. 73-74

40

lain” dan berupaya untuk memperhatikan bahwa orang lain memiliki kesempatan

untuk di dengar.57

Michael Bugeja yang mengajar jurnalisme di Iowa State menyatakan bahwa

objektivitas adalah melihat bagaimana yang diharapkan semestinya.58

Objektifitas

dalam produksi berita secara umum digambarkan selagi tidak dicampuradukkan

antara fakta dan opini. Bahkan kini peliputan yang dilakukan oleh seorang wartawan

tidak bisa dianggap sebagai taken for granted, tidak lagi sekedar cover both sides,

tetapi perlu cover all sides.59

Ungkapan dua sisi (both side) dalam jurnalisme

menjebak wartawan pada pemikiran bahwa hanya ada dua pihak dalam suatu isu,

padahal terkadang terlibat tiga, empat, atau lebih pihak. Sedapatnya wartawan harus

menghubungi berbagai pihak (all sides). Berbagai sumber perlu dihubungi untuk

melindungi tulisan dari prasangka atau distorsi. Pendekatan multi-sumber ini juga

memberikan kredibilitas pada tulisan.60

Konsep objektivitas menjadi salah satu sebab kebingungan terbesar dalam

jurnalisme. Makna asli dari pemikiran ini sering disalah pahami oleh sebagian

kalangan pers, bahkan hilang. Saat konsep tersebut pertama kali berkembang,

objektivitas tidak dimaksudkan untuk menyiratkan bahwa wartawan bebas dari bias.

57 Reed H. Blake dan Edwin O. Holdsen, Taksonomi Konsep Komunikasi,

(Surabaya: Papyrus, 2003), hlm. 61-62

58 Luwi Ishwara, Catatan- catatan Dasar Jurnalisme Dasar (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005),

hlm. 43-44 59 Kompas dari Belakang ke Depan Menulis Dari Dalam, (Jakarta: Gramediam 2007), hlm. 85-86 60 Luwi Ishwara, op.cit., hlm. 70

41

Justru sebaliknya. Istilah ini mulai muncul sebagai bagian dari jurnalisme pada awal

abad lalu, terutama pada abad 1920-an ketika ia tumbuh dalam suasana dimana

wartawan penuh dengan bias seringkali tanpa sadar.61

Disamping itu, adanya pelibatan interpretasi dalam berita membuat berita

menjadi kehilangan objektivitasnya. Objektivitas di sini mulai melihat unsur keadilan

(fairness) dengan tidak sekedar membawa berita, namun berkembang kearah

menjelaskan berita. Sehingga pegangan objektif dengan tidak menampilkan opini

wartawan mulai tergeser. Nilai lebih dalam sebuah pemberitaan terletak pada

interpretasi atau pemberian makna atas kejadian, maka seorang wartawan harus

memiliki kemampuan menilai (judgement). Di sinilah berlaku “objektivitas yang

subjektif” sebagaimana dirumuskan De Volder.62

Penggeseran konsep objektivitas dalam pandagan tersebut memunculkan

pertanyaan baru. Ketika judgement wartawan dilibatkan dalam sebuah pemberitaan,

batasan objektif dan netral tersebut menjadi kabur. Terlebih lagi, jika mengacu pada

pandangan bahwa fakta-fakta yang disajikan media kepada khalayak sesungguhnya

merupakan realitas tangan kedua (second hand reality), sedangkan realitas pertama

(first reality) adalah fakta atau peristiwa itu sendiri, sehingga berita sangat rentan

61 Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, Sembilan Elemen Jurnalisme diterjemahkan oleh Yusi A.,

(Jakarta: Yayasan Pantau, 2006), hlm. 88 62 St Sularto, Dari “Sang Pemula” ke “Sang Pengibar Bendera” dalam Kompas: Manulis Dari Dalam

(Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2007), hlm. 50

42

terhadap kemungkinan adanya intervensi maupun manipulasi, meskipun pada

tingkatan diksi atau simbolis.63

Apabila dikaitkan dengan pandangan konstrutivisme, media sebagai agen

konstruksi, berperan dalam mendefinisikan realitas. Ia mengkonstruksi realitas

tersebut berdasarkan penafsiran dan definisinya sendiri untuk disebarkan kepada

khalayak. Sehingga media bukanlah ranah yang netral dimana berbagai kepentingan

dan pemaknaan dari berbagai kelompok akan mendapatkan perlakuan yang sama dan

seimbang.64

Proses pembentukan berita itu sendiri tidak dipandang sebagai ruang yang

hampa, netral, dan hanya sebatas menyalurkan informasi. Sebelum menjadi teks

berita, terjadi berbagai interaksi yang saling mempengaruhi. Dalam konteks ini,

Shoemaker dan Reese menyatakan terdapat lima level yang berpengaruh terhadap

pengambilan keputusan dalam ruang pemberitaan, level tersebut meliputi level

individu, rutinitas media, intra media, ekstra media, dan ideologi.65

Masing-masing

faktor tersebut berpengaruh terhadap presentasi media yang mengakibatkan media

massa tidak dapat dikatakan netral.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa sejauh manapun media

massa mencoba untuk objektif, ia tidak akan mampu mencapainya secara mutlak

63 AS Haris, loc.cit., hlm. 74

64 Agus Sudibyo, Politik Media dan Pertarungan Wacana (Yogyakarta: LKiS, 2006), hlm. 55 65 Alex Sobur, loc.cit., hlm. 138

43

karena banyak faktor maupun tekanan yang mengintervensinya. Demikian halnya

ketika melihat kasus dugaan korupsi dana haji. Berbagai kepentingan maupun

tekanan yang datang pada media massa menjadikannya tidak mampu bersikap netral

sepenuhnya.

1.5.2 Kerangka Berpikir

Penelitian ini memilih untuk melakukan penelitian dengan membandingkan

dua majalah. Hal ini dilakukan untuk melihat perbedaan cara pandang masing-masing

media (majalah) dalam membingkai sebuah realitas yang sama. Seperti telah dibahas

dalam tinjauan pustaka bahwa majalah merupakan media cetak dengan karakteristik

yang berbeda dengan media harian. Majalah memiliki keunggulan dalam teknis

kedalaman analisis beritanya (in depth reporting). Hal ini dikarenakan wartawan

majalah memiliki waktu lebih lama dalam menggali fakta di lapangan. Kelebihan

tersebut menjadikan nilai lebih yang dimiliki oleh majalah, yang tidak dimiliki media

cetak lainnya dalam memberikan laporan pemberitaan mengenai suatu realitas.

Di Indonesia sendiri terdapat beragam majalah. Diantaranya Tempo dan

Gatra. Keduanya merupakan majalah berita mingguan ternama di Indonesia. Sebagai

majalah berita, Tempo dan Gatra senantiasa ’peka’ dalam menyajikan peristiwa yang

memiliki news value yang tinggi. Salah satu fenomena yang menarik perhatian media

massa adalah kasus dugaan korupsi dana haji. Hangatnya kasus tersebut di ulas antara

bulan November – Desember 2010. Tentu saja, Tempo dan Gatra juga mengulas

44

fenomena tersebut. Meskipun fenomena yang mereka angkat dalam pemberitaannya

sama, namun kedua majalah tersebut membingkai (framing) peristiwa tersebut secara

berbeda.

Perbedaan frame pada keduanya terjadi karena masing-masing media

memiliki konstruksi pemberitaan tersendiri. Dari perbedaan framing di kedua majalah

tersebut, maka akan terlihat secara implisit bagaimana keberpihakan majalah tersebut

dan sejauh mana subjektifitas media tersebut dalam melakukan pemberitaannya.

Untuk mengetahui perbedaan frame dalam menyikapi kasus dugaan korupsi

dana haji di kedua majalah tersebut, maka peneliti membandingkan pemberitaan yang

dilakukan oleh Tempo dan Gatra. Berita-berita yang dimuat dalam majalah tersebut

tentang kasus Korupsi dana haji menjadi data kuantitatif yang melandasi peneliti

untuk melakukan penelitian dengan menggunakan analisis framing.

1.6. Metode Penelitian

1.6.1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Penelitian ini mengamati suatu fakta atau data untuk mengetahui faktor-faktor

apa saja yang berada dibalik data dan fakta tersebut serta mengamati

kecenderungannya. Fakta yang menjadi sasaran penelitian ini adalah teks berita kasus

dugaan korupsi dana haji. Teks berita merupakan hasil konstruksi pers atas fakta

peristiwa tersebut. Setiap individu termasuk pekerja pers dalam mengkonstruksi

45

realitas selalu dipengaruhi pengalaman, preferensi, pendidikan, persepsi, dan

lingkungan pergaulan atau relasi sosial tertentu. Dengan demikian, faktor subjektifitas

jurnalis dapat mempengaruhi perspektif pers tentang peristiwa konstruktivisme.66

Sedangkan penelitian ini menggunakan framing yang bersifat komparatif

kualitatif, bertujuan untuk mengetahui perbandingan bingkai media dalam

pemberitaan kasus dugaan korupsi dana haji yang ada pada majalah Tempo dan

Gatra. Peneliti akan mengintrepretasikan data yang dikumpulkan.

1.6.2. Fokus Penelitian

Fokus dalam penelitian ini adalah analisis framing pada pemberitaan kasus

korupsi dana haji. Kasus ini merupakan peristiwa yang menyangkut kesejahteraan

rakyat, sehingga pemberitaan tentang kasus korupsi dana haji tersebut marak diliput

oleh media massa di Indonesia. Namun, berita yang dianalisis dalam penelitian ini

hanya difokuskan pada pemberitaan yang terdapat dalam majalah berita mingguan

Tempo edisi 6-12 Desember 2010 dan Gatra edisi 18-24 November 2010. Alasan

peneliti mengapa memilih edisi tersebut karena pada edisi minggu terakhir pada bulan

November 2010 dan awal Desember 2010, kedua majalah tersebut sama-sama

menurunkan laporan yang membahas kasus dugaan korupsi dana haji namun dengan

pembingkaian yang berbeda.

66 Eriyanto, op.cit., hlm. 30-31

46

Untuk Tempo, pemberitaan yang menjadi analisis utama dalam penelitian ini

adalah dalam rubrik Laporan Utama dengan judul “Main-main duit haji”. Sedangkan

pada majalah Gatra, rubrik yang dianalisis hanya satu berita saja. Berita tersebut

berada dalam rubrik Nasional dengan judul “Melipat ongkos ke rumah Allah”.

1.6.3. Teknik Pengumpulan Data

Metode ilmiah pada hakikatnya ialah penggabungan antara berfikir secara

deduktif dengan induktif (Husaini dan Purnomo, 2003: 53). Dalam penelitian ini,

peneliti menggunakan tiga teknik untuk mengumpulkan data, yaitu:

1. Observasi

Observasi adalah pengamatan dan pencatatan yang sistematis terhadap gejala-

gejala yang diteliti (Husaini dan Purnomo, 2003: 54). Untuk memperoleh data primer

penelitian, observasi dilakukan terhadap berita-berita yang berkaitan dengan kasus

korupsi dana haji di majalah Tempo dan Gatra pada periode minggu akhir pada bulan

November 2009. Berita-berita mengenai isu terkait yang dimuat sebelum dan sesudah

periode tersebut dijadikan data sekunder sebagai tambahan wawasan mengenai isu

tersebut.

2. Studi Pustaka

47

Data yang berkaitan dengan landasan teoritis penelitian ini diperoleh dari

sumber referensi berupa: buku, diktat, dan catatan lainnya yang relevan dengan

penelitian ini.

1.6.4. Teknik Keabsahan Data

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dimana data primernya

berupa dokumentasi. Dalam bukunya Moleong, teknik keabsahan data yang tepat

untuk penelitian dengan data primer dokumentasi, yaitu:

1. Perpanjangan Keikutsertaan

Perpanjangan keikutsertaan dilakukan dengan cara menggunakan waktu yang

tersisa dari penelitian secara maksimal. Sisa waktu tersebut diisi dengan melakukan

kegiatan membaca, menyeleksi dan menelaah semua data yang telah terkumpul yang

bersumber dari berita Korupsi dana haji, ini dilakukan untuk menghindari kesalahan

dalam penelitian.

2. Ketekunan Pengamatan

Kegiatan yang dilakukan peneliti dengan cara membaca secara intensif dalam

mencermati adanya pengaruh kognisi sosial terhadap konstruksi berita dugaan

korupsi dana haji di majalah Tempo dan Gatra.67

67 Lexy Meleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hlm. 327

48

Dalam penelitian ini, yang menjadi sumber data primer adalah dokumentasi

teks, yakni teks-teks berita tentang kasus korupsi dana haji yang terdapat pada

majalah Tempo dan Gatra yang terlibat dalam penelitian laporan kasus korupsi dana

haji. Sedangkan yang menjadi data sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku

acuan yang relevan dan informasi-informasi yang ada melalui browsing internet.

1.6.5 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data pada penelitian komparatif kualitatif, dengan bertujuan

untuk mengetahui bingkai media dalam pemberitaan kasus dugaan korupsi dana haji

yang ada pada media Tempo dan Gatra, lalu memberi gambaran akan bingkai media

pada media kedua tersebut, serta pada akhirnya membandingkannya antara satu

dengan yang lain. Dan terperinci lagi, penelitian ini juga menggunakan analisis

framing Robert N. Entman. Alasan peneliti memilih model framing tersebut

dikarenakan konsep framing ini mampu menggambarkan proses seleksi dan

penonjolan aspek tertentu dari realitas yang dilakukan oleh media. Framing Entman

mampu memberi tekanan lebih pada bagaimana teks komunikasi ditampilkan dan

bagian mana yang ditonjolkan/dianggap penting oleh pembuat teks. Disamping itu,

framing Entman dinilai peneliti sesuai untuk menganalisis teks berita pada majalah

mingguan dengan kategori penelitian features news.68

68 Menurut Santana (2005) features news adalah jenis tulisan dengan cara penggambaran yang hidup.

Pembaca diajak mengenali persoalan dengan enteng, mengalir, dan tidak ruwet. Tiap soal dijelaskan

melalui peristiwa. Peristiwa demi peristiwa yang menjalin kisah membingkai tema besar kemanusiaan.

49

Perangkat framing yang digunakan dalam analisis framing Entman dibagi

dalam dua dimensi besar, yakni seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek-

aspek tertentu dari realitas/isu.69

Dalam pendekatan framing ini, peneliti akan

membantu struktur analisis penelitian menjadi empat bagian sesuai dengan model

analisis framing yang dikemukakan oleh Entman70

, yaitu:

1. Define problems (pendefinisian masalah),

2. Diagnose causes/causal identification (memperkirakan masalah atau sumber

masalah),

3. Make moral judgement (membuat keputusan moral),

4. Treatment recommendation (menekankan penyelesaian)

Untuk lebih memahami bagian-bagian dalam analisis framing Entman, dapat dilihat

penjelasannya melalui table 3.1.

Tabel 3.1.

Struktur Analisis Framing Entman

Struktur Unit yang Diamati

Define problems - Bagaimana suatu peristiwa/isu dilihat?

- Sebagai apa?

69 Eriyanto, op.cit., hlm.186 70 Ibid, hlm. 188-189

50

- Atau sebagai masalah apa?

Diagnose

causes/causal

identification

- Peristiwa itu dilihat disebabkan oleh apa?

- Apa yang dianggap sebagai penyebab dari suatu

masalah?

- Siapa (aktor) yang dianggap sebagai penyebab masalah?

make moral

judgement

- Nilai moral apa yang disajikan untuk menjelskan

masalah?

- Nilai moral apa yang dipakai untuk melegitimasi

atau mendelegitimasi suatu tindakan?

Treatment

recommendation

- Penyelesaian apa yang ditawarkan untuk mengatasi

masalah/isu?

- Jalan apa yang ditawarkan dan harus

ditempuh untuk mengatasi masalah?

Sumber: Eriyanto (2005), Analisis Framing