Upload
doanmien
View
215
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI
1945) Pasal 1 ayat (1) menentukan secara tegas menyebutkan bahwa Negara
Indonesia adalah Negara Hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu
prinsip terpenting Negara Hukum adalah adanya jaminan kesederajatan bagi setiap
orang di hadapan hukum (Equality Before The Law). Oleh karena itu setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Pemidanaan atau penjatuhan pidana terhadap seseorang yang terbukti
melakukan tindak pidana bukanlah semata-mata bertujuan untuk pembalasan
terhadap perbuatan yang dilakukannya, membuat jera si pelaku ataupun untuk
menakuti orang lain supaya tidak melakukan hal yang sama. Tujuan yang lebih
penting adalah upaya untuk menyadarkan narapidana agar menyesali perbuatannya,
dan mengembalikannya menjadi warga masyarakat yang baik dan berguna, taat
kepada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial dan keagamaan, sehingga
tercapai kehidupan masyarakat yang aman, tertib dan damai, sehingga dapat kembali
ke masyarakat agar menjadi masyaraka yang baik dan berguna, sehingga dapat di
terima dalam kehidupan bermasyarakat.
1
Pembinaan di Rumah Tahanan Negara (selanjutnya disingkat RUTAN) dan di
Lembaga Pemasyarakatan (selanjutnya disingkat LAPAS) merupakan sistem
pemenjaraan yang pada awalnya menekankan pada unsur balas dendam dan
penjeraan, namun sistem pemenjaraan yang menekankan pada unsur balas dendam
dan penjeraan tersebut, kini dipandang tidak lagi sejalan dengan konsep rehabilitasi
dan reintegrasi sosial yang bertujuan untuk menjadikan narapidana dapat diterima
kembali oleh masyarakat dan tidak lagi mengulangi kesalahan yang dilakukannya.
Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
(selanjutnya disingkat UU Pemasyarakatan), menyatakan bahwa :
“Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga
Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan,
memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima
kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan,
dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.”
Penghukuman bukan hanya untuk melindungi masyarakat semata, melainkan
harus pula berusaha membina si pelanggar hukum. Pelanggar hukum tidak lagi
disebut penjahat, melainkan orang yang tersesat. Seseorang yang tersesat dapat
bertaubat, dan ada harapan berhasil dibina dengan sistem pembinaan yang diterapkan
kepadanya. Pemasyarakatan dinyatakan sebagai suatu sistem pembinaan terhadap
para pelanggar hukum bertujuan untuk mencapai reintegrasi sosial atau pulihnya
kesatuan hubungan antara Warga Binaan Pemasyarakatan/Narapidana dengan
masyarakat. Narapidana adalah anggota masyarakat yang karena kesalahannya telah
melanggar hukum dan nantinya apabila telah selesai menjalani pidananya akan
menjadi anggota masyarakat.
Narapidana yang menjalani masa hukuman di Rutan/Lapas sering kali
dianggap tidak mempunyai hak apapun. Mereka sering diperlakukan secara tidak
manusiawi karena mereka dianggap telah melakukan suatu kesalahan ataupun
kejahatan sehingga perbuatan mereka harus dibalas di Rutan/Lapas.
UU Pemasyarakatan menjamin hak-hak Narapidana yaitu sesuai dengan
ketentuan Pasal 14 yang menytkn bahwa:
“Warga binaan berhak mendapatkan pengurangan masa pidana atau Remisi,
Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga serta Pembebasan Bersyarat dan Cuti
Menjelang Bebas.
Dalam pembinaan narapidana salah satu wujud berupa proses “pembebasan
bersyarat”, yaitu pengembalian narapidana kepada masyarakat (pembebasan
narapidana) agar menjadi orang yang baik dan berguna asalkan memenuhi syarat-
syarat tertentu sebelum ia selesai menjalani masa pidananya. Bagi narapidana yang
diberikan pembebasan bersyarat menurut ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) harus telah memenuhi syarat-syarat tertentu, baru kemudian dilepas
ke masyarakat yang telah menyatakan siap menerimanya.
Bagi narapidana yang dianggap telah memenuhi syarat-syarat tertentu,
mempunyai kemungkinan dapat dikabulkannya permohonan pembebasan
bersyaratnya sebelum habis masa pidananya. Narapidana yang dikabulkan
permohonan pembebasan bersyaratnya harus menjalani masa percobaan, yaitu selama
sisa pidananya yang belum dijalani ditambah satu tahun. Masa percobaan ini
merupakan masa peralihan dari kehidupan yang serba terbatas menuju kehidupan
bebas sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab
Aturan-aturan yang dimaksudkan itu di dalam bentuk peraturan hukum yang
bersifat mengatur dan memaksa bertujuan untuk menjamin adanya kepastian hukum
dalam masyarakat dan hukum itu harus pula bersendikan pada keadilan, yaitu asas-
asas keadilan dari masyarakat itu sendiri, karena memang dari awalnya bahwa aturan-
aturan hukum yang diadakan itu atas kehendak dan keinsyafan tiap-tiap anggota
masyarakat itu sendiri. Dalam sistem pemasyarakatan yang menyangkut tata
perlakuan narapidana .Baik yang diberikan pembinaan di dalam lembaga
Pemasyarakatan maupun yang mendapat pembinaan di luar tembok Lembaga
Pemasyarakatan, narapidana mempunyai ruang gerak kebebasan serta hubungan
dengan masyarakat luar negeri dan terbatas dengan adanya peraturan-peraturan yang
ketat serta tembok yang tinggi dan tebal yang membatasi, sedangkan pembinaan di
luar tembok Lembaga Pemasyarakatan banyak memberikan kebebasan begerak dan
berhubungan dengan masyarakat luas.
Sudah menjadi kebijaksanaan pemerintah dimana dalam mengenai suatu
tindak pidana, Pemerintah tidak hanya cukup bertindak dalam tingkat penyidikan,
penyelidikan, penangkapan, penuntutan, pemeriksaan pada persidangan, penjatuhan
keputusan dan pelaksanaan keputusan pengadilan, akan tetapi pengupayaan
bagaimana pelaksanaan pengembaliannya kepada masyarakat dengan keadaan yang
lebih baik dari pada keadaan sebelumnya.
Kalau di i Amerika Serikat, disana polisi adalah yang melakukan penyidikan.
Tetapi dalam hal-hal tertentu jaksa atau publik alterney dapat juga melakukan
penyidikan terhadap suatu Tindak Pidana. Hal ini terlihat dalam :
”The prosecuting alterney is the key law enforcement of ficer in the particular
area over the patentialition of the office are limited onlt by the entelligence, skill
and legal and capasity of the incumbent in the formidable lis of duties often
assigned to their public official, the interest of the states is almost entirely in his
hands. He is a quasi yudicial officier to who determines from his own
investigation, or evidence submited to him by police or other, whether a criminal
effences has been commuted.1
R.A. Koesnoen mengatakan :
"Narapidana adalah anggota masyarakat, berasal dari masyarakat, merugikan
masyarakat, tetapi juga sedikit banyak ada kesalahan dari masyarakat sendiri dan
kembali ke rriasyarakat". 2
Narapidana yang menjalani masa hukuman di Rutan/Lapas sering kali
dianggap tidak mempunyai hak apapun. Mereka sering diperlakukan secara tidak
manusiawi karena mereka dianggap telah melakukan suatu kesalahan ataupun
kejahatan sehingga perbuatan mereka harus dibalas di Rutan/Lapas.
Dalam pembinaan narapidana salah satu perwujudannya berupa proses
“pembebasan bersyarat”, yaitu pengembalian narapidana kepada masyarakat
(pembebasan narapidana) agar menjadi orang yang baik dan berguna asalkan
memenuhi syarat-syarat tertentu sebelum ia selesai menjalani masa pidananya. Bagi
narapidana yang diberikan pembebasan bersyarat menurut ketentuan Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) harus telah memenuhi syarat-syarat tertentu, baru
kemudian dilepas ke masyarakat yang telah menyatakan siap menerimanya.
Bagi narapidana yang dianggap telah memenuhi syarat-syarat tertentu,
mempunyai kemungkinan dapat dikabulkannya permohonan pembebasan
1 Paul B. Weston Kenneth M. Wells, 1972, Law Enforcement an Criminal Justice, Pasific
Palisades : goodyer publishing company, hal,164 2
Kaedoen, R.A. 1961, Politik Pendjara Nasional, Bandung, Sumur Bandung, hal. 15.
bersyaratnya sebelum habis masa pidananya. Narapidana yang dikabulkan
permohonan pembebasan bersyaratnya harus menjalani masa percobaan, yaitu selama
sisa pidananya yang belum dijalani ditambah satu tahun. Masa percobaan ini
merupakan masa peralihan dari kehidupan yang serba terbatas menuju kehidupan
bebas sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.
Pemberian pembebasan bersyarat merupakan salah satu sarana hukum dalam
rangka mewujudkan tujuan sistem pemasyarakatan. Hak warga binaan
pemasyarakatan mendapatkan pembebasan Bersyarat. Dalam memberikan
pembebasan bersyarat diatur dalam Undang-undang No. 12 Tahun 1995 tentang
UU Pemasyarakatan menjamin hak-hak Narapidana yaitu sesuai dengan
ketentuan Pasal 14 yang berbunyi bahwa: Warga binaan berhak mendapatkan
pengurangan masa pidana atau Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga serta
Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas.
Antara UU No. 12 Tahun 1995 Pasal 14 dengan Peraturan Pemerintah No. 99
tahun 2012 Pasal 43 A terjadi konflik norma, disatu sisi memberika pembebasa
bersyarat adalah mutlak sedagkan di sisi lain ada persyaratan yang harus di lalui.
Sedangkan Peraturan Pemerintah No. 99 tahun 2012 terdapat konflik norma terutama
Pasal 43 dalam memberikan pembebasan bersyarat. Di antara Pasal 43 dan Pasal 44
disisipkan 2 (dua) Pasal, yakni Pasal 43A dan Pasal 43B
Pasal 43
1. Setiap Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan kecuali Anak Sipil, berhak
mendapatkan Pembebasan Bersyarat;
2. Pembebasan Bersyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan apabila
telah memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. Telah menjalani masa pidana sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) dengan
ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut tidak kurang dari 9
(Sembilan) bulan;
b. Berkelakuan baik selama menjalani masa pidana sekurang-kurangnya 9
(Sembilan) bulan terakhir dihitung sebelum tanggal 2/3 (dua per tiga) masa
pidana;
c. Telah mengikuti program pembinaan dengan baik, tekun, dan bersemangat;
dan
d. Masyarakat dapat menerima program kegiatan pembinaan narapidana.
3. Pembebasan Bersyarat bagi anak Negara diberikan setelah menjalani
pembinaan sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun;
4. Pemberian Pembebasan Bersyarat ditetapkan dengan Keputusan menteri;
5. Pembebasan Bersyarat dicabut jika Narapidana atau Anak Didik
Pemasyarakatan melanggar persyaratan Pembebasan Bersyarat sebagaimana
dimaksud pada ayat
Di antara Pasal 43A dan Pasal 43B yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 43A menyebukan
1. Pemberian Pembebasan Bersyarat untuk Narapidana yang dipidana karena .
melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan precursor narkotika,
psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan Negara dan kejahatan hak
asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya,
selain harus memenuhi persyaratan.
2. Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana narkotika dan
precursor narkotika, psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
berlaku terhadap Narapidana yang dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun;
Pasal 43B
1. Pembebasan Bersyarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43A ayat (1)
diberikan oleh Menteri setelah mendapatkan pertimbangan dari Direktur
Jenderal Pemasyarakatan;
2. Direktur Jenderal Pemasyarakatan dalam memberikan pertimbangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperhatikan kepentingan
keagamaan, ketertiban umum, dan rasa keadilan masyarakat;
3. Direktur Jenderal Pemasyarakatan dalam memberikan pertimbangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib meminta rekomendasi dari
instansi terkait, yakni:
a. Kepolisian Negara Republik Indonesia, Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme, dan/atau Kejaksaan Agung dalam hal Narapidana dipidana
karena melakukan tindak pidana terorisme, kejahatan terhadap keamanan
Negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat dan/atau kejahatan
transnasional terorganisasi lainnya;
b. Kepolisian Negara Republik Indonesia, Badan Narkotika Nasional,
dan/atau Kejaksaan Agung dalam hal Narapidana dipidana karena
melakukan tindak pidana narkotika dan precursor narkotika, psikotropika;
dan
c. Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Agung, dan/atau
Komisi Pemberantasan Korupsi dalam hal Narapidana dipidana karena
melakukan tindak pidana korupsi.
4. Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan secara
tertulis oleh instansi terkait dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas)
hari kerja sejak diterimanya permintaan rekomendasi dari Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan;
5. Dalam hal batas waktu sebagai mana dimaksud Pasal (4) instansi terkait tidak
menyampaikan rekomendasi secara tertulis, Direktur Jenderal
Pemasyarakatan menyampaikan pertimbangan Pembebasan Bersyarat kepada
Menteri;
6. Ketentuan mengenai tata cara pemberian Pembebasan Bersyarat sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
Syarat dan Tata cara pelaksanaan hak-hak tersebut telah diatur secara lengkap
dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor: M.2.PK.04-10
Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan
Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat. Hak-hak yang tertuang dalam
Pasal 14 Undang-Undang Pemasyarakatan tersebut di atas diberikan terhadap para
narapidana yang telah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) masa
pidananya minimal 9 (sembilan) bulan.
Dalam kajian Pasal tersebut diatas kalau dikaitkan dengan permasalahan yang
ada dalam lembaga pemasyarakatan sesuai dengan Pasal 43 B bahwa pemberian
pembebasan bersyarat oleh Menteri Hukum dan HAM kepada Corby seorang
terpidana tindak pidana narkotika, terpdana Corby telah menjalankan pidananya
sesuai dengan ketentuan Undang-undang 2/3 dari seluruh masa pidananya.
Beranjak dari hal tersebut penulis merasa tertarik untuk mengangkat tesis ini
dengan judul “PEMBERIAN PEMBEBASAN BERSYARAT BAGI
NARAPIDANA”
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan tersebut, maka timbul
permasalahan yaitu :
1. Bagaimana Pengaturan Pembebasan bersyarat kepasa Narapidana dalam hukum
positif di Indonesia ?
2. Bagaimana idealnya Pembebasan bersyarakat kedepannya ?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Pembebasan Bersyarat adalah merupakan bagian dari sistem Pemasyarakatan
yang merupakan satu pembinaan yang dilakukan di luar tembok Lembaga
Pemasyarakatan (extramular) dan merupakan pembinaan lanjutan dari pembinaan di
dalam tembok Lembaga Pemasyarakatan (intra mullar) adapun yang menjadi inti-sari
tujtian pemerintah memberikan Persyaratan Pembebasan Bersyarat adalah :
1. Menjauhkan tersalah dari rumah penjara.
2. Mempercepatkan dapatnya si terhukum keluar dari rumah penjara.
3. Mengembalikan bekas orang hukuman di dalam penghidupan masyarakat
sebagai sediakala. 3
Untuk berhasilnya usaha Pemerintah di dalam memberikan Pembebasan
Bersyarat kepada terpidana, diperlukan adanya suatu pengawasan, baik pengawasan
yang hersifat umum maupun pengawasan yang bersifat khusus atau istimewa.
Adapun salah satu lembaga atau instansi yang berwenang untuk pengawasan
tersebut adalah kejaksaan Negeri. Meskipun fokus pembahasan hanya terbatas pada
Peranan, Jaksa Dalam, Pengawasan Terpidana Dengan Pembebasan Bersyarat namun
dalam tesis ini akan dihahas pemberian pembebsan bersyarat oleh Menteri Hukum
dan HAM dan syarat untuk pemberian pembebasan bersyarat di Lembaga
Pemasyarakatan oleh Menteri Hukum dan HAM .
Sedangkan tugas dan wewenang dari jaksa sebagai penuntut umum dapat
dilihat dalam ketentuan Pasal 14 KUHAP, jika kita menengok ke Amerika Serikat
maka terlihat disana adalah bahwa posisi jaksa / penuntut umum merupakan fungsi
sentral dalam penegakan hukum. Mereka-mereka ini adalah orang-orang yang ahli
hukum dan dia dapat menentukan apakah perkara tersebut akan dilanjutkan atau
tidak, dia dapat terjun langsung dalam hal penyidikan tetapi dalam hal-hal tertentu.
Hal itu dapat dilihat dalam tulisan Weston dan Wells :
3 Tondokoesoemo,S. 1952, Reklasering, Pengurus Besar Sarekat Sekerdja Kependjaraan,
Jakarta, hal. 7.
”The Prosecuting is the key law enforcement of fices in the particular are over
which he has yurisdiction. In this are the patentialites of the office are limmeted
only by the intelligence, skill, and legal and political capacity of the incumbent.
In the formidable list of duties often assigned to this public official, the interest of
the states is almost entirely in his hand. He is a quasi jiducal officus who
determines from is own ivestigation, or evidence sub mitted to him by police or
other, whether a criminal offences has been commited.4
Artinya : Penuntut umum merupakan Pejabat Penegak Hukum penting dalam daerah
khusus yang menjadi wilayah hukumnya. Dalam daerah ini penutut umum hanya
dibatasi oleh kecerdasan, kecakapan dan kemampuan pengetahuan hukum serta
politik pejabat tersebut. Hampir seluruh kepentingan negara ada ditangannya. Dia
adalah pejabat kuasa hukum yang menentukan apakah delik telah dilakukan
penyidikan.
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
a. Untuk mengetahui mekanisme atau tata kerja di dalam pengawasan oleh Jaksa
terhadap terpidana yang mendapatkan pembebasan bersyarat disamping
berusaha untuk mengungkapkan lebih jauh bagaimana peranan Jaksa di dalam
pelaksanaan tugas pengawasan.
b. Ingin mengetahui sejauh mana sikap dan prilaku para penegak hukum serta
kemampuannya dalam rangka meningkatkan citra dan wibawa hukum serta
aparat, penegak hukum sesuai dengan fiungsi dan wewenangnya.
4 Paul B. westone Kenneth in Weels, 1972, Law Enforcement and Criminal Justice, Pasific
Polisades Goodyear, Publishing Company, page.164
1.4.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui Pengaturan hukum pembebasan bersyarat kepasa
Narapidana dalam hukum positif di Indonesia
2. Untuk mengetahui idealnya pembebasan bersyarakat kedepannya.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis kalai dikaji dari aspek keilmuan dalam dunia akademis
sebagai penambahan wawasan ilmu hokum khususnya Pengaturan hukum
pembebasan bersyarat kepasa Narapidana dalam hukum positif di Indonesia dan
idealnya pembebasan bersyarakat kedepannya
1.5.2 Manfaat Praktis
Manfaat praktis adalah memberikan konsep pemikiran tentang keberadaan
peraturan perundang-undangan yang mengatur tenteng Pembebasan Beryarat.
1.6 Originalitas Penelitian
Berdasarkan informasi yang ada dan dari penelusuran yang dilakukan di
Kepustakaan Pasca Sarjana Universitas Udayana dan beberapa Universitas maka
penelitian dengan judul Kewenangan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia dalam pemberian Asimilasi bagi Narapidana sesuai Undang-Undang
No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan belum pernah ada yang melakukan
penelitian sebelumnya akan tetapi, pernah ada yang meneliti tentang sistem
Pemasyarakatan yang di lakukan oleh saudara Ketut Sandiasa Mahasiswa Sekolah
Pasca Sarjana Universitas Udayana Nim. 9913056124 dengan judul Subkultur
Narapidana dalam proses pembinaan Narapidana dengan sisitem Pemasyarakatan
(penelitian di lembaga pemasyarakatan kelas II a Denpasar), Rumusan Masalah : (1)
Apakah transpormasi kebiasaan-kebiasaan serta budaya dalam pendidikan penjara
dapat berpengaruh terhadap keberhasilan pembinaan Narapidana, (2) Apakah dalam
sisitim pembinaan Narapidana klsifikasi sistim kepenjaraan masih dipergunakan
sebagai pedoman dasar dalam melakukan pembinaan terhadap Narapidana. Tentang
sistim Pemasyarakatan penelitian pernah juga di lakukan oleh saudara I Made Rai
Mardingga Nim. 0590561008 dengan judul pelaksanaan Pidana Penjara dengan
sisitim Pemasyaraktan (suatu studi di lembaga pemasyarakatan Denpasar) Rumusan
Masalah (1) Bagaimanakah pelaksanaan pidana penjara dengan sisitim
pemasyarakatan kelas IIa Denpasar (2) Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi
pelaksanaan Pidana Penjara dengan sisitim Pemasyarakatan di lembaga
Pemasyarakatan kelas IIa Denpasar.
Selain Universitas Udayana di Universitas lainnya di Universitas Negeri
Semarang oleh Tiwan Setiawan, Nim. 3401401026 dengan judul Model Pembinaan
Narapidana di lembaga pemasyarakatan kelas II Semarang. Permasalahan yang di kaji
dalam penelitian ini adalah : (1) Bagaimanakah pembinaan yang dilakukan terhadap
Narapidana di lembaga pemasyarakatan kelas II Semarang, (2) Bagaimanakah
efektifitas yang di lakukan terhadap Narapidana di lembaga pemasyarakatan kelas II
Semarang, (3) Faktor apa saja yang menghambat proses pembinaan terhadap
Narapidana di pemasyarakatan kelas II Semarang.
Dengan melihat beberapa judul penelitian di bebrapa Universitas, bahwa judul
penelitian ini berbeda sehingga dapat di katakana bahwa penelitian ini dapat dijamin
keasliannya dan dapat dipertanggungjawabkan dari segi isinya.
1.7 Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir
1.7.1 Landasan Teoritis
Sebagai acuan dalam penulisan tesis ini ada beberapa teori yang sangat
relevan dipergunakan adalah :
1. Konsep Negara Hukum
Suatu Negara dapat dikatakan sebagai negara hukum “rechstaat” menurut
Burkens, (sebagaimana dikutip Yohanes Usfunan) apabila memenuhi syarat-syarat:5
1. Asas legalitas. Setiap pihak pemerintahan harus didasarkan atas peraturan
perundang-undangan (wettelijke gronslag). Dengan landasan ini, undang-
undang dalam arti formil dan undang-undang sendiri merupakan tumuan
dasar tindak pemerintahan. Dalam hubungan ini pembentukan undang-
undang merupakan bagian penting Negara hukum.
5 Burkens, M.C., et.al. 1990, Beginselen van de Democratiche Rechtasstaat, Dalam Yohanes
Usfunan, 1988, Kebebasan Indonesia, Disertasi dalam meraih Doktor pada Program Pasca Sarjana
UNAIR Surabaya, hal.111.
2. Pembagian kekuasaan. Syarat ini mengandung makna bahwa kekuasaan
negara tidak boleh hanya bertumpu pada satu tangan.
3. Hak-hak dasar (grondrechten), merupakan sasaran perlindungan diri
pemerintahan terhadap rakyat dan sekaligus membatasi kekuasaan
pembentuk undang-undang.
4. Pengawasan pengadilan bagi rakyat tersedia.
Dalam konsep negara hukum seperti yang dinyatakan dalam Pasal 1 (3)
Undang-Undang Dasar 1945 bahwa Indonesia merupakan negara hukum, penguasa
Negara dan pemerintah sesunguhnya hanyalah pelaksana dari hukum, baik yang
diciptakan oleh negara sendiri maupun oleh rakyat sendiri. Oleh karena itu siapapun
yang malakukan pelanggaran hukum harus dikenakan sanksi hukum, baik
penyeienggara Negara/Pemerintah termasuk para penegak hukum itu sendiri, maupun
masyarakat harus dikenakan sangsi hukum. Jadi dalam suatu negara hukum, tidak ada
seseorang pun yang kebal akan hukum, baik anggota masyarakat maupun
penyeienggara pemerintahan, serta para penegak hukumnya.
Itulah konsep equality before the law (persamaan didepan hukum) dalam
konsep rule of law. Konsep rule of law itu sendiri seperti diterangkan oleh A.V
Dicey, memiliki unsur utama yaitu : supremacy of law, equality before the law dan
the constiution based on individual right.6
Unsur pertama, yaitu supremacy of law atau supremasi hukum, di Inggris
tempat dicetuskannya konsep tersebut merupakan hal yang tidak dapat ditawar-tawar
6 Azhary, 1995, Negara Hukum Indonesia, UI Press, Jakarta, hal. 20.
lagi, hal ini merupakan unsur yang diperjuangkan rakyat inggris lebih awal jika
dibandingkan dengan negar-negara barat lainnya.
Unsur kedua, yaitu equality before the law atau persamaan di depan hukum.
Semua warga baik selaku pejabat negara maupun sebagai individu biasa tunduk pada
hukum dan di adili di pengadilan biasa yang sama. Jadi setiap warga negara sama
kedudukannya di hadapan hukum dan apabila melanggar hukum baik secara individu
maupun selaku pejabat negara, ia akan diadili dengan hukum yang sama dan dalam
pengadilan yang sama pula.
Unsur ketiga, yaitu constiution based on individual right, disini tidak seperti
yang umum terdapat di negara lain yang berupa sebuah dokumen yang disebut
constition atau Undang-undang dasar, melainkan constition disini menunjuk pada
sejumlah dokumen yang isinya bersifat fundamental.7
Dalam konsep negra hukum, penguasa Negara dan pemerintah sesunguhnya
hanyalah pelaksana dari hukum, baik yang diciptakan oleh negara sendiri maupun
oleh rakyat sendiri. Oleh karena itu siapapun yang malakukan pelanggaran hukum
harus dikenakan sangsi hukum, baik penyelenggara Negara/Pemerintah termasuk para
penegak hukum itu sendiri, maupun masyarakat harus dikenakan sangsi hukum. Jadi
dalam suatu negara hukum, tidak ada seseorang pun yang kebal akan hukum, baik
anggota masyarakat maupun penyelenggara pemerintahan, serta para penegak
hukumnya.
7 Azhary, 1995, Negara Hukum Indonesia, UI Press, Jakarta. hal. 51.
Konsep rule of law bukan satu-satunya konsep negara hukum, selain itu masih
banyak konsep negara hukum dari negara-negara lain yang dikenal dengan konsep
Rechsstaat. Pemahaman mengenai negara hukum dengan konsep rule of law
umumnya berkembang di negara-negara eropa kontinental, pemahaman terhadap
negara hukum mengikuti konsep rechsstaat. Konsep rechsstaat menurut beberapa
sarjana dikenal dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1. Menurut Friedich Julius Stahl, rechsstaat memiliki unsur utama,8 sebagai
berikut:
a. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia,
b. Pemisahan kekuasaan berdasarkan prinsip Trias Politika,
c. Penyelenggaraan Pemerintah menurut Undang-undang (wetmatig
bestuur), dan
d. Adanya peradilan administrasi negara.
2. Menurut Scheltema, unsur utama rechsstaat,9 meliputi:
a. Kepastian hukum,
b. Persamaan,
c. Demokrasi, dan
d. Pemerintahan yang melayani kepentingan umum.
8 Ibid, hal. 66.
9 Ibid, hal. 66.
3. Menurut H.D.Van Wijk dan Konijnenbelt10
, dengan unsur utama :
a. Pemerintahan menurut hukum (wetmatig bestur);
b. Hak-hak asasi,
c. Pembagian kekuasaan, dan
d. Pengawasan oleh kekuasaan peradilan.
4. Menurut zippenlius, unsur utama negara hukum adalah :
a. Pemerintahan menurut hukum,
b. Jaminan terhadap hak-hak asasi,
c. Pembagian kekuasaan dan
d. Pengawasan yustisial terhadap pemerintah.
Selanjutnya Bagir Manan mengemukakan ciri-ciri minimal dari negara yang
berdasarkan hukum,11
yaitu :
1. Semua tindakan harus berdasarkan hukum.
2. Ada ketentuan yang menjamin hak-hak dasar dan hak-hak lainnya
3. Ada kelembagaan yang bebas untuk meniliai perbuatan penguasa terhadap
masyarakat (badan peradilan yang bebas)
4. Adanya pembagian kekuasaan.
Selain itu Sri Soemantri juga mengungkapkan bahwa unsur-unsur yang
terpenting dari negara hukum ada 4,12
yaitu :
1. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus
berdasarkan hukum.
2. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia
3. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara.
4. Adanya pengawasan dan badan-badan peradilan (Rechterlijke Controle)
10
Hamid S Attamimi, A.1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam
Penyelenggaraan Pemerintah Negara, Disertasi, Universitas Indonesia, hal. 311. 11
Bagir Manan; tanggal 3 September 1994, h.19; Dasar- dasar Sistem Ketatanegaraan
Indonesia Menurut UUD 1945; Makalah Ilmiah Disampaikan Pada Mahsiswa Pasca Sarjana UNPAD,
Tahun 1994-1995, di Bandung. 12
Sri Soemantri M; 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni Bandung,
hal. 29.
Demikian pula seperti yang diunkapkan oleh Philipus M. Hadjon yang
mendasarkan diri pada sifat-sifat liberal dan demokratis yang dikemukakan oleh S.W.
Couwenberg berpendapat bahwa ciri-ciri rechsstaat,13
adalah :
1. Adanya Undang-Udang Dasar atau konstitusi yang memuat ketentuan
tertulis tentang hubungan antara penguasa dan rakyat.
2. Adanya pembagia kekuasaan negara yang meliputi kekuasaan pembuat
undang-undang yang ada pada parlemen, kekuasaan kehakiman yang bebas
yang tidak hanya menangani sengketa antara individu rakyat tetapi juga
antara penguasa dan rakyat, dan pemerintah yang mendasarkan
tindakannya atas Undang-undang.
3. Diakui serta dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat.
Ditambahkan oleh Philipus M Hadjon, bahwa atas ciri-ciri tersebut diatas,
maka rechsstaat adalah pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia
yang bertumpu pada prinsip kebebasan dan persamaan.
Negara Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila. Hal ini berarti
bahwa setiap tindakan pemerintah dalam menjalankan tugas dan wewenangnya harus
didasarkan pada norma-norma hukum yang berlaku, baik yang tertulis maupun yang
tidak tertulis. Seperti yang tersirat dalam Pasal 1 ayat (3) amandemen UUD 1945
menyatkan bahwa " Negara Indonesia adalah negara Hukum". Sehingga jika
dikaitkan deng ruang lingkup Pengadilan Pajak maka secara filosofis konstitusional
jelas di nyatakan bahwa Indonesia menganut prinsip Negara Hukum yang dinamis
13
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Bina Ilmu,
Surabaya, hal. 76.
atau welfare state (negara kesejahteraan), sebab negara wajib menjamin kepastian
hukum serta kesejahteraan sosial masyarakat.14
Relevansi dari konsep ini dengan obyek penelitian ini adalah unsur pertama
asas legalitas dan perlindungan HAM (Hak Asasi Manusia). Dalam kaitan ini asas
legalitas berkaitan dengan kepastian atas peranan kejaksaan dalam melakukan
pengawasan narapidana yang mendapatkan pembebasan bersyarat yang diakui
berdasarkan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan asas legalitas tersebut,
maka akan memberikan proteksi terhadap kepemilikan akta jaminan fidusia individu
maupun badan hukum sebagai perwujudan HAM.
Bagir Manan, lebih lanjut mengetengahkan ciri-ciri minimal Negara hukum
sebagai berikut:15
1. Semua tindakan harus berdasarkan hukum.
2. Ada ketentuan yang menjamin hak-hak dasar dan hak-hak lainnya.
3. Ada kelembagaan yang bebas untuk menilai perbuatan penguasa terhadap
masyarakat (badan peradilan yang bebas).
4. Adanya pembagian kekuasaan.
Negara Indonesia adalah Negara Hukum (rechstaat) berdasarkan Pancasila.
Ini berarti bahwa setiap tindakan pemerintah dalam menjalankan tugas dan
14
Marbun, S.F.Moh.Mahfud MD, 2000, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Cet.Kedua,
Liberty, Yogyakarta, hal. 52. 15
Bagir Manan; tanggal 3 September 1994, Dasar-Dasar Sistem Ketatanegaraan Indonesia
Menurut UUD 1945, Makalah disampaikan kepada Mahasiswa Pasca Sarjana, Unpad, Tahun 1994-
1995, di Bandung. hal.19.
wewenangnya harus didasarkan pada norma-norma hukum yang berlaku, baik yang
tertulis maupun yang tidak tertulis.
Secara konstitusional Negara Indonesia adalah Negara Hukum, yang diketahui
dalam Pasal 1 ayat (3) Amandemen UUD 1945 bahwa “Negara Indonesia adalah
Negara hukum”. Dengan demikian semua tindakan pemerintahan harus menurut
hukum yang dalam hal ini, pendaftaran akta jaminan fidusia harus sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Teori tentang Penegakan Hukum
Menurut Badudu dan Zain dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia efektivitas
berarti keefektifan, keefektifan artinya sifat atau keadaan efektif. Efektif artinya
mulai berlaku (tentang undang-undang), jadi efektivitas adalah sifat atau keadaan
mulai berlakunya undang-undang.16
Demikian pula dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan, bahwa
efektivitas berarti keefektifan. Keefektifan artinya hal mulai berlakunya (tentang
undang-undang, peraturan), jadi efektivitas adalah hal mulai berlakunya undang-
undang atau peraturan.17
Soerjono Soekanto mengemukakan, bahwa inti dan arti penegakan hukum,
secara konsepsional terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang
16
Badudu, J,S dan Sutan Muhammad Zain, 2001, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Sinar
Harapan, Jakarta, hal. 371 17
Departemen Pendidikan Nasional, 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai
Pustaka, Jakarta, hal. 284.
terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap
tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan,
memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.18
Berbicara efektivitas hukum Soerjono Soekanto berpendapat, bahwa “salah
satu fungsi hukum baik sebagai kaidah maupun sebagai sikap tindak atau perilaku
teratur adalah membimbing perilaku manusia. Masalah penegakan hukum tidak
hanya terbatas pada timbulnya ketaatan atau kepatuhan pada hukum, tapi mencakup
efek total dari hukum terhadap sikap tindak atau perilaku baik yang bersifat positif
atau negatif.19
Ketaatan seseorang berperilaku sesuai harapan pembentuk undang-undang,
Friedman menyatakan bahwa20
:
Compliance is, in other words, knowing conformity with a norm or command, a
deliberate instance of legal behavior that bens toward the legal act that evoked it.
Compliance and deviance are two poles of a continuum. Of the legal behavior
frustrates the goals of a legal act, but falls short of noncompliance or, as the case
may be, legal culpability.
Berdasarkan pendapat Friedman tersebut bahwa pengaruh hukum terhadap
sikap tindak atau perilaku, dapat diklasifikasikan sebagai ketaatan (compliance),
ketidaktaatan atau penyimpangan (deviance) dan pengelakan (evasion). Konsep-
18
Soerjono Soekanto I, loc. cit. 19
Siswantoro Sunarso, 2004, Penegakan Hukum Psikotropika dalam Kajian Sosiologi Hukum,
Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 88. 20
Lawrence, Friedman M., The Legal System A Social Science Perspective, Russell Sage
Foundation, New York, 1975, dalam Siswantoro Sunarso, 2004, Penegakan Hukum Psikotropika
dalam Kajian Sosiologi Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 88.
konsep ketaatan, ketidaktaatan atau penyimpangan dan pengelakan berkaitan dengan
hukum yang berisikan larangan atau suruhan.21
Masalah pokok penegakan hukum terletak pada faktor-faktor yang mungkin
mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga
dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Adapun faktor-
faktor yang mempengaruhi penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto, yaitu :
a) Faktor hukumnya sendiri, seperti pada undang-undang.
b) Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum.
c) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
d) Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan.
e) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan
pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.22
Kelima faktor di atas saling berkaitan erat satu dengan yang lainnya, karena
merupakan esensi dari penegakan hukum dan merupakan tolok ukur daripada
efektivitas penegakan hukum.
Faktor hukumnya sendiri, seperti pada undang-undang merupakan faktor
pertama yang menjadi tolok ukur dari efektivitas penegakan hukum. Undang-undang
dalam arti material adalah peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh
Penguasa Pusat maupun Daerah yang sah. Gangguan terhadap penegakan hukum
yang berasal dari undang-undang, dapat disebabkan23
:
21
Siswantoro Sunarso, loc.cit. 22
Soerjono Soekanto I, op.cit., hal. 8. 23
Soerjono Soekanto I, op.cit., hal. 17-18.
a) tidak diikutinya asas-asas berlakunya undang-undang, seperti undang-undang
tidak berlaku surut (artinya undang-undang hanya boleh diterapkan terhadap
peristiwa yang disebut di dalam undang-undang tersebut dan terjadi setelah
undang-undang dinyatakan berlaku;
b) belum adanya peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkan untuk
menerapkan undang-undang (adanya berbagai undang-undang yang belum
juga mempunyai peraturan pelaksanaan, padahal di dalam undang-undnag
tersebut diperintahkan demikian);
c) ketidakjelasan arti kata-kata di dalam undang-undang yang mengakibatkan
kesimpangsiuran di dalam penafsiran serta penerapannya. Kemungkinan hal
itu disebabkan karena penggunaan kata-kata yang artinya dapat ditafsirkan
secara luas sekali, atau karena soal terjemahan dari bahasa asing (Belanda)
yang kurang tepat.
Faktor kedua yakni, penegak hukum yang meliputi mereka yang bertugas di
bidang-bidang kehakiman, kejaksaan, kepolisian, kepengacaraan, dan
pemasyarakatan. Penegak hukum mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role).
Kedudukan (status) merupakan suatu wadah yang isinya adalah hak-hak dan
kewajiban-kewajiban, dimana kedua unsur tersebut merupakan peranan (role). Suatu
hak merupakan wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan kewajiban
adalah beban atau tugas. Ada berbagai halangan yang mungkin dijumpai pada
penerapan peran yang seharusnya dari penegak hukum yang berasal dari dirinya
sendiri atau dari lingkungan, yaitu24
:
a) keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain
dengan siapa dia berinteraksi;
b) tingkat aspiraasi yang relatif belum tinggi;
c) kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit
sekali untuk membuat suatu proyeksi;
d) belum adanya kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan
tertentu, terutama kebutuhan material;
24
Soerjono Soekanto I, op.cit., hal. 34-35.
e) kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan
konservatisme.
Faktor ketiga, yakni sarana dan fasilitas yang sangat penting peranannya
dalam penegakan hukum. Sarana dan fasilitas tersebut, antara lain mencakup tenaga
manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang
memadai, keuangan yang cukup. Tanpa adanya sarana dan fasilitas tidak mungkin
penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang aktual.
Jalan pikkiran yang sebaiknya dianut, khususnya untuk sarana atau fasilitas tersebut,
yaitu :
a) yang tidak ada –diadakan yang baru betul;
b) yang rusak atau salah –diperbaiki atau dibetulkan;
c) yang kurang –ditambah;
d) yang macet – dilancarkan;
e) yang mundur atau merosot –dimajukan atau ditingkatkan.25
Masyarakat merupakan faktor keempat yang mempengaruhi penegakan
hukum. Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk mencapai
kedamaian di dalam masyarakat. Salah satu arti hukum yang diberikan oleh
masyarakat Indonesia yakni : hukum diartikan sebagai petugas (polisi, jaksa, hakim).
Anggapan dari masyarakat bahwa hukum adalah identik dengan penegak hukum
mengakibatkan harapan-harapan yang tertuju pada peranan aktual penegak hukum
menjadi terlampau banyak, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya kebingungan
pada diri penegak hukum, oleh karena terjadinya berbagai konflik dalam dirinya.
25
Soerjono Soekanto I, op.cit., hal. 44.
Keadaan demikian juga dapat memberikan pengaruh yang baik, yakni
penegak hukum merasa perilakunya senantiasa mendapat perhatian dari masyarakat.
Masalah lain yang timbul dari anggapan tersebut adalah mengenai penerapan
perundang-undangan. Jika penegak hukum menyadari bahwa dirinya dianggap
hukum oleh masyarakat, maka tidak mustahil bahwa perundang-undangan ditafsirkan
terlalu luas atau terlalu sempit. Disamping itu, mungkin juga timbul kebiasaan untuk
kurang menelaah perundang-undangan yang kadangkala tertinggal dengan
perkembangan di dalam masyarakat.
Disamping itu, ada golongan masyarakat yang mengartikan hukum sebagai
tata hukum atau hukum positif tertulis. Akibat dari anggapan bahwa hukum adalah
hukum positif tertulis belaka adalah adanya kecenderungan kuat satu-satunya tugas
hukum adalah kepastian hukum. Dengan demikian, akan muncul anggapan yang kuat
bahwa satu-satunya tujuan hukum adalah ketertiban. Lebih menekankan pada
kepentingan ketertiban berarti lebih menekankan pada kepentingan umum, sehingga
timbul gagasan kuat bahwa semua bidang kehidupan akan dapat diatur dengan hukum
tertulis. Kecenderungan ini pada akhirnya akan menemukan kepuasan pada lahirnya
perundang-undangan yang belum tentu berlaku secara sosiologis.26
Faktor kelima kebudayaan. Setiap kelompok sosial yang ingin menyebut
dirinya sebagai masyarakat, haruslah menghasilkan kebudayaan yang merupakan
hasil karya, rasa, dan cipta. Kebudayaan tersebut merupakan hasil dari masyarakat
26
Soerjono Soekanto I, op.cit., hal. 54-55.
manusia, sangat berguna bagi warga masyarakat tersebut, karena kebudayaan
melindungi diri manusia terhadap alam, mengatur hubungan antara manusia, dan
sebagai wadah dari segenap persaan manusia. Dari sekian banyak kegunaan
kebudayaan bagi manusia khususnya, akan diperhatikan aspek yang mengatur
hubungan antarmanusia, karena aspek tersebut bertujuan untuk menghasilkan tata
tertib di dalam pergaulan hidup manusia dengan aneka warna kepentingan yang tidak
jarang berlawanan satu dengan lainnya.
Hasil dari usaha-usaha manusia untuk mengatur pergaulan hidupnya,
merupakan hasil rasa masyarakat yang mewujudkan kaidah-kaidah dan nilai-nilai
masyarakat. Hasil rasa tersebut merupakan daya upaya manusia untuk melindungi
dirinya terhadap kekuatan lain di dalam masyarakat. Kekuatan dalam masyarakat
tidak selamanya baik dan untuk menghadapi kekuatan yang buruk.27
3. Teori Keadilan
Rawls adalah tokoh yang meyakini bahwa prinsip-prinsip etika dapat menjadi
dasar yang kuat dalam membangun masyarakat yang adil. Rawls mengembangkan
pemikirannya tentang masyarakat yang adil dengan teori keadilannya yang dikenal
pula dengan teori Posisi Asli. Dalam mengembangkan teorinya, Rawls banyak
terpengaruh oleh aliran Utilitarianisme.28
27
Soerjono Soekanto, 1988, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Penerbit : PT. Raja Grafindo
Perkasa, Jakarta, hal. 203. 28
Ibid, hal. 159.
Mengenai pemikiran Rawls ini akan diuraikan lebih lanjut pada Bab V,
tepatnya pada saat membahas tentang keadilan sebagai salah satu masalah-masalah
filsafat hukum.
Rawls berpendapat perlu ada keseimbangan antara kepentingan pribadi dan
kepentingan bersama. Bagaimana ukuran dari keseimbangan itu harus diberikan,
itulah yang disebut dengan keadilan. Keadilan merupakan nilai yang tidak dapat
ditawar-tawar karena hanya dengan keadilanlah ada jaminan stabilitas hidup
mannusia. Agar tidak terjadi benturan kepentingan pribadi dan kepentingan bersama
itu, perlu ada aturan-aturan. Di sinilah diperlukan hukum sebagai wasitnya. Pada
masyarakat yang telah maju, hukum baru akan ditaati apabila ia mampu meletakkan
prinsip-prinsip keadilan.
Rawls melihat, dalam kenyataannya, distribusi beban dan keuntungan sosial,
seperti pekerjaan, kekayaan, sandang, pangan, papan, dan hak-hak asasi, ternyata
belum dirasakan seimbang. Faktor-faktor seperti agama, ras, keturunan, kelas sosial,
dan sebagainya, menghalangi tercapainya keadilan dalam distribusi itu. Rawls
mengatakan, hal itu tidak lain karena struktur dasar masyarakat yang belum sehat.
Untuk itu Rawls menganjurkan agar dilakukan reorganisasi (call for redress) sebagai
syarat mutlak untuk menuju kepada suatu masyarakat ideal yang baru .29
Menurut Rawls, kebutuhan-kebutuhan pokok meliputi hak-hak dasar,
kebebasan, kekuasaan, kewibawaan, kesempatan, pendapatan, dan kesejahteraan. Jadi
29
Ibid. hal. 159.
dalam kerangka dasar struktur masyarakat, kebutuhan-kebutuhan pokok (primary
goods) terutama dapat dipandang sebagai sarana mengejar tujuan dan kondisi
pemilihan yang kritis serta seksama atas tujuan dan rencana seseorang. Jika
diterapkan pada fakta struktur dasar masyarakat, prinsip-prinsip keadilan harus
mengerjakan dua hal :
1. Prinsip keadilan harus memberi penilaian konkret tentang adil tidaknya
institusi-institusi dan praktik-praktik institusional.
2. Prinsip-prinsip keadilan harus membimbing kita dalam memperkembangkan
kebijakan-kebijakan dan hukum untuk mengoreksi ketidakadilan dalam
struktur dasar masyarakat tertentu (Priyono, 1993 : 37).
Ada tiga syarat supaya manusia dapat sampai pada posisi aslinya, yakni :
1. Diandaikan bahwa tidak diketahui, manakah posisi yang akan diraih seorang
pribadi tertentu di kemudian hari. Tidak diketahui manakah bakatnya,
intelegensinya, kesehatannya, kekayaannya, rencana hidupnya, keadaan
psikisnya.
2. Diandaikan bahwa prinsip-prinsip keadilan dipilih dengan semangat keadilan,
yakni dengan keadilan untuk tetap berpegang pada prinsip-prinsip yang telah
dipilih. Sikap ini perlu oleh karena sasaran-sasaran individual yang dituju
harus dibagi rata antara banyak orang, dan pasti tidak semua orang akan
menerima apa yang mereka inginkan. Sikap ini sebenarnya bertepatan dengan
sikap rasional yang dapat diharapkan dari seorang yang bijaksana.
3. Diandaikan bahwa tiap-tiap orang pertama-tama suka mengejar kepentingan
individualnya dan baru kemudian kepentingan umum.
Rawls mengakui bahwa kecenderungan manusia untuk mementingkan diri
sendiri merupakan kendala utama dalam mencari prinsip-prinsip keadilan itu. Apabila
dapat menempatkan diri pada posisi asli itu, manusia akan sampai pada dua prinsip
keadilan yang paling mendasar sebagai berikut
1. Prinsip kebebasan yang sama sebesar-besarnya (principle of greatest equal
liberty). Menurut prinsip ini setiap orang mempunyai hak yang sama atas
seluruh keuntungan masyarakat. Prinsip ini tidak menghalangi orang untuk
mencari keuntungan pribadi asalkan kegiatan itu tetap menguntungkan
semua pihak.
2. Prinsip ketidaksamaan, yang menyatakan bahwa situasi perbedaan (sosial
ekonomi) harus diberikan aturan sedemikian rupa sehingga paling
menguntungkan golongan masyarakat yang paling lemah (paling tidak
mendapat peluang untuk mencapai prospek kesejahteraan, pendapatan dan
otoritas). Rumusan prinsip kedua ini sesungguhnya merupakan gabungan
dari dua prinsip, yaitu prinsip perbedaan (different principle) dan prinsip
persamaan yang adil atas kesempatan (the principle of fair equality of
opportunity).
Secara keseluruhan, berarti ada tiga prinsip keadilan yang dikemukakan oleh
Rawls, yaitu prinsip : (1) kebebasan yang sama yang sebesar-besarnya, (2) perbedaan,
dan (3) persamaan yang adil atas kesempatan. Tentu saja, tidak semua prinsip-prinsip
keadilan ini dapat diwujudkan bersama-sama karena dapat terjadi prinsip yang satu
berbenturan dengan prinsip yang lainnya. Untuk itu Rawls memberikan prioritas.
Prioritas pertama menetapkan bahwa prinsip kebebasan yang sama sebesar-
besarnya secara leksikal berlaku lebih dulu daripadai prinsip kedua dan ketiga. Hanya
setelah kebebasan diagungkan sepenuhnya, kita dapat bebas pula mengarahkan usaha
mengejar tuntutan yang terdapat dalam prinsip berikutnya. Selanjutnya, prioritas
kedua merupakan relasi antardua bagian prinsip keadilan yang kedua (yaitu antara
prinsip perbedaan dan prinsip persamaan yang adil atas kesempatan). Menurut Rawls,
prinsip persamaan yang adil atas kesempatan secara leksikal berlaku lebih dulu
daripada prinsip perbedaan
Pertanyaan terakhir kita berikutnya adalah tentang teori keadilan seperti apa
yang berlaku bagi bangsa Indonesia? Secara jelas kita dapat langsung menemukan,
bahwa dalam rumusan sila-sila Pancasila terdapat kata-kata adil itu. Sila ke-2
berbunyi : Kemanusiaan yang adil dan beradab, dan Sila ke-5 menyatakan : Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam Ketetapan MPR No. II/MPR/1978
tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, butir-butir dari prinsip
keadilan (termasuk yang disebutkan oleh Rawls) telah diungkapkan pula secara jelas.
Selanjutnya, apabila kita melihat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, secara
tegas juga disebutkan komitmen bangsa Indonesia terhadap keadilan itu.
Jadi dapatlah dikatakan keadilan menurut konsepsi bangsa Indonesia adalah
keadilan sosial. Untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan keadilan sosial ini,
pertama kali harus dikembalikan kepada pengertian adil seperti telah diuraikan di
atas. Aristoteles menyatakan, bahwa seseorang dikatakan berlaku tidak adil adalah
orang itu mengambil lebih dari bagian yang semestinya. Orang yang tdaik
menghiraukan hukum juga adalah orang yang tidak adil, karena semua hal yang
didasarkan kepada hukum dapat dianggap sebagai adil. Jadi keadilan adalah
pernilaian dengan memberikan kepada siapapun sesuai dengan apa yang menjadi
haknya, yakni dengan bertindak proporsional dan tidak melanggar hukum.
Keadilan sosial menuntut supaya manusia hidup dengan layak dalam
masyarakat. Masing-masing harus diberi kesempatan menurut menselijke
waardigheid (kepatutan kemanusiaan). Pembangunan dan pelaksanaan pembangunan,
tidak hanya perlu mengandaikan dan mewujudkan keadilan, melainkan juga
kepatutan. Istilah kepatutan kemanusiaan seperti disebutkan oleh Notohamidjojo dia
tas dapat juga disebut dengan kepatutan yang wajar atau proporsional.
Keadilan dengan begitu berkaitan erat dengan hak. Hanya saja, dalam
konsepsi keadilan bangsa Indonesia, hak ini tidak dapat dipisahkan dengan pasangan
antinominya, yaitu kewajiban. Sila kemanusiaan yang adil dan beradab, misalnya,
dengan tegas mengamanatkan keserasian antara hak dan kewajiban sebagai manusia
yang hidup bermasyarakat. Keadilan hanya dapat tegak dalam masyarakat yang
beradab, atau sebaliknya, hanya masyarakat yang beradab yang dapat menghargai
keadilan. Dipersoalkannya keserasian hak dan kewajiban itu menunjukkan bahwa
manusia adalah mahluk berdimensi monodualistis, yakni sebagai mahluk individual
dan sosial (kolektif). Kedua nilai antinomis itu tidak dapat saling meniadakan. Dari
teori-teori keadilan yang diuraikan di atas, tampak bahwa kriteria keadilan sangatlah
relatif, sehingga keadilan tidak lain adalah keseimbangan dari nilai-nilai antinomi
yang ada. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto : menyebutkan enam pasangan
nilai-nilai : (1) spritualisme/idealisme dan materialisme, (2) individualisme dan
kolektivitas, (3) pragmatisme dan voluntarisme, (4) acsetisisme dan hedonisme, (5)
empirisme dan intuisionisme, (6) rasionalisme dan romantisisme.
Pengertian adil bagi bangsa Indonesia pun tidak serta merta mengarah ke arah
suatu maksimum penggunaan barang bagi suatu komunitas (average utility, dihitung
per kapita) menurut Utilitarianisme, atau ke arah suatu maksimum penggunaan
barang secara merata dengan tetap memperhatikan kepribadian tiap-tiap orang
menurut teori keadilan dari Rawls. Sesuai dengan keseimbangan nilai-nilai antinomi,
maka keadilan sosial dengan demikian menuntut keserasian antara nilai spiritualisme
dan materialisme, indvidulisme dan kolektivisme, pragmatisme dan voluntarisme,
acsetisisme dan hedonisme, empirisme dan intuisionisme, rasionalisme dan
romantisme.
Sehingga akhirnya penegakan the rule of law (yang artinya tidak lain daripada
”supremasi of the law” atau bahwa hukum dianggap sebagai kekuasaan yang
tertinggi) hendaknya bukan hanya berarti penegakkan hukum yang diciptakan oleh
negara atau penguasa raja, hal mana akan berarti penegakan hukum yang melindungi
kwasi-kwasi hak (quasi rights) saja. Akan tetapi penegakkan the rule of law didalam
negara hukum itu hendaknya berarti penegakkan hukum yang melindungi hak-hak
yang sebenarnya, yaitu hak-hak yang memenuhi syarat-syarat kebutuhan masyarakat,
pengakuan dan perlindungan oleh negara dan pengakuan masyarakat inilah yang
dapat menimbulkan ketaatan masyarakat kepada hukum, tanpa perlu diadakannya
kekuasaan oleh pihak penguasa.
Maka akhirnya ini akan berarti, bahwa penegakan rule of law secara ideal
adalah penegakan the rule of social justice atau keadilan sosial.
Yaitu justice atau keadilan, sesuai dengan alam pikiran atau pola masyarakat yang
bersangkutan. Atau dapat pula kita katakan bahwa the rule of law itu berarti the rule
of just law, kekuasaan daripada hukum yang adil. Sebab hanya hukum yang dapat
membawa dan menjamin keadilan sosial itu dapat mengadakan pembagian
(distribusi) daripada hak-hak secara adil pula.
4. Teori Kewenangan
Dalam beberapa sumber menerangkan, bahwa istilah kewenangan
(wewenang) disejajarkan dengan bevoegheid dalam istilah Belanda, menurut Philipus
M. Hadjon salah seorang guru besar Fakultas Hukum Unair mengatakan, bahwa
“wewenang terdiri atas sekurang-kurangnya mempunyai 3 komponen, yaitu
pengaruh, dasar hukum dan komformitas hukum”.30
Komponen pengaruh, bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk
mengendalikan prilaku subyek hukum; dasar hukum dimaksudkan, bahwa weenang
itu haruslah mempunyai dasar hukum; sedangkan komponen komformitas hukum
dimaksud, bahwa wewenang itu haruslah mempunyai standar.
30
Emil J. Sady, 1962, Improvement Local Government for Development Purpose, in Journal of
Local Administration Overseas, hal.135.
Kewenangan secara teoritik dapat diperoleh melalui 3 cara, yaitu atribusi,
delegasi, dan mandat.31
Atributie (atribusi) adalah pemberian wewenang
pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan; Delegasi
adalah pelimpahan wewenang pemerintah dari satu organ pemerintahan kepada organ
pemerintahan yang lain; sedangkan mandat terjadi ketika organ pemerintahan
mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya.
Atmaja menjelaskan, bahwa “wewenang inilah sesungguhnya yang
merupakan “legal power” yang didalamnya melekat 3 (tiga) unsur, yaitu pengaruh
yang memiliki katagori yang eksklusif (keluar) wajib dipatuhi oleh orang lain dan
atau pejabat serta jabatan atau lembaga lainnya, unsur dasar hukum dan unsur
komformitas.32
Sementara itu menurut Hardjon, bahwa “cara memperoleh wewenang, yaitu
melalui: atribusi dan delegasi kadang-kadang juga mandat ditempatkan sebagai cara
tersendiri untuk memperoleh wewenang”.33
Dalam negara hukum, wewenang pemerintahan berasal dari undang-undang
yang berlaku. Dengan kata lain, organ pemerintahan tidak dapat menganggap, bahwa
ia memiliki sendiri wewenang pemerintahan. Sebenarnya kewenangan hanya
diberikan oleh undang-undang; pembuat undang-undang dapat memberi wewenang
pemerintahan, tetapi dapat juga kepada pegawai tertentu atau kepada badan khusus
31
Hadjon, Philipus M., 1991, Peradilan Tata Usaha Negara, Tantangan Awal di Awal
Penerapan UU No.5 Tahun 1986, Majalah FH Unair, No.2-3 Tahun VI, Surabaya, (selanjutnya disebut
Philipus M.III), hal.2. 32
Ridwan, HR., 2002, Hukum Administrasi Negara, UII-Press, Yogyakarta, hal.74. 33
Atmaja, 2003, Hukum Antar Wewenang (Konsep dan Cara Penyelesaian), Makalah Lepas
(bahan Kuliah S2) FH-UNUD, Denpasar, hal.5
tertentu. Dalam konstitusi Indonesia UUD 1945 (setelah amandemen yang keempat
kalinya), ditemukan beberapa Pasal yang melahirkan kewenangan, baik diberikan
kepada eksekutif, yudisial maupun legislatif dalam Pasal-Pasal tersebut.
5. Konsep Beleidsregel (Peraturan Kebijakan)
Dalam kaitan ini, selain konsep konsep yang telah dikemukakan sebelumnya
juga diketengahkan konsep Beleidsregel sebagai titik tolak dalam tulisan ini. Dalam
praktek penyelenggaraan pemerintahan, badan atau pejabat Tata Usaha Negara dapat
membuat peraturan kebijakan antara lain berupa keputusan, instruksi, edaran,
petunjuk dan pengumuman. Peraturan kebijakan yang dibuat oleh badan atau pejabat
Tata Usaha Negara tersebut sudah barang tentu berada dalam koridor hukum.
Keputusan tertulis badan atau pejabat Tata Usaha Negara di Belanda adalah
“Beleidsregel” atau peraturan kebijakan. Dalam Kepustakaan Belanda, ada berbagai
nama lain bagi Peraturan Kebijakan yaitu “Pseudowetgeving” (Van Der Houven),
“Spiegelrech” (Mannourry). Sedangkan istilah “Beleidsregel” dipergunakan antara
lain oleh Vand Kreveld.34
Dari uraian tersebut di atas dapat dipahami bahwa walaupun terdapat berbagai
nama tentang peraturan kebijakan, namun obyek kajiannya sama-sama tertuju pada
peraturan yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara berdasarkan
kebebasan bertindak atau freies Ermessen yang dimungkinkan oleh Peraturan
Perundangan-Undangan.
34
Van Wijk, Dalam Bagir Manan, 1994, Dasar-Dasar Sistem Ketatanegaraan Indonesia
Menurut UUD 1945, Makalah Ilmiah, Bandung, hal.14.
Philipus M. Hadjon (ed), menyatakan bahwa “wewenang badan atau pejabat
Tata Usaha Negara membuat peraturan kebijakan, didasarkan pada asas kebebasan
bertindak (beleidsvrijheid atau beoordelingvrijheid) atau lazim disebut freies
ermessen.35
Istilah Freies Ermessen berasal dari bahasa Jerman, kata “Freies” berasal
dari kata frei yang artinya bebas. Sedangkan kata “Ermessen” berarti
mempertimbangkan, menilai, menduga, penilaian, pertimbangan dan keputusan.36
Dengan demikian istilah “Freies Ermessen” berarti kebebasan
mempertimbangkan yang diberikan kepada badan atau pejabat Tata Usaha Negara
dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan.
Sjachran Basah mengatakan bahwa freies Emerssen melalui sikap tindak
administrasi Negara dapat berwujud.37
a. Membentuk peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang yang
secara materiil mengikat umum.
b. Mengeluarkan beschikking yang bersifat Konkret, final dan individual.
c. Melakukan tindak administrasi yang nyata dan aktif.
d. Menjalankan fungsi peradilan, terutama dalam hal keberatan dan banding
administrasi.
Setiap narapidana yang telah menjalani masa pidananya dengan penilaian
yang baik dan telah melewati beberapa tahap seperti. Tahap Admisi Orientasi, Tahap
35
Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2001, Tata Perijinan Pada Era Otonomi
Daerah, Makalah disampaikan pada symposium Nasional Sistem Kesehatan, di Surabaya, selanjutnya
disebut Philipus M. Hadjon III, hal.1 36
Adolf Heuken Sj, 1987, Kamus Jerman Indonesia, Yayasan Cipta Loka Caraka,
PT. Gramedia, Jakarta, hal.148-177. 37
Sjahran Basah, Perlindungan Hukum terhadap Sikap Tindak Administrasi Negara, Orasi
ilmiah pada Dies Natalis XXIX Unpad, Bandung, 24 September 1986, hal. 4.
Pembinaan, tahap Asimilasi dan yang terakhir adalah Tahap Integrasi.. Adapun
lembaga atau instansi yang diberikan kewenangan untuk mengawasi berlangsungnya
Pembebasan Hersyarat ini adalah Jaksa yang mempunyai kewenangan sebagai
Penuntut Umum. Terungkap bahwa tugas kewenangan Jaksa tidak cukup sampai pada
tahap Penahanan dan Penuntutan, akan tetapi juga mencakup kepada Pelaksanaan
Keputusan Pengadilan, dan ini dinyatakan dalam Pasal 2 ayat 1 Huruf B, Undang-
undang No. 15 Tahun 1961, tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan yang isi
lengkapnya. Kejaksaan mempunyai tugas menjalankan Keputusan dan Penetapan
Hakim Pidana. Di samping itu juga dinyatakan dalam Pasal 270 Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1981, tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang isi
lenkapnya . Pelaksanaan Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap dilakukan oleh Jaksa, yang untuk itu Panitra mengirimkan salinan surat putusan
kepadanya.
Di dalam upaya pengawasan tert,adap narapidana yang mendapat Pembebasan
Bersyarat, Jaksa diberikan kewenangan sebagai pengawas umum, hal ini dinyatakan
dalam Pasal 15a (1) KUHP. Seberapa jauh peranan Jaksa dalam pengawasan terhadap
narapidana yang mendapatkan Pembebasan Bersyarat dinyatakan pada Pasal 16 ayat
(1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) KUHP, dimana Jaksa dapat memberikan
pendapat atau rekomendasi k,epada Menteri Kehakiman RI. Dalam hai rnernutuskan
pemberian Pembebasan Bersyarat, dan juga dalam hal pencabutan Pembebasan
Bersyarat yang sedang berjalan dan juga atas perintah Jaksa yang dapat menahan
narapidana tersebut untuk menjaga ketertiban umum bilamana ada sangkaan yang
beralasan bahwa orang itu di dalam masa percobaan telah melanggar syarat tersebut
di dalam Surat Pasnya.
Berhubungan dengan hambatan-hambatan yang timbul di dalam upaya
pengawasan terdadap narapidana yang mendapat Pembebasan Bersyarat seperti
antara lain : hambatan dalam segi Yuridis, hambatan dalam segi teknis dan
administrsai dan harnbatan dalarn segi sarana dan prasarana.
1.7.2 Kerangka Berpikir
PEMBERIAN
PEMBEBASAN
BERSYARAT
BAGI
NARAPIDANA
Latar Belakang Masalah
a. Kewenangan Menteri
Hukum dan HAM dalam
pemberian Pembebasan
bersyarat
b. Pembebasan beryarat
diberikan 2/3 dari hukuman
pidana minimal 9 tahun
c. Pembebasan berysrata
diberikan terpidana harus
mengajukan permohonan
dan menunjukkan adanya
perubahan yang bersifat baik
Rumusan Masalah
1. Apakah semua
Narapidana mesti di
berikan pembebsan
bersyarat oleh Menteri Hukum dan HAM ?
2. Apa yang menjadi syarat
untuk pemberian
pembebasan bersyarat di
Lembaga
Pemasyarakatan oleh
Menteri Hukum dan HAM ?
Pemecahan
Penelitian hokum ecara Normatif adanya
konflik Norma antara UU No. 12 tahun
1995 tentang pemasyarakatan dengan
Peraturan Menteri hokum dan ham no. 99
tahun 2012
Landasan Teori
a. Asas-asas Hukum
b. Konsep Hukum
c. Peraturan Perundang-undangan
d. Doktrin
e. Yurisprodensi
f. Teori-Teori
Pendekatan Penelitian
1. Pendekatan Perundang-undangan
2. Pendekatan Kasus
3. Pendekatan Perbandingan
1. Konsep Negara Hukum
2. Teori Kewenangan
3. Teori Kebijakan
4. Teori Penegakkan Hukum
Teknik Analisis
a. Deskriptif
b. Interpretasi
c. argumentasi
Kewenangan Menteri Hukum
dan HAM dalam Pemberian
Pembebasan Bersyarat di
Lembaga Pemasyarakatan kelas
II A Denpasar.
1.8 Metode Penelitian
Menurut Kartini Kartono, metode penelitian adalah cara – cara berpikir dan
berbuat, yang dipersiapkan dengan baik untuk mengadakan penelitian dan guna
mencapai tujuan.38
Dari uraian tersebut diatas dapat dipahami, bahwa penelitian pada
dasarnya adalah suatu kegiatan yang terencana dilakukan dengan metode ilmiah
bertujuan untuk mendapatkan data baru guna mendapatkan kebenaran ataupun
ketidakbenaran dari suatu gejala yang ada.
1.8.1. Jenis Penelitian
Sebagaimana diketahui, ilmu hukum mengenal dua jenis penelitian yakni
Penelitian Hukum Normatif (penelitian doktrinal) Penelitian normatif dilakukan
dengan cara meneliti bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum
tersier. Dalam jenis penelitian ini adanya konflik norma hukum antara Undang-
undang No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dengan Peraturan Menteri Hukum
dan HAM No. 99 tahun 2012.
1.8.2. Metode Pendekatan
Sesuai dengan tujuan penelitian tentang Pembebasan Bersyarat dengan
melakukan pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan konseptual (conceptual
appproach) dan pendekatan perUndang-Undangan (statute approach) yaitu Undang-
Undang No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan ; Peraturan Pemerintah No. 99
Tahun 2012 tentang syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
38
Kartini Kartono, 1995, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum. Dalam
Hilman Adikusuma, Penerbit Mandar Maju, Bandung, hal. 58
1.8.3. Sumber Bahan Hukum
Adapun sumber bahan hukum dalam penelitian ini berasal dari penelitian
kepustakaan (library research) Penelitian ini kepustakaan dilakukan terhadap
beberapa macam sumber/bahan yang dapat digolongkan atas bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder . bahan hokum primer meliputi Undang-Undang No. 12 tahun
1995 tentang Pemasyarakatan ; Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012 tentang
syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan.
Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini yakni bahan
kepustakaan yang berisikan informasi tentang bahan hukum primer, yang sudah
barang tentu bahan hukum ini saling berkaitan satu sama lainnya, seperti Undang-
Undang , hasil penelitian, karya tulis dari kalangan hukum dan sebagainya, termasuk
jurnal atau hasil seminar hukum maupun pandangan ahli hukum yang termuat dalam
media masa.
1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Pengumpulan bahan hukum diatas dilakukan dengan cara menginventarisir,
mempelajari dan mendalami bahan-bahan hukum primer dan sekunder yang terkait
dengan penelitian yaitu dengan membuat catatan dalam kartu kecil dan dilakukan
klasifikasi terhadap bahan-bahan tersebut. Sistematisasi perlu dilakukan melalui
secara horisontal dengan menaliti penomorannya atau perumusan perUndang-
Undangannya dalam ini adalah Undang-Undang No. 12 tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan ; Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012 tentang syarat dan Tata
Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan. Hal ini dilakukan untuk mempermudah
melakukan analisis terhadap perumusan yang menjadi obyek penelitian. Sedangkan
penggunaan methode bola salju dilakukan dengan menelusuri bahan acuan yang
digunakan pada bahan atau sumber sekunder dan dilakukan pengkajian secara
mendalam dan laporan penelitian tertulis yang disusunnya.39
1.8.5. Analisis bahan hukum.
Analisa dapat dirumuskan sebagai suatu proses penguraian secara sistematis
dan konsisten terhadap gejala-gejala tertentu. Penguraian secara sistematis terhadap
gejala-gejala atau data-data yang diperoleh dalam penelitian ini selanjutnya dianalisa
secara kuantitative. Kemudian mengidentifikasi dari data yang terkumpul dari bahan
primer dan sekunder serta dilakukan dengan teknik argumentasi dan teknik
sistemalisasi : Teknik argumentasi yaitu penilaian yang didasarkan pada alasan-
alasan yang bersifat penalaran pendalaman hukum. Dengan teknik sistematik ini
yakni dengan mencari eterkaitan suatu norma hukum diantara peraturan perUndang-
Undangan yang diteliti. Namun dari hasil analisa tersebut diharapkan dapat diperoleh
hasil atau kesimpulan atas permasalahan yang diangkat khususnya yang berkaitan
dengan wewenang hukum dan HAM dalam pemberian pembebasan bersyarat.
39
Soejono Soekanto dan Srimamuji, Penelitian Hukum Normatif ( Suatu Tinjauan Singkat) PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1985, hal.30