37
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Telur ayam infertil merupakan telur yang tidak dapat menetas. Telur ayam infertil dapat berasal dari telur yang tidak dibuahi oleh pejantan atau yang biasa disebut sebagai telur konsumsi maupun telur tetas yang pada dasarnya sengaja dibuahi oleh pejantan namun dalam proses penetasan ternyata tidak dapat menetas. Telur ayam infertil yang berasal dari telur tetas dapat diperoleh saat candling pada proses penetasan. Candling adalah proses peneropongan telur menggunakan cahaya untuk melihat perkembangan embrio dalam telur. Telur infertil dapat disebabkan oleh berbagai kemungkinan seperti perbandingan antara pejantan dan induk yang kurang seimbang, gizi pejantan dan induk kurang sempurna, umur pejantan atau induk ayam yang sudah terlalu tua, embrio mengalami mati dini karena penyimpanan telur yang kurang baik, terlalu lama dan dosis fumigasi yang terlalu tinggi (Nuryati, 2002). Telur infertil yang diperoleh dari proses candling pada saat penetasan telur menggunakan mesin tetas jumlahnya dapat mencapai 26,7% dari total telur yang masuk ke dalam mesin tetas. Apabila kapasitas mesin tetas yang digunakan mencapai ribuan, maka telur infertil yang diperoleh juga akan banyak. Anonim (2009) menyebutkan bahwa perusahaan penetasan telur dapat menghasilkan 15.000 butir telur ayam infertil dalam sehari. Jumlah telur infertil yang sangat banyak ini biasanya dijual kembali 1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67794/potongan/S1-2014...induk kurang sempurna, umur pejantan atau induk ayam yang sudah terlalu

Embed Size (px)

Citation preview

1  

  

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Telur ayam infertil merupakan telur yang tidak dapat menetas. Telur ayam

infertil dapat berasal dari telur yang tidak dibuahi oleh pejantan atau yang biasa

disebut sebagai telur konsumsi maupun telur tetas yang pada dasarnya sengaja

dibuahi oleh pejantan namun dalam proses penetasan ternyata tidak dapat

menetas. Telur ayam infertil yang berasal dari telur tetas dapat diperoleh saat

candling pada proses penetasan. Candling adalah proses peneropongan telur

menggunakan cahaya untuk melihat perkembangan embrio dalam telur.

Telur infertil dapat disebabkan oleh berbagai kemungkinan seperti

perbandingan antara pejantan dan induk yang kurang seimbang, gizi pejantan dan

induk kurang sempurna, umur pejantan atau induk ayam yang sudah terlalu tua,

embrio mengalami mati dini karena penyimpanan telur yang kurang baik, terlalu

lama dan dosis fumigasi yang terlalu tinggi (Nuryati, 2002). Telur infertil yang

diperoleh dari proses candling pada saat penetasan telur menggunakan mesin tetas

jumlahnya dapat mencapai 26,7% dari total telur yang masuk ke dalam mesin

tetas. Apabila kapasitas mesin tetas yang digunakan mencapai ribuan, maka telur

infertil yang diperoleh juga akan banyak. Anonim (2009) menyebutkan bahwa

perusahaan penetasan telur dapat menghasilkan 15.000 butir telur ayam infertil

dalam sehari. Jumlah telur infertil yang sangat banyak ini biasanya dijual kembali

1

2  

  

dengan harga yang murah, berkisar antara Rp. 300 – Rp. 500 per butir pada tahun

2012.

Telur infertil hasil candling pada proses penetasan menggunakan mesin tetas

tergolong telur yang sudah tidak segar lagi karena sudah mengalami pemeraman

hingga berhari-hari dengan suhu 38oC. Faktor lingkungan atau kondisi

pemeraman serta waktu pemeraman telur dapat mempengaruhi sifat telur. Suhu

pemeraman yang lebih tinggi daripada suhu ruang yakni 38oC merupakan suhu

fisiologis yang dapat mengakibatkan mikrobia cepat sekali berkembang sehingga

dapat menyebabkan terjadinya hidrolisis protein dan lemak dalam telur.

Perubahan sifat telur terutama disebabkan oleh adanya kontaminasi mikrobia dari

luar yang masuk melalui pori-pori pada kerabang sehingga merusak isi telur.

Telur biasanya dimanfaatkan sebagai telur konsumsi dan sebagai bahan

pada industri pengolahan pangan. Sebagai telur konsumsi, zat gizi di dalam telur

tersebut perlu diperhatikan. Kandungan gizi telur ayam ras infertil pernah diteliti

oleh Anggrahini dan Almunifah (2012), hasil dari penelitian ini adalah kandungan

proksimat dan nilai kecernaan protein telur ayam ras infertil tidak mengalami

perubahan hingga pemeraman hari ke-10.

Telur menjadi salah satu bahan penting dalam pengolahan pangan. Sifat

fungsional telur yang berperan dalam proses pengolahan pangan adalah daya buih,

emulsifier, koagulasi, warna dan flavor (Stadelman dan Cotterill, 1973). Putih

telur pada bahan pangan, seperti sponge cake berperan dalam membentuk pori-

pori, membentuk struktur sponge cake yang mengembang dan stabil. Sifat

koagulasi (gelasi) yang baik pada putih telur juga berperan dalam memberikan

3  

  

struktur sponge cake yang kokoh dan remahan yang sedikit. Selain itu, kuning

telur juga mengandung xanthofil yang berperan memberi warna kuning pada

sponge cake.

Banyak orang yang telah menggunakan telur infertil, baik untuk konsumsi

secara langsung maupun untuk bahan campuran dalam pengolahan pangan.

Tetapi, selama ini belum diketahui bagaimana sifat-sifat telur infertil tersebut.

Pada pengolahan pangan, sifat yang berperan adalah sifat fungsionalnya karena

sifat ini menentukan hasil akhir suatu produk pangan. Oleh karena itu, untuk

mengetahui bagaimana penggunaan telur infertil sebagai bahan dalam pengolahan

produk pangan perlu dilakukan penelitian mengenai sifat fungsional telur ayam

infertil dengan waktu pemeraman yang biasanya dilakukan oleh kebanyakan

perusahaan penetasan yakni 5, 7 dan 10 hari.

1.2 Tujuan Penelitian

1.2.1 Mengetahui dan mempelajari sifat fungsional meliputi viskositas, daya dan

stabilitas buih, kapasitas dan stabilitas emulsi, WHC, dan kekuatan gel putih

telur, telur utuh, dan kuning telur ayam ras infertil dengan waktu

pemeraman 5, 7 dan 10 hari.

1.2.2 Mengetahui tingkat kesukaan panelis terhadap sponge cake yang dibuat

dengan menggunakan telur ayam ras infertil pada waktu pemeraman 5, 7

dan 10 hari.

4  

  

1.3 Manfaat Penelitian

1.3.1 Memberi informasi kepada para pelaku usaha pengolahan pangan mengenai

sifat fungsional dari telur ayam ras infertil yang berasal dari pemeraman

menggunakan mesin tetas.

1.3.2 Memberi informasi mengenai kegunaannya untuk membuat produk yakni

sponge cake.

5  

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Telur

Telur merupakan bahan pangan hewani yang kaya akan manfaat karena

kandungan gizi dan sifat fungsionalnya. Protein dan lemak merupakan zat gizi

mayor yang terdapat pada telur. Sifat fungsional telur sangat berperan dalam

menentukan kualitas produk akhir pada pengolahan pangan sehingga telur

mempunyai fungsi yang luas dalam industri pengolahan pangan seperti pada

pembuatan produk cake, pudding, saos, es krim dll.

Berdasarkan asalnya, telur terbagi menjadi dua yakni telur yang berasal dari

unggas dan non unggas. Telur yang berasal dari unggas adalah telur ayam negeri,

telur ayam kampung, telur bebek, telur burung onta, telur burung emu dan telur

angsa. Sedangkan telur yang berasal dari non unggas, seperti telur penyu dan telur

ikan salmon. Jenis-jenis telur yang biasa dikonsumsi (Anonim, 2013; Salsabila,

2011) adalah :

1. Telur ayam kampung, mempunyai berat sekitar 45 - 50 gram/butir. Seekor

induk ayam kampung mampu menghasilkan rata-rata 200 butir telur per ekor

per tahun. Bentuknya lonjong, ukurannya lebih kecil dari telur ayam negeri.

Warnanya putih agak kecoklatan. Warna kuning telurnya lebih pekat daripada

telur ayam negeri.

2. Telur ayam negeri (ayam ras), telur ini tergolong jenis telur yang paling sering

dan banyak di konsumsi dan dimanfaatkan oleh masyarakat di Indonesia

5

6  

karena harganya yang terjangkau, ukurannya lebih besar dan mudah di dapat

daripada telur ayam kampung maupun itik. Menurut Hadiwiyoto (1983) telur

ayam ras tergolong telur yang mempunyai ukuran besar yakni mempunyai

berat 55-65 gram per butir. Warna kulit telur ayam ras biasanya coklat tetapi

ada sedikit yang berwarna putih. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh

Budiman dan Rukmiasih (2007) sifat fungsional telur ayam ras tergolong baik

dan optimum jika digunakan sebagai bahan baku atau campuran dalam

pembuatan olahan pangan daripada jenis telur itik maupun telur puyuh

sehingga pemanfaatan telur ayam ras pada pengolahan produk pangan

sangatlah luas.

3. Telur burung puyuh mempunyai ukuran yang kecil dengan berat 15 – 20

gram/butir, warna kulitnya bercak-bercak hitam kecoklatan. Memiliki kulit

kerabang yang tipis, dilapisi lapisan kulit atau membran yang alot, sehingga

mudah robek.

4. Telur bebek memiliki ukuran lebih besar dari telur ayam. Beratnya sekitar 55 –

75 gram /butir. Kulitnya berwarna hijau kebiruan, meskipun ada yang berwarna

putih. Selain itu, kulitnya lebih tebal dibandingkan dengan telur ayam.

Pemakainnya terbatas, karena berbau amis.

5. Telur penyu, memiliki berat kurang lebih 40-60 gram/butir, bentuknya bulat

menyerupai bola pingpong, warnanya kelabu dan memiliki kulit yang lunak

tetapi tidak mudah pecah.

6. Telur angsa memiliki berat kurang lebih 155 gram/butir, bentuknya lonjong

dan besar serta memiliki warna kulit yang putih.

7  

7. Telur burung onta memiliki berat mencapai 1,4 kg dengan panjang 15 cm dan

lebar 13 cm, 20-24 kali berat telur ayam. Cangkangnya sangat tebal, diperlukan

bantuan palu untuk memecahnya.

8. Telur burung Emu berwarna hijau gelap, cangkangnya tebal tetapi mudah

dikupas. Panjangnya mencapai 134 mm dengan berat antara 700-900 gram,

ekuivalent dengan 10-12 telur ayam. Warna kuning telurnya lebih pucat dan

lebar, mengambil 45% dari volume telur dan flavornya kuat.

2.1.1 Struktur Telur Ayam

Setiap telur mempunyai bagian kerabang (kulit dan cangkang), putih telur

dan kuning telur. Struktur telur ayam dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Keterangan : 1. Cangkang, 2. Kuning Telur, 3. Keping Germinal, 4. Membran Cangkang, 5. Ruang Udara. 6. Membran Telur, 7. Putih Telur, 8. Kalaza.

Gambar 2.1 Struktur Telur (Budiman, 2010)

Diantara putih telur dan kuning telur dibatasai oleh suatu lapisan tipis yang

disebut kalaza. Kuning telur tersimpan dibagian pusat telur berbentuk hampir

seperti bola. Pada Tabel 2.1 dapat dilihat perbandingan porsi putih telur, kuning

telur dan kerabang.

8  

Tabel 2.1 Perbandingan Porsi Putih Telur, Kuning Telur, dan Kerabang

No Komponen Berat rata-rata pada tiap telur dalam gram*)

Presentase dari seluruh telur (%)

1 2 3 4

Putih Telur Kuning Telur Kerabang Bagian yang dapat dimakan

33,0 18,5 6,0 51,5

57 32 11 89

*) bukan telur burung puyuh, tetapi telur ayam, telur itik dan sebangsanya Sumber : Stewart dan Abbot (1972)

2.1.2 Komposisi Kimia Telur

Kadar lemak tertinggi berdasarkan Tabel 2.2 terdapat pada bagian kuning

telur. Protein terdapat baik pada kuning maupun putih telur. Pada putih telur

kandungan proteinnya cukup tinggi yakni 10,9% dan pada kuning telur 16,5%.

Kandungan protein telur secara keseluruhan mencapai 12,7%. Kandungan protein

ini cukup tinggi meskipun 74% bagiannya terdiri dari air, sehingga banyak para

ahli gizi menggunakannya sebagai standar untuk mengkaji kualitas protein bahan

pangan lain (Stadelman dan Cotteril, 1973).

Tabel 2.2 Komposisi Rata-Rata Telur No Komponen Putih Telur (%) Kuning Telur (%) % Keseluruhan 1 Protein 10,9 16,5 12,7 2 Lemak Sedikit 32,0 11,3 3 Hidrat Arang 1,0 1,0 1,0 4 Air 87,0 49,0 74,0

Sumber : Stewart dan Abbot (1972)

9  

2.1.2.1 Putih Telur

Berat putih telur sekitar 60% dari berat total telur utuh. Air dan protein

merupakan komponen terbesar penyusun putih telur. Secara struktural putih telur

terdiri dari empat lapisan yakni albumen encer dalam, albumen encer luar,

albumen kental dan lapisan khalaza (Yamamoto, dkk,, 1997).

Kandungan air pada putih telur lebih banyak dibandingkan dengan bagian

lainnya sehingga selama penyimpanan bagian inilah yang mudah rusak (Romanoff

dan Romanoff, 1963). Kerusakan tersebut terjadi pada jala-jala ovomucin yang

berfungsi sebagai pembentuk struktur putih telur. Kerusakan jala-jala ovomucin

mengakibatkan air dari protein putih telur akan keluar dan putih telur menjadi

encer (Zakiyurrahman, 2006). Putih telur yang semakin encer akan menghasilkan

tirisan buih yang semakin tinggi.

Putih telur terdiri dari protein ovalbumin, konalbumin, ovomukid, lisosim,

ovidin, avoglobulin, dan ovomukin (Yamamoto, dkk., 1997). Ovalbumin adalah

protein terbesar yang menyusun putih telur. Berat molekul ovalbumin sekitar 4.5

x 104. Ovalbumin merupakan protein dalam putih telur yang mengandung empat

gugus-SH (Sulfihidril), tiga diantaranya reaktif terhadap p-khloromerkuribensoat

dan satunya reaktif dalam denaturasi protein. Nakai dan Modler (1997)

menyatakan bahwa s-ovalbumin merupakan turunan dari ovalbumin akibat

penyimpanan yang meningkatkan pH. Jika kandungan s-ovalbumin meningkat

maka tirisan buih akan meningkat, sehingga stabilitas buih putih telur akan

menurun.

10  

Ovomukin merupakan glikoprotein yang mempunyai struktur seperti gel,

berwarna putih, lentur dan berserat. Terdapat di dalam lapisan putih telur kental

empat kali lebih banyak daripada yang terdapat di dalam lapisan putih telur encer,

oleh karena itu ovomukin inilah yang memberikan struktur kental pada putih telur.

Ovomukin berfungsi menstabilkan struktur buih. Pada pengocokan yang

berlebihan akan mengakibatkan penggumpalan sebagian ovomucin dan

memperkecil elastisitas gelombang buih (Stadelman dan Cotterill, 1973).

Ovoglobulin merupakan protein putih telur yang mengandung tiga fraksi

protein yaitu G1, G2, dan G3. Ovoglobulin ini berperan dalam stabilitas buih

putih telur (Yamamoto, dkk., 1997). Protein telur, terdistribusi di dalam putih

telur dan kuning telur secara komplet dengan unsur asam amino yang seimbang.

Komposisi asam amino di dalam telur dapat dilihat pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3 Komposisi Asam Amino Telur Ayam

(Gram tiap Telur)

Sumber: Yamamoto, dkk. (1997)

11  

2.1.2.2 Kuning Telur

Kuning telur mengandung protein berupa LDL, HDL, phosvitin,

livetin dan protein lainnya. LDL atau low density lipoprotein merupakan protein

mayor pada kuning telur yakni 65% dari total protein yang ada. Livetin pada

kuning telur adalah protein yang larut air (Yamamoto, dkk., 1997).

Lemak yang berada dalam kuning telur adalah trigliserida,

phospolipid, sterol dan cerebrosida. Asam lemak dominan pada trigliserida ini

adalah asam oleat (18:1), linoleat (18:2), asam stearat (18:0) dan asam palmitat

(16:0) (Yamamoto, dkk., 1997). Komposisi lemak di dalam telur ayam dapat

dilihat pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4 Komposisi Lemak pada Telur Ayam

Sumber: Yamamoto, dkk. (1997)

Asam lemak yang mempunyai atom C lebih dari 12 mempunyai sifat

tidak larut dalam air dingin maupun air panas (Winarno, 2004). Pada telur, asam

12  

lemak yang dominan mempunyai asam lemak lebih dari 12 atom C, sehingga

asam lemak pada telur mempunyai sifat yang tidak larut air.

Phospolipid merupakan komponen penting pada lipoprotein kuning

telur. Phospolipid merupakan ester asam lemak dan gliserol yang mengandung ion

fosfat. Phospolipid ini terdiri dari gugus hidrofilik dan gugus lipofilik. Oleh

karena itu, phospolipid menunjukkan sifat emulsifier. Kuning telur merupakan

emulsifier alami yang baik dan digunakan secara luas dalam industri pangan

(Yamamoto, dkk., 1997). Fosfolipid kuning telur terdiri dari fosfatidil kolin

73,00%, fosfatidiletanolamin 15,00%, lysofosfatidil kolin 5,80%, spingomyelin

2,50%, lysofasfatidil etanolamin 2,10%, plasmalogen 0,90% dan inositol

fosfolipid 0,60% (Stadelman dan Cotterill, 1973).

Lesitin, kolesterol, lipoprotein dan protein adalah komponen penstabil

emulsi pada kuning telur. Lesitin mempunyai bagian yang larut dalam minyak dan

bagian yang mengandung PO43- (polar) yang larut dalam air (Winarno, 2004).

Oleh karena itu, lesitin dapat digunakan sebagai emulsifier. Lesitin akan

menstabilkan emulsi minyak dalam air, sedangkan kolesterol cenderung

menstabilkan emulsi air dalam minyak, sehingga karena kadar lesitin lebih besar

daripada kolesterol dengan perbandingan 4,73 : 1 , maka kuning telur lebih mudah

menstabilkan minyak dalam air (Yamamoto, dkk., 1997).

2.1.3 Telur Ayam Infertil

Pada proses penetasan menggunakan mesin tetas biasanya diperoleh telur

ayam infertil pada saat candling. Telur infertil dideteksi dengan cara diteropong

13  

(candling) menggunakan cahaya. Telur infertil akan tampak terang saat candling.

Telur yang nampak terang saat proses candling sebenarnya tidak hanya telur

infertil saja tetapi juga telur yang embrionya mengalami mati dini. Namun pada

proses candling semua telur tampak terang disebut sebagai telur infertil karena

penampakannya sama (Nuryati, dkk., 2002).

Menurut Nuryanti, dkk. (2002) telur tampak terang pada saat candling

disebabkan karena telur infertil atau embrio dalam telur mengalami mati dini.

Telur infertil sendiri dapat disebabkan karena perbandingan antara pejantan dan

induk kurang seimbang pada saat proses pembuahan, gizi pejantan dan induk

ayam kurang sempurna (vitamin A dan E), umur pejantan dan induk yang terlalu

tua atau muda, dan kurang aktif atau kualitas sperma kurang baik. Embrio di

dalam telur mengalami mati dini disebabkan karena faktor penyimpanan telur

tetas yang kurang baik dan penyimpanan terlalu lama, sehingga menyebabkan

mikrobia masuk ke dalam telur dan merusak isi telur serta fumigasi terlalu lama

atau dosis fumigan terlalu tinggi juga dapat menjadikan embrio telur mati dini.

Pada proses penetasan menggunakan mesin tetas digunakan telur tetas

yang diperoleh dari ayam betina yang dicampur dengan ayam jantan agar telur

yang dihasilkan fertil. Namun, pada kenyataannya tidak seluruh telur yang

dihasilkan fertil. Fertilitas telur tetas dihitung dengan membandingan telur tetas

fertil dengan keseluruhan telur tetas yang masuk ke dalam mesin penetas

(Wibowo dan Juarini, 2008). Pada penelitian yang dilakukan oleh Muryanto, dkk.

(2004) fertilitas telur ayam ras adalah 73,3-83,5%.

14  

Telur ayam infertil biasanya dijual sebagai telur konsumsi serta untuk

bahan pada pengolahan produk pangan. Telur infertil dapat diperoleh dengan

harga yang jauh lebih murah daripada telur yang berada di pasaran. Harga telur

infertil sekitar Rp. 350 -Rp. 500 per butir pada tahun 2012 (Anonim, 2012).

2.1.4 Candling

Candling adalah proses peneropongan telur menggunakan cahaya untuk

melihat perkembangan embrio dalam telur. Tujuan dari candling adalah untuk

mengetahui keadaan telur tersebut embrionya hidup atau mati, fertil atau infertil.

Pada saat candling telur infertil dan telur yang embrionya mengalami mati dini

akan tampak terang jika diteropong (Nuryanti, dkk., 2002).

Candling dapat dilakukan setelah telur melewati masa kritis pertama.

Masa kritis merupakan waktu yang sangat penting dalam proses pembentukan dan

perkembangan embrio selama telur ditetaskan. Menurut Sudjarwo (2012) pada

masa kritis pertama yang terjadi pada hari ke 1 hingga ke 3 setelah telur

dimasukkan ke dalam mesin tetas, sedangkan menurut Winarto, dkk. (2008) masa

kritis pertama terjadi pada hari ke 2 dan ke 4. Pada saat masa kritis ini terjadi

pembentukan organ vital seperti, pembuluh darah, pembuluh syaraf, otak, jantung

mulai berdenyut dll. Oleh karena itu, proses candling dapat dilakukan setelah

masa kritis pertama pada perkembangan embrio ayam terlewati karena apabila

pada saat masa kritis tersebut telur terganggu maka akan terjadi kegagalan yang

dapat mengakibatkan embrio yang sudah terbentuk mati.

15  

Menurut Sudjarwo (2012) waktu candling yang baik ditinjau dari faktor

ekonomis adalah pada hari ke 4 hingga hari ke 7, karena pada saat tersebut telur

infertil yang dihasilkan dapat dijual sebagai telur konsumsi sedangkan apabila

lebih dari 7 hari telur biasanya sudah kopyor, sehingga tidak bisa dijual.

Penentuan waktu candling pada perusahaan penetasan telur berbeda-beda

tergantung kebijakan masing-masing perusahaan. Namun, prinsip yang digunakan

adalah sama yakni candling dilakukan setelah masa kritis pertama, sehingga

candling pertama berkisar pada hari ke 4, ke 5, ke 7 (Syanur, 2013) dan ada juga

candling pada hari ke 10 (Munandi, 2012) untuk memeriksa fertilitas telur.

Candling hari ke 4 merupakan candling yang tidak banyak dilakukan karena

sebagian perusahaan penetasan menganggap pada hari ke 4 telur masuk ke dalam

mesin tetas masih merupakan masa kritis, sehingga mayoritas penetasan

melakukan candling pada hari ke 5, 7 dan 10.

2.1.5 Perubahan Telur Selama Penyimpanan

Semakin lama waktu penyimpanan telur, mutu telur akan semakin

menurun karena terjadinya perubahan sifat fisik telur yang dipengaruhi oleh

keadaan lingkungan tempat telur berada. Menurut Romanoff dan Rumanoff

(1963), perubahan-perubahan yang terjadi selama penyimpanan telur adalah

perubahan bobot, perubahan internal telur, perubahan fisikokimia telur dan

perubahan yang disebabkan oleh mikrobia. Berikut ini uraian mengenai

perubahan-perubahan yang terjadi pada telur selama penyimpanan.

16  

2.1.5.1 Perubahan Umum (Fisik dan Kimia)

Selama penyimpanan, telur akan mengalami kehilangan berat, penurunan

berat jenis, bertambah besarnya kantong udara, penurunan tinggi putih telur,

perubahan warna, perubahan bau, terjadinya perpindahan air dalam telur,

melemahnya membrane vitelin, pembentukan CO2, dan perubahan pH kuning dan

putih telur. Pengurangan berat akibat lama penyimpanan mengakibatkan

terjadinya penurunan berat jenis telur karena volume telur yang tetap dan

bertambah besarnya rongga udara dalam telur (Romanoff dan Romanoff, 1963).

Menurut Purnomo dan Hadiono (2010), pengurangan berat disebabkan oleh

pengapan air terutama dari putih telur dan hilangnya gas-gas seperti CO2, NH3, N2

dan H2S. Senyawa tersebut merupakan hasil pemecahan senyawa organik.

Penguapan air dapat menurunkan berat telur. Kecepatan pengurangan berat telur

dipengaruhi oleh sifat permebilitas kulit telur, semakin permeable kulit telur maka

penguapan air akan semakin mudah. Selain itu, suhu sekitar penyimpanan juga

mempengaruhi hilangnya air dalam telur. Semakin tinggi suhu udara sekeliling

maka kecepatan penguapan air semakin besar.

Penyimpanan dapat meningkatkan nilai pH telur. Meningkatnya nilai pH

telur terjadi karena penguraian senyawa NaHCO3 menjadi NaOH dan CO2. NaOH

yang dibentuk akan diurai menjadi Na+ dan OH- sedangkan CO2 yang dibentuk

akan menguap, sehingga meningkatkan pH putih telur. Peningkatan pH tersebut

akan membentuk ikatan kompleks ovomucin-lysozym yang menyebabkan kondisi

putih telur menjadi encer (Budiman dan Rukmiasih, 2007).

17  

pH putih telur yang naik menyebabkan serabut protein yang berbentuk jala

yakni ovomukin rusak, sehingga air dari protein telur keluar dan mengakibatkan

pengenceran putih telur. Pengenceran putih telur ini akan mempengaruhi kuning

telur. Air yang terlepas dari protein putih telur akan bergerak menuju kuning telur,

sehingga kuning telur membesar (Stadelman dan Cotteril, 1973). Selain itu,

selama penyimpanan telur juga terjadi migrasi lemak dari kuning telur ke putih

telur.

2.1.5.2 Perubahan Mikrobiologis

Telur yang baru dikeluarkan oleh induknya cukup steril. Kontaminan

mikrobia terjadi akibat penanganan telur. Apabila bakteri dapat menetrasi ke

dalam telur melalui pori-pori kulit telur dan mampu hidup dan mencapai kuning

telur maka dapat mengakibatkan pembusukan isi telur tersebut. Aktivitas bakteri

tersebut dapat menyebabkan protein terhidrolisa menjadi asam-asam amino,

hidrolisa lebih lanjut memberikan hasil berupa basa, asam, N2 dan CO2. Hidrolisa

atau oksidasi akan menghasilkan asam lemak dengan bentuk aldehyd dan keton.

Bakteri Aeromonas liquefaciens, Certain enterobacters, Serratia marcescens dan

Pseudomonas fluorescens menghasilkan enzim lesitinase yang mampu

menghidrolisis lesitin kuning telur (Stadelman dan Cotterill, 1973).

18  

2.2 Sifat Fungsional Telur

Sifat fungsional telur adalah sifat fisik dan kimia yang terdapat pada telur

selain sifat gizinya yang berperan dalam proses pengolahan pangan (Siregar, dkk.

2012). Sifat fungsional protein ini mencerminkan suatu interaksi komplek antara

komposisi, struktur, bentuk, sifat fisik dan kimia, serta komponen pangan lain

yang tergabung menjadi satu (Kinsella, 1976).

Beberapa sifat fungsional yang ada pada sistem pangan adalah kelarutan,

viskositas, daya ikat air, gelasi, kohesi dan adesi, elastisitas, emulsifikasi, daya

buih, pembentuk adonan, kemampuan membentuk tekstur dan kemampuan

mengikat lemak dan flavor (deMan, 1997). Sifat fungsional dalam sistem pangan

dapat dilihat pada Tabel 2.5.

Tabel 2.5 Sifat Fungsional Protein dalam Sistem Pangan

Sumber: deMann (1997)

Sifat fungsional telur yang berperan dalam proses pengolahan pangan

adalah pembentuk dan penstabil buih, pemberi warna, pengental, pembentuk gel,

dan pengemulsi (Aini, 2009). Peran sifat fungsional protein pada telur tergantung

pada jenis produk yang akan dibuat. Sifat fungsional protein pada telur berperan

19  

menentukan kualitas produk akhir dalam industri pangan. Peran telur dalam

sistem pangan dapat dilihat pada Tabel 2.6.

Tabel. 2.6 Peran Telur dalam Sistem Pangan

Sumber: Aini (2009)

Pada pembuatan sponge cake misalnya, putih telur berperan sebagai

protein yang dapat membentuk buih dan mengembangkan adonan, sedangkan

kuning telur dapat digunakan sebagai emulsifier dan pemberi warna kuning pada

adonan.

20  

2.2.1 Buih

Kemampuan protein pada telur sebagai pembentuk buih dan penstabil buih

merupakan sifat fungsional protein pada telur yang berperann dalam proses

pengolahan pangan. Buih merupakan dispersi koloid dimana fase gas terdispersi

pada fase cair. Buih pada putih telur terbentuk karena proses pengocokan yang

mengakibatkan gelembung udara terperangkap dalam putih telur.

Protein putih telur yang berperan dalam pembentukan buih adalah

ovalbumin dan globulin. Sedangkan ovomukin dalam telur akan membuat telur

lebih stabil setelah terbentuk buih. Pembentukan buih diawali dengan terbukanya

ikatan dalam molekul protein, sehingga rantai protein menjadi lebih panjang.

Kemudian udara masuk diantara molekul protein yang terbuka dan bertahan

sehingga volumenya mengembang (Cherry dan Mc Wattersm, 1981). Jika pada

kondisi volume mengembang, buih yang terbentuk dipanasi maka akan terjadi

denaturasi protein, sehingga buih yang terbentuk menjadi lebih stabil dan terjadi

pengembangan adonan (Suhardi, 1988).

Kemampuan membentuk buih diukur berdasar kenaikan volume, pada

pembentukan awal gas menjadi suatu protein yang terdispersi (Kinsella, 1976).

Telur yang baik mempunyai daya buih sebesar 6 sampai 8 kali dari volume awal

putih telur (Budiman dan Rukmiasih, 2007). Stabilitas buih menunjukkan

kemampuan dari buih yang dibentuk untuk bertahan dalam waktu tertentu.

Indikator kestabilan buih adalah besarnya tirisan buih selama waktu tertentu dan

dinyatakan dalam bobot, volume, atau derajat pencairan buih. Tirisan yang banyak

21  

menyatakan kestabilan buihnya rendah (Stadelman dan Cotterill, 1973).

Mekanisme pembentukan buih dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Mekanisme Pembentukan Buih (Cherry dan McWaters, 1981)

Mekanisme pembentukan buih menurut Stadelman dan Cotterill (1973)

adalah terjadinya proses penguraian molekul protein, sehingga rantai polipeptida

membentuk sumbu memanjang yang sejajar dengan sumbu permukaan.

Terbukanya ikatan-ikatan pada molekul protein yang memanjang tersebut

kemudian dilanjutkan dengan proses pembentukan lapisan monolayer (adsorbsi).

Cherry dan McWaters (1981) mengatakan adanya perlakuan pengocokan

22  

menyebabkan udara masuk ke dalam molekul-molekul protein yang terbuka

rantainya dan tertahan sehingga volume putih telur menjadi bertambah. Lapisan

monolayer ke dua kemudian terbentuk menggantikan lapisan yang terdenaturasi.

Lapisan protein akan saling mengikat untuk mencegah keluarnya air. Lama

kelamaan terjadi agregasi dan melemahnya ikatan yang telah terbentuk tersebut.

Faktor-faktor yang mempengaruhi buih putih telur adalah lapisan putih

telur, umur telur, pengocokan, pH putih telur, suhu, penambahan bahan lain dan

protein putih telur. Ramanoff dan Ramanoff (1963) menyatakan bahwa umur telur

mempengaruhi daya dan kestabilan buih putih telur. Volume buih putih telur segar

sebesar 350%, sedangkan volume buih putih telur yang disimpan hingga 14 hari

akan meningkat menjadi 425%. Daya buih meningkat seiring dengan pertambahan

umur telur sampai pH optimum pembentukan buih, kemudian daya buih akan

mengalami penurunan. Hubungan antara umur dan kestabilan buih putih telur

menunjukkan bahwa semakin tua umur telur, kestabilan buih semakin menurun.

Volume buih tidak akan mengalami peningkatan setelah dikocok selama

enam menit (Romanoff dan Romanoff, 1963). Penambahan waktu pengocokan

akan meningkatkan volume buih dan memperkecil ukuran gelembung buih,

namun tidak akan memperbaiki volume cake (Stadelman dan Cotterill, 1973).

Pada pH yang semakin meningkat daya buih juga akan meningkat karena

akibat dari kenaikan pH, menyebabkan serabut protein yang berbentuk jala, yakni

ovomucin pecah sehingga air dari protein putih telur keluar dan putih telur

menjadi encer (Zakiyyurahman, 2006). Cairan putih telur yang encer lebih mudah

menyebar daripada putih telur kental sehingga apabila dikocok akan lebih cepat

23  

mengikat udara. pH optimum terjadinya buih adalah pada pH 8,75. Romanoff dan

Romanoff (1963) menyebutkan bahwa buih yang stabil terbentuk pada pH

dibawah 8.

Faktor pH mempengaruhi daya buih karena pH berhubungan dengan

kelarutan protein. Pada pH yang mendekati titik isoelektris, kelarutan protein akan

mendekati minimum. Sedangkan kelarutan maksimum terjadi pada pH yang jauh

dari titik isoelektris. Apabila kelarutan protein maksimum, maka protein akan

terdispersi secara homogen, sehingga protein pembentuk buih juga akan tersebar

merata dan menyebabkan buih yang terbentuk lebih banyak (Chayati dan Ari,

2008). Protein yang berperan dalam pembentukan buih adalah ovalbumin dan

globulin, protein tersebut mempunyai titik isoelektris pada pH 4,6 dan 10,7

(Stadelman dan Cotteril, 1973).

Penambahan lemak pada putih telur akan mengganggu pembentukan buih

dan menurunkan volume buih karena adanya lemak pada putih telur akan

mengganggu pembentukan buih karena lemak bersifat surface active daripada

protein, sehingga lemak mudah menyerap pada interface udara-air dan

menghambat penyerapan protein. Lapisan yang dibentuk oleh lemak umumnya

tidak kuat dan tidak elastis, sehingga gelembung udara yang terbentuk mudah

pecah (Chayati dan Ari, 2008). Penambahan garam dan gula dapat membuat

pembentukan buih menjadi stabil. Penambahan air sampai 40% akan

meningkatkan volume buih.

24  

2.2.2 Emulsi

Emulsi merupakan suatu dispersi atau suspensi suatu cairan dalam caiaran

yang lain, yang molekul-molekul kedua cairan tersebut tidak saling berbaur tetapi

saling antagonistik (Winarno, 2004). Pada suatu emulsi biasanya terdapat tiga

bagian utama yakni bagian yang terdispersi yang terdiri dari butir-butir yang

biasanya terdiri dari lemak, kedua adalah media pendispersi (continuous phase)

yang biasanya terdiri dari air dan bagian ke tiga adalah emulsifier yang berfungsi

menjaga butiran lemak tetap tersuspensi dalam air. Emulsifier merupakan

senyawa aktif permukaan yang mampu menurunkan tegangan permukaan antar

permukaan antara antar muka udara-cairan dan cairan-cairan. Kemampuan

menurunkan tegangan permukaan ini karena adanya struktur molekul emulsifier

yang mengandung dua gugus yakni polar dan non polar (deMan, 1997).

Kuning telur merupakan suatu emulsi minyak yang terdispersi dalam air

(Stadelman dan Cotterill, 1973). Kuning telur juga merupakan suatu emulsifiying

agent alami yang mempunyai daya emulsifier yang kuat karena kandungan

lesitinnya yang terdapat dalam bentuk kompleks sebagai lesitin-protein (Winarno,

2004). Kompleks lipoprotein dan fosfolipid yang dimiliki oleh kuning telur

memiliki gugus polar dan non polar, sehingga komponen bahan yang

ditambahkan dalam pembuatan suatu produk pangan dapat terdispersi secara

homogen. Selain itu, sifat memerangkap air protein telur dan emulsifikasi dapat

menahan hilangnya air sehingga tekstur yang lembut dapat dipertahankan

(Murwani, 2012). Protein kuning telur memudahkan terjadinya despersi minyak

dalam berbagai komponen penyusun suatu adonan sehingga sifat dan rasa adonan

25  

menjadi lezat, dan empuk (pada produk akhir) karena protein dalam telur tersebut

(lipoprotein) bersifat koloid hidrofil yang dapat mengabsorbsi lapisan antar muka

dan menstabilkan emulsi minyak dalam air.

2.2.3 Gelasi

Kemampuan protein untuk membentuk gel sangat penting dalam proses

pengolahan pangan. Teknik pengolahan pangan yang berhubungan dengan

kemampuan pembentukan gel adalah perlakuan menggunakan panas. Pemanasan

pada protein akan menyebabkan denaturasi. Adanya pemanasan dan keberadaan

air, protein dapat membentuk matriks gel dengan menyeimbangkan interaksi

antara protein-protein dan protein-pelarut di dalam produk pangan. Matriks gel ini

dapat mengikat air, lemak, dan ingredient lainnya untuk dapat menghasilkan

berbagai jenis produk, seperti adonan roti, tahu, keju dan yogurt (Andarwulan,

dkk., 2011).

Pada telur, sifat gelasi atau pelekatan yang kuat dari protein telur

memberikan kekompakan antar bahan dalam produk bakery. Protein telur dapat

menyerap dan memperangkap berbagai bahan pencita rasa, mengikat butiran

lemak, memperangkap air, dan gas/udara. Sifat elastis protein dan memperangkap

berbagai bahan lain memberikan tekstur yang lembut (Murwati, 2013).

Kapasitas pembentukan gel merupakan sifat fungsional penting yang

dimiliki oleh protein yang berperan besar dalam menentukan kualitas produk

akhir khususnya sifat tekstural. Gel adalah sistem terlarut yang tidak mengalir,

berada pada fase intermediet antara padat dan cair. Gel terdiri dari dua fase yakni

26  

jaringan tiga dimensi makromolekul, yang terbentuk dari ikatan kovalen dan non

kovalen, dan fase cair dan substansi dengan berat molekul rendah yang terjebak

dalam jaringan tersebut (Chayati dan Ari, 2008).

Gel protein terbentuk sebagai akibat terjadinya denaturasi lanjut molekul

protein yang akhirnya terjadi agregasi dan membentuk jaringan. Urutan terjadinya

gel protein adalah denaturasi, pembukaan (unfolding) atau disosiasi dari molekul

protein, yang dilanjutkan dengan agregasi protein atau pengendapan protein yang

mengakibatkan pembentukan gel dibawah kondisi yang sesuai (Andarwulan, dkk.,

2011).

Sifat gel yang terbentuk tergantung dari jenis dan bentuk alamiah ikatan

silang antar dan inter molekul protein. Ikatan kovalen dan non kovalen merupakan

ikatan yang terlibat dalam pembentukan gel. Ikatan kovalen misalnya adalah

ikatan hidrogen dan interaksi hidrofobik yang membantu dalam menstabilkan dan

memperkuat gel, sedangkan ikatan kovalen misalnya, ikatan silang disulfid

berperan dalam menjebatani dan membentuk jaringan gel. Faktor-faktor yang

mempengaruhi pembentukan gel adalah panas, pH, kekuatan ion dan konsentrasi

protein. Panas akan mendenaturasi dan menjadikan bentuk protein membuka dan

memacu terjadinya pertukaran ikatan disulfid dan terjadi pembentukan ikatan

disulfid yang baru (Anonim, 2000).

Kekuatan gel dapat diukur menggunakan alat Universal Testing Machine

(UTM) dengan prinsip penekanan. Semakin tinggi kekuatan gelnya, maka

semakin besar gaya yang dibutuhkan untuk menghancurkan gel tersebut.

27  

2.2.4 Water Holding Capacity

Water holding capacity adalah kemampuan protein untuk mengikat air

yang berada dalam bahan pangan atau air yang sengaja ditambahkan ke dalam

bahan pangan tersebut (Sikorski, 2001). Kemampuan protein untuk mengikat air

disebabkan oleh adanya gugus yang bersifat hidrofilik dan bermuatan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi daya ikat air dari protein adalah pH,

garam, dan suhu. Pada saat muatan negatif dan positif protein sama (mencapai

titik isoelektris), maka interaksi antara protein dengan protein mencapai

maksimum. Interaksi antara protein-protein menurun apabila protein semakin

bermuatan, sehingga interaksi antara air dan protein meningkat, daya ikat air oleh

protein meningkat. Garam dapat menyebabkan muatan listrik dari protein diikat

oleh Na+ dan Cl-, sehingga interaksi antar protein menurun dan mendorong

interaksi protein dan air meningkat. Pada pemanasan hingga 80oC dapat

menyebabkan gelasi protein dimana air akan terperangkap, sehingga daya ikat air

meningkat (Andarwulan, dkk., 2011).

Sikorski (2001) menyebutkan ada dua cara menentukan air yang terikat

oleh protein yakni menghitung jumlah air yang lepas dari sampel yang sudah

mengandung air didalamnya menggunakan gaya, tenaga sentrifugasi atau tekanan

dan cara yang kedua adalah mengukur jumlah air yang dapat terikat ketika sampel

diberi tambahan air. Pengukuran water holding capacity telur menggunakan

metode sentrifugasi karena telur yang digunakan dibuat gel terlebih dahulu tanpa

penambahan air. Tenaga sentrifugasi dapat merusak gel, sehingga air yang terikat

28  

dalam gel terlepas. Sedangkan, penentuan daya ikat air dengan cara

menambahkan air ke dalam sampel dilakukan apabila sampel berbentuk kering.

2.2.5 Viskositas

Viskositas adalah gaya hambat atau fraksi internal yang mempengaruhi

kemampuan mengalir suatu bahan (Andarwulan, dkk., 2011). Viskositas berperan

dalam produk pangan seperti minuman, sup, dan saos. Viskositas dapat digunakan

sebagai petunjuk adanya kandungan zat-zat tertentu dalam bahan, petunjuk

adanya kerusakan, penyimpangan atau penurunan mutu pada beberapa produk

pangan.

Pada beberapa produk pangan jika kekentalannya menurun (encer) seperti

pada gelatin dan bubur, maka akan memberikan petunjuk adanya kerusakan atau

penyimpangan mutu. Namun, pada produk yang lain seperti susu, perubahan susu

segar yang encer menjadi kental merupakan petunjuk bahwa susu sudah

mengalami kerusakan.

Sifat kekentalan dan sifat alir produk pangan cair dapat diukur dengan

menggunakan instrument yang disebut viskometer, sehingga bisa menyatakan

berapa nilai kekentalan suatu produk secara kuantitatif. Nilai viskositas yang

semakin besar menunjukkan semakin susah suatu cairan untuk mengalir (kental),

sedangkan nilai viskositas yang semakin rendah menunjukkan cairan yang encer

(Foster, 2004).

Berdasarkan tingkat kekentalan dan kemudahannya untuk mengalir,

produk pangan cair dapat dibagi menjadi dua kelompok cairan newtonian dan

29  

cairan non-newtonian. Cairan newtonian adalah cairan yang nilai kekentalannya

tidak dipengaruhi oleh besarnya gaya yang mengalirkan atau menggerakkannya.

Cairan newtonian ini mempunyai sifat encer seperti air, minuman ringan, larutan

gula encer dan larutan asam. Apabila cairan newtonian diberi gaya pengadukan,

kekentalannya tidak akan dipengaruhi oleh gaya tersebut sehingga memiliki

kekentalan yang tetap. Namun, untuk cairan non-newtonian umumnya

ditunjukkan bagi produk yang kental seperti saus, kecap dan madu. Nilai

kekentalan cairan non-newtonian sangat dipengaruhi oleh gaya yang diberikan.

Telur merupakan cairan non-newtonian yang bersifat pseudoplastik karena

kekentalannya akan menurun jika gaya pengalirnya dinaikkan. Semakin besar

gaya yang dikenakan, maka aliran semakin lancar (Andarwulan, dkk., 2011).

Faktor-faktor yang mempengaruhi viskositas adalah, suhu, konsentrasi

protein, kehadiran zat lain, dan berat molekul. Pada kenaikan suhu seperti

pemanasan zat cair menyebabkan molekul-molekulnya memperoleh energi.

Molekul-molekul cairan bergerak sehingga gaya interaksi antar molekul melemah

sehingga viskositas cairan akan turun dengan kenaikan temperature (Kinsella,

1976). Pada konsentrasi protein yang semakin besar menyebabkan peningkatan

viskositas karena molekul protein yang terdispersi tidak lagi bebas dan interaksi

protein-protein menjadi lebih dominan sehingga terjadi peningkatan kekentalan.

Kehadiran zat lain dapat mempengaruhi viskositas, misalnya penambahan gula

yang dapat meningkatkan viskositas, tetapi pada minyak dengan adanya

penambahan air maka akan menyebabkan viskositasnya turun (Mandasari, 2012).

30  

2.2.6 Kelarutan

Kelarutan adalah kemampuan suatu zat untuk bisa larut. Jenis-jenis

protein, seperti albumin, globulin, prolamin dan glutelin dapat larut dalam air,

larutan garam encer, 60-80% alkohol alifatik dan 0,2% NaOH (Andarwulan, dkk.,

2011). Kelarutan merupakan salah satu karakretistik penting dari protein karena

kelarutan dapat mempengaruhi sifat fungsional lain. Kelarutan yang baik

diperlukan pada sifat fungsional lain seperti emulsi, buih, gel dan viskositas

karena protein terlarut memberikan penyebaran molekul yang homogen dalam

sistem koloid dan meningkatkan sifat antar muka. Kelarutan dipengaruhi oleh

berbagai faktor seperti pH, kekuatan ion, suhu dan solven organik.

Kelarutan protein pada berbagai pH merupakan sifat fungsional protein

yang sering diukur pertama kali karena sifat ini menentukan tahapan preparasi dan

proses selanjutnya. Kelarutan protein ditentukan oleh sifat ionisasi asam

aminonya di dalam larutan, dimana asam amino dapat bersifat asam atau basa.

Kelarutan protein dalam air mencapai minimum pada pH titik isoelektrik. Pada

pH titik isoelektrik ini protein tidak bermuatan, sehingga tidak terjadi gaya tarik

menarik antar molekul. Pada pH dibawah atau diatas titik isoelektrik, protein

kembali bermuatan positif atau negatif yang menyebabkan kelarutannya

meningkat.

Dalam larutan garam 0.5-1 M, kelarutan protein akan naik sehingga

protein larut dalam larutan garam (salting in). Pada konsentrasi garam lebih besar

daripada 1M, kelarutan protein menurun sehingga protein tidak larut dalam

larutan garam (salting out). Peristiwa salting out yang menyebabkan protein

31  

mengendap terjadi karena interaksi antara air dan garam lebih besar daripada

interaksi antara air dan protein sehingga menyebabkan timbul interaksi antar

protein yang menyebabkan bergabungnya anatar protein menjadi gumpalan lalu

mengendap. Pelarut organik dapat membuat protein yang larut dapat mengendap

karena penurunan konstanta dielektrik medium dimana protein terlarut. Pengaruh

suhu dalam kelarutan protein adalah pada suhu 0-40oC kelarutan protein akan

naik, tetapi pada suhu lebih tinggi dari 40oC protein akan tidak larut karena terjadi

gerakan-gerakan air yang meningkat sehingga memutuskan ikatan-ikatan yang

tadinya menstabilkan protein (struktur sekunder, tersier dan kuartener) (Anonim,

2000).

2.2.7 Perubahan Sifat Fungsional

Selama penyimpanan, terjadi perubahan sifat fisik dan kimia telur yang

dapat mempengaruhi sifat fungsional telur. Sifat fungsional yang dominan dan

sering dimanfaatkan adalah daya buih dan emulsifier.

Viskositas merupakan sifat fungsional karena sifat fisik ini mampu

mempengaruhi kualitas dari produk yang dihasilkan. Telur akan mengalami

penurunan viskositas selama penyimpanan karena rusaknya ovomukin, sehingga

air dari protein putih telur keluar dan mengakibatkan pengenceran putih telur.

Pengenceran putih telur ini akan mempengaruhi kuning telur. Air yang terlepas

dari protein putih telur akan bergerak menuju kuning telur sehingga kuning telur

membesar dan menjadi lebih encer, sehingga viskositas telur menurun (Stadelman

dan Cotteril, 1973).

32  

Pada putih telur, selama telur mengalami penyimpanan daya buihnya akan

meningkat (Siregar, dkk. 2010). Hal ini terjadi karena penurunan viskositas pada

putih telur akibat rusaknya ovomukin. Putih telur yang encer menghasilkan buih

yang banyak karena cairan putih telur yang encer lebih mudah menyebar daripada

putih telur kental, sehingga apabila dikocok akan lebih cepat memerangkap udara.

Perubahan stabilitas emulsi kuning telur selama penyimpanan dilaporkan

oleh Juliawati (1991) mengalami penurunan selama penyimpanan selama 15 hari.

Hal ini terjadi karena selama penyimpanan terjadi perubahan-perubahan kimiawi

dalam telur akibat degradasi senyawa organik termasuk lesitin (fosfolipid) kuning

telur. Degradasi ini disebabkan kontaminasi mikrobia selama penyimpanan telur

(Stadelman dan Cotterill, 1973).

Flavor telur juga mengalami perubahan selama penyimpanan. Semakin

lama penyimpanan maka akan timbul flavor sulfury dan hydrolyzed protein pada

kuning telur. Tetapi, Miller, dkk. (1960) dalam Stadelman dan Cotterill (1973)

menyebutkan bahwa perubahan flavor akibat bertambahnya umur telur biasanya

tidak dapat dirasakan oleh konsumen.

2.3 Sponge Cake

2.3.1 Pengertian Sponge Cake

Sponge cake merupakan produk yang menggunakan telur utuh (Matz,

1972). Sponge cake merupakan kue yang sangat ringan yang dibuat dengan tiga

bahan dasar yaitu telur, gula, dan tepung terigu, dimana telur dan gula dikocok

lalu di folding hingga menjadi adonan yang ringan. Sponge cake termasuk ke

33  

dalam kue bolu yang menggunakan teknik pembuatan dengan cara mengocok

telur dan gula hingga menjadi busa yang halus dan kental (Anonim, 2013).

Stadelman dan Cotterill (1973) menyebutkan bahwa sifat fungsional dari telur

yakni daya buih pada telur utuh dapat diamati pada produk sponge cake.

2.3.2 Fungsi Bahan Pada Pembuatan Sponge cake

Menurut Anonim (1981), berikut ini adalah fungsi bahan pada pembuatan

sponge cake.

1. Tepung merupakan unsur susunan adonan cake dan juga menahan bahan-bahan

lainnya. Fungsi tepung untuk membangun kerangka kue, mengikat bahan lain,

dan mendapatkan tekstur kue yang baik.

2. Gula fungsinya memberi rasa manis, memberi warna pada kulit kue, membantu

mengempukkan kue, melembapkan kue, dan melemaskan adonan. Gula akan

mematangkan dan mengempukkan susunan sel dan bila presentase gula terlalu

tinggi dalam adonan, maka hasil cake akan kurang baik, cenderung "jatuh"

bagian tengah-tengahnya.

3. Telur membentuk suatu kerangka yang bertugas membantu pembentukan

susunan bentuk cake. Telur juga akan memberi cairan, aroma, rasa, nilai gizi,

dan warna pada kue. Telur juga dapat melembabkan kue. Lesitin pada kuning

telur mempunyai daya pengemulsi, sedangkan lutein dapat memberi warna

pada hasil akhir produk.

4. Susu yang digunakan sebagai susu padat kering maka cake akan mempunyai

susunan yang lengkap. Laktosa gula susu menghasilkan warna kerak. Susu

34  

padat membangkitkan rasa (aroma) dan merupakan bahan penahan cairan yang

baik.

5. Garam mampu membangkitkan rasa atau aroma. Selain itu, garam juga dapat

menurunkan suhu penggulalian dalam adonan, dan memegang peranan penting

dalam menimbulkan warna kerak.

2.3.3 Proses Pembuatan Sponge Cake

Pada pembuatan sponge cake, telur dan gula dikocok dengan kecepatan

tinggi hingga telur berwarna pucat, ringan, kental dan apabila mixer diangkat,

adonan akan menghasilkan bentuk pita (disebut juga ribbon stage peak). Setelah

itu, penuangan tepung terigu dilakukan dengan teknik folding yakni menuangan

secara perlahan-lahan sembari dilakukan pengadukan secara manual. Apabila

adonan telah tercampur merata, kemudian dimasukkan ke dalam oven yang telah

dipanaskan pada suhu 180oC dan dipanggang selama kurang lebih 30 menit

(Wibowo, 2012).

2.3.4 Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kualitas Sponge Cake

Kriteria hasil sponge cake yang baik adalah ringan, berongga kecil,

lembut, dan mengembang (Kalukiningrum, 2012). Kualitas sponge cake

dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain, kecocokan bahan yang digunakan,

keseimbangan bahan dalam formula yang dipakai, dan tahapan proses pembuatan,

baik dalam pengadukan maupun saat pemanggangan (Setiadi, 2013). Sedangkan

menurut Darningsih (2013), kualitas sponge cake dipengaruhi oleh mutu bahan

35  

yang digunakan, proses pencampuran adonan, metode pembuatan, dan lama

pembakaran serta temperatur pembakaran.

Berikut adalah faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas produk sponge

cake :

1. Kualitas bahan yang digunakan

Spong cake dari bahan utama tepung terigu, gula, dan telur. Kualitas dari

bahan-bahan tersebut sangat menentukan hasil akhir produk sponge cake yang

dihasilkan. Telur merupakan bahan yang paling utama dalam pembuatan sponge

cake karena telur berperan membentuk struktur mengembang dan struktur pori,

sehingga telur yang digunakan harus bermutu baik. Gula pasir merupakan bahan

yang paling baik ntuk pembuatan sponge cake. Tepung terigu yang bagus untuk

membuat sponge cake adalah tepung terigu protein rendah yang berwarna putih

dengan butiran-butiran yang seragam sangat cocok untuk pembuatan sponge cake

yang berkualitas (Anonim, 1981).

2. Keseimbangan bahan dalam formula

Hal yang membedakan sponge cake dengan cake yang lain adalah

keseimbangan formula dasarnya. Pada sponge cake, perbandingan cairan (telur,

susu cair, atau air) harus lebih banyak dari berat gula, dengan perbandingan

mencapai 1: 1,25. Perbandingan berat telur, gula dan tepung adalah 2 :1 :1 (dalam

ukuran gram) (Setiadi, 2013). Selain itu, untuk menghasilkan sponge cake yang

berkualitas bahan-bahan yang digunakan harus ditimbang dengan teliti.

Apabila bahan cair, seperti telur, susu dan air yang ditambahkan terlalu

banyak dapat membuat volume cake berkurang dan turun saat pemenggangan.

36  

Namun, apabila terlalu sedikit bahan cair juga akan membuat cake yang

dihasilkan terlalu rapat, kasar, menimbulkan kerak tebal, kue terlalu cepat matang

dan tidak sempat mengembang.

Penggunaan gula yang terlalu banyak pada formula dapat mengakibatkan

cake runtuh dan timbul bintik-bintik putih karena tertinggalnya partikel-partikel

gula di atas permukaan cake. Selain itu, terlalu banyak gula juga menyebabkan

cake mengembang diluar batas-batas ketentuan susunan dari terigu dan telur,

sehingga keruntuhan cake terjadi menjelang akhir pembakaran (Anonim, 1981).

Apabila penambahan tepung terigu kurang maka, cake yang dihasilkan

menjadi terlalu lembek dan mudah mengempis. Namun, apabila tepung yang

ditambahkan terlalu banyak maka adonan sponge cake akan mudah runtuh dan

cake yang dihasilkan menjadi terlalu kokoh dan padat teksturnya (Amaliafitri,

2010).

3. Metode pembuatan

Pada proses pembuatan sponge cake, pengocokan telur memegang peranan

yang sangat penting dalam menentukan kuaitas sponge cake yang ringan dan

bergas. Sponge cake yang ringan dapat diperoleh dari pengocokan yang tepat dan

teliti sehingga dapat membentuk buih yang baik dan kokoh (Anonim, 1981).

Pengocokan telur yang baik dilakukan pada suhu sekitar 43oC (Wibowo,

2012), sedangkan menurut Anonim (1981) suhu pengocokan telur yang baik

adalah 100oF-120oF (38oC-49oC). Tetapi apabila suhu pengocakan telur terlalu

panas, akan membuat telur menjadi beku dan sponge cake yang dihasilkan

berkualitas rendah. Pencampuran adonan yang berlebih dapat membuat hilangnya

37  

udara dalam adonan sponge cake, sehingga cake tidak dapat berkembang rata,

bagian samping cake rendah dan bagian tengah cake memuncak. Apabila

pencampuran adonan cake kurang, maka cake tidak mempunyai cukup udara

untuk berkembang.

Pemanggangan adonan juga mempengaruhi sponge cake yang dihasilkan.

Adonan sponge cake harus dipanggang pada suhu 370oF sampai 425oC (187oC

sampai 218oC). Suhu yang digunakan tersebut sesuai dengan ukuran dan jenis

cake yang dibuat. Apabila suhu yang digunakan dalam pemanggangan sponge

cake terlalu rendah maka akan dihasilkan sponge cake dengan butiran-butiran

kasar, warna cake tidak cerah, lama matangnya, dan cake rata pada bagian atas.

Sedangkan pemanggangan dengan suhu tinggi membuat cake yang dihasilkan

mempunyai kerak tebal dan gosong. Selain itu, apabila suhu oven bagian atas

terlalu panas akan membuat cake matang sebelum waktunya dan keraknya akan

merekah sewaktu isi berkembang. Waktu pemanggangan cake yang kurang akan

mengakibakan cairan dibagian tengah cake tidak matang. dengan sempurna

sehingga isi dibawah kerak atas kurang matang (Anonim, 1981).

2.4 Hipotesis

Sifat fungsional telur ayam ras infertil mengalami perubahan dengan

bertambahnya waktu pemeraman. Tingkat kesukaan panelis semakin menurun

terhadap sponge cake yang dibuat menggunakan telur utuh ayam ras infertil

dengan waktu pemeraman yang semakin lama.