46
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wisata berbasis masyarakat atau sering disebut dengan Community Based Tourism (CBT) tengah menjadi tren dalam industri pariwisata. Berakar pada perspektif wisata masyarakat (community tourism perspective), konsep pembangunan wisata yang sifatnya bottom up tersebut menjadi salah satu antitesis dari model wisata top down (sentralistik) yang cenderung berorientasi pada maksimalisasi income dan menguntungkan kalangan tertentu. CBT merupakan model alternatif pembangunan dan pengelolaan wisata yang mampu memberikan output maupun outcome positif karena berbasis pada kesadaran akan kebutuhan wisata responsif dan demokratis (Moscardo, 2008: 60). Artinya CBT berakar pada kesadaran kebutuhan dan partisipasi masyarakat lokal, yang kemudian dikelola dengan menggunakan asas demokrasi (dari masyarakat, oleh masyarakat, untuk masyarakat). Model pariwisata berbasis masyarakat juga didukung dengan adanya UU No. 10 Tahun 2009 tentang Pariwisata dan program Kementrian Perdagangan dan Ekonomi Kreatif yang berupaya menjadikan sektor pariwisata sebagai basis program ekonomi kreatif dengan menekankan pada kreativitas produk lokal dan keadilan. Salah satu contoh yang paling kentara dan beberapa tahun ini adalah Desa Wisata. Desa Wisata adalah Objek dan Daya Tarik Wisata (ODTW) yang menampilkan produk kearifan lokal masyarakat seperti tradisi, tempat bersejarah, legenda, hingga produk kerajinan (Kompas, 18 September 2014).

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/87789/potongan/S2-2015... · mampu melihat faktor pendorong atau pemicu progresifnya ... yang mana proses

  • Upload
    ngokiet

  • View
    219

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Wisata berbasis masyarakat atau sering disebut dengan Community Based

Tourism (CBT) tengah menjadi tren dalam industri pariwisata. Berakar pada

perspektif wisata masyarakat (community tourism perspective), konsep

pembangunan wisata yang sifatnya bottom up tersebut menjadi salah satu

antitesis dari model wisata top down (sentralistik) yang cenderung

berorientasi pada maksimalisasi income dan menguntungkan kalangan

tertentu. CBT merupakan model alternatif pembangunan dan pengelolaan

wisata yang mampu memberikan output maupun outcome positif karena

berbasis pada kesadaran akan kebutuhan wisata responsif dan demokratis

(Moscardo, 2008: 60). Artinya CBT berakar pada kesadaran kebutuhan dan

partisipasi masyarakat lokal, yang kemudian dikelola dengan menggunakan

asas demokrasi (dari masyarakat, oleh masyarakat, untuk masyarakat).

Model pariwisata berbasis masyarakat juga didukung dengan

adanya UU No. 10 Tahun 2009 tentang Pariwisata dan program Kementrian

Perdagangan dan Ekonomi Kreatif yang berupaya menjadikan sektor

pariwisata sebagai basis program ekonomi kreatif dengan menekankan pada

kreativitas produk lokal dan keadilan. Salah satu contoh yang paling kentara

dan beberapa tahun ini adalah Desa Wisata. Desa Wisata adalah Objek dan

Daya Tarik Wisata (ODTW) yang menampilkan produk kearifan lokal

masyarakat seperti tradisi, tempat bersejarah, legenda, hingga produk

kerajinan (Kompas, 18 September 2014).

2

Wisata berbasis masyarakat ternyata tidak hanya identik dengan

Desa Wisata yang selama ini menjadi contoh umum, melainkan juga telah

menjadi acuan dalam pengelolaan wisata pascabencana yang ditujukan

sebagai sarana keluar dari krisis. Salah satu fenomena yang menarik adalah

tentang Wisata Erupsi Merapi yang muncul pascabencana erupsi tahun 2010

lalu, khususnya di Umbulharjo. Kendati bencana telah memporak-

porandakan berbagai sektor kehidupan, seperti ekonomi, sosial, budaya,

bahkan politik; ternyata bencana justru menjadi magnet bagi kalangan

masyarakat luar Cangkringan. Pemandangan sisa-sisa bencana seperti puing-

puing rumah atau perkakas rumah tangga, bangkai kendaraan, bangkai hewan

ternak, dan material erupsi yang terbawa aliran lahar menjadi objek serta

daya tarik bagi banyak orang.1

Kuantitas pengunjung yang datang untuk melihat objek sisa

bencana ditaksir mencapai ribuan setiap harinya. Sementara pada situasi

demikian sebagian besar warga masih berada di tempat pengungsian dan

hidup dalam ketidakpastian. Banyaknya pengunjung yang datang untuk

pemandangan pascaerupsi ternyata menjadi setitik asa bagi masyarakat lokal

untuk membangun kembali kehidupan pascaerupsi, di mana mereka

kehilangan harta benda untuk melanjutkan hidup. Upaya yang ditempuh

adalah dengan memanfaatkannya melalui kegiatan wisata bencana dengan

1 Oleh Heddy Shri Ahimsa disebut sebagai wisata bencana (Etnowisata Bencana: Kajian Wisata

Lereng Merapi (lihat Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pemerintah Daerah Istimewa

Yogyakarta Vol IV No. 5 Tahun 2012), sedangkan Lenon dan Foley menyebutnya dengan dark

tourism yaitu wisata yang menyajikan atraksi kematian, kekejaman, dan bencana yang sering

dianggap tidak lumrah (John Lenon dan Malcolm Fooley,”Dark Tourism: The Attraction of

Death and Disaster.” (International Journal of Tourism Research Vol.4 No.6 Tahun 2002).

3

melibatkan segenap masyarakat sekitar yang notabene menjadi korban dari

bencana erupsi.2

Pada fenomena Wisata Erupsi Merapi, partisipasi masyarakat lokal

cukup signifikan dalam aktivitas pariwisata yang ditujukan untuk

kepentingan bersama. Oleh karena itu Wisata Erupsi Merapi di Umbulharjo

kemudian dikenal dengan Community Based Tourism atau pariwisata

berbasis masyarakat.3 Wisata tersebut dikelola masyarakat sekaligus

ditujukan sebagai sarana bagi pemulihan ekonomi masyarakat yang lumpuh

akibat bencana. Realitas tersebut seperti yang disampaikan oleh Wilkinson,

Oliver Smith, dan Bankof (dalam Calgaro dan Lloyd, 2008: 288) bahwa

wisata sebenarnya mampu menjadi sumber penghidupan alternatif atau

harapan baru dalam situasi fragmentasi ekonomi, sumber alam yang terbatas,

ketidakseimbangan pasar, dan keterbatasan opsi penghidupan lainnya.

Bahkan pariwisata juga memiliki kapasitas untuk menstimulasi pembangunan

yang dapat memberikan efek positif seperti pengentasan kemiskinan dan

peningkatan ekonomi masyarakat. Dengan demikian Wisata Erupsi Merapi di

Umbulharjo juga dapat dipandang sebagai sumber alternatif penghidupan

dalam situasi krisis pascabencana, yang mana sumber kehidupan masyarakat

seperti peternakan dan pertanian vakum akibat erupsi. Dengan kata lain,

wisata erupsi menjadi harapan bagi kehidupan masyarakat lokal

2 I Made Asdhiana. “Wisata Erupsi, Geliat Baru Merapi.” Kompas,Rabu 5 Januari 2011. Diakses

melalui http://travel.kompas.com/read/2011/01/05/08412332/Wisata.Erupsi..Geliat.Baru.Merapi

pada tanggal 14 Agustus 2014 Pukul 6.25 WIB. 3 Berdasarkan hasil penelitian Retnaningtyas Susanti tentang Pengembangan Atraksi Wisata

Jelajah Kinahrejo Berbasis Komunitas. Masyarakat lokal berupaya mengembangkan atraksi

wisata pasca bencana tersebut agar menjadi destinasi berkelanjutan.

4

pascabencana, sehingga mereka berupaya memanfaatkan kesempatan tersebut

dengan membangun dan mengelolanya sebagai wisata berbasis masyarakat.

Hal yang perlu diperhatikan adalah Wisata Erupsi Merapi di

Umbulharjo tidak muncul dan tumbuh dalam ruang yang vakum dan normal.

Maksudnya wisata tersebut muncul dan berkembang pada situasi krisis

pascaerupsi, yang mana tatanan sosial termasuk pemerintahan mengalami

gangguan, masyarakat kehilangan sumber daya ekonominya, bahkan

sebagian masyarakat masih berstatus sebagai pengungsi. Secara umum

masyarakat yang terdampak bencana besar seperti kasus Bencana Erupsi

Merapi tahun 2010 pasti mengalami situasi krisis secara ekonomi maupun

psikologis. Krisis secara ekonomi dapat dari kerugian materiil yang dialami,

sehingga tidak memiliki sumber daya atau modal untuk melanjutkan hidup.

Menurut Koentjoro dan Budi (dalam Jurnal Unisia No. 63/XXX/I/2007) pada

kondisi demikian maka mereka dapat dikatakan menderita kemiskinan karena

kehilangan sumber penghidupan dan ketiadaan modal. Sedangkan secara

psikologis mereka masih diliputi kesedihan, rasa takut, dan ketidakberdayaan

karena kehilangan anggota keluarga dan harta benda.

Masyarakat lokal secara mayoritas juga belum atau tidak memiliki

kemampuan manajerial wisata, walaupun wilayah Umbulharjo sebelumnya

telah menjadi destinasi wisata. Hal itu disebabkan jenis wisata sebelumnya

berbeda dengan wisata yang muncul pascabencana tahun 2010 karena

pengelolaannya secara dominan berada pada wewenang lembaga milik

pemerintah yaitu Dinas Pariwisata. Kondisi demikian juga dihadapkan pada

5

ketiadaan dukungan materiil memadai dari pemerintah terkait terhadap

pembangunan Wisata Erupsi Merapi 2010, dengan alasan bahwa lahan wisata

tersebut berada pada daerah rawan bencana.

Namun, sesuatu yang kontras justru terjadi. Dalam waktu yang

relatif singkat Wisata Erupsi Merapi di Umbulharjo muncul, tumbuh, dan

menjadi sarana pembangkit ekonomi masyarakat setempat. Bahkan hanya

dalam hitungan tidak lebih dari 2 bulan setelah bencana pertumbuhannya

cukup terasa. Geliat aktivitas wisata tersebut bukan hanya dari jumlah

pengunjung yang signifikan melainkan juga adanya pengelolaan secara

terorganisir mulai dari pengelolaan tiket masuk, tarif parkir, pemanduan bagi

wisatawan, dan pengelolaan usaha niaga yang dikoordinir oleh institusi lokal

yang bergerak di bidang pelayanan wisata. Di samping itu terdapat fasilitas-

fasilitas yang mendukung aktivitas pengunjung seperti pos informasi, tempat

sampah di beberapa titik, papan-papan petunjuk, dan sarana ibadah.

Oleh karena itu, pada proses kemunculan Wisata Erupsi Merapi

sebagai salah satu solusi untuk keluar dari krisis pascaerupsi tahun 2010 di

Umbulharjo tidak terlepas dari faktor pendorong lain, disamping faktor

kuantitas pengunjung. Apalagi, wisata erupsi tersebut dipandang sebagai

sarana mengentaskan masyarakat dari kondisi krisis pascaerupsi (recovery).

Faktor pendorong tersebut bisa jadi merupakan intangible capital, yang

kemudian sering diasosiasikan dengan modal sosial. Namun juga bisa

mengarah pada hal lain seperti adanya inisiator yang memobilisasi

masyarakat korban bencana di Umbulharjo dalam aktivitas wisata atau

6

semacamnya. Asumsi tersebut merujuk dari kurun waktu munculnya Wisata

Erupsi dan kondisi masyarakat yang masih berada dalam situasi krisis,

sehingga apabila tidak ada faktor apa pun seperti modal sosial atau inisiator

sosial tentu hal demikian sulit untuk dilakukan. Bahkan pariwisata berbasis

masyarakat yang menekankan pada partisipasi dan kerja sama juga sulit

dimanifestasikan di wilayah Umbulharjo.

Berdasarkan fenomena tersebut penelitian ini berusaha menelusuri

mekanisme-mekanisme yang dilakukan dalam memanfaatkan peluang wisata

bencana di Umbulharjo Cangkringan, yang mana wisata merupakan sarana

keluar dari krisis pascaerupsi. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan

mampu melihat faktor pendorong atau pemicu progresifnya Wisata Erupsi di

Umbulharjo, baik itu adanya inisiator yang mendorong pertumbuhan wisata

maupun intangible capital (modal sosial).

1.2 Rumusan Masalah

Pariwisata berbasis masyarakat atau CBT tengah menjadi tren dalam industri

pariwisata di Indonesia. CBT merupakan model alternatif dari pembangunan

wisata top down. Belakangan ini muncul berbagai destinasi wisata yang

tumbuh dari kekuatan lokal, dan salah satu contoh populer adalah desa wisata.

Namun, CBT ternyata tidak hanya menggeliat pada jenis objek desa wisata

melainkan juga wisata yang muncul pascabencana. Wisata pascabencana

seperti Wisata Erupsi Merapi merupakan fenomena baru dan unik dalam isu

kepariwisataan karena menampilkan atraksi jejak erupsi sebagai daya tarik.

7

Wisata Erupsi Merapi muncul pada situasi krisis. Oleh karena itu,

menjadi suatu sumber yang dikelola oleh masyarakat lokal guna membangun

kembali kehidupan sosial ekonominya atau keluar dari krisis. Merunut pada

permasalahan itu maka penelitian ini berusaha untuk menjawab rumusan

masalah terkait bagaimana upaya masyarakat Umbulharjo untuk keluar krisis

pascaerupsi Merapi 2010 dengan memanfaatkan wisata bencana?

1.3 Tujuan Penelitian

Ada beberapa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini antara lain:

1.3.1 Mengidentifikasi eksistensi inisiator dalam menginsiasi pemanfaatan

wisata bencana di Umbulharjo sebagai jalan untuk keluar dari krisis

1.3.2 Mengetahui partisipasi kolektif masyarakat korban bencana di

Umbulharjo dalam pemanfaatan wisata bencana

1.3.3 Mengidentifikasi modal sosial dalam proses pemanfataan wisata

bencana.

1.4 Manfaat Penelitian

Suatu penelitian akan berharga jika memberikan manfaat tidak hanya bagi

peneliti tetapi juga pihak lain. Manfaat dari hasil penelitian ini antara lain:

1.4.1 Manfaat Akademik

Secara akademik penelitian ini memberikan manfaat pengetahuan

tentang insiasi tokoh lokal yang mendorong masyarakat korban bencana

untuk berupaya keluar dari krisis melalui pemanfaatan wisata bencana

secara bersama-sama, yang mana proses itu juga didukung oleh adanya

modal sosial (intangible asset).

8

1.4.2 Manfaat praktis

Memberikan sumbangan pengetahuan kepada masyarakat atau lembaga

pemerintahan terkait konsep pengelolaan wisata pascabencana dalam

prinsip social entrepreneurship sebagai salah satu solusi keluar dari

krisis. Termasuk pemanfaatan intangible asset (modal sosial).

1.5 Tinjauan Penelitian Terdahulu

Ada beberapa penelitian yang sebelumnya mencoba mengkaji tentang Wisata

Erupsi Merapi. Pertama mengenai Pengembangan Atraksi Wisata Jelajah

Kinahrejo Berbasis Komunitas yang dilakukan oleh Retnaningtyas Susanti

pada tahun 2011. Penelitian ini menjelaskan upaya yang dilakukan oleh

komunitas Kinahrejo dalam mengembangkan atraksi wisata Jelajah Kinahrejo,

mekanisme partisipasi dan pengelolaan wisata, dan keberlanjutan wisata di

Kinahrejo dalam segi ekonomi, lingkungan, dan sosial politik.

Kedua, Strategi Pemulihan Penghidupan Masyarakat (Livelihood)

melalui Usaha Ekowisata Volcano Tour Pascabencana Erupsi Merapi oleh

Narulita Ayu Sri Kharismawanti tahun 2014. Penelitian ini menjelaskan

perubahan aset hidup masyarakat pascaerupsi. Kemudian Ekowisata Volcano

Tour telah memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk membuka usaha

(berdagang, jasa ojek, trail, dan sebagainya) sehingga memberikan perubahan

terhadap aktivitas atau perkerjaan masyarakat, baik dalam jangka pendek

maupun panjang. Sekian tahun berjalan, wisata justru semakin menurun

sehingga memerlukan perubahan strategi dalam mempertahankan

penghidupan. Perubahan strategi lebih mengarah pada upaya mengatasi

9

berkurangnya pendapatan karena menurunnya pengunjung yaitu dengan

promosi dan pengembangan fasilitas.

Ketiga, Pariwisata Pascabencana (Kajian Etnosains Pariwisata di

Kampung Kinahrejo Umbulharjo Sleman) oleh Mona Erythrea N. Islami tahun

2014. Penelitian ini mendeskripsikan pandangan warga Kinahrejo, pengelola

wisata Volcano Tour, dan Dinas Pariwisata Sleman terkait kawasan Kinahrejo

pascabencana. Bagi warga dan pengelola Volcano Tour, daerah Kinahrejo

merupakan lahan penghidupan baru yang harus dijaga demi keberlangsungan

ekonomi, sedangkan Dinas Pariwisata Sleman berpandangan bahwa Kinahrejo

adalah daerah rawan sehingga tidak diperkenankan untuk membuat bangunan

permanen dan akitivitas massal. Penelitian ini juga mendekripsikan upaya

pengembangan atraksi dan fasilitas wisata yang dilakukan masyarakat

setempat, serta pengembangan SDM oleh Dinas Pariwisata.

Ketiga penelitian di atas melihat secara deskriptif tentang wisata

bencana yaitu terkait livehood, argumentasi terkait adanya wisata, dan

pengembangan wisata. Ketiganya menjadi landasan untuk melakukan

penelusuran lebih lanjut mengenai konteks kebencanaan dan wisata erupsi di

Umbulharjo. Dalam hal ini peneliti berupaya untuk mengeksplorasi inisiasi

keluar dari kondisi krisis dengan memanfaatkan atraksi pascaerupsi menjadi

wisata. Pemanfaatan tersebut berupa pengelolaan wisata seperti tiket dan

parkir, maupun bisnis niaga di kawasan wisata yang dikelola secara kolektif

melalui institusi lokal dan dibentuk pascaerupsi seperti Tim Volcano Tour dan

Paguyuban Kinahrejo.

10

Pada masalah ini perlu ditekankan kembali bahwa ketika itu

masyarakat lokal masih berada pada situasi krisis akibat bencana, baik itu

kerugian materiil maupun kehilangan sanak saudara. Di sisi lain, sebagian

besar masyarakat lokal tidak memiliki kemampuan yang mumpuni tentang

manajemen wisata (human capital) atau usaha bisnis wisata. Oleh karena itu,

peneliti mencoba untuk mengekplorasi bagaimana praktik pengelolaan dan

usaha wisata dapat berjalan dalam kondisi demikian. Peneliti kemudian

berusaha menelusuri peranan intangible asset dalam proses pembentukan

institusi pengelolaan maupun usaha wisata tersebut. Intangible asset sering

diasosiasikan dengan modal sosial yang sejatinya tersedia dalam kehidupan

masyarakat, tetapi sering tidak disadari keberadaannya sebagai modal. Modal

sosial menjadi perhatian karena upaya keluar dari krisis melalui pemanfaatan

wisata bencana tidak bisa muncul begitu saja jika hanya mengandalkan modal

fisik. Di samping itu, peneliti juga mencoba melihat indikasi inisiator yang

berperan dalam menggerakkan ide pengelolaan wisata atau usaha wisata.

Inisiator dalam hal ini tidak hanya memiliki kejelian menangkap peluang dan

merancang pengelolaan wisata, melainkan juga memanfaatkan kapasitas

modal sosial sebagai kekuatan untuk menggerakkan aktivitas pariwisata.

1.6 Landasan Teori

Teori merupakan instrumen atau piranti untuk menganalisis temuan lapangan.

Penelitian menggunakan beberapa teori yang dapat membantu dalam

menganalisis data yang diperoleh. Beberapa teori tersebut antara lain kajian

tentang pariwisata, social entrepeneurship (kewirausahaan sosial), dan modal

11

sosial. Kajian tentang pariwisata menjadi introduksi untuk menjelaskan

tentang fenomena wisata, sedangkan social entrepeneurship dan modal sosial

menjadi instrumen untuk menganalisis tentang upaya masyarakat untuk keluar

dari krisis melalui pengelolaan wisata.

1.6.1 Tinjauan tentang Pariwisata

Pariwisata merupakan salah satu program pembangunan ekonomi yang

telah memberikan sumbangsih terhadap kehidupan masyarakat secara

ekonomi maupun sosial. Sebelum sampai pada penjelasan lanjut, perlu

mengulas esensi mengenai pariwisata. Ada banyak definisi tentang

pariwisata, namun secara khusus Murphy (dalam Pitana dan Gayatri, 2005:

45) mendefinisikan pariwisata sebagai:

keseluruhan dari elemen-elemen (terkait wisatawan, daerah tujuan

wisata, perjalanan, industri, dan sebagainya) yang merupakan akibat dari

perjalanan wisata ke daerah tujuan wisata; sepanjang perjalanan wisata

tersebut tidak permanen.

Selain itu, World Tourism Organization (dalam Muljadi, 2010: 9)

mendefinisikan, tourism comprises the activity of person travelling to and

staying in places outside their usual environment for not more than one

consecutive year for leisure, business, and other purpose. Penjelasan

definisi tersebut mirip dengan yang diungkapkan oleh Murphy pada

pemaparan sebelumya.

Mills (dalam Bra Baskoro, 2010: 26-27) memaparkan bahwa ada 4

dimensi pariwisata yang menyebabkan orang menjadi tertarik untuk

melakukan perjalanan wisata. Dimensi-dimensi itulah yang kemudian

12

menjadi perhatian dalam pembangunan dan pengelolaan wisata, yaitu

atraksi, fasilitas, transportasi, dan keramahtamahan (sapta pesona).

1.6.2 Wisata Bencana

Istilah wisata bencana memang dianggap tidak etis karena berlawan dengan

kata wisata yang selalu diidentikkan dengan aktivitas hiburan dan

bersenang-senang. Namun, istilah tersebut muncul seiring fenomena

banyaknya kunjungan pada lokasi terdampak erupsi pascaerupsi tahun 2010

(Ahimsa, 2012: 140).

Fenomena wisata bencana oleh Lenon dan Foley disebut dengan

dark tourism. Dark tourism adalah wisata yang menyajikan suasana

mencekam. Salah satunya bencana yang memberikan dampak seperti

kematian dan kerusakan fasilitas hidup masyarakat4. Hal itu seperti yang

terlihat pascaerupsi Merapi tahun 2010, yang mana pemandangan

kerusakan pascaerupsi menjadi daya tarik.

Dark Tourism menurut Lenon dan Foley menjadi begitu terkenal

karena adanya media atau pemberitaan (dalam International Journal of

Tourism Research Vol.4 No.6 Tahun 2002). Geliat wisata erupsi juga

muncul karena seiring dengan merebaknya pemberitaan dan siaran visual

mengenai dampak erupsi Merapi. Oleh karena itu, bencana yang

sebenarnya menjadi fenomena biasa di Indonesia justru menjadi terkenal

dan menarik rasa penasaran masyarakat untuk melihat langsung. Uniknya

4 International Journal of Tourism Research Vol.4 No.6 Tahun 2002, hlm: 485.

13

lagi wisata bencana tersebut justru menjadi peluang atau solusi bagi

masyarakat untuk keluar dari krisis pascaerupsi, khususnya di Umbulharjo.

1.6.3 Wisata Berbasis Masyarakat

Semangat wisata berbasis masyarakat secara eksplisit termuat dalam UU

No. 10 Tahun 2009 tentang Pariwisata pasal 2 bahwa kepariwisataan

diselenggarakan berdasarkan asas manfaat, kekeluargaan, adil dan merata,

keseimbangan, kemandirian, kelestarian, partisipatif, berkelanjutan,

demokratis, kesetaraan serta kesatuan. Di samping itu pemerintah juga

menggencarkan wisata berbasis lokal menjadi ikon pembangunan dalam

program ekonomi kreatif berbasis pariwisata. 5

Merujuk pada proses kemunculan dan pengelolaan Wisata Erupsi

Merapi, hal yang menjadi perhatian adalah keterlibatan masyarakat lokal.

Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa Wisata Erupsi Merapi di

Umbulharjo Cangkringan merupakan salah satu sarana bagi masyarakat

memperoleh income guna membantu pemulihan kehidupan pascabencana

(Kharismawanti, 2014). Dengan demikian, wisata tersebut tumbuh berbasis

pada masyarakat yang notabene menjadi korban bencana, dan dimanfaatkan

untuk memberikan keuntungan bagi masyarakat sekitar.

Pimrawe Rocharungsat (dalam Moscardo, 2008: 67) menguraikan

bahwa pariwisata berbasis masyarakat secara umum berfondasi pada

kesadaran responsif terhadap wisata dan menekankan asas partisipasi

5 Program ekonomi kreatif berbasis pariwisata merupakan upaya pemerintah memacu masyarakat

dengan memanfaatkan segala macam sumber potensial lokal menjadi produk wisata berdasarkan

kearifan lokal. Namun, keberlanjutan wisata tersebut perlu didukung oleh etika keadilan yaitu

berbasis pada masyarakat lokal (Kompas, 18 September 2014).

14

demokratis dalam penentuan kebijakan wisata oleh masyarakat lokal.

Artinya masyarakat lokal merupakan aktor utama yang terlibat aktif dalam

perencanaan, pembangunan, pengelolaan, pengembangan, pemantauan, dan

evaluasi guna mencapai kesejahteraan bersama. Dengan demikain,

masyarakat menjadi host/tuan rumah6 dari proyek pariwisata.

Dengan penjabaran yang lebih sederhana Argyo Dermatoto

(Dermatoto dkk, 2009: 22) menjelaskan bahwa pariwisata berbasis

masyarakat (CBT) merupakan wisata yang dibangun dari masyarakat, oleh

masyarakat, dan untuk masyarakat. Proses-proses yang dilalui dalam sistem

wisata berbasis masyarakat akar rumput tersebut meliputi perencanaan

investasi, pengelaksaan, pengelolaan, dan evaluasi. Kendati demikian,

peran pemerintah atau swasta juga diperlukan, bukan untuk mendominasi

melainkan sekedar memberikan dukungan.

1.6.4 Kewirausahaan Sosial (Social Entrepreneurship)

Istilah social entrepreneurship/kewirausahaan sosial belum begitu populer

di Indonesia. Namun, kewirausahaan sosial merupakan fenomena menarik

karena melihat sisi sosial dari suatu kewirausahaan yang selama ini

diidentikkan dengan paradigma ekonomis dan cenderung berorientasi pada

profit. Konsep kewirausahaan sosial hadir dengan memberikan paradigma

baru bahwa kewirausahaan sebagai sarana atau cara untuk mengatasi

6 Istilah host/tuan rumah ditekankan Murphy dalam CBT. Sebagai host, masyarakat adalah pihak

yang paling tahu tentang potensi wilayahnya. Mereka punya keinginan, wewenang/hak, dan

usaha untuk membangun dan mengembangkannya tanpa mengabaikan kondisi kearifan lokal dan

kelestarian alam, sebab segala bentuk konsekuensi secara langsung akan menjadi tanggungan

masyarakat. Pada istilah ini masyarakat memiliki rasa ikut memiliki (sense of belonging).

Dengan arti bukan memiliki mutlak secara de jure, melainkan rasa memiliki dengan kesadaran

untuk menjaga keberlanjutannya (dalam Sunaryo. 2013: 140).

15

masalah sosial yang ada di lingkungan sekitar seperti kemiskinan,

pengangguran, ketimpangan akses, dan sebagainya (Perrini dan Vurro

dalam Mair dkk, 2006).

Salah satu contoh fenomenal yang menjadi kajian dari

kewirausahaan sosial adalah Grameen Bank yang didirikan oleh

Muhammad Yunus di Bangladesh. Grameen Bank merupakan suatu upaya

untuk mengatasi masalah keterbatasan akses wanita untuk memperoleh

kredit mikro dengan bunga lunak. Kewirausahaan sosial dengan pendekatan

komunitas diuraikan oleh David Bornstein dengan mengkaji beberapa

program kewirausahaan sosial berbagai negara. Salah satunya adalah

program penyediaan listrik bagi masyarakat distrik Palmares di Negara

bagian Rio Grande do Soul Brasil yang diinisiasi oleh Rosa (Bornstein,

2006). Listrik murah menjadi keperluan penting bagi para petani di

Palmares guna mengalirkan air tanah ke lahan pertanian. Berdasarkan hal

itu, Rosa mencoba membuat terobosan teknologi Amaral dan melibatkan

masyarakat petani dalam proses pembangunan dan pengelolaannya,

termasuk kredit bagi petani yang memerlukan dana untuk mengolah sawah.

Terilhami dari teori Bornstein maka kewirausahaan sosial menjadi

rujukan penelitian ini untuk melihat fenomena wisata bencana berbasis

masyarakat yang muncul pascaerupsi tahun 2010 di Umbulharjo. Hal itu

dikarenakan wisata bencana merupakan sarana bagi masyarakat setempat

dalam mengatasi krisis seperti hilangnya sumber penghidupan yang

berpengaruh pada aktivitas dan penghasilan masyarakat, serta

16

ketidakjelasan mengenai nasib mereka selanjutnya. Alasan lainnya merujuk

pada kondisi masyarakat lokal yang sebagian besar memiliki kemampuan

dalam hal pengelolaan wisata tetapi mampu bekerja sama untuk melakukan

pengelolaan. Oleh karena itu, social capital bukanlah modal tunggal yang

cukup untuk merintis wisata pascabencana melainkan juga adanya inisiator

yang memiliki kemampuan dalam menangkap peluang dan menggerakkan

warga korban erupsi.

a. Sejarah Social Entrepreneurship (Kewirausahaan Sosial).

Sebelum mengulas konsep, perlu melihat historisitas kewirausahaan

sosial. Istilah kewirausahaan sosial pertama kali muncul tahun 1771 di

Inggris ketika Robert Owen mendirikan koperasi dan usaha tekstil untuk

mengatasi masalah ekploitasi tenaga kerja anak-anak di pabrik tekstil. Ia

membeli sebuah pabrik tekstil dan memperkerjakan anak-anak usia

sekolah tetapi mengubah sistem kerjanya. Anak-anak bekerja ke pabrik

seusai sekolah, sehingga mereka hanya bekerja paruh waktu. Hasil dari

usahanya dari memperkerjaan orang-orang sekitar dan tenaga paruh

waktu anak-anak, dialokasikan untuk membangun fasilitas sosial seperti

fasilitas pendidikan dan kesehatan (dalam Dewanto dkk, 2013: 3).

Kendati model kewirausahaan sosial telah muncul pada abad 18

di Inggris, namun istilah tersebut baru mencuat dan menjadi kajian ilmu

sosial setelah diperkenalkan oleh Bill Drayton melalui karyanya tahun

1980 yaitu Ashoka Foundation. Asoka Foundation didirikan dengan

tujuan memberikan bantuan dana pendidikan kepada masyarakat miskin.

17

Karena usaha sosial tersebut, Bill Drayton mendapat penghargaan Mac

Arthur Award. Istilah kewirausahaan sosial semakin mencuat ketika

Muhammad Yunus mendirikan Grameen Bank, bank rakyat yang

memberikan kredit mikro dengan bunga lunak kepada para wanita

miskin di Bangladesh untuk membangun usaha mikro (dalam Dewanto

dkk, 2013: 43-44).

b. Ruang Lingkup Social Entrepreneurship

1) Definisi Social Entrepreneurship (Kewirausahaan Sosial).

Kewirausahaan sosial berbeda dengan bisnis kewirausahaan pada

umumnya yang cenderung berorientasi pada maksimalisasi profit.

Karena tidak bertendensi pada profit, banyak yang menganggap

bahwa social entrepreneurship merupakan lembaga nirlaba. Padahal

tidak sepenuhnya demikian. Perrini dan Vurro (dalam Mair dkk,

2006: 64) menegaskan bahwa kewirausahaan sosial berbeda dengan

lembaga nirlaba kebanyakan yang cenderung bersifat charity seperti

menghimpun dana dari para filantropi dan sebatas memberikan dana

bantuan secara pragmatis tanpa melibatkan peran dari orang-orang

yang dibantu sehingga justru sering menimbulkan sikap pasif dan

ketergantungan. Dengan demikian, kewirausahaan sosial bukan

lembaga/organisasi yang semata-mata mencari untung atau pun

lembaga donor, melainkan merupakan sintesa dari keduanya dengan

memberdayakan orang-orang yang dibantu ke dalam proses

perintisan maupun pengelolaan usaha sosial.

18

Mc Leod dan beberapa ahli lainnya (dalam Mair dkk, 2006:

62) mendefinisikan social entrepreneurship sebagai inovasi masa

kini melalui pemfungsian usaha sosial dan memuat subtansi

kompetensi manajerial, serta tindakan berbasis pasar dalam rangka

meningkatkan efisiensi dan efektivitas operasional. Kewirausahaan

sosial dilihat sebagai paket strategis dalam merespon berbagai

macam guncangan lingkungan dan tantangan situasional yang

terwujud dalam organisasi non-profit masa kini.7 Oleh sebab itu,

kewirausahaan sosial dipandang sebagai manifestasi usaha sosial

masa kini yang berupaya merespon masalah sosial dengan

menggunakan prinsip kewirausahaan. Profit dalam social

entepreneurship bukan sebagai tujuan akhir, namun sebagai pencapai

misi sosial (Perrini dan Vurro dalam Mair dkk, 2006: 60).

Saifan memberikan 2 batasan untuk mendefinisikan

kewirausahaan sosial sebagai berikut (Saifan, 2012).

a) Non-Profit with Earned Income Strategies

Usaha sosial dilakukan dengan mencangkokkan aktivitas

kewirausahaan secara sosial maupun komersial untuk mencapai

kecukupan. Dalam skema ini, wirausahawan sosial

mengoperasikan organisasi secara sosial dan komersial, yang

7 Organisasi non profit masa kini meninggalkan label charity yang kental dengan fungsi

penghimpun dan penyalur dana dari filantropi dan mengubah mekanisme tradisonal dengan

langkah transformatif seperti inovasi sosial dan pemberdayaan komunitas lokal dalam perintisan

serta pengelolaan usaha sosial.

19

mana hasil dan keuntungan digunakan untuk memajukan

penyebaran nilai sosial dan mereduksi masalah sosial.8

b) For Profit with Mission-Driven Strategies

Bisnis sosial dan komersial dilakukan secara bersamaan untuk

mencapai keberlanjutan. Organisasi mandiri secara finansial dan

memperoleh keuntungan secara berlanjut karena adanya tujuan

sosial dalam jangka panjang. Pada skema ini, penggagas atau

investor turut memperoleh keuntungan.

Uraian Saifan senada dengan David Bornstein, bahwa

kewirausahaan sosial berfondasi pada etika (dorongan moral), dan

uang adalah sarana untuk mencapai misi sosial. Hal demikian yang

membedakan kewirausahaan sosial dengan kewirausahaan bisnis

pada umumnya. Pernyataan tersebut merupakan ulasan teoritik

Bornstein yang didapatkan melalui perbincangan dengan Fabio Rosa,

seorang wirausahawan sosial Brasil yang berupaya memberikan

perubahan sosial progresif pada kehidupan masyarakat desa terpencil

melalui pengadaan listrik.

“Tentang uang-saya perlu uang. Uang sangat penting untuk

menyelesaikan proyek-proyek saya. Tetapi uang hanya berarti

jika membantu menyelesaikan masalah-masalah dalam

masyarakat dan menciptakan dunia baru, yaitu dunia yang

harmonis tanpa kesengsaraan dan orang-orang menjadi kuat

karena persahabatan dan kerja sama.” (dalam Bornstein, 2006:

279-280)

2) Inovasi Sosial dalam Social Entrepreneurship

8 Masalah sosial meliputi rendahnya kesejahteraan, masalah kosehivitas, keterbatasan akses

terhadap pengetahuan dan informasi, dan pembangunan masyarakat (Perrini dan Vurro dalam

Mair dkk, 2013: 59).

20

Seperti yang dijelaskan pada bagian awal bahwa kewirausahaan

sosial merupakan wujud dari usaha inovatif masa kini yang berupaya

merespon masalah sosial. Oleh karena itu, inovasi menjadi bahan

penting untuk menggerakan usaha. Hal tersebut digarisbawahi oleh

Bruyat dan Julien (dalam Mair dkk, 2006: 63) bahwa inovasi secara

intrinsik bertalian dengan kewirausahaan. Oleh karena itu ia

menguraikan bahwa kemampuan inisiator (penggerak social

entrepreneurship) dalam menciptakan sebuah produk baru melalui

proses keahlian yang bersifat nirlaba merupakan inovasi. Inovasi

pada konteks ini adalah untuk kemaslahatan sosial, sehingga disebut

dengan inovasi sosial. Inovasi sosial tersebut dapat berupa proses,

produk, maupun prinsip, ide, kebijakan, intervensi, gerakan sosial

atau beberapa kombinasi dari semuanya (Phill dalam Dewanto dkk.

2013: 8). Sementara itu, Standford Graduate School Business (dalam

Dewanto dkk, 2013: 11-12) menjabarkan bahwa inovasi sosial

merupakan proses menemukan dan mengimplementasikan solusi

baru atas permasalahan sosial, serta menjamin kesesuaian solusi

tersebut dengan kebutuhan masyarakat.

c. Wirausahawan Sosial dalam Social Entrepreneurship

Berbicara mengenai gagasan kewirausahaan sosial tentu juga membahas

mengenai sosok penggerak atau inisiator. Hal demikian ditegaskan oleh

David Bornstein (Bornstein, 2006: 107) bahwa gagasan seperti layaknya

sebuah pertunjukan drama yang keberhasilannya membutuhkan seorang

21

produser dan promotor yang baik. Jika tidak, drama tidak akan bergerak

dari arus pinggiran ke arus utama atau bahkan tidak dapat

dipertunjukkan sama sekali, sehingga gagasan harus dipasarkan dengan

mahir sebelum benar-benar mengubah pemahaman dan perilaku orang.

Oleh karena itu penggerak dalam gagasan kewirausahaan menjadi titik

sentral yang disebut dengan wirausahawan sosial (social entrepreneur).

Wirausahawan sosial merupakan pelopor inovasi (inisiator)

yang dilihat dari kualitas dalam merancang ide kewirausahaan,

kecerdasan membangun kapasitas, dan kemampuannya dalam

mendemonstrasikan secara konkret kualitas ide dan prakiraan dampak

sosial atas upaya kewirausahaan yang dilakukan (Perrini dan Vurro

dalam Mair dkk, 2006: 69). Ide yang hadir dalam pemikiran

wirausahawan sosial bukan sebatas pada realitas kelangkaan yang terjadi

dalam masyarakat, melainkan juga mampu melihat ruang sempit atau hal

kecil yang sering dianggap tidak mungkin atau useless menjadi peluang.

Pada konteks ini, wirausahawan sosial sekaligus berperan dalam

membentuk mindset baru kepada masyarakat yang dimobilisasi bahwa

pada dasarnya manusia memiliki kapasitas atau kompetensi kendati dari

kacamata mainstream dipandang tidak kompenten atau berdaya

(Bornstein, 2010: 76).

Inovasi dari wirausahawan sosial juga didorong oleh hasrat

untuk menciptakan perubahan sosial progresif melalui proyek

kewirausahaan. Artinya inovasi sosial yang muncul dari gagasan

22

insiator, salah satunya karena didorong oleh keinginan untuk

mengentaskan masyarakat dari permasalahan sosial. Tindak lanjut dari

inovasi dan hasrat sosial tersebut adalah penuangan gagasan (visi dan

misi) dan skema konkret yang hendak dilakukan (lihat gambar 1.1).

Gambar 1.1

Skema Inovasi dalam Social Entrepreneurship

d. Proses Kewirausahaan Sosial

Kendati bukan merupakan lembaga komersial murni, prinsip

entrepreneurship turut dipakai dalam kewirausahaan sosial. Pertama

yang dilakukan adalah menentukan secara jelas misi sosial dan

identifikasi peluang. Misi merupakan hasil dari kolaborasi inovasi,

kecakapan diri, dan ekspektasi terhadap outcome (luaran atau efek).

Sementara identifikasi atau penangkapan peluang dipengaruhi oleh dua

faktor yaitu faktor krisis dan visi. Seperti yang digambarkan sebelumnya

(gambar 1.1) bahwa respon wirausahawan sosial atas peluang didorong

oleh adanya problem sosial (krisis) dan hasrat terhadap perubahan sosial

(visi).

Misi dan peluang untuk memenuhi kebutuhan sosial

diformulasikan ke dalam sebuah inovasi konkret yang biasanya dilihat

dari 4 dimensi yaitu produk/jasa, relasi, metode-metode, dan faktor-

faktor. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa kewirausahaan sosial

Stimulan berupa problem

sosial dan hasrat untuk

mengatasi dan mencapai

perubahan sosial

Repon dengan membuat

portofolio (penuangan

gagasan dan rancangan

usaha) untuk mengatasi

problem sosial (misi sosial)

23

menekankan pada pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itu

masyarakat lokal yang notabene merupakan sasaran kewirausahaan

sosial didayakan untuk menjalankan usaha sosial. Hal demikian

ditekankan oleh Bornstein bahwa perlu mendayagunakan komunitas

lokal karena sesungguhnya masyarakat yang mengalami krisis atau

masalah memiliki daya atau kreatifitas. Oleh karena itu, mereka tidak

seharusnya dipandang sebagai objek melainkan subyek aktif untuk

merealisasikan dan mengelola kewirausahaan sosial.9

Inovasi tidak akan efektif tanpa adanya model usaha atau

bisnis. Model usaha dalam hal ini biasanya berorientasi pada pasar dan

kebutuhan stakeholder. Hal itu dicapai melalui orientasi jaringan yang

kuat, fleksibilitas organisasi, kebijakan yang melihat dimensi global dan

lokal, dan manajemen partisipatoris. Model usaha tersebut secara

eksplisit adalah untuk mencapai social outcome dan sebuah transformasi

sosial dalam jangka panjang. Transformasi sosial dalam hal ini

mencakup penciptaan pekerjaan, akses terhadap informasi maupun

pengetahuan sosial, kohesi sosial, serta pengembangan ekonomi dan

komunitas. Secara garis besar, proses kewirausahaan sosial tersebut

dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar 1.2

9 Ulasan lebih jauh mengenai pemberdayaan ini dipaparkan David Bornstein dalam analisisnya

mengenai sekolah komputer yang dilakukan Rodrigo Baggio (Bornstein, 2006: 181-182).

24

Kerangka Proses Kewirausahaan Sosial

Proses kewirausahaan sosial olehPerrini dan Vurro (dalam Johanna Mair,dkk,

2006: 78-79)

1.6.5 Modal Sosial (Social Capital)

Christenson dan Robinson (dalam Philips dan Pittman, 2009) memaparkan

bahwa pembangunan masyarakat adalah social capital atau social capacity,

karena menjabarkan tentang kemampuan masyarakat untuk mengatur

sumber daya dan memobilisasi sumber daya guna mencapai tujuan

bersama. Sumber daya pada konteks pariwisata adalah atraksi wisata

sendiri yang perlu dikelola dengan kapasitas lokal (termasuk modal sosial)

guna mencapai tujuan bersama.

25

Urgensi modal sosial dalam mobilisasi aktivitas pariwisata yang

muncul pascabencana diuraikan oleh Idah Rosida dalam penelitiannya

mengenai Desa Wisata Candran pascagempa Bantul tahun 2006. Ketika

masyarakat mengalami krisis akibat bencana, modal sosial menjadi

kekuatan (entry point) dalam membangun wisata pascagempa. Wisata

tersebut kemudian menjadi sarana memulihkan kehidupan sekaligus

meningkatkan pendapatan masyarakat lokal yang sempat krisis pascagempa

tahun 2006 (Rosidah, 2014).

Pemanfataan modal sosial terindikasi pula pada perintisan dan

pengembangan Wisata Erupsi Merapi di Umbulharjo Cangkringan. Asumsi

tersebut merujuk pada kondisi masyarakat yang didera krisis dan modal

material sulit diperoleh. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan

landasan teori modal sosial sebagai instrumen untuk menganalisis proses

mobilisasi warga dalam rangka mewujudkan wisata sebagai sarana bangkit

dari krisis.

a. Definisi Modal Sosial

Modal sosial berbeda dengan modal fisik dan modal lainnya (human

capital) yang nampak dan terukur. Modal sosial bersifat less tangible

dan sulit diukur, seperti kepercayaan, relasi, dan semacamnya. Namun

modal sosial ada dan tumbuh di masyakarakat dalam tempo yang relatif

lama, sehingga kadang tidak disadari (Nurhadi dalam Agnes

Sunartiningsih 2004: 73). Pengertian demikian juga disampaikan Putnam

(dalam Dasgupta dan Serageldin, 2000: 18-19) bahwa modal sosial

26

berkaitan dengan adanya relasi atau hubungan yang secara tidak

otomatis dilakukan setiap manusia sebagai makhluk sosial dan hal itu

tidak disadari sebagai modal.

Dalam konsep yang sangat luas, modal sosial merujuk pada

relasi sosial antaranggota kelompok yang dapat memberikan dukungan

pada kegiatan yang produktif yaitu dengan menekankan pada

kepercayaan, sumber daya norma-norma, dan jaringan yang dapat

digunakan untuk memecahkan masalah (dalam Maarif, 2011: 9).

Sedangkan Coleman (dalam Nan Lin, 2003: 27-28) secara khusus

mendefinisikan modal sosial dengan melihat fungsinya.

Social capital is defined by its function and that, it is not a single

entity, but a variety of different entities having two characteristics:

they all consist of some aspect of social sctucture and they facilitate

certain action of individuals who are within the structure.

Pemaparan Coleman tersebut menunjukkan bahwa modal sosial bukan

entitas yang tunggal, melainkan meliputi beberapa wujud. Entitas-entitas

tersebut kemudian menjadi sarana bagi aktor maupun masyarakat dalam

melakukan kegiatan yang sifatnya produktif.

b. Bentuk-bentuk Modal Sosial

Seperti yang dijelaskan Coleman bahwa modal sosial bukanlah entitas

tuggal tetapi terdiri dari beberapa entitas yang mampu menjadi sarana

bagi tindakan produktif baik secara individual maupun kelompok.

Coleman (dalam Field, 2010: 32) mengungkapkan bahwa modal sosial

merupakan sumber daya melibatkan beberapa bentuk seperti

kepercayaan (trust), resiprokal, jaringan-jaringan (network), serta norma

27

dan nilai (norms and value). Stephen Knack pun memiliki pandangan

yang hampir sama bahwa modal sosial masyarakat meliputi nilai

(common value), norma, jaringan informal, dan keanggotaan

asosiasional, yang mana dimensi-dimensi tersebut memberikan pengaruh

terhadap kemampuan tiap-tiap individu dalam kelompok untuk berkerja

sama demi mencapai tujuan (dalam Grootaert dan Bastelaer, 2002: 42).

Kendati demikian, modal sosial bersifat kontekstual. Artinya bentuk

modal sosial di masing-masing tempat dapat berbeda-beda (Grootaert

dan Bastelaer, 2002). Dari pemaparan tersebut setidaknya ada beberapa

entitas umum yang merepresentasikan suatu modal sosial, antara lain

sebagai berikut.

1) Kepercayaan

Fukuyama menguraikan kepercayaan sebagai pengharapan yang

muncul dalam sebuah komunitas dengan berperilaku normal, jujur,

dan kooperatif berdasarkan norma-norma bersama demi mencapai

kepentingan anggota yang lain dari komunitas tersebut. Kepercayaan

tidak muncul begitu saja tetapi tumbuh melalui proses kultural.

Artinya kepercayaan memang modal yang sebenarnya telah tumbuh

melekat dalam kehidupan sosial. Gidden memaparkan bahwa

kepercayaan tumbuh dalam berbagai lingkungan. Pada masyarakat

pramodern, kepercayaan tumbuh dalam hubungan kekerabatan,

komunitas lokal, kosmologi religious, dan tradisi. Sedangkan pada

masyarakat modern, kepercayaan tumbuh dalam sistem abstrak, relasi

28

personal, dan orientasi masa depan (dalam Damsar dan Indrayani,

2013).

Kepercayaan menjadi fondasi untuk mencapai tujuan sosial,

sebab seperti pelumas yang dapat memuluskan kerja sistem sosial dan

menciptakan sebuah efisiensi, serta menghadapi berbagai kendala

yang mendistorsi (Fukuyama, 2002: 36-37). Demikian pula, Rafael La

Porta dkk (dalam Dasgupta dan Serageldin, 2000: 311) menyatakan

bahwa kepercayaan adalah entitas yang urgen dan esensial dalam

suatu kerja sama. Kepercayaan yang tinggi akan memanifestasikan

kerja sama yang tinggi pula.

2) Nilai dan Norma

Nilai dan norma, sebab keduanya merupakan pranata sosial yang

memiliki legitimasi sebagai sebuah acuan dalam bertindak. Norma

sangat dipengaruhi oleh adanya nilai atau pandangan tentang baik dan

buruk seperti yang disampaikan Coleman “specifiy what actions are

regarded by a set of person as proper or correct, or improper or

incorrect.” Berdasarkan itu, norma kemudian diekspresikan dalam

bahasa formal atau informal sebagai sebuah kebijakan atau

kesepakatan, sehingga semua orang yang terikat dengan norma sadar

sekaligus melaksanakan tatanan norma (dalam Lubis).

Nilai dan norma hadir melalui proses sosial maupun kultural.

nilai dan norma juga memiliki peran sebagai pedoman dalam

berperilaku, baik yang sifatnya individual maupun kolektif. Oleh

29

karena itu nilai dan norma sosial sesungguhnya merupakan aset sosial

yang penting bagi masyarakat, tanpa terkecuali bagi keberadaan

Wisata Erupsi Merapi. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa

nilai dan norma menjadi patokan dalam bersikap di kehidupan sehari-

hari, sehingga praktik nilai dan norma juga dapat mempengaruhi

praktik dalam pengelolaan wisata pascabencana di

Umbulharjo.Tinggal kemudian melihat nilai dan norma yang seperti

apa yang berperan dalam mendukung pengelolaan Wisata Erupsi

Merapi di Umbulharjo.

3) Jaringan

Jaringan dilihat sebagai hubungan antar individu atau kelompok yang

memiliki makna subyektif serta berhubungan dengan simpul dan

ikatan. Simpul dilihat melalui aktor dalam jaringan, sedangkan ikatan

adalah hubungan antaraktor (dalam Damsar dan Indriyani, 2013:

158). Pola jaringan sosial dapat berbentuk pertemanan, bisnis, atau

perkawinan (Newman, 2003: 174). Menurut Hasbullah (Hasbullah,

2006: 10), jaringan yang terbentuk melalui hubungan relasional

memiliki kapasitas atau dampak positif bagi kemajuan serta

pembangunan masyarakat. Manfaat positifnya bukan hanya sebagai

perekat sosial antar aktor yang terikat di dalamnya melainkan menurut

Powel dan Smith juga mampu memberikan kemudahan akses modal

maupun informasi (Damsar dan Indrayani, 2013: 173). Oleh karena

itu, jaringan menjadi salah satu aset atau investasi yang dapat

30

dimanfaatkan untuk kegiatan produktif. Merujuk pada pemanfaatan

dan pengelolaan wisata bencana di Umbulharjo memungkinkan

adanya jalinan antarindividu maupun kelompok lain secara produktif.

c. Tipe Modal Sosial

Penentuan tipe modal sosial bergantung pada konteks masyarakat yang

menjadi kajian. Secara umum Putnam (dalam Field, 2010: 52) membagi

modal sosial menjadi dua tipe yaitu modal sosial yang mengikat

(bonding social capital) dan modal sosial yang menjembatani (bridging

social capital). Tipe bonding berada pada ranah yang sifatnya eksklusif

seperti rukun warga dan teman akrab, sehingga homogenitas begitu

kentara. Karena cenderung eksklusif maka pola hubungannya lebih

berorientasi ke dalam (inward looking), sehingga perluasan jaringan

yang produktif sulit tercipta (dalam Hasbullah, 2006:28). Namun, modal

sosial bonding mampu menopang resiprositas spesifik, mobilisasi

solidaritas, dan menjadi perekat sosial.

Bridging social capital adalah tipe modal sosial yang

menyatukan orang dari ranah sosial yang beragam. Modal sosial ini

terbentuk dalam kelompok yang memiliki pandangan terbuka (outward

looking) dan mandiri. Kemandirian juga tumbuh dari relasi atau jaringan

sebagai hasil dari interaksi dengan banyak pihak di luar kelompok

(Hasbullah, 2006:30). Oleh karena itu jaringan produktif yang terbentuk

dapat semakin meluas. Bridging social capital mampu menghubungkan

31

aset eksternal, persebaran informasi, membangun identitas, dan

hubungan timbal balik yang lebih luas (Field, 2010: 52).

1.7 Kerangka Pikir

Erupsi Merapi tahun 2010 telah meluluh lantahkan sebagian wilayah

Cangkringan, terutama Umbulharjo. Bencana erupsi berdampak pada

rusaknya sendi-sendi sosial ekonomi masyarakat. Dengan demikian, erupsi

telah menimbulkan krisis bagi masyarakat Umbulharjo terutama warga yang

mengalami dampak langsung seperti kehilangan sanak saudara, rumah dan

harta benda lainnya, serta sumber penghidupan. Masyarakat korban erupsi

terpaksa menganggur, tidak memiliki sumber kehidupan, terancam miskin,

serta tidak ada kejelasan mengenai nasib atau kehidupan mereka selanjutnya.

Tidak hanya menimbulkan krisis sosial ekonomi, bencana erupsi juga

menimbulkan dampak yang ambivalen. Bencana erupsi justru menarik animo

masyarakat luar untuk datang melihat kondisi pascaerupsi di Umbulharjo

sehingga mendatangkan potensi secara finansial. Namun, banyaknya animo

kunjungan justru memberikan dampak laten. Respon pragmatis dari

sekelompok warga lokal dengan menarik uang sukarela telah memunculkan

kontravensi/ketegangan internal, sebab hanya sebagian orang yang menikmati

hasilnya. Selain itu, animo masyarakat juga menarik pedagang dari luar

Umbulharjo untuk membuka usaha di kawasan destinasi kunjungan.

Banyaknya pedagang luar memunculkan kekhawatiran karena dapat

merampas peluang warga lokal untuk memperoleh pendapatan.

32

Atraksi bencana yang menarik animo kunjungan (faktor eksternal) dan

krisis pascaerupsi (faktor internal) kemudian direspon oleh tokoh lokal.

Tokoh lokal sebagai inisiator berperan dalam menginisiasi pemanfaatan

peluang atraksi wisata dan animo pengunjung sehingga hal itu menjadi cara

atau strategi untuk keluar dari krisis pascaerupsi. Secara konkrit, upaya itu

dilihat dari pembentukan lembaga kewirausahaan sosial komunitas yang

menjadi wadah bagi masyarakat untuk melakukan upaya-upaya keluar dari

krisis. Upaya-upaya itu terutama dalam proses perintisan dan pengelolaan

usaha komunitas maupun intensifikasi pengembangannya dengan melibatkan

kapasitas masyarakat lokal selaku korban bencana erupsi. Aktivitas tersebut

menjadi jalan bagi masyarakat untuk keluar dari krisis.

Di samping hal di atas, perlu diingat kembali bahwa pemanfaatan

wisata erupsi melibatkan masyarakat lokal yang menjadi korban bencana

sehingga relasi-relasi produktif diperlukan. Relasi produktif tersebut terutama

dilihat pada proses pembentukan lembaga kewirausahaan sosial, aktualisasi

pemanfaatan wisata melalui perintisan usaha kolektif, dan intensifikasi

pengembangannya juga pelu dilihat. Relasi produktif sering diasosiasikan

dengan modal sosial. Beberapa kasus memperlihatkan bahwa modal sosial

dapat berpengaruh pada peningkatan produktivitas secara terarah (Grootaert

dan Bastelaer. 2002: 5). Merujuk pada konteks pascaerupsi maka peran modal

sosial adalah poin yang juga perlu diperhitungkan. Apalagi masyarakat

Umbulharjo merupakan merupakan kelompok sosial gemeinschaft yang

terikat dalam nilai kolektivitas.

33

Respon insiator terhadap krisis sosial ekonomi yang terjadi pascaerupsi

melibatkan masyarakat secara kolektif dalam mekanisme kewirausahaan

sosial dan didukung dengan modal sosial bertujuan untuk memberikan efek

pada pengentasan masyarakat korban bencana dari krisis. Untuk memperjelas

kerangka konseptual di atas maka dibuatlah gambar sebagai berikut.

Gambar 1.3

Kerangka Pikir

Sumber: pemikiran peneliti, 2015.

Bencana Erupsi 2010

Modal Sosial

Krisis sosial ekonomi

Atraksi Wisata Erupsi

Animo kunjungan masyarakat luar Cangkringan

Respon Insiator (Social entrepreneur)

Pembentukan lembaga kewirausahaan sosial

Perintisan Usaha Secara Kolektif

Intensifikasi Kewirausahaan

Keluar dari krisis pascaerupsi

ketegangan antarwarga karena penarikan sumbangan kepada pengunjung

merebaknya pedangang dari luar

34

1.8 Metode Penelitian

1.8.1 Lokasi Penelitian

Lokus penelitian adalah Wisata Erupsi Merapi (Merapi Volcano Tour) di

Umbulharjo. Wisata Erupsi Merapi muncul secara darurat yang

menawarkan atraksi dan panorama pascaerupsi Merapi tahun 2010. Wisata

Erupsi Merapi melibatkan peran serta masyarakat lokal yang notabene

korban dari bencana erupsi dan menjadi sarana untuk mengentaskan

masyarakat dari krisis.

1.8.2 Waktu Penelitian

Proses penyusunan laporan penelitian dilakukan selama beberapa bulan

mulai awal sampai dengan akhir. Pada bulan Agustus penulis mulai

menyusun proposal. Kendati demikian, pada proses tersebut penulis juga

mulai melakukan observasi awal di lokasi penelitian. Penelitian atau

pengumpulan data secara intens dilaksanakan pada bulan November

sampai Desember 2014.

1.8.3 Metode

Berkaitan dengan topik yang diangkat maka bentuk penelitian yang

digunakan adalah metode etnografi. Penelitian etnografi berusaha untuk

mendapatkan data secara holistik terkait dengan sejarah, budaya (di

dalamnya memuat nilai-nilai lokal), program pada suatu

komunitas/kelompok masyarakat (Fetterman, 2010: 11). Etnografi berakar

dari semangat eksplorasi terhadap suatu setting penelitian dan lekat dengan

metode observasi partisipatoris (Atkinson, 2007: 5). Dengan demikian,

35

metode etnografi digunakan untuk menggali secara holistik mengenai

inisiasi terhadap masyarakat Umbulharjo Cangkringan dalam upaya keluar

dari krisis melalui pemanfaatan wisata erupsi, yang komudian fokus pada

proses pemanfaatan wisata.

1.8.4 Penentuan Unit Penelitian

Penentuan unit penelitian menggunakan teknik snowball yaitu teknik

pengambilan informan yang awalnya bersumber pada satu orang dan lama-

lama jumlahnya menjadi besar dan luas. Hal itu dilakukan untuk

mendapatkan data yang lebih banyak dan akurat (dalam Sugiyono, 2009:

219). Awalnya peneliti menentukan informan awal yang akan menjadi

narasumber kunci yaitu perintis wisata Volcano Tour bernama Nartukiyo.

Informan awal merupakan orang yang memang benar-benar memiliki

informasi lengkap terkait wisata dan usaha pengembangannya. Informan

pertama menjadi acuan untuk memperoleh informan selanjutnya yang

layak untuk diwawancarai dan seterusnya.

1.8.5 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan 3 teknik dalam

mengumpulkan data, antara lain sebagai berikut.

a. Observasi Partisipan

Observasi dilakukan secara partisipan yaitu dengan ikut dalam aktivitas

yang dilakukan oleh komunitas atau subyek penelitian. Observasi

partisipan bukan berarti melakukan apa yang dilakukan oleh subyek

penelitian, melainkan hanya berinteraksi sementara subyek melakukan

36

kegiatan (Delamont dalam Seale, dkk, 2010: 206). Oleh karena itu,

observasi partisipan merupakan sarana membangun hubungan dengan

subyek yang diteliti, sehingga gambaran sosial kultural dan praktik

sosial bisa diperoleh (Salim, 2001: 158-159). Oleh karena itu, peneliti

melakukan pengamatan partisipastif terhadap subyek penelitian dalam

aktivitas pengelolaan Wisata Erupsi Merapi dan kehidupan sehari-hari.

Pada tahap awal peneliti melakukan observasi dengan menjadi

wisatawan selama beberapa kali untuk melihat kondisi wisata dan

aktivitas wisata yang dilakukan masyarakat Umbulharjo Cangkringan.

Pada pengamatan ini, peneliti melihat berbagai banyak komunitas

tumbuh di kawasan Wisata Erupsi Merapi. Dari pengamatan tersebut

peneliti terdorong untuk mengkaji pihak yang sesungguhnya memiliki

otoritas sebagai pengelola wisata erupsi Merapi, serta bagaimana

komunitas-komunitas usaha wisata begitu menjamur di kawasan wisata

tersebut.

Peneliti pun terlibat dalam kegiatan pemungutan retribusi baik

di pintu 1 maupun 2 kawasan wisata Volcano Tour yang dilakukan Tim

Lapangan Kelompok 3. Namun, dalam proses ini peneliti hanya

berusaha mengamati dan mewawancari. Pada awalnya, peneliti

menemui kendala ketika melakukan pendekatan. Ketua kelompok (Mas

Mesiam) cenderung menghindar ketika diajak berbincang dan menjaga

jarak. Oleh karena itu peneliti mencoba membangun interaksi secara

lebih bersahabat dengan membicarakan topik yang lebih ringan.

37

Akhirnya kemudian, peneliti diterima hangat oleh kelompok 3 dan

diizinkan untuk terlibat dalam kegiatan pengelolaan wisata (menjaga

pos tiket dan parkir).

Peneliti mengamati bagaimana tim lapangan menghitung hasil

uang yang diperoleh pada hari itu dengan mencocokkan jumlah

lembaran tiket yang terjual, kemudian menyetorkannya kepada ketua

kelompok (Mas Mesiam). Pada proses itu peneliti mengamati sembari

berbincang banyak hal dengan anggota kelompok. Dari observasi ini,

peneliti kemudian mengetahui bagaimana mekanisme kerja tim

lapangan, alur uang hasil penjualan tiket dan parkir, dan mekanisme

pelibatan mereka dalam tim lapangan. Bahkan peneliti sering

mendengarkan keluh kesah dan derita mereka sebagai korban bencana.

Selain itu peneliti juga sempat tinggal beberapa hari di Hunian

Tetap Karangkendal Umbulharjo yaitu hunian relokasi yang ditempati

warga padukuhan Pelemsari pascabencana. Peneliti tinggal di rumah

Simbah Sudi, yang kebetulan rumahnya tidak ditempati karena beliau

memilih tinggal di rumah aslinya yaitu di kawasan dusun Pelemsari

(kawasan obyek wisata erupsi Merapi). Pada awalnya peneliti agak

canggung berinteraksi dengan warga Huntap, tetapi ternyata mereka

begitu ramah dan sopan. Peneliti berkunjung ke beberapa rumah

tetangga untuk membangun hubungan yang lebih dekat. Pada interaksi

tersebut peneliti memperoleh gambaran mengenai kehidupan

masyarakat Pelemsari pascaerupsi tahun 2010. Bahkan peneliti banyak

38

mendengarkan mengenai proses masyarakat padukuhan Pelemsari

ketika mengungsi secara berpindah-pindah karena situasi diselimuti

dengan kepanikan saat itu. Peneliti pun memperoleh penjelasan

mengenai aktivitas warga saat di pengungsian, sampai pada usaha

keluar dari kondisi krisis sosial ekonomi melalui pembentukan

Paguyuban Kinahrejo, serta upaya relokasi mandiri ke Huntap

Karangkendal. Melalui perbincangan dengan warga tersebut peneliti

memperoleh gambaran mengenai ikatan kuat (bonding) yang terjalin di

antara warga Pelemsari, terutama juga karena dipengaruhi oleh rasa

senasib sebagai korban erupsi Merapi.

b. Wawancara

Wawancara dilakukan secara terbuka dan mendalam. Pada proses

wawancara, juga diperlukan upaya mengembangkan hubungan yang

lebih dekat dengan informan (Heyl dalam Atkinson, 2007: 370). Oleh

karena itu, peneliti mencoba untuk mendengarkan secara antusias serta

membangun relasi secara lebih cair dengan informan. Wawancara

mengarah pada kondisi kehidupan masyarakat pascaerupsi tahun 2010,

kronologis munculnya banyak pengunjung ke kawasan Umbulharjo,

respon awal yang dilakukan masyarakat sekitar terhadap banyaknya

pengunjung, serta inisiasi pemanfaatan peluang atraksi bencana sebagai

sarana untuk keluar dari krisis pascaerupsi melalui agenda wisata.

Pertama peneliti mewawancarai Bapak Nartukiyo yang ternyata

merupakan salah satu informan kunci yang mampu membuka

39

informasi terkait wisata pascaerupsi tahun 2010 di Umbulharjo

Cangkringan. Pertemuan peneliti dengan Bapak Nartukiyo terjadi

secara tidak sengaja di Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten

Sleman. Pada proses itu peneliti mencoba mencari sekilas info terkait

Wisata Erupsi di Umbulharjo Cangkringan. Akhirnya peneliti

dianjurkan untuk bertemu dengan Bapak Nartukiyo, yang ternyata

inisiator dari wisata erupsi tersebut. Informan pertama membuka jalan

untuk bertemu dengan informan-informan selanjutnya. Ada 8 orang

yang menjadi subyek inti wawancara yaitu Nartukiyo, Subagio Hadi,

Bejo Mulyo, Sriyono, Ramijo, Margo Utomo, Mesiam, Eko Susilo, dan

Badiman dengan profil sebagai berikut.

1) Nartukiyo

Salah satu pendiri Wisata Erupsi Merapi 2006 (Lava Tour) dan 2010

(Volcano Tour), yang bertempat tinggal di Dusun Karanggeneng

Umbulharjo. Ia juga merupakan tokoh masyarakat Umbulharjo

karena keterlibatannya pada organisasi dan lembaga tingkat Desa

maupun Kecamatan antara lain: Ketua Karang Taruna Merapi

Umbulharjo (2005-2013), Ketua Badan Permusyawaran Desa (BPD)

Umbulharjo, Sekretaris Tim Volcano Tour (2010-sekarang),

Pendamping Difable Kecamatan Cangkringan, dan Penggerak

Sanggar Anak Mutiara Abadi Dusun Karanggeneng. Ia tercatat

sebagai PNS Dinas Pariwisata Kabupaten Sleman pada tahun 2007.

Peneliti memilihnya sebagai informan karena perannya dalam

40

pendirian wisata Lava Tour dan Volcano Tour yang masih memiliki

benang merah, sehingga dapat menjelaskan seluk beluk dan proses

munculnya wisata Volcano Tour. Bahkan ia juga banyak

memberikan data sekunder terkait pengelolaan wisata.

2) Subagio Hadi

Subagio Hadi merupakan Kepala Dukuh Pangukrejo yang juga

menjadi Ketua Tim Koordinator Volcano Tour sejak tahun 2012. Ia

juga merupakan salah satu tokoh masyarakat yang turut rembug

(musyawarah) dalam rencana penataan wisata pascaerupsi tahun

2010. Peneliti memilihnya sebagai informan karena keterlibatannya

dalam kepengurusan Volcano Tour dan perannya sebagai tokoh

masyarakat sehingga mampu memberikan informasi terkait dengan

konteks sosial masyarakat pascaerupsi, seluk beluk, maupun proses

dan mekanisme pengelolaan yang dilakukan Tim Volcano Tour.

3) Mesiam

Ia merupakan salah satu korban dari bencana erupsi Merapi tahun

2010 lalu, yang kehilangan harta benda dan 5 orang kerabatnya.

Pascabencana ia kemudian bergabung dalam Tim Lapangan Volcano

Tour. Pada saat itu statusnya masih sebatas anggota biasa. Namun

pada tahun 2011, ditunjuk sebagai ketua kelompok karena adanya

pemekaran kelompok dari 5 kelompok tim lapangan menjadi 10

kelompok. Keterlibatannya sebagai tim lapangan Volcano Tour dapat

41

memberikan informasi tentang kondisi pascabencana, mekanisme

pembentukan tim lapangan, dan aktivitas tim lapangan.

4) Margo Utomo

Ia merupakan kerabat Mesiam yang bertempat tinggal di Pelemsari.

Ia merupakan salah satu korban yang kehilangan rumah dan harta

benda lainnya seperti ternak serta lahan pertanian. Pascabencana ia

bergabung dalam Tim Lapangan Volcano Tour (satu tim dengan

Mesiam). Di samping itu dia merupakan ketua RT Pelemsari dan

menjadi salah satu pengurus Paguyuban Kinahrejo dengan jabatan

sebagai bendahara. Keterlibatannya dalam tim lapangan Volcano

Tour sejak awal mampu memberikan informasi tentang deskripsi

kerja dan mekanisme rekruitmen tim lapangan. Di samping itu ia

juga banyak memberikan informasi tentang kondisi dan aktivitas

masyarakat pascaerupsi. Bahkan ia juga memberikan informasi

tentang Paguyuban Kinahrejo sampai pada upaya relokasi mandiri

yang dilakukan warga Pelemsari dan Ngrangkah 2.

5) Bejo Mulyo

Ia merupakan Kepala Desa Umbulharjo, yang bertempat tinggal di

dusun Balong Umbulharjo. Ia juga menjadi ketua paguyuban pondok

wisata Kalikuning Kaliadem. Pada tahun 2011-2012 sempat

menjabat sebagai Ketua Tim Volcano Tour sampai akhirnya

digantikan oleh Bapak Subagio Hadi. Peneliti menjadikannya

sebagai informan karena perannya sebagai Kepala Desa dan Ketua

42

Tim Volcano Tour, sehingga peneliti merasa perlu untuk

mendapatkan informasi tentang konteks wisata sebelum maupun

pasca 2006 serta pembangunan wisata erupsi 2010 dari sudut

pandang pemerintah Desa yang waktu itu diberi wewenang langsung

oleh Pemda untuk membuat Surat Keputusan dan peraturan tentang

pengelolaan wisata di Umbulharjo Cangkringan.

6) Sriyono

Ia merupakan tokoh pemerintah Desa Umbulharjo dan menjabat

sebagai Kaur Pemerintahan sejak tahun 2006, yang bertempat tinggal

di dusun Balong Umbulharjo. Ia pernah bergabung dalam Karang

Taruna Merapi Umbulharjo, dan menjadi salah satu perintis wisata

Lava Tour bersama Bapak Nartukiyo. Ia juga menjadi salah satu

tokoh yang mempengaruhi terbentuknya Tim Wisata Volcano Tour,

dan menjabat sebagai bendahara. Peranannya dalam perencanaan dan

perintisan wisata Volcano Tour dan Lava Tour mampu memberikan

informasi terkait benang merah dua wisata tersebut sekaligus seluk

beluk dan proses penetapan wisata Volcano Tour. Kemudian upaya

pengelolaan wisata yang dilakukan oleh Tim Volcano Tour.

7) Badiman

Ia merupakan PNS dan salah satu tokoh Pelemsari yang berpengaruh

dalam pembentukan Paguyuban Kinahrejo. Ia menjabat sebagai

ketua dalam lembaga paguyuban sampai sekarang. Ia pun juga

merupakan salah satu korban erupsi Merapi yang menderita kerugian

43

materiil. Berdasar pada perannya dalam pembentukan Paguyuban

Kinahrejo maka peneliti memilihnya sebagai informan karena

mampu memberikan informasi terkait kondisi masyarakat

pascabencana sekaligus seluk beluk dan proses pembentukan

Paguyuban Kinahrejo sebagai salah satu bentuk kewirausahaan sosial

pascaerupsi.

8) Eko Susilo

Ia merupakan salah satu tokoh masyarakat Pelemasari yang juga

berpengaruh pada pembentukan Paguyuban Kinahrejo dan menjabat

sebagai sekretaris sampai sekarang. Ia pun merupakan salah satu

korban erupsi Merapi yang menderita kerugian materiil. Sehari-hari

ia bekerja di kantor Kementrian Kehutanan divisi Taman Nasional

Gunung Merapi (TNGM). Berdasarkan itu peneliti memperoleh

informasi terkait kondisi masyarakat pascabencana sekaligus seluk

beluk dan proses pembentukan Paguyuban Kinahrejo sebagai suatu

bentuk solusi untuk keluar dari krisis. Selain itu mampu memberikan

dokumen sekunder terkait Paguyuban Kinahrejo.

9) Ramijo

Ia merupakan tokoh masyarakat Pelemsari yang menjabat sebagai

kepala dukuh. Selain itu, ia juga menjadi salah satu pengurus inti

Tim Volcano Tour sebagai Humas. Oleh karena itu ia dapat menjadi

informan dan mampu memberikan informasi terkait konteks sosial

44

masyarakat baik sebelum maupun pascabencana dan wisata di

Umbulharjo.

Wawancara dengan informan tidak hanya berlangsung sekali,

namun berlangsung sebanyak dua sampai empat kali tatap muka. Hal

itu terjadi karena pada wawancara pertama peneliti mengalami kesulitan

untuk membangun komunikasi dua arah secara luwes dengan informan.

Selain itu, waktu yang dimiliki informan untuk wawancara terbatas

sehingga informasi terkait dengan alur dan proses tumbuhnya wisata

pascaerupsi tahun 2010 masih minim. Oleh karena itu peneliti mencoba

menghubungi kembali beberapa informan untuk melakukan wawancara

lanjutan. Untungnya, para informan tersebut bersedia meluangkan

waktu untuk diwawancarai kembali.

c. Dokumentasi

Dokumentasi yaitu pengambilan data-data berupa dokumen-dokumen

yang berkaitan dengan aktivitas masyarakat atau informan yang hendak

diteliti (dalam Usman dan Akbar, 2004: 73). Dokumen-dokumen

tersebut melengkapi data penelitian. Dokumen dapat berupa foto,

rekaman audio, atau pun catatan-catatan yang diperoleh saat peneliti

melakukan observasi maupun wawancara. Di samping itu, peneliti juga

memperoleh salinan dokumen tertulis (data sekunder) yang dimiliki

oleh informan yaitu Nartukiyo dan Eko Susilo terkait laporan kegiatan

maupun administrasi Tim Volcano Tour dan Paguyuban Kinahrejo.

45

1.8.6 Teknik Analisis Data

Analisis dilakukan setelah data observasi atau catatan lapangan

dikumpulkan dan rekaman wawancara ditranskrip. Untuk menganalis data,

peneliti menggunakan metode analisis naratif. Narasi merupakan data yang

mengacu pada teks (lisan maupun tulisan) dan praktik dalam kehidupan

sosial (dalam Newman, 2013: 578). Pada dasarnya narasi menurut Labov

meliputi 6 bagian yaitu abstrak, orientasi, komplikasi, evaluasi, resolusi,

dan koda10

yang secara keseluruhan terangkai secara koheren dan

terkoneksi. Narasi juga memiliki beberapa karakteristik yaitu mengisahkan

cerita/peristiwa, memiliki gerakan/proses, memiliki keterkaitan dalam

konteks yang kompleks, menyangkut individu atau kelompok yang

terlibat dalam tindakan, koheren, dan memiliki urutan peristiwa secara

temporal (dalam Neuman, 2013: 579)

Analisis narasi fokus pada identifikasi atau pemetaan berbagai

peristiwa dan hubungan antara peristiwa tersebut. Oleh karena itu, narasi

atau data yang dikumpulkan dipetakan berdasarkan rangkain kejadian

secara kronologis. Rangkaian kejadian itu merupakan suatu gerakan atau

proses yang juga melibatkan subyek-subyek di dalamnya (orang atau

kelompok). Pada tahap ini peneliti menggunakan teknik path depencency

(lintasan ketergantungan) yaitu menyusun rangkaian peristiwa yang saling

terhubung atau saling mempengaruhi. Artinya peneliti mencoba

mengindetifikasi bagian-bagian peristiwa penting pascaerupsi Merapi

10

Martin Cortazi “Narrative Analysis in Ethnography” dalam Paul Atkinson, dkk. 2007.

Handbook of Ethnography London: SAGE Publications. Hal 391.

46

tahun 2010 yang ditandai dengan masa krisis, fenomena kunjungan yang

menimbulkan krisis laten, insiatif bangkit secara kolektif, perintisan

kewirausahaan sosial sebagai wadah masyarakat lokal selaku korban

bencana, dan pemrakarsaan misi kewirausahaan sosial sebagai bentuk

strategi masyarakat keluar dari krisis.

Kedua, mencari linkage action yaitu mengindentifikasi cara subyek

terlibat dalam tindakan untuk mengubah suatu situasi atau kondisi menjadi

situasi atau kondisi lain. Artinya pada setiap peristiwa atau proses

melibatkan suatu cara bertindak dalam upaya mengubah situasi atau

kondisi. Proses ini dilakukan dengan menentukan dan menjelaskan

tindakan yang dilakukan oleh insiator yang memprakarsai upaya

pemanfaatan wisata sebagai sarana keluar dari krisis dan respon serta

keikutsertaan masyarakat lainnya dalam upaya tersebut.

Proses pemetaan narasi merupakan mode dari analisis data atau

penjelasan (dalam Newman, 2013: 580). Oleh karena itu pada saat

memetakan action linkage serta urutan peristiwa dalam konteks kehidupan

masyarakat Umbulharjo Cangkringan pascaerupsi tahun 2010 dan upaya

bangkit melalui pemanfaatan daya peneliti turut membedah atau

mengalisisnya dengan teori yaitu social entrepreneurship (kewirausahaan

sosial) dan modal sosial.