Upload
buicong
View
222
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kabupaten Sleman merupakan salah satu propinsi di Daerah Istimewa
Yogyakarta yang sebagian besar wilayahnya tersususun atas bentuklahan vulkanik
di bagian selatan gunungapi Merapi. Gunungapi Merapi merupakan gunungapi
tipe strato, dengan ketinggian 2980 meter dari permukaan laut. Secara geografis
terletak pada posisi 7’ 32.5’ Lintang Selatan dan 110' 26.5’ Bujur Timur. Secara
administratif terletak pada 4 wilayah kabupaten yaitu Kabupaten Sleman di
Provinsi DI Yogyakarta, dan Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali,
dan Kabupaten Klaten di Provinsi Jawa Tengah
Secara umum, formasi batuan di Kabupaten Sleman tersusun dari Formasi
Gunungapi Merapi Tua, Formasi Gunungapi Merapi Muda, dan Formasi Sleman
(Bemmelen, 1949). Formasi Gunungapi Merapi Muda dan Formasi Sleman
merupakan major aquifer dan Formasi Gunungapi Merapi Tua merupakan poor
aquifer. Major aquifer memiliki permeabilitas baik sehingga mataair banyak
muncul di tempat tersebut.
Mataair yang merupakan pemusatan pengeluaran air tanah yang muncul di
permukaan tanah dan umum digunakan sumber air potensial yang selama ini telah
dimanfaatkan sebagai sumber utama air bersih terutama oleh PDAM (Perusahaan
Daerah Air Minum) , juga oleh perusahaan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK)
dan masyarakat awam. Mata air yang berasal dari tanah dalam, hampir tidak
terpengaruh oleh musim, dan kuantitas atau kualitasnya sama dengan keadaan air
dalam (Sutrisno, 2004).
Mataair dapat diidentifikasi dari pendekatan bentanglahan terpilih
menggunakan parameter fisik lahan tertentu. Salah satu cara untuk mengetahui
keberadaan mataair adalah menggunakan citra penginderaan jauh dan sistem
informasi geografis. Citra penginderaan jauh dapat digunakan untuk menyadap
informasi bentang lahan yang diperlukan dalam identifikasi hidrologi.
2
ASTER (Advance Spaceborne Thermal Emission and Reflection
Radiometer) merupakan sensor optik multispektral dengan resolusi spasial 15 m
yang dimuat pada satelit Terra yang diluncurkan pada bulan Desember 1999.
ASTER mempunyai 14 band spektral dari mulai spektrum tampak sampai dengan
saluran thermal yang terbagi menjadi 3 radiometer, yaitu: VNIR (Visible Near
Infrared Radiometer), SWIR (Short Wave Infrared Radiometer) dan TIR
(Thermal Infrared Radiometer) (Ersdac, 2003). Satu kelebihan sensor ASTER
adalah memiliki 2 saluran inframerah dekat dengan panjang gelombang yang
sama, yaitu band 3N (nadir: arah tegak lurus) dan 3B (backward: arah belakang).
Citra ASTER VNIR dapat digunakan sebagai kajian penutup dan penggunaan
lahan. Salah satu turunan citra ASTER, yaitu ASTER GDEM dengan resolusi
spasial 30 m, merupakan citra yang dapat digunakan untuk merepresentasikan
elevasi permukaan bumi dalam bentuk digital. Dengan citra ini, bentuk topografi
permukaan bumi dapat divisualisasikan dalam bentuk tiga dimensi.
Aplikasi penginderaan jauh untuk pemetaan sumberdaya wilayah
memerlukan pertimbangan tertentu agar dapat menghasilkan keluaran dengan
kualitas baik. Selain mempertimbangkan resolusi spasial, temporal, dan
radiometrik, juga diperlukan pertimbangan resolusi spektral berupa pemilihan
saluran, serta kombinasi saluran. Penentuan teknik dan metode pengolahan juga
dapat berpengaruh terhadap hasil akhir suatu aplikasi penginderaan jauh. Sistem
Informasi Geografis (SIG) diperlukan dalam analisis sumberdaya wilayah karena
memiliki kemampuan menyimpan dan memanipulasi informasi-informasi
geografi dan kemampuan untuk melakukan tumpang susun antar beberapa
paramater, serta memiliki kemampuan memvisualisasikan hasil pengolahan
spasial citra penginderaan jauh.
1.2 Rumusan Masalah
Aplikasi teknik penginderaan jauh banyak digunakan untuk inventarisasi
sumberdaya alam. Seperti diuraikan dalam latar belakang penelitian, salah satu
aplikasi penginderaan jauh dapat diterapkan dalam inventarisasi bidang hidrologi.
Inventarisasi yang dimaksud adalah inventarisasi mataair.
3
Kabupaten Sleman sebagian besar terletak di daerah dengan bentuklahan
vulkanik. Pada bentuklahan vulkanik banyak ditemui mataair. Oleh karena itu,
informasi mengenai lokasi daerah munculnya airtanah berupa mataair perlu
dilakukan dalam upaya pengelolaan sumberdaya air terintegrasi.
Penelitian ini mengkhususkan pada usaha seberapa jauh kemampuan teknik
penginderaan jauh menggunakan parameter fisik lahan yang berpengaruh terhadap
lokasi pemunculan mataair di Kabupaten Sleman.
Berdasarkan uraian di atas, maka timbul pertanyaan penelitian:
1. Apakah citra penginderaan jauh dapat digunakan untuk mengidentifikasi
lokasi pemunculan mataair berdasarkan parameter fisik lahan dan apakah
sistem informasi geografis dapat digunakan untuk memetakan dan
menganalisis sebaran mataair di Kabupaten Sleman?
2. Sejauh mana kemampuan penginderaan jauh dan sistem informasi
geografis dalam identifikasi pemunculan mataair di Kabupaten Sleman?
Berdasarkan permasalahan yang muncul, maka penelitian ini mengambil
judul: “Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi
Geografis Untuk Identifikasi Lokasi Pemunculan Mataair di Kabupaten
Sleman”
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui lokasi pemunculan mataair di Kabupaten Sleman berdasarkan
parameter fisik lahan menggunakan citra penginderaan jauh dan
memetakan serta menganalisis sebaran mataair menggunakan sistem
informasi geografis.
2. Mengkaji kemampuan citra penginderaan jauh dan sistem informasi
geografis dalam mengidentifikasi lokasi pemunculan mataair berdasarkan
parameter fisik lahan di Kabupaten Sleman.
4
1.4 Kegunaan
1. Sebagai bahan masukan dan sumbangan pemikiran dalam ilmu
penginderaan jauh, khususnya yang berkaitan dengan interpretasi citra
penginderaan jauh untuk kajian hidrologi berupa identifikasi lokasi
pemunculan mataair.
2. Memberikan informasi terkait keberadaan mataair daerah penelitian
sebagai salah satu bahan pertimbangan pengelolaan sumberdaya wilayah
untuk dinas terkait di Kabupaten Sleman.
3. Sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan studi sarjana di Fakultas
Geografi UGM.
1.5 Tinjauan Pustaka
1.5.1. Penginderaan Jauh
Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi
tentang obyek, daerah, atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh
dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek, daerah, atau
gejala yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1990). Menurut Sutanto (1987), alat yang
dimaksud dalam batasan tersebut adalah sensor yang dipasang pada wahana yang
berupa pesawat terbang, satelit, pesawat ulang alik, atau wahana lain yang
dilakukan dari jarak jauh, sehingga disebut penginderaan jauh.
Jarak yang jauh memerlukan tenaga yang dipancarkan atau dipantulkan
oleh suatu obyek yang diindera sehingga antara obyek dan tenaga terjadi interaksi.
Setiap obyek memiliki karakteristiknya sendiri terhadap interaksinya terhadap
tenaga. Hal tersebut dapat dijelaskan melalui kurva pantulan spektral obyek pada
gambar 1.
5
Gambar 1. Kurva pantulan umum vegetasi, tanah, dan air (Lillesand, et al., 1979)
Obyek di permukaan bumi pada dasarnya dibedakan menjadi tiga, yaitu
obyek berupa vegetasi, tanah, dan air. Masing-masing obyek memiliki bentuk dan
sifat yang juga berbeda. Pemotretan menggunakan panjang gelombang tertentu
menghasilkan karakter reflektan yang berbeda sehingga dapat digunakan sebagai
dasar pemilihan citra penginderaan jauh juga sebagai dasar interpretasi obyek.
Kerincian informasi yang disadap dari data penginderaan jauh sangat
bergantung pada resolusi. Terdapat empat macam resolusi, yaitu resolusi spasial,
resolusi spektral, resolusi radiometrik, dan resolusi temporal. Resolusi spasial
ialah ukuran obyek terkecil yang dapat disajikan, dibedakan, dan dikenali dari
citra. Resolusi spektral menunjukkan kerincian spektrum elektromagnetik yang
yang digunakan dalam suatu sistem penginderaan jauh. Resolusi radiometrik
menunjukkan kepekaan sistem sensor terhadap perbedaan terkecil kekuatan
sinyal. Sementara, resolusi temporal merupakan frekuensi perekaman ulang bagi
daerah yang sama (Sutanto, 1987).
1.5.2. Citra ASTER
ASTER merupakan sensor optik multispektral dengan resolusi spasial
tinggi yang dimuat pada satelit Terra yang diluncurkan pada bulan Desember
1999. ASTER mempunyai 14 band spektral dari mulai spektrum tampak sampai
dengan saluran thermal yang terbagi menjadi 3 radiometer, yaitu: VNIR, SWIR
dan TIR (Ersdac, 2003). VNIR merupakan instrument yang mampu mendeteksi
6
pantulan dari permukaan bumi pada gelombang visibel sampai inframerah dekat
(0,52 – 0,86 μm). Satu kelebihan sensor ASTER adalah memiliki 2 saluran
inframerah dekat dengan panjang gelombang yang sama, yaitu band 3N (nadir:
arah tegak lurus) dan 3B (backward: arah belakang), dimana band 3B
dipergunakan untuk memperoleh pandangan ke arah belakang dengan sudut dari
titik nadir sejauh 27,60 derajat (Ersdac, 2002). Satu scene citra ASTER meliputi
daerah berukuran sekitar 60 km x 60 km.
Tabel 1. Karakteristik Citra ASTER
Subsistem Band Kisaran
spectral
Resolusi Spasial Kuantisasi
Sinyal
VNIR 1
2
3N
3B
0,52 – 0,60
0,63 – 0,69
0,78 – 0,86
0,78 – 0,86
15 m 8 bit
SWIR 4
5
6
7
8
9
1,6 – 1,7
2,145 – 2,185
2,185 – 2,225
2,235 – 2,285
2,295 – 2,365
2,360 – 2,430
30 m 8 bit
TIR 10
11
12
13
14
8,125 – 8,475
8,475 – 8,825
8,925 – 9,275
10,25 – 10,95
10,95 – 11,65
90 m 12 bit
Sumber: ASTER Science Team (2001)
Produk lain dari ASTER yang dikembangkan oleh METI (Ministry of
Economy, Trade, and Industry) Jepang dan NASA (National Aeronautics and
Space Administration) adalah ASTER GDEM (Global Digital Elevation Model).
Instrumen GDEM ASTER diluncurkan dengan pesawat ruang angkasa NASA
Terra pada bulan Desember 1999 yangg memiliki kemampuan along-track
stereokopik menggunakan band spektral inframerah dekat untuk memperoleh data
stereo. Sebanyak 1.524.360 scene produk level 1A ASTER yang diperoleh pada
bulan Maret 2000 sampai dengan Agustus 2010 digunakan untuk menghasilkan
GDEM ASTER. ASTER GDEM dibuat dari tumpang susun antara data yang
7
tertutup awan dengan data yang tidak tertutup awan dengan menggunakan
algoritma statistik untuk menghapus data yang tidak normal. Secara umum,
estimasi akurasi vertikal citra ini adalah sebesar 20 m. Resolusi yang dihasilkan
cukup bagus, yakni 30 m. Karakteristik citra ASTER GDEM ditunjukkan oleh
tabel
Tabel 2. Karakteristik Citra ASTER GDEM
Tile Size 3601 x 3601 (1o – by – 1
o)
Posting Interval 1 arc-second
Geographic Coordinates Geographic latitude and longitude
DEM Output Format GeoTIFF, 16 bits
Referenced to the WGS 84/EGM/96
geoid
Special DN Value -9999 for void pixels, and 0 for sea
water body
Coverage North 83o to south 83
o
Sumber: ASTER GDEM Readme File
1.5.3 Interpretasi Citra
Data penginderaan jauh pada dasarnya adalah rekaman pola pantulan
energi elektromagnetik pantulan dan emisi yang ditampilkan sebagai citra
menyerupai gambar yang sifatnya sangat bervariasi. Untuk dapat menyadap
informasi penting dari data tersebut, diperlukan latihan menilai kenampakan
penting di luar yang tidak penting. Tingkat awal interpretasi dikenal sebagai
deteksi (Lo, 1976). Deteksi dibantu oleh karakteristik spasial, spektral,
radiometrik dan temporal data.
Pengenalan karakteristik obyek pada citra memerlukan sembilan butir
unsur interpretasi, yaitu rona atau warna, ukuran, bentuk, tekstur, pola, tinggi,
bayangan, situs dan asosiasi. Rona adalah tingkat kegelapan atau kecerahan obyek
pada citra. Warna adalah ujud yang tampak oleh mata dengan menggunakan
spektrum sempit, lebih sempit daripada spektrum tampak (0,4 – 0,7 μm).
Bentuk merupakan variable kualitatif yang memberikan konfigurasi atau
kerangka suatu obyek (Lo, 1976). Bentuk merupakan atribut yang jelas sehingga
banyak obyek dapat dikenali dilihat dari bentuknya saja. Ukuran adalah atribut
obyek yang antara lain berupa jarak, luas, ketinggian, lereng, dan volum. Tekstur
8
merupakan frekuensi perubahan rona pada citra (Lillesand dan Kiefer, 1979). Pola
atau susunan keruangan merupakan cirri yang menandai bagi banyak obyek
bentukan manusia dan bagi beberapa obyek alamiah.
Bayangan bersifat menyembunyikan detail atau obyek yang berada di
daerah gelap. Namun begitu, bayangan sering merupakan kunci pengenalan yang
penting bagi beberapa obyek. Asosiasi dapat diartikan sebagai keterkaitan antara
obyek yang satu dengan obyek yang lain. Bersama-sama dengan asosiasi, situs
dikelompokkan ke dalam kerumitan paling tinggi dalam interpretasi citra. Situs
bukan merupakan ciri obyek secara langsung, melainkan dalam kaitannya dengan
lingkungan sekitar (Sutanto, 1987).
Purwadhi (2011) menyebutkan bahwa interpretasi citra dapat dilakukan
dengan dua cara, yaitu interpretasi citra secara manual dan interpretasi citra secara
digital.
1. Interpretasi Manual
Merupakan pengenalan karakteristik obyek secara keruangan atau
spasial yang mendasarkan pada unsure interpretasi citra penginderaan jauh.
Interpretasi manual dilakukan terhadap citra fotografi dan non fotografi yang
sudah dikonversi ke dalam bentuk foto atau citra.
Interpretasi manual pada citra penginderaan jauh dilakukan pada citra
yang terkoreksi baik radiometrik maupun geometrik sehingga pengguna
tinggal melakukan identifikasi obyek yang tergambar pada citra atau foto.
Interpretasi didasarkan pada sistem kalsifikasi yang bertujuan untuk
mengelompokkan atau melakukan segmentasi kenampakan permukaan bumi
yang homogen dengan teknik kualitatif. Perhitungan kuantitatif dilakukan
secara manual berdasar skala dan resolusi citra penginderaan jauh.
2. Interpretasi Digital
Interpretasi digital dilakukan dengan bantuan komputer. Di dalam
interpretasi citra penginderaan jauh digital, pengguna dapat melakukan mulai
dari pengolahan, pra pengolahan (koreksi citra), penajaman citra, hingga
klasifikasi citra. Namun dapat juga melakukannya pada citra penginderaan
jauh yang sudah terkoreksi sehingga pengguna tinggal melakukan klasifikasi,
9
1.5.4 Sistem Informasi Geografis
Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah sistem yang berbasiskan
komputer yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi-
informasi geografi. SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan, dan
menganalisis obyek-obyek dan fenomena dimana lokasi geografi merupakan
karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis. Dengan demikian, SIG
merupakan sistem komputer yang memilik empat kemampuan berikut dalam
menangani data yang bereferensi geografi: (a) masukan, (b) manajemen data
(penyimpanan atau pemanggilan data), (c) analisis dan manipulasi data, (d)
keluaran (Aronoff, 1989 dalam Prahasta, 2002).
Aronoff (1989) menguraikan komponen SIG menjadi:
(a) Data masukan
Komponen ini bertugas untuk mengumpulkan dan mempersiapkan data
spasial dan atribut dari berbagai sumber. Komponen ini yang
bertanggungjawab dalam mengkonversi atau mentransformasikan format
data asli ke dalam format yang dapat digunakan dalam SIG.
(b) Data keluaran
Komponen ini menampilkan atau menghasilkan keluaran seluruh atau
sebagian basisdata baik dalam bentuk softcopy atau bentuk hardcopy
seperti: tabel, grafik, peta, dan lain-lain.
(c) Data manajemen
Komponen ini mengorganisasikan baik data spasial maupun atribut ke
dalam sebuah basisdata sedemikian rupa sehingga mudah dipanggil, di-
update dan di-edit.
(d) Data manipulasi dan analisis
Komponen data ini menentukan informasi yang dapat dihasilkan oleh
SIG, juga dapat melakukan manipulasi dan pemodelan data untuk
menghasilkan informasi yang diharapkan.
10
SIG merupakan suatu sistem komputer yang terintegrasi di tingkat
fungsional dan jaringan. Komponen SIG yang dirangkum pada gambar 3,
terdiri dari :
a. Perangkat keras (hardware)
Komputer (komputer tunggal, komputer sistem jaringan dengan
server, komputer dengan jaringan global internet) dan periperalnya
merupakan komponen yang harus tersedia untuk mengoperasikan SIG
berbasis komputer. Perangkat keras untuk SIG meliputi perangkat
keras: pemasukan data, pemrosesan data, penyajian hasil,
penyimpanan(storage).
b. Perangkat Lunak (software)
Perangkat lunak yang mempunyai fungsi di atas dan fasilitas
untuk penyimpanan, analisis dan penayangan informasi geografi.
Persyaratan yang penting harus dipenuhi software SIG adalah :
Merupakan Database Management System (DMBS).
Fasilitas untuk pemasukan dan manipulasi data geografis.
Fasilitas untuk query, analisis dan visualisasi.
Graphycal User Interface (GUI) yang baik untuk mempermudah
akses fasilitas yang ada.
Gambar 2. Komponen-komponen SIG
11
c. Data
Data merupakan komponen yang paling penting dalam SIG.
Keakurasian data dituntut dalam SIG. Dikenal konsep GIGO (Garbits
In Garbits Out) dan sebaliknya Gold In Gold Out.
d. Sumberdaya Manusia
Teknologi SIG menjadi sangat terbatas kemampuannya jika tidak
ada sumberdaya yang mengelola sistem dan mengembangkan untuk
aplikasi yang sesuai. Pengguna dan pembuat sistem harus saling
bekerjasama untuk mengembangkan teknologi SIG.
e. Metode (Methods)
Model dan teknik pemrosesan perlu dibuat untuk berbagai
aplikasi SIG. Sistem komputer untuk SIG terdiri dari perangkat keras,
perangkat lunak dan prosedur untuk penyusunan pemasukan data,
analisis, pemodelan dan penayangan data geospatial. Fungsi pengguna
adalah memilih informasi yang diperlukan, membuat standar, membuat
jadwal pemutakhiran (updating) yang efisien, menganalisis hasil yang
dikeluarkan untuk kegunaan yang diinginkan dan merencanakan
aplikasi.
1.4.5 Siklus Hidrologi
Daur hidrologi, sering juga dipakai istilah Water Cycle atau Siklus
Air. Suatu sirkulasi air yang meliputi gerakan mulai dari laut ke atmosfer,
dari atmosfer ke tanah, dan kembali ke laut lagi atau dengan arti lain Siklus
hidrologi merupakan rangkaian proses berpindahnya air permukan bumi dari
suatu tempat ke tempat lainnya hingga kembali ke tempat asalnya.
Gambaran umum mengenai siklus hidrologi dapat dilihat pada gambar
3. Air naik ke udara dari permukaan laut atau dari daratan melalui evaporasi.
Air di atmosfer dalam bentuk uap air atau awan bergerak dalam massa yang
besar di atas benua dan dipanaskan oleh radiasi tanah. Panas membuat uap air
lebih naik lagi sehingga cukup tinggi/dingin untuk terjadi kondensasi. Uap air
berubah jadi embun dan seterusnya jadi hujan atau salju. Curahan
12
(precipitation) turun ke bawah, ke daratan atau langsung ke laut. Air yang
tiba di daratan kemudian mengalir di atas permukaan sebagai sungai, terus
kembali ke laut. Air yang tiba di daratan kemudian mengalir di atas
permukaan sebagai sungai, terus kembali ke laut melengkapi siklus air.
Gambar 3. Siklus hidrologi (USGS)
Dalam perjalanannya dari atmosfer ke luar air mengalami banyak
interupsi. Sebagian dari air hujan yang turun dari awan menguap sebelum tiba
di permukaan bumi, sebagian lagi jatuh di atas daun tumbuh-tumbuhan
(interception) dan menguap dari permukaan daun-daun. Air yang tiba di tanah
dapat mengalir terus ke laut, namun ada juga yang meresap dulu ke dalam
tanah (infiltration) dan sampai ke lapisan batuan sebagai air tanah.
Sebagian dari air tanah dihisap oleh tumbuh-tumbuhan melalui daun-
daunan lalu menguapkan airnya ke udara (transpiration). Air yang mengalir
di atas permukaan menuju sungai kemungkinan tertahan di kolam, selokan
dan sebagainya (surface detention), ada juga yang sementara tersimpan di
danau, tetapi kemudian menguap atau sebaliknya sebagian air mengalir di
atas permukaan tanah melalui parit, sungai, hingga menuju ke laut ( surface
run off), sebagian lagi infiltrasi ke dasar danau-danau dan bergabung di dalam
tanah sebagai air tanah yang pada akhirnya ke luar sebagai mataair.
13
1.4.6 Identifikasi Mataair
Kejadian pemunculan air, baik yang berupa mataair maupun rembesan
merupakan salah satu kejadian dalam proses hidrologi yang merupakan salah
satu karakteristik hidrologi. Pendekatan hidrogeomorfologi dan hidrogeologi
digunakan dalam interpretasi citra (Gunawan, 2001).
Mataair adalah pemusatan keluarnya airtanah yang muncul di
perukaan tanah sebagai arus dari aliran air tanah (Todd 1980). Menurut Bryan
(1919) dalam Todd (1980), berdasarkan sebab terjadinya, mataair
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu mataair yang dihasilkan oleh tenaga non
gravitasi dan tenaga gravitasi. Mataair yang dihasilkan oleh tenaga non
gravitasi meliputi mataair vulkanik (volcanic spring) yang berhubungan
dengan keberadaan batuan vulkanik, mataair celah (fissure spring) dan
mataair panas.
Gambar 4. Ilustrasi mataair yang disebabkan tenaga gravitasi (a) mataair
depresi, (b) mataair kontak, (c) mataair rekahan (Bryan 1919 dalam Todd
1980)
Mataair yang disebabkan oleh tenaga gravitasi diklasifikasikan
menjadi beberapa tipe, yaitu mataair depresi (depression spring) yang
terbentuk bila permukaan air tanah terpotong oleh topografi; mataair kontak
(contact spring) yang terjadi bila lapisan yang lulus air terletak di atas lapisan
kedap air; mataair artesis (artesian spring) yang keluar dari akuifer tertekan;
imperveous rock spring yang terjadi pada saluran atau pecahan batuan kedap
air; dan mataair rekahan (fracture spring) yang terjadi akibat pecahan batuan
14
lava atau solusional pada batuan impermeabel yang berhubungan dengan air
tanah.
Identifikasi pemunculan mataair menerapkan pendekatan yang
dikembangkan Todd (1959) dan Fetter (1988) sebagai kunci interpretasi
pemunculan air (mataair dan rembesan) dalam interpretasi foto udara, antara
lain: adanya perubahan kemiringan lereng yang memotong muka air tanah,
vegetasi yang menggerombol dan keluar aliran sungai, adanya jalur patahan
(sesar).
Menurut Tolman (1987) pemunculan mataair dipengaruhi oleh faktor
berikut:
1. Curah hujan
Merupakan sumber utama dari air tanah dan mata air, air hujan
yang jatuh ke permukaan bumi tidak seluruhnya mengalir ke sungai,
tetapi sebagian besar akan meresap ke dalam tanah dan masuk ke dalam
sistem aliran air tanah
2. Karakteristik hidrologi material permukaan air tanah terutama kelulusan
Tanah yang permeabilitasnya semakin besar maka jumlah air yang
masuk ke dalam akuifer juga semakin besar, hal ini disebabkan air yang
diloloskan dalam batauan atau tanah tersebut dalam jumlah besar dan
sebaliknya maerial permukaan yang memiliki permeabilitas semakin
kecil maka air yang diloloskan juga relatif kecil.
3. Kondisi topografi
Pengaruh yang paling penting adalah kemiringan lereng. Makin
besar kemiringan lereng, surface runoff juga makin besar sehingga
sedikit air yang meresap ke dalam tanah, pada daerah perubahan lereng
yang curam (break of slope) banyak terdapat mataair karena pada bagian
tersebut terdapat lapisan airtanah atau akuifer terpotong oleh permukaan
tanah.
4. Karakteristik hidrologi formasi akuifer
Karakteristik yang berpengaruh adalah: bentuk, batuan penyusun
akuifer dan tinggi rendahnya muka airtanah. Bila muka airtanah
15
terpotong oleh permukaan tanah, maka akan muncul mata air sebagai
mata air depresi, kecuali itu faktor kemampuan akuifer meloloskan air
juga berpengaruh terhadap pemunculan mata air.
5. Struktur geologi
Mata air biasanya muncul pada daerah patahan, karena proses
patahan menyebabkan akuifer terpotong akibat perpindahan atau
pergeseran batuan atau tanah sehingga airtanah akan keluar ke
permukaan bumi.
Salah satu wilayah yang mempunyai potensi mataair besar adalah
wilayah lereng gunungapi. Gunungapi tipe strato muda, umumnya
mempunyai pola persebaran mataair yang melingkari badan gunungapi
membentuk pola seperti sabuk mataair yang dinamakan sabuk mataair atau
springbelt. Pada ketinggian tertentu terdapat jalur mataair yang berkaitan
dengan sifat orohidrologinya juga berkaitan dengan perubahan lereng yang
diakibatkan oleh perubahan struktur batuan pembentuknya
(Purbohadiwidjojo, 1967)
Persebaran mataair dengan berbagai debit aliran terdapat pada tubuh
gunungapi bagian tengah hingga bawah dengan tempat pemunculan kurang
lebih berkesesuaian dengan tempat terjadinya perubahan kemiringan lereng
yang mengindikasikan perubahan tingkat kelulusan air (Purbohadiwidjojo,
1967). Semakin tua umur batuan gunungapi, maka semakin kecil
pengaruhnya terhadap debit mataair yang muncul. Curah hujan merupakan
hal pokok yang berkaitan dengan keterdapatan mataair di suatu daerah,
namun hal tersebut masih mempertimbangkan keadaan litologinya (Ardina,
1985).
Meinzer dalam Todd (1980) membagi debit mataair berdasarkan
magnitude yang ditunjukkan pada tabel 4.
16
Tabel 3. Klasifikasi Mataair Berdasar Debit
Magnitude Debit Rata-Rata
Pertama >10 m3/s
Kedua 1 – 10 m3/s
Ketiga 0,1 – 1 m3/s
Keempat 10 – 100 l/s
Kelima 1 – 10 l/s
Keenam 0,1 – 1 l/s
Ketujuh 10 – 100 ml/s
Kedelapan <10 ml/s
Sumber: Todd (1980)
17
1.6 Diagram Alir Kerangka Pemikiran
Kabupaten Sleman terletak di daerah vulkanik pada
daerah major aquifer
Dimungkinkan banyak
muncul mataair
Parameter fisik lahan
berpengaruh terhadap
pemunculan mataair
Citra Penginderaan Jauh
Identifikasi lokasi pemunculan mataair
Analisis sebaran mataair di Kabupaten Sleman
Gambar 5. Diagram Alir Kerangka Pemikiran
Data Sekunder
Parameter
curah hujan
Parameter
struktur
geologi
(lineament)
Parameter
bentuklahan
Parameter
penggunaan
lahan
Parameter
lereng
Data debit
mataair
18
1.7 Kerangka Pemikiran
Mataair adalah hasil dari siklus hidrologi berupa pemusatan pengeluaran
airtanah yang muncul di permukaan tanah atau batuan. Keberadaan mataair sangat
dibutuhkan terutama untuk penyaluran air minum oleh PDAM dan pemenuhan
kebutuhan produksi dan konsumsi oleh perusahaan air minum dan masyarakat.
Pendekatan karakteristik fisik lahan diperlukan untuk mengetahui sebaran
lokasi mataair. Parameter yang dapat digunakan untuk identifikasi lokasi
pemunculan mata air adalah faktor lereng, struktrur geologi berupa kelurusan atau
lineament, bentuklahan, penggunaan lahan dan curah hujan. Faktor yang
diinterpretasi dan diidentifikasi dari citra adalah faktor bentuklahan, penggunaan
lahan, dan pola kelurusan. Kemiringan lereng diperoleh dari analisis topografi dari
kontur RBI skala 1:25.000 daerah kajian. Sementara parameter curah hujan
didapatkan dari analisis data sekunder dengan bantuan sistem informasi geografis.
Interpretasi parameter fisik lahan menggunakan dua citra berbeda, yaitu citra
ASTER VNIR yang memiliki resolusi spasial sebesar 15 meter dengan ASTER
GDEM yang memiliki resolusi spasial sebesar 30 meter.
Pemunculan air dikontrol oleh bentuk sesar sehingga hal ini dapat
digunakan untuk indikator pemunculan air baik berupa mataair maupun rembesan.
Kelurusan dapat terekam dari citra satelit berupa lembah, gawir, penjajaran bukit,
penjajaran vegetasi, ataupun offset morfologi dan berkaitan dengan kehadiran
rekahan ataupun patahan.
Bentuklahan merupakan indikator lain yang dapat digunakan sebagai
analisis lokasi mataair. Perubahan gradien atau kemiringan lereng menyebabkan
aliran airtanah terpotong oleh kemiringan lereng sehingga timbullah mataair. Pada
bentuklahan vulkanik, mataair banyak ditemui pada takik lereng atau perubahan
lereng.
Intensitas curah hujan berpengaruh terhadap kesempatan air yang masuk ke
dalam tanah sehingga intensitas curah hujan menjadi salah satu indikator
pemunculan mataair. Curah hujan yang tinggi di wilayah imbuhan (recharge)
mempengaruhi kondisi ideal ketersediaan air tanah di suatu wilayah sehingga
secara alami air tanah akan mengalir menuju daerah lepasan dan muncul di
19
permukaan tanah atau batuan membentuk suatu mataair. Analisis curah hujan
daerah kajian menggunakan bantuan SIG untuk interpolasi curah hujan dari
masing-masing stasiun hujan.
Melalui SIG, dilakukan tumpangsusun terhadap parameter yang telah dipilih
kemudian dilakukan analisis pencocokan terhadap parameter tersebut. Hasil
analisis sementara diuji melalui cek lapangan kemudian diinterpretasi ulang
sehingga menghasilkan Peta Lokasi Pemunculan Mataair dan Peta Sebaran
Mataair di Kabupaten Sleman.
1.8 Batasan Istilah Operasional
Penginderaan Jauh
Penginderaan jauh dapat diartikan sebagai ilmu dan seni untuk memperoleh
informasi tentang suatu objek, daerah atau fenomena melalui sebuah analisis data
yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah
atau fenomena yang dikaji (Lillesand & Keifer, 1990).
Mataair
Mataair (spring) adalah pemusatan pengeluaran air tanah yang muncul di
permukaan tanah sebagai arus dari aliran air (Todd, 1980)
Siklus Hidrologi
Proses transportasi air secara kontinyu dari laut ke atmosfer dan dari
atmosfer ke permukaan tanah yang akhirnya kembali lagi ke laut
(Hadisusanto, 2011).
Kelurusan (Lineament)
Bentukan linear yang mungkin merepresentasikan kenampakan morfologi
diskontinuitas struktural batuan atau bentukan lain yang berhubungan
dengan aktifitas tektonik (Ramsay and Huber, 1987).
Bentuklahan
Kenampakan medan yang dibentuk oleh proses-proses geomorfologi yang
memiliki julat karakteristik fisikal dan visual dimana bentuklahan itu
dijumpai (Zuidam, 1983)
20
Penggunaan Lahan
Semua jenis penggunaan atas lahan oleh manusia, mencakup penggunaan
lahan untuk pertanian hingga lapangan olahraga, rumah mukim, hingga
rumah makan, rumah sakit, hingga kuburan (Lindgren, 1985 dalam
Purwadhi, 2009).
Sistem Informasi Geografis (SIG)
Kumpulan yang terorganisir dari perangkat lunak komputer, perangkat
keras, data geografi, dan personel yang dirancang secara efisien untuk
memperoleh , menyimpan, mengupdate, memanipulasi, menganalisis, dan
menampilkan semua bentuk yang bereferensi geografis (ESRI, 1990)
1.9. Penelitian Sebelumnya
Arsadi (2007) memetakan mataair menggunakan citra LANDSAT
ETM +7 dan peta topografi skala 1:50.000. Identifikasi mataair dilakukan secara
visual dengan melihat obyek pada citra. Penafsiran berkaitan dengan
kemungkinan adanya kelurusan, bentuk tapal kuda hasil erosi, serta struktur
batuan lainnya. Selanjutnya dilakukan pengukuran lapangan meliputi plotting
lokasi mataair serta pengukuran sifat fisik mataair di antaranya rasa, bau, warna,
pH, daya hantar listrik, dan suhu air. Mataair yang berhasil teridentifikasi adalah
sebanyak 97 mataair yang secara genetik berasal dari kontak perlapisan dan
rekahan batuan yang terpotong oleh topografi.
Rahardjo, dkk (2008) melakukan pemetaan mataair di Pulau Bali.
Penelitian tersebut bertujuan untuk memetakan lokasi mataair, mengetahui
karakteristik mataair, serta menghitung potensi mataair untuk penggunaan
domestik. Karakteristik mataair dianalisis melalui spasial analisis berdasarkan
kondisi geologi, geomorfologi, serta kondisi hidrogeologi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa distribusi mataair di Pulau Bali tidak homogen dan
dikontrol oleh struktur geologi berupa patahan dan kontak batuan antara batuan
vulkanik (tuff dan lahar) pada formasi Buyan-Bratan-Batur dengan formasi lain
di sekitarnya. Sabuk mataair ditemukan pada perubahan lereng gunungapi strato
21
pada Gunungapi Agung. Penggunaan domestik mataair adalah sebesar 60
l/orang/hari untuk daerah pedesaan dan 120 l/orang/hari untuk daerah perkotaan.
Potensi mataair di Bali sebesar 628.800 m3/bulan dengan penggunaan domestik
9.079.990 m3/bulan. Sehingga potensi mataair adalah sekitar 6,9% untuk
penggunaan domestik di Pulau Bali.
Gunawan (2001) menggunakan foto udara untuk menyadap
karakteristik hidrologi di suatu wilayah. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah menggunakan teknik interpretasi foto udara skala 1:10.000
dan skala 1:25.000. Citra penginderaan jauh tidak dapat digunakan langsung
begitu saja tanpa data bantu untuk melakukan analisis karakter hidrologi,
terutama untuk hidrologi air tanah. Diperlukan data lain seperti peta geologi,
peta kontur muka air tanah, dan data pengukuran geolistrik dari data sekunder.
Hasil identifikasi kenampakan bentuklahan disajikan dalam peta
ekosistem bentanglahan (hasil overlay peta bentuklahan dan penggunaan lahan),
peta Daerah Aliran Sungai (DAS), peta hidrogeomorfologi. Penelitian ini
mampu mengidentifikasi tiga macam karakteristik hidrologi berupa (1)
pemunculan mata air atau rembesan, yaitu mata air Bito yang berada di zona
patahan, mata air Parangtritis dan Parangwedang, dan mata air Beji yang
terdapat pada perubahan lerang antara perbukitan batuan gamping dan breksi
volkanik, (2) sepuluh sub DAS yang berada di atas perbukitan gamping dan
kipas alluvial yang berfungsi sebagai daerah umpan air (recharge area), (3) tiga
lokasi cadangan air tanah potensial, yaitu di daerah Tirtoharjo, Kretek, dan
Parangtritis.
Harsoyo (2001) dalam penelitian skripsinya khusus membahas
identifikasi mataair yang terdapat pada bentuklahan karst. Alat interpretasi
berupa foto udara inframerah berwarna skala 1: 30.000 dan foto udara
pankromatik skala 1:50.000 untuk mengetahui lineament dan melakukan
interpretasi visual untuk kerapatan vegetasi serta melakukan pembatasan untuk
mengetahui Daerah Tangkapan Air (DTA).
Data yang dapat disadap dari foto udara berupa fenomena struktur
batuan seperti sesar atau patahan yang ditunjukkan oleh lineament (kelurusan),
22
bentuklahan, pola aliran permukaan, dan bentuk penutup lahan. Selain
menentukan lokasi mataair, ditentukan pola lokasi daerah umpan air (recharge
area). Tingkat ketelitian interpretasi yang diperoleh sebesar 81,81 %. Lokasi
mataair banyak terdapat pada perbukitan karst dengan tingkat solusional tinggi.
Pola penyebaran menunjukkan bahwa setiap satuan bentuklahan memiliki
potensi airtanah yang berbeda karena perbedaan tingkat solusional batuannya.
DTA pada daerah karst tidak dapat terlihat secara tegas pada foto udara.
Satya C.R (2010) melakukan penelitian di kawasan karst Gunungsewu
menggunakan citra ALOS AVNIR-2 dalam 3 skala waktu, melakukan Image
Thresholding untuk memisahkan tubuh air dan penggunaan lahan lainnya, serta
melakukan perhitungan neraca air untuk mengetahui kondisi imbangan air pada
saat perekaman citra penginderaan jauh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
deteksi telaga dapat dilakukan berdasarkan kombinasi band ratio spektrum
merah dan inframerah dari citra ALOS AVNIR-2 didukung dengan perhitungan
neraca air.
Abarca (2006) dari ITC melakukan membandingkan berbagai metode
ekstraksi lineament dari berbagai sumber data, yaitu dari kontur SRTM, kontur
topografi skala 1:25.000, dan kontur topografi skala 1:50.000. Hasil olahan
DEM dan kontur direpresentasikan menggunakan gradient slope, map
curvature, dan shaded relief. Akurasi tertinggi diperoleh pada ekstraksi pola
kelurusan menggunakan kontur peta topografi skala 1:25.000
yangdirepresentasikan menggunakan metode Evans-Young dengan total akurasi
sebesar 16,35%.
Narulia (2006) menggunakan distribusi spasial dan temporal curah
hujan rata-rata tahunan di Cekungan Bandung selama kurun waktu 25 tahun
(1986 – 2004). Data curah hujan pada masing-masing stasiun diinterpolasi
menggunakan geostatistik metode inverse distance untuk membuat distribusi
curah hujan dari titik-titik sampel. Titik sampel berupa titik ketinggian, diambil
dari ekstraksi data kontur yang selanjutnya dihitung nilai curah hujan rata-rata
tahunan dengan mencari hubungan spasial antara curah hujan rata-rata tahunan
dengan ketinggian tempat. Nilai korelasi tergolong baik, mendekati angka 1,
23
yaitu sebesar 0,9. Selanjutnya dicari perbandingan antara pola curah hujan, debit
aliran terukur, dan air larian terhitung serta dilakukan pendugaan koefisien
aliran. Hasil analisis data menunjukkan bahwa cekungan Bandung menghasilkan
volume hujan rata-rata tahunan 3.395 juta m3/th. Air yang melimpas rata-rata
1.748 juta m3/th, dan angka koefisien air larian tahunan rata-rata adalah 0,53.
1.10 Tabel Perbandingan Penelitian
Tabel 4. Perbandingan penelitian
Peneliti Judul Lokasi Metode Penelitian Hasil Penelitian
Edy M. Arsadi
dan Hendra Bakti
(2007)
PEMETAAN MATAAIR DI
KABUPATEN BELU NTT
(Penelitian LIPI)
Kabupaten Belu,
NTT
Identifikasi mataair dilakukan secara
visual dengan melihat obyek pada
citra. Penafsiran berkaitan dengan
kemungkinan adanya kelurusan,
bentuk tapal kuda hasil erosi, serta
struktur batuan lainnya. Pengukuran
lapangan meliputi plotting lokasi
mataair serta pengukuran sifat fisik
mataair di antaranya rasa, bau,
warna, pH, daya hantar listrik
Mataair yang berhasil teridentifikasi
adalah sebanayak 97 mataair yang
secara genetik berasal dari kontak
perlapisan dan rekahan batuan yang
terpotong oleh topografi.
Rahardjo,
Noorhadi &
Setyawan
Purnama (2008)
PEMETAAN POTENSI MATAAIR
DI PULAU BALI (Makalah Teknik
Lingkungan Vol 4)
Pulau Bali Analisis data karakteristik mataair
dilakukan secara deskriptif
menggunakan analisis spasial. Data
pemunculan mataair diplot dala peta
sesuai dengan lokasinya. Faktor
dominan yang mempengaruhi
karakteristik pemunculan mataair
dan debit mataair didapat dari hasil
overlay geologi, geomorfologi, dan
hidrogeologi. Potensi mataair
dihitung berdasarkan data debit
seluruh mataair yang terdapat pada
masing-masing SWS Pulau Bali.
Distribusi mataair di Pulau Bali tidak
homogen dan dikontrol oleh struktur
geologi berupa patahan dan kontak
batuan antara batuan vulkanik (tuff dan
lahar) pada formasi Buyan-Bratan-
Batur dengan formasi lain di
sekitarnya. Sabuk mataair ditemukan
pada perubahan lereng gunungapi
strato pada Gunungapi Agung. Potensi
mataair di Bali sebesar 628.800
m3/bulan dengan penggunaan domestik
9.079.990 m3/bulan (6,9%)
25
Lanjutan Tabel
Totok Gunawan
(2001)
KONTRIBUSI FOTO UDARA
DALAM IDENTIFIKASI
KARAKTERISTIK HIDROLOGI DI
DAERAH PARANGTRITIS DAN
SEKITARNYA KABUPATEN
BANTUL DAERAH ISTIMEWA
YOGYAKARTA (Jurnal Majalah
Geografi Indonesia)
Bentukan lahan
dataran alluvial
dan Pesisir
Parangtritis,
Bantul
Menggunakan foto udara skala 1:
10.000 dan foto udara 1: 25.000.
Kajian utama adalah seluruh
karakteristik hidrologi, yaitu
hidrologi permukaan dan hidrologi
air tanah. Interpretasi penggunaan
dan penutup lahan berupa vegetasi
dilakukan secara manual
Identifikasi karakteristik hidrologi
daerah dengan bentuklahan alluvial
baik hidrologi permukaan maupun air
tanah.
Budi Harsoyo
(2001)
APLIKASI TEKNIK
PENGINDERAAN JAUH UNTUK
IDENTIFIKASI MATAAIR DAN
SEBARANNYA DI KAWASAN
KARST DAERAH PONJONG,
GUNUNGKIDUL, YOGYAKARTA
(Penelitian Skripsi S1)
Bentuklahan
karst, Ponjong,
Kabupaten
Gunungkidul
Menggunakan foto udara untuk
mengetahui lineament dan
melakukan interpretasi visual untuk
kerapatan vegetasi serta melakukan
pembatasan untuk mengetahui
Daerah Tangkapan Air (DTA)
Identifikasi fenomena yang
menunjukkan lokasi kejadian mataair
di daerah dengan bentuklahan karst
serta menentukan daerah umpan air di
daerah tersebut.
Manuel
Alejandro Arenas
Abarca (2006)
LINEAMENT EXTRACTION FROM
DIGITAL TERRAIN MODELS
(CASE STUDY SAN ANTONIO
DEL SUR AREA, SOUTH
EASTERN CUBA) (Thesis ITC)
San Antonio del
Sure, South
Eastern Cuba
Melakukan perbandingan ekstraksi
lineament menggunakan kontur peta
topografi skala 1:25.000 dan
1:50.000 dengan data DEM dari
SRTM yang direpresentasikan
menggunakan gradient slope, map
curvature, dan shaded relief. Metode
Sobel, dan transformasi hough.yang
digunakan adalah metode
Transformasi Evans Young, Laplace,
Akurasi tertinggi diperoleh pada
ekstraksi lineament menggunakan
kontur peta topografi skala 1:25.000
yangdirepresentasikan menggunakan
metode Evans-Young dengan total
akurasi sebesar 16,35%.
26
Lanjutan Tabel
Fredy Satya C.R.
& Ahmad
Cahyadi (2010)
DETEKSI TELAGA POTENSIAL
UNTUK PEMENUHAN
KEBUTUHAN AIR MUSIM
KEMARAU DI KAWASAN KARST
MENGGUNAKAN DATA
PENGINDERAAN JAUH
MULTITEMPORAL
(Simposium Nasional Sains
Geoinformasi)
Bentuklahan
karst, Kabupaten
Gunungkidul
Menggunakan ALOS AVNIR-2
dalam 3 skala waktu. Melakukan
Imange Thresholding untuk
memisahkan tubuh air dan
penggunaan lahan lainnya, serta
melakukan perhitungan neraca air
untuk mengetahui kondisi imbangan
air pada saat perekaman citra
penginderaan jauh.
Deteksi telaga berdasarkan kombinasi
band ratio speckrum merah dan
inframerah dari citra ALOS AVNIR-2
serta berdasarkan perhitungan neraca
air.
Narulia, Ida
(2006)
DISTRIBUSI SPASIAL DAN
TEMPORAL CURAH HUJAN
RATA-RATA TAHUNAN TIPE
OROGRAFIK UNTUK MENDUGA
ANGKA KOEFISIEN ALIRAN DI
CEKUNGAN BANDUNG (Penelitian
LIPI)
Bandung, Jawa
Barat
Data curah hujan pada masing-
masing stasiun diinterpolasi
menggunakan geostatistik metode
inverse distance untuk membuat
distribusi curah hujan dari titik-titik
sampel dan dianalisis regresi dengan
data ketinggian tempat. Selanjutnya
dicari perbandingan antara pola
curah hujan, debit aliran terukur, dan
air larian terhitung serta dilakukan
pendugaan koefisien aliran.
Hasil analisis regresi antara curah
hujan dengan ketinggian tempat adalah
sebesar 0,9. Cekungan Bandung
menghasilkan volume hujan rata-rata
tahunan 3.395 juta m3/th. Air yang
melimpas rata-rata 1.748 juta m3/th,
dan angka koefisien air larian tahunan
rata-rata adalah 0,53
Putri Marulia S. PEMANFAATAN CITRA
PENGINDERAAN JAUH DAN
SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS
UNTUK IDENTIFIKASI LOKASI
PEMUNCULAN MATAAIR DAN
SEBARANNYA DI KABUPATEN
SLEMAN
Kabupaten
Sleman, Daerah
Istimewa
Yogyakarta
Menggunakan bantuan citra ASTER
VNIR, ASTER GDEM untuk
analisis. Pemunculan mataair
diidentifikasi melalui analisis
parameter fisik lahan berupa
bentuklahan, penggunaan lahan,
lereng, pola aliran sungai, serta pola
Pemunculan mataair beserta
karakteristiknya. Terdapat 30 mataair
yang berhasil diidentifikasi. Mataair di
Kabupaten Sleman terjadi akibat
perubahan lereng pada bentuklahan
vulkanik sehingga muncul sabuk
mataair, kontak batuan, juga akibat
27
kelurusan. Sebaran mataair air
berdasarkan debit dianalisis
menggunakan data hujan dan data
tabular debit mataair.
kontol struktur pada perbukitan
struktural Baturagung. Debit mataair
tertinggi terdapat pada perubahan
lereng atas gunungapi dengan lereng
tengah gunungapi.