21
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dewasa ini di Indonesia kebutuhan masyarakat terhadap pengangkatan anak merupakan salah satu bagian dari sistem hukum kekeluargaan, karena menyangkut kepentingan orang-perorang dalam keluarga. Khususnya di Bali pengangkatan anak dilakukan melalui tradisi adat Bali untuk melanjutkan hak dan kewajiban secara waris dari keluarga yang mengangkat dan tentunya pelaksanaan pengangkatan anak juga haruslah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Untuk mengakomodir setiap orang yang ingin melakukan pengangkatan anak maka telah muncul lembaga yang mengurusi pengangkatan anak (adopsi) yang kini telah menjadi bagian budaya masyarakat. Anak merupakan amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, bahkan anak dianggap sebagai harta kekayaan yang paling berharga dibandingkan kekayaan harta benda lainnya. Karenanya, anak sebagai amanah Tuhan harus senantiasa dijaga dan dilindungi karena dalam diri anak melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hak-hak Anak. Dilihat dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah pewaris dan sekaligus potret masa depan bangsa di masa datang, generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · orang lain sehingga seakan-akan menjadi anak kandung sendiri. Pengangkatan anak masuk dalam hukum keluarga, dan tidak akan pernah

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Dewasa ini di Indonesia kebutuhan masyarakat terhadap pengangkatan

anak merupakan salah satu bagian dari sistem hukum kekeluargaan, karena

menyangkut kepentingan orang-perorang dalam keluarga. Khususnya di Bali

pengangkatan anak dilakukan melalui tradisi adat Bali untuk melanjutkan hak dan

kewajiban secara waris dari keluarga yang mengangkat dan tentunya pelaksanaan

pengangkatan anak juga haruslah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan

yang berlaku. Untuk mengakomodir setiap orang yang ingin melakukan

pengangkatan anak maka telah muncul lembaga yang mengurusi pengangkatan

anak (adopsi) yang kini telah menjadi bagian budaya masyarakat.

Anak merupakan amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa,

bahkan anak dianggap sebagai harta kekayaan yang paling berharga dibandingkan

kekayaan harta benda lainnya. Karenanya, anak sebagai amanah Tuhan harus

senantiasa dijaga dan dilindungi karena dalam diri anak melekat harkat, martabat,

dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak

merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang

Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hak-hak Anak.

Dilihat dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah pewaris

dan sekaligus potret masa depan bangsa di masa datang, generasi penerus cita-cita

bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan

2

berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan

dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.1

Pengangkatan anak dan anak angkat termasuk bagian substansi dari hukum

perlindungan anak yang telah menjadi bagian dari hukum yang hidup dan

berkembang dalam masyarakat sesuai dengan adat istiadat dan motivasi yang

berbeda-beda serta perasaan hukum yang hidup dan berkembang di masing-

masing daerah. Anak, demi pengembangan kepribadiannya secara utuh dan

harmonis hendaknya tumbuh kembang dalam suatu lingkungan keluarga yang

bahagia, penuh kasih sayang dan pengertian. Namun tidak sedikit pula anak-anak

yang di terlantarkan, hanya karena beberapa faktor, dan diantaranya adalah karena

faktor ekonomi seperti kemiskinan. Merasa tidak sanggup untuk memenuhi hak-

hak anaknya orangtua rela menyerahkan anak kandungnya ke panti asuhan karena

takut menterlantarkan anaknya.2

Ada beberapa sebab sehingga pengangkatan anak berkembang dalam

masyarakat, antara lain :

a. Karena tidak mempunyai anak

b. Karena belas kasihan terhadap anak yang mempunyai orang tua kandung

tidak mampu, atau anak tersebut sudah yatim piatu

c. Hanya memiliki anak laki-laki saja atau anak perempuan saja

d. Sebagai pancingan agar dapat memiliki anak sendiri.

1 Ahmad Kamil dan Fauzan, 2010, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak Di

Indonesia, Cetakan ke-2, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta , hal.1 2Koesparmono Irsan, Hukum Dan Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Yayasan Brata Bhakti,

2009), hlm. 63. .

3

Definisi anak angkat dalam pasal 1 angka 9 Undang-Undang No.35 Tahun

2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak yang berbunyi :

“Anak Angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan

keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas

perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, kedalam lingkungan

keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan”.

Di Bali pengangkatan anak juga tidak terlepas dari pengaruh hukum adat.

Dalam masyarakat hukum adat, pengangkatan anak dilakukan untuk mengayomi,

membantu dan memberikan perlindungan hukum terhadap anak angkat. Dalam

tradisi masyarakat adat, pengangkatan anak melalui sebuah proses adat. Proses

pengangkatan anak yang dipimpin oleh petua adat, dimaksudkan agar seseorang

yang dijadikan sebagai anak angkat akan mengetahui hak dan kewajibannya

sebagai anak angkat dan sebaliknya orang tua angkat pun mengetahui hak dan

kewajibannya sebagai orang tua angkat.

Pada masyarakat hukum adat Bali ikatan kekeluargaannya patrilineal,

yaitu berdasarkan pada garis keturunan bapak. Hal ini membawa konsekwensi

adanya peranan yang sangat penting bagi anak laki-laki sebagai penerus keturunan

bagi keluarganya, sedangkan tidak demikian halnya dengan anak perempuan.

Anak laki-laki sebagai penerus keturunan, mempunyai kewajiban

bertanggungjawab terhadap pemujaan leluhurnya, oleh karena itu ia berhak

terhadap harta warisan orang tuanya. Selanjutnya bagi mereka yang tidak

4

mempunyai anak laki-laki seringkali akan melakukan perbuatan mengangkat anak

sebagai penerus keturunan keluarganya.3

KUH Perdata (BW) tidak mengatur mengenai pengangkatan anak. Hal ini

membawa akibat tidak ada pengangkatan anak yang didasarkan pada KUH

Perdata. Akan tetapi, akibat perang Dunia II di Belanda telah lahir Undang-

Undang tentang Pengangkatan Anak, yaitu: Staatsblad Nomor 129 Tahun 1917.

Dalam Staatsblad ini menyatakan bahwa anak adopsi memiliki hubungan

keperdataan secara hukum dan disamakan posisisnya sebagai anak yang lahir dari

orang tua angkatnya, sehingga dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari

perkawinan orang tua angkat dan menjadi ahli waris orang tua angkat.4

Sebagai kenyataan sosial yang tidak terbantahkan bahwa keinginan

mempunyai anak adalah hal yang manusiawi dan alamiah, namun demikian

melihat ketentuan hukum positif yang berlaku di Indonesia, akhirnya masyarakat

terbentur oleh eksistensi adopsi di Indonesia sendiri, oleh karena banyak

ketidakksinkronan apabila kita menelaah tentang eksistensi lembaga adopsi itu

sendiri dalam sumber-sumber hukum positif yang berlaku di Indonesia, baik

hukum barat yang bersumber dari ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam

Burgerlijk Wetboek (BW), hukum adat yang merupakan “the living law” yang

berlaku di Indonesia maupun hukum Islam yang merupakan konsekuensi logis

dari masyarakat Indonesia yang mayoritas mutlak beragama Islam .

3 Djaren Saragih, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Tarsito, Bandung, 1984, hal. 137. 4 Rachmad Budiono, Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, Cetakan

Pertama, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hlm. 190

5

Pengangkatan anak dapat dilakukan oleh setiap orang tua angkat yang

telah memenuhi syarat sebagaimana ketentuan undang-undang, orang tua angkat

yang berstatus suami istri tentu lebih mudah melangkapi syarat-syarat dalam hal

pengangkatan anak, dilain pihak bagi orang tua angkat yang tidak menikah,

ataupun berstatus duda maupun janda (disebut sebagai orang tua tunggal) tentu

akan lebih ketat terkait persyaratan apabila seorang orang tua tunggal ingin

mengangkat anak, pengangkatan anak oleh orang tua tunggal di bali dilakukan

secara adat bali dan tentunya tidak boleh menyimpang dari ketentuan perundang-

undangn yang berlaku di Indonesia.

Sebagaimana pengangkatan anak oleh Orang Tua Tunggal yang dilakukan

melalui mekanisme Hukum adat Bali dan tetap berpatokan pada hukum positif di

Indonesia, sebagaimana studi dokumen Putusan Pengadilan Negeri Denpasar

Nomor :30/PDT.P/2012/PN.DPS. pengangkatan anak yang dilakukan oleh Orang

Tua Tunggal yaitu berdasarkan hukum adat, hal tersebut terjadinya

ketidaksinkronan dengan hukum positif yang ada di Indonesia tentang

pengangkatan anak. Berdasarkan Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah No.54

Tahun 2007 bahwa Pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan setempat

adalah pengangkatan anak yang dilakukan dalam satu komunitas yang nyata-nyata

masih melakukan adat dan kebiasaan dalam kehidupan bermasyarakat .

Pengangkatan anak secara adat kebiasaan dilakukan sesuai dengan tata

cara yang berlaku di dalam masyarakat yang bersangkutan . Dan Pengangkatan

anak berdasarkan adat kebiasaan setempat ini dapat dimohonkan penetapan

pengadilan (Pasal 9 ayat (2) PP 54/2007). Berdasarkan Pasal 17 ayat (2) Peraturan

6

Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 110/Huk/2009 Tahun 2009 tentang

Persyaratan Pengangkatan Anak (“Permensos 110/2009”), Kepala Instansi Sosial

Provinsi dan kabupaten/kota berkewajiban melakukan pencatatan dan

pendokumentasian terhadap Pengangkatan Anak. Pengangkatan anak berdasarkan

adat kebiasaan dapat dimohonkan penetapan pengadilan untuk memperoleh status

hukum anak dan kepastian hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

Karena banyak beberapa kasus pengangkatan anak yang terjadi justru anak

yang diangkat dijadikan alat atau manfaat oleh mereka untuk kepentingan

pribadinya dan melupakan hak-hak yang seharusnya diberikan kepada anak oleh

orang tua angkatnya.

Hal terpenting yang perlu digaris bawahi bahwa pengangkatan anak harus

dilakukan dengan proses hukum dengan produk penetapan pengadilan. Jika

hukum berfungsi sebagai penjaga ketertiban dan sebagai rekayasa sosial, maka

pengangkatan anak yang harus dilakukan melalui penetapan pengadilan tersebut

merupakan kemajuan ke arah penertipan praktik hukum pengangkatan anak yang

hidup di tengah-tengah masyarakat, agar peristiwa pengangkatan anak itu

dikemudian hari memiliki kepastian hukum baik bagi anak angkat maupun bagi

orang tua angkat. Pengangkatan anak adalah suatu kegiatan mengangkat anak

orang lain sehingga seakan-akan menjadi anak kandung sendiri. Pengangkatan

anak masuk dalam hukum keluarga, dan tidak akan pernah bisa lepas dari

kehidupan manusia, karena hal semacam ini akan terus ada sampai kapanpun

juga. Dalam pengangkatan anak pasti akan timbul suatu akibat hukum.

7

Berdasarkan latar belakang diatas, sangat relevan untuk diteliti lebih lanjut

dalam skripsi dengan judul “KONSEKUENSI HUKUM PENETAPAN

PENGADILAN SEHUBUNGAN DENGAN PENGANGKATAN ANAK

OLEH ORANG TUA TUNGGAL (Single Parent Adoption) Studi Kasus Di

Pengadilan Negeri Denpasar”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana dikemukakan diatas, maka

dapat dirumuskan beberapa masalah antara lain :

1. Bagaimana pelaksanaan pengangkatan anak oleh orang tua tunggal

(Single Parent Adoption) ?

2. Bagaimana konsekuensi hukum penetapan pengadilan terhadap

pengangkatan anak oleh orang tua tunggal (Single Parent Adoption) ?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Dalam setiap karya ilmiah diperlukan adanya suatu ketegasan tentang materi

yang diuraikan, hal ini disebabkan untuk mencegah agar materi yang dibahas

tidak menyimpang dari pokok permasalahan, adapun ruang lingkup bahasan akan

dibatasi sesuai dengan judul skripsi dan penekanannya hanya pada permasalahan

yang diajukan. Maksudnya adalah disamping mempermudah dalam

mempertanggung jawabkan, juga karena terbatasnya kemampuan dan waktu, oleh

sebab itulah penekanannya disini adalah pertama ; pelaksanaan pengangkatan

anak oleh orangtua tunggal (Single Parent Adoption). Sedangkan permasalahan

8

yang kedua ; konsekuensi hukum penetapan pengadilan terkait pengangkatan

anak di pengadilan.

1.4 Orisinalitas

Penelitian ini merupakan penelitian yang dibuat berdasarkan ide yang timbul

dari pemikiran sendiri, dari hasil membaca berbagai literature. Berdasarkan hasil

penelusuran di internet, ditemukan penelitian yang sejenis namun memiliki

perbedaan substansi yaitu :

Nama Judul Skripsi Tempat Rumusan Masalah

Zakia Al Farhani Proses pengangkatan

anak (adopsi) dalam

perspektif hukum

Islam

Universitas

islam negeri

syarif

hidayatulah ,

Jakarta

1. Bagaimana proses

pelaksanaan pengangkatan

anak (adopsi) pada yayasan

siran Malik?

2. Apa akibat hukum dari

proses pengangkatan anak

yang tidak sesuai dengan

aturan hukum di Indonesia?

Endang Sri Utami

(2014)

Pengangkatan anak

Sebagai Upaya

pemenuhan Hak

Anak ( Studi kasus

Yayasan Sayap Ibu

Yogyakarta)

Universitas

Islam Negeri

Kalijaga,

Yogyakarta

1. Bagaimanakah pelaksanaan

pengangkatan anak di

Yayasan Sayap Ibu

Yogyakarta dan bagaimana

kaitannya dengan usaha

pemenuhan Hak?

2. Bagaimanakah akibat hukum

pengangkatan anak yang

diangkat baik terhadap orang

tua angkat maupun anak

angkat?

1.5 Tujuan Penulisan

Secara garis besar dapat dikemukakan bahwa tujuan dari penulisan skripsi ini

antara lain :

9

1.5.1 Tujuan Umum

1. Untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum

pada Fakultas Hukum Universitas Udayana.

2. Untuk melatih mahasiswa dalam usaha menyatakan pikiran ilmiah secara

tertulis.

3. Untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya pada

bidang penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa.

4. Untuk memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu hukum.

5. Untuk mengembangkan diri pribadi mahasiswa ke dalam kehidupan

masyarakat

1.5.2 Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus dalam penelitian ini antara lain :

1. Untuk mengetahui dan memahami pelaksanaan pengangkatan anak oleh

orangtua tunggal (Single Parent Adoption).

2. Untuk mengetahui konsekuensi penetapan pengadilan terhadap

pengangkatan anak yang dilakukan oleh orang tua tunggal(Single Parent

Adoption).

1.6 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini antara lain :

a. a. Manfaat Teoritis

1. Memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum

tentang pengangkatana anak..

10

2. Memperdalam pengetahuan dan pengalaman terhadap berbagai

permasalahan yang ditemukan, khususnya di bidang ilmu hukum

Perdata dalam hal proses pengangkatan anak.

b. Manfaat Praktis

1. Sebagai pedoman yang digunakan oleh para penegak hukum dan

masyarakat dalam hal pengangkatan anak apabila dalam proses

pengangkatan anak terjadi suatu permasalahan.

2. Melatih diri untuk berani mengungkapkan pendapat dan solusi terhadap

permasalahan yang terjadi.

3. Hasil penelitian ini di harapkan dapat bermanfaat khususnya bagi

masyarakat.

1.7 Landasan Teoritis

Landasan Teoritis merupakan dukungan teori, konsep, asas, dan pendapat-

pendapat hukum dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari

permasalahan yang dianalisis, dalam setiap penelitian harus disertai dengan

pemikiran-pemikiran teoritis, oleh karena ada hubungan timbal balik yang erat

antara teori dengan kegiatan pengumpulan dan pengolahan data, analisa, serta

konstruksi data. Dan karena itu maka terlebih dahulu sangat diperlukan atau

dikemukakan beberapa teori berupa pendapat para ahli yang relevan dengan

permasalahan yang diteliti.

11

Teori yang dipakai membahas permasalahan yang sedang diteliti dalam

skripsi ini antara lain :

a. Teori Perlindungan Hukum

Dalam menjawab rumusan permasalahan terkait dengan Bagaimana

pelaksanaan pengangkatan anak oleh orang tua tunggal (Single Parent Adoption)

yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penulisan ini adalah teori Teori

Perlindungan Hukum

Pada dasarnya dalam suatu kehidupan manusia tidaklah kompleks

bilamana tidak memiliki keturunan, keinginan untuk memiliki keturunan atau

mempunyai anak merupakan suatu naluri manusia dan alamiah. Akan tetapi

kadang kala naluri itu terbentuk pada takdir dimana kehendak seorang ingin

mempunyai anak tidak tercapai. Oleh karena itu dalam hal pemikiran anak usaha

yang pernah mereka lakukan adalah mengangkat anak atau sering dikenal dengan

istilah adopsi.5

Philipus M.Hadjon mengemukakan bahwa perlindungan hukum

merupakan perlindungan harkat dan martabat dan pengakuan terhadap hak asasi

manusia yang dimiliki oleh subyek hukum dalam negara hukum dengan

berdasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku di negara tersebut guna

mencegah terjadinya kesewenang-wenangan. Perlindungan hukum itu pada

umumnya berbentuk suatu peraturan tertulis, sehingga sifatnya lebih mengikat dan

5 J.Satrio, Hukum Keluarga tentang Kedudukan Anak dalam Undang-Undang, (Bandung

: PT.Citra Aditya Bakti,2000), hlm.18.

12

akan mengakibatkan adanya sanksi yang harus dijatuhkan kepada pihakyang

melanggarnya6.

Menurut Philipus M.Hadjon, dibedakan dua macam perlindungan

hukum, yaitu7:

1. Perlindungan hukum yang preventif yang bertujuan untuk mencegah

terjadinya permasalahan atau sengketa.

2. Perlindungan hukum yang represif yang bertujuan untuk

menyelesaikan permasalahan atau sengketa yang timbul.

Teori perlindungan hukum dipergunakan untuk mengkaji pelaksanaan

Pengangkatan anak oleh Orang Tua Tunggal dari sisi perlindungan terhadap anak

angkat dan orang tua angkat dalam pelaksanaan pengangkatan anak oleh Orang

tua tunggal, sehingga dengan mengikuti aturan-aturan hukum yang tepat dan

benar maka perlindungan hukum pun akan muncul dalam pelaksanaan

pengangkatan anak.

b. Teori Kepastian Hukum

Dalam menjawab rumusan permasalahan terkait dengan konsekuensi

penetapan pengadilan pengangkatan anak yang dilakukan oleh orang tua tunggal

(Single Parent Adoption), yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penulisan

ini adalah teori kepastian hukum.

Teori kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama

adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa

6 Philipus M.Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, Surabaya : Bina

Ilmu, h.205 7 Ibid, h.117

13

yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi

individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang

bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau

dilakukan oleh negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa

pasal-pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam

putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya

untuk kasus yang serupa yang telah diputuskan.8

R. Soepomo memberi pengertian pengangkatan anak adalah perbuatan

hukum yang melepaskan anak itu dari pertalian keluarga dengan orang tuanya

sendiri dan memasukkan anak itu ke dalam keluarga bapak angkat, sehingga anak

tersebut berkedudukan sebagai anak kandung untuk meneruskan keturunan bapak

angkatnya. Pengertian pengangkatan anak di Bali kiranya tidak jauh berbeda

dengan yang dikemukakan di atas. Adapun yang dimaksud dengan anak angkat

dalam hukum adat Bali adalah anak orang lain diangkat oleh orang tua angkatnya

menurut adat setempat, sehingga dia mempunyai kedudukan sama seperti anak

kandung yang dilahirkan oleh orang tua angkatnya tersebut. Hal ini selanjutnya

akan membawa akibat hukum dalam hubungan kekeluargaan, waris dan

kemasyarakatan. Konsekuensinya disini segala hak dan kewajiban yang ada ada

orang tua angkatnya akan dilanjutkan oleh anak angkat itu sendiri, sebagaimana

layaknya seperti anak kandung. Dari pengertian pengangkatan menurut Hukum

Adat Bali seperti tersebut di atas dapat dijabarkan :

1. Adanya perbuatan melepas si anak dari kekuasaan orang tua kandung.

8Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Group,

Jakarta, hal.158

14

2. Adanya perbuatan memasukkan si anak ke dalam kekerabatan orang tua

angkatnya9

Definisi Pengangkatan Anak menurut Pasal 1 butir 2 Peraturan Pemerintah

Nomor 54 Tahun 2007 adalah sebagai berikut :"Pengangkatan anak adalah suatu

perbuatan hukum yang mengalihkan, seorang anak dari lingkungan kekuasaan

orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan,

pendidikan dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang

tua angkat".

Sedangkan definisi Orang Tua Angkat, menurut Pasal 1 butir 4 Peraturan

Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan pengangkatan Anak,

adalah sebagai berikut : "Orang tua angkat adalah orang yang diberi kekuasaan

untuk merawat, mendidik, dan membesarkan anak berdasarkan peraturan

perundang-undangan dan adat kebiasaan". Dari definisi tersebut dapat

disimpulkan bahwa orang tua angkat memiliki suatu kekuasaan orang tua angkat

terhadap anak angkatnya yang meliputi :

1. Kekuasaan untuk merawat anak asuh

2. Kekuasaan untuk mendidik anak asuh

3. Kekuasaan untuk membesarkan anak asuh.

9 Soepomo, R, 2000, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, hal.104

15

Berdasarkan Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang

Pelaksanaan Pengangkatan Anak bahwa untuk mengangkat anak oleh orang tua

tunggal antara lain

1) Pengangkatan anak oleh orang tua tunggal hanya dapat dilakukan oleh Warga

Negara Indonesia setelah mendapat izin dari Menteri.

2) Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat didelegasikan

kepada kepala instansi sosial di provinsi.

Undang-Undang No.35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang

No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dinyatakan bahwa pengangkatan

anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak angkat dengan orang tua

kandungnya. Mengenai hak dan kewajiban secara umum adalah hak dan

kewajiban yang ada antara anak dan orang tua baik secara agama, moral maupun

kesusilaan. Dalam UU ini diatur dalam pasal 39, 40 dan pasal 41. Dalam pasal-

pasal tersebut ditentukan bahwa pengangkatan anak tersebut harus seagama dan

tidak memutuskan hubungan darah anak angkat dengan orang tua kandungnya.10

Dan berdasarkan Pasal 4 sampai dengan Pasal 7 Peraturan Menteri Sosial

Republik Indonesia, No. 110/ HUK/ 2009 tentang Persyaratan Pengangkatan

Anak menyebutkan bahwa :

Pasal 4

Syarat material calon anak yang dapat diangkat meliputi:

a. anak yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun;

b. merupakan anak terlantar atau diterlantarkan;

10

Husnah ,2009, Pelaksanaan Pengangkatan Anak (adopsi) yang Dilakukan oleh Warga

Masyarakat di Indonesia, Skripsi Universitas Indonesia, Depok,hal 47

16

c. berada dalam asuhan keluarga atau dalam Lembaga Pengasuhan Anak; dan

d. memerlukan perlindungan khusus.

Pasal 5

Permohonan pengangkatan anak harus melampirkan persyaratan administratif

CAA yang meliputi:

a. copy KTP orang tua kandung/wali yang sah/kerabat CAA;

b. copy kartu keluarga orang tua CAA; dan

c. kutipan akta kelahiran CAA.

Pasal 6

Persyaratan CAA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, dibagi dalam 3

(tiga) kategori yang meliputi :

a. anak belum berusia 6 (enam) tahun merupakan prioritas utama, yaitu anak

yang mengalami keterlantaran, baik anak yang berada dalam situasi mendesak

maupun anak yang memerlukan perlindungan khusus;

b. anak berusia 6 (enam) tahun sampai dengan belum berusia 12 (dua belas)

tahun sepanjang ada alasan mendesak berdasarkan laporan sosial, yaitu anak

terlantar yang berada dalam situasi darurat;

c. anak berusia 12 (dua belas) tahun sampai dengan belum berusia 18 (delapan

belas) tahun yaitu anak terlantar yang memerlukan perlindungan khusus

Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 3 Tahun 2005 tentang

Pengangkatan Anak ini ditentukan antara lain tentang syarat-syarat permohonan

pengesahan/ pengangkatan anak antara WNI oleh orang tua angkat WNA (inter

country adoption), pengangkatan yang langsung dilakukan antara orang tua

kandung dan orang tua angkat (private adoption) dan juga tentang pengangkatan

anak yang dapat dilakukan oleh seorang Warga Negara Indonesia yang tidak

terikat dalam perkawinan yang sah/belum menikah (single parent adoption).

Permohonan pengesahan pengangkatan anak yang diajukan kepada

Pengadilan Negeri yang kemudian diputus tampak semakin hari semakin

bertambah baik yang merupakan suatu bagian tuntutan gugatan perdata, maupun

yang merupakan permohonan khusus pengesahan pengangkatan anak. Keadaan

tersebut merupakan gambaran bahwa kebutuhan akan pengangkatan anak dalam

17

masyarakat makin bertambah dan dirasakan bahwa untuk memperoleh jaminan

kepastian hukum untuk itu hanya didapat setelah memperoleh suatu keputusan

Pengadilan.

Perbedaannya dengan calon orang tua angkat dari pasangan suami istri,

bagi orang tua tunggal yang ingin mengangkat anak tersebut disyaratkan

mendapat izin dari Menteri Sosial terlebih dahulu dan harus melalui Lembaga

Pengasuhan Anak selanjutnya memohonkan kepada pengadilan. Sedangkan calon

orang tua angkat dari pasangan suami istri, tidak harus melalui lembaga

pengasuhan anak, karena dapat pula melalui pengangkatan anak secara langsung,

serta tidak harus mendapat izin menteri, namun cukup mendapatkan surat

Keputusan Izin Pengangkatan Anak yang dikeluarkan oleh Kepala Instansi Sosial

Propinsi selanjutnya memohonkan kepada pengadilan.

1.8 Metode Penelitian

Untuk memperoleh, mengumpulkan, serta menganalisa setiap data

maupun informasi yang sifatnya ilmiah, diperlukan metode agar karya tulis

ilmiah mempunyai susunan yang sistematis dan konsisten, yaitu:

1.8.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah

penelitian hukum yuridis empiris. Penelitian hukum empiris merupakan

penelitian ilmiah yang menjelaskan fenomena hukum tentang terjadinya

kesenjangan antara norma dengan perilaku masyarakat. Dan jenis penelitian

ilmu hukum dengan pendekatan dari aspek yuridis empiris memiliki ciri

18

yaitu suatu penelitian yang beranjak dari adanya kesenjangan antara das

solen dengan das sein yaitu kesenjangan antara teori dengan dunia realita,

kesenjangan antara keadaan teoritis dengan fakta hukum, dan/atau adanya

situasi ketidaktahuan yang dikaji untuk pemenuhan kepuasaan akademik.

1.8.2 Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif (Penggambaran). Penelitian ini

bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan,

gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu

gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala

dengan gejala lain dalam masyarakat. Penelitian ini menggambarkan

konsekuensi hukum penetapan pengadilan sehubungan dengan

pengangkatan anak oleh orang tua tunggal.

1.8.3 Jenis Pendekatan

Penelitian ini menggunakan 2 (dua) jenis pendekatan dalam

membedah permasalah penelitian, yaitu dengan pendekatan perundang-

undangan (the statue approach) dan pendekatan kasus ( the case

approach). Dan langkah pertama yang dilakukan adalah merujuk pada sisi

hukum dan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai

pengangkatan anak. Setelah merujuk pada sisi hukum yang mendasarinya,

maka langkah selanjutnya adalah melihat ke lapangan pelaksanaan

pengangkatan anak di Pengadilan Negeri Denpasar. Pada langkah kedua

ini tidak lain merujuk faktanya yang terkait dengan proses pengakatan

anak dan konsekuensi hukum putusan pengangkatan anak di pengadilan.

19

1.8.4 Sumber Data

Sumber Data dalam penyusunan skripsi ini, diperoleh melalui :

1. Data Primer

Data primer adalah data yang bersumber dari peraturan perundang-

undangan dan peraturan-peraturan lain yang terkait dengan penelitian.

Secara khusus dalam penelitian ini bahan hukum primernya adalah

Undang-Undang No.35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-

Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Peraturan

Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007, Surat Edaran Mahkamah Agung RI

No. 3 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Anak,

2. Data Sekunder

Data sekunder yaitu data yang memberikan petunjuk dan kejelasan

terhadap bahan hukum primer, yang terdiri dari buku-buku literature,

makalah, dan karya ilmiah lainnya yang berhubungan dengan penelitian

ini.

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang memiliki

kekuatan mengikat seperti peraturan perundang-undangan yang

berlaku yang terkait dengan permasalahan dalam penelitian ini.

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer. Misalnya karya-karya

ilmiah, dan juga hasil dari suatu penelitian yang terkait dengan

pengangkatan anak.

20

c. Bahan Hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberi petunjuk

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder seperti internet, artikel, dan lainnya yang berhubungan

dengan penelitian ini.

1.8.5 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini baik data primer

maupun sekuder diperoleh melalui studi kepustakaan (study document)

baik melalui penelusuran peraturan perundang-undangan, dokumen-

dokumen maupun literature-literature ilmiah dan penelitian para paka

yang sesuai dan berkaitan dengan objek dan permasalahan yang akan

diteliti.

Sedangkan untuk data lapangan digunakan teknik interview, yaitu

suatu proses tanya jawab lisan dalam masa dua orang atau lebih

berhadap-hadapan secara fisik yang satu dapat melihat yang lain dan

mendengarkan dengan telinganya sendiri.11

Dalam hal ini dilakukan

wawancara dengan pihak-pihak yang berkompeten.

1.8.6 Pengolahan dan Analisa Data

Setelah data-data baik primer maupun sekunder yang dibutuhkan

terkumpul, maka bahan hukum tersebut akan diolah dan dianalisa dengan

menggunakan teknik pengolahan data secara kualitatif yaitu menguraikan

data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun, logis,

11 Sutrisno Hadi, 1984, Methodologi Research 2, Gajah Mada University, Yogyakarta,

hal.192.

21

tidak tumpang tindih, dan efektif, sehingga memudahkan pemahaman

dan interprestasi data12

.

Selanjutnya untuk menjawab persoalan dalam penelitian ini,

metode atau cara penyimpulan bahan hukum dilakukan dengan cara

metode deskriptif analisis, yaitu dengan memaparkan terlebih dahulu

kemudian dianalisa dan selanjutnya disimpulkan.

12 Abdul Kadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti,

Bandung, h.170.