43
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) Pasal 1 ayat (1) menentukan secara tegas menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip terpenting Negara Hukum adalah adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (Equality Before The Law). Oleh karena itu setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Pemidanaan atau penjatuhan pidana terhadap seseorang yang terbukti melakukan tindak pidana bukanlah semata-mata bertujuan untuk pembalasan terhadap perbuatan yang dilakukannya, membuat jera si pelaku ataupun untuk menakuti orang lain supaya tidak melakukan hal yang sama. Tujuan yang lebih penting adalah upaya untuk menyadarkan narapidana agar menyesali perbuatannya, dan mengembalikannya menjadi warga masyarakat yang baik dan berguna, taat kepada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial dan keagamaan, sehingga tercapai kehidupan masyarakat yang aman, tertib dan damai, sehingga dapat kembali ke masyarakat agar menjadi masyaraka yang baik dan berguna, sehingga dapat di terima dalam kehidupan bermasyarakat. 1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.pdf · kembali oleh masyarakat dan tidak lagi ... dalam tingkat penyidikan, penyelidikan, penangkapan, ... Negara dan kejahatan hak

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI

1945) Pasal 1 ayat (1) menentukan secara tegas menyebutkan bahwa Negara

Indonesia adalah Negara Hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu

prinsip terpenting Negara Hukum adalah adanya jaminan kesederajatan bagi setiap

orang di hadapan hukum (Equality Before The Law). Oleh karena itu setiap orang

berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta

perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Pemidanaan atau penjatuhan pidana terhadap seseorang yang terbukti

melakukan tindak pidana bukanlah semata-mata bertujuan untuk pembalasan

terhadap perbuatan yang dilakukannya, membuat jera si pelaku ataupun untuk

menakuti orang lain supaya tidak melakukan hal yang sama. Tujuan yang lebih

penting adalah upaya untuk menyadarkan narapidana agar menyesali perbuatannya,

dan mengembalikannya menjadi warga masyarakat yang baik dan berguna, taat

kepada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial dan keagamaan, sehingga

tercapai kehidupan masyarakat yang aman, tertib dan damai, sehingga dapat kembali

ke masyarakat agar menjadi masyaraka yang baik dan berguna, sehingga dapat di

terima dalam kehidupan bermasyarakat.

1

Pembinaan di Rumah Tahanan Negara (selanjutnya disingkat RUTAN) dan di

Lembaga Pemasyarakatan (selanjutnya disingkat LAPAS) merupakan sistem

pemenjaraan yang pada awalnya menekankan pada unsur balas dendam dan

penjeraan, namun sistem pemenjaraan yang menekankan pada unsur balas dendam

dan penjeraan tersebut, kini dipandang tidak lagi sejalan dengan konsep rehabilitasi

dan reintegrasi sosial yang bertujuan untuk menjadikan narapidana dapat diterima

kembali oleh masyarakat dan tidak lagi mengulangi kesalahan yang dilakukannya.

Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan

(selanjutnya disingkat UU Pemasyarakatan), menyatakan bahwa :

“Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga

Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan,

memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima

kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan,

dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.”

Penghukuman bukan hanya untuk melindungi masyarakat semata, melainkan

harus pula berusaha membina si pelanggar hukum. Pelanggar hukum tidak lagi

disebut penjahat, melainkan orang yang tersesat. Seseorang yang tersesat dapat

bertaubat, dan ada harapan berhasil dibina dengan sistem pembinaan yang diterapkan

kepadanya. Pemasyarakatan dinyatakan sebagai suatu sistem pembinaan terhadap

para pelanggar hukum bertujuan untuk mencapai reintegrasi sosial atau pulihnya

kesatuan hubungan antara Warga Binaan Pemasyarakatan/Narapidana dengan

masyarakat. Narapidana adalah anggota masyarakat yang karena kesalahannya telah

melanggar hukum dan nantinya apabila telah selesai menjalani pidananya akan

menjadi anggota masyarakat.

Narapidana yang menjalani masa hukuman di Rutan/Lapas sering kali

dianggap tidak mempunyai hak apapun. Mereka sering diperlakukan secara tidak

manusiawi karena mereka dianggap telah melakukan suatu kesalahan ataupun

kejahatan sehingga perbuatan mereka harus dibalas di Rutan/Lapas.

UU Pemasyarakatan menjamin hak-hak Narapidana yaitu sesuai dengan

ketentuan Pasal 14 yang menytkn bahwa:

“Warga binaan berhak mendapatkan pengurangan masa pidana atau Remisi,

Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga serta Pembebasan Bersyarat dan Cuti

Menjelang Bebas.

Dalam pembinaan narapidana salah satu wujud berupa proses “pembebasan

bersyarat”, yaitu pengembalian narapidana kepada masyarakat (pembebasan

narapidana) agar menjadi orang yang baik dan berguna asalkan memenuhi syarat-

syarat tertentu sebelum ia selesai menjalani masa pidananya. Bagi narapidana yang

diberikan pembebasan bersyarat menurut ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP) harus telah memenuhi syarat-syarat tertentu, baru kemudian dilepas

ke masyarakat yang telah menyatakan siap menerimanya.

Bagi narapidana yang dianggap telah memenuhi syarat-syarat tertentu,

mempunyai kemungkinan dapat dikabulkannya permohonan pembebasan

bersyaratnya sebelum habis masa pidananya. Narapidana yang dikabulkan

permohonan pembebasan bersyaratnya harus menjalani masa percobaan, yaitu selama

sisa pidananya yang belum dijalani ditambah satu tahun. Masa percobaan ini

merupakan masa peralihan dari kehidupan yang serba terbatas menuju kehidupan

bebas sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab

Aturan-aturan yang dimaksudkan itu di dalam bentuk peraturan hukum yang

bersifat mengatur dan memaksa bertujuan untuk menjamin adanya kepastian hukum

dalam masyarakat dan hukum itu harus pula bersendikan pada keadilan, yaitu asas-

asas keadilan dari masyarakat itu sendiri, karena memang dari awalnya bahwa aturan-

aturan hukum yang diadakan itu atas kehendak dan keinsyafan tiap-tiap anggota

masyarakat itu sendiri. Dalam sistem pemasyarakatan yang menyangkut tata

perlakuan narapidana .Baik yang diberikan pembinaan di dalam lembaga

Pemasyarakatan maupun yang mendapat pembinaan di luar tembok Lembaga

Pemasyarakatan, narapidana mempunyai ruang gerak kebebasan serta hubungan

dengan masyarakat luar negeri dan terbatas dengan adanya peraturan-peraturan yang

ketat serta tembok yang tinggi dan tebal yang membatasi, sedangkan pembinaan di

luar tembok Lembaga Pemasyarakatan banyak memberikan kebebasan begerak dan

berhubungan dengan masyarakat luas.

Sudah menjadi kebijaksanaan pemerintah dimana dalam mengenai suatu

tindak pidana, Pemerintah tidak hanya cukup bertindak dalam tingkat penyidikan,

penyelidikan, penangkapan, penuntutan, pemeriksaan pada persidangan, penjatuhan

keputusan dan pelaksanaan keputusan pengadilan, akan tetapi pengupayaan

bagaimana pelaksanaan pengembaliannya kepada masyarakat dengan keadaan yang

lebih baik dari pada keadaan sebelumnya.

Kalau di i Amerika Serikat, disana polisi adalah yang melakukan penyidikan.

Tetapi dalam hal-hal tertentu jaksa atau publik alterney dapat juga melakukan

penyidikan terhadap suatu Tindak Pidana. Hal ini terlihat dalam :

”The prosecuting alterney is the key law enforcement of ficer in the particular

area over the patentialition of the office are limited onlt by the entelligence, skill

and legal and capasity of the incumbent in the formidable lis of duties often

assigned to their public official, the interest of the states is almost entirely in his

hands. He is a quasi yudicial officier to who determines from his own

investigation, or evidence submited to him by police or other, whether a criminal

effences has been commuted.1

R.A. Koesnoen mengatakan :

"Narapidana adalah anggota masyarakat, berasal dari masyarakat, merugikan

masyarakat, tetapi juga sedikit banyak ada kesalahan dari masyarakat sendiri dan

kembali ke rriasyarakat". 2

Narapidana yang menjalani masa hukuman di Rutan/Lapas sering kali

dianggap tidak mempunyai hak apapun. Mereka sering diperlakukan secara tidak

manusiawi karena mereka dianggap telah melakukan suatu kesalahan ataupun

kejahatan sehingga perbuatan mereka harus dibalas di Rutan/Lapas.

Dalam pembinaan narapidana salah satu perwujudannya berupa proses

“pembebasan bersyarat”, yaitu pengembalian narapidana kepada masyarakat

(pembebasan narapidana) agar menjadi orang yang baik dan berguna asalkan

memenuhi syarat-syarat tertentu sebelum ia selesai menjalani masa pidananya. Bagi

narapidana yang diberikan pembebasan bersyarat menurut ketentuan Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (KUHP) harus telah memenuhi syarat-syarat tertentu, baru

kemudian dilepas ke masyarakat yang telah menyatakan siap menerimanya.

Bagi narapidana yang dianggap telah memenuhi syarat-syarat tertentu,

mempunyai kemungkinan dapat dikabulkannya permohonan pembebasan

1 Paul B. Weston Kenneth M. Wells, 1972, Law Enforcement an Criminal Justice, Pasific

Palisades : goodyer publishing company, hal,164 2

Kaedoen, R.A. 1961, Politik Pendjara Nasional, Bandung, Sumur Bandung, hal. 15.

bersyaratnya sebelum habis masa pidananya. Narapidana yang dikabulkan

permohonan pembebasan bersyaratnya harus menjalani masa percobaan, yaitu selama

sisa pidananya yang belum dijalani ditambah satu tahun. Masa percobaan ini

merupakan masa peralihan dari kehidupan yang serba terbatas menuju kehidupan

bebas sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.

Pemberian pembebasan bersyarat merupakan salah satu sarana hukum dalam

rangka mewujudkan tujuan sistem pemasyarakatan. Hak warga binaan

pemasyarakatan mendapatkan pembebasan Bersyarat. Dalam memberikan

pembebasan bersyarat diatur dalam Undang-undang No. 12 Tahun 1995 tentang

UU Pemasyarakatan menjamin hak-hak Narapidana yaitu sesuai dengan

ketentuan Pasal 14 yang berbunyi bahwa: Warga binaan berhak mendapatkan

pengurangan masa pidana atau Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga serta

Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas.

Antara UU No. 12 Tahun 1995 Pasal 14 dengan Peraturan Pemerintah No. 99

tahun 2012 Pasal 43 A terjadi konflik norma, disatu sisi memberika pembebasa

bersyarat adalah mutlak sedagkan di sisi lain ada persyaratan yang harus di lalui.

Sedangkan Peraturan Pemerintah No. 99 tahun 2012 terdapat konflik norma terutama

Pasal 43 dalam memberikan pembebasan bersyarat. Di antara Pasal 43 dan Pasal 44

disisipkan 2 (dua) Pasal, yakni Pasal 43A dan Pasal 43B

Pasal 43

1. Setiap Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan kecuali Anak Sipil, berhak

mendapatkan Pembebasan Bersyarat;

2. Pembebasan Bersyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan apabila

telah memenuhi persyaratan sebagai berikut :

a. Telah menjalani masa pidana sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) dengan

ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut tidak kurang dari 9

(Sembilan) bulan;

b. Berkelakuan baik selama menjalani masa pidana sekurang-kurangnya 9

(Sembilan) bulan terakhir dihitung sebelum tanggal 2/3 (dua per tiga) masa

pidana;

c. Telah mengikuti program pembinaan dengan baik, tekun, dan bersemangat;

dan

d. Masyarakat dapat menerima program kegiatan pembinaan narapidana.

3. Pembebasan Bersyarat bagi anak Negara diberikan setelah menjalani

pembinaan sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun;

4. Pemberian Pembebasan Bersyarat ditetapkan dengan Keputusan menteri;

5. Pembebasan Bersyarat dicabut jika Narapidana atau Anak Didik

Pemasyarakatan melanggar persyaratan Pembebasan Bersyarat sebagaimana

dimaksud pada ayat

Di antara Pasal 43A dan Pasal 43B yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 43A menyebukan

1. Pemberian Pembebasan Bersyarat untuk Narapidana yang dipidana karena .

melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan precursor narkotika,

psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan Negara dan kejahatan hak

asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya,

selain harus memenuhi persyaratan.

2. Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana narkotika dan

precursor narkotika, psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya

berlaku terhadap Narapidana yang dipidana dengan pidana penjara paling

singkat 5 (lima) tahun;

Pasal 43B

1. Pembebasan Bersyarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43A ayat (1)

diberikan oleh Menteri setelah mendapatkan pertimbangan dari Direktur

Jenderal Pemasyarakatan;

2. Direktur Jenderal Pemasyarakatan dalam memberikan pertimbangan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperhatikan kepentingan

keagamaan, ketertiban umum, dan rasa keadilan masyarakat;

3. Direktur Jenderal Pemasyarakatan dalam memberikan pertimbangan

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib meminta rekomendasi dari

instansi terkait, yakni:

a. Kepolisian Negara Republik Indonesia, Badan Nasional Penanggulangan

Terorisme, dan/atau Kejaksaan Agung dalam hal Narapidana dipidana

karena melakukan tindak pidana terorisme, kejahatan terhadap keamanan

Negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat dan/atau kejahatan

transnasional terorganisasi lainnya;

b. Kepolisian Negara Republik Indonesia, Badan Narkotika Nasional,

dan/atau Kejaksaan Agung dalam hal Narapidana dipidana karena

melakukan tindak pidana narkotika dan precursor narkotika, psikotropika;

dan

c. Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Agung, dan/atau

Komisi Pemberantasan Korupsi dalam hal Narapidana dipidana karena

melakukan tindak pidana korupsi.

4. Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan secara

tertulis oleh instansi terkait dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas)

hari kerja sejak diterimanya permintaan rekomendasi dari Direktorat Jenderal

Pemasyarakatan;

5. Dalam hal batas waktu sebagai mana dimaksud Pasal (4) instansi terkait tidak

menyampaikan rekomendasi secara tertulis, Direktur Jenderal

Pemasyarakatan menyampaikan pertimbangan Pembebasan Bersyarat kepada

Menteri;

6. Ketentuan mengenai tata cara pemberian Pembebasan Bersyarat sebagaimana

dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.

Syarat dan Tata cara pelaksanaan hak-hak tersebut telah diatur secara lengkap

dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor: M.2.PK.04-10

Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan

Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat. Hak-hak yang tertuang dalam

Pasal 14 Undang-Undang Pemasyarakatan tersebut di atas diberikan terhadap para

narapidana yang telah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) masa

pidananya minimal 9 (sembilan) bulan.

Dalam kajian Pasal tersebut diatas kalau dikaitkan dengan permasalahan yang

ada dalam lembaga pemasyarakatan sesuai dengan Pasal 43 B bahwa pemberian

pembebasan bersyarat oleh Menteri Hukum dan HAM kepada Corby seorang

terpidana tindak pidana narkotika, terpdana Corby telah menjalankan pidananya

sesuai dengan ketentuan Undang-undang 2/3 dari seluruh masa pidananya.

Beranjak dari hal tersebut penulis merasa tertarik untuk mengangkat tesis ini

dengan judul “PEMBERIAN PEMBEBASAN BERSYARAT BAGI

NARAPIDANA”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan tersebut, maka timbul

permasalahan yaitu :

1. Bagaimana Pengaturan Pembebasan bersyarat kepasa Narapidana dalam hukum

positif di Indonesia ?

2. Bagaimana idealnya Pembebasan bersyarakat kedepannya ?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Pembebasan Bersyarat adalah merupakan bagian dari sistem Pemasyarakatan

yang merupakan satu pembinaan yang dilakukan di luar tembok Lembaga

Pemasyarakatan (extramular) dan merupakan pembinaan lanjutan dari pembinaan di

dalam tembok Lembaga Pemasyarakatan (intra mullar) adapun yang menjadi inti-sari

tujtian pemerintah memberikan Persyaratan Pembebasan Bersyarat adalah :

1. Menjauhkan tersalah dari rumah penjara.

2. Mempercepatkan dapatnya si terhukum keluar dari rumah penjara.

3. Mengembalikan bekas orang hukuman di dalam penghidupan masyarakat

sebagai sediakala. 3

Untuk berhasilnya usaha Pemerintah di dalam memberikan Pembebasan

Bersyarat kepada terpidana, diperlukan adanya suatu pengawasan, baik pengawasan

yang hersifat umum maupun pengawasan yang bersifat khusus atau istimewa.

Adapun salah satu lembaga atau instansi yang berwenang untuk pengawasan

tersebut adalah kejaksaan Negeri. Meskipun fokus pembahasan hanya terbatas pada

Peranan, Jaksa Dalam, Pengawasan Terpidana Dengan Pembebasan Bersyarat namun

dalam tesis ini akan dihahas pemberian pembebsan bersyarat oleh Menteri Hukum

dan HAM dan syarat untuk pemberian pembebasan bersyarat di Lembaga

Pemasyarakatan oleh Menteri Hukum dan HAM .

Sedangkan tugas dan wewenang dari jaksa sebagai penuntut umum dapat

dilihat dalam ketentuan Pasal 14 KUHAP, jika kita menengok ke Amerika Serikat

maka terlihat disana adalah bahwa posisi jaksa / penuntut umum merupakan fungsi

sentral dalam penegakan hukum. Mereka-mereka ini adalah orang-orang yang ahli

hukum dan dia dapat menentukan apakah perkara tersebut akan dilanjutkan atau

tidak, dia dapat terjun langsung dalam hal penyidikan tetapi dalam hal-hal tertentu.

Hal itu dapat dilihat dalam tulisan Weston dan Wells :

3 Tondokoesoemo,S. 1952, Reklasering, Pengurus Besar Sarekat Sekerdja Kependjaraan,

Jakarta, hal. 7.

”The Prosecuting is the key law enforcement of fices in the particular are over

which he has yurisdiction. In this are the patentialites of the office are limmeted

only by the intelligence, skill, and legal and political capacity of the incumbent.

In the formidable list of duties often assigned to this public official, the interest of

the states is almost entirely in his hand. He is a quasi jiducal officus who

determines from is own ivestigation, or evidence sub mitted to him by police or

other, whether a criminal offences has been commited.4

Artinya : Penuntut umum merupakan Pejabat Penegak Hukum penting dalam daerah

khusus yang menjadi wilayah hukumnya. Dalam daerah ini penutut umum hanya

dibatasi oleh kecerdasan, kecakapan dan kemampuan pengetahuan hukum serta

politik pejabat tersebut. Hampir seluruh kepentingan negara ada ditangannya. Dia

adalah pejabat kuasa hukum yang menentukan apakah delik telah dilakukan

penyidikan.

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

a. Untuk mengetahui mekanisme atau tata kerja di dalam pengawasan oleh Jaksa

terhadap terpidana yang mendapatkan pembebasan bersyarat disamping

berusaha untuk mengungkapkan lebih jauh bagaimana peranan Jaksa di dalam

pelaksanaan tugas pengawasan.

b. Ingin mengetahui sejauh mana sikap dan prilaku para penegak hukum serta

kemampuannya dalam rangka meningkatkan citra dan wibawa hukum serta

aparat, penegak hukum sesuai dengan fiungsi dan wewenangnya.

4 Paul B. westone Kenneth in Weels, 1972, Law Enforcement and Criminal Justice, Pasific

Polisades Goodyear, Publishing Company, page.164

1.4.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui Pengaturan hukum pembebasan bersyarat kepasa

Narapidana dalam hukum positif di Indonesia

2. Untuk mengetahui idealnya pembebasan bersyarakat kedepannya.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis kalai dikaji dari aspek keilmuan dalam dunia akademis

sebagai penambahan wawasan ilmu hokum khususnya Pengaturan hukum

pembebasan bersyarat kepasa Narapidana dalam hukum positif di Indonesia dan

idealnya pembebasan bersyarakat kedepannya

1.5.2 Manfaat Praktis

Manfaat praktis adalah memberikan konsep pemikiran tentang keberadaan

peraturan perundang-undangan yang mengatur tenteng Pembebasan Beryarat.

1.6 Originalitas Penelitian

Berdasarkan informasi yang ada dan dari penelusuran yang dilakukan di

Kepustakaan Pasca Sarjana Universitas Udayana dan beberapa Universitas maka

penelitian dengan judul Kewenangan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak

Asasi Manusia dalam pemberian Asimilasi bagi Narapidana sesuai Undang-Undang

No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan belum pernah ada yang melakukan

penelitian sebelumnya akan tetapi, pernah ada yang meneliti tentang sistem

Pemasyarakatan yang di lakukan oleh saudara Ketut Sandiasa Mahasiswa Sekolah

Pasca Sarjana Universitas Udayana Nim. 9913056124 dengan judul Subkultur

Narapidana dalam proses pembinaan Narapidana dengan sisitem Pemasyarakatan

(penelitian di lembaga pemasyarakatan kelas II a Denpasar), Rumusan Masalah : (1)

Apakah transpormasi kebiasaan-kebiasaan serta budaya dalam pendidikan penjara

dapat berpengaruh terhadap keberhasilan pembinaan Narapidana, (2) Apakah dalam

sisitim pembinaan Narapidana klsifikasi sistim kepenjaraan masih dipergunakan

sebagai pedoman dasar dalam melakukan pembinaan terhadap Narapidana. Tentang

sistim Pemasyarakatan penelitian pernah juga di lakukan oleh saudara I Made Rai

Mardingga Nim. 0590561008 dengan judul pelaksanaan Pidana Penjara dengan

sisitim Pemasyaraktan (suatu studi di lembaga pemasyarakatan Denpasar) Rumusan

Masalah (1) Bagaimanakah pelaksanaan pidana penjara dengan sisitim

pemasyarakatan kelas IIa Denpasar (2) Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi

pelaksanaan Pidana Penjara dengan sisitim Pemasyarakatan di lembaga

Pemasyarakatan kelas IIa Denpasar.

Selain Universitas Udayana di Universitas lainnya di Universitas Negeri

Semarang oleh Tiwan Setiawan, Nim. 3401401026 dengan judul Model Pembinaan

Narapidana di lembaga pemasyarakatan kelas II Semarang. Permasalahan yang di kaji

dalam penelitian ini adalah : (1) Bagaimanakah pembinaan yang dilakukan terhadap

Narapidana di lembaga pemasyarakatan kelas II Semarang, (2) Bagaimanakah

efektifitas yang di lakukan terhadap Narapidana di lembaga pemasyarakatan kelas II

Semarang, (3) Faktor apa saja yang menghambat proses pembinaan terhadap

Narapidana di pemasyarakatan kelas II Semarang.

Dengan melihat beberapa judul penelitian di bebrapa Universitas, bahwa judul

penelitian ini berbeda sehingga dapat di katakana bahwa penelitian ini dapat dijamin

keasliannya dan dapat dipertanggungjawabkan dari segi isinya.

1.7 Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir

1.7.1 Landasan Teoritis

Sebagai acuan dalam penulisan tesis ini ada beberapa teori yang sangat

relevan dipergunakan adalah :

1. Konsep Negara Hukum

Suatu Negara dapat dikatakan sebagai negara hukum “rechstaat” menurut

Burkens, (sebagaimana dikutip Yohanes Usfunan) apabila memenuhi syarat-syarat:5

1. Asas legalitas. Setiap pihak pemerintahan harus didasarkan atas peraturan

perundang-undangan (wettelijke gronslag). Dengan landasan ini, undang-

undang dalam arti formil dan undang-undang sendiri merupakan tumuan

dasar tindak pemerintahan. Dalam hubungan ini pembentukan undang-

undang merupakan bagian penting Negara hukum.

5 Burkens, M.C., et.al. 1990, Beginselen van de Democratiche Rechtasstaat, Dalam Yohanes

Usfunan, 1988, Kebebasan Indonesia, Disertasi dalam meraih Doktor pada Program Pasca Sarjana

UNAIR Surabaya, hal.111.

2. Pembagian kekuasaan. Syarat ini mengandung makna bahwa kekuasaan

negara tidak boleh hanya bertumpu pada satu tangan.

3. Hak-hak dasar (grondrechten), merupakan sasaran perlindungan diri

pemerintahan terhadap rakyat dan sekaligus membatasi kekuasaan

pembentuk undang-undang.

4. Pengawasan pengadilan bagi rakyat tersedia.

Dalam konsep negara hukum seperti yang dinyatakan dalam Pasal 1 (3)

Undang-Undang Dasar 1945 bahwa Indonesia merupakan negara hukum, penguasa

Negara dan pemerintah sesunguhnya hanyalah pelaksana dari hukum, baik yang

diciptakan oleh negara sendiri maupun oleh rakyat sendiri. Oleh karena itu siapapun

yang malakukan pelanggaran hukum harus dikenakan sanksi hukum, baik

penyeienggara Negara/Pemerintah termasuk para penegak hukum itu sendiri, maupun

masyarakat harus dikenakan sangsi hukum. Jadi dalam suatu negara hukum, tidak ada

seseorang pun yang kebal akan hukum, baik anggota masyarakat maupun

penyeienggara pemerintahan, serta para penegak hukumnya.

Itulah konsep equality before the law (persamaan didepan hukum) dalam

konsep rule of law. Konsep rule of law itu sendiri seperti diterangkan oleh A.V

Dicey, memiliki unsur utama yaitu : supremacy of law, equality before the law dan

the constiution based on individual right.6

Unsur pertama, yaitu supremacy of law atau supremasi hukum, di Inggris

tempat dicetuskannya konsep tersebut merupakan hal yang tidak dapat ditawar-tawar

6 Azhary, 1995, Negara Hukum Indonesia, UI Press, Jakarta, hal. 20.

lagi, hal ini merupakan unsur yang diperjuangkan rakyat inggris lebih awal jika

dibandingkan dengan negar-negara barat lainnya.

Unsur kedua, yaitu equality before the law atau persamaan di depan hukum.

Semua warga baik selaku pejabat negara maupun sebagai individu biasa tunduk pada

hukum dan di adili di pengadilan biasa yang sama. Jadi setiap warga negara sama

kedudukannya di hadapan hukum dan apabila melanggar hukum baik secara individu

maupun selaku pejabat negara, ia akan diadili dengan hukum yang sama dan dalam

pengadilan yang sama pula.

Unsur ketiga, yaitu constiution based on individual right, disini tidak seperti

yang umum terdapat di negara lain yang berupa sebuah dokumen yang disebut

constition atau Undang-undang dasar, melainkan constition disini menunjuk pada

sejumlah dokumen yang isinya bersifat fundamental.7

Dalam konsep negra hukum, penguasa Negara dan pemerintah sesunguhnya

hanyalah pelaksana dari hukum, baik yang diciptakan oleh negara sendiri maupun

oleh rakyat sendiri. Oleh karena itu siapapun yang malakukan pelanggaran hukum

harus dikenakan sangsi hukum, baik penyelenggara Negara/Pemerintah termasuk para

penegak hukum itu sendiri, maupun masyarakat harus dikenakan sangsi hukum. Jadi

dalam suatu negara hukum, tidak ada seseorang pun yang kebal akan hukum, baik

anggota masyarakat maupun penyelenggara pemerintahan, serta para penegak

hukumnya.

7 Azhary, 1995, Negara Hukum Indonesia, UI Press, Jakarta. hal. 51.

Konsep rule of law bukan satu-satunya konsep negara hukum, selain itu masih

banyak konsep negara hukum dari negara-negara lain yang dikenal dengan konsep

Rechsstaat. Pemahaman mengenai negara hukum dengan konsep rule of law

umumnya berkembang di negara-negara eropa kontinental, pemahaman terhadap

negara hukum mengikuti konsep rechsstaat. Konsep rechsstaat menurut beberapa

sarjana dikenal dengan ciri-ciri sebagai berikut:

1. Menurut Friedich Julius Stahl, rechsstaat memiliki unsur utama,8 sebagai

berikut:

a. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia,

b. Pemisahan kekuasaan berdasarkan prinsip Trias Politika,

c. Penyelenggaraan Pemerintah menurut Undang-undang (wetmatig

bestuur), dan

d. Adanya peradilan administrasi negara.

2. Menurut Scheltema, unsur utama rechsstaat,9 meliputi:

a. Kepastian hukum,

b. Persamaan,

c. Demokrasi, dan

d. Pemerintahan yang melayani kepentingan umum.

8 Ibid, hal. 66.

9 Ibid, hal. 66.

3. Menurut H.D.Van Wijk dan Konijnenbelt10

, dengan unsur utama :

a. Pemerintahan menurut hukum (wetmatig bestur);

b. Hak-hak asasi,

c. Pembagian kekuasaan, dan

d. Pengawasan oleh kekuasaan peradilan.

4. Menurut zippenlius, unsur utama negara hukum adalah :

a. Pemerintahan menurut hukum,

b. Jaminan terhadap hak-hak asasi,

c. Pembagian kekuasaan dan

d. Pengawasan yustisial terhadap pemerintah.

Selanjutnya Bagir Manan mengemukakan ciri-ciri minimal dari negara yang

berdasarkan hukum,11

yaitu :

1. Semua tindakan harus berdasarkan hukum.

2. Ada ketentuan yang menjamin hak-hak dasar dan hak-hak lainnya

3. Ada kelembagaan yang bebas untuk meniliai perbuatan penguasa terhadap

masyarakat (badan peradilan yang bebas)

4. Adanya pembagian kekuasaan.

Selain itu Sri Soemantri juga mengungkapkan bahwa unsur-unsur yang

terpenting dari negara hukum ada 4,12

yaitu :

1. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus

berdasarkan hukum.

2. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia

3. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara.

4. Adanya pengawasan dan badan-badan peradilan (Rechterlijke Controle)

10

Hamid S Attamimi, A.1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam

Penyelenggaraan Pemerintah Negara, Disertasi, Universitas Indonesia, hal. 311. 11

Bagir Manan; tanggal 3 September 1994, h.19; Dasar- dasar Sistem Ketatanegaraan

Indonesia Menurut UUD 1945; Makalah Ilmiah Disampaikan Pada Mahsiswa Pasca Sarjana UNPAD,

Tahun 1994-1995, di Bandung. 12

Sri Soemantri M; 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni Bandung,

hal. 29.

Demikian pula seperti yang diunkapkan oleh Philipus M. Hadjon yang

mendasarkan diri pada sifat-sifat liberal dan demokratis yang dikemukakan oleh S.W.

Couwenberg berpendapat bahwa ciri-ciri rechsstaat,13

adalah :

1. Adanya Undang-Udang Dasar atau konstitusi yang memuat ketentuan

tertulis tentang hubungan antara penguasa dan rakyat.

2. Adanya pembagia kekuasaan negara yang meliputi kekuasaan pembuat

undang-undang yang ada pada parlemen, kekuasaan kehakiman yang bebas

yang tidak hanya menangani sengketa antara individu rakyat tetapi juga

antara penguasa dan rakyat, dan pemerintah yang mendasarkan

tindakannya atas Undang-undang.

3. Diakui serta dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat.

Ditambahkan oleh Philipus M Hadjon, bahwa atas ciri-ciri tersebut diatas,

maka rechsstaat adalah pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia

yang bertumpu pada prinsip kebebasan dan persamaan.

Negara Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila. Hal ini berarti

bahwa setiap tindakan pemerintah dalam menjalankan tugas dan wewenangnya harus

didasarkan pada norma-norma hukum yang berlaku, baik yang tertulis maupun yang

tidak tertulis. Seperti yang tersirat dalam Pasal 1 ayat (3) amandemen UUD 1945

menyatkan bahwa " Negara Indonesia adalah negara Hukum". Sehingga jika

dikaitkan deng ruang lingkup Pengadilan Pajak maka secara filosofis konstitusional

jelas di nyatakan bahwa Indonesia menganut prinsip Negara Hukum yang dinamis

13

Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Bina Ilmu,

Surabaya, hal. 76.

atau welfare state (negara kesejahteraan), sebab negara wajib menjamin kepastian

hukum serta kesejahteraan sosial masyarakat.14

Relevansi dari konsep ini dengan obyek penelitian ini adalah unsur pertama

asas legalitas dan perlindungan HAM (Hak Asasi Manusia). Dalam kaitan ini asas

legalitas berkaitan dengan kepastian atas peranan kejaksaan dalam melakukan

pengawasan narapidana yang mendapatkan pembebasan bersyarat yang diakui

berdasarkan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan asas legalitas tersebut,

maka akan memberikan proteksi terhadap kepemilikan akta jaminan fidusia individu

maupun badan hukum sebagai perwujudan HAM.

Bagir Manan, lebih lanjut mengetengahkan ciri-ciri minimal Negara hukum

sebagai berikut:15

1. Semua tindakan harus berdasarkan hukum.

2. Ada ketentuan yang menjamin hak-hak dasar dan hak-hak lainnya.

3. Ada kelembagaan yang bebas untuk menilai perbuatan penguasa terhadap

masyarakat (badan peradilan yang bebas).

4. Adanya pembagian kekuasaan.

Negara Indonesia adalah Negara Hukum (rechstaat) berdasarkan Pancasila.

Ini berarti bahwa setiap tindakan pemerintah dalam menjalankan tugas dan

14

Marbun, S.F.Moh.Mahfud MD, 2000, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Cet.Kedua,

Liberty, Yogyakarta, hal. 52. 15

Bagir Manan; tanggal 3 September 1994, Dasar-Dasar Sistem Ketatanegaraan Indonesia

Menurut UUD 1945, Makalah disampaikan kepada Mahasiswa Pasca Sarjana, Unpad, Tahun 1994-

1995, di Bandung. hal.19.

wewenangnya harus didasarkan pada norma-norma hukum yang berlaku, baik yang

tertulis maupun yang tidak tertulis.

Secara konstitusional Negara Indonesia adalah Negara Hukum, yang diketahui

dalam Pasal 1 ayat (3) Amandemen UUD 1945 bahwa “Negara Indonesia adalah

Negara hukum”. Dengan demikian semua tindakan pemerintahan harus menurut

hukum yang dalam hal ini, pendaftaran akta jaminan fidusia harus sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Teori tentang Penegakan Hukum

Menurut Badudu dan Zain dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia efektivitas

berarti keefektifan, keefektifan artinya sifat atau keadaan efektif. Efektif artinya

mulai berlaku (tentang undang-undang), jadi efektivitas adalah sifat atau keadaan

mulai berlakunya undang-undang.16

Demikian pula dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan, bahwa

efektivitas berarti keefektifan. Keefektifan artinya hal mulai berlakunya (tentang

undang-undang, peraturan), jadi efektivitas adalah hal mulai berlakunya undang-

undang atau peraturan.17

Soerjono Soekanto mengemukakan, bahwa inti dan arti penegakan hukum,

secara konsepsional terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang

16

Badudu, J,S dan Sutan Muhammad Zain, 2001, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Sinar

Harapan, Jakarta, hal. 371 17

Departemen Pendidikan Nasional, 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai

Pustaka, Jakarta, hal. 284.

terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap

tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan,

memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.18

Berbicara efektivitas hukum Soerjono Soekanto berpendapat, bahwa “salah

satu fungsi hukum baik sebagai kaidah maupun sebagai sikap tindak atau perilaku

teratur adalah membimbing perilaku manusia. Masalah penegakan hukum tidak

hanya terbatas pada timbulnya ketaatan atau kepatuhan pada hukum, tapi mencakup

efek total dari hukum terhadap sikap tindak atau perilaku baik yang bersifat positif

atau negatif.19

Ketaatan seseorang berperilaku sesuai harapan pembentuk undang-undang,

Friedman menyatakan bahwa20

:

Compliance is, in other words, knowing conformity with a norm or command, a

deliberate instance of legal behavior that bens toward the legal act that evoked it.

Compliance and deviance are two poles of a continuum. Of the legal behavior

frustrates the goals of a legal act, but falls short of noncompliance or, as the case

may be, legal culpability.

Berdasarkan pendapat Friedman tersebut bahwa pengaruh hukum terhadap

sikap tindak atau perilaku, dapat diklasifikasikan sebagai ketaatan (compliance),

ketidaktaatan atau penyimpangan (deviance) dan pengelakan (evasion). Konsep-

18

Soerjono Soekanto I, loc. cit. 19

Siswantoro Sunarso, 2004, Penegakan Hukum Psikotropika dalam Kajian Sosiologi Hukum,

Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 88. 20

Lawrence, Friedman M., The Legal System A Social Science Perspective, Russell Sage

Foundation, New York, 1975, dalam Siswantoro Sunarso, 2004, Penegakan Hukum Psikotropika

dalam Kajian Sosiologi Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 88.

konsep ketaatan, ketidaktaatan atau penyimpangan dan pengelakan berkaitan dengan

hukum yang berisikan larangan atau suruhan.21

Masalah pokok penegakan hukum terletak pada faktor-faktor yang mungkin

mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga

dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Adapun faktor-

faktor yang mempengaruhi penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto, yaitu :

a) Faktor hukumnya sendiri, seperti pada undang-undang.

b) Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun

menerapkan hukum.

c) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

d) Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau

diterapkan.

e) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan

pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.22

Kelima faktor di atas saling berkaitan erat satu dengan yang lainnya, karena

merupakan esensi dari penegakan hukum dan merupakan tolok ukur daripada

efektivitas penegakan hukum.

Faktor hukumnya sendiri, seperti pada undang-undang merupakan faktor

pertama yang menjadi tolok ukur dari efektivitas penegakan hukum. Undang-undang

dalam arti material adalah peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh

Penguasa Pusat maupun Daerah yang sah. Gangguan terhadap penegakan hukum

yang berasal dari undang-undang, dapat disebabkan23

:

21

Siswantoro Sunarso, loc.cit. 22

Soerjono Soekanto I, op.cit., hal. 8. 23

Soerjono Soekanto I, op.cit., hal. 17-18.

a) tidak diikutinya asas-asas berlakunya undang-undang, seperti undang-undang

tidak berlaku surut (artinya undang-undang hanya boleh diterapkan terhadap

peristiwa yang disebut di dalam undang-undang tersebut dan terjadi setelah

undang-undang dinyatakan berlaku;

b) belum adanya peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkan untuk

menerapkan undang-undang (adanya berbagai undang-undang yang belum

juga mempunyai peraturan pelaksanaan, padahal di dalam undang-undnag

tersebut diperintahkan demikian);

c) ketidakjelasan arti kata-kata di dalam undang-undang yang mengakibatkan

kesimpangsiuran di dalam penafsiran serta penerapannya. Kemungkinan hal

itu disebabkan karena penggunaan kata-kata yang artinya dapat ditafsirkan

secara luas sekali, atau karena soal terjemahan dari bahasa asing (Belanda)

yang kurang tepat.

Faktor kedua yakni, penegak hukum yang meliputi mereka yang bertugas di

bidang-bidang kehakiman, kejaksaan, kepolisian, kepengacaraan, dan

pemasyarakatan. Penegak hukum mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role).

Kedudukan (status) merupakan suatu wadah yang isinya adalah hak-hak dan

kewajiban-kewajiban, dimana kedua unsur tersebut merupakan peranan (role). Suatu

hak merupakan wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan kewajiban

adalah beban atau tugas. Ada berbagai halangan yang mungkin dijumpai pada

penerapan peran yang seharusnya dari penegak hukum yang berasal dari dirinya

sendiri atau dari lingkungan, yaitu24

:

a) keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain

dengan siapa dia berinteraksi;

b) tingkat aspiraasi yang relatif belum tinggi;

c) kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit

sekali untuk membuat suatu proyeksi;

d) belum adanya kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan

tertentu, terutama kebutuhan material;

24

Soerjono Soekanto I, op.cit., hal. 34-35.

e) kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan

konservatisme.

Faktor ketiga, yakni sarana dan fasilitas yang sangat penting peranannya

dalam penegakan hukum. Sarana dan fasilitas tersebut, antara lain mencakup tenaga

manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang

memadai, keuangan yang cukup. Tanpa adanya sarana dan fasilitas tidak mungkin

penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang aktual.

Jalan pikkiran yang sebaiknya dianut, khususnya untuk sarana atau fasilitas tersebut,

yaitu :

a) yang tidak ada –diadakan yang baru betul;

b) yang rusak atau salah –diperbaiki atau dibetulkan;

c) yang kurang –ditambah;

d) yang macet – dilancarkan;

e) yang mundur atau merosot –dimajukan atau ditingkatkan.25

Masyarakat merupakan faktor keempat yang mempengaruhi penegakan

hukum. Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk mencapai

kedamaian di dalam masyarakat. Salah satu arti hukum yang diberikan oleh

masyarakat Indonesia yakni : hukum diartikan sebagai petugas (polisi, jaksa, hakim).

Anggapan dari masyarakat bahwa hukum adalah identik dengan penegak hukum

mengakibatkan harapan-harapan yang tertuju pada peranan aktual penegak hukum

menjadi terlampau banyak, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya kebingungan

pada diri penegak hukum, oleh karena terjadinya berbagai konflik dalam dirinya.

25

Soerjono Soekanto I, op.cit., hal. 44.

Keadaan demikian juga dapat memberikan pengaruh yang baik, yakni

penegak hukum merasa perilakunya senantiasa mendapat perhatian dari masyarakat.

Masalah lain yang timbul dari anggapan tersebut adalah mengenai penerapan

perundang-undangan. Jika penegak hukum menyadari bahwa dirinya dianggap

hukum oleh masyarakat, maka tidak mustahil bahwa perundang-undangan ditafsirkan

terlalu luas atau terlalu sempit. Disamping itu, mungkin juga timbul kebiasaan untuk

kurang menelaah perundang-undangan yang kadangkala tertinggal dengan

perkembangan di dalam masyarakat.

Disamping itu, ada golongan masyarakat yang mengartikan hukum sebagai

tata hukum atau hukum positif tertulis. Akibat dari anggapan bahwa hukum adalah

hukum positif tertulis belaka adalah adanya kecenderungan kuat satu-satunya tugas

hukum adalah kepastian hukum. Dengan demikian, akan muncul anggapan yang kuat

bahwa satu-satunya tujuan hukum adalah ketertiban. Lebih menekankan pada

kepentingan ketertiban berarti lebih menekankan pada kepentingan umum, sehingga

timbul gagasan kuat bahwa semua bidang kehidupan akan dapat diatur dengan hukum

tertulis. Kecenderungan ini pada akhirnya akan menemukan kepuasan pada lahirnya

perundang-undangan yang belum tentu berlaku secara sosiologis.26

Faktor kelima kebudayaan. Setiap kelompok sosial yang ingin menyebut

dirinya sebagai masyarakat, haruslah menghasilkan kebudayaan yang merupakan

hasil karya, rasa, dan cipta. Kebudayaan tersebut merupakan hasil dari masyarakat

26

Soerjono Soekanto I, op.cit., hal. 54-55.

manusia, sangat berguna bagi warga masyarakat tersebut, karena kebudayaan

melindungi diri manusia terhadap alam, mengatur hubungan antara manusia, dan

sebagai wadah dari segenap persaan manusia. Dari sekian banyak kegunaan

kebudayaan bagi manusia khususnya, akan diperhatikan aspek yang mengatur

hubungan antarmanusia, karena aspek tersebut bertujuan untuk menghasilkan tata

tertib di dalam pergaulan hidup manusia dengan aneka warna kepentingan yang tidak

jarang berlawanan satu dengan lainnya.

Hasil dari usaha-usaha manusia untuk mengatur pergaulan hidupnya,

merupakan hasil rasa masyarakat yang mewujudkan kaidah-kaidah dan nilai-nilai

masyarakat. Hasil rasa tersebut merupakan daya upaya manusia untuk melindungi

dirinya terhadap kekuatan lain di dalam masyarakat. Kekuatan dalam masyarakat

tidak selamanya baik dan untuk menghadapi kekuatan yang buruk.27

3. Teori Keadilan

Rawls adalah tokoh yang meyakini bahwa prinsip-prinsip etika dapat menjadi

dasar yang kuat dalam membangun masyarakat yang adil. Rawls mengembangkan

pemikirannya tentang masyarakat yang adil dengan teori keadilannya yang dikenal

pula dengan teori Posisi Asli. Dalam mengembangkan teorinya, Rawls banyak

terpengaruh oleh aliran Utilitarianisme.28

27

Soerjono Soekanto, 1988, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Penerbit : PT. Raja Grafindo

Perkasa, Jakarta, hal. 203. 28

Ibid, hal. 159.

Mengenai pemikiran Rawls ini akan diuraikan lebih lanjut pada Bab V,

tepatnya pada saat membahas tentang keadilan sebagai salah satu masalah-masalah

filsafat hukum.

Rawls berpendapat perlu ada keseimbangan antara kepentingan pribadi dan

kepentingan bersama. Bagaimana ukuran dari keseimbangan itu harus diberikan,

itulah yang disebut dengan keadilan. Keadilan merupakan nilai yang tidak dapat

ditawar-tawar karena hanya dengan keadilanlah ada jaminan stabilitas hidup

mannusia. Agar tidak terjadi benturan kepentingan pribadi dan kepentingan bersama

itu, perlu ada aturan-aturan. Di sinilah diperlukan hukum sebagai wasitnya. Pada

masyarakat yang telah maju, hukum baru akan ditaati apabila ia mampu meletakkan

prinsip-prinsip keadilan.

Rawls melihat, dalam kenyataannya, distribusi beban dan keuntungan sosial,

seperti pekerjaan, kekayaan, sandang, pangan, papan, dan hak-hak asasi, ternyata

belum dirasakan seimbang. Faktor-faktor seperti agama, ras, keturunan, kelas sosial,

dan sebagainya, menghalangi tercapainya keadilan dalam distribusi itu. Rawls

mengatakan, hal itu tidak lain karena struktur dasar masyarakat yang belum sehat.

Untuk itu Rawls menganjurkan agar dilakukan reorganisasi (call for redress) sebagai

syarat mutlak untuk menuju kepada suatu masyarakat ideal yang baru .29

Menurut Rawls, kebutuhan-kebutuhan pokok meliputi hak-hak dasar,

kebebasan, kekuasaan, kewibawaan, kesempatan, pendapatan, dan kesejahteraan. Jadi

29

Ibid. hal. 159.

dalam kerangka dasar struktur masyarakat, kebutuhan-kebutuhan pokok (primary

goods) terutama dapat dipandang sebagai sarana mengejar tujuan dan kondisi

pemilihan yang kritis serta seksama atas tujuan dan rencana seseorang. Jika

diterapkan pada fakta struktur dasar masyarakat, prinsip-prinsip keadilan harus

mengerjakan dua hal :

1. Prinsip keadilan harus memberi penilaian konkret tentang adil tidaknya

institusi-institusi dan praktik-praktik institusional.

2. Prinsip-prinsip keadilan harus membimbing kita dalam memperkembangkan

kebijakan-kebijakan dan hukum untuk mengoreksi ketidakadilan dalam

struktur dasar masyarakat tertentu (Priyono, 1993 : 37).

Ada tiga syarat supaya manusia dapat sampai pada posisi aslinya, yakni :

1. Diandaikan bahwa tidak diketahui, manakah posisi yang akan diraih seorang

pribadi tertentu di kemudian hari. Tidak diketahui manakah bakatnya,

intelegensinya, kesehatannya, kekayaannya, rencana hidupnya, keadaan

psikisnya.

2. Diandaikan bahwa prinsip-prinsip keadilan dipilih dengan semangat keadilan,

yakni dengan keadilan untuk tetap berpegang pada prinsip-prinsip yang telah

dipilih. Sikap ini perlu oleh karena sasaran-sasaran individual yang dituju

harus dibagi rata antara banyak orang, dan pasti tidak semua orang akan

menerima apa yang mereka inginkan. Sikap ini sebenarnya bertepatan dengan

sikap rasional yang dapat diharapkan dari seorang yang bijaksana.

3. Diandaikan bahwa tiap-tiap orang pertama-tama suka mengejar kepentingan

individualnya dan baru kemudian kepentingan umum.

Rawls mengakui bahwa kecenderungan manusia untuk mementingkan diri

sendiri merupakan kendala utama dalam mencari prinsip-prinsip keadilan itu. Apabila

dapat menempatkan diri pada posisi asli itu, manusia akan sampai pada dua prinsip

keadilan yang paling mendasar sebagai berikut

1. Prinsip kebebasan yang sama sebesar-besarnya (principle of greatest equal

liberty). Menurut prinsip ini setiap orang mempunyai hak yang sama atas

seluruh keuntungan masyarakat. Prinsip ini tidak menghalangi orang untuk

mencari keuntungan pribadi asalkan kegiatan itu tetap menguntungkan

semua pihak.

2. Prinsip ketidaksamaan, yang menyatakan bahwa situasi perbedaan (sosial

ekonomi) harus diberikan aturan sedemikian rupa sehingga paling

menguntungkan golongan masyarakat yang paling lemah (paling tidak

mendapat peluang untuk mencapai prospek kesejahteraan, pendapatan dan

otoritas). Rumusan prinsip kedua ini sesungguhnya merupakan gabungan

dari dua prinsip, yaitu prinsip perbedaan (different principle) dan prinsip

persamaan yang adil atas kesempatan (the principle of fair equality of

opportunity).

Secara keseluruhan, berarti ada tiga prinsip keadilan yang dikemukakan oleh

Rawls, yaitu prinsip : (1) kebebasan yang sama yang sebesar-besarnya, (2) perbedaan,

dan (3) persamaan yang adil atas kesempatan. Tentu saja, tidak semua prinsip-prinsip

keadilan ini dapat diwujudkan bersama-sama karena dapat terjadi prinsip yang satu

berbenturan dengan prinsip yang lainnya. Untuk itu Rawls memberikan prioritas.

Prioritas pertama menetapkan bahwa prinsip kebebasan yang sama sebesar-

besarnya secara leksikal berlaku lebih dulu daripadai prinsip kedua dan ketiga. Hanya

setelah kebebasan diagungkan sepenuhnya, kita dapat bebas pula mengarahkan usaha

mengejar tuntutan yang terdapat dalam prinsip berikutnya. Selanjutnya, prioritas

kedua merupakan relasi antardua bagian prinsip keadilan yang kedua (yaitu antara

prinsip perbedaan dan prinsip persamaan yang adil atas kesempatan). Menurut Rawls,

prinsip persamaan yang adil atas kesempatan secara leksikal berlaku lebih dulu

daripada prinsip perbedaan

Pertanyaan terakhir kita berikutnya adalah tentang teori keadilan seperti apa

yang berlaku bagi bangsa Indonesia? Secara jelas kita dapat langsung menemukan,

bahwa dalam rumusan sila-sila Pancasila terdapat kata-kata adil itu. Sila ke-2

berbunyi : Kemanusiaan yang adil dan beradab, dan Sila ke-5 menyatakan : Keadilan

sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam Ketetapan MPR No. II/MPR/1978

tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, butir-butir dari prinsip

keadilan (termasuk yang disebutkan oleh Rawls) telah diungkapkan pula secara jelas.

Selanjutnya, apabila kita melihat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, secara

tegas juga disebutkan komitmen bangsa Indonesia terhadap keadilan itu.

Jadi dapatlah dikatakan keadilan menurut konsepsi bangsa Indonesia adalah

keadilan sosial. Untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan keadilan sosial ini,

pertama kali harus dikembalikan kepada pengertian adil seperti telah diuraikan di

atas. Aristoteles menyatakan, bahwa seseorang dikatakan berlaku tidak adil adalah

orang itu mengambil lebih dari bagian yang semestinya. Orang yang tdaik

menghiraukan hukum juga adalah orang yang tidak adil, karena semua hal yang

didasarkan kepada hukum dapat dianggap sebagai adil. Jadi keadilan adalah

pernilaian dengan memberikan kepada siapapun sesuai dengan apa yang menjadi

haknya, yakni dengan bertindak proporsional dan tidak melanggar hukum.

Keadilan sosial menuntut supaya manusia hidup dengan layak dalam

masyarakat. Masing-masing harus diberi kesempatan menurut menselijke

waardigheid (kepatutan kemanusiaan). Pembangunan dan pelaksanaan pembangunan,

tidak hanya perlu mengandaikan dan mewujudkan keadilan, melainkan juga

kepatutan. Istilah kepatutan kemanusiaan seperti disebutkan oleh Notohamidjojo dia

tas dapat juga disebut dengan kepatutan yang wajar atau proporsional.

Keadilan dengan begitu berkaitan erat dengan hak. Hanya saja, dalam

konsepsi keadilan bangsa Indonesia, hak ini tidak dapat dipisahkan dengan pasangan

antinominya, yaitu kewajiban. Sila kemanusiaan yang adil dan beradab, misalnya,

dengan tegas mengamanatkan keserasian antara hak dan kewajiban sebagai manusia

yang hidup bermasyarakat. Keadilan hanya dapat tegak dalam masyarakat yang

beradab, atau sebaliknya, hanya masyarakat yang beradab yang dapat menghargai

keadilan. Dipersoalkannya keserasian hak dan kewajiban itu menunjukkan bahwa

manusia adalah mahluk berdimensi monodualistis, yakni sebagai mahluk individual

dan sosial (kolektif). Kedua nilai antinomis itu tidak dapat saling meniadakan. Dari

teori-teori keadilan yang diuraikan di atas, tampak bahwa kriteria keadilan sangatlah

relatif, sehingga keadilan tidak lain adalah keseimbangan dari nilai-nilai antinomi

yang ada. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto : menyebutkan enam pasangan

nilai-nilai : (1) spritualisme/idealisme dan materialisme, (2) individualisme dan

kolektivitas, (3) pragmatisme dan voluntarisme, (4) acsetisisme dan hedonisme, (5)

empirisme dan intuisionisme, (6) rasionalisme dan romantisisme.

Pengertian adil bagi bangsa Indonesia pun tidak serta merta mengarah ke arah

suatu maksimum penggunaan barang bagi suatu komunitas (average utility, dihitung

per kapita) menurut Utilitarianisme, atau ke arah suatu maksimum penggunaan

barang secara merata dengan tetap memperhatikan kepribadian tiap-tiap orang

menurut teori keadilan dari Rawls. Sesuai dengan keseimbangan nilai-nilai antinomi,

maka keadilan sosial dengan demikian menuntut keserasian antara nilai spiritualisme

dan materialisme, indvidulisme dan kolektivisme, pragmatisme dan voluntarisme,

acsetisisme dan hedonisme, empirisme dan intuisionisme, rasionalisme dan

romantisme.

Sehingga akhirnya penegakan the rule of law (yang artinya tidak lain daripada

”supremasi of the law” atau bahwa hukum dianggap sebagai kekuasaan yang

tertinggi) hendaknya bukan hanya berarti penegakkan hukum yang diciptakan oleh

negara atau penguasa raja, hal mana akan berarti penegakan hukum yang melindungi

kwasi-kwasi hak (quasi rights) saja. Akan tetapi penegakkan the rule of law didalam

negara hukum itu hendaknya berarti penegakkan hukum yang melindungi hak-hak

yang sebenarnya, yaitu hak-hak yang memenuhi syarat-syarat kebutuhan masyarakat,

pengakuan dan perlindungan oleh negara dan pengakuan masyarakat inilah yang

dapat menimbulkan ketaatan masyarakat kepada hukum, tanpa perlu diadakannya

kekuasaan oleh pihak penguasa.

Maka akhirnya ini akan berarti, bahwa penegakan rule of law secara ideal

adalah penegakan the rule of social justice atau keadilan sosial.

Yaitu justice atau keadilan, sesuai dengan alam pikiran atau pola masyarakat yang

bersangkutan. Atau dapat pula kita katakan bahwa the rule of law itu berarti the rule

of just law, kekuasaan daripada hukum yang adil. Sebab hanya hukum yang dapat

membawa dan menjamin keadilan sosial itu dapat mengadakan pembagian

(distribusi) daripada hak-hak secara adil pula.

4. Teori Kewenangan

Dalam beberapa sumber menerangkan, bahwa istilah kewenangan

(wewenang) disejajarkan dengan bevoegheid dalam istilah Belanda, menurut Philipus

M. Hadjon salah seorang guru besar Fakultas Hukum Unair mengatakan, bahwa

“wewenang terdiri atas sekurang-kurangnya mempunyai 3 komponen, yaitu

pengaruh, dasar hukum dan komformitas hukum”.30

Komponen pengaruh, bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk

mengendalikan prilaku subyek hukum; dasar hukum dimaksudkan, bahwa weenang

itu haruslah mempunyai dasar hukum; sedangkan komponen komformitas hukum

dimaksud, bahwa wewenang itu haruslah mempunyai standar.

30

Emil J. Sady, 1962, Improvement Local Government for Development Purpose, in Journal of

Local Administration Overseas, hal.135.

Kewenangan secara teoritik dapat diperoleh melalui 3 cara, yaitu atribusi,

delegasi, dan mandat.31

Atributie (atribusi) adalah pemberian wewenang

pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan; Delegasi

adalah pelimpahan wewenang pemerintah dari satu organ pemerintahan kepada organ

pemerintahan yang lain; sedangkan mandat terjadi ketika organ pemerintahan

mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya.

Atmaja menjelaskan, bahwa “wewenang inilah sesungguhnya yang

merupakan “legal power” yang didalamnya melekat 3 (tiga) unsur, yaitu pengaruh

yang memiliki katagori yang eksklusif (keluar) wajib dipatuhi oleh orang lain dan

atau pejabat serta jabatan atau lembaga lainnya, unsur dasar hukum dan unsur

komformitas.32

Sementara itu menurut Hardjon, bahwa “cara memperoleh wewenang, yaitu

melalui: atribusi dan delegasi kadang-kadang juga mandat ditempatkan sebagai cara

tersendiri untuk memperoleh wewenang”.33

Dalam negara hukum, wewenang pemerintahan berasal dari undang-undang

yang berlaku. Dengan kata lain, organ pemerintahan tidak dapat menganggap, bahwa

ia memiliki sendiri wewenang pemerintahan. Sebenarnya kewenangan hanya

diberikan oleh undang-undang; pembuat undang-undang dapat memberi wewenang

pemerintahan, tetapi dapat juga kepada pegawai tertentu atau kepada badan khusus

31

Hadjon, Philipus M., 1991, Peradilan Tata Usaha Negara, Tantangan Awal di Awal

Penerapan UU No.5 Tahun 1986, Majalah FH Unair, No.2-3 Tahun VI, Surabaya, (selanjutnya disebut

Philipus M.III), hal.2. 32

Ridwan, HR., 2002, Hukum Administrasi Negara, UII-Press, Yogyakarta, hal.74. 33

Atmaja, 2003, Hukum Antar Wewenang (Konsep dan Cara Penyelesaian), Makalah Lepas

(bahan Kuliah S2) FH-UNUD, Denpasar, hal.5

tertentu. Dalam konstitusi Indonesia UUD 1945 (setelah amandemen yang keempat

kalinya), ditemukan beberapa Pasal yang melahirkan kewenangan, baik diberikan

kepada eksekutif, yudisial maupun legislatif dalam Pasal-Pasal tersebut.

5. Konsep Beleidsregel (Peraturan Kebijakan)

Dalam kaitan ini, selain konsep konsep yang telah dikemukakan sebelumnya

juga diketengahkan konsep Beleidsregel sebagai titik tolak dalam tulisan ini. Dalam

praktek penyelenggaraan pemerintahan, badan atau pejabat Tata Usaha Negara dapat

membuat peraturan kebijakan antara lain berupa keputusan, instruksi, edaran,

petunjuk dan pengumuman. Peraturan kebijakan yang dibuat oleh badan atau pejabat

Tata Usaha Negara tersebut sudah barang tentu berada dalam koridor hukum.

Keputusan tertulis badan atau pejabat Tata Usaha Negara di Belanda adalah

“Beleidsregel” atau peraturan kebijakan. Dalam Kepustakaan Belanda, ada berbagai

nama lain bagi Peraturan Kebijakan yaitu “Pseudowetgeving” (Van Der Houven),

“Spiegelrech” (Mannourry). Sedangkan istilah “Beleidsregel” dipergunakan antara

lain oleh Vand Kreveld.34

Dari uraian tersebut di atas dapat dipahami bahwa walaupun terdapat berbagai

nama tentang peraturan kebijakan, namun obyek kajiannya sama-sama tertuju pada

peraturan yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara berdasarkan

kebebasan bertindak atau freies Ermessen yang dimungkinkan oleh Peraturan

Perundangan-Undangan.

34

Van Wijk, Dalam Bagir Manan, 1994, Dasar-Dasar Sistem Ketatanegaraan Indonesia

Menurut UUD 1945, Makalah Ilmiah, Bandung, hal.14.

Philipus M. Hadjon (ed), menyatakan bahwa “wewenang badan atau pejabat

Tata Usaha Negara membuat peraturan kebijakan, didasarkan pada asas kebebasan

bertindak (beleidsvrijheid atau beoordelingvrijheid) atau lazim disebut freies

ermessen.35

Istilah Freies Ermessen berasal dari bahasa Jerman, kata “Freies” berasal

dari kata frei yang artinya bebas. Sedangkan kata “Ermessen” berarti

mempertimbangkan, menilai, menduga, penilaian, pertimbangan dan keputusan.36

Dengan demikian istilah “Freies Ermessen” berarti kebebasan

mempertimbangkan yang diberikan kepada badan atau pejabat Tata Usaha Negara

dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan.

Sjachran Basah mengatakan bahwa freies Emerssen melalui sikap tindak

administrasi Negara dapat berwujud.37

a. Membentuk peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang yang

secara materiil mengikat umum.

b. Mengeluarkan beschikking yang bersifat Konkret, final dan individual.

c. Melakukan tindak administrasi yang nyata dan aktif.

d. Menjalankan fungsi peradilan, terutama dalam hal keberatan dan banding

administrasi.

Setiap narapidana yang telah menjalani masa pidananya dengan penilaian

yang baik dan telah melewati beberapa tahap seperti. Tahap Admisi Orientasi, Tahap

35

Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2001, Tata Perijinan Pada Era Otonomi

Daerah, Makalah disampaikan pada symposium Nasional Sistem Kesehatan, di Surabaya, selanjutnya

disebut Philipus M. Hadjon III, hal.1 36

Adolf Heuken Sj, 1987, Kamus Jerman Indonesia, Yayasan Cipta Loka Caraka,

PT. Gramedia, Jakarta, hal.148-177. 37

Sjahran Basah, Perlindungan Hukum terhadap Sikap Tindak Administrasi Negara, Orasi

ilmiah pada Dies Natalis XXIX Unpad, Bandung, 24 September 1986, hal. 4.

Pembinaan, tahap Asimilasi dan yang terakhir adalah Tahap Integrasi.. Adapun

lembaga atau instansi yang diberikan kewenangan untuk mengawasi berlangsungnya

Pembebasan Hersyarat ini adalah Jaksa yang mempunyai kewenangan sebagai

Penuntut Umum. Terungkap bahwa tugas kewenangan Jaksa tidak cukup sampai pada

tahap Penahanan dan Penuntutan, akan tetapi juga mencakup kepada Pelaksanaan

Keputusan Pengadilan, dan ini dinyatakan dalam Pasal 2 ayat 1 Huruf B, Undang-

undang No. 15 Tahun 1961, tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan yang isi

lengkapnya. Kejaksaan mempunyai tugas menjalankan Keputusan dan Penetapan

Hakim Pidana. Di samping itu juga dinyatakan dalam Pasal 270 Undang-undang

Nomor 8 Tahun 1981, tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang isi

lenkapnya . Pelaksanaan Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum

tetap dilakukan oleh Jaksa, yang untuk itu Panitra mengirimkan salinan surat putusan

kepadanya.

Di dalam upaya pengawasan tert,adap narapidana yang mendapat Pembebasan

Bersyarat, Jaksa diberikan kewenangan sebagai pengawas umum, hal ini dinyatakan

dalam Pasal 15a (1) KUHP. Seberapa jauh peranan Jaksa dalam pengawasan terhadap

narapidana yang mendapatkan Pembebasan Bersyarat dinyatakan pada Pasal 16 ayat

(1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) KUHP, dimana Jaksa dapat memberikan

pendapat atau rekomendasi k,epada Menteri Kehakiman RI. Dalam hai rnernutuskan

pemberian Pembebasan Bersyarat, dan juga dalam hal pencabutan Pembebasan

Bersyarat yang sedang berjalan dan juga atas perintah Jaksa yang dapat menahan

narapidana tersebut untuk menjaga ketertiban umum bilamana ada sangkaan yang

beralasan bahwa orang itu di dalam masa percobaan telah melanggar syarat tersebut

di dalam Surat Pasnya.

Berhubungan dengan hambatan-hambatan yang timbul di dalam upaya

pengawasan terdadap narapidana yang mendapat Pembebasan Bersyarat seperti

antara lain : hambatan dalam segi Yuridis, hambatan dalam segi teknis dan

administrsai dan harnbatan dalarn segi sarana dan prasarana.

1.7.2 Kerangka Berpikir

PEMBERIAN

PEMBEBASAN

BERSYARAT

BAGI

NARAPIDANA

Latar Belakang Masalah

a. Kewenangan Menteri

Hukum dan HAM dalam

pemberian Pembebasan

bersyarat

b. Pembebasan beryarat

diberikan 2/3 dari hukuman

pidana minimal 9 tahun

c. Pembebasan berysrata

diberikan terpidana harus

mengajukan permohonan

dan menunjukkan adanya

perubahan yang bersifat baik

Rumusan Masalah

1. Apakah semua

Narapidana mesti di

berikan pembebsan

bersyarat oleh Menteri Hukum dan HAM ?

2. Apa yang menjadi syarat

untuk pemberian

pembebasan bersyarat di

Lembaga

Pemasyarakatan oleh

Menteri Hukum dan HAM ?

Pemecahan

Penelitian hokum ecara Normatif adanya

konflik Norma antara UU No. 12 tahun

1995 tentang pemasyarakatan dengan

Peraturan Menteri hokum dan ham no. 99

tahun 2012

Landasan Teori

a. Asas-asas Hukum

b. Konsep Hukum

c. Peraturan Perundang-undangan

d. Doktrin

e. Yurisprodensi

f. Teori-Teori

Pendekatan Penelitian

1. Pendekatan Perundang-undangan

2. Pendekatan Kasus

3. Pendekatan Perbandingan

1. Konsep Negara Hukum

2. Teori Kewenangan

3. Teori Kebijakan

4. Teori Penegakkan Hukum

Teknik Analisis

a. Deskriptif

b. Interpretasi

c. argumentasi

Kewenangan Menteri Hukum

dan HAM dalam Pemberian

Pembebasan Bersyarat di

Lembaga Pemasyarakatan kelas

II A Denpasar.

1.8 Metode Penelitian

Menurut Kartini Kartono, metode penelitian adalah cara – cara berpikir dan

berbuat, yang dipersiapkan dengan baik untuk mengadakan penelitian dan guna

mencapai tujuan.38

Dari uraian tersebut diatas dapat dipahami, bahwa penelitian pada

dasarnya adalah suatu kegiatan yang terencana dilakukan dengan metode ilmiah

bertujuan untuk mendapatkan data baru guna mendapatkan kebenaran ataupun

ketidakbenaran dari suatu gejala yang ada.

1.8.1. Jenis Penelitian

Sebagaimana diketahui, ilmu hukum mengenal dua jenis penelitian yakni

Penelitian Hukum Normatif (penelitian doktrinal) Penelitian normatif dilakukan

dengan cara meneliti bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum

tersier. Dalam jenis penelitian ini adanya konflik norma hukum antara Undang-

undang No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dengan Peraturan Menteri Hukum

dan HAM No. 99 tahun 2012.

1.8.2. Metode Pendekatan

Sesuai dengan tujuan penelitian tentang Pembebasan Bersyarat dengan

melakukan pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan konseptual (conceptual

appproach) dan pendekatan perUndang-Undangan (statute approach) yaitu Undang-

Undang No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan ; Peraturan Pemerintah No. 99

Tahun 2012 tentang syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan

38

Kartini Kartono, 1995, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum. Dalam

Hilman Adikusuma, Penerbit Mandar Maju, Bandung, hal. 58

1.8.3. Sumber Bahan Hukum

Adapun sumber bahan hukum dalam penelitian ini berasal dari penelitian

kepustakaan (library research) Penelitian ini kepustakaan dilakukan terhadap

beberapa macam sumber/bahan yang dapat digolongkan atas bahan hukum primer,

bahan hukum sekunder . bahan hokum primer meliputi Undang-Undang No. 12 tahun

1995 tentang Pemasyarakatan ; Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012 tentang

syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan.

Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini yakni bahan

kepustakaan yang berisikan informasi tentang bahan hukum primer, yang sudah

barang tentu bahan hukum ini saling berkaitan satu sama lainnya, seperti Undang-

Undang , hasil penelitian, karya tulis dari kalangan hukum dan sebagainya, termasuk

jurnal atau hasil seminar hukum maupun pandangan ahli hukum yang termuat dalam

media masa.

1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Pengumpulan bahan hukum diatas dilakukan dengan cara menginventarisir,

mempelajari dan mendalami bahan-bahan hukum primer dan sekunder yang terkait

dengan penelitian yaitu dengan membuat catatan dalam kartu kecil dan dilakukan

klasifikasi terhadap bahan-bahan tersebut. Sistematisasi perlu dilakukan melalui

secara horisontal dengan menaliti penomorannya atau perumusan perUndang-

Undangannya dalam ini adalah Undang-Undang No. 12 tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan ; Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012 tentang syarat dan Tata

Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan. Hal ini dilakukan untuk mempermudah

melakukan analisis terhadap perumusan yang menjadi obyek penelitian. Sedangkan

penggunaan methode bola salju dilakukan dengan menelusuri bahan acuan yang

digunakan pada bahan atau sumber sekunder dan dilakukan pengkajian secara

mendalam dan laporan penelitian tertulis yang disusunnya.39

1.8.5. Analisis bahan hukum.

Analisa dapat dirumuskan sebagai suatu proses penguraian secara sistematis

dan konsisten terhadap gejala-gejala tertentu. Penguraian secara sistematis terhadap

gejala-gejala atau data-data yang diperoleh dalam penelitian ini selanjutnya dianalisa

secara kuantitative. Kemudian mengidentifikasi dari data yang terkumpul dari bahan

primer dan sekunder serta dilakukan dengan teknik argumentasi dan teknik

sistemalisasi : Teknik argumentasi yaitu penilaian yang didasarkan pada alasan-

alasan yang bersifat penalaran pendalaman hukum. Dengan teknik sistematik ini

yakni dengan mencari eterkaitan suatu norma hukum diantara peraturan perUndang-

Undangan yang diteliti. Namun dari hasil analisa tersebut diharapkan dapat diperoleh

hasil atau kesimpulan atas permasalahan yang diangkat khususnya yang berkaitan

dengan wewenang hukum dan HAM dalam pemberian pembebasan bersyarat.

39

Soejono Soekanto dan Srimamuji, Penelitian Hukum Normatif ( Suatu Tinjauan Singkat) PT.

Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1985, hal.30