33
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1. Permasalahan Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang memiliki karakteristik kemajemukan (multikultural) dalam realitas berbangsa dan bernegara. Kemajemukan dimaksud tampak pada kenyataan adanya berbagai agama, etnis, suku, bahasa serta adat- istiadat dengan karakter dan ciri khasnya masing-masing, yang tersebar memenuhi seluruh wilayah Indonesia, dari Sabang sampai Merauke. Kemajemukan tersebut telah memperkaya ke-Indonesia-an hingga sekarang ini dalam kesatuan Bhineka Tunggal Ika. Kemajemukan bangsa Indonesia ini dapat menjadi aset dan kekayaan yang dikelola untuk membangun dan memajukan negara ini. Namun pada sisi lain, realitas bermasyarakat Indonesia memperlihatkan bahwa kemajemukan tersebut sering menyimpan potensi konflik yang sewaktu-waktu muncul di antara kelompok-kelompok yang berbeda tersebut. Realitas ini menjadi tanggung jawab semua elemen bangsa untuk turut memikirkan dan mencari solusi dalam mengatasinya. Indonesia akan menjadi negara yang damai dan adil, dengan semua kemajemukan atau perbedaan yang ada dapat hidup berdampingan sebagai suatu bangsa yang majemuk, dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila. Hal ini sebagaimana telah dicita-citakan oleh para founding father negara ini. Franz Magnis- Suseno (dalam Latif, 2011: xxi) menegaskan bahwa pengalaman ketertindasan bersama yang telah dialami berabad-abad, telah mempersatukan orang-orang Indonesia yang berbeda (majemuk) secara budaya, etnik, ras dan agama yang menghuni wilayah kepulauan Nusantara antara Sabang dan Merauke menjadi satu negara.

BAB I PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71297/potongan/S3-2014... · Kemajemukan bangsa Indonesia ini dapat menjadi aset dan kekayaan

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

1. Permasalahan

Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang memiliki karakteristik

kemajemukan (multikultural) dalam realitas berbangsa dan bernegara. Kemajemukan

dimaksud tampak pada kenyataan adanya berbagai agama, etnis, suku, bahasa serta adat-

istiadat dengan karakter dan ciri khasnya masing-masing, yang tersebar memenuhi seluruh

wilayah Indonesia, dari Sabang sampai Merauke. Kemajemukan tersebut telah

memperkaya ke-Indonesia-an hingga sekarang ini dalam kesatuan Bhineka Tunggal Ika.

Kemajemukan bangsa Indonesia ini dapat menjadi aset dan kekayaan yang dikelola untuk

membangun dan memajukan negara ini. Namun pada sisi lain, realitas bermasyarakat

Indonesia memperlihatkan bahwa kemajemukan tersebut sering menyimpan potensi

konflik yang sewaktu-waktu muncul di antara kelompok-kelompok yang berbeda tersebut.

Realitas ini menjadi tanggung jawab semua elemen bangsa untuk turut memikirkan dan

mencari solusi dalam mengatasinya.

Indonesia akan menjadi negara yang damai dan adil, dengan semua kemajemukan

atau perbedaan yang ada dapat hidup berdampingan sebagai suatu bangsa yang majemuk,

dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila. Hal

ini sebagaimana telah dicita-citakan oleh para founding father negara ini. Franz Magnis-

Suseno (dalam Latif, 2011: xxi) menegaskan bahwa pengalaman ketertindasan bersama

yang telah dialami berabad-abad, telah mempersatukan orang-orang Indonesia yang

berbeda (majemuk) secara budaya, etnik, ras dan agama yang menghuni wilayah

kepulauan Nusantara antara Sabang dan Merauke menjadi satu negara.

2

Maluku sebagai bagian (provinsi) dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, juga

terdiri dari berbagai kemajemukan (multikultural), baik agama, etnis, suku, bahasa,

maupun adat-istiadat. Kemajemukan ini dapat digolongkan dalam kemajemukan agama

atau multireligius, dan kemajemukan etnis atau multietnis. Kemajemukan di Maluku telah

menjadi sebuah keniscayaan, yang telah bertumbuh dan berkembang sejak berabad-abad

yang lalu dan diwariskan dari generasi ke generasi. Kemajemukan dimaksud telah menjadi

sebuah kenyataan yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Maluku hingga

sekarang ini. Maluku secara geografis merupakan wilayah kepulauan sehingga dikenal

sebagai wilayah seribu pulau dengan kemajemukan etnis, budaya, tradisi, adat-istiadat,

bahasa, agama, dan sebagainya. Geografis Maluku ini telah membentuk beragam

kelompok etnis dan tradisi budaya orang Maluku, yang tercatat sekitar 137 kelompok etnis

dan subetnis (budaya), dengan bahasanya masing-masing (Watloly, 2005: 257). Maluku

dewasa ini juga dihuni oleh masyarakat yang menganut semua agama resmi di Indonesia,

dengan penganut dominan beragama Islam di wilayah Maluku Utara, dan beragama

Kristen di wilayah Maluku Tengah dan Tenggara.

Realitas masyarakat Maluku yang majemuk atau multikultural ini merupakan

potensi dan kekuatan untuk membangun dan memajukan dirinya di masa depan. Namun,

kemajemukan dimaksud tak dapat dipungkiri juga mengandung potensi konflik di

kalangan masyarakat Maluku. Kemajemukan tersebut jika tidak dikelola secara baik, dapat

menjadi pemicu terjadinya konflik. Konflik seperti ini pernah terjadi dalam sejarah

bermasyarakat di Maluku dalam kurun waktu tahun 1999 – 2004. Peristiwa konflik sosial

di Maluku ini dibingkai dalam fanatisme dan simbol-simbol keagamaan antara umat

beragama Islam dan Kristen (Salam – Sarani ). Masyarakat Maluku yang beragama Islam

dan Kristen, telah hidup berdampingan secara damai sejak dahulu kala, namun telah

terlibat dalam konflik sosial ini. Konflik tersebut telah menimbulkan banyak korban dan

3

kerugian pada kedua belah pihak, baik harta benda maupun jiwa raga manusia. Konflik ini

apapun akar persoalan dan pemicunya, harus diakui dan disadari bahwa realitas

kemajemukan di Maluku khususnya kemajemukan agama, dapat menjadi potensi konflik

jika tidak dikelola secara baik.

Orang Maluku sudah sejak dahulu kala memiliki nilai-nilai kearifan lokal (local

wisdom) yang dapat mempersatukan, menjaga keutuhan dan menjamin kelangsungan

hidup berbagai kemajemukan di Maluku tersebut. Istilah ‘orang Maluku’ digunakan untuk

membedakan dengan istilah ‘masyarakat Maluku’. Istilah ‘orang Maluku’ menunjuk pada

komunitas etnis atau suku Maluku, sedangkan istilah ‘masyarakat Maluku’ menunjuk pada

keseluruhan etnis atau suku di Indonesia yang telah menetap sebagai penduduk Maluku.

Realitas bermasyarakat di Maluku memperlihatkan bahwa berbagai permasalahan sosial

yang dialami oleh sekelompok orang seperti bencana alam, pekerjaan-pekerjaan desa,

ataupun peperangan, juga dilihat sebagai permasalahan dan tanggung jawab bersama. Hal

ini pernah terbukti dalam sejarah Maluku dan sejarah bangsa Indonesia ketika terjadi

perang Pattimura (1817), yakni perang antara orang Maluku menentang penjajahan

Belanda. Orang Maluku dalam peperangan tersebut, memperlihatkan persatuan dan

persaudaraan dari berbagai latar belakang yang berbeda, khusunya perbedaan agama. Para

pemimpin perjuangan ini, ada yang berasal dari tokoh-tokoh Islam (a.l. Said Perintah)

maupun Kristen (a.l. Thomas Matulessy, Anthony Ribok, Philip Latumahina). Orang

Maluku, baik yang beragama Islam dan Kristen, sama-sama terlibat dalam perjuangan

tersebut.

Realitas di atas membuktikan bahwa orang Maluku memiliki kearifan lokal (local

wisdom) sebagai modal sosial yang dapat mempersatukan orang Maluku, ketika

menghadapi persoalan dan tantangan bersama. Kearifan lokal dimaksud baik dalam bentuk

“institusi” seperti Pela-Gandong, Siwalima, maupun dalam bentuk ungkapan-ungkapan

4

seperti “Ale rasa beta rasa ” (anda rasa saya rasa, artinya ketika anda merasakan dan

mengalami sesuatu, baik senang maupun susah, saya juga merasakan hal tersebut), “Sagu

salempeng dipatah dua ” (sagu satu buah dibagi dua), “Potong di kuku rasa di daging ”

(potong di kuku rasa di daging, artinya seseorang mengalami susah atau sakit, orang lain

merasakannya juga), “Manggurebe maju” (berlomba untuk maju), dan sebagainya.

Berbagai kearifan lokal ini melekat dalam kehidupan orang Maluku dan merupakan suatu

keniscayaan sosial, bersifat kodrati dan tak dapat disangkal karena lahir dari sebuah proses

sejarah bersama yang panjang sebagai penemuan jati diri orang Maluku yang mendasar

(Watloly, 2005: 115).

Salah satu kearifan lokal (local wisdom) orang Maluku yang telah menjadi modal

sosial dalam mempersatukan orang Maluku yang multikultural tersebut yaitu Siwalima.

Siwalima sebagai filsafat hidup orang Maluku, merupakan produk budaya para leluhur

Maluku yang terus diwariskan dari generasi ke generasi hingga sekarang ini. Filsafat hidup

Siwalima lahir sebagai akibat terjadinya persekutuan (aliansi) antara kelompok uli/pata

siwa dan kelompok uli/pata lima di Maluku. Kedua kelompok ini merupakan para leluhur

orang Maluku, dan yang sering berada dalam konflik tradisional, pada akhirnya

melakukan perjanjian damai dan membangun persekutuan hidup di antara keduanya.

Persekutuan tersebut menghasilkan apa yang disebut sebagai Siwalima. Persekutuan ini

menyatukan seluruh negeri (desa) adat di Maluku yang berada dalam wilayah kedua

kelompok uli tersebut. Siwalima yang lahir sebagai suatu konvensi (kesepakatan lisan)

yang mempersatukan para leluhur Maluku tersebut (uli siwa – uli lima), menjadi suatu

filsafat hidup bagi orang Maluku yang diterima, dipercaya dan dipraktikkan dalam

kehidupan orang Maluku dari generasi ke generasi hingga sekarang ini.

Filsafat hidup Siwalima sebagai kearifan lokal (local wisdom) orang Maluku, kini

menjadi jati diri dalam budaya orang Maluku bahkan kehidupan sosial masyarakat

5

Maluku. Filsafat hidup Siwalima ini telah dikenal luas dan berfungsi dalam hubungan-

hubungan sosial orang Maluku sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa ke Maluku

(Luhulima, 1971: 82). Siwalima menunjuk pada persekutuan (aliansi) antara kelompok uli

(pata) siwa (kelompok siwa/sembilan) dan uli (pata) lima (kelompok lima/lima). Sebutan

Siwalima ini beserta makna filosofisnya dikenal di seluruh Maluku, walaupun dengan

istilah yang berbeda. Siwalima di Maluku Utara (sekarang propinsi Maluku Utara) dikenal

dengan sebutan uli siwa dan uli lima, istilah ini juga dipakai oleh penduduk pulau Ambon.

Orang Maluku Tengah menyebut pata siwa dan pata lima . Orang Maluku Tenggara

menyebut ur siwa (ursiw) dan ur lima (urlim).

Filsafat hidup Siwalima yang dapat mempersatukan orang Maluku yang terdiri dari

keragaman agama, sub-suku, adat-istiadat dan bahasa ini, sangat penting untuk digali dan

dikaji untuk membangun dan memperkuat tatanan hidup masyarakat multikultural di

Maluku. Filsafat hidup Siwalima sebagai kearifan lokan (local wisdom) orang Maluku

tersebut, dapat dijadikan sebagai suatu kekuatan dan modal sosial untuk menata dan

mengembangkan kehidupan bermasyarakat yang multikultur di Maluku sekarang ini dan

ke masa depan, setelah Maluku mengalami konflik sosial di tahun 1999 – 2004 yang lalu.

Filsafat hidup Siwalima sekarang ini telah dijadikan simbol (logo) dan icon

pemerintah provinsi Maluku. Filsafat hidup Siwalima telah diterima dan dijadikan sebagai

jati diri masyarakat Maluku yang multikultural sekarang ini dalam berbagai aspek

kehidupan. Pariela (dalam Seminar Pendalaman Pemahaman Falsafah Orang Maluku

Perihal Satu Budaya Siwalima dengan Penerapan di Semua Bidang Kehidupan, dalam

rangka peringatan Hari Perdamaian Dunia tahun 2009, di Ambon tanggal 19 Oktober

2009, makalah yang belum dipublikasikan), menegaskan bahwa gagasan pemerintah

provinsi Maluku untuk menjadikan Siwalima sebagai icon provinsi Maluku, adalah tepat

dan benar, karena mengandung landasan-landasan filosofis yang luhur. Menurut Pariela,

6

filsafat hidup Siwalima menjadi the ultimate values yang mewarnai politik pembangunan

lokal di Maluku.

Filsafat hidup Siwalima juga telah diapresiasi dan tersimbolisasi dalam berbagai

aspek kemasyarakatan di Maluku, seperti nama museum di kota Ambon, nama koran di

kota Ambon, nama sekolah unggulan (SMU dan SMK) di kota Ambon dan kota Tual,

nama klub bola basket di kota Ambon, nama forum (Forum Damai Siwalima) yang

dibentuk oleh berbagai komponen masyarakat (akademisi, rohaniawan, politisi, pemuda,

masyarakat adat, dsb.) dalam menyikapi konflik Maluku, juga nama perhimpunan

mahasiswa Maluku di kota Makasar, dan lain sebagainya. Filsafat hidup Siwalima juga

sering diapresiasi dalam lagu-lagu daerah Maluku. Realitas ini memperlihatkan bahwa

filsafat hidup Siwalima telah diterima dan hendak dijadikan sebagai jati diri (identitas)

dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat di Maluku.

Filsafat hidup Siwalima tidak hanya sebatas menjadi lambang (logo) pemerintah

daerah Maluku, tetapi tentu juga pantas dijadikan sebagai kekuatan masyarakat Maluku

sekarang ini dan sebagai modal sosial dalam memajukan daerah Maluku ke depan. Hal ini

sebagaimana ditegaskan oleh Gubernur Maluku, K.A. Ralahalu (dalam sambutan gubernur

sewaktu membuka seminar mengenai Siwalima, di Ambon pada tanggal 19 Oktober

2009), bahwa Siwalima sebagai paham yang melekat dalam cara pandang kosmologi

masyarakat ternyata ada dalam semua sub-kultur di Maluku, sehingga Siwalima sebagai

falsafah manusia dan masyarakat Maluku harus dimanifestasi dalam seluruh kerangka

kehidupan sosial. Siwalima harus tampak dalam berbagai norma hidup tetapi juga dalam

bentuk-bentuk material kebudayaan sebagai suatu tatanan simbol yang bermakna. Menurut

Ralahalu, "Tipikal masyarakat manusia Siwalima merupakan sesuatu yang harus

didefinisikan pula secara kultural, harus tampak dalam sistem sosialnya serta dimanifestasi

7

dalam nilai etikanya dan juga harus tampak dalam berbagai ide kepercayaan masyarakat

untuk membangun suatu teologi agama-agama dalam forma teologi Siwalima".

Filsafat hidup Siwalima bersama dengan berbagai kearifan lokal lainnya, kini

mulai dihidupkan dan difungsikan kembali oleh berbagai elemen di Maluku (birokrasi,

akademisi, budayawan, dan sebagainya). Berbagai elemen ini menyadari bahwa konflik

sosial yang pernah melanda Maluku, dan juga dengan berbagai persoalan sosial lainnya,

salah satunya disebabkan dan semakin terkikisnya nilai-nilai kearifan lokal tersebut.

Hasbollah Toisuta (2010: xiv) menegaskan bahwa konflik sosial tersebut telah

mengharubirukan kehidupan orang Maluku, telah meruntuhkan relasi-relasi kehidupan

orang basudara yang awalnya rukun dalam bingkai-bingkai kearifan lokalnya. Orang

Maluku kemudian seakan-akan hidup tanpa nilai-nilai, kehilangan pijakan etik, bahkan

mengalami peniadaan identitas kulturalnya. Nilai-nilai kearifan lokal orang Maluku yang

telah menyertai masyarakat Maluku selama berabad-abad kemudian terdistorsi pada level

yang signifikan (2010: xviii). Realitas ini harus menyadarkan orang Maluku bahwa nilai-

nilai kearifan lokal termasuk filsafat hidup Siwalima perlu dihidupkan kembali. Nilai-nilai

dimaksud perlu dikonstruksi, disosialisasi dan dihayati serta dilaksanakan oleh seluruh

orang Maluku dan masyarakat di Maluku, sehingga berfungsi untuk menuntun relasi-relasi

sosial di Maluku.

Nilai-nilai filsafat hidup Siwalima sebagai kearifan lokal yang telah

mempersatukan para leluhur Maluku di masa lampau, perlu digali dan diaktualisasi

kembali dan difungsikan untuk mempersatukan serta memperkuat karakter dan kehidupan

masyarakat Maluku yang multikultural sekarang ini. Nilai-nilai filsafat hidup Siwalima

tersebut, dapat difungsikan untuk membangun kembali relasi kemanusiaan dan hidup

persaudaraan orang Maluku sebagai sesama orang basudara , dan juga dapat

direaktualisasi sebagai model bagi penguatan kehidupan masyarakat multikultural di

8

Maluku. Nilai-nilai filsafat hidup Siwalima ini, selain berkontribusi bagi penguatan

karakter masyarakat multikultural di Maluku, juga diharapkan dapat berkontribusi bagi

penguatan karakter masyarakat Indonesia yang multikultural yang berdasarkan Pancasila

sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Filsafat hidup Siwalima yang

mengandung nilai-nilai luhur ini menarik minat penulis sebagai fokus penelitian dan

penulisan disertasi ini. Nilai-nilai filsafat hidup Siwalima dimaksud akan dikaji dalam

penulisan disertasi ini dari perspektif filsafat nilai (aksiologi).

Realitas masyarakat Maluku sekarang ini, sebagaimana realitas masyarakat

Indonesia dapat disebut sebagai masyarakat multikultural. Realitas masyarakat

multikultural didefinisi oleh Bhikhu Parekh sebagai berikut:

Just as society with several religions or languages is multi religious or multi lingual, a society containing several cultures is multicultura … a multicultural society, then is one that includes several cultural communities with their overlapping but none the less distinct conceptions of the world, system of meaning, values forms of social organization, histories, customs and practices. (Parekh, 1997: 107).

Istilah multikultural ini mengacu pada kenyataan akan keanekaragaman kultural, sebuah

tanggapan normatif atas fakta tersebut (Parekh, 2008: 20). Realitas masyarakat

multikultural ini dapat dipahami terkait dengan apa yang disebut sebagai

multikulturalisme. Multikulturalisme merupakan pandangan yang terkait dengan berbagai

paham kebudayaan yang menekankan penerimaan terhadap realitas keragaman, pluralitas

dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Lawrence Blum (dalam

May, 2001: 2) menegaskan bahwa:

Multikulturalisme meliputi sebuah pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang, serta sebuah penghormatan dan keingintahuan tentang budaya orang lain. Ia meliputi sebuah penilaian terhadap budaya-budaya orang lain, bukan dalam arti menyetujui seluruh aspek dari budaya-budaya tersebut, melainkan mencoba melihat bagaimana sebuah budaya yang asli dapat mengekspresikan nilai bagi anggota-anggotanya sendiri.

9

Realitas multikultural masyarakat Maluku (dan Indonesia) ini, dari beberapa

kerangka konseptual di atas, menegaskan perlu adanya penghargaan terhadap

keanekaragaman tersebut. Penghargaan dimaksud salah satunya melalui hubungan yang

bersifat dialogis. Dialogis merupakan sebuah sikap yang di dalamnya tumbuh kehendak

untuk memecahkan persoalan bersama (the common problems), bukan kehendak

mendominasi, tanpa mengindahkan yang lain sebagai mitra dalam proses sosial. Watloly

(2005: 161) menyatakan, dalam dialog terciptalah komunikasi multikultural atau

komunikasi multibudaya.

Realitas masyarakat multikultural di Maluku tersebut, kini tengah berhadapan

dengan berbagai masalah, baik lokal, nasional maupun global. Dalam keadaan ini, terlihat

adanya kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi dan mereaktualisasi berbagai budaya

lokal di Maluku dengan nilai-nilai kearifan lokalnya. Budaya-budaya lokal dimaksud,

terutama budaya Siwalima yang mengandung nilai-nilai yang universal, dapat menjadi

‘integrating force” yang mempersatukan seluruh keanekaragaman masyarakat Maluku

tersebut. Usaha tersebut perlu dilakukan secara sistematis, integratif dan

berkesinambungan. Salah satu langkah strategis dalam upaya ini adalah melalui

pendidikan multikultural bagi masyarakat Mauku yang diselenggarakan melalui lembaga-

lembaga pendidikan, baik formal maupun non-formal. Langkah ini untuk menanamkan

nilai-nilai filsafat hidup Siwalima tersebut untuk memperkuat karakter masyarakat

multikultural di Maluku, dan menunjang penguatan ke-Indonesia-an yang ber-Bhineka

Tunggal Ika.

2. Rumusan masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka masalah penelitian

dirumuskan sebagai berikut:

10

a. Apa yang dimaksud dengan filsafat hidup Siwalima?

b. Bagaimana nilai-nilai filsafat hidup Siwalima dalam perspektif Aksiologi Scheler?

c. Apa kekuatan dan kelemahan filsafat hidup Siwalima?

d. Bagaimana kontribusi nilai-nilai filsafat hidup Siwalima bagi penguatan karakter

masyarakat multikultural di Maluku?

3. Keaslian penelitian

Tiga referensi penting yang cukup komprehensif membahas mengenai filsafat

hidup Siwalima, yaitu karya Odo Deodatus Tauern, berjudul Patasiwa und Patalima: vom

Molukkeneiland Seram und Seinen Bewohnern Ein Beitrag zur Volkerkunde (1918); karya

M.C. Boulan dan S.J.M. Sijauta, berjudul Uru: Son Of The Sunrise (1986); dan karya

Aholiab Watloly, berjudul Maluku Baru: bangkitnya mesin eksistensi anak negeri (2005).

Karya Tauern, Patasiwa und Patalima: vom Molukkeneiland Seram und Seinen

Bewohnern Ein Beitrag zur Volkerkunde (telah dialihbahasakan oleh Rijoly, dengan judul

Patasiwa dan Patalima: dari kepulauan Maluku Seram dan penduduknya sebuah

sumbangan untuk ilmu bangsa-bangsa , hasil penelitian tahun 1910-1911, dan dipublikasi

pada tahun 1918), menyoroti berbagai aspek sosial-budaya dari kelompok patasiwa dan

patalima di pulau Seram.

Karya Boulan dan Sijauta, Uru: Son Of The Sunrise (telah di-Indonesia-kan oleh

Sijauta dengan judul Uru, lelaki dari matahari terbit , suatu pendekatan pada kerangka

dasar Siwalima di Seram dan Uliase (diktat, hasil penelitian 1986, tidak dipublikasi),

memberi aksentuasi pada aspek antropologis Siwalima sebagai keberadaan manusia

Maluku. Analisisnya berfokus pada detail-detail objek material yakni filsafat manusia

Siwalima. Boulan dan Sijauta lewat penelitian ini mengungkapkan unsur-unsur fungsional

manusia Maluku dalam kerangka dasar Siwalima, yang dikotomis-dualistis, yang saling

11

berhadapan dan pertentangan. Hasil penelitian Boulan dan Sijauta ini, bersama dengan

karya Tauern akan dijadikan sebagai sumber primer dalam penelitian ini. Karya Watloly

(Maluku Baru: bangkitnya mesin eksistensi anak negeri), lebih pada sebuah pendekatan

filosofis mengenai manusia Maluku pada umumnya. Karya ini memberi aksentuasi pada

orisinalitas hakikat kemanusiaan Maluku yang utuh (2005: 225).

Penelitian ini berbeda dengan ketiga penelitian dan karya di atas. Penelitian ini

memberi aksentuasi pada objek formal filsafat hidup Siwalima, yakni pendekatan filsafat

nilai (aksiologi) terhadap filsafat hidup Siwalima tersebut. Penelitian ini dengan melalui

pendekatan filsafat nilai (aksiologi) hendak menganalisa dan mengkonstruksi nilai-nilai

dalam filsafat hidup Siwalima. Penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi bagi

penguatan karakter masyarakat multikultural di Maluku. Karena itu, penelitian ini

dipastikan merupakan suatu karya yang baru dan asli (orisinal) peneliti.

4. Manfaat Penelitian

Manfaat atau kegunaan dari penelitian ini yaitu:

a. Memberi kontribusi bagi pengembangan khasanah ilmu pengetahuan, khususnya ilmu

filsafat melalui pengkajian filsafat hidup Siwalima tersebut.

b. Memberikan kontribusi bagi bangsa dan negara Indonesia, baik dalam memperkaya

filsafat nusantara secara teoritik, maupun secara praktis dalam memperkuat karakter

masyarakat multikultural di Indonesia.

c. Memberikan landasan aksiologi terhadap filsafat hidup Siwalima sebagai salah satu

kearifan lokal (local wisdom) orang Maluku, terutama dalam penguatan karakter

masyarakat multikultural di Maluku.

12

B. Tujuan penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di depan, maka penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mendeskripsikan pengertian filsafat hidup Siwalima.

2. Menganalisis secara aksiologi nilai-nilai dari filsafat hidup Siwalima.

3. Menganalisis secara kritis kekuatan dan kelemahan filsafat hidup Siwalima.

4. Merumuskan kontribusi nilai-nilai filsafat hidup Siwalima bagi upaya penguatan

karakter masyarakat multikultural di Maluku.

C. Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka dalam suatu penelitian mempunyai beberapa tujuan: (a)

Memberitahu pembaca hasil penelitian-penelitian lain yang berhubungan dengan

penelitian yang sedang dilaporkan; (b) Menghubungkan suatu penelitian dengan dialog

yang lebih luas dan berkesinambungan tentang suatu topik dalam pustaka, mengisi

kekurangan dan memperluas penelitian-penelitian sebelumnya; dan (c) Memberikan

kerangka untuk menentukan signifikansi penelitian dan juga sebagai acuan untuk

membandingkan hasil suatu penelitian dengan temuan-temuan lain (Creswell, 2003: 18).

Filsafat hidup Siwalima, dari aspek kesejarahan (historisitas), sulit untuk

memastikan kemunculannya di kalangan orang Maluku. Hal ini disebabkan oleh tradisi

orang Maluku yang mewariskan kisah-kisah zaman dulu tidak secara tertulis tetapi dalam

bentuk cerita-cerita lisan secara turun-temurun hingga generasi sekarang ini. Tulisan-

tulisan mengenai kisah dan sejarah orang Maluku di masa lampau sangat sedikit, sehingga

agak sulit untuk menelusuri kisah-kisah masa lampau tersebut. Tiga referensi yang telah

disebutkan pada bagian keaslian penelitian, yaitu karya M.C. Boulan dan S.J.M. Sijauta

(Uru: Son Of The Sunrise, 1986); karya Odo Deodatus Tauern (Patasiwa und Patalima:

vom Molukkeneiland Seram und Seinen Bewohnern Ein Beitrag zur Volkerkunde, 1918);

13

dan karya Aholiab Watloly (Maluku Baru: bangkitnya mesin eksistensi anak negeri,

2005), merupakan beberapa referensi yang akan digunakan dalam pembahasan-

pembahasan berikutnya mengenai filsafat hidup Siwalima ini. Beberapa literatur lainnya

yang dapat membantu untuk mengkaji filsafat hidup Siwalima ini, khususnya dari aspek

sejarah seperti di bawah ini.

Frank Cooley dalam karyanya Altar and Throne in Central Moluccan Societies

(1988: 118-122), menjelaskan tentang Siwalima ini. Siwalima ditilik dari aspek bahasa

(etimologi), merupakan penggabungan dari kata Pata Siwa dan Pata Lima . Pata berarti

kelompok atau bagian, sedangkan Siwa berarti sembilan dan Lima/rima artinya lima.

Dalam karya Cooley yang lain Ambonese Adat: A General Description (1962: 13), Cooley

menjelaskan bahwa kata pata sama dengan kata uli, berasal dari bahasa atau istilah asli

(indigenous language) Maluku, keduanya berarti kelompok (grouping) atau bagian

(division). Kata pata sering digunakan dalam pergaulan masyarakat Maluku sehari-hari,

yang mengandung arti bagian, misalnya: “sagu salempeng di-pata dua ” (artinya: Sagu

satu buah dibagi dua). Setiap negeri (desa) di Maluku Tengah tergolong ke dalam salah

satu dari kedua kelompok pata atau uli tersebut. Patasiwa-patalima ini menurut Cooley,

menunjukkan bahwa seluruh negeri yang tergolong pada salah satu kelompok mempunyai

sistem adat yang serupa dalam segi-segi tertentu. Suatu negeri yang tergolong ke dalam

kelompok sembilan (pata/uli siwa ) atau kelompok lima (pata/uli lima), mempunyai

akibat-akibat tertentu. Susunan sosial dari negeri-negeri yang tergolong pada kelompok

sembilan dikatakan terdiri dari sembilan satuan yang lebih kecil, demikian pula susunan

sosial dari negeri-negeri yang tergolong pada kelompok lima dikatakan terdiri dari lima

satuan yang lebih kecil.

Cooley juga menjelaskan bahwa kedua sistem adat di daerah Maluku Tengah ini

dapat dihubungkan dengan daerah-daerah adat di pulau Seram. Ada persesuaian pendapat

14

bahwa pembagian Patasiwa -Patalima ini pada mulanya ditentukan di pulau Seram,

dengan pembatasan wilayahnya secara jelas. Orang-orang patasiwa adalah sekelompok

suku Alifuru (suku asli pulau Seram) yang menghuni bagian Barat pulau Seram, yang

sebagian besar terletak di sebelah Barat dari sungai Mala yang bermuara ke dalam teluk

Elpaputih di sebelah Selatan. Orang-orang patalima menghuni daerah yang terletak di

sebelah Timur perbatasan itu. Kedua kelompok ini juga memiliki perbedaan bahasa.

Kelompok patasiwa dibagi atas dua sub-kelompok yaitu: patasiwa hitam (patasiwa mete

dalam bahas asli) dan patasiwa putih dengan pembagian wilayahnya masing-masing.

Kelompok patasiwa putih ini berpindah dari wilayah patasiwa dan mendiami wilayah

patalima , disebabkan oleh dilancarkannya ekspedisi-ekspedisi hongitochten oleh Belanda

(sekitar 1615-1665). Cooley (1988: 120) lebih lanjut mengemukakan suatu data tentang

pembagian kelompok penduduk di pulau Seram yang berasal dari zaman sebelum

terjadinya pengelompokan patasiwa-patalima ini. Cooley menjelaskan bahwa di Seram

Barat, sebelum abad ke-15, terdapat dua golongan suku Alifuru yaitu: Pata Aloene

(Halune) dan Pata Wemale (Memale), dengan pembagian wilayahnya masing-masing.

Kelompok Aloene mendiami wilayah yang dikenal sebagai Patasiwa, sedangkan Wemale

mendiami wilayah yang dikenal sebagai Patalima .

Keuning dalam bukunya Sejarah Ambon sampai pada akhir abad ke-17 (1973: 11-

12), menjelaskan bahwa uli siwa (persekutuan sembilan) dan uli lima (persekutuan lima)

dahulu dikenal di seluruh Maluku, dan masih terdapat di sebagian kepulauan ini pada

masa kini. Keuning mengutip rekonstruksi Holleman, yang menjelaskan bahwa uli dapat

disebut sebagai suku bangsa, yaitu suatu kelompok agak besar yang terdiri dari orang-

orang yang merasa bahwa mereka adalah kesatuan tersendiri dan mengira berasal dari satu

keturunan. Uli terdiri atas beberapa aman atau hena, suatu nama yang masih dikenal di

negeri-negeri Islam. Aman atau hena merupakan suatu kelompok klen yang terdiri dari

15

beberapa keturunan berdasarkan garis ayah/laki-laki (patrilinial) atau yang disebut rumah

tau yang terdiri dari sejumlah keluarga yang hubungan keluarganya masih erat sekali.

Keuning (1973: 14) menegaskan bahwa berdasarkan berita-berita orang Portugis

ketika tiba di Ambon, telah terjadi pertentangan tradisional di antara kedua kelompok uli

ini yang diakibatkan oleh pembagian dua (tweedeling) dalam struktur masyarakat. Kaum

uli lima tinggal di bagian terbesar dari semenanjung Hitu (Leihitu), sedangkan Leitimor

adalah daerah kaum uli siwa. Orang Portugis sendiri dalam pertentangan ini menurut

Keuning, memainkan peranan sebagai pihak yang mempercepat pertentangan ini. Keuning

juga menjelaskan bahwa uli lima di Hitu, sejak permulaan abad ke 16 sebagian besar

sudah memeluk agama Islam. Walaupun demikian, masih banyak kepercayaan dan

kebiasaan yang sudah berurat akar tetap bertahan di bawah selimut agama Islam yang baru

itu. Sedangkan di Leitimor sebagai wilayah uli siwa pada zaman itu masih setia kepada

keyakinannya yang lama. Penghormatan terhadap arwah nenek moyang adalah unsur

penting dari agama Ambon yang lama.

Keuning (1973: 15-17) menjelaskan bahwa agama (kepercayaan) Ambon yang

lama ini mengharuskan orang percaya pada adanya makhluk yang Maha Tinggi dan

menyembah matahari, bulan dan bintang karena dianggap sebagai tempat kediaman

makhluk-makhluk yang lebih tinggi. Pusat kegiatan agama (kepercayaan) orang Ambon

yang lama ini adalah baileo, yang merupakan sebuah gedung terbuka untuk pertemuan-

pertemuan dengan batu pemali, yakni sepotong batu yang keramat untuk bersembahyang

yang terletak di dekatnya. Kedudukan batu pemali terhadap baileo termasuk salah satu ciri

pembeda antara kelompok pata siwa dan pata lima. Batu pemali pada uli lima, letaknya di

sisi baileo yang menghadap ke arah pantai, sedangkan pada uli siwa, batu pemalinya

menghadap ke darat. Perbedaan yang lain antara kedua kelompok ini menurut Keuning

yaitu pada uli lima, angka lima memainkan peranan penting. Mas kawin, denda adat, atau

16

pemberian korban, dinyatakan dalam kelipatan lima, demikian juga dengan perlengkapan

baileo ada hubungannya dengan angka lima. Angka sembilan bagi uli siwa mempunyai

peran yang sama seperti angka lima bagi uli lima. Cara pembuatan kapal, juga dapat

membedakan kedua kelompok uli ini.

Keuning (1973: 19-20) selanjutnya menjelaskan bahwa sejak tiba di Hitu dalam

tahun 1512, orang-orang Portugis di bawah pimpinan d’Abrio dan Serroa disambut dan

dijamu dengan ramah tamah oleh orang Hitu (uli lima) yang telah beragama Islam. Jumlah

orang Portugis yang sedikit itu tidak dianggap sebagai ancaman, apalagi mereka segera

pergi setelah tinggal beberapa lama. Maksud orang-orang Portugis itu hanyalah mencari

rempah-rempah (cengkih dan pala), dan zaman itu mereka harus pergi ke Ternate, Tidore

dan Banda. Dalam tahun 1525, barulah orang Portugis mendapat izin membangun sebuah

rumah di pantai Hitu sebelah Utara. Tetapi, keadaan tersebut menjadi buruk ketika orang

Portugis melanggar kedaulatan orang Hitu yakni ketika mereka hendak membangun

sebuah benteng dan mengadakan peraturan-peraturan sendiri. Orang Hitu menolaknya dan

menghendaki orang Portugis meninggalkan wilayah mereka dan tinggal di antara orang-

orang uli siwa. Sejak itu pula terjadi pengkristenan orang uli siwa di Leitimor oleh

Portugis. Orang-orang uli siwa ini meminta dibaptis menjadi Kristen oleh orang Portugis

dengan harapan akan mendapat bantuan terhadap penyerbuan orang uli lima tersebut.

Keuning mencatat bahwa abad ke 16 bagi Ambon bukanlah zaman yang damai. Adanya

orang Portugis pada umumnya merupakan faktor yang mengganggu suasana, terutama di

Leitimor. Kehadiran mereka memperuncing pertentangan lama (tradisional) antara uli

siwa dan uli lima, dan membagi seluruh negeri dalam dua kelompok kekuatan yang terus-

menerus saling memerangi.

Keuning (1973: 21) menjelaskan bahwa kekuasaan Portugis di Ambon kemudian

diambil alih oleh Belanda di bawah pimpinan Steven van der Haghen, yang berhasil

17

merebut benteng Victoria pada tgl. 23 Februari 1605. Van der Haghen yang telah menjadi

gubernur Belanda di Ambon, ternyata sanggup mengatasi keadaan krisis terus. Van der

Haghen berhasil mengusahakan sehingga penduduk kampung-kampung di sekitar benteng,

yang telah mengungsi ke daerah-daerah pegunungan, kembali ke tempat tinggalnya yang

dahulu. Van der Haghen berjanji untuk melindungi mereka. Beberapa hari kemudian, janji

yang sama diberikannya kepada sejumlah kepala suku dari pulau-pulau Ulias (di sekitar

pulau Ambon) dan dalam waktu singkat berhasil menjamin keamanan Ambon dan

sekitarnya.

Keuning (1973: 23) menjelaskan, setelah van der Haghen mengambil alih benteng

Portugis, pater Mosonio (pekabar Injil Portugis) menemui van der Haghen untuk

membicarakan nasib kaum Kristen (ulisiwa). Selain membicarakan soal-soal harta dan

milik, mereka minta kebebasan dalam menjalankan ibadah. Dalam hari-hari kemudian,

datanglah Diego Barbudo, seorang Portugis yang sudah lama menetap di situ, dan bersama

dengan beberapa kepala kampung (desa) penting di Ambon, bertemu dengan van der

Haghen. Mereka berjanji akan setia dan takluk kepada Staten van Holland dan minta

perlindungan. Karena takut akan gangguan-gangguan dari pihak islam (ulilima), Pedro

Masonio telah meminta kepada van der Haghen agar diadakan perdamaian antara kedua

pihak, Kristen (ulisiwa) dan Islam (ulilima).

Belanda, ketika menyerang dan merebut benteng Portugis tersebut, dibantu oleh

negeri-negeri dari uli lima dari jazirah Hitu yang beragama Islam, sedangkan dari Leitimor

(uli siwa) hanya penduduk Nusaniwe dan Urimeseng yang memberi bantuan. Setelah

Diego Barbudo datang membawa 22 kepala kampung (raja, orang kaya) dari negeri-negeri

dari Leitimor, ia kemudian membawa sejumlah pemimpin lainnya dari pulau-pulau di

sekitar Ambon, yakni Saparua, Haruku dan Nusalaut, untuk menyatakan kesetiaan mereka

kepada Belanda. Sikap yang sama diajukan oleh para pemimpin dari Hitu, dengan

18

pimpinan kapitan Hitu, dan uli lima lainnya (Leirissa, 2005: 24, 25). Berkumpulnya para

pemimpin negeri-negeri dari uli siwa dan uli lima di pulau Ambon, dan dari pulau-pulau

di sekitar Ambon, menjadi momentum bagi van der Haghen untuk mempersatukan para

pemimpin tersebut, menciptakan perdamaian, sekaligus membawa keuntungan politik dan

ekonomi baginya. Van der Haghen, dengan demikian berhasil menaklukan dan menguasai

monopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku.

Van der Haghen, dalam bulan Februari 1605 berhasil mengadakan persetujuan

dengan kapitan (panglima perang) dan kepala-kepala suku lainnya, dengan syarat-syarat

terpenting, sebagai berikut (Keuning, 1973: 24):

1. Kami, semua kepala-kepala, bersumpah untuk membantu Gubernur terhadap semua

musuh yang mungkin mempunyai rencana untuk menyerang beliau atau benteng ini,

baik dari laut, maupun dari darat.

2. Kami bersumpah, bahwa kami tidak akan menjual cengkih kepada siapapun, melainkan

kepada orang-orang Belanda, kecuali dengan pengetahuan terlebih dahulu dari

Gubernur.

3. Setiap orang akan hidup menurut agama masing-masing, sesuai dengan apa yang

dianggapnya adalah kehendak Tuhan atau akan membawa keselamatan bagi mereka;

akan tetapi tiada orang yang diperbolehkan menganiaya atau mengganggu orang lain.

4. Apabila Gubernur memanggil kami untuk melakukan suatu pekerjaan, maka orang Uli

siwa wajib memberi bantuan kepada orang Uli lima, dan demikianpun orang Uli lima

kepada orang Uli siwa.

5. Berdasar perjanjian-perjanjian tersebut, Gubernur, atas nama “de Heeren Staten

Generaal der vereenighde provintien ” dan Yang Mulia Pangeran (van Oranye), berjanji

untuk menolong dan mendampingi kapitan Hitu dan semua kepala-kepala dan rakyat

dari daerah-daerahnya itu, seperti negara sendiri terhadap semua musuh-musuhnya.

19

De Graaf (1977: 92 – 93), menjelaskan peristiwa perjanjian yang disepakati antara

van der Haghen dengan para kapitan ini. Setelah kompani (Belanda) berhasil membantu

Hitu menghancurkan Portugis, Hitu membuat kontrak perjanjian untuk tetap setia kepada

Belanda yang tertera dalam Corpus Diplomaticum Neerlandico Indicum. Perjanjian ini

menegaskan bahwa kapitan Hitu dan semua pemimpin Hitu yang lainnya bersumpah akan

setia kepada Staten Generaal der Verenigde Nederlanden (pemerintah Belanda), kerajaan

Belanda dan kepada Gubernur Amboina. Hitu berjanji akan memberikan bantuan kepada

gubernur terhadap musuh-musuh yang datang menyerang benteng Belanda (artikel 1),

menjual cengkih hanya kepada Belanda (artikel 2), tidak mengganggu agama orang lain

(artikel 3), saling menangkap dan menyerahkan orang-orang yang berkhianat (artikel 4),

gubernur akan menghukum orang-orang Belanda yang melakukan kesalahan, dan

penduduk tidak perlu membawa cengkih ke benteng Belanda (artikel 5). Sedangkan artikel

ke-6 menyatakan bahwa uli siwa dan uli lima hendaknya bersatu apabila Belanda

memerlukan mereka untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan tertentu. De Graaf

menjelaskan bahwa pada tahun 1609 kontrak ini sekali lagi diperbarui dan ini merupakan

dasar hubungan antara Belanda dengan Hitu.

Kedua kelompok uli yakni uli siwa dan uli lima telah ada di Maluku sebelum

kedatangan bangsa-bangsa Eropa untuk mencari rempah-rempah. Rumphius dalam

karyanya: De Ambonsche Histori (telah dialih bahasa oleh Frans Rijoly dengan judul:

Sejarah Ambon, diktat, tidak dipublikasi), seorang sejarawan Portugis yang datang ke

Ambon bersamaan dengan kedatangan Portugis, mencatat bahwa orang Portugis yang

mula-mula tiba di Maluku pada tahun 1515 di bawah pimpinan kapten Fransisco Serrao

telah menemui keadaan masyarakat Ambon yang telah terbagi atas kedua kelompok ini:

uli lima di jazirah Hitu dan telah beragama Islam, sedangkan uli siwa di jazirah Leitimor

dan belum beragama.

20

Manuskrip lain yang ditulis oleh Antonio Bocarro (dikutip oleh Abdurachman

dalam Luhulima, 1971: 82), seorang Portugis di Ambon (1565-1579), yang berjudul A

capitania de Amboino, suatu hikayat dari keadaan politik-sosial di kepulauan Maluku

semasa pemerintahan Goncalo Pereira Marramaque dan Sancho de Vasconcellos.

Manuskrip ini mengutarakan bagaimana penduduk Ambon terbagi atas dua golongan,

yaitu ”Olicivas” (Ulisiwa) dan ”Ollilimas” (Ulilima), yang selalu berperang satu dengan

yang lain. Uli lima menurut Bocarro, adalah pendudukan asli dan beragama Islam

(Natureis) dan Uli siwa adalah pendatang (Estranjeiro ) dan makan babi. Uli siwa ini pada

umumnya berkawan dengan Portugis dan menganut kepercayaan kuno. Tetapi

menurutnya, di pantai Selatan pulau Ambon terdapat suatu tempat yang bernama Rucanive

(Nusaniwe), yang berkawan dengan Portugis, walaupun uli lima, tetapi mereka makan

babi (beragama Kristen). Pengelompokan kampung-kampung di pulau Ambon menurut

Bocarro, ternyata di dalam golongan uli lima ada kampung-kampung yang beragama

Islam maupun yang beragama Kristen, demikian juga dalam golongan uli siwa ada

kampung-kampung yang beragama Kristen maupun yang beragama Islam. Jazirah Leihitu

yang tergolong sebagai uli lima dan beragama Islam ternyata ada empat negeri di

dalamnya yang tergolong uli siwa dan beragama Kristen yaitu Rosetelo (Nusatelu), Atiwe

(Hatiwe), Taviri (Tawiri) dan Baquaela (Baguala). Sedangkan di jazirah Leitimor yang

tergolong uli siwa, ternyata ada negeri uli lima yaitu Rucanive (Nusaniwe) walaupun

mereka beragama Kristen.

D. Landasan Teori

Filsafat hidup Siwalima orang Maluku sebagai objek material, akan disoroti dari

perspektif filsafat nilai (aksiologi) sebagai objek formal. Apa dan bagaimana nilai-nilai

filsafat hidup Siwalima tersebut dalam perspektif aksiologi, serta bagaimana hierarki

21

nilainya. Aksiologi secara umum diartikan sebagai studi filosofis tentang hakikat nilai-

nilai, atau merupakan studi yang menyangkut teori umum tentang nilai, tentang segala

yang bernilai. Runes (1975: 32) mendefinisikan aksiologi sebagai theory of value (teori

nilai), yakni penyelidikan mengenai kodrat, kriteria dan status metafisik dari nilai. Kattsoff

(2004: 329) mendefinisikan aksiologi sebagai ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat

nilai, yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan.

Frondizi (1963: 6-7) menjelaskan bahwa nilai merupakan “unreal qualities ”,

(“kualitas yang tidak riel”), karena nilai tidak menambah realitas atau substansi pada objek

melainkan hanya nilai. Nilai bukan merupakan benda atau unsur dari benda melainkan

merupakan sifat, kualitas, sui generis, yang dimiliki objek tertentu yang dikatakan baik.

Nilai adalah milik semua objek yang oleh Husserl dikatakan “tidak independen”, yakni

nilai tidak memiliki kesubstantifan. Jika nilai adalah suatu sifat atau kualitas yang dimiliki

objek tertentu yang dikatakan baik, maka dapat dikatakan bahwa nilai menjadikan sesuatu

berharga, layak dikehendaki, dipuji dan dihormati, dijunjung tinggi dan dicari, diupayakan

dan dicita-citakan, artinya nilai juga berfungsi sebagai pendorong, pedoman dan pengarah

kehidupan manusia.

Pandangan yang sama dikemukakan Wahana (2004: 84) bahwa nilai memiliki

peranan sebagai daya tarik serta dasar bagi tindakan manusia, serta sebagai pendorong dan

pengarah bagi pembentukan diri manusia melalui tindakan-tindakannya. Dapat dikatakan

bahwa manusia tidak mungkin hidup dengan pantas dan layak kecuali dengan nilai-nilai.

Dengan sistem nilai yang dimiliki dan diakui, manusia dapat memilah-milah mana

kegiatan dan perilaku serta barang yang dianggap berharga atau tidak, antara peristiwa

yang penting dan tidak, keputusan yang penting dan tidak dan mana yang pantas dipuji

dan dijunjung tinggi. Van Peursen (1990: 50), menegaskan bahwa mengabaikan hakikat

22

dan peranan nilai-nilai dalam kehidupan bukanlah cara yang tepat dalam menghadapi

realitas yang konkret.

Scheler (1973: 17, 81), mengatakan bahwa nilai merupakan suatu kualitas yang

tidak tergantung pada pembawanya (bearer of value ). Nilai merupakan kualitas yang a

priori , yakni suatu nilai telah dapat dirasakan oleh manusia tanpa melalui pengalaman

inderawi terlebih dulu. Nilai merupakan kualitas yang tidak tergantung pada suatu objek

atau pembawanya, juga tidak berubah seiring dengan perubahan objek atau pembawanya

tersebut. Nilai bersifat absolut, tidak tergantung pada objek dan juga pada suatu tindakan

manusia. Scheler menegaskan bahwa nilai itu absolut dan tidak relatif, hanya pengetahuan

manusialah yang bersifat relatif. Dengan demikian, Scheler berpendirian pada

objektivisme aksiologi.

Scheler (1973: 23- 30), menjelaskan tentang nilai baik dan nilai jahat. Nilai baik

yaitu nilai yang melekat pada tindakan untuk mewujudkan nilai positif, yang berlawanan

dengan nilai negatif. Nilai baik ini melekat pada tindakan mewujudkan nilai dalam

tingkatan yang lebih tinggi atau tertinggi dalam susunan nilai. Sedangkan nilai jahat yaitu

nilai yang melekat pada tindakan yang mewujudkan nilai negatif. Nilai jahat ini melekat

pada tindakan mewujudkan nilai pada tingkatan yang lebih rendah atau terendah dalam

susunan nilai. Scheler (1973: 81 – 82), juga mengelompokkan nilai atas nilai positif dan

nilai negatif. Kedua nilai ini terdapat dalam inti setiap nilai. Nilai positif merupakan

sesuatu yang harus ada dan terwujud dalam realitas kehidupan, sedangkan nilai negatif

harus tidak ada dan tidak terwujud dalam realitas kehidupan. Suatu ada sebagai yang

positif harus ada dan harus terwujud dalam realitas kehidupan adalah benar, sedangkan

suatu ada sebagai yang negatif harus tidak ada dan harus tidak terwujud dalam realitas

kehidupan adalah salah.

23

Scheler (1973: 86 – 89), menjelaskan bahwa nilai tersusun dalam sebuah hubungan

hierarkis yang a priori . Hierarkis nilai bagi Scheler harus ditemukan di dalam hakikat nilai

itu sendiri, juga berlaku bagi nilai yang tidak kita ketahui. Kelebihan satu nilai atas nilai

yang lain dipahami dengan menggunakan preferensi, yang merupakan tindakan khusus

pemahaman atau kesadaran terhadap nilai. Tindakan preferensi merupakan suatu

pemahaman akan tingkat tinggi dan rendahnya suatu nilai. Tingkatan suatu nilai

merupakan hal yang keberadaannya memang sudah demikian berdasarkan hakikatnya, dan

itu dapat dirasakan melalui preferensi. Tindakan preferensi tidak boleh disamakan dengan

tindakan memilih. Tindakan memilih merupakan kecenderungan yang telah mencakup

pengetahuan tentang keunggulan nilai, sedangkan tindakan preferensi merupakan tindakan

mengunggulkan atau mengutamakan. Tindakan preferensi ini diwujudkan tanpa

menunjukkan adanya kecenderungan, pemilihan dan keinginan. Tindakan preferensi ini

bersifat a priori , terjadi di antara nilai-nilai itu sendiri yang berbeda tingkatannya, dan

terlepas dari pengalaman akan hal yang bernilai. Preferensi yang demikian ini mencakup

keseluruhan aneka ragam hal-hal bernilai. Tingkatan suatu nilai diberikan bukan

mendahului tindakan preferensi, melainkan diberikan pada saat tindakan preferensi itu

berlangsung, yaitu membandingkan antara nilai tersebut dengan nilai-nilai lainnya.

Hierarkis nilai ditentukan oleh preferensi, artinya semakin banyak orang yang

memandangnya luhur dan penting bagi kehidupan akan semakin tinggi hierarkinya.

Scheler (1973: 90 – 99) mengemukakan lima kriteria untuk menentukan hierarki

nilai aksiologi, yaitu:

a). Keabadian nilai atau lamanya suatu nilai bertahan (more endurance), yaitu

kecenderungan intrinsik untuk mempertahankan keberadaannya. Suatu nilai bertahan jika

memiliki kemampuan untuk berada dan berlangsung dalam waktu. Suatu objek nilai yang

abadi selalu lebih disukai daripada yang sementara dan mudah berubah.

24

b). Sifat kurang dapat dibagi (less divisible), yaitu nilai yang semakin tidak harus dibagi

untuk dapat dirasakan oleh sejumlah orang, merupakan nilai yang lebih tinggi.

c). Dasar suatu nilai (foundation), yaitu suatu nilai akan lebih tinggi jika ia tidak

tergantung pada nilai lainnya.

d). Kedalaman kepuasan (depth of contentment), yaitu suatu nilai semakin tinggi jika

semakin dalam kepuasan yang dihasilkannya.

e). Tingkat relativitas suatu nilai terhadap suatu nilai absolut (level of relativity to absolute

values), yaitu nilai semakin tinggi hierarkinya jika nilai itu semakin kurang relatifnya.

Scheler (1973: 104 – 110), berdasarkan preferensi dan penerapan lima kriteria

tersebut, menyusun tabel hierarki nilai, yaitu:

Pertama , pada tingkat yang terendah yaitu nilai “kesenangan” atau “kenikmatan”

(agreeable ). Tingkatan nilai ini berkaitan dengan fungsi dari perasaan inderawi, yaitu rasa

nikmat dan rasa sakit. Nilai kesenangan ini merupakan nilai yang terendah hierarkinya dari

semua nilai, karena merupakan nilai yang pada dasarnya “fana”.

Kedua, nilai vitalis atau kehidupan (vital feeling). Tingkatan nilai ini terdiri dari nilai-nilai

rasa kehidupan, meliputi yang luhur, halus dan lembut hingga yang kasar atau biasa, dan

juga mencakup yang bagus, yang berlawanan dengan yang jelek. Nilai-nilai yang

diturunkan dari tingkatan ini meliputi kesejahteraan pada umumnya. Nilai pada tingkatan

ini tidak dapat dinaikan pada nilai spiritual atau diturunkan pada nilai kesenangan.

Ketiga, nilai spiritual (spiritual values). Tingkatan nilai ini memiliki sifat tidak tergantung

pada seluruh lingkungan badaniah serta lingkungan sekitarnya. Nilai spiritual ditangkap

dengan rasa spiritual dan dalam tindakan preferensi spiritual, yaitu mencintai dan

membenci. Nilai spiritual dapat dibedakan atas: (a). Nilai keindahan dan kejelekan; (b).

Nilai keadilan dan ketidakadilan; dan (c). Nilai “pengetahuan murni tentang kebenaran”,

yang diusahakan untuk direalisasikan oleh filsafat, yang dilawankan dengan ilmu positif.

25

Keempat, nilai kekudusan dan nilai profan (the holy). Nilai kekudusan ini tidak dapat

direduksi menjadi nilai spiritual dan memiliki keberadaan yang khas yang menyatakan diri

dalam berbagai objek yang hadir secara mutlak. Nilai ini bersifat independen dalam

kaitannya dengan segala sesuatu yang sejak semula dipandang suci dalam perjalanan

sejarah, termasuk bagian “konsep Tuhan yang paling murni”. Hubungan hierarkis nilai ini

bagi Scheler, yang dimulai dari kenikmatan menuju kekudusan, dengan menggunakan

nilai vital dan spiritual, adalah aprioristik, sehingga mendahului hubungan di antara benda-

benda. Semua nilai didasarkan pada nilai yang tertinggi dari semua nilai yakni nilai

kekudusan, yang sifatnya abadi.

Landasan teori tentang nilai yang telah dibahas dalam bagian ini akan digunakan

dan membantu dalam mengkaji nilai-nilai yang terdapat di dalam filsafat hidup Siwalima

sebagai mana tujuan disertasi ini.

E. Metode Penelitian

1. Sumber atau bahan penelitian

Filsafat hidup Siwalima sebagai kearifan lokal (local wisdom) orang Maluku, yang

dijadikan sebagai bahan atau objek material penelitian ini, mengharuskan digunakannya

metode penelitian kualitatif. Kaelan (2005: 4), menegaskan bahwa objek penelitian yang

menyangkut manusia (studi humaniora) dengan segala hasil budayanya, lebih tepat

menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif menurut Kirk dan Muller

(Kaelan, 2005: 5) lebih menekankan pada segi kualitas secara alamiah karena menyangkut

pengertian, konsep, nilai serta ciri-ciri yang melekat pada objek penelitian. Penelitian

kualitatif akan menggunakan metode penelitian kualitatif, yakni prosedur penelitian yang

menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata, catatan-catatan yang berhubungan dengan

makna, nilai serta pengertian. Metode kualitatif ini senantiasa memiliki sifat holistik, yaitu

26

penafsiran terhadap data dalam hubungannya dengan berbagai aspek yang mungkin ada

(Kaelan, 2005: 6).

Filsafat hidup Siwalima sebagai objek material penelitian ini, dapat didekati

dengan menggunakan dua metode penelitian kualitatif yakni metode penelitian deskriptif

dan metode penelitian sejarah. Metode penelitian deskriptif menurut Kaelan (2005: 58)

bertujuan untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis dan objektif,

mengenai fakta-fakta, sifat, ciri serta hubungan di antara unsur-unsur yang ada atau suatu

fenomena tertentu. Metode penelitian deskriptif ini akan menggali dan mendeskripsikan

secara sistematis dan objektif berbagai hal yang berhubungan dengan filsafat hidup

Siwalima sebagai mana tujuan penelitian ini. Dua jenis metode deskriptif yang dapat

digunakan untuk meneliti filsafat hidup Siwalima, yaitu metode penelitian kepustakaan

dan metode penelitian wawancara. Penelitian kepustakaan berhubungan dengan berbagai

referensi kepustakaan mengenai filsafat hidup Siwalima, sedangkan wawancara

berhubungan dengan informasi dari para nara sumber (informan).

Filsafat hidup Siwalima juga berkaitan dengan dimensi sejarah. Karena itu, selain

menggunakan metode deskriptif, maka penelitian ini juga akan menggunakan metode

sejarah. Metode sejarah ini diterapkan karena data-data yang terkandung dalam filsafat

hidup Siwalima memiliki perspektif historis. Metode sejarah akan menggunakan catatan

observasi atau pengamatan yang dilakukan oleh orang lain, yang tidak dapat diulang

kembali (Kaelan, 2005: 60). Catatan observasi atau pengamatan yang dimaksudkan di sini

adalah beberapa sumber primer maupun sumber sekunder mengenai filsafat hidup

Siwalima sebagai bahan penelitian (objek material).

Penelitian dengan menggunakan metode sejarah seperti ditegaskan oleh Nazir

(1988: 55) adalah penyelidikan yang kritis terhadap keadaan-keadaan, perkembangan serta

pengalaman di masa lampau dan menimbang secara cukup teliti dan hati-hati tentang bukti

27

validitas dari sumber sejarah serta interpretasi dari keterangan dari sumber-sumber

keterangan tersebut. Gee (dalam Nazir, 1988: 105-106) mengemukakan empat aspek

metode penelitian sejarah yaitu: mencari material historis, menguji secara kritis asal dan

keaslian sumber sejarah serta validitasi dari isi sumber tersebut, memberikan interpretasi

dan pengelompokan dari fakta-fakta serta hubungannya, dan formulasi serta melukiskan

hasil penemuan. Tujuan dari penelitian dengan metode sejarah adalah untuk membuat

rekonstruksi masa lampau secara objektif dan sistematis dengan mengumpulkan,

mengevaluasikan serta menjelaskan dan mensintesiskan bukti-bukti untuk menegakkan

fakta dan menarik kesimpulan secara tepat (Kaelan, 2005: 62), sehingga metode ini dapat

diterapkan pula terhadap filsafat hidup Siwalima.

Filsafat hidup Siwalima sebagai objek material penelitian, akan diteliti dengan

menggunakan dua tahap pengumpulan data, yaitu tahap pengumpulan data melalui

penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan (wawancara). Penelitian kepustakaan ini

dimaksudkan untuk mengumpulkan sumber data dari buku-buku kepustakaan yang

berkaitan dengan objek material penelitian (Kaelan, 2005: 138). Penelitian kepustakaan ini

akan mengumpulkan bahan-bahan penelitian yang berhubungan dengan filsafat hidup

Siwalima yang akan dijadikan sebagai sumber data, baik sumber primer maupun sumber

sekunder. Dua referensi yang akan digunakan sebagai sumber primer penelitian ini, yaitu

karya Odo Deodatus Tauern yang berjudul, Patasiwa und Patalima: vom Molukkeneiland

Seram und Seinen Bewohnern Ein Beitrag zur Volkerkunde (telah di-Indonesia-kan oleh

Ridjoly dengan judul, Patasiwa dan Patalima: dari kepulauan Maluku Seram dan

penduduknya sebuah sumbangan untuk ilmu bangsa-bangsa , hasil penelitian pada tahun

1910-1911), dan karya M.C. Boulan dan S.J.M. Sijauta yang berjudul, Uru: Son Of The

Sunrise (telah di-Indonesia-kan oleh Sijauta dengan judul, Uru, lelaki dari matahari terbit :

suatu pendekatan pada kerangka dasar Siwalima di Seram dan Uliase (diktat, hasil

28

penelitian 1986), Buku-buku atau karya-karya lainnya akan digunakan sebagai sumber

sekunder.

Selain penelitian kepustakaan, maka tahap pengumpulan data ini juga akan

dilengkapi dengan teknik penelitian wawancara. Wawancara ini dimaksudkan untuk

mengkaji eksistensi dan makna filsafat hidup Siwalima dalam kehidupan orang Maluku

sekarang ini. Filsafat hidup Siwalima sebagai warisan para leluhur Maluku, melalui teknik

wawancara hendak dikaji kembali apakah masih diketahui, dipahami dan dimaknai dalam

kehidupan orang Maluku sekarang ini. Wawancara ini dilakukan terhadap para nara

sumber (informan) dari kalangan orang Maluku yang berkompeten, terutama kalangan

tokoh-tokoh adat.

2. Cara penelitian

a. Pengumpulan data pada penelitian kepustakaan. Data yang akan dikumpulkan

melalui penelitian kepustakaan ini adalah buku-buku kepustakaan yang berhubungan

dengan filsafat hidup Siwalima sebagai objek material penelitian. Buku-buku atau literatur

yang akan dikumpulkan tersebut berasal dari berbagai perpustakaan yang mungkin didapat

oleh peneliti. Berbagai literatur yang akan dikumpulkan mengenai filsafat hidup Siwalima

ini, meliputi sumber primer dan sumber sekunder.

b. Pengumpulan data pada penelitian lapangan. Data yang dikumpulkan melalui

penelitian lapangan ini bersifat melengkapi data penelitian kepustakaan. Data yang

dimaksudkan berupa berbagai informasi dan pendapat para informan mengenai eksistensi

dan makna filsafat hidup Siwalima dalam kehidupan masyarakat Maluku sekarang ini.

i. Informan. Informan adalah orang pada lokasi tempat penelitian diadakan, atau dapat

juga orang yang merupakan anggota masyarakat setempat, yang berfungsi memberikan

input yang berupa informasi data yang berkaitan dengan penelitian (Kaelan, 2006:

29

180). Informan yang dipilih dalam penelitian ini adalah para tokoh (pemangku) adat di

Maluku dari negeri-negeri uli siwa dan uli lima, dan dipilih secara purposive yakni

dipilih secara selektif berdasarkan tujuan penelitian.

ii. Lokasi penelitian. Penelitian ini berlokasi di (pulau) Ambon.

iii. Teknik pengumpulan data. Dalam mengumpulkan data dari para informan, akan

digunakan teknik wawancara. Wawancara adalah proses memperoleh keterangan

untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara

pewawancara (peneliti) dengan informan dengan menggunakan panduan wawancara

atau interview guide (Nazir, 1988: 234). Wawancara dimulai dari wawancara tak

berstruktur yang bertujuan agar informan dapat mengeluarkan pendapatnya tanpa

dibatasi, sehingga dapat diperoleh informasi emic. Kemudian dilakukan wawancara

terstruktur yang diatur oleh peneliti, sehingga dapat diperoleh baik data emic maupun

data etic mengenai permasalahan filsafat hidup Siwalima yang diteliti tersebut. Proses

wawancara ini dapat menggunakan teknik snow ball, di mana wawancara tersebut

dibiarkan berkembang terus-menerus untuk mendapatkan data dan informasi yang

seluasnya mengenai filsafat hidup Siwalima ini sesuai dengan tujuan penelitian.

c. Validitas data. Memperhitungkan kemungkinan perolehan data yang kurang

terpercaya dari informan, maka dilakukan teknik validitas/keabsahan data. Teknik ini

bertujuan untuk mendapatkan informasi yang benar-benar akurat, yaitu yang

menggambarkan informasi yang sebenarnya mengenai filsafat hidup Siwalima. Validitas

dilakukan dengan mengecek secara silang (cross check) keterangan yang diperoleh dari

sumber yang berbeda, yaitu informasi dari sumber informan, sumber peristiwa dan tempat

serta informasi yang dikumpulkan dari sumber dokumen/literatur melalui teknik

pengumpulan data melalui penelitian kepustakaan sebagaimana dijelaskan di depan.

30

3. Analisis data

Proses analisis data akan dilakukan baik pada saat, selama maupun setelah proses

pengumpulan data, baik penelitian kepustakaan maupun penelitian lapangan. Sehubungan

dengan akan adanya sejumlah besar data yang masih harus ditentukan hubungannya satu

dengan yang lain, maka harus dilakukan klasifikasi data menurut jenis dan karakteristik

sesuai dengan fokus penelitian mengenai filsafat hidup Siwalima ini. Patton mengartikan

analisis sebagai proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola,

kategori, dan satuan uraian dasar. Langkah-langkah untuk menganalisis data tersebut

yakni: (1) reduksi data, (2) “display” data, (3) pemahaman, interpretasi dan penafsiran, (4)

mengambil kesimpulan dan verifikasi (Kaelan, 2005: 68-70).

Metode yang digunakan dalam proses analisis data terhadap filsafat hidup

Siwalima ini, dapat menggunakan beberapa metode yang relevan yaitu (Kaelan, 2005:

171-176):

a. Metode verstehen. Metode ini sebagai awal untuk menganalisis data filsafat hidup

Siwalima. Verstehen merupakan metode yang digunakan pada hampir semua

penelitian kepustakaan bidang filsafat. Proses analisis dengan metode ini masih pada

tingkat simbolik, yang berguna untuk menangkap kembali isi pemikiran filsafat hidup

Siwalima.

b. Metode interpretasi atau hermeneutika. Metode verstehen selalu diikuti oleh metode

interpretasi atau hermeneutika, sehingga makna pada objek dapat dikomunikasikan

oleh subjek. Interpretasi atau hermeneutik bertujuan untuk mencari dan menemukan

makna yang terkandung dalam objek penelitian (filsafat hidup Siwalima), berupa

fenomena kehidupan manusia melalui pemahaman dan interpretasi. Metode ini

diterapkan untuk menangkap makna yang substansial disertai proses interpretasi,

sehingga makna tersebut dapat diterapkan pada masa sekarang.

31

c. Metode historis. Filsafat hidup Siwalima sebagai produk budaya orang Maluku, tentu

memiliki dimensi historis yang tidak dapat diabaikan. Karena itu, untuk

mengungkapkan dan menganalisis dimensi historis tersebut, diperlukan metode

historis. Metode historis ini untuk melengkapi metode hermeneutika dalam

menganalisis filsafat hidup Siwalima.

d. Metode heuristik. Metode ini bertujuan untuk menemukan suatu jalan baru,

pemecahan serta inovasi pemikiran yang baru. Metode ini diperlukan untuk

menganalisis dan menemukan pemikiran baru terhadap filsafat hidup Siwalima, baik

aspek ontologi, epistemologi, terutama aspek aksiologinya. Analisis heuristik terhadap

filsafat hidup Siwalima ini diterapkan pada data setelah pengumpulan data selesai

dilakukan.

F. Sistematika Penulisan

Disertasi ini terdiri atas 6 bab, yang diawali dengan bab I sebagai pendahuluan

yang mencakup latar belakang masalah, terdiri atas permasalahan, rumusan masalah,

keaslian dan manfaat penelitian, kemudian tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan

teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II membahas mengenai ruang lingkup filsafat nilai (aksiologi), khususnya

aksiologi Scheler sebagai objek formal disertasi ini. Bab II ini memaparkan mengenai

aksiologi sebagai cabang ilmu filsafat, problem utama aksiologi, ciri-ciri, hakikat dan

kualitas nilai, peranan nilai bagi manusia, nilai dalam pandangan beberapa filsuf.

Pemikiran aksiologi dan hierarki nilai Scheler dibahas secara khusus pada sus bab

tersendiri terpisah dari pandangan beberapa filsuf tersebut, karena pemikiran aksiologi dan

hierarki nilai Scheler ini digunakan untuk menganalisis nilai-nilai filsafat hidup Siwalima.

32

Pembahasan mengenai ruang lingkup filsafat nilai (aksiologi) Scheler sebagai objek

formal ini penting untuk kemudian digunakan dalam mendalami objek material secara

filsafat di dalam bab IV.

Bab III membahas filsafat hidup Siwalima sebagai objek material. Bab III ini

mendeskripsikan mengenai latar belakang filsafat hidup Siwalima yang mencakup

konteks budaya Maluku, historisitas filsafat hidup Siwalima, lapisan-lapisan

perkembangan pemikiran filsafat hidup Siwalima, kerangka dasar dan makna filsafat hidup

Siwalima, serta pembahasan mengenai nilai-nilai di dalam filsafat hidup Siwalima

dimaksud. Bab III ini juga akan membahas mengenai realitas filsafat hidup Siwalima di

masa kini. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi filsafat hidup Siwalima hingga

masa kini, bagaimana memudarnya nilai-nilai filsafat hidup Siwalima, bagaimana

pemahaman masyarakat Maluku terhadap filsafat hidup Siwalima, bagaimana penerapan

nilai-nilai filsafat hidup Siwalima dalam masyarakat dan bagaimana filsafat hidup

Siwalima sebagai way of life orang Maluku.

Bab IV mengeksplorasi nilai-nilai filsafat hidup Siwalima secara filsafat,

khususnya kajian aksiologi. Bab ini diawali dengan kajian ontologi dan epistemologi dari

filsafat hidup Siwalima, kemudian mengkaji landasan aksiologi yang menyangkut hakikat

nilai filsafat hidup Siwalima, nilai-nilai dalam filsafat hidup Siwalima, tipe nilai dan cara

terbentuknya nilai pada filsafat hidup Siwalima, fungsi nilai dalam filsafat hidup

Siwalima, dan nilai-nilai filsafat hidup Siwalima dalam perspektif hierarki nilai Scheler.

Bab IV ini juga mengandung refleksi kritis terhadap filsafat hidup Siwalima, yakni

menyangkut kekuatan dan kelemahan dari filsafat hidup Siwalima tersebut. Apa saja yang

menjadi kekuatan dan kelemahan dari filsafat hidup Siwalima tersebut, akan dikaji dalam

bab ini.

33

Bab V membahas mengenai sumbangan pemikiran disertasi ini, yakni mengenai

kontribusi nilai-nilai filsafat hidup Siwalima bagi penguatan karakter masyarakat

multikultural di Maluku. Bab ini akan menyoroti mengenai filsafat hidup Siwalima

sebagai modal sosial orang Maluku, filsafat hidup Siwalima di antara filsafat hidup

kontemporer, manfaat nilai-nilai filsafat hidup Siwalima bagi Maluku, sumbangan dan

fungsi nilai-nilai filsafat hidup Siwalima bagi masyarakat multikultural di Maluku, serta

implementasi filsafat hidup Siwalima dalam kehidupan masyarakat Maluku, yang

mencakup kajian akademik, sosialisasi, edukasi, dan internalisasi. Disertasi ini diakhiri

dengan bab VI sebagai bab penutup, yang berisikan kesimpulan dan saran.