Upload
lamdat
View
217
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH
1.1.1 Konteks Global
Isu paling berkaitan dengan kapitalisme adalah bentukan dunia global yang
sangat mudah untuk diakses. Konsekuensi yang paling mendekati dari struktur
kapitalisme adalah globalisasi dunia (Isfandiar, 2005: 163). Mitos yang hidup selama
ini tentang globalisasi adalah bahwa proses globalisasi akan membuat dunia seragam.
Proses globalisasi akan menghapus identitas dan jati diri. Kebudayaan lokal atau etnis
akan ditelan oleh kekuatan budaya besar atau kekuatan budaya global. Mobilitas
manusia akan sangat tinggi. Keterkaitan ekonomi antar negara dan antar kawasan
menjadi suatu keniscayaan. Kenichi Ohmae (1990,1995; dalam Iskandar, 2008: 61)
bahkan menyatakan bahwa dalam konteks ekonomi, batas-batas negara akan lenyap
dan entitas negara-bangsa akan berakhir.
Globalisasi seringkali dilihat sebagai sumber penyebab munculnya
rasionalisasi, konsumerisme, dan komersialisasi budaya-budaya lokal yang kemudian
mengakibatkan hancur dan hilangnya identitas budaya nasional (Trijono, 1996: 136).
Dalam proses globalisasi ini masyarakat industri yang modern adalah model yang
menjadi acuan bagi masyarakat-masyarakat setempat dalam mengantisipasi
perubahan-perubahan yang terjadi (Suparlan, 1996: 234). Yang dimaksud dengan
masyarakat industri di sini adalah masyarakat yang mengagungkan industrialisasi,
modernisasi, tolok ukur perhitungan ekonomi yang didasarkan atas pilihan-pilihan
rasional untung rugi, dan mengutamakan modal (kapital).
2
Mencermati realita perekonomian Indonesia dalam konteks ekonomi global,
Bangsa Indonesia perlu melakukan prioritas dalam memulihkan ekonomi. Jika hal itu
tidak segera dilakukan, maka akan menimbulkan berbagai konsekuensi serius, antara
lain (Sjahrir, 2001, dalam Buchari, 2006: 30): (a) tingkat inflasi yang tinggi, (b)
pengangguran semakin membengkak (termasuk pengangguran pada kaum
intelektual), (c) kemiskinan struktural yang semakin memilukan, (d) utang dalam
negeri dan luar negeri yang semakin menggunung, dan (e) pertumbuhan ekonomi
yang rendah.
Kesemuanya itu pada gilirannya akan mempengaruhi kondisi sosial politik
dan akan membuat semakin rawannya disintegrasi bangsa. Jika hal-hal tersebut tidak
segera diatasi, peluang terjadinya permasalahan yang lebih parah akan semakin besar
seperti semakin terbukanya potensi konflik atau kerusuhan yang terjadi di tingkat
masyarakat lapisan bawah (grassroot).
Boleh dibilang keterlibatan negara dalam pembangunan ekonomi Indonesia
selama ini memiliki dua dimensi. Pertama, negara berperan aktif sebagai agen
pembangunan itu sendiri. Negara membangun infrastruktur, menjalankan kegiatan
produksi dan perdagangan dan juga menyiapkan kerangka regulasi yang memadai
bagi proses akumulasi kapital. Hanya saja negara Indonesia tidak tergolong negara
rasional yang bertindak efisien. Sebaliknya negara Indonesia adalah aktor yang
mempunyai kepentingannya sendiri dan tidak netral. Kedua, negara juga secara sadar
melindungi dan menghidupi kelas pemilik modal. Negara di antaranya menyediakan
proyek pembangunan sebagai lahan kegiatan usaha, memberikan lisensi dan monopoli
perdagangan, menggelontorkan kredit dan membuat kebijakan yang menguntungkan
(Hiariej, 2006: 92). Pemihakan kepada kaum pemilik modal ini adalah salah satu ciri
dari kapitalisme.
3
Kapitalisme merupakan suatu sistem ekonomi yang menerapkan prinsip
kebebasan (sebagaimana diperjuangkan oleh liberalisme) di bidang ekonomi. Dengan
perkataan lain kapitalisme adalah liberalisme di bidang ekonomi, bebas untuk
memiliki dan mengembangkan modal (baik modal finansial, modal fisik, maupun
modal manusiawi) demi manfaat yang paling besar dan bagi sebanyak mungkin orang.
Dengan demikian kapitalisme dicirikan oleh hak atas milik pribadi, hak atas
akumulasi modal lewat usaha mencari keuntungan yang maksimal dan hak untuk
bersaing.
Realisasi ketiga hak tersebut menjadi sangat problematis mengingat sumber
daya yang ada bersifat terbatas/langka, selain itu kemampuan setiap orang juga tidak
sama. Bila proses realisasi ketiga hak tersebut tidak diatur dengan adil, maka akhirnya
akan terjadi dominasi dari mereka yang memiliki kemampuan terhadap mereka yang
kurang atau yang tidak memiliki kemampuan (Nugroho, 2008: 90). Sistem yang
digerakkan oleh kumpulan modal (kapitalisme) ini dinilai sebagai sistem ekonomi
yang tidak demokratis sebab berdampak penyisihan (exclutionary effect) partisipasi
sebagian besar masyarakat (Masjaya, 2005: 156).
1.1.2 Konteks Permasalahan
Pengelolaan Sumber Daya Alam adalah upaya terpadu untuk melestarikan
fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijakan penataan, pemanfaatan,
pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan
hidup, sedangkan yang dimaksud lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan
semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya
yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta
makhluk hidup lain. Kondisi lingkungan hidup dari waktu ke waktu ada
4
kecenderungan terjadi penurunan kualitasnya, penyebab utamanya yaitu karena pada
tingkat pengambilan keputusan, kepentingan pelestarian sering diabaikan sehingga
menimbulkan adanya pencemaran dan kerusakan lingkungan. Dengan terjadinya
pencemaran dan kerusakan lingkungan ternyata juga menimbulkan konflik sosial.
Sebagai negara berkembang, Indonesia terus aktif mengembangkan diri di
segala bidang, di antaranya pengembangan pada sektor pariwisata. Walaupun
penyusunan kebijakan sektor ini sudah sering dirumuskan, namun dalam prakteknya
masih banyak mengalami kendala. Sektor pariwisata dikembangkan tidak semata-
mata untuk pariwisata itu sendiri, namun diselaraskan dan disesuaikan dengan tujuan
pembangunan nasional. Untuk memudahkan pengembangan pariwisata nasional,
maka pemerintah mengambil langkah strategis dengan menyerahkan pembinaannya
kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Hal ini dianggap akan lebih
memudahkan pengembangan dan koordinasi pembangunan daerah (Binarwan, 2008:
129).
Pariwisata dikembangkan oleh Pemerintah sebagai suatu program unggulan
dalam pilihan ekonomi realistik untuk dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Karena itu segala faktor produksi, usaha kepariwisataan serta pemasaran diupayakan
pemberdayaannya agar mampu mencapai tujuan kepariwisataan itu sendiri
(Marpaung, 2008: 230).
Pembangunan wilayah pesisir memiliki kecenderungan menimbulkan dampak
dan ancaman terhadap kapasitas keberkelanjutan pesisir dalam menunjang
kesinambungan fungsi pemanfaatannya. Seperti halnya permasalahan pencemaran
laut, over fishing; degradasi kawasan pantai merupakan fenomena umum yang terjadi
di wilayah pesisir. Fenomena ini terutama berlangsung di kawasan pesisir yang padat
5
penduduknya dan tinggi tingkat pembangunannya, seperti Selat Malaka, Pantai Utara
Jawa, Sulawesi Selatan dan Yogyakarta (Dahuri, et. al., 2004: 3).
Dalam upaya mewujudkan obyek wisata yang baik, maka Pemerintah Daerah
Kabupaten Bantul melakukan program penataan kawasan obyek wisata Parangtritis,
sebagai pelaksanaan daripada Perda Kabupaten Bantul No. 03 Tahun 2004 tentang
Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah Kabupaten Bantul. Perda tersebut
sebagai acuan untuk pengaturan yang mampu mewujudkan keterpaduan, keserasian
dalam kegiatan penyelenggaraan kepariwisataan yang berwawasan lingkungan. Pada
bagian penjelasan Perda tersebut dijelaskan bahwa pembangunan pariwisata
mencakup 2 (dua) dimensi yaitu dimensi ekonomi dan sosial budaya. Dimensi
ekonomi merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan daya saing dan sekaligus
meningkatkan pendapatan daerah. Selanjutnya dari aspek sosial budaya merupakan
upaya pendekatan yang utuh dalam melestarikan nilai-nilai budaya masyarakat di
daerah, melestarikan alam, melestarikan lingkungan serta menumbuhkan rasa
kebanggaan nasional, dalam rangka mengantisipasi pengaruh budaya global yang
bertentangan dengan budaya bangsa. Sejalan dengan perkembangan kondisi negara
secara nasional yang disebabkan oleh situasi politik dan keamanan dalam negeri,
maka pembangunan pariwisata harus mampu memulihkan citra pariwisata bagi daerah
maupun nasional sebagai daerah tujuan wisata yang aman dan nyaman untuk
dikunjungi.
Industri pariwisata pantai di Yogyakarta di antaranya terpusat di daerah
Selatan Kabupaten Bantul yang meliputi pantai Parangtritis di Desa Parangtritis,
Kecamatan Kretek; pantai Parangkusumo di Desa Parangtritis, Kecamatan Kretek;
pantai Depok di Desa Parangtritis, Kecamatan Kretek; pantai Samas di Desa
Srigading, Kecamatan Sanden; pantai Patehan di Desa Gadingharjo, Kecamatan
6
Sanden; pantai Pandansimo dan Pantai Kwaru di Desa Poncosari, Kecamatan
Srandakan.
Obyek Wisata Pantai Parangtritis merupakan primadona wisata karena paling
banyak dikunjungi oleh wisatawan. Data pada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Kabupaten Bantul menunjukkan bahwa jumlah kunjungan wisatawan ke Pantai
Parangtritis masih menduduki peringkat pertama dibandingkan kunjungan wisatawan
ke objek wisata lainnya di Kabupaten Bantul yakni selama tahun 2011 menduduki
peringkat pertama dengan jumlah kunjungan 1.338.112 wisatawan, disusul Pantai
Kwaru sebanyak 270.823 wisatawan, Pantai Pandansimo 54.628 wisatawan, Pantai
Samas 36.456 wisatawan dan Pantai Goa Cemara 11.267 wisatawan. Sekitar 70
persen lebih PAD (pendapatan asli daerah) dari sektor pariwisata di Kabupaten Bantul
diperoleh dari retribusi Pantai Parangtritis sebesar Rp 1,255 milyar. Disusul kemudian
retribusi obyek wisata Pantai Samas, Pantai Pandansimo, Kolam Renang
Tirtotamansari, Gua Selarong dan obyek wisata lain yang ada di Kabupaten Bantul.
Melihat potensi wisata Pantai Parangtritis yang sangat besar maka sudah sejak
tahun 2004 Pemerintah Kabupaten Bantul melakukan berbagai upaya penataan,
pengawasan dan pengendalian secara komprehensif, agar kawasan obyek wisata
Parangtritis tetap mempunyai daya tarik bagi wisatawan. Langkah pertama yang
dilakukan Pemerintah Kabupaten Bantul adalah menerbitkan Keputusan Bupati
Bantul No 127 Tahun 2004 tentang Rencana Teknik Obyek Wisata Parangtritis yang
di dalamnya disebutkan bahwa tujuan penataan kawasan obyek wisata Parangtritis
adalah untuk: (1) Meningkatkan kualitas fisik dan lingkungan kawasan obyek wisata
Parangtritis; (2) Mendorong pelestarian dan konservasi lingkungan terhadap
sumberdaya yang ada di kawasan obyek wisata Parangtritis; (3) Meningkatkan iklim
investasi dan pemberdayaan masyarakat; (4) Mengembangkan potensi kepariwisataan
7
kawasan obyek wisata Parangtritis sehingga mampu tumbuh dan berkembang sebagai
tujuan wisata yang mempunyai daya tarik khusus dan memiliki peran serta yang
strategis bagi pengembangan pariwisata di Kabupaten Bantul dan Daerah Istimewa
Yogyakarta.
Untuk merealisasikan keinginan tersebut maka Bupati Bantul mengeluarkan
Instruksi Bupati Bantul No. 3 tahun 2004, tanggal 22 Juni 2004 tentang Penataan,
Pengawasan dan Pengendalian Kawasan Obyek Wisata Parangtritis yang berisi (1)
larangan bagi masyarakat untuk mendirikan bangunan pada kawasan obyek wisata
Parangtritis yang dinyatakan harus bebas/terlarang untuk mendirikan bangunan; (2)
masyarakat dilarang melakukan kegiatan pembangunan di kawasan obyek wisata
Parangtritis, apabila tidak dilengkapi dengan perizinan sesuai peraturan perundang-
undangan yang berlaku; (3) masyarakat dilarang bertempat tinggal di kawasan obyek
wisata Parangtritis, apabila tidak dilengkapi dengan dokumen kependudukan sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku; (4) masyarakat penduduk Desa
Parangtritis agar turut serta melakukan pengawasan terhadap kegiatan pembangunan
dan mobilitas penduduk pendatang di kawasan obyek wisata Parangtritis, serta
melaporkannya kepada Lurah Desa Parangtritis atau Camat Kretek untuk
mendapatkan tindak lanjut.
Instruksi Bupati Bantul tersebut merupakan acuan dasar dilakukannya
penataan obyek wisata Parangtritis oleh Pemkab Bantul yang implementasinya adalah
melakukan relokasi rumah dan tempat usaha yang berada di kawasan Pantai
Parangtritis. Instruksi Bupati Bantul tersebut selanjutnya ditindaklanjuti dengan
dikeluarkannya Peraturan Bupati Bantul No. 24 tahun 2006, tanggal 16 September
2006 tentang Penataan Kegiatan Usaha di Kawasan Pantai Parangendog sampai
dengan Pantai Parangkusumo Desa Parangritis Kecamatan Kretek Kabupaten Bantul,
8
yang selanjutnya diperbaharui dengan Peraturan Bupati Bantul No 26 Tahun 2006,
tanggal 4 Oktober 2006 tentang Perubahan Peraturan Bupati Bantul Nomor 24 Tahun
2006 Tentang Penataan Kegiatan Usaha di Kawasan Pantai Parangendog sampai
dengan Pantai Parangkusumo Desa Parangtritis Kecamatan Kretek Kabupaten Bantul.
Peraturan Bupati tersebut berisi ketentuan tentang zonasi dan pemanfaatannya,
di mana disebutkan bahwa Zona Preservasi Alam Pantai yang untuk selanjutnya
disebut Zona Preservasi adalah kawasan tepi Pantai Parangtritis dengan batas utara
berupa jalan lingkungan yang ditetapkan pemerintah yang harus bersih dari bangunan
kecuali dengan izin Pemerintah Daerah apabila untuk kepentingan yang lebih besar.
Dalam pasal 5 Peraturan Bupati tersebut disebutkan bahwa kegiatan usaha ekonomi
di areal Pantai Parangendog sampai dengan Pantai Parangkusumo hanya bisa
dilakukan di luar Zona Preservasi dengan tetap mengindahkan peraturan yang berlaku.
Tempat tinggal, warung atau kios dan mandi, cuci, kakus yang sudah terlanjur berada
di Zona Preservasi alam pantai di areal Pantai Parangendog sampai Pantai
Parangkusumo akan segera direlokasi ke kawasan baru di sebelah selatan
Parangwedang yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah.
Kemudian pada pasal 51 tentang Kawasan Rawan Bencana disebutkan bahwa
kawasan rawan gelombang pasang di Kabupaten Bantul terdapat di Kecamatan
Kretek, Kecamatan Srandakan, dan Kecamatan Sanden, sebagian Kecamatan Pandak,
sebagian Kecamatan Pundong, sebagian Kecamatan Imogiri, sebagian Kecamatan
Jetis, dan sebagian Kecamatan Bambanglipuro. Disamping itu kawasan Parangtritis,
Parangkusumo dan Depok dimasukkan sebagai kawasan peruntukan pariwisata alam
sebagaimana disebutkan pada pasal 59 Perda RTRW Kabupaten Bantul. Pasal 65
disebutkan Kawasan Strategis Gumuk Pasir Parangtritis yang berfungsi untuk
pengembangan ilmu pengetahuan dan penelitian. Pasal 73 Peraturan Zonasi untuk
9
kawasan lindung setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c berupa
kawasan sempadan pantai, disusun dengan memperhatikan larangan bagi semua
kegiatan dan bangunan hunian, tempat usaha pada kawasan sempadan pantai; dilarang
semua kegiatan dan bangunan yang mengancam kerusakan pantai.
Sejak awal (2004), rencana penataan obyek wisata Parangtritis oleh Pemkab
Bantul tersebut mendapatkan reaksi pro dan kontra dari warga masyarakat yang
selama ini bermukim dan melakukan usaha ekonomi di kawasan tersebut. Sebagian
warga ada yang bisa memahami dan dapat menerima program penataan, namun
sebagian warga masyarakat yang lain menolak dengan keras karena dianggap akan
merugikan warga setempat baik secara ekonomi maupun sosial.
Menghadapi reaksi penolakan oleh warga setempat, pemerintah Kabupaten
Bantul terus melakukan pendekatan dan sosialisasi dalam rangka memberikan
pemahaman dan penyadaran terhadap masyarakat setempat tentang perlunya penataan
kawasan obyek wisata pantai selatan Kabupaten Bantul demi kesejahteraan warga
setempat, termasuk membangun terminal, 39 kios dan 274 los yang disiapkan bagi
pengganti tempat usaha warga. Namun demikian, sikap warga masyarakat tetap
terbelah menjadi dua, yakni sebagian setuju penataan dan sebagian besar lainnya
melakukan penolakan. Dalam kondisi seperti itu, Pemerintah Kabupaten Bantul tetap
bersikeras melakukan penataan yakni dengan membersihkan kawasan Pantai dari
bangunan tempat tinggal dan tempat usaha.
Adanya penolakan terkait rencana penataan obyek wisata Parangtritis oleh
Pemkab Bantul yang dianggap akan merugikan warga setempat tersebut telah
menimbulkan konflik, baik yang berupa konflik vertikal yaitu antara warga
masyarakat yang menolak penataan obyek wisata Parangtritis dengan pemerintah
maupun konflik horisontal antara warga masyarakat yang menolak keras penataan
10
dengan warga masyarakat yang setuju penataan obyek wisata Parangtritis. Konflik-
konflik yang terjadi semakin nyata ketika Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul mulai
melakukan penataan obyek wisata Parangtritis.
Penataan tahap pertama dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Sat Pol
PP) Bantul pada tanggal 31 Oktober 2006, dengan melakukan penggusuran rumah dan
bangunan tempat usaha yang mendapat perlawanan dari para pemilik rumah dan
bangunan tempat usaha sehingga hanya 3 unit rumah yang berhasil dirobohkan dari
91 rumah dan bangunan yang direncanakan, yaitu rumah yang terletak di Dusun
Mancingan 11 Kalurahan Parangtritis Kecamatan Kretek (Lihat Peta Lokasi
Penelitian pada hal. 65).
Selain melakukan aksi menghalangi proses penggusuran, bentuk perlawanan
warga terhadap pemerintah Kabupaten Bantul adalah mengadukan persoalan
penggusuran tersebut kepada DPRD Kabupaten Bantul dan DPRD Propinsi DIY.
Sekitar 200 warga dari 91 KK di Parangtritis yang tergabung dalam Paguyuban Ngudi
Makmur melakukan aksi pendudukan di kantor DPRD DIY selama 7 hari mulai
tanggal 7 sampai dengan 13 Nopember 2006. Upaya ini membuahkan hasil, yakni
diselenggarakannya dialog antara warga Parangtritis dengan Gubernur DIY Sri Sultan
Hamengku Buwono X di Gedung DPRD DIY yang dimediasi oleh DPRD Propinsi
DIY. Dalam kesempatan tersebut, Gubernur DIY menjanjikan kepada warga
Parangtritis bahwa mereka tidak akan digusur dan bahkan warga akan diberikan ganti
rugi berupa tempat tinggal baru bagi warga, yakni di dusun Magersari yang lokasinya
tidak jauh dari Pantai Parangtritis. Meskipun sudah ada janji dari Gubernur DIY yang
tidak akan melakukan penggusuran, namun faktanya penggusuran di kawasan
Parangtritis tetap dilanjutkan sehingga seluruh bangunan rumah tempat tinggal dan
usaha dibersihkan.
11
Penataan pada tahap kedua, dilakukan pada tanggal 26 Januari 2008, dan
berhasil membongkar 51 rumah dan bangunan tempat usaha milik warga. Penataan
pada tahap kedua ini relatif mulus dan lancar sebab sebagian besar warga yang
tergabung dalam Paguyuban Kawulo Alit bersedia digusur karena telah dijanjikan
mendapatkan kios baru sebagi tempat usaha pengganti yang lokasinya tidak jauh dari
rumah dan tempat usaha sebelumnya. Lokasi penataan ulang ini terletak di Dusun
Parang Bolong Kalurahan Parangtritis Kecamatan Kretek (Lihat Peta Lokasi
Penelitian pada hal.65).
Penataan tahap ketiga dengan melakukan penggusuran terhadap 31 KK di
Parangkusumo, Kelurahan Parangtritis Kecamatan Kretek Kabupaten Bantul (Lihat
Peta Lokasi Penelitian pada hal. 65).
Menurut rencana awal, penggusuran akan dilakukan tanggal 11 Maret 2010,
namun mendapat penolakan dan perlawanan keras dari warga yang tergabung dalam
Aliansi Rakyat Menolak Penggusuran (ARMP) dalam bentuk aksi-aksi
penghadangan, aksi unjukrasa dan pengaduan ke Pemerintah Propinsi DIY. Aksi
unjukrasa yang pertama dilakukan di Kantor Gubernur DIY tanggal 21 Januari 2010
dengan meminta Pemprop DIY turun tangan menyelesaikan masalah ganti rugi
penggusuran di Parangtritis. Aksi unjukrasa ARMP yang kedua dilakukan tanggal 10
Maret 2010 di Kantor Gubernur DIY dan menghasilkan dua kesepakatan yaitu
Pemerintah Propinsi DIY akan memediasi pertemuan segitiga antara warga,
Pemerintah Propinsi DIY dan juga Pemerintahan Kabupten Bantul, kemudian
Pemprov DIY akan mendesak Bupati Bantul agar menghentikan penggusuran pada
tanggal 11 Maret 2010 dan Tanggal 15 Maret 2010 sesuai surat Satpol PP Bantul No
300/204 tanggal 27 Februari 2010.
12
Perlawanan ARMP untuk sementara waktu mampu menunda pelaksanaan
penggusuran, namun tidak bertahan lama, sebab pada tanggal 21 Juni 2010 Satpol PP
Kabupaten Bantul dengan menggunakan alat berat di bawah pengamanan Polisi
berada di lokasi untuk melakukan penggusuran. Langkah Pemkab Bantul ini kembali
dilawan oleh warga Parangtritis yang tergabung dalam wadah ARMP, yang di
dalamnya banyak terdapat unsur-unsur dari luar warga setempat yakni kalangan
mahasiswa dan LSM. Akibat dari perlawanan yang keras dari ARMP, pelaksanaan
penggusuran kembali ditangguhkan. Namun demikian pada saat yang sama justru
terjadi insiden lain berupa intimidasi dan perusakan sekretariat/posko ARMP di
Parangkusumo yang dilakukan oleh Satgas PDIP. Kasus perusakan Posko tersebut
dilaporkan kepada Polisi dan berlanjut sampai pada proses hukum di Pengadilan
Negeri Bantul dan pelaku dinyatakan terbukti bersalah melanggar pasal 406 KUHP
mengenai pengrusakan barang milik orang lain sehingga divonis dengan hukuman
penjara selama 1 tahun.
Penataan kawasan obyek wisata pantai Parangtritis pada tahap ke empat
diarahkan untuk menertibkan rumah dan bangunan liar di sepanjang pantai
Parangkusumo sampai dengan Pantai Depok yang meliputi 106 bangunan yakni 31
rumah tempat tinggal, 8 unit bangunan warung, 50 unit bangunan tempat tinggal dan
warung, 12 unit kandang, 1 unit gudang rosok dan 4 unit lain-lain meliputi pondasi
dan posko. Lokasi penertiban ini adalah di sepanjang wilayah antara Kalimati sampai
selatan Pantai Depok. (Lihat Peta Lokasi Penelitian pada hal. 65).
Dari 106 pemilik bangunan tersebut, ternyata 26 di antaranya merupakan
pendatang dari luar Kabupaten Bantul. Dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Bantul
melalui Kantor Satpol PP Kabupaten Bantul telah menyampaikan surat peringatan
kepada para pemilik bangunan tersebut agar segera mengosongkan bangunan.
13
Adapun data selengkapnya berbagai aksi untuk rasa untuk menentang berbagai
penggusuran yang telah dilakukan warga seperti tersaji dalam Tabel 1.1.
Tabel 1.1 Aksi Unjuk Rasa Terkait Dengan Penolakan Penataan Kawasan Obyek Wisata Parangtritis Kabupaten Bantul
No Pelaku Waktu Tempat Tuntutan Keterangan 1 2 3 4 5 6 1 Warga
Mancingan Parang Bolong
31 Oktober 2006
Dusun Mancingan Parang Bolong Parangtritis
Tolak Penggusuran
Bentrok antara Warga dengan Satpol PP Bantul Dialog antara warga dengan Bupati Bantul Penggusuran di Tunda
2 100 Warga Mancingan Parang Bolong yang didampingi LSM Pataka
01-Nopember- 2006
Gedung DPRD DIY
Tolak Penggusuran dan meminta dilakukan Mediasi
DPRD DIY minta dilakukan pertemuan yang melibatkan semua komponen termasuk Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X.
3 100 Warga Mancingan Parang Bolong
07-Nopember-2006
Kraton Yogyakarta dan DPRD DIY
Tolak Penggusuran dan Minta Pengayoman dari Kraton
Massa aksi diterima oleh Anggota DPRD DIY, dan aspirasinya akan ditampung dan disampaikan kepada Bupati Bantul.
4 Solidaritas masyarakat Parangtritis
09 Nopember 2006
DPRD DIY Tolak Penggusuran di Pantai Parang Bolong Parangtritis
Tidak direspon anggota DPRD DIY
5 Solidaritas Masyarakat Parangtritis Tolak Penggusuran
13 Nopember 2006
DPRD DIY Tolak Penggusuran di Pantai Parang Bolong Parangtritis
Aksi Tertib
6 Solidaritas Masyarakat Parangtritis Tolak Penggusuran
14-Nopember-2006
DPRD DIY Tolak Penggusuran di Pantai Parang Bolong Parangtritis
Gubernur DIY menemui warga Mancingan dan berjanji untuk tidak ada penggusuran di Parangtritis
7 ARMP 21 Januari 2010
Kantor Gubernur DIY
Ganti rugi penggusuran di Parangtritis
Aksi tertib
8 ARMP 17 Pebruari 2010
Pemkab Bantul
Tolak Penggusuran
Tidak diterima oleh Bupati Bantul karena 11 orang diantaranya bukan warga Bantul (tidak memiliki KTP Bantul)
9 ARMP 08 Maret 2010
Pemprov DIY
Tolak Penggusuran P. Parangtritis
Kabid. Pemerintahan dan Kepala PU Prov. DIY membuat surat
14
No Pelaku Waktu Tempat Tuntutan Keterangan 1 2 3 4 5 6
pernyataan yang meminta PemKab. Bantul menunda penggusuran
10 ARMP 11 Maret 2010
DPRD Bantul Pemkab Bantul
Tolak Penggusuran Parangtritis
Aksi Tertib
11 ARMP Perhimpunan Solidaritas Buruh, SP-Kinasih, Jogo Sengsoro, ATPLP, RTND
23 Maret 2010
Pemprov DIY
Tagih Janji Sultan HB X
Aksi Tertib Hasil Audiensi a.l.: Berkait pemberitahuan pembongkaran antara tanggal 12-15/3/2010 maka akan dilakukan rapat koordinasi internal menyikapi tidak dihiraukannya surat Gubernur DIY tentang penundaan pembongkaran sampai akhir pelaksaan Pemilukada Bantul.
12 ARMP 07 April 2010
Pemprov DIY
Tolak Penggusuran Parangtritis
Anarkhis, Bakar Ban, Rusak/Robohkan Gerbang dan gerobak sampah
13 ARMP dan SEBUMI
22 April 2010
Titik Nol Perempatan Kantor Pos Yogyakarta
Tolak Penggusuran dan Tolak Mega Proyek di Parangtritis
Terjadi Bentrok antara Pengunjukrasa dengan Aparat Keamanan, merusak pagar Permprov DIY dan memecah kaca depan mobil water canon
14 ARMP 03 Mei 2010
Titik Nol Perempatan Kantor Pos Yogyakarta
Tolak Penggusuran di Parangtritis
Bakar Patung Babi, Blokir Jalan
15 ARMP 21 Juni 2010
Mancingan Parangtritis
Tolak Pelaksanaan Penggusuran
Satpol PP dengan alat berat siap melakukan penggusuran. Akibat situasi yang memanas maka penggusuran ditangguhkan
16 ARMP 20 Juli 2010
Pantai Parangtritis
Aksi Panggung Rakyat Menolak Penggusuran
Berlangsung pembakaran foto Presiden RI, Gubernur DIY dan Bupati Bantul
15
No Pelaku Waktu Tempat Tuntutan Keterangan 1 2 3 4 5 6
Aksi ini memicu kemarahan Satgas PDIP Bantul
17 ARMP dan SUP
21 Juli 2010
Titik Nol Perempatan Kantor Pos Besar Yogyakarta
Tolak Penggusuran di Parangtritis
Aksi gabungan antara ARMP dan Mahasiswa Papua di Yogyakarta
18 Satgas PDIP 21 Juli 2010
Posko ARMP di Parangkusumo
Penyerangan dan Perusakan Posko ARMP
Satgas PDIP merusak atribut-atribut di Posko ARMP
19 ARMP dan SEBUMI
21 Juli 2010
Kantor Polres Bantul
Pelaporan atas perusakan Posko ARMP
Laporan diterima oleh Kasat Intel Polres Bantul dan akan ditindaklanjuti
20 ARMP dan Perempuan Mahardika
07 Januari 2011
Pantai Parangkusumo
Labuhan Laut ARMP melabuh foto Presiden SBY-Budiono, dan menolak penggusuran
21 ARMP 20 Januari 2011
DPRD DIY dan Pemprov DIY
Tolak Penggusuran Parangtritis
Diterima Asisten Gubernur Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Pemprov DIY, Tavip Agus Rayanto, yang ditemani staf dari Dinas Pariwisata, dan BiroTata Pemerintahan PU. Pertemuan berlangsung di Gedung Wiyata Praja.
22 ARMP 19 Mei 2011
Kantor Satpol PP Kab. Bantul
Tolak Razia PSK di Parangkusumo
Terjadi ketegangan antara massa ARMP dengan warga setempat
23 ARMP 5 Juli 2011 DPRD DIY Tolak Penggusuran dan Mega Proyek Rp. 6 T di Pantai Parangtritis
Membakar ban bekas dan memblokir jalan
24 ARMP dan Perempuan Mahardika
7 Juli 2011 DPRD DIY Tolak Penggusuran Parangtritis dan Cabut Perda Kab. Bantul No. 5 tahun 2007
Diterima oleh Sukedi/Wakil Ketua DPRD DIY
Sumber: Polres Bantul dan Polres Kota Yogyakarta
Masalah identitas diri warga kawasan Parangtritis ternyata menimbulkan
masalah tersendiri, sebab faktanya banyak warga pendatang dari luar Desa
16
Parangtritis yang tinggal dan melakukan usaha di tempat tesebut, bahkan sudah dalam
waktu yang lama (>25 tahun), namun tidak memiliki kartu identitas (KTP). Kondisi
ini menyulitkan warga sebab Pemerintah Kabupaten Bantul mengambil kebijakan
hanya akan melayani warga masyarakat yang memiliki KTP Bantul terkait dengan
masalah penataan kawasan Obyek Wisata Pantai Parangtritis.
Pada Pasal 2 dari Undang-Undang No. 23 tahun 2006 tentang Adminsitrasi
Kependudukan dengan jelas disebutkan bahwa setiap penduduk mempunyai hak
untuk memperoleh dokumen kependudukan, pelayanan yang sama dalam Pendaftaran
Penduduk dan Pencatatan Sipil; perlindungan atas Data Pribadi; dan kepastian hukum
atas kepemilikan dokumen.
Selanjutnya pada Pasal 7 Perpres No. 26 tahun 2009 tentang Penerapan Kartu
Tanda Penduduk Berbasis Nomor Induk Kependudukan Secara Nasional, disebutkan
bahwa Setiap penduduk wajib KTP berhak memperoleh KTP berbasis NIK yang
diterbitkan oleh Instansi Pelaksana sesuai domisili penduduk yang bersangkutan.
Menurut data pada Badan Pertanahan Nasional (BPN) Bantul, riwayat lokasi
penataan Parangtritis berasal dari peta pasir persil 45 tahun 1928. Pada Perda DIY
Nomor 5 Tahun 1954 Pasal 3 diterangkan, persil tersebut merupakan tanah
pemerintah. Dalam perkembangannya, setelah Pemkab Bantul pada 2002 melakukan
inventarisasi, tanah itu menjadi lahan pasir dengan status Sultan ground. Perubahan
ini terjadi karena setelah ditelusuri asal-usulnya, memang tanah tersebut dulunya
berada dalam kekuasaan Pemerintah Ngayogyakarta Hadiningrat. Meski demikian,
pemerintah setempat memiliki wewenang mengelolanya karena area tepi pantai
tersebut termasuk kawasan lindung, seperti tercantum dalam Keputusan Presiden
Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Ihwal tindakan
penggusuran yang dilakukan Pemkab Bantul, menurut BPN, diatur dalam Undang-
17
Undang Nomor 51 PRP Tahun 1960 soal larangan penggunaan tanah tanpa izin yang
berhak atau kuasanya. Dalam aturan tersebut, Pemkab juga memiliki wewenang
mengambil tindakan untuk mengambil tanah sewaktu-waktu. Dalam surat
kekancingan tersebut tercantum syarat, bahwa pemegang Magersari dilarang
mendirikan bangunan permanen dan bersedia mengembalikan tanah bila sewaktu-
waktu diminta.
Menurut pandangan hukum Pemkab Bantul, sejak Pemerintah Ngayogyakarta
Hadiningrat bergabung ke Republik Indonesia dan menjadi Provinsi DIY, tanah milik
Sultan tak lagi dikuasai secara perorangan tetapi menjadi milik Keraton Yogyakarta,
sehingga urusan menyangkut tanah Sultan ground diatur oleh ”Paniti Kismo”, sebuah
lembaga di dalam keraton. Lembaga ini menjadi satu-satunya pihak yang berhak
mengeluarkan izin pemakaian tanah Sultan. Atas dasar itu, Pemkab Bantul tidak
mengakui Surat Kekancingan Magersari yang dimiliki warga Mancingan lantaran
diterbitkan Yayasan Sultan HB VII, bukan oleh Paniti Kismo.
Keinginan Pemerintah Kabupaten Bantul untuk menata kawasan obyek wisata
Pantai Parangtritis menjadi lebih baik ternyata masih dipahami berbeda oleh sebagian
warga setempat, dan telah memicu munculnya konflik baik yang bersifat konflik
horisontal maupun konflik vertikal. Konflik telah muncul bersamaan dengan
dimulainya kegiatan penataan yakni 2004, dan sampai saat dilakukan penelitian ini
(tahun 2013) belum juga tuntas, bahkan cenderung meningkat eskalasinya. Oleh
karena itu penyelesaian konflik dalam kasus penataan obyek wisata pantai Parangtritis
Kabupaten Bantul tersebut perlu segera dicarikan solusi secara arif dan bijaksana.
Terkait dengan konflik yang terjadi mengenai penataan objek wisata Pantai
Parangtritis, sebelumnya sudah terjadi kontroversi yang berlarut-larut ketika Pemda
Bantul berniat untuk melaksanakan mega proyek pembangunan Pantai Parangtritis
18
bekerja sama dengan investor swasta yakni PT. Arwani Modern Indonesai (PT. AMI)
pada tahun 1995. Pada saat itu, rencana mega proyek senilai 100 milyar tersebut
meliputi pembangunan area golf, villa dan hotel, danau/laguna, dan fasilitas
akomodasi termasuk pasar wisata, dan infrastruktur jalan. Kontroversi mega proyek
Parangtritis tersebut merebak setelah diberitakan oleh wartawan Bernas Fuad
Muhammad Syafruddin alias Udin, yang kemudian tewas akibat dianiaya orang tak
dikenal pada bulan Agustus 1996. Kontroversi mega proyek mereda setelah Gubernur
DIY pada waktu itu, yaitu Sri Paku Alam VIII membatalkan Amdal mega proyek
tersebut pada bulan Pebruari 1997.
Terkait dengan konflik penataan objek wisata berdasar Peraturan Bupati
Bantul No. 24 tahun 2006, Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul telah berupaya untuk
menyelesaikan konflik tersebut sehingga dapat melaksanakan program penataan
kawasan obyek wisata pantai Parangtritis dengan baik. Namun demikian upaya keras
dari Pemerintah Kabupaten Bantul tersebut sampai saat ini belum dapat meredam
aksi-aksi penolakan dari warga yang menempati areal pesisir pantai selatan tersebut.
Dalam upaya penyelesaian konflik sosial dikenal dua cara yakni secara konvensional
melalui politik, administrasi maupun judisial dan melalui mekanisme alternatif
penyelesaian konflik yang meliputi Negoisasi, Mediasi dan Arbitrase.
Pendekatan alternatif dalam penyelesaian konflik tersebut adalah yang disebut
negosiasi, mediasi dan arbitrasi. Keunggulan pendekatan alternatif ini dibandingkan
dengan pendekatan-pendekatan konvensional melalui politik, administrasi maupun
judisial adalah sifat-sifatnya yang persuasif, fleksibel, lebih efektif, dapat mencapai
komitmen yang lebih baik untuk penyelesaian jangka panjang dan sangat potensial
memfasilitasi terbentuknya saling kesepahaman antar pihak yang bertikai. (Baiquni dan
Rijanta, 2006).
19
Kesepakatan yang memuaskan ini sangat penting bagi keberlanjutan hubungan
baik di antara para pihak, khususnya dengan resistensi masyarakat dengan
adanya/masuknya kegiatan yang bersinggungan dengan kegiatan mereka. Seperti
halnya pada konflik kegiatan penanganan penataan kawasan obyek wisata Pantai
Parangtritis yang bersinggungan dengan kegiatan pariwisata yang menjadi tumpuan
hidup masyarakat di wilayah Parangtritis.
1.1.3 Latar Belakang Formal
Konflik vertikal dan horizontal terkait penataan lahan objek wisata Pantai
Parangtritis termasuk ke dalam kategori konflik lingkungan (environmental dispute).
Konflik lingkungan (environmental dispute) dalam kasus ini adalah berkaitan dengan
perebutan akses sumber daya alam. Pada peradaban modern, konflik lingkungan ini
tidak hanya berujud perebutan akses sumber daya alam saja, tetapi juga dapat berupa
pencemaran air atau polusi atmosfir. Konflik lingkungan yang terjadi memiliki
dimensi yang kompleks dan melibatkan berbagai kepentingan antar sektor dan aktor
pembangunan (Baiquni & Susilawardani, 2002: 190).
Konflik horisontal dan vertikal yang terjadi terkait dengan penataan kawasan
obyek wisata Pantai Parangtritis Kabupaten Bantul tersebut akan dilihat dan dikaji
khususnya dari sudut pandang kajian ilmu geografi dan kependudukan. Keilmuan
geografi yang sangat diperlukan memahami peristiwa dan masalah krusial seperti
ketimpangan sosial, kemiskinan, migrasi dan kondisi politik. Harvey dan Holly (1991)
menyatakan bahwa geografi sangat penting untuk memahami (1) ketimpangan
distribusi sumber daya alam; (2) meluruskan pandangan tentang pengetahuan yang
sifatnya pragmatis; (3) berguna bagi memahami masalah-masalah kemanusiaan.
20
1.1.4 Latar Belakang Material
Tujuan penataan kawasan obyek wisata Pantai Parangtritis oleh Pemerintah
Daerah Kabupaten Bantul adalah dalam rangka untuk meningkatkan kualitas/daya
tarik obyek wisata sehingga meningkatkan pengunjung yang pada akhirnya
meningkatkan kesejahteraan warga sekitar Pantai Parangtritis. Namun demikian
sebagian warga setempat yang mendiami tanah di wilayah Pantai Parangtritis justru
menolak program pembangunan tersebut dengan alasan khawatir digusur dan tidak
dilakukan relokasi serta tidak mendapatkan kompensasi sehingga kualitas hidupnya
menurun.
Penolakan tersebut memunculkan konflik yang berkepanjangan dengan
intensitas konflik yang semakin meningkat, baik horisontal yakni antara warga yang
mendukung penataan dan yang menolak penataan serta konflik vertikal antara warga
yang menolak dengan pemerintah daerah. Konflik tersebut sudah muncul sejak tahun
2004 ketika wacana penataan kawasan obyek wisata Pantai Parangtritis dimunculkan
oleh Pemerintah Daerah dan sampai saat ini konflik tersebut belum dapat diselesaikan
meskipun berbagai upaya pendekatan telah dilakukan, bahkan cenderung semakin
berkembang dan melibatkan banyak pihak.
Konflik horisontal dan vertikal yang terjadi pada penataan kawasan obyek
wisata Pantai Parangtritis tersebut menarik untuk diteliti sebab program pembangunan
pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat seharusnya
didukung oleh seluruh elemen masyarakat, tetapi faktanya sebagian warga yang
tinggal dan menjalankan usaha di kawasan obyek wisata Pantai Parangtrisis justru
menolaknya dengan berbagai alasan sehingga menimbulkan konflik yang berdampak
langsung pada penurunan kualitas hidup.
21
Berbagai upaya telah dilakukan untuk menyelesaikan masalah tersebut,
namun sampai saat ini belum juga tuntas, bahkan cenderung eskalasinya semakin
meningkat. Berdasarkan uraian tersebut di atas maka peneliti memilih obyek
penelitian konflik horisontal dan vertikal yang terjadi pada penataan kawasan obyek
wisata Pantai Parangtritis ini.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Program penataan kawasan obyek wisata Pantai Parangtritis Kabupaten
Bantul oleh Pemerintah Kabupaten Bantul telah memunculkan konflik horisontal dan
vertikal yang sudah berlangsung relatif lama sejak tahun 2006, oleh karenanya dalam
upaya penyelesaiannya perlu mengadopsi mekanisme alternatif penyelesaian konflik.
Berdasarkan pada latar belakang penelitian baik latar belakang formal maupun
material, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah “Bagaimana upaya
penyelesaian konflik melalui mekanisme alternatif penyelesaian konflik dalam
program penataan kawasan obyek wisata di Pantai Parangtritis Kabupaten
Bantul ?”
Penekanan dalam penelitian ini adalah:
1. Faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya konflik dan faktor pemicu
membesarnya konflik dalam program penataan obyek wisata Pantai
Parangtritis Kabupaten Bantul;
2. Bagaimana proses penyelesaian konflik melalui mekanisme alternatif
penyelesaian konflik dalam program penataan obyek wisata Pantai
Parangtritis Kabupaten Bantul.
22
1.3 BATASAN MASALAH
Untuk membatasi ruang lingkup penelitian agar tidak terlalu luas sehingga
memperjelas fokus pembahasan, maka penulis perlu merumuskan terlebih dahulu
batasan masalah dalam penelitian ini. Adapun permasalahan dalam penelitian ini
dibatasi pada konflik yang timbul sebagai akibat dari kebijakan Peraturan Bupati
Bantul No. 24 tahun 2006, tanggal 16 September 2006 tentang Penataan Kegiatan
Usaha di Kawasan Pantai Parangendog sampai dengan Pantai Parangkusumo Desa
Parangritis Kecamatan Kretek Kabupaten Bantul, yang selanjutnya diperbaharui
dengan Peraturan Bupati Bantul No 26 Tahun 2006, tanggal 4 Oktober 2006 tentang
Perubahan Peraturan Bupati Bantul Nomor 24 Tahun 2006 Tentang Penataan
Kegiatan Usaha di Kawasan Pantai Parangendog sampai dengan Pantai
Parangkusumo Desa Parangtritis Kecamatan Kretek Kabupaten Bantul.
Dengan demikian, konflik yang terjadi sebelum itu atau yang berkenaan
dengan permasalahan lain selain kebijakan penataan kawasan wisata Pantai
Parangtritis tidak termasuk dalam lingkup pembahasan penelitian ini.
1.4 TUJUAN PENELITIAN
Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor
penyebab munculnya konflik serta mekanisme alternatif penyelesaian konflik dalam
program penataan kawasan obyek wisata Pantai Parangtritis Kabupaten Bantul.
Adapun tujuan penelitian secara lebih spesifik adalah sebagai berikut:
1. Mengkaji faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya konflik dan pemicu
membesarnya konflik dalam program penataan obyek wisata Pantai
Parangtritis Kabupaten Bantul;
23
2. Mengkaji proses penyelesaian konflik melalui mekanisme alternatif
penyelesaian konflik dalam program penataan obyek wisata Pantai
Parangtritis Kabupaten Bantul.
1.5 MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini pada dasarnya merupakan upaya untuk pembelajaran yang
diharapkan dapat menambah khasanah ilmu khususnya ilmu kependudukan, yang
menyangkut penyelesaian konflik kaitannya penataan kawasan obyek wisata pantai
dan mewujudkan pembangunan lingkungan pantai yang berkelanjutan. Secara khusus
hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat:
1.5.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan dalam hal:
1. Faktor-faktor penyebab munculnya konflik dan pemicu membesarnya konflik
dalam program penataan kawasan obyek wisata pantai Parangtritis Kabupaten
Bantul;
2. Mengetahui proses penyelesian konflik melalui mekanisme alternatif
penyelesaian konflik dalam program penataan obyek wisata pantai Parangtritis
Kabupaten Bantul.
3. Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi bagi
peneliti-peneliti lain yang akan mengadakan penelitian lebih lanjut mengenai
bidang yang sama, atau yang akan mengadakan penelitian sejenis.
24
1.5.2 Manfaat Praktis
Diharapkan hasil penelitian ini nantinya dapat digunakan sebagai acuan bagi
pemerintah daerah dalam upaya penyelesaian konflik dalam kasus penataan obyek
wisata Pantai Parangtritis.
1.6 KEASLIAN PENELITIAN
Studi mengenai penyelesaian konflik, terutama yang terkait dengan
pengelolaan sumber daya alam, telah banyak dilakukan. Penelitian ini mengacu pada
penelitian-penelitian yang telah dilakukan selama ini seperti terlihat pada Tabel 1.1.
Berdasarkan uraian-uraian yang terdapat dalam tabel tersebut, jelas bahwa penelitian
ini yaitu alternatif penyelesaian konflik dalam kasus penataan kawasan obyek wisata
pantai Parangtritis Kabupaten Bantul adalah berbeda dengan penelitian-penelitian
yang telah dilakukan selama ini. Dengan demikian, menurut pengetahuan penulis
sejauh ini belum ada penelitian-penelitian lain yang sama baik dalam ruang lingkup,
waktu pengamatan, pendekatan serta obyek penelitiannya.
25
No Peneliti (Tahun)
Judul Tujuan Metode Kesimpulan Perbedaan
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) 1 Hensel, et al.
(2006). Conflict Management of Riparian Disputes,
Menggali hubungan antara kelangkaan sumber daya air dan konflik antar negara bagian
Penelitian deskriptif bersifat kualitatif
Kelangkaan sumber daya air yang lebih besar akan meningkatkan kemungkinan konflik dan upaya pihak ketiga penyelesaian damai, sementara institusi mengurangi konflik militer dan meningkatkan efektivitas upaya penyelesaian damai.
Variabel dalam penelitian ini adalah kelangkaan sumber daya air dan institusi negara-negara bagian, sementara konflik yang terjadi adalah konflik militer.
2 Putut Handoko, 2007
Mediasi Konflik Penanganan Kerusakan Pantai (Studi Kasus Penanganan Abrasi Pantai Kuta Bali),
Studi ini dilakukan untuk menelusuri dinamika konflik dan aspek-aspek lingkungan dapat diakomodasikan dalam mediasi.
Penelitian deskriptif bersifat kualitatif
Konflik disebabkan perbedaan kepentingan, nilai serta pemahaman abrasi dan pola penanganannya. Mediasi dilakukan melalui serangkaian pertemuan informal dan formal, melibatkan mediator Kesepakatan final menetapkan penanganan abrasi menggunakan revetment dan sand nourishment yang bersifat ramah lingkungan/tidak berdampak buruk pada pantai.
Ruang lingkup penelitian ini adalah permasalahan abrasi di pantai Kuta, dengan fokus penelitian pada rekonstruksi proses mediasi konflik yang terjadi.
3 Goltsman, M., Horner, J., Pavlov, G., Squintani, F., 2008
Mediation, Arbitration and Negotiation
Membandingkan tiga proses penyelesaian konflik yaitu negosiasi, mediasi, dan arbitrase.
Metode kualitatif dan kuantitatif
Dalam negosiasi, kedua belah pihak terlibat dalam tatap muka dan berkomunikasi, mediasi , para pihak berkomunikasi dengan pihak ketiga yang netral yang membuat rekomendasi yang tidak mengikat. Dalam arbitrase, kedua pihak berkomitmen untuk sesuai dengan rekomendasi pihak ketiga. Kami menemukan bahwa negosiasi unmediated melakukan serta mediasi jika dan hanya jika tingkat konflik antara pihak-pihak dalam skala yang rendah.
Titik berat penelitian ini adalah studi perbandingan tiga proses penyelesaian konflik yaitu mediasi, arbitrase, dan negosiasi.
25
26
4 Kuncaraningrum, 2006
Diskresi Dalam Mekanisme Konflik (Studi Kasus Konflik Batas Wilayah di Blok Sekip UGM, Antara Pemerintah Desa Caturtunggal, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman dan Pemerintah Desa Sinduadi, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman
Mengetahui bagaimana diskresi dalam manajemen konflik batas wilayah antara desa Caturtunggal, Kecmatan Depok dan desa Sinduadi, Kecamatan Mlati Kabupaten Sleman
Metode Kualitatif
Diskresi sangat menentukan dalam proses penyelesaian konflik di Blok Sekip UGM antara pemerintah desa Caturtunggal dan pemerintah desa Sinduadi, dan ketiadaan aturan formal yang tegas mengatur tentang cara penanganan konflik ternyata tidak menjadi kendala dalam proses penyelesaian jika ada pejabat birokrasi berani mengambil diskresi dan lebih beroreintasi kepada kepentingan public
Objek penelitian ini adalah diskresi, sementara sifat konflik adalah konflik tata administrasi pemerintahan yang relatif lebih mudah ditangani