36
1 BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul 1. Aktualitas Penyandang disabilitas intelektual merupakan sebutan untuk individu yang menyandang keterbelakangan mental atau memiliki kemampuan intelektual dibawah rata-rata teman seusianya (Suwarno, 1992: 84). Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan atau sering disebut tunagrahita selama ini dalam masyarakat luas masih dianggap sampah yang akan menjadi beban keluarga dan masyarakat. Penyandang disabilitas intelektual (PDI) dipandang sebagai anak yang tidak berguna seperti anak-anak normal pada umumnya. Diskriminasi terhadap Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan ini menjadi masalah yang cukup penting, perlu adanya perubahan pola pikir masyarakat dan keluarga penyandang disabilitas intelektual dalam membina para penyandang disabilitas intelektual. Penyandang disabilitas intelektual dapat dikelompokan menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok penyandang disabilitas intelektual ringan, sedang, dan berat. Pada penelitian ini, penulis memilih objek penelitian adalah Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan (PDI), karena kelompok tersebut tampil tidak berbeda jauh dengan anak pada umunya (Nuraeni, 1997: 106). Hal inilah yang menarik penulis untuk melakukan penelitian upaya pemberdayaan keluarga dalam pengembangan kemandirian Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan. Alasan yang melatar belakangi penulis untuk melakukan penelitian dengan judul upaya pemberdayaan rumah tangga dalam pengembangan kemandirian

BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul 1. Aktualitasetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76461/potongan/S1-2014... · Tuna Grahita di Sekolah Tuna Grahita (SLB-C) ... (caring

  • Upload
    lamnhu

  • View
    251

  • Download
    6

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Alasan Pemilihan Judul

1. Aktualitas

Penyandang disabilitas intelektual merupakan sebutan untuk individu yang

menyandang keterbelakangan mental atau memiliki kemampuan intelektual

dibawah rata-rata teman seusianya (Suwarno, 1992: 84). Penyandang Disabilitas

Intelektual Ringan atau sering disebut tunagrahita selama ini dalam masyarakat

luas masih dianggap sampah yang akan menjadi beban keluarga dan masyarakat.

Penyandang disabilitas intelektual (PDI) dipandang sebagai anak yang tidak

berguna seperti anak-anak normal pada umumnya. Diskriminasi terhadap

Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan ini menjadi masalah yang cukup

penting, perlu adanya perubahan pola pikir masyarakat dan keluarga penyandang

disabilitas intelektual dalam membina para penyandang disabilitas intelektual.

Penyandang disabilitas intelektual dapat dikelompokan menjadi 3 kelompok,

yaitu kelompok penyandang disabilitas intelektual ringan, sedang, dan berat.

Pada penelitian ini, penulis memilih objek penelitian adalah Penyandang

Disabilitas Intelektual Ringan (PDI), karena kelompok tersebut tampil tidak

berbeda jauh dengan anak pada umunya (Nuraeni, 1997: 106). Hal inilah yang

menarik penulis untuk melakukan penelitian upaya pemberdayaan keluarga dalam

pengembangan kemandirian Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan.

Alasan yang melatar belakangi penulis untuk melakukan penelitian dengan

judul upaya pemberdayaan rumah tangga dalam pengembangan kemandirian

2

Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan di Temanggung adalah bahwa Balai

Besar Rehabilitasi Sosial Bina Grahita “Kartini” Temanggung merupakan balai

besar rehabilitasi tunagrahita atau Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan di

bawah Kementerian Sosial RI yang bertempat di Kabupaten Temanggung. Banyak

Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan dari berbagai wilayah Indonesia

menjalani rehabilitasi di BBRSBG Kartini. Untuk di Kabupaten Temanggung

sendiri hanya beberapa Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan yang

menjalani rehabilitasi di BBRSBG Kartini. Tentunya hal tersebut sangat

disayangkan sekali mengingat lokasi rehabilitasi berada di wilayah Kabupaten

Temanggung. Hal tersebut dapat terlihat dalam tabel berikut ini:

Tabel 1.1 Rekapitulasi Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial

Kabupaten Temanggung Tahun 2008-2011

Tahun

Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan

Anak Dewasa

2008 376 499

2009 332 209

2010 332 609

2011 337 607

Sumber: Buku Rekapitulasi Data PMKS dan PSKS Kabupaten Temanggung

Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa jumlah Penyandang Disabilitas

Intelektual Ringan yang cukup banyak, sementara daya tampung BBRSBG

Kartini tidak mencukupi. Untuk penjangkauan rehabilitasi penyandaPenyandang

Disabilitas Intelektual Ringan maka BBRSBG memberikan program pelayanan

dan rehabilitasi sosial berbasis keluarga atau disingkat PRSBK. Pelayanan

3

rehabilitasi sosial berbasis keluarga (PRSBK) ini diupayakan untuk

memberdayakan keluarga, Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan, serta

masyarakat dalam pengembangan kemampuan Penyandang Disabilitas

Intelektual Ringan. Adapun jumlah peserta program PRSBK di Kabupaten

Temanggung dapat dilihat dalam tabel berikut ini:

Tabel 1.2 Jumlah Peserta Program PRSBK Kabupaten Temanggung

Tahun 2008-2011

Tahun Jumlah

2008 4

2009 6

2010 30

2011 40

Sumber: Data Program PRSBK Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Grahita

Kartini Temanggung

Permasalahan mengenai Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan

merupakan permasalahan yang cukup aktual. Penyandang Disabilitas Intelektual

Ringan identik dengan tinggal di panti-panti rehabilitasi sehingga terkesan adanya

diskriminasi terhadap mereka. Keberadaan Penyandang Disabilitas Intelektual

Ringan cukup memprihatinkan dengan adanya anggapan mereka menjadi beban

keluarga dan masyarakat. Dalam majalah Jemari edisi 113/Tahun XI/Juni 2010

halaman 48-49 yang dibaca oleh peneliti, Ketua Umum Dewan Nasional

Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial (DNIKS) Prof Dr Haryono Suyono

mengatakan bahwa dengan hidup di panti-panti berarti yang mendapat

penanganan hanya terbatas pada Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan dan

4

keluarga saja berbeda bila mereka hidup di masyarakat. Selain itu Ketua Umum

DNIKS juga mengungkapkan bahwa akan mencoba membuat panti-panti tanpa

dinding yaitu dengan mengajak pengelola panti untuk turun ke pedesaan melalui

Pos-Pos Pemberdayaan Keluarga (Posdaya), Posdaya inilah yang akan menjadi

tempat untuk menangani anak-anak Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan

memperoleh keterampilan untuk menjadi bekal ketika terjun ke masyarakat.

Dari model pemberdayaan yang dikemukakan oleh Ketua Umum DNIKS

tersebut, penulis memfokuskan pada program pelayanan dan rehabilitasi sosial

berbasis keluarga yang ada di Kabupaten Temanggung. Dalam rangka

memberikan kesempatan yang lebih luas kepada Penyandang Disabilitas

Intelektual Ringan untuk memperoleh pelayanan sosial, salah satu strategi Balai

Besar Rehabilitasi Sosial Bina Grahita Kartini Temanggung adalah memperluas

jangkauan pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi Penyandang Disabilitas

Intelektual Ringan dalam masyarakat. Strategi ini diimplementasikan melalui

penyelenggaraan program pelayanan dan rehabilitasi sosial berbasis keluarga.

Berdasarkan observasi penulis di wilayah Kabupaten Temanggung dapat

diketahui bahwa Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan mendapatkan

program pelayanan dan rehabilitasi sosial berbasis keluarga (PRSBK). Orang tua

dan Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan tersebut diberikan program

pelayanan untuk meningkatkan kemampuan anak dan orang tuanya baik dari segi

ekonomi ataupun dari sosialnya. Dalam pelaksanaan program tersebut maka anak

dan orang tua diberikan pelayanan program secara rutin dan akan terus dipantau

perkembangannya oleh fasilitator program. Perkembangan anak dan orang tua

5

akan dicatat dan dilaporkan hasilnya untuk mengetahui perkembangan dan

evaluasi terhadap program tersebut.

Penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Upaya

Pemberdayaan Rumah Tangga dalam Pengembangan Kemandirian Penyandang

Disabilitas Intelektual Ringan (Studi pada Rumah Tangga Penyandang

Disabilitas Intelektual Ringan Program PRSBK Binaan BBRSBG Kabupaten

Temanggung)” dikarenakan program tersebut sangat menarik sekali untuk diteliti

dimana program tersebut sangat bermanfaat bagi pemberdayaan Penyandang

Disabilitas Intelektual Ringan yang tidak mendapatkan fasilitas untuk dibina di

panti rehabilitasi sosial dikarenakan beberapa faktor. Penyandang Disabilitas

Intelektual Ringan tersebut diasuh oleh orang tuanya sendiri disebabkan

kemungkinan kekhawatiran orang tua apabila anak diasuh oleh pihak lain, orang

tua ingin lebih dekat dengan anaknya, faktor lokasi rehabilitasi yang jauh dari

lokasi sehingga akan mempersulit pertemuan orang tua dengan anak. Oleh karena

itu program pemberdayaan Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan berbasis

rumah tangga tersebut penting untuk diteliti untuk mengetahui sejauh mana

pelaksanaan program tersebut dijalankan dan faktor pendukung dan penghambat

apa saja yang ada selama program tersebut dilaksanakan.

2. Orisinalitas

Terkait dengan orisinalitas, sudah ada beberapa penelitian yang dilakukan

mengenai Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan, namun berdasarkan

penelusuran yang telah penulis lakukan, tidak ditemui adanya penelitian dengan

judul “Upaya Pemberdayaan Rumah Tangga dalam Pengembangan Kemandirian

6

Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan (Studi pada Rumah Tangga

Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan Program PRSBK Binaan BBRSBG

“Kartini” Temanggung)”. Dalam hal ini penulis hanya menemukan beberapa

penelitian yang memiliki beberapa aspek yang sama dengan penelitian penulis

tetapi juga sekaligus memiliki beberapa perbedaan. Salah satunya adalah

penelitian tesis Universitas Indonesia yang dilakukan oleh Moch. Zaenal Hakim

dengan judul Pemberdayaan Penyandang Cacat melalui Rehabilitasi

Bersumberdaya Masyarakat: Studi Kasus Pelaksanaan Pemberdayaan terhadap

Lima Orang Penyandang Cacat Melalui Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat

di Kelurahan Dago Kecamatan Coblong Kota Bandung. Persamaan penelitian

tersebut dengan penelitian yang penulis lakukan adalah pada kajiannya yang

membahas tentang proses pemberdayaan Penyandang Disabilitas Intelektual

Ringan. Hanya saja pada penelitian tersebut kajian pemberdayaan Penyandang

Disabilitas Intelektual Ringan yang dilakukan adalah berbasis sumberdaya

masyarakat serta berlaku untuk seluruh Penyandang Disabilitas apapun,

sedangkan yang penulis lakukan lebih fokus pada pemberdayaan berbasis

keluarga dan hanya pada Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan.

Penelitian lain yang pernah dilakukan adalah penelitian oleh Melli

Manuhuruk dan Tuti Atika yang berjudul Metode Pelayanan Sosial terhadap Anak

Tuna Grahita di Sekolah Tuna Grahita (SLB-C) Santa Lusia Medan. Penelitian

tersebut dan penelitian yang akan penulis lakukan sama-sama mengangkat tema

tentang pemberdayaan anak Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan. Hanya

saja pada penelitian tersebut lebih difokuskan pada upaya pemberdayaan melalui

7

pelayanan sosial secara formal yaitu di sekolah, sedangkan yang akan penulis

lakukan adalah pemberdayaan berbasis keluarga sehingga tidak mencakup aspek

pelayanan sosial di sekolah. Selain itu juga terdapat penelitian yang dilakukan

oleh Rina Juwitasari dengan judul Relasi Relawan Sosial dan Penyandang

Disabilitas dalam proses Pemberdayaan Berbasis Exchange Theory (Studi Kasus

Pada Orsos Kasih Sayang Desa Krebet Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo).

Penelitian tersebut dan penelitian yang akan penulis lakukan sama-sama

mengangkat tema tentang pemberdayaan Penyandang Disabilitas Intelektual

Ringan. Hanya saja pada penelitian tersebut lebih difokuskan pada upaya

pemberdayaan berbasis Exchange Theory, sedangkan yang penulis lakukan adalah

pemberdayaan berbasis keluarga sehingga tidak mencakup aspek organisasi

sosial. Berdasarkan uraian beberapa penelitian terdahulu tersebut, dapat dilihat

adanya keaslian dari penelitian yang akan penulis lakukan.

3. Relevansi dengan Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan

Keterkaitan dengan Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan adalah

bahwa ilmu pembangunan sosial dan kesejahteraan merupakan ilmu yang

memperlajari tentang masyarakat dan pembangunan masyarakat. Pembangunan

masyarakat merupakan suatu upaya untuk menciptakan hubungan yang seimbang

antara sumberdaya, antara kebutuhan hidup manusia (needs) dengan sumber-

sumber pemenuhan kebutuhan (resources) yang terdapat di suatu daerah sehingga

tercapainya kesejahteraan penuh baik kesejahteraan fisik, kesejahteraan mental,

maupun kesejahteraan sosial masyarakat.

Ilmu pembangunan sosial dan kesejahteraan memiliki tiga kajian keilmuan

8

di antaranya Social Policy, Community Development, dan Coorporate Social

Responcibility. Seperti yang dikatakan Suharto bahwa dalam pembangunan

kesejahteraan sosial terdapat tiga fokus yakni pelayanan sosial, perlindungan

sosial dan pemberdayaan masyarakat (Suharto, 2006: 19). Pembangunan

kesejahteraan sosial memiliki beberapa misi diantaranya untuk meningkatkan

kualitas hidup masyarakat yang meiliki kemampuan dalam menjangkau dan

memenuhi kebutuhan dasar sesuai harkat martabat kemanusiaan, memperkuat

kepedulian masyarakat dalam pembangunan kesejahteraan sosial sejalan dengan

prinsip masyarakat peduli (caring society) dan kesetiakawanan sosial,

memantapkan dan mengembangkan keberdayaan dan ketahanan sosial masyarakat

melalui sistem perlindungan sosial yang inklusif, partisipatif dan berkeadilan

sosial (Suharto, 2006: 21).

Penelitian mengenai upaya pembedayaan rumah tangga dalam

pengembangan kemandirian Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan/PDI

memiliki relevansi dengan ilmu pembangunan sosial dan kesejahteraan terutama

Community Development. Dalam pembangunan kesejahteraan sosial terdapat

beberapa arahan kebijakan dan salah satunya adalah menyelenggarakan pelayanan

sosial dan rehabilitasi sosial yang merata dan berkualitas, khususnya bagi

kelompok masyarakat yang kurang beruntung (disadavantaged groups) dan

berkebutuhan khusus, seperti orang miskin, orang terlantar, dan orang dengan

kecacatan. Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan masuk di dalam kelompok

orang dengan kecacatan yang membutuhkan pelayanan sosial dan rehabilitasi

sosial. Dalam pencapaian kesejahteraan tersebut ada upaya pemberdayaan sosial

9

melalui penguatan kapasitas (capacity building) para penerima pelayanan sosial

sehingga nantinya mereka memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan

dasarnya, menjangkau pelayanan sosial, serta berpartisipasi dalam kehidupan

masyarakat secara mandiri (Suharto, 2006: 22). Dari dimensi pemberdayaan,

program Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Berbasis Keluarga (PRSBK) memiliki

makna strategis, karena pertama melalui PRSBK memungkinkan keluarga dan

masyarakat berpartisipasi aktif dalam pelayanan yang bukan saja sebagai

penerima manfaat, tetapi juga sebagai pengupaya sekaligus sebagai penilai

capaian-capaian dan keberlanjutannya. Kedua adalah meningkatkan kemampuan

rumah tangga dan masyarakat untuk memecahkan masalah dan memenuhi

kebutuhan Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan dengan menggunakan

sumber-sumber yang ada. Ketiga mengembangkan tanggung jawab sosial dan

stabilitas dalam kehidupan ketetanggaan. Sebagai konsekuensi dari

penyelenggaraan pelayanan dan rehabilitasi sosial berbasis keluarga adalah

keterlibatan secara aktif keluarga, masyarakat, swasta dan instansi terkait.

B. Latar Belakang Masalah

Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan dapat dikatakan merupakan

bagian dari kondisi manusia. Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan termasuk

yang memiliki gangguan jangka panjang secara fisik, mental, intelektual, atau

sensorik yang dalam interaksinya dengan berbagai hambatan dapat menghalangi

partisipasi penuh dan efektif seseorang di dalam masyarakat atas dasar kesetaraan

dengan yang lainnya (ILO, 2013: 12). Disabilitas adalah definisi yang diberikan

10

oleh International Classification of Functioning for Disability and Health, yang

kemudian disepakati oleh World Health Assembly dan digunakan di WHO.

Pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri mendorong ratifikasi UU

Penyandang Cacat menjadi UU Konversi Penyandang Disabilitas pada 18

Oktober 2011.

Disabilitas sering salah dimaknai dan dianggap sebagai pemalu atau

memiliki kepercayaan diri yang kurang. Hal demikian terjadi karena

kesalahpahaman mendasar terhadap disabilitas yang tidak jarang dinilai

mengalami hambatan dari lingkungan seperti kesulitan dalam mengakses fasilitas

umum transportasi atau bangunan (ILO, 2013: 12). Disabilitas menghadapi

kesulitan yang lebih besar dibandingkan masyarakat pada umumnya sebab

memiliki hambatan tersendiri dalam kehidupan sehari-harinya. Disabilitas

seringkali tidak memiliki akses untuk pendidikan yang layak, pelayanan

kesehatan, dan kegiatan perekonomian. Kurangnya akses dalam transportasi,

bangunan, pendidikan, dan pekerjaan merupakan beberapa contoh yang menjadi

penghambat dalam kehidupan sehari-hari para disabilitas (ILO, 2013: 3).

Kebanyakan keluarga besar memiliki anggota keluarga dengan disabilitas, dan

banyak orang non-disabilitas mengambil tanggung jawab untuk mendukung dan

memperhatikan kerabat dan teman mereka yang merupakan disabilitas (ILO,

2013: 12)

Disabilitas intelektual diidentifikasi memiliki tingkat kecerdasan yang

sedimikian rendahnya (di bawah normal) sehingga untuk meniti tugas

perkembangannya memerlukan bantuan dan layanan secara khusus termasuk

11

dalam kebutuhan pendidikan dan bimbingan (Mohammad Effendi, 2005). Selain

itu Johston (dalam Hendrarno dan Supriyo, 1991) menyatakan bahwa Disabilitas

intelektual (tunagrahita) bukan merupakan penyakit dan tidak dapat disembuhkan,

tetapi dapat ditingkatkan kemampuannya dengan pendidikan, pelatihan dan

perlakuan khusus, di antaranya melalui rehabilitasi sosial.

Banyak sekali permasalahan yang membelit disabilitas intelektual seperti

diskriminasi, pelanggaran hak, aksesibilitas, pendidikan, perlindungan sosial dan

kurangnya kesempatan kerja yang menjadikan banyaknya permasalahan

kesejahteraan penyandang cacat termasuk disabilitas intelektual. Dalam konvensi

PBB tentang hak-hak disabilitas intelektual (United Nation Convention on The

Right of Person with Disabilities) bahwa mengubah cara pandang pemerintah dan

masyarakat terhadap hak asasi disabilitas yang harus dilindungi dengan

penegasan penerapan konsep-konsep pokok hak asasi manusia seperti martabat

(dignity), kesetaraan (equality), dan kebebasan menentukan pilihan sesuai keadaan

mereka (freedom to make one’s choices to the situation of people with disability,)

serta mengharuskan pemerintah untuk mengambil tindakan proaktif guna

menyingkirkan kendala sikap dan lingkungan fisik serta mengembangkan

komunikasi yang menghargai disabilitas dalam berpartisipasi dalam masyarakat

Pemerintah Indonesia telah meratifikasi United Nation Convention on the

Rights of Persons with Disabilities (UNCRPD) pada November 2011.

Diskriminasi terhadap disabilitas dilarang oleh banyak undang-undang. Terdapat

dua perundang-undangan pokok mengenai disabilitas di Indonesia, yaitu Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Disabilitas beserta pengaturan

12

implementasinya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 1998 tentang

Upaya untuk Meningkatkan Kesejahteraan Sosial bagi Penyandang Disabilitas

(ILO, 2013: 3).

Upaya pemerintah untuk memberikan perlindungan bagi disabilitas

intelektual adalah melalui pengaturannya dalam regulasi, sebagaimana telah

disebutkan sebelumnya diwujudkan dengan memprioritaskan penyelenggaraan

kesejahteraan sosial bagi disabilitas intelektual agar dapat meningkatkan kualitas

hidup, kelangsungan hidup, serta memulihkan fungsi-fungsi sosial dalam

mencapai kemandirian seperti yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2009. Selain itu, dalam hal ini pemerintah juga menyelenggarakan program

rehabilitasi kesejahteraan sosial untuk meningkatkan pelayanan dasar disabilitas

intelektual sebagai salah satu program prioritas nasional.

Terkait dengan program tersebut, Departemen Sosial melalui Direktorat

Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial dalam hal ini memiliki peran penting

untuk pelaksanaannya. Khususnya yaitu melalui Balai Besar Rehabilitasi Sosial

Bina Grahita (BBRSBG) yang menangani rehabilitasi disabilitas intelektual, salah

satunya yaitu BBRSBG Kartini Kabupaten Temanggung.

Jumlah disabilitas intelektual, untuk Provinsi Jawa Tengah bisa dikatakan

cukup besar. Pada tahun 2006 jumlah disabilitas intelektual Provinsi Jawa Tengah

mencapai jumlah 23.216 (data dari BBRSBG Kabupaten Temanggung). Dilihat

dari populasi disabilitas intelektual tentunya tak sebanding dengan kemampuan

lembaga pelayanan sosial baik pemerintah maupun swasta sehingga masih banyak

disabilitas intelektual yang tidak tersentuh oleh pelayanan sosial. Sementara di

13

Kabupaten Temanggung sendiri berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh

Pusadatin Departemen Sosial bekerjasama dengan PT Surveyor Indonesia pada

tahun 2007 menyatakan bahwa jumlah disabilitas intelektual sebanyak 1.040

orang dan berdasarkan data dari Dinas Sosial Kabupaten Temanggung jumlah

yang telah tertangani baru mencapai 6,27 persen (BBRSBG Kartini Temanggung,

2009: 1).

Dari data tersebut menunjukkan bahwa masih diperlukan upaya untuk

memperluas pelayanan bagi disabilitas intelektual. Hal demikian dikarenakan

selama ini pelayanan bagi disabilitas intelektual hanya dilakukan sebatas

perkenalan pada dunia sekolah, baik melalui panti rehabilitasi maupun Sekolah

Luar Biasa yang kemudian membangun adanya sekat pembatas antara disabilitas

intelektual dengan masyarakat luas. Oleh sebab itu, diperlukan upaya untuk lebih

membuat disabilitas intelektual dapat lebih membaur dengan masyarakat. Salah

satunya yaitu melalui pelayanan dan rehabilitasi sosial berbasis keluarga dalam

pemberdayaan disabilitas intelektual.

Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Grahita (BBRSBG) “Kartini”

Kabupaten Temanggung memprakarsai program Pelayanan dan Rehabilitasi

Sosial Berbasis Keluarga (PRSBK) untuk penyandang disabilitas intelektual

ringan dengan dimensi pemberdayaan masyarakat. Program tersebut memiliki

makna yang strategis, pertama, memungkinkan keluarga dan masyarakat

berpartisipasi aktif, bukan hanya sebagai penerima manfaat tetapi juga sebagai

pengupaya sekaligus sebagai penilai capaian-capaian dan keberlanjutannya.

Kedua, meningkatkan kemampuan keluarga dan masyarakat untuk memecahkan

14

masalah dan memenuhi kebutuhan tunagrahita dengan menggunakan sumber-

sumber yang ada. Ketiga, mengembangkan tanggung jawab sosial dan stabilitas

dalam kehidupan ketetanggaan. Melalui program ini memungkinkan keluarga

untuk lebih memiliki kesempatan dalam berperan aktif mengembangkan

kemampuan fisik, mental, sosial, dan keterampilannya guna mencapai

kemandirian sesuai kondisi dan potensi yang dimiliki (BBRSBG Kartini

Temanggung, 2009: ii).

Bentuk pelayanan dan rehabilitasi sosial berbasis keluarga sebagai berikut:

bantuan pemenuhan kebutuhan dasar, pelatihan orang tua (parrents training),

konseling keluarga, pendampingan dan supervisi, bantuan stimulan usaha

ekonomi produktif, dan pelayanan aksesibilitas. Dari beberapa bentuk program

pemberdayaan melalui pelayanan dan rehabilitasi sosial berbasis keluarga maka

muncul pertanyaan bagaimana implementasi program tersebut bagi keberdayaan

para disabilitas intelektual ringan dan rumah tangga disabilitas intelektual ringan.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah, maka rumusan masalah yang

dapat disusun adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pelaksanaan upaya pemberdayaan rumah tangga dalam

pengembangan kemandirian penyandang disabilitas intelektual ringan di

Kabupaten Temanggung?

2. Apa saja faktor pendukung dan penghambat dalam upaya pemberdayaan rumah

tangga dalam pengembangan kemandirian penyandang disabilitas intelektual

15

ringan di Kabupaten Temanggung?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah penelitian yang telah disusun, maka tujuan

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk menganalisis pelaksanaan pemberdayaan rumah tangga dalam

pengembangan kemandirian penyandang disabilitas intelektual ringan di

Kabupaten Temanggung.

2. Untuk menganalisis faktor pendukung dan penghambat dalam pelaksanaan

pemberdayaan rumah tangga dalam pengembangan kemandirian

penyandang disabilitas intelektual ringan di Kabupaten Temanggung.

2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapakan dapat memberikan beberapa manfaat sebagai

berikut:

1. Menambah kajian keilmuan mengenai upaya pemberdayaan penyandang

disabilitas intelektual ringan, khususnya terkait pemberdayaan berbasis

keluarga.

2. Dapat digunakan sebagai masukan untuk Balai Rehabilitasi Sosial Bina

Grahita Kartini Kabupaten Temanggung mengenai pelaksanaan program-

program yang telah dijalankan serta solusi untuk mengatasi permasalahan

yang dihadapi pada pelaksanaannya.

3. Dapat menjadi bahan pembelajaran bagi pemerintah, swasta, LSM, maupun

16

masyarakat umum mengenai upaya pemberdayaan penyandang disabilitas,

khususnya bagi penyandang disabilitas intelektual ringan.

E. Tinjauan Pustaka

1. Program Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Berbasis Keluarga

Pelayanan dan rehabilitasi sosial berbasis keluarga (PRSBK) dapat

dipahami sebagai serangkaian aktivitas pengembangan kemampuan fisik,

mental, sosial, dan keterampilan bagi tunagrahita dalam lingkungan keluarga

yang dilakukan melalui peran aktif keluarga dan lingkungan sosialnya sebagai

pengupaya, penilai dan pemelihara yang berkelanjutan (BBRSBG Kartini

Temanggung, 2009: 4). Pada dasarnya PRSBK tersebut merupakan upaya

untuk memberdayakan orang tua atau keluarga penyandang disabilitas

intelektual ringan agar mampu mengatasi masalah atau memenuhi kebutuhan

penyandang disabilitas intelektual ringan sesuai dengan sumber daya yang

tersedia dalam lingkungan masyarakat (BBRSBG Kartini Temanggung, 2009:

6). Berdasarkan hal demikian maka dapat dikatakan bahwa pada pokoknya

program PRSBK merupakan program yang tidak hanya dilakukan untuk

mengembangkan mental para penyandang disabilitas intelektual ringan, tetapi

lebih luas juga mencakup upaya pengembangan kemampuan fisik, sosial, serta

keterampilannya.

Tujuan umum dari pelaksanaan program pelayanan dan rehabilitasi sosial

berbasis keluarga (PRSBK) dalam hal ini adalah untuk mencapai kemandirian

bagi para penyandang disabilitas intelektual ringan dalam melakukan aktivitas

17

dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan potensi yang dimiliki (BBRSBG

Kartini Temanggung, 2009: 4). Sementara itu, selain tujuan utama tersebut

pelaksanaan PRSBK juga memiliki beberapa tujuan khusus sebagai berikut

(BBRSBG Kartini Temanggung, 2009: 4):

a. Meningkatkan kemampuan orang tua, keluarga, dan lingkungan sosial

dalam memberikan pelayanan dan bimbingan serta menciptakan situasi

yang kondusif untuk menumbuhkembangkan kemampuan penyandang

disabilitas intelektual ringan.

b. Meningkatkan kemampuan fisik, mental, sosial, dan keterampilan atau

usaha kerja penyandang disabilitas intelektual ringan.

c. Terwujudnya aksesibilitas dalam memanfaatkan sumber daya bagi

pemeliharaan dan pengembangan kemandirian penyandang disabilitas

intelektual ringan.

Apabila dilihat dari kerangka pemberdayaan masyarakat dalam hal ini

PRSBK memiliki nilai strategis tersendiri. Hal demikian dikarenakan PRSBK

memiliki beberapa keunggulan sebagai berikut (BBRSBG Kartini

Temanggung, 2009: 2):

a. Melalui PRSBK memungkinkan keluarga dan masyarakat untuk

berpartisipasi aktif sebagai pengupaya dan penilai capaian-capaian maupun

keberlanjutan dari proses pelayanan dan rehabilitasi yang dilakukan.

b. PRSBK dapat meningkatkan kemampuan keluarga dan masyarakat untuk

memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhan penyandang disabilitas

intelektual ringan dengan menggunakan sumber daya yang dimiliki.

18

c. Mengembangkan tanggung jawab sosial dan stabilitas dalam kehidupan

ketetanggaan dalam masyarakat.

Beberapa keunggulan PRSBK sebagaimana telah diuraikan tersebut

menunjukkan bahwa upaya pelayanan dan rehabilitasi sosial berbasis keluarga

memiliki kekuatan tersendiri dalam memperluas jangkauan pelayanan dan

rehabilitasi sosial itu sendiri. Sementara itu, pelaksanaan PRSBK dalam hal ini

memiliki beberapa sasaran sebagai berikut (BBRSBG Kartini Temanggung,

2009: 4):

a. Pemenuhan hak-hak dasar penyandang disabilitas intelektual ringan untuk

tumbuh dan berkembang dalam aspek fisik, mental, sosial, keterampilan,

serta kesempatan untuk mengembangkan kemandiriannya.

b. Peningkatan kemampuan orang tua atau keluarga dalam menciptakan

lingkungan yang promotif bagi tumbuh kembang penyandang disabilitas

intelektual ringan.

c. Peningkatan peran aktif masyarakat, instansi terkait, organisasi sosial, dan

dunia usaha untuk mengupayakan serta memlihara capaian-capaian PRSBG

yang telah berhasil diraih.

Program pelayanan dan rehabilitasi sosial berbasis keluarga yang

dilakukan oleh BBRSBG Kartini Temanggung pada dasarnya dilakukan selama

kurun waktu dua tahun. Setelah dua tahun, guna memelihara dan

mengembangkan capaian program yang telah diraih maka dilakukan bimbingan

lanjutan oleh pihak dinas sosial.

2. Tinjauan Tentang Pemberdayaan

19

Pemberdayaan adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan dan

potensi yang dimiliki oleh masyarakat, sehingga masyarakat dapat

mewujudkan jati diri, harkat dan martabatnya secara maksimal untuk bertahan

dan mengembangkan diri secara mandiri dibidang ekonomi, sosial, agama, dan

budaya (Widjaja, 1995: 54). Menurut Prijono dan Pranaka pemberdayaan

adalah suatu strategi untuk memperbaiki sumber daya manusia dengan

pemberian tanggungjawab dan kewenangan terhadap pihak yang nantinya

diharapkan dapat memungkinkan untuk mencapai kinerja yang lebih tinggi di

era yang selalu berubah”(Prijono dan Pranaka, 1996: 121). Sementara itu,

menurut Sedarmayanti, konsep pemberdayaan memuat dua kecenderungan

yaitu sebagai berikut (Sedarmayanti, 2000:75):

a. Pemberdayaan menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan

sebagian kekuasaan, kekuatan, atau kemampuan kepada masyarakat,

organisasi, atau individu agar menjadi lebih berdaya. Proses ini sering

disebut sebagai kecenderungan primer dari makna pemberdayaan.

b. Menekankan pada proses menstimulasi, mendorong, dan memotivasi

individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan

hal yang menjadi pilihan hidupnya. Proses ini sering disebut sebagai

kecenderungan sekunder dari makna pemberdayaan.

Berdasarkan hal demikian maka dapat dikatakan bahwa pemberdayaan

merupakan kecenderungan proses menuju kekuasaan, kekuatan atau

kemampuan individu agar lebih berdaya dengan cara mendorong dan

20

memotivasi individu bersangkutan. Sementara itu, tujuan atau makna

pemberdayaan ini meliputi (Makmur, 2007: 120-121):

a. Menciptakan kemandirian dan kepercayaan diri. Kepercayaan diri dan

kemandirian dalam menghadapi berbagai hambatan atau tantangan hidup

dapat melahirkan kekuatan dan ketahanan diri untuk menggantungkan

harapan kepada pihak lain.

b. Memiliki kegesitan dan proaktif. Pemberdayaan manusia menciptakan

kegesitan memiliki daya dorong untuk proakif mencari kegiatan yang dapat

lebih menguntungkan.

c. Memiliki pengetahuan dan keterampilan. Pengetahuan merupakan sumber

keterampilan dalam melaksananakan suatu kegiatan yang hasilnya lebih

menguntungkan.

d. Kepatuhan dan kesadaran. Kehidupan manusia senantiasa diatur oleh suatu

ketentuan hidup yang perlu ditaati dan sekedar untuk menciptakan

keteraturan dan keharmonisan, baik dalam melakukan kegiatan maupun

dalam pergaulan. Kepatuhan dan kesadaran terhadap norma-norma sebagai

fundamental kehidupan bermasyarakat, berorganisasi dan sebagainya

menjadi terapi yang sangat tepat serta mosaic dalam upaya meningkatkan

pemberdayaan, baik pada diri sendiri maupun orang lain.

Pada sisi lain, hasil akhir dari proses pemberdayaan adalah beralihnya

fungsi individu yang semula obyek menjadi subyek sehingga realisasi sosial

yang ada nantinya hanya akan dicirikan dengan realisasi antar subyek dengan

subyek yang lain (Vidhyandika 1996: 135). Oleh sebab itu, dalam hal tersebut

21

istilah pemberdayaan pada intinya dinilai sebagai upaya pemanusiaan. Menurut

Tjandraningsih (1996: 3), pemberdayaan mengutamakan usaha sendiri dari

orang yang diberdayakan untuk meraih keberdayaannya. Hal demikianlah yang

menjauhkan upaya pemberdayaan dari konotasi ketergantungan dan berbeda

dengan upaya charity

Upaya pemberdayaan tidak dapat dilepaskan dari dua upaya untuk

mewujudkan pemberdayaan itu sendiri. Menurut Kartasasmita (2003: 11),

terdapat dua upaya yang dapat dilakukan guna mewujudkan pemberdayaan,

yaitu:

a. Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat

berkembang (enabling). Titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap

manusia dan setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan.

Artinya, tidak ada individu yang sama sekali tanpa daya. Oleh sebab itu,

pemberdayaan dilakukan sebagai upaya untuk membangun daya tersebut

dengan cara mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran akan

potensi yang dimiliki serta berupaya untuk mengembangkannya.

b. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat

(empowering). Dalam hal ini diperlukan langkah-langkah lebih positif,

selain menciptakan iklim dan suasana sebagaimana teah diuraikan. Upaya

memperkuat potensi tersebut meliputi langkah-langkah nyata, dan

menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses

ke dalam berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat

menjadi makin berdaya.

22

Sementara itu, pendekatan pemberdayaan menurut Kartasasmita (2003:

13) dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:

a. Upaya yang dilakukan harus terarah (targetted). Pemberdayaan ditujukan

langsung kepada yang memerlukan, dengan program yang dirancang untuk

mengatasi masalahnya dan sesuai kebutuhannya.

b. Upaya harus langsung mengikutsertakan atau bahkan dilaksanakan oleh

masyarakat yang menjadi sasaran. Mengikutsertakan masyarakat yang akan

dibantu mempunyai beberapa tujuan, yaitu untuk membuat upaya

pemberdayaan efektif karena sesuai dengan kehendak dan kemampuan serta

kebutuhan sasaran. Selain itu sekaligus meningkatkan keberdayaan

(empowering) masyarakat dengan pengalaman dalam merancang,

melaksanakan, mengelola, dan mempertanggungjawabkan upaya

peningkatan diri dan ekonominya.

c. Pemberdayaan menggunakan pendekatan kelompok. Pendekatan kelompok

adalah yang paling efektif, dan dilihat dari penggunaan sumber daya juga

lebih efisien.

3. Teori Kemandirian

Kehidupan manusia saat ini semakin dihadapkan dengan permasalahan

kompleks. Keadaan ini menuntut setiap individu untuk mampu memecahkan

permasalahan yang dihadapi tanpa harus tergantung dengan orang lain dan

berani menentukan sikap yang tepat. Salah satu aspek yang diperlukan adalah

kemandirian dalam bersikap dan bertindak. Kemandirian adalah kemampuan

23

untuk melakukan kegiatan atau tugas sehari-hari sesuai dengan tahapan

perkembangan dan kepastiannya (Lie, 2004 : 24).

Kemandirian merupakan suatu sikap individu yang diperoleh secara

komulatif selama perkembangan, di mana individu akan terus belajar untuk

bersikap mandiri dalam menghadapi berbagai situasi di lingkungan, sehingga

individu mampu berfikir dan bertindak sendiri. Dengan kemandirian seorang

dapat memilih jalan hidupnya untuk berkembang yang lebih mantap (Mu’tadin,

2002: 112).

Kemandirian seperti halnya psikologis yang lain, dapat berkembang

dengan baik jika diberikan kesempatan untuk berkembang melalui latihan yang

dilakukan secara terus menerus dan dilakukan sejak dini, latihan tersebut

berupa pemberian tugas tanpa bantuan. Kemandirian akan memberi dampak

yang positif bagi perkembangan anak, maka sebaiknya kemandirian diajarkan

pada anak sedini mungkin sesuai kemampuan anak. Seperti telah diakui segala

seseautu yang dapat diusahakan sejak sedini mungkin sesuai kemampuan anak.

Seperti telah diakui segala sesuatu yang dapat diusahakan sejak dini akan dapat

dihayati dan semakin berkembang menuju kesempurnaan (Mu’tadin, 2002:

114).

Kemandirian seorang anak diperkuat melalui proses sosialisasi yang

terjadi antara anak dengan teman sebaya. Hurlock (1991: 87) mengatakan

bahwa melalui hubungan dengan teman sebaya, anak belajar berpikir secara

mandiri, mengambil keputusan sendiri. Dalam mencapai keinginan untuk

mandiri sering kali anak mengalami hambatan-hambatan yang disebabkan oleh

24

masih adanya kebutuhan untuk tetap tergantung pada orang lain (Mu’tadin,

2002:114).

Zakiyah (2002: 32) menyatakan bahwa seseorang dikatakan mandiri

apabila memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a. Adanya tendensi untuk berperilaku bebas dan berinisiatif, mampu bersikap

dan berpendapat.

b. Adanya tendensi untuk percaya diri dan tidak tergantung pada orang lain.

c. Adanya sikap oroginal (keaslian) yang bukan sekedar menerima orang lain.

d. Tidak mengharapkan pengharahan dari orang lain.

e. Adanya tendensi untuk mencoba segala sesuatunya sendiri.

Steinberg (2002: 140) mengemukakan bahwa aspek-aspek kemandirian

meliputi:

a. Kemandirian Emosi (Emotional Autonomy)

Aspek emosional mengarah pada kemampuan remaja untuk memulai

melepaskan diri secara emosi dengan orang tua dan mengalihkannya pada

hubungan dengan teman sebaya. Remaja yang mandiri secara emosional

tidak membebankan pikiran orang tua meski dalam masalah. Remaja yang

mandiri secara emosi dapat melihat serta berinteraksi dengan orang tua

mereka sebagai orang-orang yang dapat mereka ajak untuk bertukar pikiran.

b. Kemandirian Perilaku (Behavioral Autonomy)

Aspek kemandirian perilaku merupakan kemampuan remaja untuk

mandiri dalam membuat keputusannya sendiri dengan mempertimbangkan

berbagai sudut pandang. Remaja mandiri tidak mudah dipengaruhi dan

25

mampu mempertimbangkan terlebih dahulu nasehat yang diterima. Mereka

yang mandiri secara perlaku tidak akan menunjukkan perilaku yang buruk

atau semena-mena yang dapat menjatuhkan harga diri mereka.

4. Tinjauan tentang Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan(PDI)

Disabilitas intelektual merupakan sebutan untuk individu yang

menyandang terbelakang mental atau memiliki kemampuan intelektual di

bawah rata-rata teman seusianya (Suwarno, 1992: 84). Retardasi mental juga

dapat diartikan sebagai keadaan rendahnya fungsi intelektual, umum yang

terjadi dalam periode perkembangan dan berkaitan dengan kerusakan salah

satu atau lebih diantara faktor, kemasakan, kemampuan belajar, dan

penyesuaian diri dengan lingkungan sosial (Azwar, 1996: 144).

Istilah disabilitas intelektual berkaitan dengan istilah retardasi mental

atau hambatan mental (mentally handicap). Sementara itu, anak disabilitas

intelektual atau berkelainan mental yaitu anak yang diidentifikasi memiliki

tingkat kecerdasan yang sedemikian rendah atau di bawah rata-rata, sehingga

untuk mengerjakan tugas perkembangannya memerlukan bantuan atau layanan

secara khusus, termasuk kebutuhan program pendidikan dan bimbingan

(Mohammad Efendi, 2006: 9).

Disabilitas intelektual atau anak yang terbelakang mentalnya dapat

dilihat dari beberapa ciri, seperti dari segi fisik kurang normal sebagaimana

anak pada umumnya. Kepalanya kecil, matanya sipit seperti orang Mongolia,

gendut, pendek, lidahnya menonjol keluar, tangan dan kakinya agak lain. Dari

segi non fisik IQ-nya di bawah rata-rata berkisar antara 40-50 (Nuraeni, 1997:

26

106). Disabilitas intelektual dapat dikelompokan menjadi 3 kelompok, yaitu

kelompok disabilitas intelektual ringan, sedang, dan berat.

Kelompok disabilitas intelektual ringan tampil tidak berbeda jauh

dengan anak pada umunya (Nuraeni, 1997: 106). Menurut Wantah (2007: 9),

disabilitas intelektual ringan dengan istilah tunagrahita mampu didik memiliki

kemampuan IQ 50-70. Sementara itu Mohammad Efendi (2006: 90)

mengemukakan disabilitas intelektual ringan adalah tunagrahita yang tidak

mampu mengikuti program pendidikan di sekolah regular, namun memiliki

kemampuan yang masih dapat dikembangkan melului pendidikan meskipun

hasilnya tidak maksimal. Adapun ciri-ciri disabilitas intelektual ringan terletak

pada IQ yang dimilikinya yaitu antara 50-70, sebagaimana atas dasar

pengukuran tes intelegensi binet, dengan demikian IQ yang dimiliki disabilitas

intelektual sedikit demi sedikit mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan

dan besar kemungkinan dapat berdiri sendiri sebagian atau sepenuhnya

(Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1975: 44).

Derajat retardasi disabilitas intelektual ringan merupakan bagian

populasi terbesar di antara penyandang disabilitas intelektual ringan yang lain.

Sesudah dewasa IQ mereka setara dengan anak berusia 8-11 tahun.

Penyesuaian sosial mereka hampir setara dengan remaja normal, namun kalah

dalam hal imajinasi, kreativitas, dan kemampuan membuat penilaian-penilaian.

Mereka ini edukabel atau dapat dididik. Artinya, bila kasus mereka diketahui

sejak dini dan selanjutnya mendapatkan pendampingan dari orang tua serta

mendapatkan program pendidikan luar biasa, sebagian besar dari mereka

27

mampu menyesuaikan diri dalam pergaulan, mampu menguasai keterampilan

akademik dan keterampilan kerja sederhana, dan dapat menjadi warga

masyarakat yang mandiri (Supratiknya, 1995: 77).

Sementara itu, disabilitas intelektual sedang memiliki derajat retardasi

kemampuan intelektual agak berat, sehingga masih bisa mencapai kematangan

melalui tahapan belajar. Ciri-cirinya tampak pada segi fisiknya seperti fungsi

organ tubuhnya tidak normal, kaki dan tangannya tidak luwes, lidahnya

menonjol dan kelainan fisik yang lainnya (Nuraeni, 1997: 106). Kemampuan

intelektual penyandang tunagrahita sedang tergolong pada taraf IQ anak

embisil yang berkisar antara 20-25 dan 40 sampai 50. Pada taraf embisil ini

daya tangkap dalam belajarnya lamban atau terbatas (Gunarsa, 2004: 110).

Kelompok disabilitas intelektual berat kemampuan inteleknya lebih

rendah dari kelompok disabilitas intelektual sedang. Kelompok disabilitas

intelektual berat tidak dapat dilatih untuk memenuhi kebutuhan fisiologisnya

sendiri dan tidak sanggup merawat dirinya. Oleh sebab itu, disabilitas

intelektual berat cenderung tidak dapat menolong dirinya terhadap bahaya serta

harus selalu dijaga karena mudah jatuh. Disabilitas intelektual berat sangat

rendah kemampuan intelegensinya sehingga sangat sulit, bahkan tidak bisa

dilatih dan diajar, baik ketrampilan maupun yang lainnya karena memiliki IQ

sangat rendah, yaitu antara 20 sampai 25 (Azwar, 1996: 45).

Keterbelakangan mental atau disabilitas intelektual dapat disebabkan atas

beberapa faktor sebagai berikut (Nuraeni, 1997: 106):

28

a. Faktor Keturunan

Disabilitas intelektual kategori ringan merupakan faktor pembawaan

sejak kecil bahkan sejak anak dalam kandungan akibat kedua orang tua yang

terbelakang mentalnya atau disabilitas intelektual sehingga secara langsung

berpengaruh pada anaknya. Adanya kelainan dalam “chromosom” atau

“gen” dari salah satu dari orang tuanya karena terdapat gen yang lemah pada

salah satu orang tuanya dalam hal ini membuat ada kemungkinan anaknya

mengalami lemah mental.

b. Faktor Kurang Gizi

Pola makan dan makanan yang cenderung diidentikan dengan gizi.

Artinya, pemberian gizi pada anak sangat berpengaruh terhadap

perkembangan dan kecerdasan seorang anak. Kekurangan asupan gizi

tersebut salah satu akibatnya dapat membuat perkembangan dan kecerdasan

anak terganggu atau kurang normal.

c. Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan terjadi akibat infeksi yang diderita sang ibu pada

waktu hamil, seperti demam disertai lepuh (luka bakar pada kulit), sipilis,

dan juga keracunan seperti rokok, alkohol, morpin, obat-obatan makanan

berbahaya. Hal demikian kemudian dapat mempengaruhi tumbuh kembang

janin yang dikandung sehingga perkembangan kecerdasannya tidak normal.

Sementara itu, menurut Kartini Kartono (Kartono, 1991: 54) faktor

penyebab disabilitas intelektual adalah sebagai berikut:

1) Orang tuanya sering mengkonsumsi minuman keras, karena kadar alkohol

29

atau minuman keras dalam darah melebihi kadar 0,5% dapat mempengaruhi

bayi dalam kandungan ibu.

2) Adanya penyakit syphilis yang diderita oleh orang tuanya, hal ini dapat

menular pada bayi dalam kandungan atau bayi sewaktu melahirkan.

3) Pengaruh radiasi atas ionisasi dari sinar X waktu bayi dalam kandungan.

4) Kelahiran bayi mengalami kesulitan, sehingga melahirkan ditolong dengan

vacuum pump/tang.

5) Bayi lahir belum waktunya.

6) Karena jatuh, tertumbuk, dipukul keras kepalanya sehingga bayi mengalami

geger otak.

7) Karena terganggu kelenjar gondoknya (kekurangan unsur yodium dalam

tubuh) sehingga menderita cretinism (organ).

8) Karena penyakit yang diderita semasa kanak-kanak seperti ayan (epilepsi),

atau cacar air (chicken pooch).

Faktor penyebab lainnya dapat terjadi pada saat setelah bayi lahir yaitu

adanya infeksi pada otak/selaput otak oleh penyakit-penyakit cerebral

meningitis, gabag (maize Len, campak), diphtheria, radang kuping yang

mengandung nanah, dan lain sebagainya (Kartono, 1989: 33). Berdasarkan

uraian tersebut dapat dikatakan bahwa penyebab seorang anak menjadi

disabilitas intelektual dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor.

5. Tinjauan tentang Kesejahteraan Sosial

Istilah kesejahteraan sosial bukanlah hal baru, baik dalam wacana global

maupun nasional. Perserikatan bangsa-Bangsa (PBB), misalnya, telah lama

30

mengatur masalah ini sebagai salah satu bidang kegiatan masyarakat

internasional (Suharto, 1997). PBB memberi batasan kesejahteraan sosial

sebagai kegiatan-kegiatan yang terorganisasi yang bertujuan untuk membantu

individu atau masyarakat guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya dan

meningkatkan kesejahteraan selaras dengan kepentingan keluarga dan

masyarakat.

Di Indonesia, konsep kesejahteraan sosial telah lama dikenal. Ia telah ada

dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Undang-Undang RI Nomor 6 tahun

1974 tentang ketentuan-ketentuan pokok Kesejahteraan Sosial, misalnya,

merumuskan kesejahteraan sosial sebagai berikut:

Suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial, material maupun spiritual

yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketentraman lahir

dan batin, yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk

mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah,

rohaniah dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga, serta

masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak atau kewajiban manusia

sesuai dengan Pancasila.

Salah satu ciri ilmu kesejahteraan sosial adalah upaya pengembangan

metodologi untuk menangani berbagai macam masalah sosial, baik tingkat

individu, kelompok, keluarga maupun masyarakat (Adi, 1994: 3). Berikut ini

akan dijelaskan pengertian kesejahteraan sosial menurut para ahli (dalam

Sumarnonugroho, 1987: 28-35).

a. Arthur Dunham

Kesejahteraan sosial dapat didefinisikan sebagai kegiatan-kegiatan yang

terorganisasi dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan dari segi sosial

melalui pemberian bantuan kepada orang untuk memenuhi kebutuhan-

31

kebutuhan di dalam beberapa bidang seperti kehidupan keluarga dan anak,

kesehatan, penyesuaian sosial, waktu senggang, standar-standar kehidupan

dan hubungan-hubungan sosial. Pelayanan kesejahteraan sosial memberi

perhatian utama terhadap individu-individu, kelompok-kelompok,

komunitas-komunitas dan kesatuan-kesatuan penduduk yang lebih luas,

pelayanan ini mencakup pemeliharaan atau perawatan, penyembuhan dan

pencegahan.

b. Harold L. Wilensky dan Charles N. Lebaux

Kesejahteraan sosial adalah suatu sistem yang terorganisir dari usaha-usaha

pelayanan sosial dan lembaga-lembaga sosial, untuk membantu individu-

individu dan kelompok dalam mencapai tingkat hidup serta kesehatan yang

memuaskan. Maksudnya agar individu dan relasi-relasi sosialnya

memperoleh kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengembangkan

kemampuan-kemampuannya serta meningkatkan atau menyempurnakan

kesejahteraan sebagai manusia sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

c. Walter A. Friendlander

Kesejahteraan sosial adalah suatu sistem yang terorganisir dari pelayanan-

pelayanan sosial dan lembaga-lembaga yang bermaksud untuk membantu

individu-individu dan kelompok-kelompok agar mencapai standar-standar

kehidupan dan kesehatan yang memuaskan, serta hubungan-hubungan

perorangan dan sosial yang memungkinkan mereka memperkembangkan

segenap kemampuan dan meningkatkan kesejahteraan mereka selaras

dengan kebutuhan-kebutuhan keluarga maupun masyarakat.

32

d. Alfred J. Khan

Kesejahteraan sosial terdiri dari program-program yang tersedia selain yang

tercakup dalam kriteria pasar untuk menjamin suatu tindakan kebutuhan

dasar seperti kesehatan, pendidikan kesejahteraan, dengan tujuan

meningkatkan derajat kahidupan komunal dan berfungsinya individual, agar

dapat mudah menggunakan pelayanan-pelayanan maupun lembaga-lembaga

yang ada pada umumnya serta membantu mereka yang mengalami kesulitan

dan dalam pemenuhan kebutuhan mereka.

Dengan demikian, kesejahteraan sosial memiliki beberapa makna yang

relatif berbeda, meskipun substansinya tetap sama. Kesejahteraan sosial pada

intinya mencakup tiga konsepsi, yaitu:

a. Kondisi kehidupan atau keadaan sejahtera, yakni terpenuhinya kebutuhan-

kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial.

b. Institusi, arena atau bidang kegiatan yang melibatkan lembaga kesejahteraan

sosial dan berbagai profesi kemanusiaan yang menyelenggarakan usaha

kesejahteraan sosial dan pelayanan sosial.

c. Aktivitas, yakni suatu kegiatan-kegiatan atau usaha yang terorganisir untuk

mencapai kondisi sejahtera.

6. Keterkaitan Antar Teori

Disabilitas intelektual merupakan sebutan untuk individu yang

menyandang terbelakang mental atau memiliki kemampuan intelektual di

bawah rata-rata teman seusianya (Suwarno, 1992: 84). Retardasi mental juga

dapat diartikan sebagai keadaan rendahnya fungsi intelektual, umum yang

33

terjadi dalam periode perkembangan dan berkaitan dengan kerusakan salah

satu atau lebih diantara faktor, kemasakan, kemampuan belajar, dan

penyesuaian diri dengan lingkungan sosial (Azwar, 1996: 144). Sementara itu,

anak disabilitas intelektual atau berkelainan mental yaitu anak yang

diidentifikasi memiliki tingkat kecerdasan yang sedemikian rendah atau di

bawah rata-rata, sehingga untuk mengerjakan tugas perkembangannya

memerlukan bantuan atau layanan secara khusus, termasuk kebutuhan program

pendidikan dan bimbingan (Mohammad Efendi, 2006: 9).

Hal demikian menjadikan anak-anak disabilitas tidak jarang memiliki

tingkat kemandirian yang rendah karena sangat bergantung pada orang tua atau

orang lain di sekitarnya. Oleh sebab itu, menjadi hal yang sangat penting untuk

mewujudkan kemandirian bagi anak-anak disabilitas intelektual.

Kemandirian adalah kemampuan untuk melakukan kegiatan atau tugas

sehari-hari sesuai dengan tahapan perkembangan dan kepastiannya (Lie, 2004:

24). Kemandirian seperti halnya psikologis yang lain, dapat berkembang

dengan baik jika diberikan kesempatan untuk berkembang melalui latihan yang

dilakukan secara terus menerus dan dilakukan sejak dini, latihan tersebut

berupa pemberian tugas tanpa bantuan (Mu’tadin, 2002: 114). Kemandirian

akan memberi dampak yang positif bagi perkembangan anak, maka sebaiknya

kemandirian diajarkan pada anak sedini mungkin sesuai kemampuan anak.

Seperti telah diakui segala seseautu yang dapat diusahakan sejak sedini

mungkin sesuai kemampuan anak. Seperti telah diakui segala sesuatu yang

34

dapat diusahakan sejak dini akan dapat dihayati dan semakin berkembang

menuju kesempurnaan (Mu’tadin, 2002: 114).

Guna membuat anak-anak disabilitas intelektual dapat mencapai

kemandirian, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui

pemberdayaan. Pemberdayaan adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan

dan potensi yang dimiliki oleh masyarakat, sehingga masyarakat dapat

mewujudkan jati diri, harkat dan martabatnya secara maksimal untuk bertahan

dan mengembangkan diri secara mandiri di bidang ekonomi, sosial, agama, dan

budaya (Widjaja, 1995: 54). Upaya pemberdayaan tidak dapat dilepaskan dari

dua upaya untuk mewujudkan pemberdayaan itu sendiri. Menurut Kartasasmita

(2003: 11), terdapat dua upaya yang dapat dilakukan guna mewujudkan

pemberdayaan, yaitu menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan

potensi masyarakat berkembang (enabling), serta memperkuat potensi atau

daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering).

Terkait dengan pemberdayaan bagi pencapaian kemandirian disabilitas

intelektual, sasaran yang perlu diberdayakan bukan hanya anak-anak

disabilitas itu sendiri. Lebih dari itu, juga diperlukan upaya pemberdayaan bagi

rumah tangga disabilitas intelektual, sehingga secara keseluruhan tercipta

suasana kondusif bagi perkembangan anak disabilitas intelektual. Salah satu

bentuk konkrit dari upaya pemberdayaan rumah tangga disabilitas intelektual

adalah melalui program Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Berbasis Keluarga

(PRSBK).

35

Pada dasarnya PRSBK tersebut merupakan upaya untuk memberdayakan

orang tua atau keluarga disabilitas intelektual agar mampu mengatasi masalah

atau memenuhi kebutuhan disabilitas intelektual sesuai dengan sumber daya

yang tersedia dalam lingkungan masyarakat (BBRSBG Kartini Temanggung,

2009: 6). Berdasarkan hal demikian maka dapat dikatakan bahwa pada

pokoknya program PRSBK merupakan program yang tidak hanya dilakukan

untuk mengembangkan mental para disabilitas, tetapi lebih luas juga mencakup

upaya pengembangan kemampuan fisik, sosial, serta keterampilannya.

Apabila dilihat dari kerangka pemberdayaan masyarakat dalam hal ini

PRSBK memiliki nilai strategis tersendiri. Hal demikian dikarenakan PRSBK

memiliki beberapa keunggulan sebagai berikut (BBRSBG Kartini

Temanggung, 2009: 2):

a. Melalui PRSBK memungkinkan keluarga dan masyarakat untuk

berpartisipasi aktif sebagai pengupaya dan penilai capaian-capaian maupun

keberlanjutan dari proses pelayanan dan rehabilitasi yang dilakukan.

b. PRSBK dapat meningkatkan kemampuan keluarga dan masyarakat untuk

memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhan disabilitas dengan

menggunakan sumber daya yang dimiliki.

c. Mengembangkan tanggung jawab sosial dan stabilitas dalam kehidupan

ketetanggaan dalam masyarakat.

Beberapa keunggulan PRSBK sebagaimana telah diuraikan tersebut

menunjukkan bahwa upaya pelayanan dan rehabilitasi sosial berbasis keluarga

memiliki kekuatan tersendiri dalam memperluas jangkauan pelayanan dan

36

rehabilitasi sosial itu sendiri. Tujuan akhir yang diharapkan dalam hal ini

adalah tercapainya kesejahteraan sosial pada rumah tangga disabilitas

intelektual. Kesejahteraan sosial yang dimaksud mencakup tiga konsepsi dasar

sebagaimana diatur Undang-Undang RI Nomor 6 tahun 1974 tentang

Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, yaitu:

a. Kondisi kehidupan atau keadaan sejahtera, yakni terpenuhinya kebutuhan-

kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial.

b. Institusi, arena atau bidang kegiatan yang melibatkan lembaga kesejahteraan

sosial dan berbagai profesi kemanusiaan yang menyelenggarakan usaha

kesejahteraan sosial dan pelayanan sosial.

c. Aktivitas, yakni suatu kegiatan-kegiatan atau usaha yang terorganisir untuk

mencapai kondisi sejahtera.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa kesejahteraan sosial

bagi rumah tangga disabilitas intelektual merupakan tujuan akhir dari upaya

pemberdayaan yang dilakukan. Selain itu, dalam proses mencapai

kesejahteraan tersebut anak-anak penyandang disabilitas intelektual juga

diharapkan dapat menjadi lebih mandiri untuk selanjutnya juga mampu

berpartisipasi dalam upaya pemberdayaan tersebut.