Upload
votram
View
220
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pada saat ini bangsa Indonesia harus menghadapi perubahan internal dalam
pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi dengan berbagai masalah yang
belum tuntas terpecahkan seperti kemiskinan, pengangguran, rendahnya mutu
pelayanan publik dan kesenjangan antardaerah. Karakteristik dari pelaksanaan
otonomi daerah adalah (1) pembagian kewenangan dan sumber daya yang jelas
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, (2) partisipasi masyarakat dalam
pengambilan keputusan menjadi semakin besar, (3) keputusan yang diambil
didasarkan pada kesepakatan (konformitas), dan (4) keanekaragaman daerah akan
semakin menonjol (local-specific) (Rusdiyanto, dkk. 2007).
Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah daerah mempunyai
kewenangan yang lebih luas untuk menentukan kebijakan dan program
pembangunan yang terbaik bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan
kemajuan daerah masing-masing. Namun, adanya latar belakang demografi,
geografi, infrastruktur dan ekonomi yang tidak sama, serta kapasitas sumber daya
yang berbeda, maka salah satu konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah
adalah keberagaman daerah dalam hal kinerja pelaksanaan dan pencapaian tujuan
pembangunan. Perbedaan kinerja selanjutnya akan menyebabkan kesenjangan
antardaerah, timbulnya konflik dan kemungkinan disintegrasi bangsa.
Propinsi Banten adalah sebuah propinsi yang terbentuk mulai dari tahun
2000 berdasarkan UU No 23 tahun 2003, yang terbagi atas Banten Utara yang
meliputi Kabupaten Serang Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, dan Kota
Cilegon dan Banten Selatan yang meliputi, Kabupaten Lebak, dan Kabupaten
Pandeglang. Dalam usia yang relatif masih sangat muda untuk sebuah propinsi,
tentulah masih sangat banyak masalah yang menyertainya. Di antaranya adalah
masalah ketimpangan wilayah, persebaran penduduk, persebaran lapangan
pekerjaan dan angkatan kerja, tingkat pertumbuhan pembangunan manusia (IPM),
pengangguran dan kemiskinan. Dalam kaitannya dengan pembangunan
berkelanjutan, hampir tidak satu program pun yang tidak memperhatikan
2
penduduk. Semua jenis program pembangunan tentunya diintegrasikan dan akan
dibawa ke dalam suatu tujuan pembangunan, yaitu untuk meningkatkan
kesejahteraan dan kualitas hidup penduduk. Oleh karena itu informasi
kependudukan, dengan berbagai karakteristik, kecenderungan dan diferensiasinya
menjadi semakin penting. Menurut BPS (2007) bahwa penduduk miskin di Banten
Selatan relatif tinggi dibandingkan dengan Banten Utara sehingga
mengindikasikan bahwa pendapatan yang rendah di Banten Selatan dan berakibat
daya beli masyarakat yang cukup rendah. Dalam Gambar 1.1. disajikan data
persentase penduduk miskin antar kabupaten dan kota di Provinsi Banten.
Gambar 1.1. Jumlah Penduduk Miskin Per Kabupaten/Kota Tahun 2002-2008 (%)
Sumber : Susenas, Tahun 2008
Jika dilihat dari Gambar 1.1. akan terlihat bahwa mulai dari tahun 2002
sampai tahun 2008 Kabupaten Lebak masih berada di golongan tinggi dalam hal
jumlah penduduk miskin. Penurunan jumlah penduduk miskin paling signifikan
terjadi antara tahun 2002 ke tahun 2004. Kemudian pada tahun 2005 sampai tahun
2007 terjadi kenaikan dalam hal jumlah penduduk miskin dengan loncatan yang
sangat sifnifikan. Pada tahun 2008, tingkat kemiskinan penduduk miskin di
Kabupaten Lebak berada pada posisi kedua di bawah Kabupaten Tangerang.
Kemiskinan merupakan masalah pembangunan yang ditandai oleh
pengangguran, keterbelakangan dan ketidakberdayaan. Kemiskinan merupakan
masalah pokok nasional yang penanggulangannya tidak dapat ditunda dan harus
menjadi prioritas utama dalam pelaksanaan pembangunan (Todaro, 2006). Hal
3
tersebut sesuai dengan kepedulian pemerintah untuk mengatasi masalah
pengangguran dan kemiskinan. Menurut RPJMN Banten 2004-2009, sasaran yang
ingin dicapai pada tahun 2009 adalah menekan pertumbuhan penduduk dan jumlah
pengangguran terbuka. Kondisi ini dirasakan sangat kontradiktif mengingat
banyaknya perusahaan yang ada di kawasan Cilegon-Serang-Tangerang. Arah
Kebijakan dalam RPJMD adalah a) menekan angka kemiskinan, (b) menciptakan
kesempatan kerja, (c) meningkatkan pertumbuhan ekonomi, (d) meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan (e) meningkatkan kesejahteraan masyarakat
serta (f) meningkatkan stabilitas keamanan daerah (RPJMN Banten 2004-2009).
Dalam RPJM Provinsi Banten tahun 2007-2012 salah satu program prioritas
yaitu penanggulangan kemiskinan, untuk wilayah yang ada di Banten Selatan
(Lebak dan Pandeglang) lebih besar persentase kemiskinan dari total persentase
kemiskinan Provinsi Banten. Kabupaten Lebak semenjak awal krisis ekonomi
sampai dengan tahun 2001 yang merupakan awal terbentuknya provinsi Banten
memiliki persentase kemiskinan yang tinggi di antara kabupaten dan kota di
Provinsi Banten. Begitu juga dengan Kabupaten Pandeglang semenjak krisis
sampai otonomi daerah tingkat kemiskinan cenderung perubahan tiap tahun tidak
terlalu banyak berubah, sehingga dapat dikatakan berlakunya otonomi daerah
belum menunjukkan arah yang semakin membaik bagi Banten Selatan dalam
rangka pengentasan kemiskinan. Banten Utara (Kabupaten Tangerang, Kabupaten
Serang, Kota Tangerang dan Kota Cilegon) persentase kemiskinan berada di bawah
rata-rata persentase penduduk miskin di Provinsi Banten kecuali Kabupaten Serang
masih berada di atas rata-rata provinsi Banten, sedangkan yang perkembangannya
relatif lebih maju, persentase penduduk miskin relatif lebih rendah terutama bagi
Kota Cilegon.
Berdasarkan UU No 19 Tahun 1999 dimekarkan dari Kabupaten Serang
melihat perkembangan kedua wilayah tersebut ternyata Kota Cilegon menunjukkan
arah yang semakin membaik dalam penanggulangan kemiskinan yang dapat dilihat
pada tahun 2006 mencapai 4,99 persen. Hal ini menunjukkan isu kesenjangan antar
wilayah terutama Banten Utara dan Banten Selatan sampai sekarang memang
masih menjadi perdebatan. Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Kabupaten Lebak
Tahun 2004-2008 berada pada kondisi yang fluktuatif akibat dampak negatif yang
4
ditimbulkan oleh krisis global pada pertengahan tahun 2008. Akan tetapi,
Pemerintah Kabupaten Lebak masih mampu mempertahankan perekonomian di
Kabupaten Lebak secara positif. Dalam Gambar 1.2. disajikan data mengenai LPE
di Kabupaten Lebak:
Gambar 1.2. Laju Pertumbuhan Ekonomi Lebak (2001-2008)
Sumber : Lebak dalam Angka, Tahun 2008
Dari Gambar 1.1 terlihat bahwa laju pertumbuhan ekonomi Lebak
mengalami fase yang fluktuatif dari tahun 2001 sampai 2008. Penurunan tingkat
LPE terparah terjadi pada tahun 2001-2002. Hal ini mungkin dikarenakan masih
terjadi proses transisi dari pembentukan Propinsi Banten. Kemudian kenaikan yang
cukup signifikan terjadi pada periode 2006-2007, dengan sektor pertanian masih
menjadi penyumbang terbesar. Data penduduk sebagaimana data lainnya, sangat
diperlukan dalam berbagai perencanaan dan evaluasi pembangunan, terutama
setelah adanya pergeseran paradigma pembangunan yang tidak hanya bertumpu
pada peningkatan pertumbuhan ekonomi semata tetapi upaya meningkatkan
kualitas SDM telah menjadi tumpuan dan tujuan pembangunan itu sendiri.
Berkenaan dengan telah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2000 tentang Pembentukan Propinsi Banten, maka tantangan terbesar bagi
Kabupaten Lebak adalah upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia
yang selama ini menjadi salah satu hambatan dalam proses pembangunan dan
pengentasan kemiskinan di Kabupaten Lebak. Potensi sumber daya alam tidak akan
mempunyai nilai jika tidak dikelola secara berkelanjutan dan memberi manfaat
yang besar bagi masyarakat.
5
Khusus untuk Kabupaten Lebak, permasalahan demografi yang dihadapi
yaitu berkaitan dengan jumlah penduduk miskin yang masih menunjukkan angka
tinggi. Pada tahun 2005 tercatat proporsi penduduk miskin dari total keluarga di
Kabupaten Lebak sebesar 25% dengan jumlah keluarga miskin tahun 2005
sebanyak 146.490 KK, dengan kecenderungan meningkat pada tahun 2006.
Permasalahan yang lain adalah kepadatan penduduk yang tidak merata akibat dari
persebaran penduduk yang tidak merata di semua wilayah. Kepadatan penduduk
tinggi terdapat di Kota Tangerang, Kabupaten Serang dan Kota Cilegon serta di
Kawasan Pariwisata Pantai Carita. Sementara di wilayah lain, kepadatan penduduk
relatif rendah. Jumlah penduduk Propinsi Banten pada tahun 2001 berdasarkan
hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2001 adalah 8.258.055 jiwa.
Luasnya wilayah dan sangat beragamnya kondisi sosial ekonomi dan budaya
masyarakat menyebabkan permasalahan kemiskinan di Kabupaten Lebak menjadi
sangat beragam dengan sifat-sifat lokal yang kuat dan pengalaman kemiskinan
yang berbeda antara perempuan dan laki-laki. Masalah kemiskinan bersifat
multidimensi, bukan hanya menyangkut ukuran pendapatan tetapi kerentanan dan
kerawanan orang atau masyarakat untuk menjadi miskin.
Oleh karena itu, masalah kemiskinan menyangkut kegagalan dalam
pemenuhan hak dasar dan adanya perbedaan perlakuan seseorang atau kelompok
masyarakat dalam menjalani kehidupan secara bermartabat. Suatu daerah dengan
tingkat kemiskinan tinggi sangat rentan terhadap guncangan ekonomi yang sedang
terjadi. Kabupaten Lebak adalah daerah dengan tingkat kemiskinan tertinggi
dibandingkan dengan Kabupaten/Kota yang ada di Propinsi Banten. Sehubungan
dengan hal tersebut, maka tujuan penting yang akan dicapai untuk mengurangi
kemiskinan dan kesenjangan antar daerah adalah bukan untuk memeratakan
pembangunan fisik di setiap daerah, tetapi yang paling utama adalah pengurangan
kesenjangan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat serta kemiskinan antar
daerah.
Secara spasial, sebaran kemiskinan di Kabupaten Lebak melanda semua
wilayah. Menurut Dinas Keluarga Berencana dan Kependudukan Kabupaten Lebak
tahun 2003-2005, jumlah keluarga miskin mencapai 62.043 KK, berasal dari
jumlah KK yang masuk dalam Keluarga Prasejahtera, baik dengan alasan ekonomi
6
maupun non ekonomi. Sebagai salah satu kabupaten tertinggal di Indonesia,
besaran keluarga miskin tersebut dirasa wajar jika dibandingkan dengan data akhir
tahun 2003 masih terdapat 190 desa tertinggal dari 300 desa/kelurahan yang ada di
Kabupaten Lebak, atau 63,33% dari desa/kelurahan di Kabupaten Lebak adalah
desa tertinggal. Sedangkan untuk sebaran kepadatan penduduk miskin wilayah di
Lebak Utara mendominasi persebarannya. Persebaran kemiskinan ini
mengelompok membentuk suatu kantong kemiskinan. Persebaran dari kantong
kemiskinan yang terjadi di desa-desa di Kabupaten Lebak disebabkan oleh banyak
faktor. Faktor yang bisa menjadi pemicu munculnya kantong kemiskinan adalah
ketersediaan aset dan ketersediaan sarana prasarana pendukung, serta kualitas SDM
yang buruk.
Terdapat beberapa hal yang cukup menarik dalam pembangunan sumber
daya manusia di tingkat Kabupaten Lebak. Pertama, secara geografis Kabupaten
Lebak ini berada dalam zona strategis, baik dalam sektor pertanian, perikanan,
peternakan, perdagangan hingga industri. Selain itu, Jarak kabupaten hanya 70 km
dengan pusat pemerintahan negara, Jakarta. Namun yang terjadi justru kualitas
sumber daya manusia Kabupaten Lebak tertinggal jauh jika dibandingkan dengan
angka IPM antar Kabupaten/Kota di Provinsi Banten. Rendahnya IPM tersebut
mencerminkan rendahnya kualitas sumber daya manusia Kabupaten Lebak. Secara
umum, terjadi disparitas kualitas sumber daya manusia antar kabupaten di Provinsi
Banten, hal tersebut ditunjukkan pada Gambar 1.3.
Gambar 1.3. Perbandingan Indeks Pembangunan Manusia Tiap Kabupaten/Kota di
Provinsi Banten tahun 2008
Sumber: Bappeda Kabupaten Lebak, Tahun 2009
Berdasarkan Gambar 1.3. pada tahun 2008 tingkat IPM di Kabupaten Lebak
berada pada posisi paling bawah jika dibandingkan dengan Kabupaten/Kota yang
7
ada di Propinsi Banten. Tingkat IPM Kabupaten Lebak hanya sebesar 67,10. Masih
jauh jika dibandingkan dengan IPM Kabupaten Tangerang sebesar 70,73.
Walaupun Kabupaten Tangerang adalah kabupaten dengan jumlah penduduk
miskin terbesar yang ada di Propinsi Banten. Kabupaten yang mempunyai nilai
IPM mendekati nilai Kabupaten Lebak adalah Kabupaten Pandeglang disusul
Kabupaten Serang. Pada tahun 2008, Angka Harapan Hidup (AHH) penduduk
Kabupaten Lebak adalah 63,11 tahun. Angka tersebut masih di bawah rata-rata
Provinsi Banten yang telah mencapai 64,45 tahun (Dinkes Kab. Lebak, 2009).
Dengan kata lain, kualitas hidup sumber daya manusia di Kabupaten Lebak masih
di bawah kabupaten/kota lain di Provinsi Banten.
Berdasarkan hasil pendataan SUSENAS (2009), persentase penduduk usia
10 tahun ke atas yang mampu membaca dan menulis di Kabupaten Lebak adalah
94,20 persen, sedangkan rata-rata provinsi Banten sebesar 95,68 (Bappeda Kab.
Lebak, 2009). Pada indikator rata-rata lama sekolah, Kabupaten Lebak masih
tergolong rendah yakni hanya 6,3 tahun pada tahun 2008, atau setara dengan lulus
SD. Pada tingkat Provinsi Banten, rata-rata lama sekolah telah mencapai 8,2 tahun
atau hampir setara dengan kelas dua SLTP. Tingginya rata-rata lama sekolah di
tingkat provinsi ini disumbangkan oleh daerah lain yang jauh lebih maju,
khususnya daerah perkotaan seperti Kota Cilegon dan Kab/Kota Tangerang. Hal ini
dapat dilihat dari Tabel 1 yang menerangkan informasi perbandingan lama sekolah
antara Lebak dengan Banten.
Tabel.1.1. Perkembangan Angka Melek Huruf dan Rata-rata Lamanya Sekolah
Kabupaten Lebak dan Rata-rata Provinsi Banten Tahun 1999-2008
Tahun Angka Melek Huruf (%) Rata-rata Lama Sekolah (tahun)
Kab. Lebak Prov. Banten Kab. Lebak Prov. Banten
1999 90.80 91.50 5.50 6.60
2000 91.03 92.14 5.94 6.80
2001 91.30 92.47 6.22 7.10
2002 90.19 93.84 5.30 7.90
2003 91.40 94.20 5.50 8.10
2004 93.90 94.70 6.10 8.50
2005 94.10 95.60 6.20 8.00
2006 94.10 95.60 6.20 8.10
2007
2008
94.10
94.20
95.60
95.68
6.20
6.30
8.10
8.20
Sumber: Bappeda Kabupaten Lebak, Tahun 2010
8
Selain itu pada tahun 2007 jika melihat dari jumlah anak usia sekolah usia
10 tahun ke atas menurut pendidikan yang ditamatkan di Kabupaten Lebak, jika
dibandingkan dengan Kabupaten/Kota yang ada di Propinsi Banten, maka dapat
diketahui bahwa Kabupaten Lebak masih berada pada posisi yang rendah.
Tabel 1.2. Penduduk Usia 10 Tahun ke Atas menurut Pendidikan yang Ditamatkan
di Kabupaten/Kota di Banten
Kab/Kota Pendidikan yang Ditamatkan
< SD SD/Sederajat SLTP SLTA D I/II D III/Univ Total
Kab
Pandeglang 268. 891
(31,99%)
365. 212
(43,45%)
118. 806
(14,13%)
69. 146
(8,22 %)
5.485
(0,65 %)
13. 020
(1,55%)
840. 560
(100%)
Lebak 402. 986
(43,28%)
386. 138
(41,47%)
91.532
(9,83 %)
41. 067
(4,41%)
5. 003
(0,54 %)
4. 258
(0,46 %)
930. 966
(100%)
Tangerang 663. 337
(23,51%)
766.461
(27,16%)
545.884
(19,34%)
638. 976
(22,64 %)
18. 970
(0,67 %)
188. 324
(6,67%)
2.821.952
(100%)
Serang 456. 150
(31,50%)
538.493
(37,19%)
248. 910
(17,19%)
170. 274
(11,76 %)
9. 508
(0,66%)
24. 826
(1,71 %)
1.448.161
(100%)
Kota
Tangerang 178. 821
(14,44%)
242. 875
(19,62%)
277. 305
(22,40%)
423. 480
(34,20 %)
6. 625
(0,53%)
109. 061
(8,81 %)
1.238.167
(100%)
Cilegon 51. 253
(18,63%)
68. 799
(25,01%)
64. 109
(23,31 %)
77. 097
(28,03%)
1.518
(0,55 %)
12.284
(4,47 %)
275. 060
(100%)
Sumber: Banten dalam Angka, Tahun 2008
Berdasarkan data pada Tabel 1.2. diketetahui bahwa jika dibandingkan
dengan wilayah lain yang ada di Propinsi Banten, Kabupaten Lebak masih
dikategorikan sebagai daerah yang masih kurang dalam hal meluluskan pendidikan
masyarakatnya sampai ke jenjang perguruan tinggi. Kasus pendidikan yang
ditamatkan dengan komposisi paling besar hanya sebatas lulusan < SD yaitu
sebesar 43,28% dari total kelulusan dan SD Sederajat yaitu sebesar 41,47% dari
total kelulusan. Faktor inilah yang menjadi salah satu penyebab mengapa tingkat
IPM Kabupaten Lebak jika dibandingkan dengan wilayah lain di Propinsi Banten
masih rendah.
Masalah lainnya adalah terjadinya disparitas pembangunan modal manusia
antar wilayah di Kabupaten Lebak. Disparitas terlihat dari rendahnya implementasi
pelayanan publik dari infrastruktur. Pada tahun 2009, kondisi bangunan sekolah
dasar hanya 59.60 persen yang kondisinya baik, sedangkan 40.40 persen dalam
keadaan rusak. Wilayah Lebak di luar Kecamatan Rangkasbitung masih
kekurangan sekitar 2.000 tenaga pengajar dan 1.000 tenaga kesehatan (Bappeda
9
Kab. Lebak, 2009). Sebagian besar infrastruktur yang rusak berada di daerah Lebak
bagian selatan dan tengah. Faktor lain yang menjadi penyebabnya kemiskinan di
Kabupaten Lebak adalah aksesibilitas jalan kabupaten yang sangat buruk sehingga
menyebabkan sulitnya akses ekonomi. Menurut penuturan Dinas Pekerjaan Umum
Kabupaten Lebak (2009), dari keseluruhan jalan Kabupaten, hanya 20 persen saja
yang layak pakai selebihnya rusak ringan hingga berat.
Untuk bisa meraih wilayah Lebak bagian selatan, masyarakat harus
menempuh jarak sepanjang 150 km, karena harus melalui jalan putar jalur
Kabupaten Pandeglang. Padahal jarak tempuh terjauh apabila melalui jalan
Kabupaten Lebak adalah sepanjang 70 km. Besarnya ongkos perjalanan ekonomi
ini secara tidak langsung menjadi faktor penghambat laju pertumbuhan ekonomi.
Kurangnya pelayanan publik baik berupa infrastruktur serta tenaga pengajar
dan kesehatan tersebut menyebabkan proses pembangunan human capital pun
berjalan lambat. Terbukti bahwa sebagian besar penduduk usia sekolah di wilayah
Lebak bagian selatan dan tengah adalah lulusan sekolah dasar yakni berkisar 80
persen. Penduduk usia sekolah yang berhasil menamatkan sekolah menengah hanya
5 persen. Jumlah penduduk yang berpendidikan sarjana pun masih bisa dihitung
dengan jari. Selain itu juga ditambah dengan banyaknya kasus gizi buruk di
wilayah Lebak Selatan dan Tengah, di tahun 2008 ditemukan sekitar 5.000 kasus
gizi buruk. Fakta-fakta yang menunjukkan faktor pembentuk kantong kemiskinan
ini dilatarbelakangi oleh dua faktor yang sangat menentukan, yakni rendahnya
kualitas sumber daya manusia akibat buruknya pelayanan publik. Lingkaran setan
berupa buruknya pelayanan publik terhadap pembangunan sumber daya manusia
atau human capital menyebabkan rendahnya kualitas sumber daya manusia dan
akhirnya memunculkan atau meningkatkan kondisi kemiskinan di Kabupaten
Lebak .
1.2. Perumusan Masalah
Pertumbuhan ekonomi harus didorong untuk mencapai kesejahteraan
penduduk serta mengurangi kesenjangan yang terjadi antara Kabupaten Lebak
dengan wilayah sekitarnya terutama wilayah Jabotabek dan wilayah Banten bagian
utara. Kabupaten Lebak sampai saat ini merupakan salah satu wilayah yang
terbelakang di antara kabupaten dan kota di Propinsi Banten. Keterbelakangan
10
yang terjadi bisa didasarkan pada ketersediaan sarana dan prasarana pendukung,
seperti akses jalan dan jembatan. Dimana jalan di Kabupaten Lebak dari tahun
2004-2008 kecenderungan yang terjadi adalah semakin panjang km yang
mengalami kerusakan. Selain sarana dan prasarana, kualitas sumber daya manusia
yang ditunjukkan lewat nilai IPM, Kabupaten Lebak juga menempati urutan paling
bawah. Sedangkan dari sisi kepemilikan aset, yaitu lahan pertanian belum bisa
dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat. Menurut Bappeda Kabupaten
Lebak 2008, potensi potensi sawah tadah hujan baik yang bisa dikembangkan dan
yang tidak bias dikembangkan adalah seluas 14.132 Ha dengan rincian : a) sawah
yang bisa dikembangkan seluas 4.386 Ha, dan b) sawah yang tidak bisa
dikembangkan seluas 9.746 Ha. Akibatnya adalah hasil yang diperoleh petani tidak
maksimal.
Kawasan perdesaan sebagai basis utama dan bagian terbesar dalam wilayah
Kabupaten Lebak, sangat membutuhkan percepatan pembangunan secara bertahap,
proporsional dan berkelanjutan. Berbagai keterbatasan kapasitas dan ketertinggalan
kondisi wilayah yang terdapat di perdesaan, senantiasa dihadapkan pada isu
disparitas regional yang bersifat makro bahwa Kabupaten Lebak adalah salah satu
dari 199 Daerah Tertinggal di Indonesia, yang sekaligus merupakan daerah terluas
dalam wilayah Propinsi Banten. Hal ini tentu berimplikasi terhadap kebutuhan
mendasar atas ketersediaan suatu sistem perencanaan pembangunan daerah yang
dapat menjamin keseimbangan antar sektor dan regional, yang berorientasi kepada
pembangunan perdesaan.
Melihat potensi yang dimiliki oleh Kabupaten Lebak, yang sampai saat ini
belum dimanfaatkan secara maksimal. Potensi tersebut bisa berasal dari bidang
agrobisnis, pertanian, kelautan dan perikanan, peternakan, pertambangan dan
energi, properti, dan pariwisata. Peran pemerintah daerah sebagai pihak pembuat
kebijakan harus jeli untuk mampu melihat potensi yang dimiliki oleh Kabupaten
Lebak. Kebijakan dan rencana baik jangka panjang atau pendek yang diambil harus
lebih berorientasi pada kesejahteraan masyarakat. Pembangunan yang tidak
dikaitkan dengan masalah kemiskinan akan menimbulkan permasalahan jangka
pendek dan panjang yang pada akhirnya akan membahayakan proses pembangunan
itu sendiri. Mengangkat permasalahan kemiskinan dan mencari alternatif upaya
11
penanggulangannya menjadi suatu prioritas dalam pembangunan merupakan suatu
hal yang sangat tepat.
Masalah terbesar yang sekarang dihadapi oleh Kabupaten Lebak adalah
mengenai kemiskinan masyarakatnya. Banyak pendapat yang di keluarkan oleh paa
tokoh ekonomi alas an mengukur kemiskinan. Justifikasi yang paling kuat adalah
yang diberikan oleh Ravallion dalam Tono (2009) yang mengatakan bahwa “ a
credible measure of poverty can be a powefull instrument for focusing the attention
of policy makers on the living conditions of the poor (pengukuran kemiskinan yang
dapat dipercaya dapat menjadi instrumen yang tangguh bagi penitikberatan
perhatian pengambil kebijakan pada kondisi hidup orang miskin)”.
Dalam menelaah kebijakan pemerintah daerah dalam menanggulangi
kemiskinan, perlu terlebih dahulu diperhatikan faktor-faktor penyebab kemiskinan
atau dalam analisis kemiskinan disebut determinan kemiskinan. Kebijakan
pemerintah daerah yang berorientasi pada program pengentasan kemiskinan sudah
seharusnya didasarkan pada faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi kemiskinan
tersebut. Faktor-faktor penyebab kemiskinan dapat berupa karakteristik makro,
sektor, komunitas, rumah tangga, dan individu (World Bank, 2002). Selain itu agar
kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah dapat tepat sasaran, diharapkan
pemerintah mampu melihat masalah kemiskinan secara kewilayahan. Sehingga
perlakuan dalam penanganan kemiskinan dapat didasarkan pada karakteristik
kemiskinan tiap wilayah. Persebaran kemiskinan yang terjadi di Kabupaten Lebak
mempunyai sifat yang sangat unik. Wilayah dengan tingkat kepadatan penduduk
miskin tertinggi dan membentuk suatu pemusatan kemiskinan terdapat di
Rangkasbitung. Kondisi pemusatan kemiskinan seperti ini merupakan ciri dari
urban slum atau kawasan kumuh perkotaan. Pola kantong kemiskinan lain yang
terjadi adalah rural area atau daerah perdesaan. Mayoritas penduduk yang masih
bekerja pada sektor pertanian adalah penyebab mengapa rural area (daerah
perdesaan) masih terbentuk dan menjadi penyumbang bagi kemiskinan di
Kabupaten Lebak. Kondisi kemiskinan yang terjadi pada desa di wilayah
Kabupaten Lebak sudah dalam kondisi sangat kompleks, dengan karakteristik yang
berbeda dengan wilayah lain. Fokus penanganan masalah kemiskinan harus
menjadi perhatian dari pemerintah. Karena sebab dan ciri kemiskinan di Kabupaten
12
Lebak tidak sama antar satu daerah dengan daerah lainnya maka dalam usaha
penanggulangan kemiskinan perlu digali lebih dahulu untuk mengetahui apa
sebenarnya yang menjadi penyebab kemiskinan di daerah tersebut. Berkaitan
dengan upaya penanggulangan kemiskinan tersebut sejumlah program selama ini
telah dilakukan pemerintah terutama didasari oleh prospektif ekonomi masyarakat
setempat.
Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini
adalah:
a. Bagaimana pola spasial sebaran kemiskinan di Kabupaten Lebak?
b. Faktor apa sajakah yang menjadi penyebab kemiskinan di Kabupaten
Lebak?
c. Apakah kebijakan pemerintah daerah untuk pengentasan kemiskinan sudah
melihat aspek kewilayahan dan faktor penyebab kemiskinan menjadi
prioritas kebijakan?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk :
a. Menganalisis pola spasial sebaran kemiskinan di Kabupaten Lebak.
b. Menganalisis faktor penyebab kemiskinan di Kabupaten Lebak.
c. Menganalisis kebijakan pemerintah daerah untuk pengentasan kemiskinan
sudah melihat aspek kewilayahan dan faktor penyebab kemiskinan menjadi
prioritas kebijakan.
1.4. Kegunaan Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan dan informasi tambahan bagi pemerintah dalam perencanaan
kebijakan tentang masalah kemiskinan di Kabupaten Lebak.