Upload
vuongkiet
View
214
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
1. Permasalahan
Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang memiliki karakteristik
kemajemukan (multikultural) dalam realitas berbangsa dan bernegara. Kemajemukan
dimaksud tampak pada kenyataan adanya berbagai agama, etnis, suku, bahasa serta adat-
istiadat dengan karakter dan ciri khasnya masing-masing, yang tersebar memenuhi seluruh
wilayah Indonesia, dari Sabang sampai Merauke. Kemajemukan tersebut telah
memperkaya ke-Indonesia-an hingga sekarang ini dalam kesatuan Bhineka Tunggal Ika.
Kemajemukan bangsa Indonesia ini dapat menjadi aset dan kekayaan yang dikelola untuk
membangun dan memajukan negara ini. Namun pada sisi lain, realitas bermasyarakat
Indonesia memperlihatkan bahwa kemajemukan tersebut sering menyimpan potensi
konflik yang sewaktu-waktu muncul di antara kelompok-kelompok yang berbeda tersebut.
Realitas ini menjadi tanggung jawab semua elemen bangsa untuk turut memikirkan dan
mencari solusi dalam mengatasinya.
Indonesia akan menjadi negara yang damai dan adil, dengan semua kemajemukan
atau perbedaan yang ada dapat hidup berdampingan sebagai suatu bangsa yang majemuk,
dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila. Hal
ini sebagaimana telah dicita-citakan oleh para founding father negara ini. Franz Magnis-
Suseno (dalam Latif, 2011: xxi) menegaskan bahwa pengalaman ketertindasan bersama
yang telah dialami berabad-abad, telah mempersatukan orang-orang Indonesia yang
berbeda (majemuk) secara budaya, etnik, ras dan agama yang menghuni wilayah
kepulauan Nusantara antara Sabang dan Merauke menjadi satu negara.
2
Maluku sebagai bagian (provinsi) dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, juga
terdiri dari berbagai kemajemukan (multikultural), baik agama, etnis, suku, bahasa,
maupun adat-istiadat. Kemajemukan ini dapat digolongkan dalam kemajemukan agama
atau multireligius, dan kemajemukan etnis atau multietnis. Kemajemukan di Maluku telah
menjadi sebuah keniscayaan, yang telah bertumbuh dan berkembang sejak berabad-abad
yang lalu dan diwariskan dari generasi ke generasi. Kemajemukan dimaksud telah menjadi
sebuah kenyataan yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Maluku hingga
sekarang ini. Maluku secara geografis merupakan wilayah kepulauan sehingga dikenal
sebagai wilayah seribu pulau dengan kemajemukan etnis, budaya, tradisi, adat-istiadat,
bahasa, agama, dan sebagainya. Geografis Maluku ini telah membentuk beragam
kelompok etnis dan tradisi budaya orang Maluku, yang tercatat sekitar 137 kelompok etnis
dan subetnis (budaya), dengan bahasanya masing-masing (Watloly, 2005: 257). Maluku
dewasa ini juga dihuni oleh masyarakat yang menganut semua agama resmi di Indonesia,
dengan penganut dominan beragama Islam di wilayah Maluku Utara, dan beragama
Kristen di wilayah Maluku Tengah dan Tenggara.
Realitas masyarakat Maluku yang majemuk atau multikultural ini merupakan
potensi dan kekuatan untuk membangun dan memajukan dirinya di masa depan. Namun,
kemajemukan dimaksud tak dapat dipungkiri juga mengandung potensi konflik di
kalangan masyarakat Maluku. Kemajemukan tersebut jika tidak dikelola secara baik, dapat
menjadi pemicu terjadinya konflik. Konflik seperti ini pernah terjadi dalam sejarah
bermasyarakat di Maluku dalam kurun waktu tahun 1999 – 2004. Peristiwa konflik sosial
di Maluku ini dibingkai dalam fanatisme dan simbol-simbol keagamaan antara umat
beragama Islam dan Kristen (Salam – Sarani ). Masyarakat Maluku yang beragama Islam
dan Kristen, telah hidup berdampingan secara damai sejak dahulu kala, namun telah
terlibat dalam konflik sosial ini. Konflik tersebut telah menimbulkan banyak korban dan
3
kerugian pada kedua belah pihak, baik harta benda maupun jiwa raga manusia. Konflik ini
apapun akar persoalan dan pemicunya, harus diakui dan disadari bahwa realitas
kemajemukan di Maluku khususnya kemajemukan agama, dapat menjadi potensi konflik
jika tidak dikelola secara baik.
Orang Maluku sudah sejak dahulu kala memiliki nilai-nilai kearifan lokal (local
wisdom) yang dapat mempersatukan, menjaga keutuhan dan menjamin kelangsungan
hidup berbagai kemajemukan di Maluku tersebut. Istilah ‘orang Maluku’ digunakan untuk
membedakan dengan istilah ‘masyarakat Maluku’. Istilah ‘orang Maluku’ menunjuk pada
komunitas etnis atau suku Maluku, sedangkan istilah ‘masyarakat Maluku’ menunjuk pada
keseluruhan etnis atau suku di Indonesia yang telah menetap sebagai penduduk Maluku.
Realitas bermasyarakat di Maluku memperlihatkan bahwa berbagai permasalahan sosial
yang dialami oleh sekelompok orang seperti bencana alam, pekerjaan-pekerjaan desa,
ataupun peperangan, juga dilihat sebagai permasalahan dan tanggung jawab bersama. Hal
ini pernah terbukti dalam sejarah Maluku dan sejarah bangsa Indonesia ketika terjadi
perang Pattimura (1817), yakni perang antara orang Maluku menentang penjajahan
Belanda. Orang Maluku dalam peperangan tersebut, memperlihatkan persatuan dan
persaudaraan dari berbagai latar belakang yang berbeda, khusunya perbedaan agama. Para
pemimpin perjuangan ini, ada yang berasal dari tokoh-tokoh Islam (a.l. Said Perintah)
maupun Kristen (a.l. Thomas Matulessy, Anthony Ribok, Philip Latumahina). Orang
Maluku, baik yang beragama Islam dan Kristen, sama-sama terlibat dalam perjuangan
tersebut.
Realitas di atas membuktikan bahwa orang Maluku memiliki kearifan lokal (local
wisdom) sebagai modal sosial yang dapat mempersatukan orang Maluku, ketika
menghadapi persoalan dan tantangan bersama. Kearifan lokal dimaksud baik dalam bentuk
“institusi” seperti Pela-Gandong, Siwalima, maupun dalam bentuk ungkapan-ungkapan
4
seperti “Ale rasa beta rasa ” (anda rasa saya rasa, artinya ketika anda merasakan dan
mengalami sesuatu, baik senang maupun susah, saya juga merasakan hal tersebut), “Sagu
salempeng dipatah dua ” (sagu satu buah dibagi dua), “Potong di kuku rasa di daging ”
(potong di kuku rasa di daging, artinya seseorang mengalami susah atau sakit, orang lain
merasakannya juga), “Manggurebe maju” (berlomba untuk maju), dan sebagainya.
Berbagai kearifan lokal ini melekat dalam kehidupan orang Maluku dan merupakan suatu
keniscayaan sosial, bersifat kodrati dan tak dapat disangkal karena lahir dari sebuah proses
sejarah bersama yang panjang sebagai penemuan jati diri orang Maluku yang mendasar
(Watloly, 2005: 115).
Salah satu kearifan lokal (local wisdom) orang Maluku yang telah menjadi modal
sosial dalam mempersatukan orang Maluku yang multikultural tersebut yaitu Siwalima.
Siwalima sebagai filsafat hidup orang Maluku, merupakan produk budaya para leluhur
Maluku yang terus diwariskan dari generasi ke generasi hingga sekarang ini. Filsafat hidup
Siwalima lahir sebagai akibat terjadinya persekutuan (aliansi) antara kelompok uli/pata
siwa dan kelompok uli/pata lima di Maluku. Kedua kelompok ini merupakan para leluhur
orang Maluku, dan yang sering berada dalam konflik tradisional, pada akhirnya
melakukan perjanjian damai dan membangun persekutuan hidup di antara keduanya.
Persekutuan tersebut menghasilkan apa yang disebut sebagai Siwalima. Persekutuan ini
menyatukan seluruh negeri (desa) adat di Maluku yang berada dalam wilayah kedua
kelompok uli tersebut. Siwalima yang lahir sebagai suatu konvensi (kesepakatan lisan)
yang mempersatukan para leluhur Maluku tersebut (uli siwa – uli lima), menjadi suatu
filsafat hidup bagi orang Maluku yang diterima, dipercaya dan dipraktikkan dalam
kehidupan orang Maluku dari generasi ke generasi hingga sekarang ini.
Filsafat hidup Siwalima sebagai kearifan lokal (local wisdom) orang Maluku, kini
menjadi jati diri dalam budaya orang Maluku bahkan kehidupan sosial masyarakat
5
Maluku. Filsafat hidup Siwalima ini telah dikenal luas dan berfungsi dalam hubungan-
hubungan sosial orang Maluku sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa ke Maluku
(Luhulima, 1971: 82). Siwalima menunjuk pada persekutuan (aliansi) antara kelompok uli
(pata) siwa (kelompok siwa/sembilan) dan uli (pata) lima (kelompok lima/lima). Sebutan
Siwalima ini beserta makna filosofisnya dikenal di seluruh Maluku, walaupun dengan
istilah yang berbeda. Siwalima di Maluku Utara (sekarang propinsi Maluku Utara) dikenal
dengan sebutan uli siwa dan uli lima, istilah ini juga dipakai oleh penduduk pulau Ambon.
Orang Maluku Tengah menyebut pata siwa dan pata lima . Orang Maluku Tenggara
menyebut ur siwa (ursiw) dan ur lima (urlim).
Filsafat hidup Siwalima yang dapat mempersatukan orang Maluku yang terdiri dari
keragaman agama, sub-suku, adat-istiadat dan bahasa ini, sangat penting untuk digali dan
dikaji untuk membangun dan memperkuat tatanan hidup masyarakat multikultural di
Maluku. Filsafat hidup Siwalima sebagai kearifan lokan (local wisdom) orang Maluku
tersebut, dapat dijadikan sebagai suatu kekuatan dan modal sosial untuk menata dan
mengembangkan kehidupan bermasyarakat yang multikultur di Maluku sekarang ini dan
ke masa depan, setelah Maluku mengalami konflik sosial di tahun 1999 – 2004 yang lalu.
Filsafat hidup Siwalima sekarang ini telah dijadikan simbol (logo) dan icon
pemerintah provinsi Maluku. Filsafat hidup Siwalima telah diterima dan dijadikan sebagai
jati diri masyarakat Maluku yang multikultural sekarang ini dalam berbagai aspek
kehidupan. Pariela (dalam Seminar Pendalaman Pemahaman Falsafah Orang Maluku
Perihal Satu Budaya Siwalima dengan Penerapan di Semua Bidang Kehidupan, dalam
rangka peringatan Hari Perdamaian Dunia tahun 2009, di Ambon tanggal 19 Oktober
2009, makalah yang belum dipublikasikan), menegaskan bahwa gagasan pemerintah
provinsi Maluku untuk menjadikan Siwalima sebagai icon provinsi Maluku, adalah tepat
dan benar, karena mengandung landasan-landasan filosofis yang luhur. Menurut Pariela,
6
filsafat hidup Siwalima menjadi the ultimate values yang mewarnai politik pembangunan
lokal di Maluku.
Filsafat hidup Siwalima juga telah diapresiasi dan tersimbolisasi dalam berbagai
aspek kemasyarakatan di Maluku, seperti nama museum di kota Ambon, nama koran di
kota Ambon, nama sekolah unggulan (SMU dan SMK) di kota Ambon dan kota Tual,
nama klub bola basket di kota Ambon, nama forum (Forum Damai Siwalima) yang
dibentuk oleh berbagai komponen masyarakat (akademisi, rohaniawan, politisi, pemuda,
masyarakat adat, dsb.) dalam menyikapi konflik Maluku, juga nama perhimpunan
mahasiswa Maluku di kota Makasar, dan lain sebagainya. Filsafat hidup Siwalima juga
sering diapresiasi dalam lagu-lagu daerah Maluku. Realitas ini memperlihatkan bahwa
filsafat hidup Siwalima telah diterima dan hendak dijadikan sebagai jati diri (identitas)
dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat di Maluku.
Filsafat hidup Siwalima tidak hanya sebatas menjadi lambang (logo) pemerintah
daerah Maluku, tetapi tentu juga pantas dijadikan sebagai kekuatan masyarakat Maluku
sekarang ini dan sebagai modal sosial dalam memajukan daerah Maluku ke depan. Hal ini
sebagaimana ditegaskan oleh Gubernur Maluku, K.A. Ralahalu (dalam sambutan gubernur
sewaktu membuka seminar mengenai Siwalima, di Ambon pada tanggal 19 Oktober
2009), bahwa Siwalima sebagai paham yang melekat dalam cara pandang kosmologi
masyarakat ternyata ada dalam semua sub-kultur di Maluku, sehingga Siwalima sebagai
falsafah manusia dan masyarakat Maluku harus dimanifestasi dalam seluruh kerangka
kehidupan sosial. Siwalima harus tampak dalam berbagai norma hidup tetapi juga dalam
bentuk-bentuk material kebudayaan sebagai suatu tatanan simbol yang bermakna. Menurut
Ralahalu, "Tipikal masyarakat manusia Siwalima merupakan sesuatu yang harus
didefinisikan pula secara kultural, harus tampak dalam sistem sosialnya serta dimanifestasi
7
dalam nilai etikanya dan juga harus tampak dalam berbagai ide kepercayaan masyarakat
untuk membangun suatu teologi agama-agama dalam forma teologi Siwalima".
Filsafat hidup Siwalima bersama dengan berbagai kearifan lokal lainnya, kini
mulai dihidupkan dan difungsikan kembali oleh berbagai elemen di Maluku (birokrasi,
akademisi, budayawan, dan sebagainya). Berbagai elemen ini menyadari bahwa konflik
sosial yang pernah melanda Maluku, dan juga dengan berbagai persoalan sosial lainnya,
salah satunya disebabkan dan semakin terkikisnya nilai-nilai kearifan lokal tersebut.
Hasbollah Toisuta (2010: xiv) menegaskan bahwa konflik sosial tersebut telah
mengharubirukan kehidupan orang Maluku, telah meruntuhkan relasi-relasi kehidupan
orang basudara yang awalnya rukun dalam bingkai-bingkai kearifan lokalnya. Orang
Maluku kemudian seakan-akan hidup tanpa nilai-nilai, kehilangan pijakan etik, bahkan
mengalami peniadaan identitas kulturalnya. Nilai-nilai kearifan lokal orang Maluku yang
telah menyertai masyarakat Maluku selama berabad-abad kemudian terdistorsi pada level
yang signifikan (2010: xviii). Realitas ini harus menyadarkan orang Maluku bahwa nilai-
nilai kearifan lokal termasuk filsafat hidup Siwalima perlu dihidupkan kembali. Nilai-nilai
dimaksud perlu dikonstruksi, disosialisasi dan dihayati serta dilaksanakan oleh seluruh
orang Maluku dan masyarakat di Maluku, sehingga berfungsi untuk menuntun relasi-relasi
sosial di Maluku.
Nilai-nilai filsafat hidup Siwalima sebagai kearifan lokal yang telah
mempersatukan para leluhur Maluku di masa lampau, perlu digali dan diaktualisasi
kembali dan difungsikan untuk mempersatukan serta memperkuat karakter dan kehidupan
masyarakat Maluku yang multikultural sekarang ini. Nilai-nilai filsafat hidup Siwalima
tersebut, dapat difungsikan untuk membangun kembali relasi kemanusiaan dan hidup
persaudaraan orang Maluku sebagai sesama orang basudara , dan juga dapat
direaktualisasi sebagai model bagi penguatan kehidupan masyarakat multikultural di
8
Maluku. Nilai-nilai filsafat hidup Siwalima ini, selain berkontribusi bagi penguatan
karakter masyarakat multikultural di Maluku, juga diharapkan dapat berkontribusi bagi
penguatan karakter masyarakat Indonesia yang multikultural yang berdasarkan Pancasila
sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Filsafat hidup Siwalima yang
mengandung nilai-nilai luhur ini menarik minat penulis sebagai fokus penelitian dan
penulisan disertasi ini. Nilai-nilai filsafat hidup Siwalima dimaksud akan dikaji dalam
penulisan disertasi ini dari perspektif filsafat nilai (aksiologi).
Realitas masyarakat Maluku sekarang ini, sebagaimana realitas masyarakat
Indonesia dapat disebut sebagai masyarakat multikultural. Realitas masyarakat
multikultural didefinisi oleh Bhikhu Parekh sebagai berikut:
Just as society with several religions or languages is multi religious or multi lingual, a society containing several cultures is multicultura … a multicultural society, then is one that includes several cultural communities with their overlapping but none the less distinct conceptions of the world, system of meaning, values forms of social organization, histories, customs and practices. (Parekh, 1997: 107).
Istilah multikultural ini mengacu pada kenyataan akan keanekaragaman kultural, sebuah
tanggapan normatif atas fakta tersebut (Parekh, 2008: 20). Realitas masyarakat
multikultural ini dapat dipahami terkait dengan apa yang disebut sebagai
multikulturalisme. Multikulturalisme merupakan pandangan yang terkait dengan berbagai
paham kebudayaan yang menekankan penerimaan terhadap realitas keragaman, pluralitas
dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Lawrence Blum (dalam
May, 2001: 2) menegaskan bahwa:
Multikulturalisme meliputi sebuah pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang, serta sebuah penghormatan dan keingintahuan tentang budaya orang lain. Ia meliputi sebuah penilaian terhadap budaya-budaya orang lain, bukan dalam arti menyetujui seluruh aspek dari budaya-budaya tersebut, melainkan mencoba melihat bagaimana sebuah budaya yang asli dapat mengekspresikan nilai bagi anggota-anggotanya sendiri.
9
Realitas multikultural masyarakat Maluku (dan Indonesia) ini, dari beberapa
kerangka konseptual di atas, menegaskan perlu adanya penghargaan terhadap
keanekaragaman tersebut. Penghargaan dimaksud salah satunya melalui hubungan yang
bersifat dialogis. Dialogis merupakan sebuah sikap yang di dalamnya tumbuh kehendak
untuk memecahkan persoalan bersama (the common problems), bukan kehendak
mendominasi, tanpa mengindahkan yang lain sebagai mitra dalam proses sosial. Watloly
(2005: 161) menyatakan, dalam dialog terciptalah komunikasi multikultural atau
komunikasi multibudaya.
Realitas masyarakat multikultural di Maluku tersebut, kini tengah berhadapan
dengan berbagai masalah, baik lokal, nasional maupun global. Dalam keadaan ini, terlihat
adanya kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi dan mereaktualisasi berbagai budaya
lokal di Maluku dengan nilai-nilai kearifan lokalnya. Budaya-budaya lokal dimaksud,
terutama budaya Siwalima yang mengandung nilai-nilai yang universal, dapat menjadi
‘integrating force” yang mempersatukan seluruh keanekaragaman masyarakat Maluku
tersebut. Usaha tersebut perlu dilakukan secara sistematis, integratif dan
berkesinambungan. Salah satu langkah strategis dalam upaya ini adalah melalui
pendidikan multikultural bagi masyarakat Mauku yang diselenggarakan melalui lembaga-
lembaga pendidikan, baik formal maupun non-formal. Langkah ini untuk menanamkan
nilai-nilai filsafat hidup Siwalima tersebut untuk memperkuat karakter masyarakat
multikultural di Maluku, dan menunjang penguatan ke-Indonesia-an yang ber-Bhineka
Tunggal Ika.
2. Rumusan masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka masalah penelitian
dirumuskan sebagai berikut:
10
a. Apa yang dimaksud dengan filsafat hidup Siwalima?
b. Bagaimana nilai-nilai filsafat hidup Siwalima dalam perspektif Aksiologi Scheler?
c. Apa kekuatan dan kelemahan filsafat hidup Siwalima?
d. Bagaimana kontribusi nilai-nilai filsafat hidup Siwalima bagi penguatan karakter
masyarakat multikultural di Maluku?
3. Keaslian penelitian
Tiga referensi penting yang cukup komprehensif membahas mengenai filsafat
hidup Siwalima, yaitu karya Odo Deodatus Tauern, berjudul Patasiwa und Patalima: vom
Molukkeneiland Seram und Seinen Bewohnern Ein Beitrag zur Volkerkunde (1918); karya
M.C. Boulan dan S.J.M. Sijauta, berjudul Uru: Son Of The Sunrise (1986); dan karya
Aholiab Watloly, berjudul Maluku Baru: bangkitnya mesin eksistensi anak negeri (2005).
Karya Tauern, Patasiwa und Patalima: vom Molukkeneiland Seram und Seinen
Bewohnern Ein Beitrag zur Volkerkunde (telah dialihbahasakan oleh Rijoly, dengan judul
Patasiwa dan Patalima: dari kepulauan Maluku Seram dan penduduknya sebuah
sumbangan untuk ilmu bangsa-bangsa , hasil penelitian tahun 1910-1911, dan dipublikasi
pada tahun 1918), menyoroti berbagai aspek sosial-budaya dari kelompok patasiwa dan
patalima di pulau Seram.
Karya Boulan dan Sijauta, Uru: Son Of The Sunrise (telah di-Indonesia-kan oleh
Sijauta dengan judul Uru, lelaki dari matahari terbit , suatu pendekatan pada kerangka
dasar Siwalima di Seram dan Uliase (diktat, hasil penelitian 1986, tidak dipublikasi),
memberi aksentuasi pada aspek antropologis Siwalima sebagai keberadaan manusia
Maluku. Analisisnya berfokus pada detail-detail objek material yakni filsafat manusia
Siwalima. Boulan dan Sijauta lewat penelitian ini mengungkapkan unsur-unsur fungsional
manusia Maluku dalam kerangka dasar Siwalima, yang dikotomis-dualistis, yang saling
11
berhadapan dan pertentangan. Hasil penelitian Boulan dan Sijauta ini, bersama dengan
karya Tauern akan dijadikan sebagai sumber primer dalam penelitian ini. Karya Watloly
(Maluku Baru: bangkitnya mesin eksistensi anak negeri), lebih pada sebuah pendekatan
filosofis mengenai manusia Maluku pada umumnya. Karya ini memberi aksentuasi pada
orisinalitas hakikat kemanusiaan Maluku yang utuh (2005: 225).
Penelitian ini berbeda dengan ketiga penelitian dan karya di atas. Penelitian ini
memberi aksentuasi pada objek formal filsafat hidup Siwalima, yakni pendekatan filsafat
nilai (aksiologi) terhadap filsafat hidup Siwalima tersebut. Penelitian ini dengan melalui
pendekatan filsafat nilai (aksiologi) hendak menganalisa dan mengkonstruksi nilai-nilai
dalam filsafat hidup Siwalima. Penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi bagi
penguatan karakter masyarakat multikultural di Maluku. Karena itu, penelitian ini
dipastikan merupakan suatu karya yang baru dan asli (orisinal) peneliti.
4. Manfaat Penelitian
Manfaat atau kegunaan dari penelitian ini yaitu:
a. Memberi kontribusi bagi pengembangan khasanah ilmu pengetahuan, khususnya ilmu
filsafat melalui pengkajian filsafat hidup Siwalima tersebut.
b. Memberikan kontribusi bagi bangsa dan negara Indonesia, baik dalam memperkaya
filsafat nusantara secara teoritik, maupun secara praktis dalam memperkuat karakter
masyarakat multikultural di Indonesia.
c. Memberikan landasan aksiologi terhadap filsafat hidup Siwalima sebagai salah satu
kearifan lokal (local wisdom) orang Maluku, terutama dalam penguatan karakter
masyarakat multikultural di Maluku.
12
B. Tujuan penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di depan, maka penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mendeskripsikan pengertian filsafat hidup Siwalima.
2. Menganalisis secara aksiologi nilai-nilai dari filsafat hidup Siwalima.
3. Menganalisis secara kritis kekuatan dan kelemahan filsafat hidup Siwalima.
4. Merumuskan kontribusi nilai-nilai filsafat hidup Siwalima bagi upaya penguatan
karakter masyarakat multikultural di Maluku.
C. Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka dalam suatu penelitian mempunyai beberapa tujuan: (a)
Memberitahu pembaca hasil penelitian-penelitian lain yang berhubungan dengan
penelitian yang sedang dilaporkan; (b) Menghubungkan suatu penelitian dengan dialog
yang lebih luas dan berkesinambungan tentang suatu topik dalam pustaka, mengisi
kekurangan dan memperluas penelitian-penelitian sebelumnya; dan (c) Memberikan
kerangka untuk menentukan signifikansi penelitian dan juga sebagai acuan untuk
membandingkan hasil suatu penelitian dengan temuan-temuan lain (Creswell, 2003: 18).
Filsafat hidup Siwalima, dari aspek kesejarahan (historisitas), sulit untuk
memastikan kemunculannya di kalangan orang Maluku. Hal ini disebabkan oleh tradisi
orang Maluku yang mewariskan kisah-kisah zaman dulu tidak secara tertulis tetapi dalam
bentuk cerita-cerita lisan secara turun-temurun hingga generasi sekarang ini. Tulisan-
tulisan mengenai kisah dan sejarah orang Maluku di masa lampau sangat sedikit, sehingga
agak sulit untuk menelusuri kisah-kisah masa lampau tersebut. Tiga referensi yang telah
disebutkan pada bagian keaslian penelitian, yaitu karya M.C. Boulan dan S.J.M. Sijauta
(Uru: Son Of The Sunrise, 1986); karya Odo Deodatus Tauern (Patasiwa und Patalima:
vom Molukkeneiland Seram und Seinen Bewohnern Ein Beitrag zur Volkerkunde, 1918);
13
dan karya Aholiab Watloly (Maluku Baru: bangkitnya mesin eksistensi anak negeri,
2005), merupakan beberapa referensi yang akan digunakan dalam pembahasan-
pembahasan berikutnya mengenai filsafat hidup Siwalima ini. Beberapa literatur lainnya
yang dapat membantu untuk mengkaji filsafat hidup Siwalima ini, khususnya dari aspek
sejarah seperti di bawah ini.
Frank Cooley dalam karyanya Altar and Throne in Central Moluccan Societies
(1988: 118-122), menjelaskan tentang Siwalima ini. Siwalima ditilik dari aspek bahasa
(etimologi), merupakan penggabungan dari kata Pata Siwa dan Pata Lima . Pata berarti
kelompok atau bagian, sedangkan Siwa berarti sembilan dan Lima/rima artinya lima.
Dalam karya Cooley yang lain Ambonese Adat: A General Description (1962: 13), Cooley
menjelaskan bahwa kata pata sama dengan kata uli, berasal dari bahasa atau istilah asli
(indigenous language) Maluku, keduanya berarti kelompok (grouping) atau bagian
(division). Kata pata sering digunakan dalam pergaulan masyarakat Maluku sehari-hari,
yang mengandung arti bagian, misalnya: “sagu salempeng di-pata dua ” (artinya: Sagu
satu buah dibagi dua). Setiap negeri (desa) di Maluku Tengah tergolong ke dalam salah
satu dari kedua kelompok pata atau uli tersebut. Patasiwa-patalima ini menurut Cooley,
menunjukkan bahwa seluruh negeri yang tergolong pada salah satu kelompok mempunyai
sistem adat yang serupa dalam segi-segi tertentu. Suatu negeri yang tergolong ke dalam
kelompok sembilan (pata/uli siwa ) atau kelompok lima (pata/uli lima), mempunyai
akibat-akibat tertentu. Susunan sosial dari negeri-negeri yang tergolong pada kelompok
sembilan dikatakan terdiri dari sembilan satuan yang lebih kecil, demikian pula susunan
sosial dari negeri-negeri yang tergolong pada kelompok lima dikatakan terdiri dari lima
satuan yang lebih kecil.
Cooley juga menjelaskan bahwa kedua sistem adat di daerah Maluku Tengah ini
dapat dihubungkan dengan daerah-daerah adat di pulau Seram. Ada persesuaian pendapat
14
bahwa pembagian Patasiwa -Patalima ini pada mulanya ditentukan di pulau Seram,
dengan pembatasan wilayahnya secara jelas. Orang-orang patasiwa adalah sekelompok
suku Alifuru (suku asli pulau Seram) yang menghuni bagian Barat pulau Seram, yang
sebagian besar terletak di sebelah Barat dari sungai Mala yang bermuara ke dalam teluk
Elpaputih di sebelah Selatan. Orang-orang patalima menghuni daerah yang terletak di
sebelah Timur perbatasan itu. Kedua kelompok ini juga memiliki perbedaan bahasa.
Kelompok patasiwa dibagi atas dua sub-kelompok yaitu: patasiwa hitam (patasiwa mete
dalam bahas asli) dan patasiwa putih dengan pembagian wilayahnya masing-masing.
Kelompok patasiwa putih ini berpindah dari wilayah patasiwa dan mendiami wilayah
patalima , disebabkan oleh dilancarkannya ekspedisi-ekspedisi hongitochten oleh Belanda
(sekitar 1615-1665). Cooley (1988: 120) lebih lanjut mengemukakan suatu data tentang
pembagian kelompok penduduk di pulau Seram yang berasal dari zaman sebelum
terjadinya pengelompokan patasiwa-patalima ini. Cooley menjelaskan bahwa di Seram
Barat, sebelum abad ke-15, terdapat dua golongan suku Alifuru yaitu: Pata Aloene
(Halune) dan Pata Wemale (Memale), dengan pembagian wilayahnya masing-masing.
Kelompok Aloene mendiami wilayah yang dikenal sebagai Patasiwa, sedangkan Wemale
mendiami wilayah yang dikenal sebagai Patalima .
Keuning dalam bukunya Sejarah Ambon sampai pada akhir abad ke-17 (1973: 11-
12), menjelaskan bahwa uli siwa (persekutuan sembilan) dan uli lima (persekutuan lima)
dahulu dikenal di seluruh Maluku, dan masih terdapat di sebagian kepulauan ini pada
masa kini. Keuning mengutip rekonstruksi Holleman, yang menjelaskan bahwa uli dapat
disebut sebagai suku bangsa, yaitu suatu kelompok agak besar yang terdiri dari orang-
orang yang merasa bahwa mereka adalah kesatuan tersendiri dan mengira berasal dari satu
keturunan. Uli terdiri atas beberapa aman atau hena, suatu nama yang masih dikenal di
negeri-negeri Islam. Aman atau hena merupakan suatu kelompok klen yang terdiri dari
15
beberapa keturunan berdasarkan garis ayah/laki-laki (patrilinial) atau yang disebut rumah
tau yang terdiri dari sejumlah keluarga yang hubungan keluarganya masih erat sekali.
Keuning (1973: 14) menegaskan bahwa berdasarkan berita-berita orang Portugis
ketika tiba di Ambon, telah terjadi pertentangan tradisional di antara kedua kelompok uli
ini yang diakibatkan oleh pembagian dua (tweedeling) dalam struktur masyarakat. Kaum
uli lima tinggal di bagian terbesar dari semenanjung Hitu (Leihitu), sedangkan Leitimor
adalah daerah kaum uli siwa. Orang Portugis sendiri dalam pertentangan ini menurut
Keuning, memainkan peranan sebagai pihak yang mempercepat pertentangan ini. Keuning
juga menjelaskan bahwa uli lima di Hitu, sejak permulaan abad ke 16 sebagian besar
sudah memeluk agama Islam. Walaupun demikian, masih banyak kepercayaan dan
kebiasaan yang sudah berurat akar tetap bertahan di bawah selimut agama Islam yang baru
itu. Sedangkan di Leitimor sebagai wilayah uli siwa pada zaman itu masih setia kepada
keyakinannya yang lama. Penghormatan terhadap arwah nenek moyang adalah unsur
penting dari agama Ambon yang lama.
Keuning (1973: 15-17) menjelaskan bahwa agama (kepercayaan) Ambon yang
lama ini mengharuskan orang percaya pada adanya makhluk yang Maha Tinggi dan
menyembah matahari, bulan dan bintang karena dianggap sebagai tempat kediaman
makhluk-makhluk yang lebih tinggi. Pusat kegiatan agama (kepercayaan) orang Ambon
yang lama ini adalah baileo, yang merupakan sebuah gedung terbuka untuk pertemuan-
pertemuan dengan batu pemali, yakni sepotong batu yang keramat untuk bersembahyang
yang terletak di dekatnya. Kedudukan batu pemali terhadap baileo termasuk salah satu ciri
pembeda antara kelompok pata siwa dan pata lima. Batu pemali pada uli lima, letaknya di
sisi baileo yang menghadap ke arah pantai, sedangkan pada uli siwa, batu pemalinya
menghadap ke darat. Perbedaan yang lain antara kedua kelompok ini menurut Keuning
yaitu pada uli lima, angka lima memainkan peranan penting. Mas kawin, denda adat, atau
16
pemberian korban, dinyatakan dalam kelipatan lima, demikian juga dengan perlengkapan
baileo ada hubungannya dengan angka lima. Angka sembilan bagi uli siwa mempunyai
peran yang sama seperti angka lima bagi uli lima. Cara pembuatan kapal, juga dapat
membedakan kedua kelompok uli ini.
Keuning (1973: 19-20) selanjutnya menjelaskan bahwa sejak tiba di Hitu dalam
tahun 1512, orang-orang Portugis di bawah pimpinan d’Abrio dan Serroa disambut dan
dijamu dengan ramah tamah oleh orang Hitu (uli lima) yang telah beragama Islam. Jumlah
orang Portugis yang sedikit itu tidak dianggap sebagai ancaman, apalagi mereka segera
pergi setelah tinggal beberapa lama. Maksud orang-orang Portugis itu hanyalah mencari
rempah-rempah (cengkih dan pala), dan zaman itu mereka harus pergi ke Ternate, Tidore
dan Banda. Dalam tahun 1525, barulah orang Portugis mendapat izin membangun sebuah
rumah di pantai Hitu sebelah Utara. Tetapi, keadaan tersebut menjadi buruk ketika orang
Portugis melanggar kedaulatan orang Hitu yakni ketika mereka hendak membangun
sebuah benteng dan mengadakan peraturan-peraturan sendiri. Orang Hitu menolaknya dan
menghendaki orang Portugis meninggalkan wilayah mereka dan tinggal di antara orang-
orang uli siwa. Sejak itu pula terjadi pengkristenan orang uli siwa di Leitimor oleh
Portugis. Orang-orang uli siwa ini meminta dibaptis menjadi Kristen oleh orang Portugis
dengan harapan akan mendapat bantuan terhadap penyerbuan orang uli lima tersebut.
Keuning mencatat bahwa abad ke 16 bagi Ambon bukanlah zaman yang damai. Adanya
orang Portugis pada umumnya merupakan faktor yang mengganggu suasana, terutama di
Leitimor. Kehadiran mereka memperuncing pertentangan lama (tradisional) antara uli
siwa dan uli lima, dan membagi seluruh negeri dalam dua kelompok kekuatan yang terus-
menerus saling memerangi.
Keuning (1973: 21) menjelaskan bahwa kekuasaan Portugis di Ambon kemudian
diambil alih oleh Belanda di bawah pimpinan Steven van der Haghen, yang berhasil
17
merebut benteng Victoria pada tgl. 23 Februari 1605. Van der Haghen yang telah menjadi
gubernur Belanda di Ambon, ternyata sanggup mengatasi keadaan krisis terus. Van der
Haghen berhasil mengusahakan sehingga penduduk kampung-kampung di sekitar benteng,
yang telah mengungsi ke daerah-daerah pegunungan, kembali ke tempat tinggalnya yang
dahulu. Van der Haghen berjanji untuk melindungi mereka. Beberapa hari kemudian, janji
yang sama diberikannya kepada sejumlah kepala suku dari pulau-pulau Ulias (di sekitar
pulau Ambon) dan dalam waktu singkat berhasil menjamin keamanan Ambon dan
sekitarnya.
Keuning (1973: 23) menjelaskan, setelah van der Haghen mengambil alih benteng
Portugis, pater Mosonio (pekabar Injil Portugis) menemui van der Haghen untuk
membicarakan nasib kaum Kristen (ulisiwa). Selain membicarakan soal-soal harta dan
milik, mereka minta kebebasan dalam menjalankan ibadah. Dalam hari-hari kemudian,
datanglah Diego Barbudo, seorang Portugis yang sudah lama menetap di situ, dan bersama
dengan beberapa kepala kampung (desa) penting di Ambon, bertemu dengan van der
Haghen. Mereka berjanji akan setia dan takluk kepada Staten van Holland dan minta
perlindungan. Karena takut akan gangguan-gangguan dari pihak islam (ulilima), Pedro
Masonio telah meminta kepada van der Haghen agar diadakan perdamaian antara kedua
pihak, Kristen (ulisiwa) dan Islam (ulilima).
Belanda, ketika menyerang dan merebut benteng Portugis tersebut, dibantu oleh
negeri-negeri dari uli lima dari jazirah Hitu yang beragama Islam, sedangkan dari Leitimor
(uli siwa) hanya penduduk Nusaniwe dan Urimeseng yang memberi bantuan. Setelah
Diego Barbudo datang membawa 22 kepala kampung (raja, orang kaya) dari negeri-negeri
dari Leitimor, ia kemudian membawa sejumlah pemimpin lainnya dari pulau-pulau di
sekitar Ambon, yakni Saparua, Haruku dan Nusalaut, untuk menyatakan kesetiaan mereka
kepada Belanda. Sikap yang sama diajukan oleh para pemimpin dari Hitu, dengan
18
pimpinan kapitan Hitu, dan uli lima lainnya (Leirissa, 2005: 24, 25). Berkumpulnya para
pemimpin negeri-negeri dari uli siwa dan uli lima di pulau Ambon, dan dari pulau-pulau
di sekitar Ambon, menjadi momentum bagi van der Haghen untuk mempersatukan para
pemimpin tersebut, menciptakan perdamaian, sekaligus membawa keuntungan politik dan
ekonomi baginya. Van der Haghen, dengan demikian berhasil menaklukan dan menguasai
monopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku.
Van der Haghen, dalam bulan Februari 1605 berhasil mengadakan persetujuan
dengan kapitan (panglima perang) dan kepala-kepala suku lainnya, dengan syarat-syarat
terpenting, sebagai berikut (Keuning, 1973: 24):
1. Kami, semua kepala-kepala, bersumpah untuk membantu Gubernur terhadap semua
musuh yang mungkin mempunyai rencana untuk menyerang beliau atau benteng ini,
baik dari laut, maupun dari darat.
2. Kami bersumpah, bahwa kami tidak akan menjual cengkih kepada siapapun, melainkan
kepada orang-orang Belanda, kecuali dengan pengetahuan terlebih dahulu dari
Gubernur.
3. Setiap orang akan hidup menurut agama masing-masing, sesuai dengan apa yang
dianggapnya adalah kehendak Tuhan atau akan membawa keselamatan bagi mereka;
akan tetapi tiada orang yang diperbolehkan menganiaya atau mengganggu orang lain.
4. Apabila Gubernur memanggil kami untuk melakukan suatu pekerjaan, maka orang Uli
siwa wajib memberi bantuan kepada orang Uli lima, dan demikianpun orang Uli lima
kepada orang Uli siwa.
5. Berdasar perjanjian-perjanjian tersebut, Gubernur, atas nama “de Heeren Staten
Generaal der vereenighde provintien ” dan Yang Mulia Pangeran (van Oranye), berjanji
untuk menolong dan mendampingi kapitan Hitu dan semua kepala-kepala dan rakyat
dari daerah-daerahnya itu, seperti negara sendiri terhadap semua musuh-musuhnya.
19
De Graaf (1977: 92 – 93), menjelaskan peristiwa perjanjian yang disepakati antara
van der Haghen dengan para kapitan ini. Setelah kompani (Belanda) berhasil membantu
Hitu menghancurkan Portugis, Hitu membuat kontrak perjanjian untuk tetap setia kepada
Belanda yang tertera dalam Corpus Diplomaticum Neerlandico Indicum. Perjanjian ini
menegaskan bahwa kapitan Hitu dan semua pemimpin Hitu yang lainnya bersumpah akan
setia kepada Staten Generaal der Verenigde Nederlanden (pemerintah Belanda), kerajaan
Belanda dan kepada Gubernur Amboina. Hitu berjanji akan memberikan bantuan kepada
gubernur terhadap musuh-musuh yang datang menyerang benteng Belanda (artikel 1),
menjual cengkih hanya kepada Belanda (artikel 2), tidak mengganggu agama orang lain
(artikel 3), saling menangkap dan menyerahkan orang-orang yang berkhianat (artikel 4),
gubernur akan menghukum orang-orang Belanda yang melakukan kesalahan, dan
penduduk tidak perlu membawa cengkih ke benteng Belanda (artikel 5). Sedangkan artikel
ke-6 menyatakan bahwa uli siwa dan uli lima hendaknya bersatu apabila Belanda
memerlukan mereka untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan tertentu. De Graaf
menjelaskan bahwa pada tahun 1609 kontrak ini sekali lagi diperbarui dan ini merupakan
dasar hubungan antara Belanda dengan Hitu.
Kedua kelompok uli yakni uli siwa dan uli lima telah ada di Maluku sebelum
kedatangan bangsa-bangsa Eropa untuk mencari rempah-rempah. Rumphius dalam
karyanya: De Ambonsche Histori (telah dialih bahasa oleh Frans Rijoly dengan judul:
Sejarah Ambon, diktat, tidak dipublikasi), seorang sejarawan Portugis yang datang ke
Ambon bersamaan dengan kedatangan Portugis, mencatat bahwa orang Portugis yang
mula-mula tiba di Maluku pada tahun 1515 di bawah pimpinan kapten Fransisco Serrao
telah menemui keadaan masyarakat Ambon yang telah terbagi atas kedua kelompok ini:
uli lima di jazirah Hitu dan telah beragama Islam, sedangkan uli siwa di jazirah Leitimor
dan belum beragama.
20
Manuskrip lain yang ditulis oleh Antonio Bocarro (dikutip oleh Abdurachman
dalam Luhulima, 1971: 82), seorang Portugis di Ambon (1565-1579), yang berjudul A
capitania de Amboino, suatu hikayat dari keadaan politik-sosial di kepulauan Maluku
semasa pemerintahan Goncalo Pereira Marramaque dan Sancho de Vasconcellos.
Manuskrip ini mengutarakan bagaimana penduduk Ambon terbagi atas dua golongan,
yaitu ”Olicivas” (Ulisiwa) dan ”Ollilimas” (Ulilima), yang selalu berperang satu dengan
yang lain. Uli lima menurut Bocarro, adalah pendudukan asli dan beragama Islam
(Natureis) dan Uli siwa adalah pendatang (Estranjeiro ) dan makan babi. Uli siwa ini pada
umumnya berkawan dengan Portugis dan menganut kepercayaan kuno. Tetapi
menurutnya, di pantai Selatan pulau Ambon terdapat suatu tempat yang bernama Rucanive
(Nusaniwe), yang berkawan dengan Portugis, walaupun uli lima, tetapi mereka makan
babi (beragama Kristen). Pengelompokan kampung-kampung di pulau Ambon menurut
Bocarro, ternyata di dalam golongan uli lima ada kampung-kampung yang beragama
Islam maupun yang beragama Kristen, demikian juga dalam golongan uli siwa ada
kampung-kampung yang beragama Kristen maupun yang beragama Islam. Jazirah Leihitu
yang tergolong sebagai uli lima dan beragama Islam ternyata ada empat negeri di
dalamnya yang tergolong uli siwa dan beragama Kristen yaitu Rosetelo (Nusatelu), Atiwe
(Hatiwe), Taviri (Tawiri) dan Baquaela (Baguala). Sedangkan di jazirah Leitimor yang
tergolong uli siwa, ternyata ada negeri uli lima yaitu Rucanive (Nusaniwe) walaupun
mereka beragama Kristen.
D. Landasan Teori
Filsafat hidup Siwalima orang Maluku sebagai objek material, akan disoroti dari
perspektif filsafat nilai (aksiologi) sebagai objek formal. Apa dan bagaimana nilai-nilai
filsafat hidup Siwalima tersebut dalam perspektif aksiologi, serta bagaimana hierarki
21
nilainya. Aksiologi secara umum diartikan sebagai studi filosofis tentang hakikat nilai-
nilai, atau merupakan studi yang menyangkut teori umum tentang nilai, tentang segala
yang bernilai. Runes (1975: 32) mendefinisikan aksiologi sebagai theory of value (teori
nilai), yakni penyelidikan mengenai kodrat, kriteria dan status metafisik dari nilai. Kattsoff
(2004: 329) mendefinisikan aksiologi sebagai ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat
nilai, yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan.
Frondizi (1963: 6-7) menjelaskan bahwa nilai merupakan “unreal qualities ”,
(“kualitas yang tidak riel”), karena nilai tidak menambah realitas atau substansi pada objek
melainkan hanya nilai. Nilai bukan merupakan benda atau unsur dari benda melainkan
merupakan sifat, kualitas, sui generis, yang dimiliki objek tertentu yang dikatakan baik.
Nilai adalah milik semua objek yang oleh Husserl dikatakan “tidak independen”, yakni
nilai tidak memiliki kesubstantifan. Jika nilai adalah suatu sifat atau kualitas yang dimiliki
objek tertentu yang dikatakan baik, maka dapat dikatakan bahwa nilai menjadikan sesuatu
berharga, layak dikehendaki, dipuji dan dihormati, dijunjung tinggi dan dicari, diupayakan
dan dicita-citakan, artinya nilai juga berfungsi sebagai pendorong, pedoman dan pengarah
kehidupan manusia.
Pandangan yang sama dikemukakan Wahana (2004: 84) bahwa nilai memiliki
peranan sebagai daya tarik serta dasar bagi tindakan manusia, serta sebagai pendorong dan
pengarah bagi pembentukan diri manusia melalui tindakan-tindakannya. Dapat dikatakan
bahwa manusia tidak mungkin hidup dengan pantas dan layak kecuali dengan nilai-nilai.
Dengan sistem nilai yang dimiliki dan diakui, manusia dapat memilah-milah mana
kegiatan dan perilaku serta barang yang dianggap berharga atau tidak, antara peristiwa
yang penting dan tidak, keputusan yang penting dan tidak dan mana yang pantas dipuji
dan dijunjung tinggi. Van Peursen (1990: 50), menegaskan bahwa mengabaikan hakikat
22
dan peranan nilai-nilai dalam kehidupan bukanlah cara yang tepat dalam menghadapi
realitas yang konkret.
Scheler (1973: 17, 81), mengatakan bahwa nilai merupakan suatu kualitas yang
tidak tergantung pada pembawanya (bearer of value ). Nilai merupakan kualitas yang a
priori , yakni suatu nilai telah dapat dirasakan oleh manusia tanpa melalui pengalaman
inderawi terlebih dulu. Nilai merupakan kualitas yang tidak tergantung pada suatu objek
atau pembawanya, juga tidak berubah seiring dengan perubahan objek atau pembawanya
tersebut. Nilai bersifat absolut, tidak tergantung pada objek dan juga pada suatu tindakan
manusia. Scheler menegaskan bahwa nilai itu absolut dan tidak relatif, hanya pengetahuan
manusialah yang bersifat relatif. Dengan demikian, Scheler berpendirian pada
objektivisme aksiologi.
Scheler (1973: 23- 30), menjelaskan tentang nilai baik dan nilai jahat. Nilai baik
yaitu nilai yang melekat pada tindakan untuk mewujudkan nilai positif, yang berlawanan
dengan nilai negatif. Nilai baik ini melekat pada tindakan mewujudkan nilai dalam
tingkatan yang lebih tinggi atau tertinggi dalam susunan nilai. Sedangkan nilai jahat yaitu
nilai yang melekat pada tindakan yang mewujudkan nilai negatif. Nilai jahat ini melekat
pada tindakan mewujudkan nilai pada tingkatan yang lebih rendah atau terendah dalam
susunan nilai. Scheler (1973: 81 – 82), juga mengelompokkan nilai atas nilai positif dan
nilai negatif. Kedua nilai ini terdapat dalam inti setiap nilai. Nilai positif merupakan
sesuatu yang harus ada dan terwujud dalam realitas kehidupan, sedangkan nilai negatif
harus tidak ada dan tidak terwujud dalam realitas kehidupan. Suatu ada sebagai yang
positif harus ada dan harus terwujud dalam realitas kehidupan adalah benar, sedangkan
suatu ada sebagai yang negatif harus tidak ada dan harus tidak terwujud dalam realitas
kehidupan adalah salah.
23
Scheler (1973: 86 – 89), menjelaskan bahwa nilai tersusun dalam sebuah hubungan
hierarkis yang a priori . Hierarkis nilai bagi Scheler harus ditemukan di dalam hakikat nilai
itu sendiri, juga berlaku bagi nilai yang tidak kita ketahui. Kelebihan satu nilai atas nilai
yang lain dipahami dengan menggunakan preferensi, yang merupakan tindakan khusus
pemahaman atau kesadaran terhadap nilai. Tindakan preferensi merupakan suatu
pemahaman akan tingkat tinggi dan rendahnya suatu nilai. Tingkatan suatu nilai
merupakan hal yang keberadaannya memang sudah demikian berdasarkan hakikatnya, dan
itu dapat dirasakan melalui preferensi. Tindakan preferensi tidak boleh disamakan dengan
tindakan memilih. Tindakan memilih merupakan kecenderungan yang telah mencakup
pengetahuan tentang keunggulan nilai, sedangkan tindakan preferensi merupakan tindakan
mengunggulkan atau mengutamakan. Tindakan preferensi ini diwujudkan tanpa
menunjukkan adanya kecenderungan, pemilihan dan keinginan. Tindakan preferensi ini
bersifat a priori , terjadi di antara nilai-nilai itu sendiri yang berbeda tingkatannya, dan
terlepas dari pengalaman akan hal yang bernilai. Preferensi yang demikian ini mencakup
keseluruhan aneka ragam hal-hal bernilai. Tingkatan suatu nilai diberikan bukan
mendahului tindakan preferensi, melainkan diberikan pada saat tindakan preferensi itu
berlangsung, yaitu membandingkan antara nilai tersebut dengan nilai-nilai lainnya.
Hierarkis nilai ditentukan oleh preferensi, artinya semakin banyak orang yang
memandangnya luhur dan penting bagi kehidupan akan semakin tinggi hierarkinya.
Scheler (1973: 90 – 99) mengemukakan lima kriteria untuk menentukan hierarki
nilai aksiologi, yaitu:
a). Keabadian nilai atau lamanya suatu nilai bertahan (more endurance), yaitu
kecenderungan intrinsik untuk mempertahankan keberadaannya. Suatu nilai bertahan jika
memiliki kemampuan untuk berada dan berlangsung dalam waktu. Suatu objek nilai yang
abadi selalu lebih disukai daripada yang sementara dan mudah berubah.
24
b). Sifat kurang dapat dibagi (less divisible), yaitu nilai yang semakin tidak harus dibagi
untuk dapat dirasakan oleh sejumlah orang, merupakan nilai yang lebih tinggi.
c). Dasar suatu nilai (foundation), yaitu suatu nilai akan lebih tinggi jika ia tidak
tergantung pada nilai lainnya.
d). Kedalaman kepuasan (depth of contentment), yaitu suatu nilai semakin tinggi jika
semakin dalam kepuasan yang dihasilkannya.
e). Tingkat relativitas suatu nilai terhadap suatu nilai absolut (level of relativity to absolute
values), yaitu nilai semakin tinggi hierarkinya jika nilai itu semakin kurang relatifnya.
Scheler (1973: 104 – 110), berdasarkan preferensi dan penerapan lima kriteria
tersebut, menyusun tabel hierarki nilai, yaitu:
Pertama , pada tingkat yang terendah yaitu nilai “kesenangan” atau “kenikmatan”
(agreeable ). Tingkatan nilai ini berkaitan dengan fungsi dari perasaan inderawi, yaitu rasa
nikmat dan rasa sakit. Nilai kesenangan ini merupakan nilai yang terendah hierarkinya dari
semua nilai, karena merupakan nilai yang pada dasarnya “fana”.
Kedua, nilai vitalis atau kehidupan (vital feeling). Tingkatan nilai ini terdiri dari nilai-nilai
rasa kehidupan, meliputi yang luhur, halus dan lembut hingga yang kasar atau biasa, dan
juga mencakup yang bagus, yang berlawanan dengan yang jelek. Nilai-nilai yang
diturunkan dari tingkatan ini meliputi kesejahteraan pada umumnya. Nilai pada tingkatan
ini tidak dapat dinaikan pada nilai spiritual atau diturunkan pada nilai kesenangan.
Ketiga, nilai spiritual (spiritual values). Tingkatan nilai ini memiliki sifat tidak tergantung
pada seluruh lingkungan badaniah serta lingkungan sekitarnya. Nilai spiritual ditangkap
dengan rasa spiritual dan dalam tindakan preferensi spiritual, yaitu mencintai dan
membenci. Nilai spiritual dapat dibedakan atas: (a). Nilai keindahan dan kejelekan; (b).
Nilai keadilan dan ketidakadilan; dan (c). Nilai “pengetahuan murni tentang kebenaran”,
yang diusahakan untuk direalisasikan oleh filsafat, yang dilawankan dengan ilmu positif.
25
Keempat, nilai kekudusan dan nilai profan (the holy). Nilai kekudusan ini tidak dapat
direduksi menjadi nilai spiritual dan memiliki keberadaan yang khas yang menyatakan diri
dalam berbagai objek yang hadir secara mutlak. Nilai ini bersifat independen dalam
kaitannya dengan segala sesuatu yang sejak semula dipandang suci dalam perjalanan
sejarah, termasuk bagian “konsep Tuhan yang paling murni”. Hubungan hierarkis nilai ini
bagi Scheler, yang dimulai dari kenikmatan menuju kekudusan, dengan menggunakan
nilai vital dan spiritual, adalah aprioristik, sehingga mendahului hubungan di antara benda-
benda. Semua nilai didasarkan pada nilai yang tertinggi dari semua nilai yakni nilai
kekudusan, yang sifatnya abadi.
Landasan teori tentang nilai yang telah dibahas dalam bagian ini akan digunakan
dan membantu dalam mengkaji nilai-nilai yang terdapat di dalam filsafat hidup Siwalima
sebagai mana tujuan disertasi ini.
E. Metode Penelitian
1. Sumber atau bahan penelitian
Filsafat hidup Siwalima sebagai kearifan lokal (local wisdom) orang Maluku, yang
dijadikan sebagai bahan atau objek material penelitian ini, mengharuskan digunakannya
metode penelitian kualitatif. Kaelan (2005: 4), menegaskan bahwa objek penelitian yang
menyangkut manusia (studi humaniora) dengan segala hasil budayanya, lebih tepat
menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif menurut Kirk dan Muller
(Kaelan, 2005: 5) lebih menekankan pada segi kualitas secara alamiah karena menyangkut
pengertian, konsep, nilai serta ciri-ciri yang melekat pada objek penelitian. Penelitian
kualitatif akan menggunakan metode penelitian kualitatif, yakni prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata, catatan-catatan yang berhubungan dengan
makna, nilai serta pengertian. Metode kualitatif ini senantiasa memiliki sifat holistik, yaitu
26
penafsiran terhadap data dalam hubungannya dengan berbagai aspek yang mungkin ada
(Kaelan, 2005: 6).
Filsafat hidup Siwalima sebagai objek material penelitian ini, dapat didekati
dengan menggunakan dua metode penelitian kualitatif yakni metode penelitian deskriptif
dan metode penelitian sejarah. Metode penelitian deskriptif menurut Kaelan (2005: 58)
bertujuan untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis dan objektif,
mengenai fakta-fakta, sifat, ciri serta hubungan di antara unsur-unsur yang ada atau suatu
fenomena tertentu. Metode penelitian deskriptif ini akan menggali dan mendeskripsikan
secara sistematis dan objektif berbagai hal yang berhubungan dengan filsafat hidup
Siwalima sebagai mana tujuan penelitian ini. Dua jenis metode deskriptif yang dapat
digunakan untuk meneliti filsafat hidup Siwalima, yaitu metode penelitian kepustakaan
dan metode penelitian wawancara. Penelitian kepustakaan berhubungan dengan berbagai
referensi kepustakaan mengenai filsafat hidup Siwalima, sedangkan wawancara
berhubungan dengan informasi dari para nara sumber (informan).
Filsafat hidup Siwalima juga berkaitan dengan dimensi sejarah. Karena itu, selain
menggunakan metode deskriptif, maka penelitian ini juga akan menggunakan metode
sejarah. Metode sejarah ini diterapkan karena data-data yang terkandung dalam filsafat
hidup Siwalima memiliki perspektif historis. Metode sejarah akan menggunakan catatan
observasi atau pengamatan yang dilakukan oleh orang lain, yang tidak dapat diulang
kembali (Kaelan, 2005: 60). Catatan observasi atau pengamatan yang dimaksudkan di sini
adalah beberapa sumber primer maupun sumber sekunder mengenai filsafat hidup
Siwalima sebagai bahan penelitian (objek material).
Penelitian dengan menggunakan metode sejarah seperti ditegaskan oleh Nazir
(1988: 55) adalah penyelidikan yang kritis terhadap keadaan-keadaan, perkembangan serta
pengalaman di masa lampau dan menimbang secara cukup teliti dan hati-hati tentang bukti
27
validitas dari sumber sejarah serta interpretasi dari keterangan dari sumber-sumber
keterangan tersebut. Gee (dalam Nazir, 1988: 105-106) mengemukakan empat aspek
metode penelitian sejarah yaitu: mencari material historis, menguji secara kritis asal dan
keaslian sumber sejarah serta validitasi dari isi sumber tersebut, memberikan interpretasi
dan pengelompokan dari fakta-fakta serta hubungannya, dan formulasi serta melukiskan
hasil penemuan. Tujuan dari penelitian dengan metode sejarah adalah untuk membuat
rekonstruksi masa lampau secara objektif dan sistematis dengan mengumpulkan,
mengevaluasikan serta menjelaskan dan mensintesiskan bukti-bukti untuk menegakkan
fakta dan menarik kesimpulan secara tepat (Kaelan, 2005: 62), sehingga metode ini dapat
diterapkan pula terhadap filsafat hidup Siwalima.
Filsafat hidup Siwalima sebagai objek material penelitian, akan diteliti dengan
menggunakan dua tahap pengumpulan data, yaitu tahap pengumpulan data melalui
penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan (wawancara). Penelitian kepustakaan ini
dimaksudkan untuk mengumpulkan sumber data dari buku-buku kepustakaan yang
berkaitan dengan objek material penelitian (Kaelan, 2005: 138). Penelitian kepustakaan ini
akan mengumpulkan bahan-bahan penelitian yang berhubungan dengan filsafat hidup
Siwalima yang akan dijadikan sebagai sumber data, baik sumber primer maupun sumber
sekunder. Dua referensi yang akan digunakan sebagai sumber primer penelitian ini, yaitu
karya Odo Deodatus Tauern yang berjudul, Patasiwa und Patalima: vom Molukkeneiland
Seram und Seinen Bewohnern Ein Beitrag zur Volkerkunde (telah di-Indonesia-kan oleh
Ridjoly dengan judul, Patasiwa dan Patalima: dari kepulauan Maluku Seram dan
penduduknya sebuah sumbangan untuk ilmu bangsa-bangsa , hasil penelitian pada tahun
1910-1911), dan karya M.C. Boulan dan S.J.M. Sijauta yang berjudul, Uru: Son Of The
Sunrise (telah di-Indonesia-kan oleh Sijauta dengan judul, Uru, lelaki dari matahari terbit :
suatu pendekatan pada kerangka dasar Siwalima di Seram dan Uliase (diktat, hasil
28
penelitian 1986), Buku-buku atau karya-karya lainnya akan digunakan sebagai sumber
sekunder.
Selain penelitian kepustakaan, maka tahap pengumpulan data ini juga akan
dilengkapi dengan teknik penelitian wawancara. Wawancara ini dimaksudkan untuk
mengkaji eksistensi dan makna filsafat hidup Siwalima dalam kehidupan orang Maluku
sekarang ini. Filsafat hidup Siwalima sebagai warisan para leluhur Maluku, melalui teknik
wawancara hendak dikaji kembali apakah masih diketahui, dipahami dan dimaknai dalam
kehidupan orang Maluku sekarang ini. Wawancara ini dilakukan terhadap para nara
sumber (informan) dari kalangan orang Maluku yang berkompeten, terutama kalangan
tokoh-tokoh adat.
2. Cara penelitian
a. Pengumpulan data pada penelitian kepustakaan. Data yang akan dikumpulkan
melalui penelitian kepustakaan ini adalah buku-buku kepustakaan yang berhubungan
dengan filsafat hidup Siwalima sebagai objek material penelitian. Buku-buku atau literatur
yang akan dikumpulkan tersebut berasal dari berbagai perpustakaan yang mungkin didapat
oleh peneliti. Berbagai literatur yang akan dikumpulkan mengenai filsafat hidup Siwalima
ini, meliputi sumber primer dan sumber sekunder.
b. Pengumpulan data pada penelitian lapangan. Data yang dikumpulkan melalui
penelitian lapangan ini bersifat melengkapi data penelitian kepustakaan. Data yang
dimaksudkan berupa berbagai informasi dan pendapat para informan mengenai eksistensi
dan makna filsafat hidup Siwalima dalam kehidupan masyarakat Maluku sekarang ini.
i. Informan. Informan adalah orang pada lokasi tempat penelitian diadakan, atau dapat
juga orang yang merupakan anggota masyarakat setempat, yang berfungsi memberikan
input yang berupa informasi data yang berkaitan dengan penelitian (Kaelan, 2006:
29
180). Informan yang dipilih dalam penelitian ini adalah para tokoh (pemangku) adat di
Maluku dari negeri-negeri uli siwa dan uli lima, dan dipilih secara purposive yakni
dipilih secara selektif berdasarkan tujuan penelitian.
ii. Lokasi penelitian. Penelitian ini berlokasi di (pulau) Ambon.
iii. Teknik pengumpulan data. Dalam mengumpulkan data dari para informan, akan
digunakan teknik wawancara. Wawancara adalah proses memperoleh keterangan
untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara
pewawancara (peneliti) dengan informan dengan menggunakan panduan wawancara
atau interview guide (Nazir, 1988: 234). Wawancara dimulai dari wawancara tak
berstruktur yang bertujuan agar informan dapat mengeluarkan pendapatnya tanpa
dibatasi, sehingga dapat diperoleh informasi emic. Kemudian dilakukan wawancara
terstruktur yang diatur oleh peneliti, sehingga dapat diperoleh baik data emic maupun
data etic mengenai permasalahan filsafat hidup Siwalima yang diteliti tersebut. Proses
wawancara ini dapat menggunakan teknik snow ball, di mana wawancara tersebut
dibiarkan berkembang terus-menerus untuk mendapatkan data dan informasi yang
seluasnya mengenai filsafat hidup Siwalima ini sesuai dengan tujuan penelitian.
c. Validitas data. Memperhitungkan kemungkinan perolehan data yang kurang
terpercaya dari informan, maka dilakukan teknik validitas/keabsahan data. Teknik ini
bertujuan untuk mendapatkan informasi yang benar-benar akurat, yaitu yang
menggambarkan informasi yang sebenarnya mengenai filsafat hidup Siwalima. Validitas
dilakukan dengan mengecek secara silang (cross check) keterangan yang diperoleh dari
sumber yang berbeda, yaitu informasi dari sumber informan, sumber peristiwa dan tempat
serta informasi yang dikumpulkan dari sumber dokumen/literatur melalui teknik
pengumpulan data melalui penelitian kepustakaan sebagaimana dijelaskan di depan.
30
3. Analisis data
Proses analisis data akan dilakukan baik pada saat, selama maupun setelah proses
pengumpulan data, baik penelitian kepustakaan maupun penelitian lapangan. Sehubungan
dengan akan adanya sejumlah besar data yang masih harus ditentukan hubungannya satu
dengan yang lain, maka harus dilakukan klasifikasi data menurut jenis dan karakteristik
sesuai dengan fokus penelitian mengenai filsafat hidup Siwalima ini. Patton mengartikan
analisis sebagai proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola,
kategori, dan satuan uraian dasar. Langkah-langkah untuk menganalisis data tersebut
yakni: (1) reduksi data, (2) “display” data, (3) pemahaman, interpretasi dan penafsiran, (4)
mengambil kesimpulan dan verifikasi (Kaelan, 2005: 68-70).
Metode yang digunakan dalam proses analisis data terhadap filsafat hidup
Siwalima ini, dapat menggunakan beberapa metode yang relevan yaitu (Kaelan, 2005:
171-176):
a. Metode verstehen. Metode ini sebagai awal untuk menganalisis data filsafat hidup
Siwalima. Verstehen merupakan metode yang digunakan pada hampir semua
penelitian kepustakaan bidang filsafat. Proses analisis dengan metode ini masih pada
tingkat simbolik, yang berguna untuk menangkap kembali isi pemikiran filsafat hidup
Siwalima.
b. Metode interpretasi atau hermeneutika. Metode verstehen selalu diikuti oleh metode
interpretasi atau hermeneutika, sehingga makna pada objek dapat dikomunikasikan
oleh subjek. Interpretasi atau hermeneutik bertujuan untuk mencari dan menemukan
makna yang terkandung dalam objek penelitian (filsafat hidup Siwalima), berupa
fenomena kehidupan manusia melalui pemahaman dan interpretasi. Metode ini
diterapkan untuk menangkap makna yang substansial disertai proses interpretasi,
sehingga makna tersebut dapat diterapkan pada masa sekarang.
31
c. Metode historis. Filsafat hidup Siwalima sebagai produk budaya orang Maluku, tentu
memiliki dimensi historis yang tidak dapat diabaikan. Karena itu, untuk
mengungkapkan dan menganalisis dimensi historis tersebut, diperlukan metode
historis. Metode historis ini untuk melengkapi metode hermeneutika dalam
menganalisis filsafat hidup Siwalima.
d. Metode heuristik. Metode ini bertujuan untuk menemukan suatu jalan baru,
pemecahan serta inovasi pemikiran yang baru. Metode ini diperlukan untuk
menganalisis dan menemukan pemikiran baru terhadap filsafat hidup Siwalima, baik
aspek ontologi, epistemologi, terutama aspek aksiologinya. Analisis heuristik terhadap
filsafat hidup Siwalima ini diterapkan pada data setelah pengumpulan data selesai
dilakukan.
F. Sistematika Penulisan
Disertasi ini terdiri atas 6 bab, yang diawali dengan bab I sebagai pendahuluan
yang mencakup latar belakang masalah, terdiri atas permasalahan, rumusan masalah,
keaslian dan manfaat penelitian, kemudian tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan
teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II membahas mengenai ruang lingkup filsafat nilai (aksiologi), khususnya
aksiologi Scheler sebagai objek formal disertasi ini. Bab II ini memaparkan mengenai
aksiologi sebagai cabang ilmu filsafat, problem utama aksiologi, ciri-ciri, hakikat dan
kualitas nilai, peranan nilai bagi manusia, nilai dalam pandangan beberapa filsuf.
Pemikiran aksiologi dan hierarki nilai Scheler dibahas secara khusus pada sus bab
tersendiri terpisah dari pandangan beberapa filsuf tersebut, karena pemikiran aksiologi dan
hierarki nilai Scheler ini digunakan untuk menganalisis nilai-nilai filsafat hidup Siwalima.
32
Pembahasan mengenai ruang lingkup filsafat nilai (aksiologi) Scheler sebagai objek
formal ini penting untuk kemudian digunakan dalam mendalami objek material secara
filsafat di dalam bab IV.
Bab III membahas filsafat hidup Siwalima sebagai objek material. Bab III ini
mendeskripsikan mengenai latar belakang filsafat hidup Siwalima yang mencakup
konteks budaya Maluku, historisitas filsafat hidup Siwalima, lapisan-lapisan
perkembangan pemikiran filsafat hidup Siwalima, kerangka dasar dan makna filsafat hidup
Siwalima, serta pembahasan mengenai nilai-nilai di dalam filsafat hidup Siwalima
dimaksud. Bab III ini juga akan membahas mengenai realitas filsafat hidup Siwalima di
masa kini. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi filsafat hidup Siwalima hingga
masa kini, bagaimana memudarnya nilai-nilai filsafat hidup Siwalima, bagaimana
pemahaman masyarakat Maluku terhadap filsafat hidup Siwalima, bagaimana penerapan
nilai-nilai filsafat hidup Siwalima dalam masyarakat dan bagaimana filsafat hidup
Siwalima sebagai way of life orang Maluku.
Bab IV mengeksplorasi nilai-nilai filsafat hidup Siwalima secara filsafat,
khususnya kajian aksiologi. Bab ini diawali dengan kajian ontologi dan epistemologi dari
filsafat hidup Siwalima, kemudian mengkaji landasan aksiologi yang menyangkut hakikat
nilai filsafat hidup Siwalima, nilai-nilai dalam filsafat hidup Siwalima, tipe nilai dan cara
terbentuknya nilai pada filsafat hidup Siwalima, fungsi nilai dalam filsafat hidup
Siwalima, dan nilai-nilai filsafat hidup Siwalima dalam perspektif hierarki nilai Scheler.
Bab IV ini juga mengandung refleksi kritis terhadap filsafat hidup Siwalima, yakni
menyangkut kekuatan dan kelemahan dari filsafat hidup Siwalima tersebut. Apa saja yang
menjadi kekuatan dan kelemahan dari filsafat hidup Siwalima tersebut, akan dikaji dalam
bab ini.
33
Bab V membahas mengenai sumbangan pemikiran disertasi ini, yakni mengenai
kontribusi nilai-nilai filsafat hidup Siwalima bagi penguatan karakter masyarakat
multikultural di Maluku. Bab ini akan menyoroti mengenai filsafat hidup Siwalima
sebagai modal sosial orang Maluku, filsafat hidup Siwalima di antara filsafat hidup
kontemporer, manfaat nilai-nilai filsafat hidup Siwalima bagi Maluku, sumbangan dan
fungsi nilai-nilai filsafat hidup Siwalima bagi masyarakat multikultural di Maluku, serta
implementasi filsafat hidup Siwalima dalam kehidupan masyarakat Maluku, yang
mencakup kajian akademik, sosialisasi, edukasi, dan internalisasi. Disertasi ini diakhiri
dengan bab VI sebagai bab penutup, yang berisikan kesimpulan dan saran.