Upload
votram
View
240
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
DINAMIKA PENERIMAAN IBU TERHADAP ANAK
TUNA GRAHITA
Oleh:
Ajeng Nidar Ramanda
103070029077
Skripsi diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam
memperoleh gelar Sarjana Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UIN SYARIF HIDAYATULLAhl
JAKARTA
2008
DINAMIKA PENERIMAAN IBU TERHIADAP
ANAK TUNA GRAHITA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memperoleh syarat - syarat
memperoleh gelar Sarjana Psikologi
Oleh:
AJENG NIDAR RAMANDA
103070029077
Di Bawah Bimbingan
/ ebm .,gll 7 . . -
_,--- I
M.Si S. Evangeline l.S, M.si, Psi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2008
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
cripsi yang berjudul " DINAMIKA PENERIMAAN IBU TERHADAP ANAK TUNA ~AHITA" telah diujikan dalam Sidang Munaqasah Fakultas Psikologi Universitas am Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 6 Februari 2008. Skripsi ini ah diterima sebagai salah sat syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi.
De~an )tua Mera gFap Anggota
L--~
/ artati M.Si \5 938 \ .J
Pembimbing I
I
Jakarta, 6 Februari 2008
Sidang Munaqosah
Anggota,
Pembantu Dekan Sekertaris Merangkap Anggota
CA' Orn. Hj. Zah•~·." •• M.s;
NIP. 150 23E 773
M.Si
Penguji I
a Fadhilah Sural a M.Si. NIP. 150 215 283
Penguji II
A1 Dra. H". Zahrotun ihayah, M.Si
NIP. 150 38: 773
Sef\sil'i saja f\simu 6efajaruntuli.,6erputus asa maf\si af\sin menjatfi. Rg6iasaan.
( 'f/ince Lom6an[)
J[Ufup 6isa demi/i.,ian 6afragia rfafam /igter6atasan jif\si cfimali.,nai dengan
/igifi.fifasan 6erfi..rr6an untuli.,sesama.
( )'inarea Jfirata)
'l(pti/ig, al{,u d'ifafiirlig,n al{,u 6ertanya pada
'l'uhan
"'l'uhan . .. mengapa al{,u difarirlig,n seperti ini?"
'l'uhan merljawa6 pertanyaanl{,u
"'l(prena /ig,u adafali anaf.,istimewa, ma/ig, a/{,u align mem61~ri padamu orang tua
yang istimewa"
S/{,ripsi ini aipersem6ali/ig,n untul{,para orangtua istimewa, yang tefafi mencurafilig,n
segafa fi.§tu(usan aan l{,asifi sayangnya 6agi anal{, - ana~.istimewa yang Jff{afi
titiplig,n.
ABSTRAK
( C ) Ajeng Nidar Ramanda 103070029077
(A ) Fakultas Psikologi ( B ) ,Januari 2008
( D ) Dinamika Penerimaan lbu terhadap Anak Tuna Grahita ( E ) i+ 85 halaman ( F ) Setiap pasangan suami isteri mendambakan kehadiran anak dalam
keluarga. Orang tua terutama ibu mempunyai harapan tentang anak yang dikandungnya, ibu berharap agar anak dapat menjadi anak yang baik, cakap, pintar, membanggakan orang tua. Harapan yang ditunggu, rasa mendebarkan dan menyenangkan seketika hilang ketika mengetahui anak mengalami kekhususan sehingga menjadi hal yang sensitif bagi orang tua. Keh2diran anak tidak selalu mudah jika anak tersebut memiliki kekhususan. Banyak reaksi yang timbul pada orang tua, didahului oleh shock, sedih, marah, terguncang, rnenolak kondisi anak, dan merasa bersalah, hi'1gga akhirnya mereka dapat menyesuaikan diri dan menerima kondisi anak.
( G ) Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan gambaran tentang dinarnika penerimaan ibu terhadap anal< tuna grahita dengan proses -proses penerimaan yang dilalui ibu.
( H ) Sampel dalam penelitian ini adalah tiga orang ibu yang memiliki anak tuna grahita dengan rentang usia antara 30 - 45 tahun.
( I ) Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan menggunakan wawancara mendalam peneliti dapat menggali lebih banyak ir,formasi dari responden.
( J ) Hasil penelitian ini adalah, tidal< mudah untuk mencapai tahap penyesuaian dan penerimaan terhadap anak. Setiap ibu memiliki kekhasan masing - masing dalam penerimaan diri, pada tahap primary phase ditemukan bahwa dua subjek mengalami tahap shock, semua subjek mengalami denial ( menolak mengenali kecacatan anak ), satu subjel< mengalami grief ( sedih ). Pada tahap secondary phase satu subjek mengalami ambivalence ( antara menerima dan menolak kondisi anak), semua subjek mengalami tahap guilt ( perasaan bersalah orang tua terhadap anaknya ). dua subjek mengalami anger ( perasaan marah pada diri sendiri ). Pada tahap tertiary phase satu subjf'k mengalami bergaining ( mengadakan perundingan agar anak dapat kembali seperti semula ), dua subjek mengalami adaptation and reorganization ( beradaptasi dengan keadaan yang membuat cemas ) dan dua subjek mengalami acceptance ( penerimaan ). Ada beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi kurangnya penerimaan diri ibu, diantaranya adalah diagnosis dokter yang menyatakan anak tuna grahita yang dirasa kurang memberikan empati kepada pasiennya;selain itu faktor ekonomi dan reaksi negatif dari masyarakat ataskeberadaan anak - anak berkebutuhan khusus, dengan demikian sangat dibutuhkan dukungan sosial dari masyarakat, khususnya keluarga, karena dukungan sosial juga mempunyai pengaruh dalam penerimaan ibu terhadap anak tuna grahita, pemberian makna yang positif pada anak akan menimbulkan reaksi yang positif pula dari ibu pada anaknya, sebaliknya, pemberian makna yang negatif akan menimbulkan reaksi yang negatif pula.
( K) 23 buku + 2 majalah ( 1979 - 2007)
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang dengan kasih sayong dan kekuatanNya penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam penulis haturkan kepada tauladan umat
baginda Rasulullah Saw.
Penulis menyadari banyak sekali bantuan yang telah penulis terima datam penulisan skripsi
ini, maka penulis ingin mengucapkan terima kasih sebesar - besarnya kepada
1. Dra. Hj. Netty Hartati. M.SI, Dekan Fakultas Psikologi, beserta seluruh jajaran
dekanat lainnya yang telah membantu kelancaran skripsi ini.
2. Para Dasen Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah
membimbing dan memberikan banyak ilmu bagi penulis.
3. Staf Tata Usaha Fakultas Psikologi ( !bu Syariah, Bu Uus, Bu Sri, Pak Miftah Dan
lain - lain ), yang telah banyak membantu penulis dan memberikan motivasi untuk
menyelesaikan skripsi ini, serta Stal Tata Usaha UIN Jakarta.
4. Pembantu Dekan II dan pembimbing I Dra. Zahrotun Nihayah "terima kasih Bu ... alas
saran dan masukannya"
5. S. Evangeline. l.S, M.SI, Psi, pembimbing II yang banyak meluangkan waktunya
untuk penulisan skripsi ini.
6. Untuk orang tua terhebat Bapak dan Mamah tercinta yang telah mencurahkan hidup
dengan peluhan keringat sehingga penulis bisa menyelasaikar skripsi ini, terima
kasih atas untaian doanya, karena doa Bapak dan Mamah merupakan suatu
kekuatan.
7. Kepada ketiga bintangku (Amar, Agin, Alika) yang selalu memberikan keceriaan
bagi penulis dan menjadi penyemangat bagi penulis untuk menjadi contoh yang baik.
Bual Agin terima kasih alas keistimewaannya, tan pa Agin judul ini belum tentu ada
dan karena Agin teteh banyak belajar.
8. Yudi Rosdiana dan keluarga yang banyak meluangkan waktu untuk membantu
penulis dan mendegarkan segala keluh kesah.
9. Teman - teman angkatan 2003 khususnya kelas C \ Andin, Ina, Fanny, Nia, Litha,
Zora, Wulan, Ira, lryn, lka, Ayu dil ) atas canda tawa, pengertiannya pada segala
kekurangan yang penulis miliki, semoga pertemanan ini tidak berhenti sampai disini.
10. Teman - teman KKL Ml MP 2007 ( Jernih, Resti, Wiwi, Ai, Ira, Mis, Ari), akhirnya
kita sudah sampai pada tahap ini, semoga keberhasilan aknn menghampiri kita.
11. Para Orang tua pilihan yang istirnewa yang telah bersedia menjadi subjek, terima
kasih atas waktu yang telah ibu luangkan untuk kelancaran skripsi ini.
12. Keluarga besar KMF Kalacitra ( lyos, Sinden, Ridho, Yuni, Irma, Erna, Dina, Suri,
Agus, Zaky, Rifl<i ), yang telah memberikan persahabatan yang begitu indah.
13. Keluarga besar lkatan Mahasiswa Muhamadiyah ( JMM ), yang telah banyak
memberikan pengalaman dan ilmu.
14. Teman-teman kos (Zee, Mba Dani, K. Diar, Aci, Dika, K.Uci, Mb. Andri) yang telah
bersedia menjadi tempat curhat dan mengingatkan penulis dalam banyak hal.
Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna, namun penulis berharap akan ada
karya-karya lain yang dapat penulis hasilkan. Amin
Jakarta, Fet>ruari 2008
Penulis
LEMBAR PENGESAHAN
MOTTO
DAFTAR ISi
ABSTRAK.... .. ...... ... ... .. ....... .... .. .......... ........... ......... .......... ........ ii
KATA PENGANTAR.................................................................... V
DAFT AR ISi....................................... .. .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . .. Viii
BAB1 PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang ................................................................ 1
1.2. Pembatasan Masalah ..................................................... 7
1.3. Perumusan Masalah ....................................................... 10
1.4. Tujuan Penelitian ............................................................ 10
1.5. Manfaat Penelitian .......................................................... 11
1.6. Sistematika Penulisan ..................................................... 12
BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1. Penerimaan...................................................................... 14
2.1.1 . Pengertian Penerimaan.... ...... .. .. ..... ... .. .... .. .. .. .. .. ... 14
2.1.2. Penerimaan Dalam Islam ..................................... 17
2.2. Anak Tuna Grahita .......................................................... 20
2.2.1. Klasifikasi Tuna Grahita ........................................ 23
2.2.2. Faktor Penyebab Tuna Grahita ............................ 24
2.2.3. Karakteristik Anak Tuna Grahita ........................... 25
2.3. Orang Tua Anak Luar Biasa ............................................ 30
2.4. Kerangka Berpikir ............................................................ 31
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian ............................................................... 32
3.1.1. Pendekatan Penelitian .......................................... 32
3.1.2. Metode Penelitian ................................................. 33
3.2. Sampel Penelitian ............................. ............................. 34
3.2.1. Karakteristik Sampel ............................................. 34
3.2.2. Jumlah Sampel ..................................................... 34
3.2.3. Teknik Pengambilan Sampel ................................ 35
3.3. Pengumpulan Data ......................................................... 35
3.3.1. Teknik Pengumpulan Data .................................... 35
3.3.2. lnstrumen Penelitian ........................ .................... 38
3.4. Teknik Analisa Data ........................................................ 38
BAB 4 ANALISA DATA
4.1. Analisis Subjek 1 ........................................ ..................... 40
4.1.1. Biodata Subjek ..................................................... 40
4.1.2. Biodata Anak ................................... ..................... 41
4.1.3. Gambaran Umum ................................................. 41
4.2. Analisis Kasus Subjek 2 .................................................. 53
4.2.1. Biodata Subjek ..................................................... 53
4.2.2. Biodata Anak ........................................................ 53
4.2.3. Gambaran Umum Subjek 2 .................................. 54
4.2.4. Gambaran anak ....................... ............................. 56
4.3. Subjek 3 .......................................................................... 61
4.3.1. Biodata Subjek ..................................................... 61
4.3.2. Biodata Anak ........................................................ 62
4.3.3. Gambaran umum subjek 3 ................................... 62
4.3.4. Gambaran umum anak ......................................... 64
4 .4. Analisis Antar Kasus ....................................................... 68
BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN
5.1. Kesimpulan ..................................................................... 73
5.2. Diskusi .................... ......................................................... 78
5.3. Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPI RAN
82
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Setiap manusia men~1inginkan kelak akan dapat berumah tangga,
membangun keluargEI, hidup berdampingan bersama pasangannya, dan
memiliki anak. Setiap keluarga mendambakan kehadiran anak sebagai
pemersatu suami-isteri, sebagai penerus generasi. Selain itu juga anak
merupakan buah hati yang mendatangkan kelengkapan di dalam keluarga,
dan dapat mempererat tali cinta suami istri. Tingkah !aku anak yang dapat
menjadi kebanggaan orang tua menjadikan kelahiran seorang anak menjadi
hal yang dinanti-nantikan bagi kebanyakan pasangan suami isteri. Hal ini
sama seperti yang diungkapkan oleh dr. Syaifudin Ali Akhmad dalam M.T
lndriati, 2007 bahwa setiap pasangan menginginkan segera memiliki anak
sebagai buah hati dan pengikat tali cinta mereka.
Harapan orang tua terhadap anaknya dimulai sejak mereka merencanakan
kehamilan. Masa kehamilan akan menjadi sesuatu yang ditunggu,
dipersiapkan sebaik-baiknya. Orang tua terutama seorang ibu mempunyai
harapan dan impian tentang anak yang dikandungnya. lbu berharap agar
anaknya dapat menjadi anak yang baik, cakap, pintar, membanggakan orang
tua dan sebagainya, lahir ke dunia dalam keadaan yang sempurna, sehat
jasmani dan rohani tanpa kurang suatu apapun dan dapat berkembang
secara optimal menjadi pribadi yang baik, shaleh dan dapat berlaku optimal di
dalam masyarakat.
Persiapan awal kehamilan para ibu biasanya dimulai dengan mencari
informasi sebanyak-banyaknya sehingga dapat mencapai proses kelahiran
yang lancar, dan kesehatan yang diharapkan. Persiapan para calon ibu tidak
hanya secara fisik tetapi juga persiapan psikologis dimana orang tua sudah
memikirkan bagaimana mendidik anak, merencanakan pendidikan dan di
mana si anak akan sekolah, persiapan yang akan dilakukan untuk
mengembangkan potensi yang ada pada diri anak.
Hari demi hari dinantikan selama sembilan bulan, bayi akhirnya lahir ke alam
dunia nyata. Perasaan sakit, proses kelahiran yang di·asa berat, butuh
perjuangan, antara hidup dan mati terobati dengan kelahiran bayi. Semua
perasaan tidak menyenangkan untuk ibu dan ayah menjadi sesuatu yang
membahagiakan dan menjadi sebuah kabar yang harus disampaikan kepada
anggota keluarga yang lainnya.
lbu <:kan terus memantau, memperhatikan apa yang anak tampilkan. Perilaku
anak yang ditampilkan mulai dibandingkan dengan anak-anak seusianya dan
yang ada di lingkungan sekitarnya. Hal yang biasanya dibandingkan adalah
pada awal perkembangan anak, anak-anak sudah mulai dapat duduk,
berjalan dan memulai kata-kata pertamanya, seperti rremanggil "mama" atau
"ibu". Jika perkembangan yang nampak sesuai atau lebih dari pada
umumnya, maka orang tua akan merasa senang, bangga clan mendapat
pujian dari orang-orang sekitar.
Sebaliknya, orang tua akan merasa prihatin dan khawatir jika
perkembangannya tidak nampak seperti anak seusianya pada umumnya.
Perkembangan motorik ketika kanak-kanak pada usia 3 tahun anak-anak
masih suka akan gerakan sederhana seperti berjingkak-jingak, melompat.
Mereka bangga dapat berlari melewati suatu ruangan dan melompat
(John.W.Shantrok, 2002). Dunia kognitif anak-anak ialah kreatif, bebas, dan
pem:h imajinasi (John.W.Shantrok, 2002). Dalam bukunya, Hurlock
mengemukakan bahwa perkembangan bahasa pada masa awal anak-anak
umumnya merupakan saat berkembang pesatnya penguasaan tugas pokok
dalam belajar berbicara, yaitu menambah kosa kata, menguasai pengucapan
kosa kata dengan menggabungkan kata-kata menjadi kalirnat (Elizabeth
B.Hurlock, 1980). Tugas perkembangan ini tidak ditemukan pada anak
berkebutuhan khusus. Perkembangan bahasa yang lebih lambat terjadi
apabila anak tersebut memiliki kekhususan, karena perkembangan bahasa
sangat erat kaitannya dengan perkembangan kognisi (Sotjihati, 2006)
Orang tua mulai menyadari bahwa perkembangan anaknya terlambat, tidak
seperti anak normal. Hal seperti ini menurut orang tua tidak wajar seperi
halnya anak-anak lain pada umumnya. Reaksi kegembiraan karena
kehadiran seorang anak di tengah-tengah keluarga dapat berubah sebaliknya
di saat kenyataan yang dihadapi tidak sesuai dengan harapan awal orang tua
saat masih mengandung, yaitu melahirkan anak yang sehat seperti anak
anak pada umumnya.
Rasa khawatir akan masa depan anal< dalam mengurus diri sendiri juga
dapat menjadi pikiran bagi orang tua, yang diKhawatirkan adalah siapa yang
akan mengurus anal< sepeninggalnya. Bayangan mengenai anak yang
optimal perkembangannya tidak terwujud, kenyataan yang terjadi malah
sebaliknya, hal ini dapat menyebabkan stress dan merupak.an hal yang
menyakitkan bagi orang tua.
Keterlambatan perkembangan anal< juga menjadi hal sensitif bagi orang tua.
Pernyataan seperti diagnosis yang menyatakan bahwa anak Mental
Retardation akan memiliki fungsi intelektual di bawah rata-rata, keterbatasan
komunikasi, keterbatasan merawat diri sendiri, serta minimnya kemampuan
untuk berinteraksi dengan lingkungan, sehingga kehadiran anak tidak sealu
mudah jika anak tersebut memiliki kekhususan.
Kekhawatiran orang tua berdampak pada fisik, emosional, psikologis pada
orang tua khusunya bagi ibu, secara fisik menyebabkan ibu jatuh sakit,
sedangkan secara emosional orang tua akan mudah tersinggung, cepat
marah, menangis, dampak psikologis dapat berupa kecemasan akan masa
depan anak, depresi, malu dan merasa gagal sebagai orang tua sejak
mengetahui keadaan anak tidak sesuai seperti apa yang diharapkan. Hal ini
pernah dirasakan oleh F, seorang ibu yang anak bungsunya didiagnosis
down sundrome sejak bayi (sumber, Majalah Paras edisi 313).
Stigma atau pandangan terhadap anak berkekhususan dapat menjadi hal
yang memalukan bagi orang tua. Orang tua akan ber Jsaha menghindari
situasi yang dapat menimbulkan komentar mengenai kecac:atan anaknya. Hal
ini disebabkan karena lingkungan sosial seolah menekan seseorang untuk
bertindak di luar batas kemampuannya (psikologi klinis).
Banyak usaha yang dilakukan orang tua guna memulihkan kondisi anak,
diantaranya pergi ke dokter untuk menanyakan secara lan9sung masalah
yang dihadapi oleh anaknya sampai berkonsultasi dengan para ahli atau
orang-orang yang berkompeten di bidangnya. Baik secara medis dengan
mendatangi dokter atau psikolog, secara spirtual dengan mendatangi para
normal yang mungkin didasari atas saran dari masyarakat untuk melakukan
tindakan-tindakan yang dapat menyembuhkan anak yang clianggap berbeda,
dan juga mendatangi pengobatan alternatif. Usaha selalu orang tua lakukan
walaupun tidak mudah menerima anak yang didiagnosis tuna grahita.
Banyak reaksi dan perasaan yang dapat ditimbulkan orang tua yang memiliki
anak dengan kekhususan, diantaranya dapat berupa sedih, marah,
terguncang, menolak kondisi anak, sedih, merasa bersalah, dan pengandaian
seandainya keadaan tersebut tidak menimpa dirinya.
Berdasarkan data yang diperoleh bahwa ternyata ada beberapa orang tua
"sulit" menerima kondisi anak berkebutuhan khusus, pada umumnya orang
tua dengan anak kebutuhan khusus adalah merasa shock, setelah itu adanya
penyangkalan kondisi anak, duka cita, diikuti dengan depresi, antara
menerima dan menolak kondisi anak, merasa bersalah, merasa malu,
mengadakan perundingan sebelum akhirnya melewati tahap adaptasi dan
penerimaan.(Yoana Sari)
Sumber lain menyebutkan bahwa ada orang tua dengan keadaan anak
'cacat' merasa sulit untuk menerima keberadaan anak, bahkan setelah
bertahun- tahun berada ditengah keluarga, orang tua cenderung terus
memaksakan kehendak untuk menyembuhkan anaknya, merasa bahwa
kondisi anak dapat pulih seperti semula, tidak jarang orang tuapun merasa
malu dengan kondisi 'kecacatan' anak sehingga anak cenderung
disembunyikan dari pandangan orang lain, hal ini dialami ol1:ih seorang wanita
penyandang polio di Bandung. (Yudi Dzulfadli, 2007)
Hal tersebut sama menurut teori yang diungkapkan oleh Gargiulo dan juga
J.P Chaplin. Orang tua juga akan merasa tidak puas terhadap dirinya sendiri,
terguncang dengan yang telah terjadi, menolak untuk mengenali kecacatan
yang terjadi pada anaknya sehingga orang tua menjadi tidak percaya diri
untuk bersosialisasi dengan lingkungan sekitar.
Dari pemaparan di alas, penulis merasa tertarik dengan bagaimana dinamika
penerimaan ibu terhadap anak tuna grahita.
1.2. Pembatasan Masalah
Dalam penulisan ini, penulis hanya membatasi pada permasalahan pada:
1.2.1. Penerimaan
Proses penerimaan yang dijelaskan oleh Kubler Ross (dalam Gargiulo,
1985), berkaitan dengan reaksi atau respon orangtua terhadap objek, yang
dimaksudkan dalam objek disini adalah anak tuna grahita.
1. Prima1y Phase
a. Shock, orang tua merasa terguncang dengan apa yang telah terjadi.
Timbul tingkah laku yang tiduk rasional dan perasaan tidak berdaya.
b. Denial, yaitu menolak mengenali kecatatan yang terjadi pada anaknya
dan beberapa orangtua mungkin melakukan rasionalisasi, dan mencari
penegasan dari para ahli.
c. Grief and Deppresion, merupakan reaksi yang alami, dimana orangtua
akan merasa sedih dan perasaan marah pada diri sendiri. Ditandai
dengan penarikan diri dari lingkungan.
2. Secondary Phase
a. Ambivalence, yaitu perasaan yang dirasakan orangtua yang saling
bertentangan antara menerima dan menolal< kondisi yang terjadi pada
anak.
b. Guilt, yaitu perasaan bersalah orangtua terhadap anaknya. Biasanya
untuk mengatasi perasaan bersalah terhadap anaknya, orangtua
berusaha membayar kesalahannya dengan mencari informasi
mengenai apa yang harus dilakukan seperti membawa anak berobat.
c. Anger, yaitu perasaan marah yang ditunjukkan pada diri sendiri dan
orang lain (displacement)
d. Shame and Embarassment, yaitu perasaan malu yang timbul saat
menghadapi lingkungan sosial.
3. Tertiary Phase
a. Bergaining, yaitu strategi dimana orangtua mengadakan perundingan
dan perjanjian dengan pihak yang dapat mengembalikan anaknya
seperti semula.
b. Adaptation and Reorganization, yaitu reaksi orangtua untuk
beradaptasi dengan keadaan yang membuat cemas dan emosional
lainnya. Dan merasa nyaman dengan situasi yang ada.
c. Acceptance and Adjustment, yaitu proses dimana orangtua berusaha
untuk mengenali, memahami, dan menerima kondisi yang terjadi.
Kesadaran seseorang atas segala hal yang terdapat dalarn dirinya, baik
potensi yang positif maupun kekurangan diri, yang menimbulkan rasa senang
atas kepemilikan semua hal tersebut.
Penerimaan dalam Islam dapat meliputi tawakal yaitu berserah diri kepada
Allah yang ditinjau dari psikologi pengertian tawakal adalah mengandung
makna penerimaan diri sepenuhnya, kesabaran meiliki manfaat yang besar
dalam mendidik diri agar meningkatkan kemampuan manusia dalam
menanggung kesulitan, memperbarui tenaganya dalam mengadapi berbagai
problem dan beban kehidupan serta bencana dan cobaan rnasa.
1.2.2. Tuna Grahita
Tuna grahita adalah istilah yang digunakan untuk anak den9an
keterbelakangan intelegensi. Klasifikasi anak tuna grahita menurut Binet
adalah (10=67-52) untuk taraf ringan, (10=51-36) untuk taraf sedang,
(10=<35) Untuk taraf berat. Sedangkan menurut Weschler (10=69-55) untuk
taraf ringan, (10=54-40) untuk taraf sedang, (10=<40) u11tuk taraf berat.
1.2.3. lbu
Adalah orang tua perempuan yang melahirkan dan yang membesarkan anak,
dalam penelitian ini penulis membatasi sampel pada tiga orang ibu yang
memiliki anak Tuna Grahita.
1.3. Perumusan Masalah
Dalam penelitian ini, penulis membuat perumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana dinamika penerimaan ibu yang memiliki anak tuna grahita
2. Apa yang dirasakan ibu pada tahap pertama?
3. Faktor apa saja yang dapat mempengaruhi penerimaan diri ibu?
1.4. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan tema di atas, maka penelitian ini mempunyai tujuan untuk
mendapatkan dinami:<a penerimaan ibu terhadap anak tuna grahita.
1.5. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini secara teoris adalah dapat dijadikan referensi dan
juga memberi kontribusi untuk penelitian-penelitian selanjutnya dalam bidang
psikologi.
Secara praktis penelitian ini berguna diantaranya:
Untuk para orang tua diharapkan
Mendapatkan pengetahuan yang memadai dalam mengasuh anak
berkebutuhan khusus. lbu yang memiliki anak tuna grahita dapat membantu
penerimaan diri ibu-ibu yang lain. Untuk para ibu, agar dapat menerima
keadaan anak seutuhnya dan membiarkannya hidup seoptimal mungkin yaitu
dengan berusaha mengembangkan kemampuannya secara optimal, serta
dapat mencari sekolah luar biasa (SLB) yang tepat bagi anak, mengajaknya
bermain.
Untuk para keluarga diharapkan
Dapat memahami kondisi seorang ibu yang memiliki anak tuna grahita
sehingga mendapatkan dukungan yang sesuai dengan kebutuhan.
Untuk saudara sekandung, dapat memahami kondisi saudara dan
membantunya mengembangkan diri sesuai dengan kebutuhan.
Tidak saling menyalahkan dan menerima anak dalam keluarga seutuhnya.
Untuk para pendidik diharapkan
Agar dapat memberikan cara belajar sesuai dengan kebutuhan anak.
Memberikan materi berdasarkan kemampuan yang dimiliki anak sehingga
dapat diperoleh hasil pembelajaran yang optimal di lingkungan formal.
Saling memberikan dukungan antara pihak sekolah dengan orang tua dengan
keadaan yang dialami oleh anak baik di rumah maupun di sekolah
Serta dapat bermanfaat bagi semua orang sebagai suatu ilmu yang tidak
akan pernah ada habisnya, agar nantinya penelitian ini dapat dikembangkan
lebih dalam dan lebih luas lagi sebagai suatu pembahasan yang real dan
menarik untuk diangkat.
1.6. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pemahaman pada tulisan ini, maka penulis
men~·usunnya dalam sistematika penulisan sebagai berikut:
BAB 1 Pendahuluan
Yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan masalah,
tujuan dan manfaat serta sistematika penulisan
BAB 2 Kajian Pustaka
Bagian ini terdiri dari teori - teori dari permasalahan ini, diantaranya
teori tentang penerimaan diri (self acceptance), dan tuna grahita
yang terdiri dari pengertian dan penjelasan.
BAB 3 Metode Penelitian
Bagian ini terdiri dari metode pengumpulan data, subjek penelitian
yang terbagi menjadi karakteristik dan jumlah subjek penelitian,
banyaknya alat Bantu pengumpulan data, prosedur pengumpulan
data dan yang terakhir adalah analisa data.
BAB 4 Hasil Penelitian
Pada bab ini penulis akan memberikan gambaran umum masalah
dan hasil utama penelitian.
BAB 5 Kesimpulan, Diskusi, Saran
Pada bab ini penu!is akan memberikan kesimpulan dari penelitian
yang telah penulis lakukan beserta diskusi dan saran.
2.1. Penerimaan
BAB2
LANDASAN TEORI
2.1.1 Pengertian Penerimaan
Dalam kamus psikologi, acceptance atau penerimaan ditandai dengan sikap
positif, pengakuan atau penghargaan terhadap nilai - nilai individu, dengan
kata lain penerimaan dapat merupakan segala perilaku yang positif baik yang
ditujukan pada dirinya atau orang lain serta adanya pengakuan kelebihan
yang ada dalam diri sendiri maupun orang lain.
Berikut adalah proses penerimaan yang dijelaskan oleh Kubler Ross (dalam
Gargiulo, 1985). lbu dapat berada dalam satu tahap untuk waktu yang lebih
lama atau lebih cepat dibandingkan dengan orang tua lain, oleh karena itu
mereka tidak memberi patokan waktu dalam tiap tahapnya. Selain itu perlu
diingat bahwa dalam melewati proses penerimaan, setiap ibu memiliki
keunikan-keunikan tersendiri yang berkaitan dengan kepriclian mereka, ada
ibu yang tidak mengalami reaksi tertentu, clan langsung melompat pada
reaksi selanjutnya (Kubler Ross dalam Gargiulo, 1985)
1 . Primary Phase
a. shock, orang tua merasa terguncang dengan apa yang telah terjadi.
Timbul tingkah laku yang tidak rasional dan perasaan tidak berdaya
ditandai dengan menangis terus menerus.
b. Denial, yaitu menolak mengenali kecacatan yang terjadi pada anaknya
dan beberapa orangtua mungkin melakukan rasionalisasi, dan mencari
penegasan dari para ahli.
c. Grief and Deppresion, merupakan reaksi yang alami, dimana orangtua
akan merasa sedih dan perasaan marah pada diri SE~ndiri, dengan
perasaan ini, ibu mengalami masa transisi dimana harapan masa lalu
mengena 'anak yang sempurna' disesuaikan dengan kenyataan yang
terjadi saat ini. Salah satu perilaku yang paling mun9kin muncul dalam
fase ini adalah penarkan diri dari lingkungan. Olhansky (dalam
Gargiulo, 1985).
2. Secondary Phase
a. Ambivalence, yaitu perasaan yang dirasakan orangtua yang saling
bertentangan antara menerima dan menolak kondisi yang terjadi pada
anak. Kondisi anak menyebabkan ibu lebih ekstra dalam mengasuh
anak, dengan adanya perasaan bersaah maka ibu membayarnya
dengan memberikan sebagian besar waktunya untuk anak. Sementara
itu penolakan pada ibu dapat terihat melalui sikap ibu yang menolak
mengakui 'kelainan' anak. Selain itu ibu juga memiliki penilaian negatif
pada anak secara terus menerus (Gallagher dalam Gargiulo 1985)
b. Guilt, yaitu perasaan bersalah orangtua terl1adap anaknya karena
menganggap dialah yang menyebabkan 'kecacatan' anaknya.
Biasanya untuk mengatasi perasaan bersalah terhadap anaknya,
orangtua berusaha membayar kesalahannya dengan mencari
informasi mengenai apa yang harus dilakukan seperti membawa anak
berobat.
c. Anger, yaitu perasaan marah yang ditunjukkan pada diri sendiri dan
orang lain (displacement), seperti dokter, terapis, pasangan, atau anak
kandungnya.
d. Shame and Embarassment, yaitu perasaan malu yang timbul saat
menghadapi lingkungan sosial yang menolak, mengasihani, atau
mengejek ' kecacatan' anak. Sikap lingkungan yang terus menerus
seperti ini dapat menurunkan harga diri karena beberapa ibu
menganggap anak merupakan penerus dirinya.
3. Tertiary Phase
a. Bargaining, yaitu strategi dimana orangtua mengadakan perundingan
dan perjanjian dengan pihak yang dapat mengembalikan anaknya
seperti semula.
b. Adaptation and Reorganization, yaitu reaksi orangtua untuk
beradaptasi dengan keadaan yang membuat cemas dan emosional
lainnya. Dan merasa nyaman dengan situasi yang ada dan
menunjukkan rasa percaya diri dalam kemampuan mereka merawat
dan mengasuh anak, sehingga membantu meningkatkan hubungan
antara ibu dengan anak. lbu mulai mampu bertanggung jawab atas
masalah anak.
c. Acceptance and Adjustment, yaitu proses dimana orangtua berusaha
untuk mengenali, memahami, dan menerima kondisi yang terjadi.
Namun tetap saja perasaan negatif yang sebelumnya perah terbentuk
tidak pernah hilang. Pada fase ini ibu menyadari bahwa dalam proses
penerimaan ibu tidak hanya menerima kondisi anaknya, namun juga
menerima diri sendiri.
2.1.2 Penerimaan Dalam Islam
a.Sabar
Islam mengajarkan hubungan dengan Allah dan manusia, ketika peran
tersebut mengalami hambatan maka individu tersebut harus dapat
menyesuaikan diri. Kenyataan hidup sehari-hari tidak selamanya
menyenangkan. Ada orang yang berhasil mencapai cita-citanya dan ada pula
yang gagal. Penyebab kegagalan itupun bermacam-macam pula. Terlebih
ketika Allah mengujinya dengan penyakit anak dan harta. Hal tersebut
semata-mata untuk menguji keimanannya, seperti dalam firman Allah surat
Al-Kahfi ayat 46:
"Harta dan anak adalah perhiasan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal
lagi saleh ada/ah lebih baik pahalanya disisi Tuhanmu serta /ebih baik untuk
menjadi harapan".
Allah memerintahkan orang Islam agar menjadikan sabar clan shalat untuk
menolongnya. Seperti dalam surat Al-Baqarah ayat 153:
"Wahai orang-orang yang beriman, mintalah pertofongan dengan sabar dan
sha/at, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang salat".
Dalam bukunya Dr. M. 'Utsman Najati mengungkapkan bahwa sabar memiliki
manfaat yang besar dalam mendidik diri, memperkuat kepribadian,
meningkatkan kemampuan manusia dalam menanggung kesulitan,
memberbaharui tenaganya dalam menghadapi berbagai problem dan beban
kehidupan serta bencana dan cobaan, dan membangkitkan kemampuannya
dalam melanjutkan perjuangan.
Seorang mukmin yang sabar tidaklah menjadi terlalu sedih sewaktu ia
tertimpa cobaan, ia tidak pernah menjadi lemah atau ambruk ketika tertimpa
bencana atau malapetaka. Allah telah menganjurkannya untuk bersabar dan
memberi tahu kepada hambaNya bahwa apa yang menimpanya dalam
kehidupan dunia ini tidak lain adalah cobaan dari Allah, agar la tahu siapakah
di antara manusia yang termasuk orang-orang sabar.
Sabar dapat menjauhkan perasaan cemas, gelisah, dan frustasi. Bahkan
sebaliknya akan membawa pada ketentraman batin. Ada yang mudah
tersinggung, cepat marah dan tidak dapat berpikiran jernih karena dia tidak
sabar. (Zakiah Daradjat, 2002)
b. Tawakal
Tawakal merupakan salah satu cara untuk meraih ketentraman batin. Apabila
pengertian tawakal ditinjau dari segi psikologis dapat dikatakan bahwa sikap
tawakal itu mengandung makna penerimaan diri sepenuhnya terhadap
kenyataan diri dan hasil usahanya sebagaimana adanya, atau dengan
perkataan lain mau dan mampu menyesuaikan diri dengan diri sendiri, yang
selanjutnya menunjukkan bahwa kesehatan mentalnya cukup baik.
Orang yang tidak mau atau tidak mampu menerima dirinya sebagaimana
adanya, maka ia akan merasa tertekan, gelisah, cemas, dan lebih jauh
mungkin akan terserang gangguan jiwa. (Zakiah Daradjat, 2002)
Selain itu sebagai seorang muslim hendaknya ketika ditimpa musibah
menyerahkan semuanya kepada Allah, karena Allah tidak akan menguji
kaumnya sampai batas kemampuan dirinya dengan meyakini dan optimis
Allah pasti memberikan solusi dari permasalahan yang menimpa dirinya.
2.2. Anak Tuna Grahita
Dalam bukunya, Sutihaji Somantri menulis tuna grahita adalah istilah yang
digunakan untuk menyebut anak yang mempunyai kemampuan intelektual di
bawah rata-rata atau kondisi anak yang kecerdasannya jauh di bawah rata
rata dan ditandai oleh keterbatasan intelegensi dan ketidakcakapan dalam
interaksi sosial. Anal< tuna grahita atau dikenal juga dengan istilah
keterbelakangan mental !<arena keterbatasan kecerdasannya mengakibatkan
dirinya sukar untuk mengikuti program pendidikan di sekolah biasa secara
klasikal. Oleh !<arena itu anak keterbelakangan mental membutuhkan layanan
pendidikan secara khusus yakni disesuaikan dengan kemampuan anak
terse but.
Tuna grahita atau keterbelakangan mental merupakan kondisi dimana
perkembangan kecerdasan mengalami hambatan sehingga tidak mencapai
tahap perkembangan yang optimal. Ada beberapa karakte1·istik umum tuna
grahita yang dapat diketahui, yaitu :
1. Keterbatasan intelegensi
lntelegensi merupakan fungsi yang kompleks yang dapat diartikan sebagai
kemampuan untuk mempelajari informasi dan keterampilan-keterampilan
menyesuaikan diri dengan masalah-masalah dan situasi-situasi kehidupan
baru, belajar dari pengalaman masa lalu, berpikir abstrak, kreatif, dapat
menilai secara kritis, menghindari kesalahan-kesalahan, mengatasi kesulitan
kesulitan, dan kemampuan untuk merencanakan masa depan. Anak tuna
grahita memiliki kekurangan dalam semua hal tersebut. kapasitas belajar
anak tuna grahita terutama yang bersifat abstrak seperti belajar dan
berhitung, menulis dan membaca juga terbatas. Kemampuan belajarnya
cenderung tan pa pengertian atau cenderung belajar dengan membeo.
2. Keterbatasan sosial
Disamping memiliki keterbatasan intelegensi, anak tuna grahita juga memiliki
kesulitan dalam mengurus diri sendiri dalam masyarakat, oleh karena itu
mereka memerlukan bantuan. Anak tuna grahita cenderung berteman
dengan anak yang lebih muda usianya, ketergantungan terhadap orang tua
sangat besar, tidak mampu memikul tanggung jawab sosial dengan
bijaksana, sehingga mereka harus selalu dibimbing dan diawasi. Mereka juga
mudah dipengaruhi dan cenderung melakukan sesuatu tan pa memikirkan
akibatnya.
3. Keterbatasan fungsi-fungsi mental lainya
Anak tuna grahita memerlukan lebih lama untuk menyelesaikan reaksi pada
situasi yang baru dikenalnya. Mereka memperlihatkan reaksi terbaiknya bila
mengikuti hal-hal yang rutin dan secara konsisten dialaminya dari hari ke hari.
Anak tuna grahita tidak dapat menghadapi sesuatu kegiatan atau tugas
dalam jangka waktu yang lama.
Anak tuna grahita memiliki keterbatasan dalam penguasaan bahasa. Mereka
bukannya mengalami kerusakan artikulasi, akan tetapi pusat pengolahan
(perbendaharaan kata) yang kurang berfungsi sebagaimana mestinya.
Karena alasan itu mereka membutuhkan kata-kata konkret yang sering
didengarnya. Selain itu perbedaan dan persamaan harus ditunjukkan secara
berulang-ulang. Latihan-latihan sederhana seperti mengajarkan konsep besar
dan kecil, keras dan lemah, pertama, kedua, dan terakhir, perlu
menggunakan pendekatan yang konkret.
Selain itu, anak tuna grahita kurang mampu untuk mempertimbangkan
sesuatu, membedakan antara yang baik dan yang buruk, clan membedakan
yang benar dan yang salah. lni semua karena kemampuanya terbatas
sehingga anak tuna grahita tidak dapat membayangka11 terlebih dahulu
konsekuensi dari suatu perbuatan.
2.2.1. Klasifikasi Tuna Grahita
IQ difemukan pada anak tuna grahita ringan, sedang, berat, anak tuna grahita
merniliki IQ sendiri-sendiri yang tidak bisa ditukar-tukar.
Tuna grahita ringan
Tuna grahita ringan disebut dengan moron atau debil. Kelompok ini rnemiliki
IQ antara 68 - 52 menurut Binet, sedangkan menurut skala Weschler (WISC)
rnemiliki IQ 69 - 55. Mereka mas.h dapat belajar membaca,. menulis, dan
berhitung sederhana. Dengan bimbingan dan pendidikan yang baik, anak
keterbelakangan mental ringan pada saatnya akan dapat memperoleh
penghasilan untuk dirinya sendiri.
Tuna grahita sedang
Anak tuna grahita sedang disebut juga imbesil. Kelompok ini memiliki IQ
51-36 pada skala Binet dan 54-40 menurut skala Weschler (WISC). Anak
keterbelakangan mental sedang bisa mencapai perkembangan MA sampai
kurang lebih 7 tahun. Mereka dapat dididik mengurus diri sendiri, melindungi
diri sendiri dari bahaya seperti menghindari kebakaran, berjalan di jalan raya,
berlindung dari hujan dan sebagainya.
Tuna grahita berat
Kelompok anak tuna grahita berat sering disebut idiot. Kelompok ini
dibedakan lagi antara anak tuna grahita berat dan sangat berat. Tuna grahita
berat (severa) memilik IQ antara 32-20 menurut skala Binet dan antara 39-25
menurut skala Weschler (WISC). Tuna grahita sangat berat (profound)
memiliki IQ dibawah 19 menurut skala Binet dan IQ dibawah 24 menurut
skala Weschler (WISC). Kemampuan mental atau MA maksimal yang dapat
dicapai kurang dari tiga tahun. (Sutihaji Soemantri hal 106-108).
2.2.2. Faktor Penyebab Tuna Grahita
Sebab-sebab yang bersumber dari luar
1 . Keracunan sewaktu ibu hamil yang bisa menimbulkan kerusakan pada
plasma inti, misalnya karena penyakit sipilis atau kebanyakan minum
alkohol.
2. Kerusakan pada otak sewaktu kelahiran, misalnya lahir karena ala! bantu
atau pertolongan dan lahir prematur.
3. Panas yang terlalu tinggi, misalnya pernah sakit keras, typhus, cacar dan
sebagainya.
4. Gangguan pada otak, misalnya ada tumor otak, anoxia, infeksi pada otak,
hydrocephalus.
5. Gangguan fisiologis, seperti mongolisme, cretinisme
6. pengaruh lingkungan dan kebudayaan
Sebab-sebab yang bersumber dari dalam
Yaitu sebab dari faktor keturunan. Sebab ini dapat berupa gangguan pada
plasma inti. Pada kondisi genetik kecacatan ditentukkan pada saat konsepsi.
Kecacatan dapat ditimbulkan karena ketidak normalan krornosom. Salah
satunya adalah peristiwa trisomy, di mana pada keadcian ini kromosom yang
ada pada individu tidak lagi berjumlah 46, tetapi 47. lndividu yang tergolong
dalam kategori Down's syndrome atau mongolism adalah al<ibat dari trisomy
tersebut. Selain adanya ketidaknormalan kromosom, kecacatan juga dapat
disebabkan oleh ketidaknormalan genetik. Yang termasuk dalam
ketidaknormalan genetik antara lain janin yang rusak karena gangguan
metabolisme karbohidrat. Gangguam metabolisme ini juga rnengakibatkan
kerusakan pada ginjal dan hati selain ketunagrahitaan pada anak. (Clarke,
1982)
2.2.3. Karakteristik Anak Tuna Grahita
Karakteristik anak retardasi mental "mild" (ringan) adalah mereka yang
mampu didik, bila dilihat dari segi pendidikan. Merekapun tidak
nemperlihatkan keadaan fisik yang mencolok. Walaupun perkembangan
fisiknya sedikit agak lambat dari pada anak rata-rata. Mereka masih bisa
dididik di sekolah umum, namun membutuhkan perhatian khusus dan guru
khusus. Proses penyesuaian dirinya sedikit lebih rendah dari pada anak-anak
normal pada umumnya. Mereka kadang-kadang memperlihatkan rasa malu
atau pendiam. Beberapa keterampilan dapat mereka lakukan tanpa selalu
mendapat pengawasan, seperti keterampilan mengurus diri sendiri (mandi,
makan, berpakaian).
Karakteristik anak retardasi mental "moderate" (menengah) adalah mereka
yang digolongkan sebagai anak yang mampu latih, dimana mereka dapat
dilatih untuk beberapa keterampilan tertentu. Mereka menampakkan kelainan
fisik yang merupakan gejala bawaan. Mereka juga menampakkan adanya
gangguan pada fungsi bicara.
Karakterisrik anak retardasi mental "severe" adalah mereka yang
memperlihatkan banyak masalah. Oleh karena itu mereka membutuhkan
perlindungan hidup dan pengawasan yang teliti. Mereka membutuhkan
pelayanan dan pemeliharaan yang terus menerus, mereka tidak mampu
mengurus diri sendiri tanpa bantuan orang lain, mereka juga mengalami
gangguan bicara. Tanda-tanda kelainan fisik lainnya ialah lidah seringkali
menjulur keluar, bersamaan denga11 keluarnya air liur. Kepala sedikit lebih
besar dari biasanya. Kondisi fisiknya lemah dan mereka hanya bisa dilatih
keterampilan khusus selama kondisi fisiknya memungkinkan (LPSP3 UI)
Payne & Patton (1981) mengemukakan beberapa hal tentang anal< tuna
grahita dilihat dari segi tingkah laku, sosial dan emosional, belajar, fisik dan
kesehatanya. Berikut ini adalah penjabarannya:
Karakter Tingkah Laku
1) Tuna Grahita Taraf Ringan
Menunjukkan sedikit penyimpangan tingkah laku adaptif dan fungsi
intelektual.
Keterbelakangan anak sering tak terditeksi sampai anal< mulai
masuk sekolah.
Mengalami kesulitan dalam bidang akademis yang sering berkaitan
dengan masalah perhatian (atensi), dan dapat muncul dalam satu
bidang studi (misalnya menbaca) atau pada semua bidang studi.
Tingkah laku yang tidal< pantas yang dilakukan oleh anal< dapat
disebabkan oleh ketidakmampuan anal< membedakkan tingkah laku
apa yang dapat diterima dan apa yang tidak dapat diterima.
Sebagian besar anak tuna grahita dapat bergaul dEmgan orang lain.
Walaupun kosa kata yang dimiliki terbatas, kemampuan bahasa dan
bicara cukup bail< untuk situasi umum.
2) Tuna Grahita Taraf Sedang
Menunjukkan keterlambatan perkembangan kemampuan berjalan,
duduk dan bahasa.
Pada umumnya tidak mampu mempelajari bidang akademis seperti
berhitung, membaca, selain menghafal beberapa angka dan kata
sederhana.
Mampu mempelajari kegiatan merawat diri seperti membuka dan
memakai baju, makan, menjaga kebersihan diri dan kegiatan sehari
hari yang dapat membuat mereka cukup mandiri.
Mampu belajar bersosialisasi dengan anggota keluarga dan tetangga
dekat.
Beberapa anak membutuhkan pengawasan dan dukungan ekonomi
selama hidupnya.
3) Tuna Grahita Tahap Berat dan Parah
Jika tidak ada intervensi selama masa prasekolah, individu akan
menunjukkan koordinasi motorik yang buruk.
Ketergantungan pada orang lain sangat tinggi.
lnteraksi dengan lingkungan sangat sedikit.
Pada anak tuna grahita yang parah, pengasuhan total dibutuhkan.
Respon yang ditunjukkan anak pada setiap rangsangan sangat kecil.
Pada anak tuna grahita yang berat, sebagian besar anak bisa sedikit
berkomunikasi, dapat dilatih merawat diri, tapi tidak untuk bidang
akademis.
Karakteristik Sosial dan Emosional
Anak tuna grahita mempunyai kebutuhan psikolugis, sosial dan emosional
yang sama dengan anak normal, antara lain anak butuh kasih sayang dan
diterima orang lain. Penerimaan dan kasih sayang dari orang lain berguna
bagi perkembangan psikososial anak.
Karakteristik Belajar
Dalam mempelajari materi yang abstrak dan kompleks, anak tuna grahita
tertinggal dari anak normal. Pada umumnya mereka tidak bisa bersaiang
dengan teman sebayanya yang normal. Keterlambatan anak terlihat dalam
kegiatan yang membutuhkan kemampuan pemahaman bacaan, mengikuti
petunjuk yang kompleks lainnya. Waktu yang dibutuhkan anak untuk
memperhatikan suatu stimulus lebih besar dari anak normal.
Karakteristik Fisik dan Kesehatan
Pada anak tuna grahita taraf ringan, kararteristik yang dimiliki anak tidak jauh
berbeda dari anak normal. Dalam hal pertumbuhan berat dan tinggi badan,
anak tuna grahita mengalami keterlambatan dibandingkan dengan anak
normal. (Mosier dalam Payne & Patton, 1981 ).
2.3 Orang Tua Anak Luar Biasa
Saat-saat yang menyenangkan akan berubah menjadi kekHcewaan manakala
mengetahui anak memiliki kebutuhan khusus. Tahap pertama yang biasanya
muncul perasaan shock, mengalami goncangan batin, terkejut dan tidak
mempercayai kenyataan "kecacatan" yang diderita anaknya. Pada tahap ini
biasanya orang tua akan banyak mencari tahu mengenai keadaan anaknya
dan mencoba memperoleh diagnosa dari dokter maupun terapis yang bias
memberikan prognosis yang lebih positif. Tahap berikutnya mereka merasa
kecewa, sedih dan mungkin merasa marah ketika mereka mengetahui
realitas yang harus dihadapinya. Setelah itu perasaan tersebut diikuti dengan
penerimaan 'kecacatan' anaknya dan mulai bisa menyesuaikan diri dengan
'kecacatan' tersebut. Namun demikian proses penerimaan ini akan memakan
waktu yang lama, selain itu juga mungkin akan berfluktuasi.
lbu merupakan tokoh yang sangat rentan terhadap masalah penyesuaian.
Hal ini dikarenakan mereka berperan langsung dalam kelahiran anak.
Pandangan yang terbentuk pada ayah ataupun ibu juga sering menyebabkan
kesenjangan antara kegembiraan setelah masa penantian pada masa
kehamilan dengan realitas keadaan anaknya.
2.3. Kerangka Berpikir
Harapan ibu : • Mengandung dan sehat • Anak yang sempurna dalam fisiknya • Anak yang seha\ jasmani dan rohani • Anak dapat menjadi pribadi yang baik • Shaleh • Dapat berlaku optimal di masyarakat • Cerdas
• Shock • Denial (menolal<) • Grief & Deppression ( sedih & marah
pada diri sendiri)
Harapan vs Kenyataan : • Fisik yang sempurna vs fisik khas • Kecerdasan normal vs kurang • Tugas perkembangan optimal vs
lambat • Peka terhadap lingkungan vs tidak
dapat berkomunikasi
Karakteristik Anak : • penyimpan£1an tingkah laku
adaptif dan intelektual • fisik yang khas • kurangnya respon anak
Y Diagnosis Tuna GRahita
• Ambivalence (antara menerima & menolak kondisi yang terjadi pada anak)
• Guilt (perasaan bersalah orang tua)
• Mencari informasi • Anger • Same & Arnbarassment
(perasaan malu)
• Bergaining (strategi) • Adaptation & Reorganization • Acceptence & Adjustment
BAB3
METODOLOGI PENELITIA.N
Sesuai dengan permasalahan yang diajukan, yaitu Self acceptance
(penerimaan diri ibu yang memiliki anak tuna grahita, maka pada bagian ini
peneliti akan merinci jenis penelitian, subjek penelitian teknik pengambilan
sampel, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data.
3.1. Jenis Penelitian
3.1.1. Pendekatan Penelitian
PenP-litian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang pada dasarnya
memiliki tiga unsur utama. Pertama, data, bisa berasal dari bermacam
sumber; biasanya dari wawancara atau pengamatan, unsur kedua terdiri dari
prosedur analisis dan interpretasi yang digunakan untuk rnendapatkan
temuan atau teori, unsur ketiga adalah laporan tertulis dan lisan. (Anselm
Strauss & Juliet Corbin, 2003). Pendekatan kualitatif menghasilkan dan
mengolah data yang sifatnya deskkriptif seperti wawancara, observasi,
catatan lapangan dan lain sebagainya. (Poerwandari, 1998), serta data yang
terkumpul berbentuk kata-kata atau gambar, sehingga tidak menekankan
pada angka. (Sugiyono, 2005). Pendekatan ini sering disebut dengan istilah
naturalistik karena penelitiannya dilakukan pada kondisi yang alamiah
(natural setting), langsung ke sumber data dan peneliti adalah instrumen
kunci. (Sugiyono, 2005).
Dengan dasar penelitian kualitatif di atas, maka untuk mengetahui self
acceptance (penerimaan diri) ibu yang memiliki anak tuna grahita diperlukan
data-data yang diperoleh melalui wawancara dan observasi serta data yang
berasal dari berbagai sumber.
3.1.2. Metode Penelitian
Dalam penelitian kualitatif ada beberapa tipe penelitian salah satunya adalah
studi kasus. Studi kasus atau penelitian kasus (case study) adaleh penelitian
tentang suatu subjek penelitian yang berkenaan dengan suatu fase spesifik
atau khas dari keseluruhan personality (Maxfield dalam Nazir, 1999). Studi
kasus sangat bermanfaat ketika peneliti merasa perlu mernahami suatu
kasus spesifik, orang-orang tertentu, kelompok dengan karakteristik tertentu,
atau situasi unik secara mendalam dan dapat menggambarkan secara
lengkap berbagai gejala dan proses perilaku rnanusia serta peristiwa
peristiwa khusus yang tidal< mudah dijelaskan melalui pendekatan kuantitatif.
(Patton dalam Poerwandari, 1998)
•)')
3.2. Subjek Penelitian
3.2.1. Karakteristik Subjek
Subjek atau responden yang dilibatkan dalam penelitian ini memiliki
karakteristik sebagai berikut :
a. Subjek penelitian adalah ibu kandung yang anaknya didiagnosis tuna
grahita.
b. Berusia antara 30-45 tahun karena menurut Hurlock (2002) pada usia ini
adalah masa periode pertengahan dewasa, masa dimana seseorang
memperluas tanggung jawab sosial dan pribadi, membantu genererasi
selanjutnya menjadi generasi selanjutnya.
c. Subjek bertempat tinggal di Jakarta dan sekitarnya, hal ini agar peneliti
lebih mudah untuk melakukan koordinas
d. Pendidikan ibu minimal SD, dapat membaca dan menulis, kriteria ini
bertujuan agar subjek dapat mengerti dan memahami rnaksud pertanyaan
yang diajukan dan dapat memberikan jawaban yang jelas.
3.2.2. Jumlah Subjek
Jumlah subjek sangat bergantung pada apa yang ingin diketahui peneliti,
konteks saat itu apa yang dianggap bermanfaat dan dapat dilakukan dengan
waktu dan sumber daya yang tersedia (Poerwandari, 1998). Berdasarkan hal
diatas untuk mengetahui penerimaan diri ibu secara lebih mendalam
disamping keterbatasan waktu dan responden yang terbatas, maka dalam
penetian ini ditetapkan jumlah subjek sebanyak 3 orang ibu.
3.2.3. Teknik Pengambilan Subjek.
Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
purposive sampling. Maksud purposive sampling yakni cara agar manusia,
latar dan kejadian tertentu (unik, khusus, aneh, nyeleneh) betul-betul
diupayakan terpilih untuk memberikan informasi penting. (Le Compte &
Preissle, 1993), pada penelitian ini subjek diambil sesuai dengan karakteristik
yang telah ditentukan.
3.3. Pengumpulan Data
3.3.1. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini metode pengumpulan data menggunakan metode
observasi dan wawancara.
a. Observasi
Observasi merupakan cara dan teknik pengumpulan data dengan melakukan
pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala atau
fenomena yang ada pada objek penelitian.(Pandu Tika dkk, 2007)
Menurut Patton dalam Nasution (1988), dinyatakan bahwa manfaat observasi
adalah sebagai berikut:
a. Dengan observasi di lapangan peneliti akan lebih mampu memahami
konteks data dalam keseluruhan situasi sosial, jadi akan dapat diperoleh
pandangan yang holistik dan menyeluruh.
b. Dengan observasi maka akan diperoleh pengalaman langsung, sehingga
memungkinkan peneliti menggunakan pendekatan induktif, jadi tidak
dipengaruhi oleh konsep atau pandangan sebelumnya. Pendekatan
induktif menemukan kemungkinan melakukan penemuan atau discovery.
c. Dengan observasi. Peneliti dapat melihat hal-hal yang l<urang atau tidak
diamati orang lain, khususnya orang yang berada dalarn lingkungan itu,
karena telah dianggap "biasa" .
d. Dengan observasi, peneliti dapat menemukan hal-hal yang di luar
persepsi responden, sehingga peneliti memperoleh garnbaran yang lebih
konferhensif.
e. Melalui pengamatan di lapangan, peneliti memperoleh l<esan-kesan
pribadi dan merasakan suasana situasi sosial yang diteliti.
b. Wawancara
Wawancara adalah percal<apan dengan mal<sud tertentu. Percakapan itu
dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan
pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberil<an jawaban
atas pertanyaan itu. Maksud mengadakan wawancara seperti yang
ditegaskan oleh Lincoln dan Guba (1985), antara lain men~1konstruksi
mengenai orang, kejadian, kegiatan, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan,
kepedulian.
Wawancara merupakan salah satu bentuk komunikasi verbal semacam
percakapan yang bertujuan memperoleh informasi. Wawancara merupakan
metode pengumpuan data dengan cara tanya jawab yang dikerjakan dengan
sistematik dan berdasarkan pada masalah, tujuan dan hipotesis penelitian.
Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara semi
berstruktur dengan sifat wawancara terbuka. Artinya pewawancara dan yang
diwawancarai sama-sama mengetahui tujuan wawancara, sering juga disebut
in-depth interview (Poerwandari 2005). Pada penelitian ini wawancara akan
dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara (pedoman wawancara
terlampir)
Langkah-Langkah Wawancara
Lincoln and Cuba dalam Sanapiah Faisal, mengemukakan ada tujuh langkah
dalam penggunaan wawancara untuk mengumpulkan data dalam penelitian
kualitatif, yaitu:
a) menetapkan kepada siapa wawancara itu akan dilakukan
b) menyiapkan pokok-pokok masalah yang akan menjadi bahan
pembicaraan
c) mengawali atau membuka alur wawancara
d) melangsungkan alur wawancara
e) mengkonfirmasikan ikhtisar hasil wawancara dan mengakhirinya
f) menuliskan hasil wawancara ke dalam catatan lapangan
g) mengidentifikasi tindak lanjut hasil wawancara yang telah diperoleh
3.3.2. lnstrumen Penelitian
Dalam penelitian ini, instrumen yang peneliti gunakan adalah berupa
pedoman wawancara, pedoman observasi, tape recorder. Pedoman
wawancara dan alat perekam (tape recorder) diperlukan untuk menunjang
jalannya wawancara agar sesuai dengan tujuan penelitian dan landasan
teoritis sehingga jawaban wawancara akan lebih terarah dengan apa yang
ingin diteliti.
3.4. Teknik Analisa Data
Analisa data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data
yang diperoleh dari hasil wawncara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain,
sehingga dapat mudah dipahami, dan temuannya dapat diinformasikan
kepada orang lain.
Adapun prosedur dalam analisa data adalah sebagai berikut:
a. Membuat transkip wawancara secara verbatim dan membaca berulang-
ulang untuk menemukan makna dari jawaban responden.
b. Melakukan penelitian data yang relevan dengan pokok permasalahan.
c. Mengelompokkan data-data dengan memberikan kode-kode.
d. Melakukan interpretasi dengan analisa pencocokan pola lalu hasil analisa
dibandingkan dengan teori yang digunakan dalam penelitian ini.
e. Membandingkan dan menganalisa hasil antar kasus
BAB4
ANALISA DATA
Dalam bab ini akan menganalisis hasil wawancara dari ketiga subjek
penelitian, yang didapat dari lapangan penelitian. Adapun hasil penelitian
dapat dijabarkan dalam bentuk gambaran umum subjek, riwayat kasus,
analisa kasus, dan analisa perbandingan antar kasus.
Subjek yang diambil dalam penelitian ini berjumlah 3 orang ibu yang telah
dipilih berdasarkan dengan kriteria yang ditetapkan sebelurnnya. Nama-nama
subjek dalam penelitiaan ini sengaja disamarkan untuk menjaga kerahasiaan
subjek penelitian dan sesuai dengan etika peneitian.
4.1. Analisis Subjek 1
4.1.1. Biodata Subjek
--·
Subjek 1 Suami ·-·---
lnisial A H
Usia 45 49
Pendidikan SMA STM '--
Pekerjaan IRT Karyawan Swasta
Agama Islam Islam
4.1.2. Biodata Anak
lnisial
Jenis Kelamin
Usia
- Anak.
Riwayat Kesehatan
:D
: Laki-laki
: 15 tahun
: 2 dari 3 bersauadara
* Panas selama 2 hari
Pendidikan
* SLB C sejak usia 3 tahun hingga sekarang
* TK usia 3 tahun (hanya sebentar)
Kursus
* Berenang seminggu sekali di gor R
* Membaca dan menulis di SLB setiap hari set13lah jam sekola
usai
Diagnosis
4.1.3. Gambaran Umum
Subjek 1
: Tuna Grahita sedang ( 42 )
A adalah ibu dari tiga orang anak dengan postur tubuh gernuk dan tinggi
serta berkulit gelap. Profesi yang dijalani A adalah ibu rumah tangga namun
A mempunyai pekerjaan sampingan yaitu membuka kantin di SDLB tempat D
bersekolah, barang yang dijual dari mulai makanan sampai dengan mainan
dan alat tulis. Aktivitas sampingan itu tidak mengganggu kegiatan ibu A
sebagai ibu rumah tangga yang memiliki anak tuna grahita. A masih bisa
menemani anaknya itu kesekolah dan ke tempat kursus berenang setiap satu
minggu sekali.
A sangat memperhatikan segala kebutuhan D dari mulai pakaian, makan
serta kebutuhan sekolah D dan berusaha untuk memenuhinya. A mengasuh
sendiri D sejak dari kecil.
A menikah pada usia 25 tahun, mengandung dan melahirkan pada usia 26
tahun. A mengandung dan melahirkan D pada usia 32 tahun. Saat itu A tidak
merencanakan kehamilan
Pada saat mengandung D, A mengalami kekhasan dalam pola makan yaitu,
A selalu mengkonsumsi mie ayam dengan saos hingga ke11tal, A menyadari
bahwa itu kurang baik untuk janin, namun A merasa tidak tahu harus
bagaimana lagi, karena A tidak dapat mengkonsumsi makanan apapun,
setiap makanan yang dikonsumsi akan kembali keluar (muntah) kecuali mie
ayam dengan saos kental dan air putih, ini berlangsung selama lima bulan
keamilan, janin tidak mengkonsumsi vitamin lainnya.
Saat proses kelahiran A mengalami rasa sakit yang berbeda dengan saat
melahirkan sebelumya. A merasakan sakit luar biasa di bagian bawah perut.
Subjek memperlihatkan antusiasme yang tinggi dalam menjawab pertanyaan,
ia sangat antusias dan ekspresif, jawaban yang diberikan lugas dan spontan.
Tidak ada hambatan yang berarti maupun catatan khusus selama wawancara
berlangsung.
Anak yang menyandang Tuna Grahita
O adalah laki-laki berumur 15 tahun, berbadan gemuk dengan warna kulit
agak gelap. la memiliki wajah khas, terlihat dari bentuk wajah yang bulat,
rnata yang sipit, mulut cenderung terbuka, letak gigi yang terletak tidak
beraturan, leher yang pendek, dan jari tangannya yang gemuk-gemuk dan
pendek serta garis tangan yang lurus dan berjumlah dua buah.
Dari perkembangannya diketahui bahwa D bisa berjalan pada usia 2 tahun 8
bulan tanpa melalui tahapan tengkurap, duduk dan meranokak dan dapat
mengucapkan satu kata pada usia 3 tahun 6 bulan. Dalam kemandirian, pada
usia sekarang ia sudah mampu melakukan beberapa hal seorang diri seperti
makan dan minum. Namun D masih membutuhkan bantuan saat mandi,
buang air besar dan buang air kecil. D jarang sakit, kalaupun sakit hanya
sakit ringan seperti flu.
Di rumah D memiliki kebiasaan main setrika-setrikaan, biasanya untuk
membuat D tenang, A memberikan setumpuk pakaian yan£J sudah dijemur
lalu diberikan kepada D agar membuat D anteng, jika sudah melihat banyak
tumpukan pakaian maka D akan senang dan duduk dengan tenang sambil
bermain.
Selain itu D juga senang meminum minuman yang dingin dan diberi es batu,
apabila es batu di dalam tekonya mencair maka D akan membuka lemari es
dan mengganti es batu yang sudah cair dengan yang masih beku, D juga
sangat senang mengkonsumsi makanan-makanan berminyak seperti
gorengan.
D bersekolah di SLB sejak usia 3 tahun. Sekarang D masih duduk di kelas 6
SD dengan usia 15 tahun karena D mengalami kesulitan dalam bidang
akademik seperti membaca dan menulis. Selain sekolah D juga diberi
pelajaran tambahan setelah jam sekolah berakhir clan ikut les renang
seminggu sekali. D tidak memiliki perilaku bermasalah yan9 berarti, malah ia
sangat menurut kepada ibunya, kecuali dengan ayahnya, karena menurut
pengakuan ibu A, sejak D pernah ditampar oleh ayahnya dikarenakan D tidak
mau dicukur, D menjadi kurang mau mendengar perintah ayahnya. Dalam
berhubungan dengan orang baru D masih agak sulit untuk beradaptasi dan
tidak langsung akrab, terkadang hal ini membuat A jengkel dan kesal karena
seringkali D tidak mau diajak menumpang mobil teman ibu A yang kebetulan
searah dengan rumahnya.
Tahap Penerimaan
Menurut Gargiulo (1985) proses penerimaan diri berkaitan dengan reaksi dan
respon terdiri dari tiga tahap.
1. Primary Phase
A merasa terpukul ketika ia memperoleh keterangan bahwa anaknya
mengalami kelainan pada tahap pertama ini disebut dengan tahap shock
dimana ibu merasa terguncang dengan kondisi yang terjadi pada anaknya.
Pada saat itu A tidak bisa menerima keterangan dokter yang menurut A tidak
memberikan spirit kepada pasien, karena ibu A merasa justru disaat seperti
inilah seorang dokter sangat berperan untuk memberikan clukungan serta
memberikan informasi sebanyak-banyaknya bukan sebaliknya dan
penyampaian dokter yang kurang menyenangkan inilah yang dialami oleh ibu
A.
. ... Waktu pertama kali saya bawa ke dr. Kumiasih katanya "!bu, ini anaknya ada kelainan"aduh, rasanya ancur banget, kayaknya udah ga punya masa depan .... . . .. akhirnya saya bawa ke dokter lain, .karena ga ada spirit dari dokter, dari pertama kan dokternya ''ibu, anaknya down syndrome, ntar sekolahnya di SLB, nama dokternya dr.K", saya tuh putus asa ....
r··--1
I
Yang ibu A rasakan pada tahap denial adalah ibu A merasa berat dengan
kondisi D saat itu, ibu A menolak keadaan yang terjadi pacla anaknya, karena
yang terbayang kata-kata dokter yang mengatakan bahwa D down syndrome
dan akan sekolah di SLB tanpa memberikan tambahan informasi apapun
mengenai anak down syndrome, sehingga yang ada hanya pikiran buruk
dalam diri ibu A saat itu. lbu A juga merasa bahwa D sudah tidal< mempunyai
harapan dan masa depan layaknya anak-anak lainnya .
.... Ampe saya setiap abis sembahyang saya doain biar cepet mati, ya Allah ya Tuhan ... saya pengen cekek, udah pengen saya matiin ...
Setelah itu A juga mencari penegasan dari para ahli meng13nai apa yang
terjadi dengan anaknya .
. . .pertama kali saya bawa D ke dr.Kurniasih, di situ saya disuruh berobat ke rumah sakit besar, saya bawa ke rumah sakit Cipto periksa ke dr.Ketut, trus akhirnya setelah dari dr. Ketur saya bawa /agi ke Dokter Lili Sudarta."
Tahap grief yang dilalui oleh ibu A merupakan suatu reaks1 alami dimana
sebagai seorang ibu yang anaknya didiagnosis retardasi mental tentunya ibu
A merasakan kesedihan dengan kondisi anaknya yang tidak sesuai dengan
harapannya yaitu dapat berkembang secara optimal seperti anak-anak pada
umumnya .
... waktu dikasih tau pertama kali anak saya ada kelainan, uh ... sedih banget, itu kan yang ngasih tau Dr.Kurniasih ....
Sedih, ya Allah ...
2. Secondary phase
Pada tahap ini A mengalami perasaan yang saling bertentangan antara
mencrima kondisi dengan dapat mengurus dan menjalani kehidupan dengan
keadaan D, pada tahap ambivalence ini ibu A merasa menolak karena tidak
sanggup dengan reaksi yang diberikan orang lain ketika A berjalan dengan D
ke tempat-tempat umum .
. . . Kala sekarang mah, ya udah /ah saya jalanin aja, tapi saya bener ga sanggup ka/o dijalan ada orang yang nyo/ek-nyo/ek ngasih tau temennya ... udah cape gitu ngurusin 0, ih ... ujiannya berat banget ...
lbu A masih terus berusaha agar kondisi anal< dapat membaik karena
perkembangan yang dialami oleh D adalah lambat sehing9a pada tahap guilt
karena ada rasa bersalah dalam diri ibu A akhirnya ibu A membawa D untuk
berobat ke dokter maupun para alternatif .
... emang salah saya kali ya .. .D kaya gini I setelah saya bawa ke mas agung yang di jembatan /ima, saya mau tau aja, katanya kan dia orang pinter, "emang nih anak udah dari sananya tapi umur 2 tahun /ebih bis a ja/an, ternyata bener, umur 2 tahun 3 bu/an D bisa jalan ...
Tahap anger juga dialami oleh ibu A saat menghadapai reaksi ingkungan,
ketika mendapatkan reaksi yang negatif ibu A langsung melampiaskan
kemarahan kepada orang yang memperlakukan D secara tidak baik hal itu
juga dikarenakan kepribadian ibu A yang terbuka terhadap apa yang
dirasakannya dan penyakit ibu A yaitu darah tinggi, karena menurut ibu A
kepalanya bisa sakit apabila menahan amarah, maka ibu I\ lebih memilih
untuk melampiaskan kekesalannya kepada orang lain.
.. . Sa ya merasa berat kalo lagi diejek orang, di sekolah, di jalanan jadi berantem melu/u, saya orangnya panasan, kalo ga saya ungkapin saya ga bisa, saya kan punya darah tinggi, jadi kalo ga saya ungkapin saya bisa sakit kepala. Pernah saya pengen marah tapi masih anak kecil ga ngerti, anak-anak SD udah penuh mobil, eh D naek pada turun, saya kasian sama supirnya ya, akhirnya saya yang ngalah, saya sama D yang tu run ....
lbu A juga sering merasa marah dan tidak sabar sehingga meluapkan
kemarahannya pada orang yang menghina D karena ibu A merasa bukan hal
yang mudah menjalani kehidupan seperti ini dan hal ini bukan merupakan
keinginannya melainkan sudah pemberian dari Tuhan .
. . . saya ga sabar kalo harus ngadepin kaya gini, sekalipun sabar manusia ada batasnya ....
Selain itu, pada tahap shame and embrassement ibu A merasa malu dan
minder menghadapi lingkungan sosial karena :<ekhasan anak yang menonjol.
.. .Oulu saya sempet minder waktu D umur 4 tahun, malunya gimana ya punya anak gini, malu aja. Kala saya bawa ke undangan malu sama tetangga, waktu piknik dari kantor ayahnya tuh saya agak malu ...
Tidaklah mudah menerima keadaan anak, proses diatas dipengaruhi oleh
dukungan sosial, karena dukungan sosial merupakan kenyamanan,
perhatian, penghargaan atau bantuan yang diterima oleh individu dari orang
lain (Sarafino, 1994 ), dari hasil penelitian ibu A mendapatkan dukungan
sosial yang positif dan juga membangun motivasi hidupnya, diantaranya
adalah dari kakak yang juga membantu proses kelahirannya, menurut ibu A
kakaknya dapat memberikan dan diandalkan saat ibu A membutuhkan
bantuan dan juga dukungan yang ibu A perlukan, hal ini sama seperti yang
diungkapkan oleh sarason 1997 , yang berpendapat bahwa dukungan sosial
merupakan persepsi individu terhadap sejumlah orang yang dapat diandalkan
saat individu membutuhkan bantuan .
. . . saya bilang ke kakak saya, "dokter mana yang bilang gitu?saya bi/ang "dokter Ketut'', akflimya dimaki- maki sama kakak saya ...
.. . kakak saya sih udah tau dari /ahir, Cuma ga sanggup ngasih tau ke saya, kakak saya udah punya firasat tapi biar saya tau dari dokter du/u ...
Dukungan lain juga ibu A dapatkan dari seorang dokter, dengan berkonsultasi
dengan dokter , ibu A memperoleh nasihat yang membesarkan hatinya
menjadi merasa lebih baik, .
.. . akhirnya saya minta konsu/ sama dia, sejam 200.000, ke Rawamangun kerumahnya saya konsu/, akhrnya saya masih agak mendingan ...
Sela in dukungan sosial yang positif, ibu A juga sering tidak mendapatkan
dukungan dari lingkungan sekitar, saat-saat seperti inilah yang juga dirasa
berat oleh ibu A karena menjadi bahan pembicaraan orang dalam hal yang
negatif .
. . . saya merasa be rat kalo /agi diejek orang, di sekolah, dija/anan, orang pake kerudungan, sekolah di MAN ada D nunjuk-nunjukin ke temennya, kan saya kese/ ...
Dukungan sosial juga tidak ibu A dapatkan dari keluarga suaminya terutama
mertua yang sampai sekarang tidak percaya karena menurut mertuanya ayah
D bisa bicara pada usia delapan tahun dan menganggap kondisi yang dialami
D sarna dengan kondisi yang dialami oleh ayahnya dulu, s1:ihingga tidak perlu
ada yang dikhawatirkan .
. . . kalo dari mbahnya (pihak ayah) sampe sekarang ga percaya, du/u juga ayahnya umur 8 tahun baru bisa ngomong, ga usah kaget, jaman kan udah maju ...
Anak pertama ibu A juga memperlihatkan sikap yang tidak enak, kakak D
merasa malu memiliki adik seperti D karena D selalu dihina oleh teman-
temannya ketika masih kecil .
.. . kata teman-temen E, D ga bisa ngomong, ntar sekolahnya di SLB ...
Dengan suami ibu A mendapatkan dukungan dalam mengasuh anaknya,
meski suami (ayah) D pernah berlaku kasar terhadap D dengan menampar
D, namun suaminya sudah pasrah dengan keadaan D
.. . kata ayahnya, udah begini, ya mau gimana Jagi ...
Reaksi yang diterima oleh ibu A dari keluarga dan komunitas masyarakat di
alas dapat menimbulkan stress dapat menjadi pemicu timbulnya stress,
karena menu rut Sarafino (2001 ), sJmber stress terutama berasal dari diri
sendiri, keluarga, serta komunitas masyarakat.
Dukungan sosial juga merupakan suatu pemberian informasi atau nasihat,
seperti yang diungkapkan oleh Gootlieb (1983) dukungan sosial sebagai
bentuk tingkah laku dukungan sosial yaitu pemberian informasi verbal dan
non verbal atau nasihat, dukungan sosial bertujuan untuk kesejahteraan
penerima.
lnformasi yang didapatkan ibu A berasal dari dokter yang menyampaikan
diagnosis juga menjadi pemicu timbulnya stress dan turunnya motivasi ibu A
dalam mengasuh anaknya bahkan terlintas untuk mengakhiri hidup anaknya
karena dalam bayangannya sudah tidak ada lagi masa depan untuk anaknya
sejak dokter mengatakan adanya 'kelainan' yang diderita oleh D .
. . . , ampe saya setiap abis sembahyang saya doain biar cepet mati, udah pengen saya cekek, udah pengen saya matiin ...
lbu A selanjutnya mendapatkan dukungan dari kakak yanfl melarangnya
melakukan tindakan tersebut karena hal tersebut bukan merupakan jalan
keluar yang baik untuk menyelesaikan permasalahannya clan
menyarankannya untuk membawanya ke dokter lain .
. . . akhirnya saya bawa lagi ke dokter Lili Sudarta, dia orangnya baik, di sana diterapi, diterangin ...
Dari faktor dukungan sosial yang didapat dari keluarga maupun lingkungan
dan penyampaian informasi yang ibu A dapatkan ketika mendapatkan
keterangan dari dokter yang memeriksa D , bukan suatu hal yang mudah bagi
ibu A untuk mencapai tahap ketiga dari reaksi emosional yaitu Tertiary Phase
Dari analisa kasus di atas tidak ditemukan indikator penerirnaan diri menurut
Roger yaitu kenyataan diri kita dan diri ideal kita sebagai seharusnya sangat
berbeda sekali, sangat mungkin akan merasa tidak bahagia dengan diri kita
sendiri. Dari analisis subjek 1 dapat disimpulkan bahwa ibu A masih merasa
malu dan tidak sanggup dengan reaksi yang ditimbulkan oleh lingkungan dan
merasa tidak ada banyak harapan yang didapat dari D kemudian hari, hal ini
juga dapat terlihat dari keinginan ibu A yang menginginkan D lebih dulu
meninggal dibandingkan dengan dirinya, karen::i ibu A merasa bahwa siapa
yang akan mengurus D kelak jika ibu A lebih dulu meninggal, jika D yang
lebih dulu meninggal maka ibu A akan lebih tenang karena ada yang
mengurus D hingga D meninggal.
... ka/o D ga ada yang diharepin deh, ka/o saya mengharapkan 0 yang duluan ma ti ketimbang saya ...
Pengetahuan ibu A yang juga masih kurang mengenai anak dengan
kebutuhan khusus menjadikan ibu A merasa berat dengan kondisi dan pola
pengasuhan selanjutnya.
lbu A juga pernah merasa kesabarannya habis ketika men~;ihadapi
lingkungan sosial yang memperlihatkan sikap yang tidak rnenyenangkan, hal
ini sangat berbeda dengan penerimaan dalam Islam yaitu sabar yang dengan
kata lain seseorang tidak menjadi lemah atau ambruk ketika tertimpa
musibah yang merupakan suatu ujian yang diberikan oleh Allah kepada
hambaNya.
4.2. Analisis Kasus Subjek 2
4.2.1. Biodata Subjek
Subjek 2
!nisial R
Usia 33
Pendidikan SMA
Suami
N
40
SMA
Pekerjaan !RT Karyawan Swasta
Agama Islam Islam
4.2.2. Biodata Anak
lnisial
Jenis Kelamin
Usia
Anak
NA
Perempuan
: 7 tahun
: 2 dari 2 bersaudara
Riwayat Kesehatan : Tidak ada data mengenai riwayat kesehatan
anak
Pendidikan
* SDLB
* TPA usia 4 tahun (hanya sebentar)
Ku rs us
Diagnosis : Tuna Grahita sedang ( 48 )
4.2.3. Gambaran Umum Subjek 2
R adalah seorang ibu rumah tangga yang memiliki 2 oran9 anak, anak
sulungnya adalah seorang laki-laki yang sekarang duduk di bangku kelas 6
SD.Postur tubuh R mungil dan berkulit sawo matang, R adalah orang yang
sangat supel dan mudah berkomunkasi dengan baik, selain itu R juga
seorang ibu yang sangat periang dengan temen-teman yang juga
mengantarkan anaknya di sekolah yang sama dengan tempat R
menyekolahkan anaknya. R sendiri yang mengantar N kesekolah dan
menungguinya hingga pulang, di sekolahlah R merasa mendapat banyak
informasi tentang bagaimana anak tuna grahita dan dimana saja pengobatan
alternatif dengan harga terjangkau, ibu R mendapat banyak teman yang
memiliki anak yang sama kondisinya dengan N.
lbu R sangat dekat dengan N dan sangat memperhatikan perkembangan
yang dialami oleh anaknya, R juga selalu berusaha untuk rnemenuhi segala
kebutuhan anakanya dari mulai kebutuhan pokok seperti makan, pakaian dan
kebersihan serta kebutuhan yang dapat menunjang perkembangan dan dapat
meningkatkan kemampuan serta bakat N yang saat 1ni sudah mulai terliat,
yaitu N suka menggambar dan ibu R sangat mendukung hobi positif anaknya
tersebut, semua kebutuhan N dipenuhi oleh ibu R selama masih dapat
dijangkau dengan keuangan rumah tangga demi anak perempuan satu
satunya itu.
R mengandung N pada usia 25 tahun, sebelumnya R tidak mempunyai
rencana untuk hamil anak ke 2, rencana R dengan suami adalah mempunyai
anak yang lahir pada saat tahun naga emas, karena menurt R tahun naga
emas adalah tahun yang baik, tetapi ternyata kehamilan R datang lebih cepat
dari yang direncanakan, hal ini disebabkan karena A telat meyuntik KB, tetapi
R tetap merasa senang dengan kehamilannya.
Pada kehamilan ke dua ini, R menjadi pribadi yang pendiam, tidak banyak
bicara dan malas berbicara dengan siapapun termasuk dengan suaminya,
menu rut R itu memang bawaan kehamilan, R juga merasa heran mengingat
dirinya adalah pribadi yang supel.
Saat usia kehamilan delapan bulan R pernah terpeleset dan kemudian
terjatuh, tetapi jatuhnya tidak parah sehingga kandungannyapun masih baik
baik saja, namun dalam pikiran R sering terlintas, apa karena jatuh ini
penyebab N menjadi seperti sekarang. Rasa cemas yang dihadapi R adalah
takut menghadapi berapa banyak jahitan setelah mE.lahirkan, hanya itu yang
rnembuatnya takut.
Karena R adalah seorang yang supel dan mudah akrab, maka dalam
penelitian ini R sangat terbuka dengan hal-hal yang dialaminya, sehingga
wawancara dapat berjalan tanpa ada hambatan yang berarti.
4.2.4. Gambaran anak
N adalah seorang anak berusia 7 tahun dengan postur tubuh kurus berambut
pendek dan bergigi ompong, wajah N tampak seperti anak-anak lain pada
umumnya tidak menampakkan bahwa ada yang berbeda pada diri N.
Dalam perkembangannya N mengalami telat bicara, sedangkan untuk
perkembangan yang lain seperti merangkak, duduk, berrjalan sesuai dengan
usia perkembangannya dan anak-anak lain pada umumnya.
Saat ini N duduk di kelas 1 SDLB 01 Lenteng Agung. N sudah dapat menulis
dan membaca walaupun belum terlalu lancar. N juga sangat suka
menggambar dan mewarnai. Kemampuan N dalam berkornunikasi masih
kurang mendukung hubungan sosialnya, karena N selalu sulit untuk mengerti
pembiaraan orang lain, namun begitu N tetap seorang anak yang senang
bermain dengan teman-temannya walaupun teman-teman N harus
menyesuaikan dengan kondisi N.
N juga senang membantu ibunya masak di dapur, sedikit-sedikit N juga
sudah mulai mengerti jika ibunya mau memulai untuk mernasak N sudah
mengeluarkan perabotan yang akan dipakai untuk memasak.
Tahapan penerimaan
Menurut Gargiulo (1985) proses penerimaan diri berkaitan dengan reaksi
respon terdiri dari tiga tahap, yaitu Primary phase, Secondary phase dan
Tertiary Phase, dari hasil penelitian reaksi respon lbu R adalah sebagai
berikut:
1. Primary phase
Pada tahap ini ibu R sempat bertanya dan menolak kecacatan anaknya
karena tidak menyangka dengan keadaan anaknya yang pada saat itu tidak
memberikan respon ketika namanya dipanggil dan kemudian mencari
penegasan dari para ahli, tahap ini disebut dengan denial.
.. .. kok anak saya kaya gini, ken a pa ga anak orang Jain gitu, kata dokter 'sabar aja bu .. ., mungkin telat bicara, akhirnya saya bawa lagi ke alternatif ...
Dari hasil wawancara, ibu R pada tahap ini hanya mengalami satu fase yaitu
Denial, ibu R tidak mengalami tahap shock karena ibu R mengenali sendiri
keterlambatan anaknya secara perlahan - lahan dan sudah mengira bahwa
ada masalah dalam perkembangan anaknya, ibu R juga tidak mengalami
grief and depretion karena rasa marah hanya ia tujukan pada dirinya bukan
pada orang lain .
. . .. saya marah sama diri saya sendiri, coba dulu ga jatoh, mungkin N ga kaya gini ...
2. Secondary phase
Pada tahap guilt lbu R juga pernah merasa bersalah dengan kondisi anaknya
karena pernah terjatuh pada saat hamil, untuk mengobati perasaan
bersalahnya ibu R mencari informasi lewat membaca buku dan menonton
televisi dan memperaktekkan informasi yang dia baca dan lihat, salah satu
informasi yang ibu R dapatkan adalah dengan memberikan mainan yang
dapat mengasah motoriknya seperti bola, kemudian membawa N berobat
sesuai dengan informasi yang ibu R dapatkan .
. . .. ya, rasa bersa/ah sih ada, kayaknya gara - gara jatoh, tapi ya udah /ah sekarang sih saya baca-baca buku dan fiat di TV, oh ... harusnya begini, dipraktekan aja, sekarang juga saya bawa N berobat ke a/ternatif, itu juga saya tau dari ibu-ibu disini ...
lbu R juga pernah merasa marah pada dirinya sendiri dan berpikir kesalahan
apa yang telah dibuatnya dimasa lalu sehingga N seperti ini, pada tahap
anger ini kemarahan ibu R ditujukan pada diri sendiri.
... marah sih pada diri sendiri, /wk kaya gini?sa/ah saya apa? ...
Shame and embarassement yaitu perasaan malu pada saat menghadapi
lingkunganpun pernah dialami oleh ibu R
.. . minder, pernah juga sih, kalo /agi pergi ke acara ulang tahun kan ga bisa kita le pas gitu ...
lbu R merasa malu karena N tidak seperti anak-anak lainnya, yang apabila
mengikuti acara sesuai dengan prosedur acara, menurut ibu R, N suka
bertindak diluar aturan.
3. Tertiary phase
lbu R yakin bahwa N akan ada perubahan ke arah yang lebih baik lagi dalam
perkembangannya, karena baru selama enam bulan N bersekolah, N sudah
banyak memperlihatkan perkembangan dalam bidang akaclemis, N sudah
mulai bisa membaca, menulis, clan mempunyai hobi menmiambar. Untuk
mengembalikan N dalam keadaan seperti anak-anak pada umumnya,
mempunyai kemampuan akademis yang lebih baik .
... saya sih yakin bisa, soalnya baru enam bu/an disekolahin udah banyak perubahannya, uo'ah bisa baca, bisa nu/is, meskipun ngasih taunya harus berulang-u/ang, tapi saya yakin ...
Maka pada tahap bergaining ini ibu R berstrategi mengaclakan perunclingan
dengan gun.; tentang apa saja yang dapat dilakukan untuk membuat
perkembangan N optimal.
.. . saya banyak nanya, ngobrol sama gurunya, N harus digimanain, terus kata gurunya, N harus diajarin buat /ebih mancfiri, dibimbing dan diawasi ....
Strategi ibu R adalah dengan mengajarkan kemandirian kepada N, contohnya
dengan membiasakan N mencuci piringnya sendiri dibawah bimbingan clan
pengawasaan ibu R, serta menaruh sesuatu pacla tempatnya, serta memberi
tahu clengan tegas apabila N tidak menurut.
Dari tahap bergaining diatas, lbu R telah dapat beradaptasi dengan keadaan
N, disinilah ibu R mulai mengalami suatu reaksi adaptation and
reorganization dimana ibu R beradaptasi dengan keadaan yang membuat ibu
R cemas, dalam ha! lainnya berupa pengawasan yang dilakukan oleh ibu R
terhadap N jika N sedang bermain diluar rumah .
. . . saya ga mau kecolongan, pengawasan harus /ebih ketat lagi, meskipun dari jauh saya tetep ngawasin, sambil saya ngobrol ta pi mata saya ngi'<utin apa yang dilakukan dan kemana N jalan .. ..
Faktor ekonomi dan sosial mer.jadi pengaruh bagi penerimaan diri ibu dan
kondisi anaknya, keterbatasan ekonomi membuat orang tua sulit untuk
memenuhi kebutuhan tambahan bagi anaknya seperti mengajaknya ke terapi,
hal ini dialami oleh ibu R
... pengen ke sini (terapis), cuman ngeliat ehh ... uangnya pas banget, takutnya ga cukup buat sebu/an, terus denger-denger juga kalo berobat harus rutin, wah kita mikir /agi!kalo sekian, berapa lama lagi?Down lagi ...
Keterbatasan keuangan tidak kemudian akhirnya membuat ibu R berhenti
berusaha, meski tidak membawa N untuk terapi, namun ibu R tetap
membimbing N dengan bekal informasi yang ibu R dapatkan, dan
mengembangkan potensi yang dimiliki oleh N
.. . kadang vitamin ini atau mainan ini bagus untuk anak begini saya beli, pokoknya apapun yang saya mampu beli saya beli, dia kan sukanya gambar, jadi saya sediain aja, kertas gambar sama kerayonnya, saya juga mau masukan N kursus apa .. . , ke/ebihannya kan gambar ...
!bu R terus berusahaha untuk mengenali apa yang ada dalam diri N,
diantaranya adalah kebiasaan N yang suka membantunya memasak di
dapur, sifat rajin N untuk berangkat ke sekolah dan juga hobi N menggambar
serta kebutuhan-kebutuhan pokok N seperti makanan apa yang boleh dan
tidak boleh dikonsumsi oleh N dengan dukungan yang ia miliki dari suami dan
lingkungan yang dapat mengerti keberadaan N sehingga dengan kondisi N
seperti sekarang ini, sehingga pada tahap accetance ini ibu R dapat
memahami serta menerima kondisi yang terjadi.
.. .paling orang yang kita kenal biasa, lingkungan pad a tau semua sih ....
Kemampuan ibu R untuk memahami kondisi yang terjadi pada diri N serta
menyesuaikan dengan apa yang ada pada N ini sesuai dengan pengertian
pengertian tawakal ditinjau dari segi psikologis yakni penerimaan diri
sepenuhnya terhadap kenyataan diri dan hasil usahanya sebagaimana
adanya, mampu menyesuaikan diri dengan diri sendiri (Zakiah Daradjat,
2002).
4.3. Subjek 3
4.3.1. Biodata Subjek
-
Subjek 2 Suami
lnisial E J
Usia 39 47
Pendidikan SMA SMA
Pekerjaan IRT Karyawan Swasta
Agama Islam Islam
4.3.2. Biodata Anak
lnisial
Jenis Kelarnin
Usia
Anak
JIW
Laki - laki
10 tahun
2 dari 2 bersaudara
Riwayat Kesehatan : Sakit kuning usia 1 minggu
Pendidikan
* SDLB
Kursus
Diagnosis : Tuna Grahita sedang ( 51 )
4.3.3. Gambaran umum subjek 3
E adalah seorang ibu dengan 2 orang anak. E berkulit sawo matang dan
berbadan kurus. E menjalani profesinya sebagai ibu rumah tangga dan
mengurus keluarga secara total. Kegiatan rutin setiap paginya adalah
mengantarkan anaknya yang sekolah di SDLB dan untuk rnenghilangkan
kejenuhannya menunggu dari pagi hingga siang hari ibu E membantu
temannya yang membuka kantin disekolah tanpa mau dibayar karena ibu E
benar-benar ingin membantu untuk menghilangkan kejenut1an bukan untuk
mencari uang.
fv1eskipun anak keduanya mengalami 'kekhususan' ibu E tidak
menghilangkan perhatian kepada anak pertamanya karena anak pertamanya
sudah besar (saat ini berusia 18 tahun dan sudah kuliah di salah satu
universitas swasta di Jakarta), sehingga waktunya lebih banyak untuk anak
kedua karena masih butuh bantuan ibu E dari mulai makan, minum, memakai
baju, hingga bantuan di kamar mandi meskipun tidak sepenuhnya harus
dibantu .
lbu E mengandung anak kedua pada usia 26 tahun, kehamilan kedua ini
adalah kehamilan yang direncanakan, pada masa kehamilan ibu E tidak
mengalami hal-hal yang khas, semua berjalan normal seperti kehamilannya
yang pertama, bahkan pada kehamilan yang pertamalah ibu E sempat jatuh.
Pada saat kelahiran, bayinya tidak menangis seperti layaknya bayi-bayi yang
lain, hal ini sempat membuat ibu E bingung, tetapi karena saat itu keadaan
ibu E antara ambang sadar dan tidak ibu E tidak mengetahui dengan cara
apa bayinya dibuat menangis oleh dokter.
lbu E sangat terbuka dan tenang ketika menjawab pertanyaan, ekspresinya
seperti menerawang tanpa beban.
4.3.4. Gambaran umum anak
J adalah seorang anak dengan wajah khas down syndrome, perawakannya
tinggi kurus dengan kulit sawo matang. J adalah anak pernalu dan
membutuhkan waktu berhari-hari untuk berinteraksi dengan orang yang baru
dikenalnya.
Dari perkembangannya diketahui J mengalami perkembangan yang lambat, J
dapat berjalan usia 4 tahun dan berbicara pada saat masuk sekolah. Dalam
kemampuan menolong diri sendiri, ia sudah bisa makan dan minum sendiri,
memakai baju dan celana tanpa kancing, buang air J masih dibantu.
J pernah bersekolah di TK selama 2 tahun, ini di.lakukan untuk melatih J
bersosialisasi dengan orang lain. Setiap sore J memiliki rutinitas yaitu
mengaji di masjid bersama teman-temannya yang lain, di 1·umah J adalah
seorang anak yang rapih dan mau membereskan mainannya ketempat
semula, bahkan J juga suka membantu ibunya menyapu.
Tahap Penerimaan
Menu rut Gargiulo (1985) proses penerimaan diri berkaitan dengan reaksi
respon terdiri dari tiga tahap, yaitu Primary phase, Secondary phase dan
Tertiary Phase, dari hasil penelitian reaksi respon lbu J adalah sebagai
berikut
1. Primary Phase
Pada tahap pertama ini ibu J mengalami 2 reaksi emosional diantaranya
adalah pada tahap shock ibu J merasa kaget saat diberi tahu kondisi anaknya
yang baru lahir karena pada saat kehamilan ibu E tidak mendapatkan
informasi apapun mengenai kondisi anaknya .
... wal<.tu dil<.asih tau, ya ... l<.agetjuga .....
Setelah tahu kondisi anaknya, pada tahap denial ibu E merasa menolak apa
yang terjadi dengan anaknya dan merasa bahwa kandungan keduanya tidak
pernah bermasalah dibandingkan dengan kandungannya yang pertama,
menjadikan ibu E bertanya-bertanya apa penyebab kondisi anaknya seperti
ini
... hati ga terima, l<.ol<. l<.enapa begini? Yang pertama sering jatoh tapi ga apa-apa ....
2. Secondary Phase
lbu E merasa bersalah dengan kondisi yang dialami oleh anaknya dan
selanjutnya membawa anaknya berobat sesuai dengan informasi yang ia
dapatkan dari lingkungan sekitar, tahap ini disebut dengan tahap guilt dimana
ibu merasa bersalah dengan kondisi anak dan kemudian mencari informasi
dan membawa anaknya berobat.
.. . l<.enapa l<.ol<. saya nih buat salah apa?l<.enapa anal<. saya? al<.hirnya saya cariin terapi, saya bawa l<.esana l<.emari, umpama ada orang yang bilang 'disana ada ini, coba deh', saya coba l<.esana ...
lbu E tidak marah terhadap dirinya dan orang lain,ibu E juga mengalami
tahap shame and embrassment yang pernah merasa minder dengan
keadaan J yang tidak sama dengan anak-anak lainnya .
. . . minder gitu ya, ngeliat anak orang kok sempurna yang sepantaran dia, /wk anak saya engga ...
3. Tertiary phase
Pada tahap adaptation dan reorganization ibu E sudah mulai dapat
menyesuaikan dengan kondisi J, dikarenakan J adalah seorang anak yang
jika sedang diberi tahu atau diajari oleh ibu E sulit untuk mengerti, butuh
kesabaran yang cukup besar dalam hal ini, karena ibu E harus mengulang
untuk memberi tahu J, namun saat ini ibu E merasa sudah terbiasa dengan
situasi seperti ini.
.. . J tuh kalo dikasih tau susah banget, ngertinya susah banget, tapi dengan keadaan kaya gitu udah biasa ...
Dukungan sosial yang ibu E dapatkan dari lingkungan keluarga juga sangat
positif, keluarga besar terutama suami sangat mendukung apapun yang ibu E
lakukan pada J selama itu positif dan untuk kebaikan perkembangan J
diantaranya membawa J terapi atau berobat ke alternatif seperti yang sering
dilakukan oleh ibu E .
. . .. ayahnya nerima, ma/ah dia yang lebih sabar dari saya, orang tua, keluarga, semuanya ngerti, istilahnya mereka mendukung kalo kita kemana-mana .. ..
Rasa sayang sang anak pertama yaitu kakak J pada J adalah suatu respon
positif yang menimbulkan makna yang positif bagi ibu E dengan kekhasan
yang dimiliki oleh J .
... kakaknya ga ada masalah, ma/ah sayang banget sama J ...
Reaksi yang diberikan masyarakat yang negatif terhadap "I pun ibu E hadapi
dengan senyum dengan tujuan agar dapat meredam kemarahannya .
. . . kalo ada yang kaya gitu saya sih diem, sambil ketawa biar amarahnya ga ke/uar .. ..
Masalah ekonomipun tidak menjadi penghalang bagi ibu E, karena pekerjaan
suaminya mencukupi untuk membawa J terapi, dan dari hasil penelitian tidak
ditemukan bahwa ibu E mengeluh dengan situasi ekonomi keluarga dalam
membesarkan J.
lbu E menganggap bahwa ini sudah takdir Tuhan, anak adalah titipan yang
Tuhan berikan dan harus dijaga dengan sebaik-baiknya, walaupun awalnya
sulit untuk menerima semua ini karena apa yang ibu E harapkan tentang
anak yang dapat berkembang dengan optimal berbeda dengan kenyataan
yang dihadapinya namun saat ini ibu E sudah memasrahkan semua kepada
Tuhan, karena siapapun tidak sebenarnya tidak menginginkan keadaan anak
seperti ini, semua ini adalah kuasa Tuhan, dan ibu E merasa harus menjaga
apa yang sudah Tuhan berikan termasuk anak apapun keadaannya, hal ini
merupakan sebuah gambaran dari sikap sabar yang dihadirkan oleh ibu E
dalam dirinya .
. . . ya emang udah dari sananya kita dititipin anak seperti ini, udah nerima J kaya gini ...
Saat ini ibu E berusaha terus membawa dirinya pada rasa senang dan puas
dengan keadaannya dengan mengurus anak-anaknya yang ada saat ini
dengan sebaik - baiknya, hal ini sama dengan pengertian acceptance
menurut JP Chaplin, bahwa acceptance atau penerimaan adalah pengakuan
atau penghargaan terhadap nilai individu ditandai dengan :sikap yang positif
dengan kata lain merupakan segala perilaku yang positif baik yang ditujukan
pada dirinya atau orang lain .
. . .istilahnya seneng-seneng aja itu dah yang penting, dibuat biasa aja ...
4.4. Analisis Antar Kasus
Dari hasil analisis ketiga kasus diatas, dapat diketahui bahwa reaksi
emosional ibu berbeda, pada subjek I mengalami tahap reaksi pertama
(primary phase) yaitu, shock, denial, grief and depretion. F'ada tahap kedua
subjek I mengalami tahap reaksi emosional berupa guilt, anger, shame and
embarassment. Subjek 2 mengalami tahap reaksi emosional pertama
(primary phase) yaitu denial, tahap kedua (secondary phase) berupa guilt,
anger, shame and ambarassment, selanjutnya tahap ketiga (tertiary phase)
yang berupa bergaining, adaptation and reorganization, acceptance dan
adjusment. Pada subjek 3 ditemukan reaksi emosional pertama (primary
phase) berupa shock, denial, tahap kedua yaitu (secondary phase) yaitu guilt,
shame and embarassment, selanjutnya tahap ketiga (tertiary phase) berupa
adaptation and reorganization, acceptance and adjusment.
Pada subjek 2 tidal< ditemukan shock seperti yang dialami oleh subjek I dan 3
karena subjek 2 mengenali sendiri kekhasan anaknya secara perlahan dan
sudah menduga bahwa ada kelainan yang terjadi pada anaknya. Subjek I
juga sudah menduga adanya hal berbeda yang dltimbulkan oleh anaknya,
namun penyampaian informasi tentang keadaan anaknya yang dirasa tidak
membangun membuatnya sangat terpukul dan putus asa, sedangkan pada
subjek 3 tidak pernah rnenduga sebelumnya sampai dokter memberikan
informasi kepada suaminya yan9 kemudian disampaikan pada subjek 3,
sehingga ada rasa kaget dan tidak menerima !<arena subjek 3 merasa
kandungannya tidak bermasalah.
Pada subjek I mengalami grief karena subjek I merasa keadaannya sudah
sulit, mengapa haru'3 diberi cobaan seperti ini, pada tahap ini subjek 2 dan 3
tidak merasakannya dikarenakan tingkat kekhasan yang dialami oleh anal<
subjek 2 lebih ringan dibandingkan dengan subjek I, sedangkan subjek 3
tidak terlalu mengalami kesulitan ekonomi.
Tahap ambivalence dialami oleh subjek I tetapi tidak dialarni oleh subjek 2
dan 3, subjek I merasa harus menjalani semua ini, tetapi tidak sanggup untuk
untuk menerima reaksi masyarakat yang kemudian merasa berat dengan
ujian ini, pada awalnya subjek 3pun sempat menolak keadaan anaknya,
namun saat ini subjek 3 sudah dapat menerima anaknya dan menganggap
bahwa anaknya adalah titipan Tuhan.
Pada tahap Anger, subjek I dan subjek 2 mengalaminya, subjek Ill tidak
mengalami Anger karena tidak perlu marah pada diri sendiri atau orang lain,
karena biar bagaimanapun, menrurt subjek 3 anak adalah titipan
bagaimanapun keadaannya, kalau anak tidak seperti yang diharapkan itu
bukan keinginan siapa-siapa melainkan sudah rencana dari Allah, jadi subjek
A tidak perlu marah.
Bukan hal yang mudah bagi subjek I untuk mencapai tahap ketiga (tertiary
phase), subjek 2 mengalami tahap dimana subjek 2 mengadakan
perundingan dengan pendidik untuk mengoptimalkan anaknya agar dapat
berkembang seperti anak-anak pada umumnya. Karena kurangnya dukungan
sosial dari masyarakat dan minimya informasi yang subjek I dapatkan.
Seringkali reaksi masyarakat tentang keberadaan anaknyc:1 membuat subjek I
merasa berat dengan pengasuhan terhadap anaknya. Kekhasan yang
ditimbulkan anak dapat menjadi pengaruh reaksi masyaralcat, secara fisik,
711
anak subjek I dan 2 memiliki kekhasan fisik yang sama, yaitu wajah khas
down syndrome, hanya saja pada subjek I tidak dapat menahan amarahnya
ketika melihat reaksi masyarakat yang negatif, sehingga menimbulkan rasa
tidak sanggup dengan keadaan, berbeda dengan subjek 2 yang menghadapi
reaksi negatif tersebut dengan senyuman yang menurutnya dapat meredakan
amarah dan menjadikannya biasa dengan keadaan tersebut, sedangkan
subjek 2 anaknya tidak memiliki kekhasan fisik, sehingga reaksi yang
ditimbulkan masyarakat berbeda.
Tahap pe11erimaa11 I II . Iii
&:'5' •• 16.~ .... n~ Adaptation - Shock Gri11f am:! Shame and -- ' deniel ambivalence guilt anger embarassment bargaining and Acceptance p ~ - - reorganization
.
i.ibjek I
" " " " " " " - - -:>u A)
i.ibjek II
JIU R) - " - - " " " " " " I
i.ibjek ill
I i::lu E) " " - - " " - " "
I
BAB5
KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Harapan bagi para ibu ketika mengandung adalah melahirkan anak dalam
keadaan sempurna, sehat jasmani maupun rohaninya serta dapat berlaku
optimal di dalam lingkungan keluarga dan juga masyarakat.
Kekhasan yang ditimbulkan pada anal< seperti penyimpanfian tingkah laku
adaptif dan intelektual apalagi ditandai dengan fisik yang khas membuat rasa
kecewa menyaksikan perkembangan anaknya tida sesuai dengan
perkembangan anak lain pada umumnya.
Diagnosis yang menyatakan bahwa anak menyandang tuna grahita
menjadikan sesuatu yang menggembirakan berubah menjadi kekecewaan
manakala orang tua mengetahui kondisi anak yang memiliki kebutuhan
khusus, hal itu sesuai dengan yang dinyatakan oleh Bernheimer, Young dan
Winton (1983, dalam Martin & Colbert, 1997) bahwa diagnosis yang
menyatakan anak menyandang kecacatan merupakan peristiwa yang
menyakitkan bagi orang tua. Hal ini dikarenakan harapan mengenai anak
yang sempurna tidak terwujud, kenyataan yang terjadi malah sebaliknya,
anak mengalami keterlambatan perkembanngan, dan juga informasi tentang
pengasuhan selanjutnya yang menjadi kewajiban para ahli untuk
menyampaikan informasi tersebut tidak didapatkan oleh ibu, sehingga
menimbulkan rasa kecewa ibu kepada dokter yang menyampaikan informasi
rnengenai kondisi anak, hal ini j mengakibatkan perasaan shock dialami oleh
ibu. Tenaga dokter dan ahli memiliki tanggung jawab utama untuk
memberikan informasi orangtua dalam merespon terhadap berita 'kecacatan'
anak dan hal ini dapat dilakukan melalui langkah-langkah cliagnostik terhadap
anak. Proses pemberian informasi ini merupakan faktor utama yang
menentukan hasil konsultasi medis seperti rasa puas pasien yang merupakan
aspek afektif yaitu perasaan pasien bahwa tenaga tersebut tidak
mendendarkan, memahami dan tertarik. (Bart Smet 1994 ),
Reaksi emosional dari setiap ibu berbeda, setiap ibu memiliki kekhasan
masing-masing, reaksi umum yang terjadi adalah kaget (Schock), sedih,
menolak kondisi anak, sedih karena tidak mempercayai kenyataan yang
terjadi pada anaknya, sehingga menimbulkan perasaan marah pada diri
sendiri. Bukan hal yang mud8h untuk dapat menerima kondisi anak yang
pada awal kehamilan diharapkan menjadi anak yang tumbuh dengan normal,
kenyataan yang acla tidal< sesuai dengan harapan, karena harapan akan fisik
yang sempurna malah te1jadi sebaliknya, anak memiliki kekhasan fisik dan
perkembangan yang lambat dibandingkan dengan anak-anak lain pada
umumnya.
Dengan kondisi anak berkebutuhan khusus biasanya orang tua banyak
mencari mencari informasi mengenai keadaan anaknya, orang tua mulai
membawa anaknya ke dokter, psikolog, terapis, bahkan sampai kepada
pengobatan alternatif, ini jiga dilakukan untuk menebus perasaan bersalah
pada kondisi yang dialami oleh anak. Antara menerima dan menolak kondisi
anak.
Setelah itu ibu dapat menyesuaikan diri dengan kondisi anak sehingga diikuti
dengan penerimaan diri. Namun demikian proses ini tidak membutuhkan
waktu yang sedikit.
Berdasarkan hasil analisa ketiga subjek, dapat dilihat bahwa reaksi
emosional yang dihadapi para ibu berbeda-beda dan bukan suatu ha! yang
mudah bagi setiap ibu untuk memahami serta menerima keadaan anak
melihat dukungan keluarga dan lingkungan yang berasal dari komunitas
masyarakat yang merasa aneh dengan keberadaan anak-anak dengan
kebutuhan khusus.
Dari tiga responden, gambaran penerimaan ibu terhadap anak tuna grahita
adalah dari ketiga subjek, subjek ibu Adan ibu E mengalami Schak, pada
tahap ini, yang dirasakan ibu adalah kaget dan tidak percaya dengan kondisi
anak.
Ketiga subjek mengalami tahap denial dimana ibu menolak kondisi anak dan
akhirnya mendatangi para ahli untuk mencari penegasan rnengenai kondisi
anak, Penolakan terhadap kondisi anak juga dialami oleh ketiga subjek, ini
dapat disebabkan karena adanya persepsi dalam lingkungan tentang anak
yang sempurna yang dapat berlaku optimal di masyarakat, hal ini sesuai
dengan penelitian dari Lernbaga Sarana Pengukuran dan Pendidikan
Psikologi 1998, yang menyatakan bahwa stereotipi kultural mengenai anak
yang ideal menyebabkan orangtua mengharapkan anaknya dapat berperan
seperti anak normal lainnya. Ketiga subjek juga mengalami guilt yaitu
perasaan bersalah orang tua dan untuk membayar rasa bersalahnya, ibu
mencari informasi dan membawa anaknya berobat .
Shame and embarassement juga dialami oleh ketiga subjek, pada tahap ini
ibu malu menghadapi lingkungan sosial, hal ini merupaka11 salah satu
pengelompokkan reaksi orang tua dengan anak kebutuhan khusus yang
diungkapkan oleh Telford dan Sawrey, 1984 yaitu perbedaan antara
keduanya adalah pada rasa malu orientasinya pada oran9 lain dan rasa
bersalah pada diri sendiri, namun keduanya dapat menimbulkan kecemasan,
namun dari hasil penelitian ini, ketiga orang ibu merasa malu bukan karena
lingkungan sosial yang menolak, mengasihani, atau mengejek ' kecacatan'
anak melainkan karena perilaku yang dimunculkan anak atau kondisi anak
yang tidak sama dengan kondisi anak pada umumnya, ha! tidak sama seperti
yang diungkapkan ok~h Gargiulo 1985 bahwa perasaan ini muncul saat ibu
menghadapai lingkungan sosial yang menolak, mengasihani atau mengejek
'kecacatan' anak.
Akan menjadi suatu yang berat bagi para ibu ketika harus menghadapi
kenyataan bahwa anaknya mengalami kekhasan, mereka butuh waktu
berhari-hari, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun untuk menerima kondisi
anak mereka, banyak hal yang harus mereka lewati dianta1·anya adalah
menyaksikan perkembangan anak mereka yang tidak sama seperti anak
anak lain atau menghadapi reaksi negatif masyarakat den~1an keberadaan
anaknya.
Dari hasil penelitian ditemukan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
penerimaan diri ibu, diantaranya adalah dukungan sosial, masalah ekonomi,
label masyarakat terhadap anal< berkebutuhan khusus, hal ini sesuai yang di
ungkapkan oleh Lavelle dan Keogh (1980) bahwa faktor penyebab ini banyak
mernpengaruhi sikap dan pendekatan mereka terhadap anaknya, serta
keaktifan orang tua dalam berpartisipasi dalam program pendidikan anak
selanjutnya.
Penyampaian informasi mengenai kondisi anak dari para rnedis
mempengaruhi kondisi emosional ibu, ini disebabkan karena tenaga ahli
dalam hal ini dokter hanya memberi tahukan diagnosis saja tanpa
mendapatkan penjelasan bagaimana pengasuhan selanjutnya. Menurut
Howard (1982, dalam Cartwight dan Cartwight 1984) hubungan antara dokter
dan orangtua kerap menjadi tegang karena yang memberitahukan kecacatan
anak adalah dokter. Oleh karenanya dokter harus berperan aktif dalam
membantu orangtua memperoleh bantuan profesional lanjutan. Dokter tidak
boleh hanya memberitahukan informasi medis saja, namun ia harus
memberikan rujukan dengan ahli lain agar ibu dapat meng13tahui langkah
pengasuhan berikutnya.
5.2. Diskusi
Salah satu tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mendapatkan
gambaran penerimaan diri dan tahap reaksi emosional yang dihadapi oleh
para ibu yang memiliki anak tuna grahita. Berdasarkan hasil analisis ketiga
subjek, tahap penerimaan dari setiap subjek bervariasi dan dipengaruhi faktor
yang berbeda, faktor yang dapat mempengaruhi penerimaan diri ibu antara
lain adalah perbedaan yang timbul antara harapan dan kenyataan.
Penerimaan ibu pada umumnya ketika anaknya didiagnosis tuna grahita
adalah perasaan shock, mengalami goncangan batin, terkejut. Pada tahap ini
biasanya orang tua akan mencari tahu lebih banyak mengenai kondisi
anaknya. Tahap selanjutnya orang tua akan merasa marah pada keadaan
yang dihadapinya, biasanya pada tahap ini orang tua akan merasa bersalah
dan menyangkal dari keadaan dirinya, orang tua juga merasa malu
menghadapi lingkungan dengan kondisi yang di alami oleh anaknya, hingga
akhirnya perasaan tersebut diikuti oleh penyesuaian ibu terhadap kondisi
anak dan menerima kondisi anak, namun demikian ini membutuhkan waktu
yang cukup lama.
Salah satu subjek melakukan perundingan agar anaknya kembali seperti
semula, dengan membimbimbing agar bisa menjadi lebih mandiri, karena
keyakinan untuk mejadikan perkembangan anak optimal sebagaimana anak
anak pada umumny3, pendidikan bagi anak luar biasa melibatkan orang tua
misalnya melanjutkan latihan di rumah, serta membantu mempelajari
keterampilan baru yang dilatihkan.(LPSP3 Universitas Indonesia, 1998).
Pada subjek satu dan tiga tidak melalui tahap ini karena merasa bahwa anak
7()
tuna grahita tidak bisa disembuhkan atau dikembalikan seperti anak - anak
"normal"
Dari hasil penelitian ditemukan pada subjek I belum mengalami sampai pada
tertiary phase, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yang pemah dialami
oleh subjek I, diantaranya adalah reaksi dan lebel negatif masyarakat tentang
keberadaan anak tuna grahita yang dianggap sebagai suatu penyimpangan
dalam masyarakat menjadikan ibu merasa sulit terhadap keadaan anak,
menurut Irene F. Mongkar dalam majalah Paras edisi 46 mengatakan bahwa
kesendirian mereka (orang tua) sudah begitu berat, ditambah lagi dengan
lirikan, bisikan-bisikan dan pertanyaan yang hanya akan membuat hati orang
tua yang sudah hancur, serta kuatnya mitos 'kutukan' bagi anak-anak
berkebutuhan membuat terabaikannya pengkaryaan yang dapat dilakukan
oleh anak-ana!< dengan kebutuhan khusus.
Faktor lain yang menyebabkan subjek I belum mengalami tahap tertiary
phase karena kurangnya dukungan sosial dari masyarakat maupun keluarga.
Dukungan sosial berupa perhatian dan kepedulian yang ibu dapatkan dari
keluarga dan juga sikap lingkungan serta atau kerabat ju9a dapat
mempengaruhi penerimaan diri ibu terhadap kondisi yang terjadi terhadap
anaknya, karena reaksi yang negatif akan memicu ibu untuk memberikan
makna yang negatif pula sebaliknya reaksi yang positif maka akan memberi
makr1a yang positif bagi ibu dengan anak yang memiliki kek.hasan, seperti
yang diungkapkan oleh house (dalam Yusuf 2004) bahwa salah satu dari
fungsi dukungan sosial adalah emotional suport yang meliputi pemberian
curahan k.asih sayang, perhatian dan kepedulian.
Dalam penelitian ditemukan bahwa ibu merasa anak dengan kebutuhan
khusus kurang dapat diharapkan di kemudian hari, anak memiliki harapan
tipis terhadap prestasi anak (Gallagher dalam Gargiulo 1985), ini juga
disebabkan karena kurangnya informasi serta edukasi orangtua mengenai
pengembangan bakat yang dapat dilakukan pada anak berkebutuhan
khusus, selalu ada kekhususan dibalik kebutuhan khusus, mereka pasti bisa
berkarya dan memberikan fungsi bagi kehidupan selama mereka dianggap
sebagai anak normal. Sayangnya, edukasi mengenai hal ini belum
menjangkau orangtua dan masyarakat sehingga masih banyak anak-anak
dengan kelainan fisik dan mental masih belum dikaryakan (Irene F. Mogkar
dalam majalah Paras edisi 46), pada penelitian ini ditemukan pencarian
informasi hanya sebatas kepada perkembangan anak agar lebih optimal
belum sampai kepada pencarian informasi mengenai pengembangan bakat
anak berkebutuhan khusus.
Salah satu penyebab ibu merasa berat dengan kondisi anak adalah faktor
ekonomi, karena dengan keterbatasan ekonomi maka ibu tidak dapat
memberikan kebutuhan tarnbahan seperti membawa anak berkonsultasi ke
terapis, ha! ini sama seperti yang diungkapkan oleh Faber and Rykman
(dalam Asman and Elkins, 1994) yaitu ibu dengan tingkat sosial rendah
memiliki rnasalah yang cukup banyak dengan sedikit kemampuan untuk
mengatasinya sehingga sulit bagi mereka untuk memenuhi kebutuhan
tambahan anak yang berkelainan. Dari hasil penelitian ha! ini ditemukan pada
subjek II yang merasa memiliki keterbatasan ekonomi sehingga subjek II
tidak dapat membawa anaknya ke terapis secara intensif.
5.3. Saran
Saran untuk penelitian selanjutnya adalah
Dapat diteliti masalah penerimaan diri ibu terhadap anak tuna grahita
berdasarkan aspek - aspek yang mungkin berpengaruh, seperti
1. Penerimaan ibu yang memiliki anak tuna grahit:oi dengan tingkat ekonomi
dan pendidikan yang berbeda
2. Penerimaan diri yang memiliki anak tuna grahita yang bekerja dengan
yang tidak bekerja.
Untuk Orang Tua
a. Diharapkan bagi para ibu untuk selalu menghargai setiap perkembangan
yang terjadi pada anak, serta terus memb9rikan stimulasi yang dapat
merangsang perkembangan anaknya.
b. Membuka diri untuk mendapatkan beragam informasi yang berka1tan
d.:ingan anak-anak tuna grahita.
c. Orang tua hendaknya merubah paradigma bahwa anak dengan
kebutuhan khusus bukan merupakan kutukan melainkan sebagai anugrah
yang harus dijaga dengan sebaik mungkin.
Untuk para dokter atau ahli (Psikolog, Terapis, Pendidik)
a. Bagi para dokter/paramedis agar dapat menyampaikan kondisi anak
dengan cara yang baik dan hati-hati dan menunjukkan rasa empati
terhadap apa yang dialami oleh ibu.
b. Tidak menghakimi seolah anak dengan kebutuhan khusus tidak
mempunyai masa depan sehingga ibu tidak bersemangat dalam megurus
anaknya.
Untuk masyarakat
a. Anak-anak dengan kebutuhan khusus juga merupakan tanggung jawab
sosial, hendaknya masyarakat tidak menambah beban orang tua
dengan memberikan tudingan-tudingan yang tidak masuk akal dan tidak
beralasan.
b. Mayarakat juga harus memberikan dukungan dalam melindungi anak
anak tuna grahita.
Menurut Payne & Patton penerimaan dan kasih sayang orang lain berguna
bagi perkembangan psikososial anak tuna grahita.
Untuk pemerintah
a. Perlu adanya edukasi bagi masyarakat dengan mensosialisasikan anak
anak dengan kebutuhan khusus, baik di rumah sakit, puskesmas,
sekolah dan lain-lain.
b. Melakukan upaya pencegahan melalui penyelenggaraan posyandu.
c. Penyediaan sarana dan prasarana baik dalam bidan9 pendidikan,
transportasi dan pelayanan kesehatan.
d. Adanya kesempatan kerja yang diberikan bagi anak-anak tuna grahita
dan anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus lainnya seperti yang
telah dilakukan di Jepang dan Amerika.
Dan perlu diingat bahwa kehadiran mereka pasti memiliki peran dalam
kehidupan, nyatanya banyak dari mereka yang mampu berkreativitas.
Terlebih, bahwa mereka sama dengan anak lainnya, berhak hidup
ber~Walitas dengan segenap pirantinya sesuai dengan kebutuhannya.(dikutip
dari majalah Paras no.46, Juli 2007)
DAFT AR PUST AKA
Alwasilah, Chaedar.A, Pokoknya Kualitatif, Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, Cetakan ke-3, 2006.
Ashman, A, & Elkins, J, Educating Childern With Special Needs (2"d eds), Australia: Prentice Hall, 1994
Atwater, Eastwood, Psychology of Adjustment, New Jersey: Prentice-Hallin C Englewood Eliffs, 1979.
Baihaqi, Yudhi Dzu!fadli, Cinta Yang Utuh, Bandung: DAF<'.!Mizan, 2007
Calhoun, James F, Psikologi tentang Penyesuaian dan Hubungan Kemanusiaan, Semarang: IKIP Semarang Press, 1990
Chaplin, James P, Kamus Lengkap Psikologi, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, Cet. Ke-8, 2002.
Daradjat, Zakiah, Psikoterapi lslami, Jakarta: Bulan Bintang, 2002
Gargiulo M. Richard, Working with Parents of Exceptional Children, USA: Houghton Mifflin Company, 1985.
Hurlock, Elizabeth B, Psikologi Perkembangan, Jakarta: Airlangga, 1980.
Martin, C.A., & Colbert, K.K, Parenting: A Life Span Perspective, New York: McGraw Hill, 1997.
Moleong Lexi J, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004.
lndriati, M.T, Panduan Lengkap Kehamilan, Persalinan, dan Perawatan Bayi, Yogyakarta: Diglossia Media, Februari 2007
Najati Utsman, Al-Qur'an dan I/mu Jiwa, Bandung: Penerbit Pustaka, Cet. Ke-3, 2000.
Payne, James S dan James R. Patton, Mental Retardation, Ohio: Bell & Howell Co, 1981.
Poerwandari, Kristi, Pendekatan Penelitian Kulitatif untuk eenelitian Perilaku Manusia, Depok: LPSP3 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
Psikologi Anak Luar Biasa, Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi Universitas Indonesia, Cet. Ke-1, April 1998.
Somantri, Sutjihati, Psikologi Anak Luar Biasa, Bandung: f~efika Aditama, 2006.
Santrock, John W, Life Span Development, Jakarta Airlan9ga, 2002.
Sarafino, Edward P, Health Psychology Blopsycho Social Interaction, New York: Jhon Willey & Sons, Fourth Edition, 2001.
Slamet, Suprapti 1.S, Psikologi Klinis, Jakarta: UI Press, 2003.
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta, Juni 2005.
Yusuf, Syamsu, Mental Hygiene, Bandung: Pustaka Bani Ararsy, 2004
Majalah Paras No. 36 Tahun 2006
Majalah Paras No. 46 Tahun 2007
www.e-psikologi.com
www. Google.com
PEDOMAN WAWANCARA
1. Usia berapa tahun ibu menikah?
2. !bu mengandung anak ibu pada usia berapa tahun?
3. Putra/Putri ibu anak ke berapa?
4. Bagaimana keadaan ibu pada saat kehamilan?
5. Apa saja kekhasan dalam selama kemilan ibu?
6. Bagaimana proses kelahirannya?
7. Bagaimana perkembangan anak ibu?
8. Apa kebiasaan anak ibu?
9. Hal apa yang ibu sukai dan tidak sukai dari anak ibu?
10. Ka pan ibu mengetahui bahwa ada yang 'berbeda' pada anak ibu?
11. Bagaimana reaksi ibu dan keluarga?
12. Usaha apa yang ibu lakukan setelah mengetahui kondisi anak ibu?
13. Apa rencana ibu dan keluarga untuk anak ibu?
14. Saal ini apa y<ing ibu rasakan?