25
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang mana mereka perlu dilindungi harkat dan martabatnya serta dijamin hak-haknya untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan kodratnya. Anak sebagai generasi penerus bangsa, selayaknya mendapatkan hak-hak dan kebutuhan-kebutuhan secara memadai. Sebaliknya, mereka bukanlah objek (sasaran) tindakan kesewenang-wenangan dan perlakuan yang tidak manusiawi dari siapapun atau pihak manapun. Anak yang dinilai rentan terhadap tindakan kekerasan dan penganiayaan, seharusnya dirawat, diasuh, dididik dengan sebaik-baiknya agar mereka tumbuh dan berkembang secara sehat dan wajar. Hal ini tentu saja perlu dilakukan agar kelak di kemudian hari tidak terjadi generasi yang hilang (lost generation). 1 Anak berhak mendapatkan pemeliharaan dan bantuan khusus keluarga sebagai inti dari masyarakat dan sebagai lingkungan alami bagi pertumbuhan dan kesejahteraannya. Anak-anak hendaknya diberi perlindungan dan bantuan yang diperlukan, sehingga mampu mengemban tanggung jawab dalam masyarakat. Anak hendaknya diperlakukan dengan baik dalam lingkungan keluarga yang bahagia, penuh kasih sayang dan pengertian. Anak harus dipersiapkan untuk menghadapi kehidupan pribadi dalam masyarakat dan 1Abu Huraerah, Kekerasan Terhadap Anak, Nusantara, Bandung, 2006, hlm.18 1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uii.ac.id/410/SK/I/0/00/000/000732/uii-skripsi-05410125... · melindungi anak sebagai korban perbuatan cabul? 2. Bagaimana praktek penegakan

  • Upload
    vanmien

  • View
    219

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uii.ac.id/410/SK/I/0/00/000/000732/uii-skripsi-05410125... · melindungi anak sebagai korban perbuatan cabul? 2. Bagaimana praktek penegakan

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak adalah anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang mana mereka

perlu dilindungi harkat dan martabatnya serta dijamin hak-haknya untuk

tumbuh dan berkembang sesuai dengan kodratnya. Anak sebagai generasi

penerus bangsa, selayaknya mendapatkan hak-hak dan kebutuhan-kebutuhan

secara memadai. Sebaliknya, mereka bukanlah objek (sasaran) tindakan

kesewenang-wenangan dan perlakuan yang tidak manusiawi dari siapapun

atau pihak manapun. Anak yang dinilai rentan terhadap tindakan kekerasan

dan penganiayaan, seharusnya dirawat, diasuh, dididik dengan sebaik-baiknya

agar mereka tumbuh dan berkembang secara sehat dan wajar. Hal ini tentu

saja perlu dilakukan agar kelak di kemudian hari tidak terjadi generasi yang

hilang (lost generation).1

Anak berhak mendapatkan pemeliharaan dan bantuan khusus keluarga

sebagai inti dari masyarakat dan sebagai lingkungan alami bagi pertumbuhan

dan kesejahteraannya. Anak-anak hendaknya diberi perlindungan dan bantuan

yang diperlukan, sehingga mampu mengemban tanggung jawab dalam

masyarakat. Anak hendaknya diperlakukan dengan baik dalam lingkungan

keluarga yang bahagia, penuh kasih sayang dan pengertian. Anak harus

dipersiapkan untuk menghadapi kehidupan pribadi dalam masyarakat dan

1Abu Huraerah, Kekerasan Terhadap Anak, Nusantara, Bandung, 2006, hlm.18

1

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uii.ac.id/410/SK/I/0/00/000/000732/uii-skripsi-05410125... · melindungi anak sebagai korban perbuatan cabul? 2. Bagaimana praktek penegakan

dibesarkan dalam suasana perdamaian, tenggang rasa dan kemerdekaan.2

Maraknya aksi kekerasan yang akhir-akhir ini terjadi pada anak, baik berupa

kekerasan fisik, psikis, maupun seksual, tidak mendapatkan perlindungan

hukum dan hak asasi manusia yang memadai sehingga anak berulang kali

menjadi korban.

Nampaknya kita perlu menyadari bahwa permasalahan anak bukanlah

hal yang sederhana. Penanggulangan permasalahan anak adalah sangat

menuntut banyak pihak. Mereka bukan semata-mata tanggung jawab orang

tua, melainkan juga menjadi tanggung jawab negara dan pemerintah serta

masyarakat. Anak-anak adalah harapan masa depan bangsa dan menjadi

tanggung jawab kita sendiri untuk melindunginya.3 Karena itu segala bentuk

perlakuan yang mengganggu dan merusak hak-hak dasarnya dalam berbagai

bentuk kekerasan atau kejahatan harus segera dihentikan. Sebagai contoh

bentuk pelanggaran hak-hak anak adalah kekerasan seksual termasuk

didalamnya pencabulan.

Menurut Seto Mulyadi (yang akrab dipanggil kak seto), anak Indonesia

berada dalam bayang-bayang kejahatan. Berdasarkan catatan KPAI (Komisi

Perlindungan Anak Indonesia) selama tahun 2003 terdapat 481 kasus

kekerasan. Jumlah ini meningkat menjadi 547 kasus tahun 2004 dimana 221

kasus merupakan kekerasan seksual, 140 kekerasan fisik, 80 kekerasan psikis

dan 106 permasalahan lainnya.4 Kemudian pada tahun 2007 kasus kekerasan

2Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm.103-104.

3 Ibid. 4 http://www.tempointeraktif.com/berita, diakses pada tanggal 14 November 2008

2

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uii.ac.id/410/SK/I/0/00/000/000732/uii-skripsi-05410125... · melindungi anak sebagai korban perbuatan cabul? 2. Bagaimana praktek penegakan

seksual mengalami kenaikan, jumlah anak-anak yang menjadi korban terutama

korban pencabulan mencapai lebih dari 2000 anak.5 Melihat hal tersebut,

untuk melindungi anak sebagai korban agar senantiasa aman dan terlindungi

serta terhindar dari rasa trauma, maka yang harus dilakukan adalah

memberikan perlindungan, menegakkan hukum dan keadilan sesuai peratutan

perundang-undanngan yang berlaku.

Seperti pada kasus pencabulan yang terjadi di daerah Tukangan,

Yogyakarta. Seorang kakek (80 tahun) asal Muntilan, Jawa Tengah,

mencabuli bocah perempuan, sebut saja Bunga (6 tahun). Perbuatan tersebut

dilakukan saat korban bermain ke tempat pelaku pada hari Senin, 1 Oktober

2007, pukul 17.00 WIB. Kejadian tersebut berawal ketika Bunga meminta izin

ibunya untuk bermain ke rumah pelaku, karena ibunya sudah mengenali

pelaku dengan baik sehingga tidak ada perasaan curiga terhadap pelaku.

Setelah kembali dari rumah pelaku, saat buang air kecil, kemaluan korban

terasa perih. Kemudian oleh ibunya kemaluan korban diperiksa dan ternyata

ditemukan bukti bahwa kemaluan korban bengkak, dan akhirnya Bunga

mengakui bahwa sewaktu bermain di tempat pelaku, alat kelamin Bunga

dibuat mainan oleh pelaku.6

Apa yang telah dipaparkan pada kasus di atas, menunjukkan bahwa

ada hak-hak anak yang dilanggar yaitu setiap anak berhak tumbuh,

berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat

5Jumlah Korban Pencabulan Anak Naik, terdapat dalam http://www.nandigramunited.blogspot.com/ppiindia-jumlah-korban-pencabulan-anak.html, diakses pada tanggal 14 November 2008

6 http://www.bluefame.com/index.php?showtopic=51296, diakses pada tanggal 14 November 2008

3

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uii.ac.id/410/SK/I/0/00/000/000732/uii-skripsi-05410125... · melindungi anak sebagai korban perbuatan cabul? 2. Bagaimana praktek penegakan

kemanusiaan. Anak juga berhak mendapatkan perlindungan dari kekerasan

dan diskriminasi ( Pasal 4 UU No. 23 tahun 2002 tentang perindungan anak).7

Masalah perlindungan hukum dan hak-haknya bagi anak-anak

merupakan salah satu sisi pendekatan untuk melindungi anak-anak Indonesia.

Agar perlindungan hak-hak anak dapat dilakukan secara teratur, tertib dan

bertanggung jawab maka diperlukan peraturan hukum yang selaras dengan

perkembangan masyarakat Indonesia.8

Kenyataannya saat ini upaya perlindungan tersebut belum dapat

diberikan secara maksimal oleh pemerintah, aparat penegak hukum,

masyarakat dan pihak-pihak lain yang berhak membantu. Keadilan yang

diberikan oleh penerapan hukum melalui penjatuhan sanksi hukum yang

dijatuhkan pada pelaku tidak adil atau tidak sesuai dengan akibat yang

ditimbulkannya. Ketidakadilan hukum inilah yang disebut-sebut dapat

menjauhkan masyarakat yang tertimpa musibah (menjadi korban suatu

kejahatan) untuk bersedia berurusan dengan dunia peradilan.9

Dari segi pemerintah, upaya yang belum dapat diberikan secara

maksimal adalah kurangnya partisipasi dan sosialisasi tentang keberadaan

Undang-Undang Perlindungan Anak dan lembaga-lembaga perlindungan anak

seperti KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) dan LPA (Lembaga

Perlindungan Anak) kepada masyarakat, sehingga masyarakat kurang paham

tentang isi dari undang-undang tersebut dan peranan lembaga-lembaga

7 Hermma Lusyana, Perlindungan Anak Korban Kekerasan Seksual, terdapat dalam http://www.google.com/news/investigasihukum.html, diakses pada tanggal 14 November 2008

8 Wagita Soetodjo, Hukum Pidana Anak, PT. Refika Aditama, Bandung, 2006, hlm. 679 Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual,

PT. Refika Aditama, Bandung, 2001, hlm. 81

4

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uii.ac.id/410/SK/I/0/00/000/000732/uii-skripsi-05410125... · melindungi anak sebagai korban perbuatan cabul? 2. Bagaimana praktek penegakan

tersebut. Karena kurang pahamnya tentang isi undang-undang dan peranan

lembaga-lembaga perlindungan anak, menyebabkan masyarakat takut atau

enggan untuk melaporkan tindakan kejahatan seksual seperti pencabulan yang

terjadi di lingkungan sekitarnya kepada aparat penegak hukum.

Kemudian upaya yang belum diberikan secara maksimal oleh aparat

penegak hukum dapat dilihat dari putusan yang dipakai untuk mengadili

pelaku dipandang tidak relevan untuk memberikan efek jera bagi si pelaku.

Aparat penegak hukum masih menggunakan KUHP untuk mengadili pelaku

pencabulan dan belum menggunakan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002

Tentang Perlindungan Anak., padahal dalam undang-undang tersebut

memberikan perlindungan yang lebih baik dibandingkan dengan KUHP.

Misalnya, dalam Pasal 82 Undang-Undang Perlindungan Anak ada sanksi

cukup tinggi berupa hukuman pidana penjara maksimal 15 (sembilan) tahun

dan minimal 3 (tiga) tahun dengan denda maksimal Rp 300 juta dan minimal

60 juta tindakan yang berhubungan dengan perkosaan dan percabulan terhadap

anak. Berbeda dengan yang terdapat dalam KUHP yang hanya menjatuhkan

hukuman pidana penjara maksimal 9 (sembilan) tahun dan minimal 5 (lima

tahun).

Putusan dalam KUHP tersebut masih bersifat rendah, seperti putusan

yang terdapat dalam Pasal 289 dan 292 KUHP.

Pasal 289 “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbutan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”

Pasal 292 “Orang yang cukup umur, yang melakukan perbuatan cabul

5

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uii.ac.id/410/SK/I/0/00/000/000732/uii-skripsi-05410125... · melindungi anak sebagai korban perbuatan cabul? 2. Bagaimana praktek penegakan

dengan orang lain sama kelamin, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara peling lama lima tahun.”

Pihak-pihak lain yang berhak membantu dalam kasus pencabulan ini

seperti KPAI yang berada di Tingkat Pusat dan LPA yang berada di Tingkat

Daerah belum memberikan upaya perlindungan yang maksimal terhadap anak,

terbukti bahwa masih banyak kasus tentang pencabulan terhadap anak yang

didiamkan saja oleh lembaga tersebut. Hal ini karena kurang aktifnya lembaga

tersebut dalam memberikan pengarahan atau sosialisasi terhadap masyarakat

Usaha perlindungan hukum bagi anak sudah ada sejak lama, baik

pengaturan dalam bentuk peraturan perundang-undangan maupun dalam

pelaksanaannya, baik oleh pemerintah maupun organisasi sosial. Namun

demikian, usaha tersebut belum menunjukkan hasil yang memadai sesuai

dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat Indonesia. Keadaan ini

disebabkan situasi dan kondisi serta keterbatasan yang ada pada pemerintah

dan masyarakat sendiri belum memungkinkan mengembangkan secara nyata

ketentuan peraturan perundang-undangan yang telah ada.10

Adanya berbagai peraturan hukum yang secara jelas telah mengatur

ancaman sanksi pidana bagi pelaku pencabulan hendaknya segera

diimplementasikan oleh aparat penegak hukum dengan tetap memperhatikan

kondisi anak korban perbuatan cabul.

Oleh karena itu, untuk melindungi kepentingan anak sebagai korban

perbuatan cabul, agar senantiasa merasa aman dan terlindungi serta dapat

dihindarkan dari penderitaan yang ditimbulkan, maka yang harus dilakukan

10 Wagita Soetodjo, Hukum.... op.cit, hlm. 68

6

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uii.ac.id/410/SK/I/0/00/000/000732/uii-skripsi-05410125... · melindungi anak sebagai korban perbuatan cabul? 2. Bagaimana praktek penegakan

adalah melaksanakan perlindungan terhadap anak sebagai korban pencabulan.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah ketentuan undang-undang yang ada saat ini sudah

melindungi anak sebagai korban perbuatan cabul?

2. Bagaimana praktek penegakan hukum yang telah dilakukan oleh

LPA serta aparat penegak hukum dalam proses penyelidikan,

penuntutan, dan putusan terhadap kasus pencabulan?

3. Bagaimana hambatan-hambatan yang dihadapi oleh LPA serta aparat

penegak hukum dalam kasus anak sebagai korban pencabulan dan

apa solusinya?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui bagaimana undang-

undang melindungi anak sebagai korban

perbuatan cabul.

2. Untuk mengetahui bagaimana praktek

penegakan hukum yang telah dilakukan

LPA serta aparat penegak hukum dalam

proses penyelidikan, penuntutan dan

putusan terhadap kasus pencabulan

3. Untuk mengetahui kendala-kendala apa

saja yang dihadapi oleh LPA serta aparat

7

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uii.ac.id/410/SK/I/0/00/000/000732/uii-skripsi-05410125... · melindungi anak sebagai korban perbuatan cabul? 2. Bagaimana praktek penegakan

penegak hukum dalam menangani kasus

anak sebagai korban pencabulan beserta

solusi-solusinya.

D. Tinjauan Pustaka

Masalah kejahatan kesusilaan termasuk pencabulan merupakan

perbuatan pidana yang diperlukan suatu tindakan penegakan hukum.

Untuk mengatasi masalah tersebut, hendaknya pelaku diberi hukuman

atau dipidana dan diperlukan juga suatu perlindungan terhadap anak yang

menjadi korban pencabulan tersebut.

Perbuatan cabul adalah suatu perbuatan yang melanggar kesusilaan.

Pencabulan sendiri di beberapa negara mempunyai pengertian yang berbeda-

beda. Di Amerika Serikat pencabulan atau sexual assault adalah kontak atau

interaksi antara anak dan ornag dewasa di mana anak tersebut dipergunakan

sebagai alat pemuas seksual oleh orang lain yang berada dalam posisi

memiliki kekuatan atau kendali atas korban termasuk kontak fisik yang tidak

pantas, seperti memperlihatkan alat vital orang dewasa kepada anak.

Sedangkan Belanda memberikan pengertian yang lebih umum untuk

pencabulan, yaitu persetubuhan di luar perkawinan yang dilarang dan diancam

pidana11. Di Indonesia pengertian pencabulan dirumuskan dalam pasal 289

KUHP

“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam

11 Marry, Findy, Farius, Carey (FK UI), “Child Molestation (Pencabulan Pada Anak)”, terdapat dalam http://www.freewebs.com, diakses tanggal 14 November 2008

8

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uii.ac.id/410/SK/I/0/00/000/000732/uii-skripsi-05410125... · melindungi anak sebagai korban perbuatan cabul? 2. Bagaimana praktek penegakan

karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”

Kejahatan pencabulan tersebut memiliki persamaan dengan kejahatan

perkosaan yaitu terletak pada unsur memaksa (dwingen) dengan kekerasan dan

ancaman kekerasan. Perbedaannya terletak pada orang yang dipaksa

bersetubuh pada perkosaan haruslah seorang perempuan sedangkan untuk

pencabulan korbannya bisa laki-laki atau seorang perempuan.12 Perbedaan

lainnya adalah jika dalam perkosaan terjadi kerusakan atau gangguan pada

vagina, tetapi terjadi kerusakan atau gangguan selain vagina seperti anus,

mulut, dan lain sebagainya, kejahatan kesusilaan tersebut digolongkan sebagai

perbuatan cabul.

Kejahatan merupakan salah satu kenyataan sosial yang memerlukan

penanganan khusus, karena kejahatan dapat menimbulkan keresahan bagi

negara dan masyarakat pada umumnya. Dalam kenyataannya sangatlah sulit

untuk memberantas kejahatan secara tuntas, karena kejahatan selalu

berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat. Sedangkan hukum

yang berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan ketertiban dan keadilan

masyarakat belum sepenuhnya dapat diterapkan dalam memberantas

kejahatan. Tindak pidana juga merupakan suatu perbuatan yang termasuk di

dalam makna kejahatan.

Menurut Arif Gosita, “Tindak pidana adalah tindakan yang tidak hanya dirumuskan oleh Undang-Undang hukum pidana sebagai kejahatan atau tindak pidana. Jadi dalam arti luas, ini berhubungan dengan pembahasan masalah dari sudut hukum pidana dan kriminologi. Jadi berhubungan dengan kenisbian pandangan tentang kejahatan, delikuensi, deviasi, kualitas kejahatan yang

12 Adami Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 79

9

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uii.ac.id/410/SK/I/0/00/000/000732/uii-skripsi-05410125... · melindungi anak sebagai korban perbuatan cabul? 2. Bagaimana praktek penegakan

berubah-ubah : proses kriminalisasi dan deskriminalisasi suatu tindakan atau tindakan pidana mengingat, tempat, waktu, kepentingan, dan kebijaksanaan golongan yang berkuasa dan pandangan hidup orang (berhubungan dengan perkembangan sosial, ekonomi, dan kebudayaan pada masa dan di tempat tertentu)”13

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya

norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku manusia dalam

kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Barda Nawawi Arief melihat

penegakan hukum adalah perwujudan suatu sanksi pidana yang dapat dilihat

sebagai suatu proses perwujudan kebijakan melalui 3 (tiga) tahap14:

1. Tahap penetapan pidana oleh pembuat undang-undang

(Formulatif)

2. Tahap pemberian atau penjatuhan pidana (Aplikatif)

3. Tahap pelaksana pidana oleh aparat eksekusi pidana

(Eksekutif)

Dalam penelitian tentang implementasi perlindungan hukum terhadap

anak korban perbuatan cabul ini, penegakan hukum yang akan diteliti adalah

penegakan hukum formulatif dan penegakan hukum aplikatif. Penegakan

hukum formulatif yaitu penegakan hukum oleh undang-undang. Tahapan

hukum formulatif merupakan suatu perencanaan dari pembuat undang-undang

mengenai apa yang akan dilakukan dalam menghadapi masalah tertentu,

dalam hal ini masalah tentang perlindungan anak, dan bagaimana

melaksanakan perencanaan tersebut. Sedangkan penegakan hukum aplikatif

yaitu tahap pemberian atau penerapan hukum pidana oleh aparat-aparat

13 Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, Radar Jaya Offset, Jakarta, 1985, hlm. 12314 Muladi dan Barda Nawawi A, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1984,

hlm. 91

10

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uii.ac.id/410/SK/I/0/00/000/000732/uii-skripsi-05410125... · melindungi anak sebagai korban perbuatan cabul? 2. Bagaimana praktek penegakan

penegak hukum mulai dari tahap penyidikan (kepolisian), penuntutan

(kejaksaan) sampai putusan (pengadilan).

Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia yang

harus ditegakkan dan dilaksanakan. Dalam menegakkan hukum, harus ada tiga

unsur yang diperhatikan, yaitu:15

1. Kepastian Hukum

(Rechtssicherheit)

2. Kemanfaatan (Zweckmassigkeit)

3. Keadilan (Gerechtigkeit)

Hukum mempunyai sifat memaksa, artinya dalam keadaan apapun

keterikatan hukum tidak dapat disimpangi. Barang siapa telah melakukan

pelanggaran hukum, harus mempertanggung jawabkan perbuatannya, kecuali

ditentukan lain oleh ketentuan hukum.16

Tentang penentuan perbuatan mana yang dipandang sebagai perbuatan

pidana, kita menganut asas yang dinamakan asas legalitas (principle of

legality), yaitu asas yang menentukan bahwa tiap-tiap perbuatan pidana harus

ditentukan sebagai demikian oleh suatu aturan undang-undang (Nullum

delictum nulla poena sine praevia lege poenali) seperti yang tercantum dalam

Pasal 1 ayat 1 KUHP atau setidak-tidaknya oleh suatu aturan hukum yang

telah ada dan berlaku bagi terdakwa sebelum orang dapat dituntut untuk

dipidana karena perbuatannya.17

15 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1999, hlm.145

16 Wasis SP, Penganta Ilmu Hukum, UMM Press, Malang, 2002, hlm.1917 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hlm.5

11

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uii.ac.id/410/SK/I/0/00/000/000732/uii-skripsi-05410125... · melindungi anak sebagai korban perbuatan cabul? 2. Bagaimana praktek penegakan

Dalam setiap penanganan perkara pidana, aparat penegak hukum

seringkali dihadapkan pada kewajiban untuk melindungi dua kepentingan

yang terkesan saling berlawanan, yaitu kepentingan korban yang harus

dilindungi untuk memulihkan penderitaannya karena telah menjadi korban

kejahatan (secara mental, fisik, maupun material) dan kepentingan tersangka

sekalipun dia bersalah, tetapi dia tetap sebagai manusia yang memiliki hak

asasi yang tidak boleh dilanggar. Terlebih apabila atas perbuatannya itu belum

ada putusan hakim yang menyatakan bahwa pelaku bersalah. Maka dari itu

pelaku harus dianggap sebagai orang yang tidak bersalah (asas praduga tidak

bersalah).

Alat penegak hukum tidak hanya kepolisian dan kejaksaan. Akan

tetapi jika diartikan secara luas, maka penegakan hukum menjadi tugas dari

pembentuk undang-undang, hakim, instansi pemerintahan (bestuur), aparat

eksekusi pidana.18

Ada berbagai permasalahan yang terkait dengan penegakan hukum

yang berada pada instansi-instansi tersebut.

1. Kepolisian

a. Kurang responsifnya Polri dalam memberikan pelayanan

pada anggota masyarakat yang membutuhkan.19

b. Penanganan keluhan masyarakat dianggap belum

transparan. Sehingga masyarakat belum berani untuk

18 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, hlm. 111-11219 Awaloedin Jamin, Masalah dan Issue Manajemen Kepolisian Negara RI dalam Era

Reformasi, Yayasan Brata Bhakti, Jakarta, 2005, hlm. 220

12

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uii.ac.id/410/SK/I/0/00/000/000732/uii-skripsi-05410125... · melindungi anak sebagai korban perbuatan cabul? 2. Bagaimana praktek penegakan

menyampaikan keluhan dengan bukti-bukti yang

memadai.20

c. Kurangnya kemampuan teknis profesional yang mampu

menghadapi transnasional crime untuk memelihara

keamanan dan ketertiban masyarakat dan menegakkan

hukum.21

2. Jaksa

a. Dalam menangani kasus Jaksa Penuntut Umum (JPU)

masih bersikap membatasi diri untuk menggali informasi

dari korban, sehingga fakta-fakta yang diungkap pengadilan

pun tidak maksimal.22

b. Dalam beberapa kasus misalnya tentang kasus kekerasan

seksual (pencabulan) JPU tidak berupaya untuk

menghadirkan saksi ahli seperti dokter atau psikolog untuk

mengetahui beratnya luka korban.23

c. Karena tidak maksimalnya fakta yang dapat diungkap

dalam persidangan mengakibatkan JPU pada akhirnya

menjatuhkan tuntutan yang ringan. Tuntutan yang ringan

ini, jelas tidak mewakili rasa keadilan bagi korban, padahal

JPU adalah aparat yang mewakili korban di persidangan.24

20 Ibid. hlm.21821 Ibid. hlm. 223

22 Ratna Batara Munti, Perjuangan Berat Perempuan Indonesia Menggapai Keadilan

di Tengah Berbagai Keterpurukan, terdapat dalam http://www.goggle.com/lbhapikjakarta, diakses tanggal 17 November 2008

23 Ibid.24 Ibid.

13

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uii.ac.id/410/SK/I/0/00/000/000732/uii-skripsi-05410125... · melindungi anak sebagai korban perbuatan cabul? 2. Bagaimana praktek penegakan

3. Hakim

Hakim maupun pengadilan sebagai aparat penegak hukum yang perannya

sangat penting dalam memutuskan suatu perkara, tidak luput dari berbagai

kekurangan yang ada, terutama ada sorotan yang kuat mengenai kekuasaan

kehakiman. Maka dari itu perlu ada parameter yang jelas tentang lembaga

peradilan tersebut mengenai kemandiriannya.

Tipe kemandirian kekuasaan kehakiman dapat dilihat dari segi kemandirian

proses peradilannya, dimulai dari proses pemeriksaan perkara, pembuktian

sampai pada putusan yang dijatuhkan. Parameter mandiri atau tidaknya suatu

proses peradilan ditandai dengan ada atau tidaknya campur tangan (intervensi)

dari pihak-pihak lain di luar kekuasaan kehakiman yang dengan berbagai

upaya mempengaruhi jalannya proses peradilan baik secara langsung maupun

tidak langsung.25

Sementara itu dari segi kemandirian hakimnya sendiri parameter mandiri atau

tidaknya hakim dalam memeriksa perkara dapat dilihat dari kemampuan dan

ketahanan hakim dalam menjaga integritas moral dan komitmen kebebasan

profesinya dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dari adanya campur

tangan pihak lain.26

4. LPA (Lembaga Perlindungan Anak)

a. Terbatasnya dalam memberikan tugas perlindungan karena

kurangnya partner.27

25 Bambang Sutiyoso, Sri Hastuti Puspita Sari, Aspek-aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2005, hlm.53

26 Ibid. hlm.5427 Sudiman Telaumbanua, LPA Harus Mampu Berikan Yang Terbaik Untuk Anak Nias,

terdapat dalam http://www.niasonline.net/2007/09/11.html, diakses tanggal 14 November 2008

14

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uii.ac.id/410/SK/I/0/00/000/000732/uii-skripsi-05410125... · melindungi anak sebagai korban perbuatan cabul? 2. Bagaimana praktek penegakan

b. Kurangnya LPA dalam berperan aktif melindungi anak

korban kejahatan.28

Berbicara tentang perlindungan anak, tidak lepas dari soal

kesejahteraan anak. Kesejahteraan anak adalah suatu tata kehidupan anak yang

dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik

secara rohani, jasmani maupun sosial. Hal ini diatur dalam Undang-undang

No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak29

Dalam Pasal 2 UU No. 4 Tahun 1979 merumuskan hak-hak anak

sebagai berikut: 30

1. anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan

berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam

asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar.

2. anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan

kehidupan sosialnya, sesuai dengan kepribadian bangsa dan untuk

menjadi warga negara yang baik dan berguna.

3. anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam

kandungan maupun sesudah dilahirkan

4. anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat

membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan

28 Ibid. 29 Darwan Prinst, Hukum…. op. cit,. .hlm. 79 30 Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara, Jakarta, 1990,

hlm.16-17

15

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uii.ac.id/410/SK/I/0/00/000/000732/uii-skripsi-05410125... · melindungi anak sebagai korban perbuatan cabul? 2. Bagaimana praktek penegakan

dengan wajar.

E. Definisi Operasional

Dalam definisi operasional ini akan dijabarkan apa yang dimaksud

dengan implementasi, perlindungan hukum, anak, korban dan pencabulan.

Pengertian implementasi dalam kamus umum Bahasa Indonesia

adalah penerapan. Sedangkan penerapan disini memiliki dua arti, yaitu:31

a. sebagai pelaksana dari peraturan yang telah ada ke dalam tindakan

nyata di lapangan oleh para pelaksananya.

b. dapat pula berarti merupakan suatu usaha untuk menyesuaikan

suatu peraturan yang berlaku atau peratutan yang baru itu sebagai

acuan bagi peraturan saat ini.

Sementara pengertian implementasi dalam penulisan skripsi ini adalah

penerapan dari segi normatif yaitu penerapan penegakan hukum dalam

ketentuan undang-undang terhadap perlindungan anak korban perbuatan cabul

dan penerapan dari segi empiris yaitu penerapan untuk melakukan suatu

tindakan nyata oleh para penegak hukum (aparat hukum) dalam melindungi

anak korban pencabulan. Hal tersebut berkaitan dengan pengertian

perlindungan hukum. Jika implementasi lebih mengacu pada peranan undang-

31 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Umum Bahasa Indonesia, terdapat dalam http//google.co.oid/kamusonline.com, diakses tanggal 17 November 2008

16

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uii.ac.id/410/SK/I/0/00/000/000732/uii-skripsi-05410125... · melindungi anak sebagai korban perbuatan cabul? 2. Bagaimana praktek penegakan

undang dan aparat penegak hukum dalam melindungi anak korban perbuatan

cabul, maka perlindungan hukum dalam judul skripsi ini lebih menitik

beratkan pada penegakan hukumnya berupa pemberian hukuman oleh aparat

penegak hukum mulai tahap penyidikan (kepolisian), penuntutan (kejaksaan)

sampai putusan (pengadilan).

Secara konsepsional, dalam hukum di Indonesia, terdapat beberapa

macam tentang pengertian anak

1. Menurut KUHP

Pasal 45 KUHP mendefinisikan anak yang belum dewasa apabila

belum berumur 16 (enam belas) tahun. Jadi bila ia tersangkut

dalam perkara pidana hakim boleh memerintahkan supaya si

tersalah itu dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau

diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan suatu

hukuman. Tetapi KUHP mengatur umur anak sebagai korban

pidana adalah belum genap berumur 15 (lima belas) tahun

sebagaimana diatur dalam pasal-pasal 285, 287, 290, 292, 293,

294, 295, 297, dan lainnya. Pasal-pasal tersebut tidak

mengkualifikasikannya sebagai tindak pidana, apabila dilakukan

dengan/terhadap orang dewasa, akan tetapi sebaliknya menjadi

tindak pidana karena dilakukan dengan/terhadap anak yang belum

berusia 15 (lima belas) tahun.32

2. UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Yang disebut anak adalah seseorang yang belum berusia 18

32 Darwan Prinst, Hukum… loc.cit.

17

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uii.ac.id/410/SK/I/0/00/000/000732/uii-skripsi-05410125... · melindungi anak sebagai korban perbuatan cabul? 2. Bagaimana praktek penegakan

(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam

kandungan.

Jadi, yang dimaksud anak di sini adalah anak yang berusia antara 8

(delapan) tahun sampai dengan 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah

menikah.

Selain pengertian tentang anak di KUHP dan UU No. 23 Tentang

Perlindungan Anak, dalam definisi operasional ini akan dibahas tentang hak-

hak anak yang tercantum dalam KUHP, Undang-undang di luar KUHP dan

dalam Konvensi-konvensi Internasional.

1. KUHP, salah satu pasal yang menyebutkan

tentang perlindungan terhadap anak adalah

Pasal 289 yang memberikan sanksi sembilan

tahun penjara bagi barangsiapa dengan

kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa

seseorang untuk melakukan atau

membiarkan dilakukan perbutan cabul,

2. Undang-undang di luar KUHP

a. Undang-undang Dasar 1945

Pasal 28B ayat (2) memberikan jaminan dan perlindungan terhadap

hak-hak anak, yaitu setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,

tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan

dan diskriminasi.

b. Undang-undang No. 39 tentang Hak Asasi Manusia

Pasal 52 menyatakan bahwa :

18

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uii.ac.id/410/SK/I/0/00/000/000732/uii-skripsi-05410125... · melindungi anak sebagai korban perbuatan cabul? 2. Bagaimana praktek penegakan

1. Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara.

2. Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu di akui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan.

c. Undang-undang No. 4 tentang Kesejahteraan Anak

Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang

Kesejahteraan Anak, ditentukan:

1) Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar.

2) Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa, untuk menjadi warganegara yang baik dan berguna.

3) Anak berhak atas pemeliharaan dan perlidungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan.

4) Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar.

d. Undang-undang No. 23 tentang Perlindungan Anak

Dalam Pasal 3 Undang-undang No 23 Tahun 2002, yaitu:

“Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasaan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera”.

3. Konvensi-konvensi Internasional

Hak-hak anak dalam Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of

the Child) yang diberikan perlindungan diantaranya adalah: hak untuk

mendapatkan perlindungan jika anak mengalami konflik dengan hukum,

hak untuk mendapatkan perlindungan khusus jika anak mengalami

eksploitasi sebagi pekerja anak, hak untuk mendapatkan perlindungan

19

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uii.ac.id/410/SK/I/0/00/000/000732/uii-skripsi-05410125... · melindungi anak sebagai korban perbuatan cabul? 2. Bagaimana praktek penegakan

khusus jika anak mengalami eksploitasi dalam penyalahgunaan obat-

obatan, hak untuk mendapatkan perlindungan hukum jika anak

mengalami eksploitasi seksual dan pelecehan seksual, hak untuk

mendapatkan perlindungan khusus dari penculikan, penjualan dan

perdagangan anak.

Masalah korban bukanlah masalah yang baru. Korban mempunyai

peranan yang fungsional dalam terjadinya suatu kejahatan. Dapat dikatakan

tidak mungkin ada suatu kejahatan jika tidak ada korban kejahatan.33

Korban merupakan orang yang menderita atau dirugikan akibat

adanya pelanggaran hukum pidana maupun non-hukum pidana, atau orang

yang menderita karena adanya suatu perbuatan manusia atau yang bukan

perbuatan manusia. Yang termasuk dalam perbuatan manusia adalah

perbuatan kejahatan atau perbuatan melawan hukum atau perbuatan lainnya

yang secara langsung atau tidak langsung menyebabkan penderitaan kepada

orang lain.

Definisi korban dalam penelitian ini adalah orang yang menderita atau

dirugikan baik secara fisik maupun non-fisik akibat mendapatkan tindakan

kekerasan atau kejahatan yang dilakukan oleh orang lain melalui perbuatan

pencabulan.

Pada undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban (UU No. 13

Tahun 2006) Pasal 5 ayat 1 dijelaskan tentang hak dari saksi dan korban,

antara lain:

1. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan 33 Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan (kumpulan karangan), Akademika Pressindo,

Jakarta, 1983, hlm.43

20

Page 21: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uii.ac.id/410/SK/I/0/00/000/000732/uii-skripsi-05410125... · melindungi anak sebagai korban perbuatan cabul? 2. Bagaimana praktek penegakan

harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan

kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikannya

2. memberikan keterangan tanpa tekanan

3. mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus

4. mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan

5. bebas dari pertanyaan yang menjerat

6. mendapat nasihat hukum

Sementara itu, pengertian pencabulan (ontuchtige handelingen) adalah

segala macam wujud perbuatan, baik yang dilakukan pada diri sendiri maupun

dilakukan pada orang lain mengenai dan yang berhubungan dengan alat

kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu seksual. 34

Yang dimaksud pencabulan menurut penulis adalah perbuatan yang

biasa dilakukan sebelum persetubuhan misalnya mengelus-elus atau

menggosok-gosok penis atau vagina, memegang buah dada, mencium mulut

seseorang dan sebagainya secara paksa. Perbuatan tersebut dilakukan bukan

terhadap istrinya yang sah atau korbannya tidak dalam ikatan perkawinan

yang sah.

Tindak pidana kesusilaan mengenai perbuatan cabul, dirumuskan

dalam Pasal 289, 290, 292, 293, 294 dan 296 KUHP yang semuanya

merupakan kejahatan kesusilaan.35

Dengan demikian, inti dari penelitian ini adalah hendak mengkaji

bagaimanakah langkah-langkah konkrit dari aparat penegak hukum dalam

34 Adami Chazawi, Tindak Pidana…. op.cit, hlm. 8035 Ibid. hlm. 77

21

Page 22: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uii.ac.id/410/SK/I/0/00/000/000732/uii-skripsi-05410125... · melindungi anak sebagai korban perbuatan cabul? 2. Bagaimana praktek penegakan

melakukan perlindungan hukum terhadap anak korban pencabulan beserta

kendala-kendala yang dihadapi serta bagaimanakah undang-undang

melaksanakan peranannya untuk melindungi anak korban kejahatan kesusilaan

terutama kasus pencabulan, sehingga dapat menawarkan solusi pemecahan

yang nantinya dapat bermanfaat.

F. Metode Penelitian

1. Objek Penelitian

a. Ketentuan undang-undang yang ada saat ini kaitannya dengan

perlindungan anak sebagai korban perbuatan cabul

b. Praktek penegakan hukum oleh LPA serta aparat penegak hukum dari

proses penyelidikan, penuntutan dan putusan dalam kasus pencabulan

c. Kendala-kendala yang dihadapi oleh LPA serta aparat penegak hukum

dalam kasus anak sebagai korban pencabulan dan solusinya

2. Subjek Penelitian

Populasinya adalah instansi atau lembaga yang berwenang dalam

perlindungan anak serta aparat penegak hukum yaitu meliputi:

c. Polisi

Penulis dalam melaksanakan penelitian mengambil polisi sebagai subjek

penelitian karena fungsi dari kepolisian itu sendiri adalah menegakkan

hukum, menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Polisi dalam hal ini

menerima laporan dari masyarakat tentang tindak pidana yang terjadi

kemudian melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap laporan

22

Page 23: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uii.ac.id/410/SK/I/0/00/000/000732/uii-skripsi-05410125... · melindungi anak sebagai korban perbuatan cabul? 2. Bagaimana praktek penegakan

tersebut.

d. Jaksa

Penulis memasukkan jaksa sebagai subjek penelitian karena jaksa berperan

membuat surat dakwaan atau penuntutan terhadap terdakwa dalam proses

persidangan. Penulis ingin mengetahui apakah jaksa dalam membuat surat

dakwaan atau penuntutan terhadap terdakwa menggunakan Undang-

Undang Perlindungan Anak atau menggunakan KUHP sebagai acuannya.

e. Hakim

Penulis memasukkan hakim sebagai subjek penelitian karena tugas hakim

adalah menerima, memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan

kepadanya. Penulis ingin mengetahui apakah hakim dalam mengadili

pelaku pencabulan sudah selayaknya menerapkan undang-undang yang

lebih melindungi para anak dalam hal ini Undang-Undang Perlindungan

Anak, seperti diketahui bahwa dalam KUHP tidak diatur secara jelas

tentang masalah perlindungan anak sehingga sering diputus dengan

putusan yang biasanya meringankan terdakwa.

f. LPA (Lembaga Perlindungan Anak)

Penulis menganggap bahwa LPA relevan menjadi subjek penelitian

dikarenakan LPA merupakan suatu lembaga yang berfungsi untuk

memberikan perlindungan khusus terhadap anak yang dalam situasi

tertentu seperti anak yang berhadapan dengan hukum, anak yang

23

Page 24: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uii.ac.id/410/SK/I/0/00/000/000732/uii-skripsi-05410125... · melindungi anak sebagai korban perbuatan cabul? 2. Bagaimana praktek penegakan

tereksploitasi secara ekonomi dan seksual, anak yang diperdagangkan dan

anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika.

Diambil sampel dari populasi yang dipilih dengan purpossive random

sampling, yaitu menentukan sampel berdasarkan tujuan penelitian terhadap

satu populasi yang homogen, misalnya kelompok orang dalam profesi

tertentu.36

Pertimbangan pemilihan sampel ditentukan sendiri oleh peneliti,

dikarenakan mereka dianggap berkompeten dalam permasalahan yang akan

diteliti.

3. Sumber Data

1. Sumber data primer, yaitu data yang diperoleh peneliti secara langsung dari

subjek penelitian yang berupa wawancara

2. Sumber data sekunder, yaitu data yang diperoleh peneliti secara tidak

langsung melalui kepustakaan (library research) dan studi dokumen.

4. Teknik Pengumpulan Data

1. Data primer, dilakukan dengan cara wawancara atau interview yaitu

mengadakan tanya jawab dengan responden atau subjek penelitian untuk

memperoleh keterangan yang diperlukan oleh peneliti. Wawancara

dilakukan dengan berpedoman pada kerangka permasalahan dengan

memberikan kesempatan kepada responden untuk menyampaikan

pendapatnya.

36 , Pedoman Penyususnan Tugas Akhir, FH UII, Yogyakarta, 2008, hlm. 13

24

Page 25: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uii.ac.id/410/SK/I/0/00/000/000732/uii-skripsi-05410125... · melindungi anak sebagai korban perbuatan cabul? 2. Bagaimana praktek penegakan

2. Data sekunder, dilakukan dengan cara:

a. Studi kepustakaan, yakni dengan menelusuri dan mengkaji berbagai

literatur seperti buku-buku dan peraturan perundang-undangan.

b. Studi dokumen, yakni dengan mencari, menemukan dan mengkaji

berbagai dokumen resmi seperti putusan pengadilan dan hal lainnya

yang berhubungan dengan masalah penelitian.37

5. Metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis

normatif dan yuridis empiris. Yuridis normatif yaitu pendekatan dari sudut

pandang ketentuan hukum atau perundang-undangan yang berlaku maupun

pandangan pendapat para ahli yang digunakan untuk mengolah dan

menganalisa data-data di lapangan yang disajikan dalam pembahasan,

sedangkan yuridis empiris yaitu pendekatan dari sudut pandang hukum yang

berlaku dalam masyarakat yang diterapkan oleh aparat penegak hukum.

6. Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan cara deskriptif kualitatif yaitu menguraikan,

membahas, menafsirkan temuan-temuan penelitian dengan sudut pandang atau

pendekatan dalam bentuk yuridis normatif dan yuridis empiris. Analisis data

ini merupakan proses untuk merumuskan kesimpulan atau generalisasi dari

pertanyaan penelitian yang diajukan.38

37 Ibid. hlm. 1438 Ibid. hlm. 15

25