4
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi merupakan penyakit yang disebabkan oleh masuk dan berkembangnya mikroorganisme seperti bakteri, fungi, parasit dan virus ke dalam tubuh host dengan/tanpa disertai gejala klinik (Kemenkes RI, 2017). Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah kesehatan utama masyarakat di dunia karena memiliki morbiditas maupun mortalitas yang tinggi dan termasuk 10 penyakit terbanyak yang menyebabkan kematian di Indonesia (Fadila et al. 2019; Kemenkes RI, 2011). Salah satu obat yang digunakan untuk mengatasi masalah tersebut adalah antimikroba antara lain antibiotik/antibakteri, antivirus, antiprotozoal, dan antijamur (Kemenkes RI, 2011). Pemberian antibiotik mampu mengobati infeksi mulai dari yang ringan hingga yang mengancam kematian dan mampu meningkatkan peluang penyembuhan pasien (Watkins and Bonomo, 2016). Indikasi penggunaan antibiotik yang ketat berdasarkan penegakkan diagnosis infeksi menggunakan data klinis dan data laboratorium seperti pemerikasaan darah tepi, radiologi, mikrobiologi dan serologi serta perilaku dalam penulisan resep antibiotik oleh dokter (Kemenkes RI, 2017). Beberapa penelitian yang dilakukan di negara maju telah dilaporkan bahwa lebih dari dua pertiga penggunaan antibiotik secara tidak rasional karena tanpa adanya bukti infeksi. Sedangkan penggunaan antibiotik secara rasional merupakan kesesuaian dalam menggunakan antibiotik seperti diagnosis penyakit, ketepatan dalam menentukan pilihan sehingga tepat sasaran dengan meminimalisir efek samping (Katarnida, Murniati and Katar, 2016). Intensitas penggunaan antibiotik yang tinggi dan tidak sesuai indikasi atau tanpa resep menyebabkan resistensi antibiotik menjadi lebih signifikan sehingga meningkatkan angka kesakitan dan kematian, biaya pelayanan yang tinggi dan lama perawatan serta efek samping yang tidak diinginkan (Depkes RI, 2015; Katzung, 2018). Jika mikroba yang menyebabkan infeksi telah resisten atau kebal terhadap antimikroba yang digunakan, maka mikroba tersebut akan terus berkembang biak sehingga proses infeksi juga terus berlanjut (Kemenkes RI, 2017). Ditemukan kasus resistensi antibiotik imipenem dari tahun 2001 hingga 2012 mencapai 30% di beberapa

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangeprints.umm.ac.id/63688/2/BAB I.pdf · 2020. 7. 23. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi merupakan penyakit yang disebabkan oleh

  • Upload
    others

  • View
    0

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangeprints.umm.ac.id/63688/2/BAB I.pdf · 2020. 7. 23. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi merupakan penyakit yang disebabkan oleh

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Infeksi merupakan penyakit yang disebabkan oleh masuk dan berkembangnya

mikroorganisme seperti bakteri, fungi, parasit dan virus ke dalam tubuh host

dengan/tanpa disertai gejala klinik (Kemenkes RI, 2017). Penyakit infeksi

merupakan salah satu masalah kesehatan utama masyarakat di dunia karena

memiliki morbiditas maupun mortalitas yang tinggi dan termasuk 10 penyakit

terbanyak yang menyebabkan kematian di Indonesia (Fadila et al. 2019; Kemenkes

RI, 2011). Salah satu obat yang digunakan untuk mengatasi masalah tersebut adalah

antimikroba antara lain antibiotik/antibakteri, antivirus, antiprotozoal, dan

antijamur (Kemenkes RI, 2011).

Pemberian antibiotik mampu mengobati infeksi mulai dari yang ringan hingga

yang mengancam kematian dan mampu meningkatkan peluang penyembuhan

pasien (Watkins and Bonomo, 2016). Indikasi penggunaan antibiotik yang ketat

berdasarkan penegakkan diagnosis infeksi menggunakan data klinis dan data

laboratorium seperti pemerikasaan darah tepi, radiologi, mikrobiologi dan serologi

serta perilaku dalam penulisan resep antibiotik oleh dokter (Kemenkes RI, 2017).

Beberapa penelitian yang dilakukan di negara maju telah dilaporkan bahwa lebih

dari dua pertiga penggunaan antibiotik secara tidak rasional karena tanpa adanya

bukti infeksi. Sedangkan penggunaan antibiotik secara rasional merupakan

kesesuaian dalam menggunakan antibiotik seperti diagnosis penyakit, ketepatan

dalam menentukan pilihan sehingga tepat sasaran dengan meminimalisir efek

samping (Katarnida, Murniati and Katar, 2016). Intensitas penggunaan antibiotik

yang tinggi dan tidak sesuai indikasi atau tanpa resep menyebabkan resistensi

antibiotik menjadi lebih signifikan sehingga meningkatkan angka kesakitan dan

kematian, biaya pelayanan yang tinggi dan lama perawatan serta efek samping yang

tidak diinginkan (Depkes RI, 2015; Katzung, 2018). Jika mikroba yang

menyebabkan infeksi telah resisten atau kebal terhadap antimikroba yang

digunakan, maka mikroba tersebut akan terus berkembang biak sehingga proses

infeksi juga terus berlanjut (Kemenkes RI, 2017). Ditemukan kasus resistensi

antibiotik imipenem dari tahun 2001 hingga 2012 mencapai 30% di beberapa

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangeprints.umm.ac.id/63688/2/BAB I.pdf · 2020. 7. 23. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi merupakan penyakit yang disebabkan oleh

2

daerah epidemik di Timur Tengah, sementara 2 negara Asia teratas dengan tingkat

resistensi tertinggi terhadap imipenem yakni Indonesia (6%) dan Filipina (4%)

(Parathon et al., 2017). Berdasarkan data dari Center for Disease Control and

Prevention (CDC) (2019), bakteri yang resisten terhadap antibiotik telah

menginfeksi sekitar lebih dari 2,8 juta orang di Amerika Serikat setiap tahunnya

dan 35.000 di antaranya meninggal dunia. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat

dapat menimbulkan kebalnya bakteri terhadap antibiotik dengan kata lain resistensi

antibiotik yang merupakan masalah global saat ini. Selain itu, resisten antibiotik

telah membuat biaya semakin tinggi pada sistem perawatan yang sudah terlalu

membebani masyarakat (Lee Ventola and MS, 2015). Hal ini harus segera

diantisipasi untuk mencegah adanya dampak negatif pada kesehatan masyarakat,

ekonomi, termasuk beban keuangan negara (Depkes RI, 2017).

Kemenkes RI (2011) menyatakan bahwa berbagai penelitian telah

menunjukkan adanya bakteri yang resisten di antaranya Methicillin Resistant

Staphylococcus aureus (MRSA), resistensi multi obat pada penyakit TB (MDR-

TB), dan lain-lain. Kasus MRSA pertama kali diidentifikasi di Inggris pada tahun

1962 dan di Amerika Serikat pada tahun 1968 (C. Lee Ventola, MS, 2015).

Berdasarkan Pedoman Pengendalian MDRO (Multidrug - Resistant Organisms)

RSUD Dr. Iskak Tulungagung beberapa kuman yang berhasil diidentifikasi di

rumah sakit tersebut yaitu Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA),

ESBL (termasuk Klebsiella pneumonia ESBL, E. coli strain ESBL), Acinetobacter

baumanii MDR, Pseudomonas aeruginosa MDR, Clostridium dificile, dan lain-

lain.

KEMENKES RI (2011) menyatakan bahwa resistensi tidak dapat

dihilangkan, tetapi dapat diperlambat melalui penggunaan antibiotik secara bijak.

Hal tersebut membutuhkan kebijakan dan program dalam pengendalian

penggunaan antibiotik yang efektif. Evaluasi terhadap obat terutama antibiotik

merupakan salah satu bentuk tugas dan tanggungjawab farmasis di lingkungan

rumah sakit dengan mengedukasi tentang kerasionalan dalam penggunaan

antibiotik. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2015

mengeluarkan pedoman panduan program pengendalian resistensi antimikroba di

rumah sakit yang mengarahkan untuk dilakukan audit/evaluasi penggunaan

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangeprints.umm.ac.id/63688/2/BAB I.pdf · 2020. 7. 23. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi merupakan penyakit yang disebabkan oleh

3

antibiotik di rumah sakit. Evaluasi penggunaan antibiotik secara kuantitatif dengan

metode DDD (Defined Daily Dose) dan kualitatif dengan metode Gyssens perlu

dilaksanakan guna mengetahui gambaran secara deskriptif mengenai pola dan

kerasionalan dalam penggunaannya serta sebagai indikator kualitas dalam layanan

rumah sakit (Kemenkes RI, 2011). Evaluasi penggunaan antibiotik secara kuantitas

dilakukan untuk mengevaluasi jenis dan jumlah antibiotik yang digunakan dengan

metode DDD (Defined Daily Dose) yakni asumsi dosis rata-rata dari penggunaan

antibiotik per hari untuk indikasi tertentu pada orang dewasa (WHO, 2019).

Klasifikasi ATC didasarkan pada organ atau sistem aksi kimia, farmakologi, dan

sifat terapi bekerja (Pani et al., 2015). Evaluasi kualitatif penggunaan antibiotik

dilakukan dengan metode Gyssens yang diklasifikasikan menjadi 6 kategori dengan

mempertimbangkan ketepatan indikasi, dosis, toksisitas, efektivitas, harga,

spektrum, interval, lama dan waktu pemberian (Wei et al., 2018).

Penilaian kualitas penggunaan antibiotik bertujuan untuk memperbaiki

kebijakan dan menerapkan program edukasi yang lebih tepat terkait kualitas dalam

penggunaan antibiotik yang dinilai menggunakan data Rekam Pemberian

Antibiotik (RPA), catatan medis pasien dan kondisi klinis pasien (Kemenkes RI,

2011). Penilaian kualitas penggunaan antibiotik berdasarkan bagan alur Gyssens

pada pasien pediatri sebanyak 413 yang dirawat di High Care Anak dan Pediatric

Intensive Care Unit RSUP Fatmawati Jakarta sejak 23 April - 31 Agustus 2018

menunjukkan kerasionalan penggunaan antibiotik di rumah sakit sudah tepat dan

bijak (kategori 0 89,19%) (Kristiani, Radji and Rianti, 2019).

Selain itu, penilaian kuantitas ditujukan untuk mengetahui jumlah

penggunaan antibiotik di rumah sakit yang diukur secara retrospektif maupun

prospektif melalui studi validasi (Kemenkes RI, 2011). Hasil evaluasi penggunaan

antibiotik yang dilakukan terhadap pasien yang menjalani caesarean section

periode Januari-Desember 2013 di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo, RSUD

Ajibarang, dan RSUD Banyumas terungkap masih belum rasional. Nilai DDD/100

hari rawat yang sangat rendah dari masing-masing antibiotik yang tepat sebagai

terapi paska caesarean section, yakni sefotaksim dan baktesin, sebaliknya

DDD/100 hari rawat dari antibiotik yang tidak tepat justru tinggi, yakni ampisilin

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangeprints.umm.ac.id/63688/2/BAB I.pdf · 2020. 7. 23. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi merupakan penyakit yang disebabkan oleh

4

dan amoksisilin yang menunjukkan bahwa rasionalitas penggunaan antibiotik di

tiga rumah sakit tersebut masih rendah (Kusuma et al., 2016).

RSUD Dr. Iskak Tulungagung belum pernah melakukan evaluasi penggunaan

antibiotik sedangkan permasalahan resistensi antibiotik merupakan masalah global

saat ini (Watkins and Bonomo, 2016). Dari data-data di atas menunjukkan masih

banyaknya penggunaan antibiotik yang belum tepat dan rasional yang mampu

memicu resistensi antibiotik dan berpengaruh terhadap kualitas hidup masyarakat,

sehingga peneliti ingin melakukan evaluasi secara kuantitas maupun kualitas

penggunaan antibiotik di Ruang Inap Flamboyan dan Virtual Penyakit Dalam

sehingga evaluasi ini akan mampu mencegah penggunaan obat yang tidak perlu dan

tidak tepat untuk meningkatkan mutu pelayanan khususnya terkait penggunaan

antibiotik.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana kualitas penggunaan antibiotik dengan metode Gyssens dan

kuantitas penggunaan antibiotik dengan metode DDD pada pasien penyakit dalam

yang dirawat di Ruang Inap Flamboyan dan Ruang Inap Virtual RSUD Dr. Iskak

Tulungagung?

1.3 Tujuan

1.3.1.Tujuan Umum

Melakukan evaluasi penggunaan antibiotik secara kualitatif dan kuantitatif

pada pasien penyakit dalam di Ruang Inap Flamboyan dan Ruang Inap Virtual

RSUD Dr. Iskak Tulungagung.

1.3.2.Tujuan Khusus.

Mengevaluasi penggunaan antibiotik secara kualitatif menggunakan metode

Gyssens dan kuantitatif dengan metode DDD (Defined Daily Dose).

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi evaluasi dalam upaya

meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian di RSUD Dr. Iskak Tulungagung dan

sebagai bahan masukan untuk tenaga kesehatan yang lain.