Upload
others
View
2
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, secara tegas menyebutkan bahwa Negara
Indonesia adalah Negara Hukum1. Hukum yang merupakan wadah
sekaligus merupakan isi dari “peristiwa” persiapan kemerdekaan bangsa
Indonesia atau kekuasaan kedaulatannya itu menjadi dasar bagi
kehidupan kenegaraan bangsa dan negara Indonesia. Oleh karena itu,
dapat dimengerti bila sejak semula dinyatakan dalam penjelasan
Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945 bahwa Negara Republik
Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum2.
Hukum adalah dasar dan pemberi petunjuk kepada semua
aspek kegiatan sosial kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan
rakyat Indonesia, baik dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial,
budaya, dan keamanan3. Dengan demikian setiap orang harus tunduk
terhadap hukum, sehingga apabila seseorang melakukan suatu perbuatan
1Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 1 ayat (3). 2Zainuddin Ali,Filsafat Hukum. (Jakarta : Sinar Grafika, 2014), hlm.134 3Ali, Filsafat Hukum, hlm.137
2
yang melanggar hukum, maka hakim akan menjatuhkan putusan berupa
sanksi. Berbagai teori dan praktek, hukum pidana yang berlaku di
Indonesia saat ini adalah masih menggunakan hukum pidana yang
berasal dari Negara belanda4
Hukum dari segi fungsinya, menurut Rudolf van Lhering ada
dua jenis fungsi hukum, yaitu:
1. Hukum berfungsi dalam masyarakat sebagai pengendali sosial.
2. Hukum berfungsi untuk melayani kepentingan masyarakat dalam
penyelesaian konflik5.
Hukum juga mempunyai fungsi menertibkan dan mengatur
pergaulan dalam masyarakat serta menyelesaikan masalah-masalah
yang timbul6. Hal ini sesuai dengan penjelasan sistem hukum yang
dicantumkan dalam Pasal 10 menyatakan bahwa sanksi yang dapat
dikenakan kepada seseorang pelaku tindak pidana yang terdiri dari:
a. Hukuman Pokok (hoofd straffen)
Hukuman pokok terdiri dari:
1. Hukuman mati
2. Hukuman penjara
3. Hukuman kurungan
4. Hukuman denda
b. Hukuman Tambahan (bijkomende straffen)
Hukuman tambahan terdiri dari:
1. Pencabutan beberapa hak tertentu
2. Perampasan barang-barang tertentu
4Ali Mahrus, Dasar-Dasar Hukum Pidana. (Jakarta: Sinai Grafika, 2011), hlm.237 5Muhammad Sadi Is, “Pengantar Ilmu Hukum”.(Jakarta:Prenada Media,2015),
hlm.183 6Soeroso, “Pengantar Ilmu Hukum”,(Jakarta:Sinar Grafika,2010), hlm.53
3
3. Pengumuman putusan hakim7
Tujuan hukum pada dasarnya adalah untuk mencapai keadilan
dalam menyelesaikan konflik di masyarakat maupun dalam melakukan
pengendali sosial8. Para ahli hukum tidak ada kesamaan dalam
pandangan tentang apa yang menjadi tujuan hukum. Agar lebih
memahami tujuan hukum,maka dapat dilihat pendapat para ahli sebagai
berikut:
1. L.J. van Apeldoorn menjelaskan tujuan hukum adalah untuk
mengatur pergaulan hidup secara damai karena hukum
menghendaki perdamaian, atau mengatur tata tertib dalam
masyarakat secara damai dan adil.
2. Immanuel Kants memandang tujuan hukum adalah sebagai
pelindung hak-hak asasi dan kebebasan warganya9
Hukum dilihat dari kepentingan yang diaturnya, hukum dibagi
menjadi dua macam, yaitu hukum publik dan hukum privat10. Hukum
pidana dalam pembagian hukum konvensional termasuk bidang hukum
publik. Hukum pidana memiliki ruang lingkup yang luas, yaitu hukum
pidana substantif (materiil) dan hukum acara pidana (hukum pidana
7Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab-Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHP dan KUHAP),Pasal 10 KUHP. 8 Sadi Is,”Pengantar Ilmu Hukum”,hlm.183 9 Sadi Is,“Pengantar Ilmu Hukum”, hlm.178 10Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, hlm.182
4
formal) disebut hukum pidana. Hukum acara pidana berfungsi untuk
menjalankan hukum acara pidana substantif (materiil), sehingga disebut
hukum pidana formal atau hukum acara pidana11. Sebagaimana
diketahui bahwa hukum acara pidana yang berlaku saat ini telah diatur
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara
Pidana.
Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), secara garis besar tahapan pemeriksaan perkara terbagi
menjadi tiga proses yaitu tahap penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan
di pengadilan yang dikenal dengan sistem peradilan pidana walaupun
dilakukan oleh masing-masing penegak hukum sesuai dengan
kewenangannya disetiap tahap. Namun tetap merupakan ketentuan yang
utuh kegiatan penyidikan ini mencakup untuk mencari serta
mengumpulkan bukti dan dengan bukti itu membuat terang tentang
tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya12.
Hukum acara pidana terletak pada acara pembuktian dimulai
dari tingkat penyidikan oleh Polisi sampai ke tingkat pengadilan oleh
Hakim. Dalam hal ini, pembuktian yang memegang peranan dalam
11Jur Andi Hamzah, “Hukum Acara Pidana Indonesia”, (Jakarta:Sinar
Grafika,2016), hlm.4 12Pieter Latumenten, “Prosedur Penegakan Hukum Pidana Berkaitan Dengan
Pelaksanaan Jabatan Notaris dan Akta-aktanya”, 24 April 2018,Diakses pada tanggal 04
September 2019 pukul 10.00 WIB, https://ikanotariatul.com/prosedur-penegakan-hukum-
pidana.
6
proses pemeriksaan sidang pengadilan. Dengan demikian, kesalahan
terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebut dalam
Pasal 184 KUHP terdakwa dinyatakan “bersalah”13. Pasal 184 KUHP
telah diatur ada lima alat bukti yang sah yaitu:
a. keterangan saksi,
b. keterangan ahli,
c. surat,
d. petunjuk, dan
e. keterangan terdakwa.
Jadi, dapat dilihat dalam pembuktian bahwa salah satu dari alat
bukti yang tercantum di atas yang pertama yaitu keterangan saksi. Maka,
yang perlu diketahui terlebih dahulu,pengertian saksi tercantum dalam
Pasal 26 KUHAP yang berbunyi
Saksi ialah orang yang dapat memberikan keterangan guna
kepentingan pemeriksaan, penuntutan dan peradilan tentang
perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia
alami sendiri14.
Saksi sebelum memberikan keterangannya maka saksi
mengucapkan sumpah atau janji, seperti yang telah diatur dalam Pasal
160 ayat (3) KUHAP15. Menurut Achmad Ali fungsi dari sumpah ialah
13Alfitra, “Hukum Pembuktian Dalam Beracara Pidana, Perdata dan Korupsi Di
Indonesia”, (Jakarta:Penebar Swadaya Group, 2011), hlm.21 14Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP & KUHP), Pasal 26 KUHP. 15Jur Andi Hamzah,”Hukum Acara Pidana Indonesia”, (Jakarta:Sinar Grafika,2016),
hlm.262
7
untuk memberikan keterangan guna meneguhkan bahwa sesuatu itu
benar demikian telah terjadi atau tidak sebuah peristiwa pidana16.
Pada umumnya semua orang dapat menjadi saksi. Namun
pengecualian sebagai saksi telah diatur dalam Pasal 186 KUHAP di
bawah ini, tidak dapat didengar sebagai saksi dan dapat meminta
mengundurkan diri sebagai saksi.
a) Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke
bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-
sama sebagai terdakwa.
b) Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa,
saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai
hubungan karena perkawinan, dan anak-anak saudara terdakwa
samapai derajat ketiga.
c) Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang
bersama-sama sebagai terdakwa17.
Seperti yang telah disampaikan di atas, bahwa dalam hukum
acara pidana perlu dipahami tujuan dari hukum acara pidana ialah untuk
mencari kebenaran materiil. Jadi, dalam hal ini untuk dapat
membuktikan kebenaran tentang suatu tindak pidana disebut teori
pembuktian18. Ada empat macam teori pembuktian yaitu:
a) Sistem atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim melulu
(Conviction Intime), sistem teori ini didasarkan kepada keyakinan
16Achmad Ali dan Wiwie Heryani, “Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata”,
(Jakarta:PrenadaMediaGroup,2012), hlm.96 17Hamzah, ”Hukum Acara Pidana Indonesia”, hlm.260 18Hamzah, ”Hukum Acara Pidana Indonesia”, hlm.260
8
hati nuraninya sendiri ditetapkan bahwa terdakwa telah melakukan
perbuatan yang didakwakan.
b) Teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang
logis (Laconviction Raisonnee), menurut teori ini, hakim dapat
memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya,
keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai
dasar suatu kesimpulan(conclusive) yang berlandaskan kepada
peraturan-peraturan pembuktian tertentu.
c) Teori pembuktian menurut undang-undang secara positif(Positive
Wettelijk Bewijstheorie), menurut D.Simons, teori pembuktian ini
berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif
hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut peraturan-
peraturan pembuktian yang keras.
d) Teori pembuktian menurut undang-undang negatif (Negative
Wettlijk), dalam teori pembuktian ini hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan
bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya19.
19Jur Andi Hamzah, “Hukum Acara Pidana Indonesia”, (Jakarta:Sinar
Grafika,2016),hlm.249
9
Berdasarkan dari 4 (empat) teori di atas Menurut Wirjono
Prodjodikoro berpendapat bahwa sistem pembuktian berdasarkan
Undang-undang secara negative (negatief wettelijk) sebaiknya
dipertahankan20. Adapun tugas saksi dalam perkara pidana antara lain
sebagai berikut:
1. memberikan keterangan dan wajib mengucapkan sumpah atau janji
menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan
memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada
yang sebenarnya (Pasal 160 Ayat(3)KUHAP)
2. Saksi wajib untuk tetap hadir di sidang setelah memberikan
keterangannya (Pasal 167 KUHAP)
3. Para saksi dilarang untuk bercakap-cakap (Pasal 167 Ayat
(3)KUHAP)21.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa
keterangan saksi cukup penting dalam pembuktian suatu perkara pidana.
Yang apabila saksi memberikan kesaksian palsu atau yang lain dari
sebenarnya maka akan dikenakan sanksi pidana. Hal ini telah diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 242 Ayat
(1) berbunyi:
20Hamzah, ”Hukum Acara Pidana Indonesia”, hlm.257 21Letezia Tobing, Hak dan Kewajiban Saksi Dalam Perkara Pidana,Diakses pada
tanggal 19 September 2019 https://m.hukumonline.com/Hak-dan-Kewajiban-Saksi-Dalam-
Perkara-Pidana.
10
Barangsiapa dalam keadaan di mana Undang-Undang
menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau
mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian,
dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah,
baik dengan lisan maupun tulisan, secara pribadi maupun oleh
kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan
pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Adapun ayat dalam Al-Qur’an sebagai bukti bahwa kesaksian
palsu atau bohong yaitu berupa dosa besar. Sebagaimana dalam firman
Allah SWT. Surah Al-Hajj ayat 30.
ت ٱلله ف هو خي لك ومن ي عظ م حرم ۦ وأحلهت ل لهه ذ ۥ عند رب ه ل كم ٱم له مي ي ل ع ن
وثن وٱجلنبوا ق ول ٱلزور فٱجلنبوا ٱلر جس من ٱ
٣٠عليكم
Artinya:” Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa
mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka itu adalah
lebih baik baginya di sisi Tuhannya. Dan telah dihalalkan bagi kamu
semua binatang ternak, terkecuali yang diterangkan kepadamu
keharamannya, maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan
jauhilah perkataan-perkataan dusta22.
Dalam ayat ini, Allah SWT melarang perkataan dusta,
termasuk persaksian palsu. Larangan ini digabungkan dengan perintah
menjauhi berhala-berhala yang najis itu, yaitu syirik. Ini menunjukkan
betapa persaksian palsu itu sangat berbahaya sebagaimana bahaya
syirik. Bahkan bahaya persaksian palsu itu bisa menimpa orang lain
disamping menimpa pelaku itu sendiri. Sebagaimana dalam al-Qur’an,
22QS Al-Hajj/22: 30.
11
di dalam hadits juga, Rasulullah SAW menggabungkan larangan
perkataan palsu dengan syirik, antara lain dalam hadits:
هي دة الز ور أب نكر ةرضي الله عنه عن النهب صله الله عليه وسلهم انهه اده ش وعن
اكب الكبي بر
Dari Abu Barkah r.a., “Beliau (Nabi SAW.) menganggap
kesaksian palsu termasuk di antara dosa-dosa yang paling besar”23 .
Hukum fiqh jinayah, para fuqaha sepakat menta’zir sebagai sanksi bagi
tindak pidana terhadap kesaksian palsu di bawah sumpah24.
Pada zaman Rasulullah SAW ternyata sudah muncul kasus
kesaksian palsu yaitu dari kisah Musailamah bin Habib dari Bani
Hanifah. Seseorang yang mendapat julukan al-kadzab (si pembohong)
karena mengaku sebagai seorang nabi dan rasul Allah SWT, bersamaan
dengan masa nabi Muhammad. Berbagai cara dilakukan Musailamah
untuk mengukuhkan posisinya. Salah satu cara Musailamah yaitu
mengirimkan surat kepada Nabi Muhammad SAW. Berikut surat yang
ditulis Musailamah untuk nabi Muhammad SAW:
23Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani Tahqiq:Isham Musa Hadi, Terjemahan Lengkap
Bulughul Maram”, (Jakarta:AkbarMedia,2012), hlm.388 24Usman Hasyim dan M Ibnu Rachman, “Teori Pembuktian Menurut Fiqh Jinayat
Islam”, (Yogyakarta:Andi Offset,1984), hlm.52
12
”Dari Musailamah Rasulullah untuk Muhammad Rasulullah.
Salam sejahtera, aku telah ditetapkan untuk menjalankan tugas dan
kekuasaan bersama kamu. Aku berkuasa atas separuh negeri dan
separuh untuk Quraisy, tetapi Quraisy adalah umat yang kasar dan
kejam.” 25
Musailamah mengutus dua pengikutnya untuk menyampaikan
surat tersebut kepada Nabi Muhammad. Ketika sampai di hadapan Nabi
Muhammad, dua utusan tersebut kemudian ditanya perihal isi surat
tersebut. Keduanya mengatakan sependapat dengan isi surat
Musailamah. Nabi Muhamammad kemudian mengirimkan surat
balasan untuk Musailamah. Sebagaimana dikutip buku Sirah Ibnu Ishaq:
Buku Tertua Tentang Sejarah Nabi Muhammad SAW, berikut surat
balasan Nabi Muhammad:
“Dari Muhammad Rasulullah kepada Musailamah sang
pendusta. Dan keselamatan itu dilimpahkan kepada orang yang
mengikuti petunjuk (QS. Thaha: 47). Sesungguhnya bumi ini adalah
kepunyaan Allah. Diwariskan-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-
Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi
orang-orang yang bertakwa."
25Sirah Nabawiyah, Jawaban Rasulullah Atas Surat Sang Nabi Palsu, Musailamah Al-
Kadzab, Juli 2019, Diakses pada tanggal 7 Maret 2020,
https://islam.nu.or.id/post/read/108180/jawaban-rasulullah-atas-surat-sang-nabi-
palsumusailamah-al-kadzab
13
Peristiwa itu diperkirakan terjadi pada akhir tahun ke-10
Hijriyah. Setelah menerima surat balasan dari Nabi Muhammad,
dakwah Musailamah terus belanjut. Bahkan semakin aktif setelah
wafatnya Nabi Muhammad. Namun, Musailamah dan pengikutnya
akhirnya berhasil ditumpas umat Islam26.
Berdasarkan sanksi hukuman yang tercantum dalam pasal 242
KUHP yang telah dibahas sebelumnya, bahwa sanksi hukuman bagi
tindak pidana kesaksian palsu di bawah sumpah sudah berat. Namun,
nyatanya masih berkembang kasus-kasus tindak pidana disekitar
masyarakat. Adapun beberapa contoh-contoh kasus, sebagai berikut:
1. Bikin Laporan Palsu, Amin-Dina Diamankan27
2. Keterangan Palsu Miryam Yang Berujung Tuntutan 8 Tahun
Penjara28
3. Pledoi Minta Bebas, JPU Tetap Tuntutan Awal29
Sebuah kasus di Pengadilan Negeri Prabumulih Majelis Hakim
dalam Putusan Nomor:225/Pid.B/2018/PN.Pbm dengan nama terdakwa
26Sirah Nabawiyah, Jawaban Rasulullah Atas Surat Sang Nabi Palsu, Musailamah Al-
Kadzab, Juli 2019, Diakses pada tanggal 7 Maret 2020,
https://islam.nu.or.id/post/read/108180/jawaban-rasulullah-atas-surat-sang-nabi-
palsumusailamah-al-kadzab 27Dendi Romi”Bikin Laporan Palsu, Amin-Dina Diamankan”,Sumatera Ekspress,
Selasa 12 Februari 2019. 28Abba Gabrillin”Keterangan Palsu Miryam yang Berujung Tuntutan 8 Tahun Penjara,
Kompas Selasa, 24 Oktober 2017. 29Windy Siska”Pledoi Minta Bebas, JPU Tetap Tuntutan Awal”,Sumatera Ekspress,
Senin, 17 September 2018.
14
Sarkowi als Serkok. Pada hari Minggu tanggal 02 September 2018,
bertempat di Polsek Cambai Jl. Raya Desa Muara Sungai Kec.Cambai
Kota Prabumulih. Terdakwa Sarkowi alias Serkok yang beralamat di
Dusun II Desa Petanang Kec.Lembak Kab.Muara Enim. Terdakwa dan
saksi Heriyanto telah secara bersama-sama memberikan keterangan
palsu terhadap Kepolisian polres Cambai Prabumulih dengan
melaporkan bahwa saksi Heriyanto seolah-olah benar menjadi korban
pencurian dengan kekerasan. Perbuatan Terdakwa dilakukan dengan
cara mengikat saksi Heriyanto disebuah kebun didaerah Desa Muara
Sungai agar Kepolisian polres Cambai Prabumulih percaya bahwa benar
telah terjadi pencurian dengan kekerasan.
Berdasarkan keterangan di atas terdakwa Sarkowi als Serkok
telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana perbuatan dengan sengaja secara bersama-sama memberikan
keterangan palsu di bawah sumpah, sanksi yang dijatuhkan yaitu Pasal
242 Ayat (1) KUHP Jo. Pasal 55 Ayat(1) ke-1 KUHP.
Berdasarkan putusan Nomor:225/Pid.B/2018/PN.Pbm, Majelis
Hakim menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa Sarkowi als
Serkok dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) bulan penjara, jauh dari
ancaman pidana yang ada di dalam Pasal 242 Ayat 1 KUHP tentang
Keterangan Palsu dan Sumpah Palsu diancam dengan pidana penjara
15
paling lama 7 (tujuh) tahun. Hal ini menjadi sesuatu yang penting untuk
penulis kaji lebih lanjut dalam bentuk judul “TINJAUAN HUKUM
PIDANA ISLAM TERHADAP KESAKSIAN PALSU DI BAWAH
SUMPAH”(Studi Terhadap Putusan Nomor:225/Pid.B/2018/PN.Pbm)”
B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini
sebagai berikut:
1. Apa Dasar Hukum Pertimbangan Hakim dalam Memutuskan
Perkara Tindak Pidana Kesaksian Palsu Di Bawah Sumpah Dalam
Putusan Nomor:225/Pid.B/2018/PN.Pbm?
2. Bagaimana Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Pelaku Tindak
Pidana Kesaksian Palsu Di Bawah Sumpah Berdasarkan Putusan
Nomor: 225/Pid.B/2018/PN.Pbm?
C. Tujuan Penelitian
Adapun beberapa tujuan dari penelitian ini sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dasar hukum pertimbangan hakim terhadap
pelaku tindak pidana terhadap kesaksian palsu di bawah sumpah
dalam persidangan putusan Nomor:225/Pid.B/PN.Pbm
2. Untuk mengetahui tinjauan hukum pidana Islam terhadap kesaksian
palsu di bawah sumpah berdasarkan Putusan
Nomor:225/Pid.B/2018/PN.Pbm.
16
D. Kegunaan Penelitian
Adapun beberapa kegunaan dari penelitian ini sebagai berikut:
1. Secara Teoritis
Kegunaan dari penyusunan skripsi ini adalah untuk
memberikan kontribusi pemikiran terhadap khasanah ilmu pengetahuan
hukum Islam khususnya dalam bidang kajian tentang pandangan
tinjauan Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah) dan penelitian ini
diharapkan bisa menjadi stimulus bagi penelitian selanjutnya. Sehingga
proses pengkajian secara mendalam akan terus berlangsung dan
memperoleh hasil maksimal.
2. Secara Praktis
Dapat bermanfaat bagi aparat penegak hukum dan para
akademis dalam memahami yang berkaitan dengan permasalahan saksi
yang memberikan keterangan palsu di bawah sumpah sebagai referensi
untuk melakukan penelitian selanjutnya.
E. Tinjauan Pustaka
Adapun studi penelitian terdahulu yang ada kaitannya dengan
permasalahan yang akan diteliti yaitu sebagai berikut:
17
No Nama Judul Skripsi Kesimpulan
1
.
Lutfi
Rizal
Rivai
Kedudukan
Saksi Ahli
Dalam
Pembuktian
Perkara Pidana
Menurut Hukum
Islam Dan
Hukum Positif
Bahwakedudukan saksi
ahlidalampembuktian
perkarapidana persfektif hokum
positif adalah merupakan bagian
dari keterangan ahli sebagai alat
bukti yang sah dan diakui di dalam
Pasal 184 ayat (1) KUHAP dan
kedudukan saksi ahli
dalampembuktianperkara pidana
menurut hukum Islam merupakan
alat bukti yang tidak bisa diterima.
Dalam hukum Islam menggunakan
alat bukti yaitu saksi orang yang
melihat langsung kejadian tersebut
karena ditakutkan ada kecurangan
didalamnya30.
2 A.Ridho
Britama
Analisis
Pertanggungjaw
aban Pidana
Pelaku Sumpah
Palsu Dan
Pemberian
Bahwapertanggungjawa-ban
pidana pelaku sumpah
palsudanpemberian keterangan
palsu, bahwa terdakwadinyatakan
bersalah melakukan tindak
pidanamemberikan keterangan
30Lutfi Rizal Rivai, “Kedudukan Saksi Ahli Dalam Pembuktian Perkara Pidana
Menurut Hukum Islam Dan Hukum Positif, (Skripsi diterbitkan di Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Raden Fatah, Palembang.2018), hlm.60
18
Keterangan
Palsu (Studi
Putusan
Nomor:1353/Pi
d.B/2017/PN.Tj
k)
palsu di atas sumpah, baik dengan
lisan maupun tulisan, secara
pribadi maupun oleh kuasanya
yang khusus ditunjuk untuk itu
sebagaimana diatur dan diancam
dalam Pasal 242 Ayat (1) KUHP.
Dan dalam pertimbangan Hakim
dalam menjatuhkan pidana
terhadap pelaku sumpah dan
pemberian keterangan palsu
berdasarkanPutusanNomor:1353/
Pid.B/2017/PN.Tjk hakim juga
mempertimbangkan hal-hal yang
memberatkan dan hal-hal yang
meringankan selama pemeriksaan
perkaranya31.
3 Aldi
Indra
Tambuw
un
Sanksi Terhadap
Saksi Yang
Memberikan
Keterangan Palsu
Di Atas Sumpah
Berdasarkan
Kitab Undang-
Undang Hukum
Pidana Pasal 242
Tentang Sumpah
Kesimpulannya, bahwa dengan
membuktikan pengertian dari
unsur-unsur yang dirumuskan
dalam Pasal 242 KUHP kedalam
fakta kejadian perkaranya, barulah
dapat dikatakan bahwa saksi
tersebut melakukan tindak pidana
sumpah palsu atau memberikan
keterangan palsu di atas sumpah.
31A.Ridho Britama, “Analisis Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Sumpah Palsu Dan
Pemberian Keterangan Palsu (Studi Putusan Nomor:1353/Pid.B/2017/PN.Tjk)” (Skripsi
diterbitkan di Fakultas Hukum Universitas Lampung, 2018), hlm.55-56
19
Palsu Dan
Keterangan Palsu
Dan sanksi terhadap saksi yang
terbukti memberikan keterangan di
atas sumpah dapat dikenakan
hukuman pidana penjara 7 (tujuh)
tahun dan sanksi pencabutan hak
berdasarkan Pasal 35 No.1-4, sesuai
dengan Pasal 242 KUHP32.
F. Metode Penelitian
Penulis dalam melakukan suatu penelitian, tidak akan terlepas
dari pengunaan metode, karena metode merupakan cara atau jalan
bagaimana seseorang harus bertindak, metode penelitian pada dasarnya
merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan
kegunaan tertentu33. Oleh karena itu penting bagi peneliti menentukan
metode yang paling tepat dalam menyelesaikan penelitiannya.
1. Bentuk Penelitian
Bentuk penelitian hukum dibedakan menjadi tiga yaitu
penelitian normatifatau disebut juga penelitian kepustakaan,penelitian
normatif-empiris adalah penggabungan anatara pendekatan hukum
normatif dan adanya penambahan unsur-unsur empiris; dan penelitian
32Aldi Indra Tambuwun, ” Sanksi Terhadap Saksi Yang Memberikan Keterangan
Palsu Di Atas Sumpah Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 242Tentang
Sumpah Palsu Dan Keterangan Palsu”, Lex Privatum,Vol.IV/No.6(Juli/2016): 75, Diakses
pada 23 Oktober 2019, pukul 10.00 WIB. http://lexprivatum/article/view/12716. 33Sugiyono, Metode penelitian Kuantitatif dan R&D,(Bandung:Alfabeta,2013),hlm.2
20
empiris ialah melihat hukum dalam artian nyata bagaimana hukum
bekerja di lingkungan masyarakat34 . Adapun bentuk penelitian yang
dipergunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah penelitian
normatif yaitu untuk melihat keberlakuan norma hukum yang berkaitan
putusan.
2. Jenis dan Sumber Data
Jenis data dibagi tiga yaitu, data sekunder yaitu,
jeniskualitatifyaitu informasi yang berbentuk kalimat verbal bukan
berupa simbol angka atau bilangan; kuantitatif yaitu data informasi
yang berupa simbol angka atau bilangan; dan gabungan yaitu data
informasi yang berbentuk kalimat dan angka35. Adapun jenis penelitian
yang pergunakan pada penelitian ini yaitu jenis kualitatif dengan
mencari informasi berupa kalimat verbal bukan berupa simbol angka
atau bilangan.
Sumber data menurut Zainuddin Ali, di dalam bukunya yang
berjudul metode penelitian hukum menyebutkan bahwa sumber data
dalam penelitian hukum terbagi dua, ialah data primer dan data
sekunder. Data primer yaitu data dasar yang diperoleh langsung dari
sumbernya. Sedangkan data sekunder yaitu data yang sudah diperoleh
34Muri Yusuf., Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif & Penelitian
Gabungan,(Jakarta:Prenada Media Group,2014), hlm.44 35 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:Sinar Grafika,2015), hlm.24
21
dari bahan-bahan pustaka yang meliputi, Data sekunder itu sendiri
terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier.
Adapun sumber data yang digunakan oleh penulis dalam
penelitian ini yaitu data sekunder. Yaitu data yang sudah diperoleh dari
bahan-bahan pustaka. Sedangkan untuk mendekati sumber data
sekunder menggunakan pendekatan sumber bahan hukum, pada skripsi
ini terdiri dari tiga jenis bahan hukum yaitu bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat36.
Dalam penelitian ini bahan hukum primer yang penulis kumpulkan
dan berhubungan langsung dengan penelitian penulis yaitu:
Undang-undang Dasar 1945, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
&Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP dan
KUHAP), Al-Qur’an dan Al-Hadist
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan
terhadap bahan hukum primer, seperti rancangan Undang-Undang,
hasil-hasil penelitian, atau pendapat pakar hukum 37 . Dalam
penelitian ini yang menjadi bahan hukum sekunder seperti perkara
putusan Nomor 225/Pid.B/2018/PN.Pbm, tulisan ilmiah, peraturan
36Amiruddin dan Zainal asikin Pengantar metode pebelitian hukum (Jakarta:Raja
Grafindo Persada,2016), hlm.118 37Amiruddin, dan Zainal Asikin, “Pengantar Metode Penelitian Hukum”, hlm.118
22
perundang-undangan, hukum Islam yang berkaitan dengan putusan
tersebut serta sumber-sumber yang telah ada dan terkait dengan
materi yang akan diteliti oleh penulis
c. Bahan hukum tersier, menurut Soejono Soekanto38yaitu bahan yang
memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum
primer dan sekunder, contohnya adalah kamus, ensiklopedia, indeks
kumulatif, dan leksiaon.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian
hukum ini yaitu39Teknik Dokumentasi, adalah teknik pengumpulan data
yang tidak ditujukan langsung kepada subjek penelitian. Studi dokumen
adalah jenis pengumpulan data yang meneliti berbagai macam dokumen
yang berguna untuk bahan analisis.
Adapun teknik pengumpulan datayang dipergunakan oleh
penulis dalam penelitian ini adalah teknik studi dokumen, yaitu meliputi
studi bahan-bahan hukumprimer, bahan hukum sekunder dan bahan
hukum tersier40. Dalam penelitian ini penulis menggunakan dokumen-
dokumen, catatan-catatan yang berhubungan dengan permasalahan yang
sedang dibahas pada skripsi.
38Soejono Soekanto, dan Sri Mamudji, “Penelitian Hukum Normatif”, hlm.13 39 Bagong Suyanto,Sutinah, Metode Penelitian Sosial”, (Jakarta:PT Adhitya
Andrebina Agung,2015), hlm. 69 40Amiruddin, ”Pengantar Metode Penelitian Hukum”,hlm.68
23
4. Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan metode deskriptif kumulatif,
yakni dengan menyajikan, menggambarkan atau menguraikan sejelas-
jelasnya seluruh masalah yang ada pada rumusan masalah, secara
sistematis, factual dan akurat. Kemudian penelitian ini disimpulkan
secara deduktif yakni dengan menarik kesimpulan dari pernyataan-
pernyataan yang bersifat umum ke khusus sehingga penyajian hasil
penelitian dapat dipahami dengan mudah.
G. Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah pembaca dalam memahami isi dari
penelitian ini, penulis membuat sistematika pembahasan yang terdiri
dari hal-hal sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan
Penulis akan menguraikan mengenai latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian,
tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika
pembahasan.
BAB II: Tinjauan Umum
Dalam bab ini penulis akan menguraikan tentang pengertian-
pengertian:Pengertian Tindak Pidana, Pengertian Sanksi
Pidana, , Unsur-Unsur Tindak Pidana,Pengertian Saksi,Tindak
24
Pidana Saksi Memberikan Keterangan Palsu,dan Kewenangan
Hakim.
BAB III : Pembahasan
Dalam bab ini penulis membahasmengenai Dasar
Pertimbangan Hakim Putusan Nomor 225/Pid.B/2018/PN.Pbm
ditinjau dari Hukum Pidana Islam.
BAB IV : Penutup
Pada bab ini penulis akan menarik suatu kesimpulan dan saran-
saran apa yang diambil dalam judul skripsi ini. Dengan kata
lain, pada bab ini berisikan kesimpulan dan saran-saran penulis.
25