27
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Sleman merupakan salah satu propinsi di Daerah Istimewa Yogyakarta yang sebagian besar wilayahnya tersususun atas bentuklahan vulkanik di bagian selatan gunungapi Merapi. Gunungapi Merapi merupakan gunungapi tipe strato, dengan ketinggian 2980 meter dari permukaan laut. Secara geografis terletak pada posisi 7’ 32.5’ Lintang Selatan dan 110' 26.5’ Bujur Timur. Secara administratif terletak pada 4 wilayah kabupaten yaitu Kabupaten Sleman di Provinsi DI Yogyakarta, dan Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali, dan Kabupaten Klaten di Provinsi Jawa Tengah Secara umum, formasi batuan di Kabupaten Sleman tersusun dari Formasi Gunungapi Merapi Tua, Formasi Gunungapi Merapi Muda, dan Formasi Sleman (Bemmelen, 1949). Formasi Gunungapi Merapi Muda dan Formasi Sleman merupakan major aquifer dan Formasi Gunungapi Merapi Tua merupakan poor aquifer. Major aquifer memiliki permeabilitas baik sehingga mataair banyak muncul di tempat tersebut. Mataair yang merupakan pemusatan pengeluaran air tanah yang muncul di permukaan tanah dan umum digunakan sumber air potensial yang selama ini telah dimanfaatkan sebagai sumber utama air bersih terutama oleh PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) , juga oleh perusahaan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) dan masyarakat awam. Mata air yang berasal dari tanah dalam, hampir tidak terpengaruh oleh musim, dan kuantitas atau kualitasnya sama dengan keadaan air dalam (Sutrisno, 2004). Mataair dapat diidentifikasi dari pendekatan bentanglahan terpilih menggunakan parameter fisik lahan tertentu. Salah satu cara untuk mengetahui keberadaan mataair adalah menggunakan citra penginderaan jauh dan sistem informasi geografis. Citra penginderaan jauh dapat digunakan untuk menyadap informasi bentang lahan yang diperlukan dalam identifikasi hidrologi.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62326/potongan/S1-2013... · dan Kabupaten Klaten di Provinsi Jawa Tengah Secara umum, formasi batuan di

  • Upload
    buicong

  • View
    222

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62326/potongan/S1-2013... · dan Kabupaten Klaten di Provinsi Jawa Tengah Secara umum, formasi batuan di

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kabupaten Sleman merupakan salah satu propinsi di Daerah Istimewa

Yogyakarta yang sebagian besar wilayahnya tersususun atas bentuklahan vulkanik

di bagian selatan gunungapi Merapi. Gunungapi Merapi merupakan gunungapi

tipe strato, dengan ketinggian 2980 meter dari permukaan laut. Secara geografis

terletak pada posisi 7’ 32.5’ Lintang Selatan dan 110' 26.5’ Bujur Timur. Secara

administratif terletak pada 4 wilayah kabupaten yaitu Kabupaten Sleman di

Provinsi DI Yogyakarta, dan Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali,

dan Kabupaten Klaten di Provinsi Jawa Tengah

Secara umum, formasi batuan di Kabupaten Sleman tersusun dari Formasi

Gunungapi Merapi Tua, Formasi Gunungapi Merapi Muda, dan Formasi Sleman

(Bemmelen, 1949). Formasi Gunungapi Merapi Muda dan Formasi Sleman

merupakan major aquifer dan Formasi Gunungapi Merapi Tua merupakan poor

aquifer. Major aquifer memiliki permeabilitas baik sehingga mataair banyak

muncul di tempat tersebut.

Mataair yang merupakan pemusatan pengeluaran air tanah yang muncul di

permukaan tanah dan umum digunakan sumber air potensial yang selama ini telah

dimanfaatkan sebagai sumber utama air bersih terutama oleh PDAM (Perusahaan

Daerah Air Minum) , juga oleh perusahaan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK)

dan masyarakat awam. Mata air yang berasal dari tanah dalam, hampir tidak

terpengaruh oleh musim, dan kuantitas atau kualitasnya sama dengan keadaan air

dalam (Sutrisno, 2004).

Mataair dapat diidentifikasi dari pendekatan bentanglahan terpilih

menggunakan parameter fisik lahan tertentu. Salah satu cara untuk mengetahui

keberadaan mataair adalah menggunakan citra penginderaan jauh dan sistem

informasi geografis. Citra penginderaan jauh dapat digunakan untuk menyadap

informasi bentang lahan yang diperlukan dalam identifikasi hidrologi.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62326/potongan/S1-2013... · dan Kabupaten Klaten di Provinsi Jawa Tengah Secara umum, formasi batuan di

2

ASTER (Advance Spaceborne Thermal Emission and Reflection

Radiometer) merupakan sensor optik multispektral dengan resolusi spasial 15 m

yang dimuat pada satelit Terra yang diluncurkan pada bulan Desember 1999.

ASTER mempunyai 14 band spektral dari mulai spektrum tampak sampai dengan

saluran thermal yang terbagi menjadi 3 radiometer, yaitu: VNIR (Visible Near

Infrared Radiometer), SWIR (Short Wave Infrared Radiometer) dan TIR

(Thermal Infrared Radiometer) (Ersdac, 2003). Satu kelebihan sensor ASTER

adalah memiliki 2 saluran inframerah dekat dengan panjang gelombang yang

sama, yaitu band 3N (nadir: arah tegak lurus) dan 3B (backward: arah belakang).

Citra ASTER VNIR dapat digunakan sebagai kajian penutup dan penggunaan

lahan. Salah satu turunan citra ASTER, yaitu ASTER GDEM dengan resolusi

spasial 30 m, merupakan citra yang dapat digunakan untuk merepresentasikan

elevasi permukaan bumi dalam bentuk digital. Dengan citra ini, bentuk topografi

permukaan bumi dapat divisualisasikan dalam bentuk tiga dimensi.

Aplikasi penginderaan jauh untuk pemetaan sumberdaya wilayah

memerlukan pertimbangan tertentu agar dapat menghasilkan keluaran dengan

kualitas baik. Selain mempertimbangkan resolusi spasial, temporal, dan

radiometrik, juga diperlukan pertimbangan resolusi spektral berupa pemilihan

saluran, serta kombinasi saluran. Penentuan teknik dan metode pengolahan juga

dapat berpengaruh terhadap hasil akhir suatu aplikasi penginderaan jauh. Sistem

Informasi Geografis (SIG) diperlukan dalam analisis sumberdaya wilayah karena

memiliki kemampuan menyimpan dan memanipulasi informasi-informasi

geografi dan kemampuan untuk melakukan tumpang susun antar beberapa

paramater, serta memiliki kemampuan memvisualisasikan hasil pengolahan

spasial citra penginderaan jauh.

1.2 Rumusan Masalah

Aplikasi teknik penginderaan jauh banyak digunakan untuk inventarisasi

sumberdaya alam. Seperti diuraikan dalam latar belakang penelitian, salah satu

aplikasi penginderaan jauh dapat diterapkan dalam inventarisasi bidang hidrologi.

Inventarisasi yang dimaksud adalah inventarisasi mataair.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62326/potongan/S1-2013... · dan Kabupaten Klaten di Provinsi Jawa Tengah Secara umum, formasi batuan di

3

Kabupaten Sleman sebagian besar terletak di daerah dengan bentuklahan

vulkanik. Pada bentuklahan vulkanik banyak ditemui mataair. Oleh karena itu,

informasi mengenai lokasi daerah munculnya airtanah berupa mataair perlu

dilakukan dalam upaya pengelolaan sumberdaya air terintegrasi.

Penelitian ini mengkhususkan pada usaha seberapa jauh kemampuan teknik

penginderaan jauh menggunakan parameter fisik lahan yang berpengaruh terhadap

lokasi pemunculan mataair di Kabupaten Sleman.

Berdasarkan uraian di atas, maka timbul pertanyaan penelitian:

1. Apakah citra penginderaan jauh dapat digunakan untuk mengidentifikasi

lokasi pemunculan mataair berdasarkan parameter fisik lahan dan apakah

sistem informasi geografis dapat digunakan untuk memetakan dan

menganalisis sebaran mataair di Kabupaten Sleman?

2. Sejauh mana kemampuan penginderaan jauh dan sistem informasi

geografis dalam identifikasi pemunculan mataair di Kabupaten Sleman?

Berdasarkan permasalahan yang muncul, maka penelitian ini mengambil

judul: “Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi

Geografis Untuk Identifikasi Lokasi Pemunculan Mataair di Kabupaten

Sleman”

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui lokasi pemunculan mataair di Kabupaten Sleman berdasarkan

parameter fisik lahan menggunakan citra penginderaan jauh dan

memetakan serta menganalisis sebaran mataair menggunakan sistem

informasi geografis.

2. Mengkaji kemampuan citra penginderaan jauh dan sistem informasi

geografis dalam mengidentifikasi lokasi pemunculan mataair berdasarkan

parameter fisik lahan di Kabupaten Sleman.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62326/potongan/S1-2013... · dan Kabupaten Klaten di Provinsi Jawa Tengah Secara umum, formasi batuan di

4

1.4 Kegunaan

1. Sebagai bahan masukan dan sumbangan pemikiran dalam ilmu

penginderaan jauh, khususnya yang berkaitan dengan interpretasi citra

penginderaan jauh untuk kajian hidrologi berupa identifikasi lokasi

pemunculan mataair.

2. Memberikan informasi terkait keberadaan mataair daerah penelitian

sebagai salah satu bahan pertimbangan pengelolaan sumberdaya wilayah

untuk dinas terkait di Kabupaten Sleman.

3. Sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan studi sarjana di Fakultas

Geografi UGM.

1.5 Tinjauan Pustaka

1.5.1. Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi

tentang obyek, daerah, atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh

dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek, daerah, atau

gejala yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1990). Menurut Sutanto (1987), alat yang

dimaksud dalam batasan tersebut adalah sensor yang dipasang pada wahana yang

berupa pesawat terbang, satelit, pesawat ulang alik, atau wahana lain yang

dilakukan dari jarak jauh, sehingga disebut penginderaan jauh.

Jarak yang jauh memerlukan tenaga yang dipancarkan atau dipantulkan

oleh suatu obyek yang diindera sehingga antara obyek dan tenaga terjadi interaksi.

Setiap obyek memiliki karakteristiknya sendiri terhadap interaksinya terhadap

tenaga. Hal tersebut dapat dijelaskan melalui kurva pantulan spektral obyek pada

gambar 1.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62326/potongan/S1-2013... · dan Kabupaten Klaten di Provinsi Jawa Tengah Secara umum, formasi batuan di

5

Gambar 1. Kurva pantulan umum vegetasi, tanah, dan air (Lillesand, et al., 1979)

Obyek di permukaan bumi pada dasarnya dibedakan menjadi tiga, yaitu

obyek berupa vegetasi, tanah, dan air. Masing-masing obyek memiliki bentuk dan

sifat yang juga berbeda. Pemotretan menggunakan panjang gelombang tertentu

menghasilkan karakter reflektan yang berbeda sehingga dapat digunakan sebagai

dasar pemilihan citra penginderaan jauh juga sebagai dasar interpretasi obyek.

Kerincian informasi yang disadap dari data penginderaan jauh sangat

bergantung pada resolusi. Terdapat empat macam resolusi, yaitu resolusi spasial,

resolusi spektral, resolusi radiometrik, dan resolusi temporal. Resolusi spasial

ialah ukuran obyek terkecil yang dapat disajikan, dibedakan, dan dikenali dari

citra. Resolusi spektral menunjukkan kerincian spektrum elektromagnetik yang

yang digunakan dalam suatu sistem penginderaan jauh. Resolusi radiometrik

menunjukkan kepekaan sistem sensor terhadap perbedaan terkecil kekuatan

sinyal. Sementara, resolusi temporal merupakan frekuensi perekaman ulang bagi

daerah yang sama (Sutanto, 1987).

1.5.2. Citra ASTER

ASTER merupakan sensor optik multispektral dengan resolusi spasial

tinggi yang dimuat pada satelit Terra yang diluncurkan pada bulan Desember

1999. ASTER mempunyai 14 band spektral dari mulai spektrum tampak sampai

dengan saluran thermal yang terbagi menjadi 3 radiometer, yaitu: VNIR, SWIR

dan TIR (Ersdac, 2003). VNIR merupakan instrument yang mampu mendeteksi

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62326/potongan/S1-2013... · dan Kabupaten Klaten di Provinsi Jawa Tengah Secara umum, formasi batuan di

6

pantulan dari permukaan bumi pada gelombang visibel sampai inframerah dekat

(0,52 – 0,86 μm). Satu kelebihan sensor ASTER adalah memiliki 2 saluran

inframerah dekat dengan panjang gelombang yang sama, yaitu band 3N (nadir:

arah tegak lurus) dan 3B (backward: arah belakang), dimana band 3B

dipergunakan untuk memperoleh pandangan ke arah belakang dengan sudut dari

titik nadir sejauh 27,60 derajat (Ersdac, 2002). Satu scene citra ASTER meliputi

daerah berukuran sekitar 60 km x 60 km.

Tabel 1. Karakteristik Citra ASTER

Subsistem Band Kisaran

spectral

Resolusi Spasial Kuantisasi

Sinyal

VNIR 1

2

3N

3B

0,52 – 0,60

0,63 – 0,69

0,78 – 0,86

0,78 – 0,86

15 m 8 bit

SWIR 4

5

6

7

8

9

1,6 – 1,7

2,145 – 2,185

2,185 – 2,225

2,235 – 2,285

2,295 – 2,365

2,360 – 2,430

30 m 8 bit

TIR 10

11

12

13

14

8,125 – 8,475

8,475 – 8,825

8,925 – 9,275

10,25 – 10,95

10,95 – 11,65

90 m 12 bit

Sumber: ASTER Science Team (2001)

Produk lain dari ASTER yang dikembangkan oleh METI (Ministry of

Economy, Trade, and Industry) Jepang dan NASA (National Aeronautics and

Space Administration) adalah ASTER GDEM (Global Digital Elevation Model).

Instrumen GDEM ASTER diluncurkan dengan pesawat ruang angkasa NASA

Terra pada bulan Desember 1999 yangg memiliki kemampuan along-track

stereokopik menggunakan band spektral inframerah dekat untuk memperoleh data

stereo. Sebanyak 1.524.360 scene produk level 1A ASTER yang diperoleh pada

bulan Maret 2000 sampai dengan Agustus 2010 digunakan untuk menghasilkan

GDEM ASTER. ASTER GDEM dibuat dari tumpang susun antara data yang

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62326/potongan/S1-2013... · dan Kabupaten Klaten di Provinsi Jawa Tengah Secara umum, formasi batuan di

7

tertutup awan dengan data yang tidak tertutup awan dengan menggunakan

algoritma statistik untuk menghapus data yang tidak normal. Secara umum,

estimasi akurasi vertikal citra ini adalah sebesar 20 m. Resolusi yang dihasilkan

cukup bagus, yakni 30 m. Karakteristik citra ASTER GDEM ditunjukkan oleh

tabel

Tabel 2. Karakteristik Citra ASTER GDEM

Tile Size 3601 x 3601 (1o – by – 1

o)

Posting Interval 1 arc-second

Geographic Coordinates Geographic latitude and longitude

DEM Output Format GeoTIFF, 16 bits

Referenced to the WGS 84/EGM/96

geoid

Special DN Value -9999 for void pixels, and 0 for sea

water body

Coverage North 83o to south 83

o

Sumber: ASTER GDEM Readme File

1.5.3 Interpretasi Citra

Data penginderaan jauh pada dasarnya adalah rekaman pola pantulan

energi elektromagnetik pantulan dan emisi yang ditampilkan sebagai citra

menyerupai gambar yang sifatnya sangat bervariasi. Untuk dapat menyadap

informasi penting dari data tersebut, diperlukan latihan menilai kenampakan

penting di luar yang tidak penting. Tingkat awal interpretasi dikenal sebagai

deteksi (Lo, 1976). Deteksi dibantu oleh karakteristik spasial, spektral,

radiometrik dan temporal data.

Pengenalan karakteristik obyek pada citra memerlukan sembilan butir

unsur interpretasi, yaitu rona atau warna, ukuran, bentuk, tekstur, pola, tinggi,

bayangan, situs dan asosiasi. Rona adalah tingkat kegelapan atau kecerahan obyek

pada citra. Warna adalah ujud yang tampak oleh mata dengan menggunakan

spektrum sempit, lebih sempit daripada spektrum tampak (0,4 – 0,7 μm).

Bentuk merupakan variable kualitatif yang memberikan konfigurasi atau

kerangka suatu obyek (Lo, 1976). Bentuk merupakan atribut yang jelas sehingga

banyak obyek dapat dikenali dilihat dari bentuknya saja. Ukuran adalah atribut

obyek yang antara lain berupa jarak, luas, ketinggian, lereng, dan volum. Tekstur

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62326/potongan/S1-2013... · dan Kabupaten Klaten di Provinsi Jawa Tengah Secara umum, formasi batuan di

8

merupakan frekuensi perubahan rona pada citra (Lillesand dan Kiefer, 1979). Pola

atau susunan keruangan merupakan cirri yang menandai bagi banyak obyek

bentukan manusia dan bagi beberapa obyek alamiah.

Bayangan bersifat menyembunyikan detail atau obyek yang berada di

daerah gelap. Namun begitu, bayangan sering merupakan kunci pengenalan yang

penting bagi beberapa obyek. Asosiasi dapat diartikan sebagai keterkaitan antara

obyek yang satu dengan obyek yang lain. Bersama-sama dengan asosiasi, situs

dikelompokkan ke dalam kerumitan paling tinggi dalam interpretasi citra. Situs

bukan merupakan ciri obyek secara langsung, melainkan dalam kaitannya dengan

lingkungan sekitar (Sutanto, 1987).

Purwadhi (2011) menyebutkan bahwa interpretasi citra dapat dilakukan

dengan dua cara, yaitu interpretasi citra secara manual dan interpretasi citra secara

digital.

1. Interpretasi Manual

Merupakan pengenalan karakteristik obyek secara keruangan atau

spasial yang mendasarkan pada unsure interpretasi citra penginderaan jauh.

Interpretasi manual dilakukan terhadap citra fotografi dan non fotografi yang

sudah dikonversi ke dalam bentuk foto atau citra.

Interpretasi manual pada citra penginderaan jauh dilakukan pada citra

yang terkoreksi baik radiometrik maupun geometrik sehingga pengguna

tinggal melakukan identifikasi obyek yang tergambar pada citra atau foto.

Interpretasi didasarkan pada sistem kalsifikasi yang bertujuan untuk

mengelompokkan atau melakukan segmentasi kenampakan permukaan bumi

yang homogen dengan teknik kualitatif. Perhitungan kuantitatif dilakukan

secara manual berdasar skala dan resolusi citra penginderaan jauh.

2. Interpretasi Digital

Interpretasi digital dilakukan dengan bantuan komputer. Di dalam

interpretasi citra penginderaan jauh digital, pengguna dapat melakukan mulai

dari pengolahan, pra pengolahan (koreksi citra), penajaman citra, hingga

klasifikasi citra. Namun dapat juga melakukannya pada citra penginderaan

jauh yang sudah terkoreksi sehingga pengguna tinggal melakukan klasifikasi,

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62326/potongan/S1-2013... · dan Kabupaten Klaten di Provinsi Jawa Tengah Secara umum, formasi batuan di

9

1.5.4 Sistem Informasi Geografis

Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah sistem yang berbasiskan

komputer yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi-

informasi geografi. SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan, dan

menganalisis obyek-obyek dan fenomena dimana lokasi geografi merupakan

karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis. Dengan demikian, SIG

merupakan sistem komputer yang memilik empat kemampuan berikut dalam

menangani data yang bereferensi geografi: (a) masukan, (b) manajemen data

(penyimpanan atau pemanggilan data), (c) analisis dan manipulasi data, (d)

keluaran (Aronoff, 1989 dalam Prahasta, 2002).

Aronoff (1989) menguraikan komponen SIG menjadi:

(a) Data masukan

Komponen ini bertugas untuk mengumpulkan dan mempersiapkan data

spasial dan atribut dari berbagai sumber. Komponen ini yang

bertanggungjawab dalam mengkonversi atau mentransformasikan format

data asli ke dalam format yang dapat digunakan dalam SIG.

(b) Data keluaran

Komponen ini menampilkan atau menghasilkan keluaran seluruh atau

sebagian basisdata baik dalam bentuk softcopy atau bentuk hardcopy

seperti: tabel, grafik, peta, dan lain-lain.

(c) Data manajemen

Komponen ini mengorganisasikan baik data spasial maupun atribut ke

dalam sebuah basisdata sedemikian rupa sehingga mudah dipanggil, di-

update dan di-edit.

(d) Data manipulasi dan analisis

Komponen data ini menentukan informasi yang dapat dihasilkan oleh

SIG, juga dapat melakukan manipulasi dan pemodelan data untuk

menghasilkan informasi yang diharapkan.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62326/potongan/S1-2013... · dan Kabupaten Klaten di Provinsi Jawa Tengah Secara umum, formasi batuan di

10

SIG merupakan suatu sistem komputer yang terintegrasi di tingkat

fungsional dan jaringan. Komponen SIG yang dirangkum pada gambar 3,

terdiri dari :

a. Perangkat keras (hardware)

Komputer (komputer tunggal, komputer sistem jaringan dengan

server, komputer dengan jaringan global internet) dan periperalnya

merupakan komponen yang harus tersedia untuk mengoperasikan SIG

berbasis komputer. Perangkat keras untuk SIG meliputi perangkat

keras: pemasukan data, pemrosesan data, penyajian hasil,

penyimpanan(storage).

b. Perangkat Lunak (software)

Perangkat lunak yang mempunyai fungsi di atas dan fasilitas

untuk penyimpanan, analisis dan penayangan informasi geografi.

Persyaratan yang penting harus dipenuhi software SIG adalah :

Merupakan Database Management System (DMBS).

Fasilitas untuk pemasukan dan manipulasi data geografis.

Fasilitas untuk query, analisis dan visualisasi.

Graphycal User Interface (GUI) yang baik untuk mempermudah

akses fasilitas yang ada.

Gambar 2. Komponen-komponen SIG

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62326/potongan/S1-2013... · dan Kabupaten Klaten di Provinsi Jawa Tengah Secara umum, formasi batuan di

11

c. Data

Data merupakan komponen yang paling penting dalam SIG.

Keakurasian data dituntut dalam SIG. Dikenal konsep GIGO (Garbits

In Garbits Out) dan sebaliknya Gold In Gold Out.

d. Sumberdaya Manusia

Teknologi SIG menjadi sangat terbatas kemampuannya jika tidak

ada sumberdaya yang mengelola sistem dan mengembangkan untuk

aplikasi yang sesuai. Pengguna dan pembuat sistem harus saling

bekerjasama untuk mengembangkan teknologi SIG.

e. Metode (Methods)

Model dan teknik pemrosesan perlu dibuat untuk berbagai

aplikasi SIG. Sistem komputer untuk SIG terdiri dari perangkat keras,

perangkat lunak dan prosedur untuk penyusunan pemasukan data,

analisis, pemodelan dan penayangan data geospatial. Fungsi pengguna

adalah memilih informasi yang diperlukan, membuat standar, membuat

jadwal pemutakhiran (updating) yang efisien, menganalisis hasil yang

dikeluarkan untuk kegunaan yang diinginkan dan merencanakan

aplikasi.

1.4.5 Siklus Hidrologi

Daur hidrologi, sering juga dipakai istilah Water Cycle atau Siklus

Air. Suatu sirkulasi air yang meliputi gerakan mulai dari laut ke atmosfer,

dari atmosfer ke tanah, dan kembali ke laut lagi atau dengan arti lain Siklus

hidrologi merupakan rangkaian proses berpindahnya air permukan bumi dari

suatu tempat ke tempat lainnya hingga kembali ke tempat asalnya.

Gambaran umum mengenai siklus hidrologi dapat dilihat pada gambar

3. Air naik ke udara dari permukaan laut atau dari daratan melalui evaporasi.

Air di atmosfer dalam bentuk uap air atau awan bergerak dalam massa yang

besar di atas benua dan dipanaskan oleh radiasi tanah. Panas membuat uap air

lebih naik lagi sehingga cukup tinggi/dingin untuk terjadi kondensasi. Uap air

berubah jadi embun dan seterusnya jadi hujan atau salju. Curahan

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62326/potongan/S1-2013... · dan Kabupaten Klaten di Provinsi Jawa Tengah Secara umum, formasi batuan di

12

(precipitation) turun ke bawah, ke daratan atau langsung ke laut. Air yang

tiba di daratan kemudian mengalir di atas permukaan sebagai sungai, terus

kembali ke laut. Air yang tiba di daratan kemudian mengalir di atas

permukaan sebagai sungai, terus kembali ke laut melengkapi siklus air.

Gambar 3. Siklus hidrologi (USGS)

Dalam perjalanannya dari atmosfer ke luar air mengalami banyak

interupsi. Sebagian dari air hujan yang turun dari awan menguap sebelum tiba

di permukaan bumi, sebagian lagi jatuh di atas daun tumbuh-tumbuhan

(interception) dan menguap dari permukaan daun-daun. Air yang tiba di tanah

dapat mengalir terus ke laut, namun ada juga yang meresap dulu ke dalam

tanah (infiltration) dan sampai ke lapisan batuan sebagai air tanah.

Sebagian dari air tanah dihisap oleh tumbuh-tumbuhan melalui daun-

daunan lalu menguapkan airnya ke udara (transpiration). Air yang mengalir

di atas permukaan menuju sungai kemungkinan tertahan di kolam, selokan

dan sebagainya (surface detention), ada juga yang sementara tersimpan di

danau, tetapi kemudian menguap atau sebaliknya sebagian air mengalir di

atas permukaan tanah melalui parit, sungai, hingga menuju ke laut ( surface

run off), sebagian lagi infiltrasi ke dasar danau-danau dan bergabung di dalam

tanah sebagai air tanah yang pada akhirnya ke luar sebagai mataair.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62326/potongan/S1-2013... · dan Kabupaten Klaten di Provinsi Jawa Tengah Secara umum, formasi batuan di

13

1.4.6 Identifikasi Mataair

Kejadian pemunculan air, baik yang berupa mataair maupun rembesan

merupakan salah satu kejadian dalam proses hidrologi yang merupakan salah

satu karakteristik hidrologi. Pendekatan hidrogeomorfologi dan hidrogeologi

digunakan dalam interpretasi citra (Gunawan, 2001).

Mataair adalah pemusatan keluarnya airtanah yang muncul di

perukaan tanah sebagai arus dari aliran air tanah (Todd 1980). Menurut Bryan

(1919) dalam Todd (1980), berdasarkan sebab terjadinya, mataair

diklasifikasikan menjadi dua, yaitu mataair yang dihasilkan oleh tenaga non

gravitasi dan tenaga gravitasi. Mataair yang dihasilkan oleh tenaga non

gravitasi meliputi mataair vulkanik (volcanic spring) yang berhubungan

dengan keberadaan batuan vulkanik, mataair celah (fissure spring) dan

mataair panas.

Gambar 4. Ilustrasi mataair yang disebabkan tenaga gravitasi (a) mataair

depresi, (b) mataair kontak, (c) mataair rekahan (Bryan 1919 dalam Todd

1980)

Mataair yang disebabkan oleh tenaga gravitasi diklasifikasikan

menjadi beberapa tipe, yaitu mataair depresi (depression spring) yang

terbentuk bila permukaan air tanah terpotong oleh topografi; mataair kontak

(contact spring) yang terjadi bila lapisan yang lulus air terletak di atas lapisan

kedap air; mataair artesis (artesian spring) yang keluar dari akuifer tertekan;

imperveous rock spring yang terjadi pada saluran atau pecahan batuan kedap

air; dan mataair rekahan (fracture spring) yang terjadi akibat pecahan batuan

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62326/potongan/S1-2013... · dan Kabupaten Klaten di Provinsi Jawa Tengah Secara umum, formasi batuan di

14

lava atau solusional pada batuan impermeabel yang berhubungan dengan air

tanah.

Identifikasi pemunculan mataair menerapkan pendekatan yang

dikembangkan Todd (1959) dan Fetter (1988) sebagai kunci interpretasi

pemunculan air (mataair dan rembesan) dalam interpretasi foto udara, antara

lain: adanya perubahan kemiringan lereng yang memotong muka air tanah,

vegetasi yang menggerombol dan keluar aliran sungai, adanya jalur patahan

(sesar).

Menurut Tolman (1987) pemunculan mataair dipengaruhi oleh faktor

berikut:

1. Curah hujan

Merupakan sumber utama dari air tanah dan mata air, air hujan

yang jatuh ke permukaan bumi tidak seluruhnya mengalir ke sungai,

tetapi sebagian besar akan meresap ke dalam tanah dan masuk ke dalam

sistem aliran air tanah

2. Karakteristik hidrologi material permukaan air tanah terutama kelulusan

Tanah yang permeabilitasnya semakin besar maka jumlah air yang

masuk ke dalam akuifer juga semakin besar, hal ini disebabkan air yang

diloloskan dalam batauan atau tanah tersebut dalam jumlah besar dan

sebaliknya maerial permukaan yang memiliki permeabilitas semakin

kecil maka air yang diloloskan juga relatif kecil.

3. Kondisi topografi

Pengaruh yang paling penting adalah kemiringan lereng. Makin

besar kemiringan lereng, surface runoff juga makin besar sehingga

sedikit air yang meresap ke dalam tanah, pada daerah perubahan lereng

yang curam (break of slope) banyak terdapat mataair karena pada bagian

tersebut terdapat lapisan airtanah atau akuifer terpotong oleh permukaan

tanah.

4. Karakteristik hidrologi formasi akuifer

Karakteristik yang berpengaruh adalah: bentuk, batuan penyusun

akuifer dan tinggi rendahnya muka airtanah. Bila muka airtanah

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62326/potongan/S1-2013... · dan Kabupaten Klaten di Provinsi Jawa Tengah Secara umum, formasi batuan di

15

terpotong oleh permukaan tanah, maka akan muncul mata air sebagai

mata air depresi, kecuali itu faktor kemampuan akuifer meloloskan air

juga berpengaruh terhadap pemunculan mata air.

5. Struktur geologi

Mata air biasanya muncul pada daerah patahan, karena proses

patahan menyebabkan akuifer terpotong akibat perpindahan atau

pergeseran batuan atau tanah sehingga airtanah akan keluar ke

permukaan bumi.

Salah satu wilayah yang mempunyai potensi mataair besar adalah

wilayah lereng gunungapi. Gunungapi tipe strato muda, umumnya

mempunyai pola persebaran mataair yang melingkari badan gunungapi

membentuk pola seperti sabuk mataair yang dinamakan sabuk mataair atau

springbelt. Pada ketinggian tertentu terdapat jalur mataair yang berkaitan

dengan sifat orohidrologinya juga berkaitan dengan perubahan lereng yang

diakibatkan oleh perubahan struktur batuan pembentuknya

(Purbohadiwidjojo, 1967)

Persebaran mataair dengan berbagai debit aliran terdapat pada tubuh

gunungapi bagian tengah hingga bawah dengan tempat pemunculan kurang

lebih berkesesuaian dengan tempat terjadinya perubahan kemiringan lereng

yang mengindikasikan perubahan tingkat kelulusan air (Purbohadiwidjojo,

1967). Semakin tua umur batuan gunungapi, maka semakin kecil

pengaruhnya terhadap debit mataair yang muncul. Curah hujan merupakan

hal pokok yang berkaitan dengan keterdapatan mataair di suatu daerah,

namun hal tersebut masih mempertimbangkan keadaan litologinya (Ardina,

1985).

Meinzer dalam Todd (1980) membagi debit mataair berdasarkan

magnitude yang ditunjukkan pada tabel 4.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62326/potongan/S1-2013... · dan Kabupaten Klaten di Provinsi Jawa Tengah Secara umum, formasi batuan di

16

Tabel 3. Klasifikasi Mataair Berdasar Debit

Magnitude Debit Rata-Rata

Pertama >10 m3/s

Kedua 1 – 10 m3/s

Ketiga 0,1 – 1 m3/s

Keempat 10 – 100 l/s

Kelima 1 – 10 l/s

Keenam 0,1 – 1 l/s

Ketujuh 10 – 100 ml/s

Kedelapan <10 ml/s

Sumber: Todd (1980)

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62326/potongan/S1-2013... · dan Kabupaten Klaten di Provinsi Jawa Tengah Secara umum, formasi batuan di

17

1.6 Diagram Alir Kerangka Pemikiran

Kabupaten Sleman terletak di daerah vulkanik pada

daerah major aquifer

Dimungkinkan banyak

muncul mataair

Parameter fisik lahan

berpengaruh terhadap

pemunculan mataair

Citra Penginderaan Jauh

Identifikasi lokasi pemunculan mataair

Analisis sebaran mataair di Kabupaten Sleman

Gambar 5. Diagram Alir Kerangka Pemikiran

Data Sekunder

Parameter

curah hujan

Parameter

struktur

geologi

(lineament)

Parameter

bentuklahan

Parameter

penggunaan

lahan

Parameter

lereng

Data debit

mataair

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62326/potongan/S1-2013... · dan Kabupaten Klaten di Provinsi Jawa Tengah Secara umum, formasi batuan di

18

1.7 Kerangka Pemikiran

Mataair adalah hasil dari siklus hidrologi berupa pemusatan pengeluaran

airtanah yang muncul di permukaan tanah atau batuan. Keberadaan mataair sangat

dibutuhkan terutama untuk penyaluran air minum oleh PDAM dan pemenuhan

kebutuhan produksi dan konsumsi oleh perusahaan air minum dan masyarakat.

Pendekatan karakteristik fisik lahan diperlukan untuk mengetahui sebaran

lokasi mataair. Parameter yang dapat digunakan untuk identifikasi lokasi

pemunculan mata air adalah faktor lereng, struktrur geologi berupa kelurusan atau

lineament, bentuklahan, penggunaan lahan dan curah hujan. Faktor yang

diinterpretasi dan diidentifikasi dari citra adalah faktor bentuklahan, penggunaan

lahan, dan pola kelurusan. Kemiringan lereng diperoleh dari analisis topografi dari

kontur RBI skala 1:25.000 daerah kajian. Sementara parameter curah hujan

didapatkan dari analisis data sekunder dengan bantuan sistem informasi geografis.

Interpretasi parameter fisik lahan menggunakan dua citra berbeda, yaitu citra

ASTER VNIR yang memiliki resolusi spasial sebesar 15 meter dengan ASTER

GDEM yang memiliki resolusi spasial sebesar 30 meter.

Pemunculan air dikontrol oleh bentuk sesar sehingga hal ini dapat

digunakan untuk indikator pemunculan air baik berupa mataair maupun rembesan.

Kelurusan dapat terekam dari citra satelit berupa lembah, gawir, penjajaran bukit,

penjajaran vegetasi, ataupun offset morfologi dan berkaitan dengan kehadiran

rekahan ataupun patahan.

Bentuklahan merupakan indikator lain yang dapat digunakan sebagai

analisis lokasi mataair. Perubahan gradien atau kemiringan lereng menyebabkan

aliran airtanah terpotong oleh kemiringan lereng sehingga timbullah mataair. Pada

bentuklahan vulkanik, mataair banyak ditemui pada takik lereng atau perubahan

lereng.

Intensitas curah hujan berpengaruh terhadap kesempatan air yang masuk ke

dalam tanah sehingga intensitas curah hujan menjadi salah satu indikator

pemunculan mataair. Curah hujan yang tinggi di wilayah imbuhan (recharge)

mempengaruhi kondisi ideal ketersediaan air tanah di suatu wilayah sehingga

secara alami air tanah akan mengalir menuju daerah lepasan dan muncul di

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62326/potongan/S1-2013... · dan Kabupaten Klaten di Provinsi Jawa Tengah Secara umum, formasi batuan di

19

permukaan tanah atau batuan membentuk suatu mataair. Analisis curah hujan

daerah kajian menggunakan bantuan SIG untuk interpolasi curah hujan dari

masing-masing stasiun hujan.

Melalui SIG, dilakukan tumpangsusun terhadap parameter yang telah dipilih

kemudian dilakukan analisis pencocokan terhadap parameter tersebut. Hasil

analisis sementara diuji melalui cek lapangan kemudian diinterpretasi ulang

sehingga menghasilkan Peta Lokasi Pemunculan Mataair dan Peta Sebaran

Mataair di Kabupaten Sleman.

1.8 Batasan Istilah Operasional

Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh dapat diartikan sebagai ilmu dan seni untuk memperoleh

informasi tentang suatu objek, daerah atau fenomena melalui sebuah analisis data

yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah

atau fenomena yang dikaji (Lillesand & Keifer, 1990).

Mataair

Mataair (spring) adalah pemusatan pengeluaran air tanah yang muncul di

permukaan tanah sebagai arus dari aliran air (Todd, 1980)

Siklus Hidrologi

Proses transportasi air secara kontinyu dari laut ke atmosfer dan dari

atmosfer ke permukaan tanah yang akhirnya kembali lagi ke laut

(Hadisusanto, 2011).

Kelurusan (Lineament)

Bentukan linear yang mungkin merepresentasikan kenampakan morfologi

diskontinuitas struktural batuan atau bentukan lain yang berhubungan

dengan aktifitas tektonik (Ramsay and Huber, 1987).

Bentuklahan

Kenampakan medan yang dibentuk oleh proses-proses geomorfologi yang

memiliki julat karakteristik fisikal dan visual dimana bentuklahan itu

dijumpai (Zuidam, 1983)

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62326/potongan/S1-2013... · dan Kabupaten Klaten di Provinsi Jawa Tengah Secara umum, formasi batuan di

20

Penggunaan Lahan

Semua jenis penggunaan atas lahan oleh manusia, mencakup penggunaan

lahan untuk pertanian hingga lapangan olahraga, rumah mukim, hingga

rumah makan, rumah sakit, hingga kuburan (Lindgren, 1985 dalam

Purwadhi, 2009).

Sistem Informasi Geografis (SIG)

Kumpulan yang terorganisir dari perangkat lunak komputer, perangkat

keras, data geografi, dan personel yang dirancang secara efisien untuk

memperoleh , menyimpan, mengupdate, memanipulasi, menganalisis, dan

menampilkan semua bentuk yang bereferensi geografis (ESRI, 1990)

1.9. Penelitian Sebelumnya

Arsadi (2007) memetakan mataair menggunakan citra LANDSAT

ETM +7 dan peta topografi skala 1:50.000. Identifikasi mataair dilakukan secara

visual dengan melihat obyek pada citra. Penafsiran berkaitan dengan

kemungkinan adanya kelurusan, bentuk tapal kuda hasil erosi, serta struktur

batuan lainnya. Selanjutnya dilakukan pengukuran lapangan meliputi plotting

lokasi mataair serta pengukuran sifat fisik mataair di antaranya rasa, bau, warna,

pH, daya hantar listrik, dan suhu air. Mataair yang berhasil teridentifikasi adalah

sebanyak 97 mataair yang secara genetik berasal dari kontak perlapisan dan

rekahan batuan yang terpotong oleh topografi.

Rahardjo, dkk (2008) melakukan pemetaan mataair di Pulau Bali.

Penelitian tersebut bertujuan untuk memetakan lokasi mataair, mengetahui

karakteristik mataair, serta menghitung potensi mataair untuk penggunaan

domestik. Karakteristik mataair dianalisis melalui spasial analisis berdasarkan

kondisi geologi, geomorfologi, serta kondisi hidrogeologi. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa distribusi mataair di Pulau Bali tidak homogen dan

dikontrol oleh struktur geologi berupa patahan dan kontak batuan antara batuan

vulkanik (tuff dan lahar) pada formasi Buyan-Bratan-Batur dengan formasi lain

di sekitarnya. Sabuk mataair ditemukan pada perubahan lereng gunungapi strato

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62326/potongan/S1-2013... · dan Kabupaten Klaten di Provinsi Jawa Tengah Secara umum, formasi batuan di

21

pada Gunungapi Agung. Penggunaan domestik mataair adalah sebesar 60

l/orang/hari untuk daerah pedesaan dan 120 l/orang/hari untuk daerah perkotaan.

Potensi mataair di Bali sebesar 628.800 m3/bulan dengan penggunaan domestik

9.079.990 m3/bulan. Sehingga potensi mataair adalah sekitar 6,9% untuk

penggunaan domestik di Pulau Bali.

Gunawan (2001) menggunakan foto udara untuk menyadap

karakteristik hidrologi di suatu wilayah. Metode yang digunakan dalam

penelitian ini adalah menggunakan teknik interpretasi foto udara skala 1:10.000

dan skala 1:25.000. Citra penginderaan jauh tidak dapat digunakan langsung

begitu saja tanpa data bantu untuk melakukan analisis karakter hidrologi,

terutama untuk hidrologi air tanah. Diperlukan data lain seperti peta geologi,

peta kontur muka air tanah, dan data pengukuran geolistrik dari data sekunder.

Hasil identifikasi kenampakan bentuklahan disajikan dalam peta

ekosistem bentanglahan (hasil overlay peta bentuklahan dan penggunaan lahan),

peta Daerah Aliran Sungai (DAS), peta hidrogeomorfologi. Penelitian ini

mampu mengidentifikasi tiga macam karakteristik hidrologi berupa (1)

pemunculan mata air atau rembesan, yaitu mata air Bito yang berada di zona

patahan, mata air Parangtritis dan Parangwedang, dan mata air Beji yang

terdapat pada perubahan lerang antara perbukitan batuan gamping dan breksi

volkanik, (2) sepuluh sub DAS yang berada di atas perbukitan gamping dan

kipas alluvial yang berfungsi sebagai daerah umpan air (recharge area), (3) tiga

lokasi cadangan air tanah potensial, yaitu di daerah Tirtoharjo, Kretek, dan

Parangtritis.

Harsoyo (2001) dalam penelitian skripsinya khusus membahas

identifikasi mataair yang terdapat pada bentuklahan karst. Alat interpretasi

berupa foto udara inframerah berwarna skala 1: 30.000 dan foto udara

pankromatik skala 1:50.000 untuk mengetahui lineament dan melakukan

interpretasi visual untuk kerapatan vegetasi serta melakukan pembatasan untuk

mengetahui Daerah Tangkapan Air (DTA).

Data yang dapat disadap dari foto udara berupa fenomena struktur

batuan seperti sesar atau patahan yang ditunjukkan oleh lineament (kelurusan),

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62326/potongan/S1-2013... · dan Kabupaten Klaten di Provinsi Jawa Tengah Secara umum, formasi batuan di

22

bentuklahan, pola aliran permukaan, dan bentuk penutup lahan. Selain

menentukan lokasi mataair, ditentukan pola lokasi daerah umpan air (recharge

area). Tingkat ketelitian interpretasi yang diperoleh sebesar 81,81 %. Lokasi

mataair banyak terdapat pada perbukitan karst dengan tingkat solusional tinggi.

Pola penyebaran menunjukkan bahwa setiap satuan bentuklahan memiliki

potensi airtanah yang berbeda karena perbedaan tingkat solusional batuannya.

DTA pada daerah karst tidak dapat terlihat secara tegas pada foto udara.

Satya C.R (2010) melakukan penelitian di kawasan karst Gunungsewu

menggunakan citra ALOS AVNIR-2 dalam 3 skala waktu, melakukan Image

Thresholding untuk memisahkan tubuh air dan penggunaan lahan lainnya, serta

melakukan perhitungan neraca air untuk mengetahui kondisi imbangan air pada

saat perekaman citra penginderaan jauh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

deteksi telaga dapat dilakukan berdasarkan kombinasi band ratio spektrum

merah dan inframerah dari citra ALOS AVNIR-2 didukung dengan perhitungan

neraca air.

Abarca (2006) dari ITC melakukan membandingkan berbagai metode

ekstraksi lineament dari berbagai sumber data, yaitu dari kontur SRTM, kontur

topografi skala 1:25.000, dan kontur topografi skala 1:50.000. Hasil olahan

DEM dan kontur direpresentasikan menggunakan gradient slope, map

curvature, dan shaded relief. Akurasi tertinggi diperoleh pada ekstraksi pola

kelurusan menggunakan kontur peta topografi skala 1:25.000

yangdirepresentasikan menggunakan metode Evans-Young dengan total akurasi

sebesar 16,35%.

Narulia (2006) menggunakan distribusi spasial dan temporal curah

hujan rata-rata tahunan di Cekungan Bandung selama kurun waktu 25 tahun

(1986 – 2004). Data curah hujan pada masing-masing stasiun diinterpolasi

menggunakan geostatistik metode inverse distance untuk membuat distribusi

curah hujan dari titik-titik sampel. Titik sampel berupa titik ketinggian, diambil

dari ekstraksi data kontur yang selanjutnya dihitung nilai curah hujan rata-rata

tahunan dengan mencari hubungan spasial antara curah hujan rata-rata tahunan

dengan ketinggian tempat. Nilai korelasi tergolong baik, mendekati angka 1,

Page 23: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62326/potongan/S1-2013... · dan Kabupaten Klaten di Provinsi Jawa Tengah Secara umum, formasi batuan di

23

yaitu sebesar 0,9. Selanjutnya dicari perbandingan antara pola curah hujan, debit

aliran terukur, dan air larian terhitung serta dilakukan pendugaan koefisien

aliran. Hasil analisis data menunjukkan bahwa cekungan Bandung menghasilkan

volume hujan rata-rata tahunan 3.395 juta m3/th. Air yang melimpas rata-rata

1.748 juta m3/th, dan angka koefisien air larian tahunan rata-rata adalah 0,53.

Page 24: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62326/potongan/S1-2013... · dan Kabupaten Klaten di Provinsi Jawa Tengah Secara umum, formasi batuan di

1.10 Tabel Perbandingan Penelitian

Tabel 4. Perbandingan penelitian

Peneliti Judul Lokasi Metode Penelitian Hasil Penelitian

Edy M. Arsadi

dan Hendra Bakti

(2007)

PEMETAAN MATAAIR DI

KABUPATEN BELU NTT

(Penelitian LIPI)

Kabupaten Belu,

NTT

Identifikasi mataair dilakukan secara

visual dengan melihat obyek pada

citra. Penafsiran berkaitan dengan

kemungkinan adanya kelurusan,

bentuk tapal kuda hasil erosi, serta

struktur batuan lainnya. Pengukuran

lapangan meliputi plotting lokasi

mataair serta pengukuran sifat fisik

mataair di antaranya rasa, bau,

warna, pH, daya hantar listrik

Mataair yang berhasil teridentifikasi

adalah sebanayak 97 mataair yang

secara genetik berasal dari kontak

perlapisan dan rekahan batuan yang

terpotong oleh topografi.

Rahardjo,

Noorhadi &

Setyawan

Purnama (2008)

PEMETAAN POTENSI MATAAIR

DI PULAU BALI (Makalah Teknik

Lingkungan Vol 4)

Pulau Bali Analisis data karakteristik mataair

dilakukan secara deskriptif

menggunakan analisis spasial. Data

pemunculan mataair diplot dala peta

sesuai dengan lokasinya. Faktor

dominan yang mempengaruhi

karakteristik pemunculan mataair

dan debit mataair didapat dari hasil

overlay geologi, geomorfologi, dan

hidrogeologi. Potensi mataair

dihitung berdasarkan data debit

seluruh mataair yang terdapat pada

masing-masing SWS Pulau Bali.

Distribusi mataair di Pulau Bali tidak

homogen dan dikontrol oleh struktur

geologi berupa patahan dan kontak

batuan antara batuan vulkanik (tuff dan

lahar) pada formasi Buyan-Bratan-

Batur dengan formasi lain di

sekitarnya. Sabuk mataair ditemukan

pada perubahan lereng gunungapi

strato pada Gunungapi Agung. Potensi

mataair di Bali sebesar 628.800

m3/bulan dengan penggunaan domestik

9.079.990 m3/bulan (6,9%)

Page 25: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62326/potongan/S1-2013... · dan Kabupaten Klaten di Provinsi Jawa Tengah Secara umum, formasi batuan di

25

Lanjutan Tabel

Totok Gunawan

(2001)

KONTRIBUSI FOTO UDARA

DALAM IDENTIFIKASI

KARAKTERISTIK HIDROLOGI DI

DAERAH PARANGTRITIS DAN

SEKITARNYA KABUPATEN

BANTUL DAERAH ISTIMEWA

YOGYAKARTA (Jurnal Majalah

Geografi Indonesia)

Bentukan lahan

dataran alluvial

dan Pesisir

Parangtritis,

Bantul

Menggunakan foto udara skala 1:

10.000 dan foto udara 1: 25.000.

Kajian utama adalah seluruh

karakteristik hidrologi, yaitu

hidrologi permukaan dan hidrologi

air tanah. Interpretasi penggunaan

dan penutup lahan berupa vegetasi

dilakukan secara manual

Identifikasi karakteristik hidrologi

daerah dengan bentuklahan alluvial

baik hidrologi permukaan maupun air

tanah.

Budi Harsoyo

(2001)

APLIKASI TEKNIK

PENGINDERAAN JAUH UNTUK

IDENTIFIKASI MATAAIR DAN

SEBARANNYA DI KAWASAN

KARST DAERAH PONJONG,

GUNUNGKIDUL, YOGYAKARTA

(Penelitian Skripsi S1)

Bentuklahan

karst, Ponjong,

Kabupaten

Gunungkidul

Menggunakan foto udara untuk

mengetahui lineament dan

melakukan interpretasi visual untuk

kerapatan vegetasi serta melakukan

pembatasan untuk mengetahui

Daerah Tangkapan Air (DTA)

Identifikasi fenomena yang

menunjukkan lokasi kejadian mataair

di daerah dengan bentuklahan karst

serta menentukan daerah umpan air di

daerah tersebut.

Manuel

Alejandro Arenas

Abarca (2006)

LINEAMENT EXTRACTION FROM

DIGITAL TERRAIN MODELS

(CASE STUDY SAN ANTONIO

DEL SUR AREA, SOUTH

EASTERN CUBA) (Thesis ITC)

San Antonio del

Sure, South

Eastern Cuba

Melakukan perbandingan ekstraksi

lineament menggunakan kontur peta

topografi skala 1:25.000 dan

1:50.000 dengan data DEM dari

SRTM yang direpresentasikan

menggunakan gradient slope, map

curvature, dan shaded relief. Metode

Sobel, dan transformasi hough.yang

digunakan adalah metode

Transformasi Evans Young, Laplace,

Akurasi tertinggi diperoleh pada

ekstraksi lineament menggunakan

kontur peta topografi skala 1:25.000

yangdirepresentasikan menggunakan

metode Evans-Young dengan total

akurasi sebesar 16,35%.

Page 26: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62326/potongan/S1-2013... · dan Kabupaten Klaten di Provinsi Jawa Tengah Secara umum, formasi batuan di

26

Lanjutan Tabel

Fredy Satya C.R.

& Ahmad

Cahyadi (2010)

DETEKSI TELAGA POTENSIAL

UNTUK PEMENUHAN

KEBUTUHAN AIR MUSIM

KEMARAU DI KAWASAN KARST

MENGGUNAKAN DATA

PENGINDERAAN JAUH

MULTITEMPORAL

(Simposium Nasional Sains

Geoinformasi)

Bentuklahan

karst, Kabupaten

Gunungkidul

Menggunakan ALOS AVNIR-2

dalam 3 skala waktu. Melakukan

Imange Thresholding untuk

memisahkan tubuh air dan

penggunaan lahan lainnya, serta

melakukan perhitungan neraca air

untuk mengetahui kondisi imbangan

air pada saat perekaman citra

penginderaan jauh.

Deteksi telaga berdasarkan kombinasi

band ratio speckrum merah dan

inframerah dari citra ALOS AVNIR-2

serta berdasarkan perhitungan neraca

air.

Narulia, Ida

(2006)

DISTRIBUSI SPASIAL DAN

TEMPORAL CURAH HUJAN

RATA-RATA TAHUNAN TIPE

OROGRAFIK UNTUK MENDUGA

ANGKA KOEFISIEN ALIRAN DI

CEKUNGAN BANDUNG (Penelitian

LIPI)

Bandung, Jawa

Barat

Data curah hujan pada masing-

masing stasiun diinterpolasi

menggunakan geostatistik metode

inverse distance untuk membuat

distribusi curah hujan dari titik-titik

sampel dan dianalisis regresi dengan

data ketinggian tempat. Selanjutnya

dicari perbandingan antara pola

curah hujan, debit aliran terukur, dan

air larian terhitung serta dilakukan

pendugaan koefisien aliran.

Hasil analisis regresi antara curah

hujan dengan ketinggian tempat adalah

sebesar 0,9. Cekungan Bandung

menghasilkan volume hujan rata-rata

tahunan 3.395 juta m3/th. Air yang

melimpas rata-rata 1.748 juta m3/th,

dan angka koefisien air larian tahunan

rata-rata adalah 0,53

Putri Marulia S. PEMANFAATAN CITRA

PENGINDERAAN JAUH DAN

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

UNTUK IDENTIFIKASI LOKASI

PEMUNCULAN MATAAIR DAN

SEBARANNYA DI KABUPATEN

SLEMAN

Kabupaten

Sleman, Daerah

Istimewa

Yogyakarta

Menggunakan bantuan citra ASTER

VNIR, ASTER GDEM untuk

analisis. Pemunculan mataair

diidentifikasi melalui analisis

parameter fisik lahan berupa

bentuklahan, penggunaan lahan,

lereng, pola aliran sungai, serta pola

Pemunculan mataair beserta

karakteristiknya. Terdapat 30 mataair

yang berhasil diidentifikasi. Mataair di

Kabupaten Sleman terjadi akibat

perubahan lereng pada bentuklahan

vulkanik sehingga muncul sabuk

mataair, kontak batuan, juga akibat

Page 27: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/62326/potongan/S1-2013... · dan Kabupaten Klaten di Provinsi Jawa Tengah Secara umum, formasi batuan di

27

kelurusan. Sebaran mataair air

berdasarkan debit dianalisis

menggunakan data hujan dan data

tabular debit mataair.

kontol struktur pada perbukitan

struktural Baturagung. Debit mataair

tertinggi terdapat pada perubahan

lereng atas gunungapi dengan lereng

tengah gunungapi.