66
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam dunia perdagangan, iklan adalah merupakan sarana untuk memberikan informasi tentang : adanya produk tertentu dengan kelebihan dan kekhususannya, sebagai pembanding dengan produk yang lain dengan tujuan untuk menarik minat masyarakat membeli produk tersebut. Salah satu sarana periklanan yang berkembang pesat dewasa ini adalah media papan reklame (billboard) yang dipasang pada jalan-jalan kota atau di tempat-tempat strategis lainnya. Maraknya penggunaan papan reklame sebagai media iklan, membuka peluang usaha bagi pihak-pihak tertentu, yang bergerak dalam bidang usaha penyediaan papan reklame untuk memenuhi kebutuhan produsen atau pedagang sebagai pengguna secara sewa. Bagi produsen dan pedagang, dengan cara menyewa papan reklame memang lebih praktis, karena mereka dapat memasang iklan/reklame dimanapun, tanpa harus melakukan berbagai tindakan birokrasi seperti ijin lokasi, sewa lahan, pemasangan instalasi listrik dan pembayaran rekening listrik, pembayaran pajak, melakukan pemasangan, perawatan, perbaikan dari kerusakan, dan tindakan pengamanan, melainkan cukup dengan membayar uang sewa, produsen atau pedagang sudah dapat menikmati fasilitas berupa penempatan materi visual (pamflet) sebagai media promosi pemasaran produknya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi bcr.pdf · 4 Pada masa kini, dijumpai peristiwa perjanjian sewa atas fasilitas penempatan

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam dunia perdagangan, iklan adalah merupakan sarana untuk

memberikan informasi tentang : adanya produk tertentu dengan kelebihan dan

kekhususannya, sebagai pembanding dengan produk yang lain dengan tujuan

untuk menarik minat masyarakat membeli produk tersebut. Salah satu sarana

periklanan yang berkembang pesat dewasa ini adalah media papan reklame

(billboard) yang dipasang pada jalan-jalan kota atau di tempat-tempat strategis

lainnya. Maraknya penggunaan papan reklame sebagai media iklan, membuka

peluang usaha bagi pihak-pihak tertentu, yang bergerak dalam bidang usaha

penyediaan papan reklame untuk memenuhi kebutuhan produsen atau

pedagang sebagai pengguna secara sewa.

Bagi produsen dan pedagang, dengan cara menyewa papan reklame

memang lebih praktis, karena mereka dapat memasang iklan/reklame

dimanapun, tanpa harus melakukan berbagai tindakan birokrasi seperti ijin

lokasi, sewa lahan, pemasangan instalasi listrik dan pembayaran rekening

listrik, pembayaran pajak, melakukan pemasangan, perawatan, perbaikan dari

kerusakan, dan tindakan pengamanan, melainkan cukup dengan membayar

uang sewa, produsen atau pedagang sudah dapat menikmati fasilitas berupa

penempatan materi visual (pamflet) sebagai media promosi pemasaran

produknya.

2

Seiring dengan perkembangan dunia bisnis yang ditandai dengan

semakin berkembangnya industri dan perdagangan, maka semakin berkembang

pula kegiatan periklanan melalui media papan reklame. Pada ujung-ujungnya,

adalah semakin banyak transaksi sewa-menyewa papan reklame. Kesemuanya

itu menunjukan bahwa sewa-menyewa menjadi sangat penting dalam

masyarakat khususnya dunia bisnis. Oleh karena itu kajian terhadap perjanjian

sewa-menyewa juga menjadi semakin penting, dalam rangka memberikan

telaah terhadap praktik-praktik perjanjian sewa papan reklame yang terjadi

dalam masyarakat, untuk memberikan pemahaman tentang makna sewa-

menyewa beserta akibat hukum yang timbul.

Pada masa lampau pernah terjadi sengketa perjanjian sewa atas fasilitas

penempatan materi visual (pamflet) sebagai media promosi barang dagangan,

yang berupa dinding batu pagar rumah.

Menurut Hoge Raad, yang disewa adalah luasnya pagar, dan luasnya

pagar bukan benda (zaak), sehingga Hoge Raad tanggal 27 Mei 1910

menyatakan : karena tidak ada benda (zaak) maka tidak ada perjanjian sewa.

Menurut para ahli hukum, perjanjian itu tetap sah dengan mengajukan dua

argumentasi sebagai berikut1 :

1. Setiap perjanjian yang dibuat memenuhi syarat undang-undang (Pasal

1320 KUH Perdata) tetap sah. Jika luasnya pagar batu tidak memenuhi

kriteria benda (zaak) sebagaimana dimaksud dalam Perjanjian sewa-

1 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1981, Hukum Perdata, Hukum Benda, Liberty, Yogajakarta,

hal. 17-19.

3

menyewa Pasal 1548 KUH Perdata, maka perjanjian itu bukan perjanjian

sewa-menyewa, sehingga terhadap perjanjian itu tidak dapat diperlakukan

ketentuan-ketentuan khusus dari sewa-menyewa. Perjanjian demikian itu

lalu berlaku sebagai ketentuan perjanjian tak bernama.

2. Pitlo berpendirian, bahwa oleh undang-undang penyerahan suatu benda

(zaak) untuk dipakai dan sebaliknya menerima harganya itu disebut : sewa.

Apa yang dinamakan benda (zaak) itu ditentukan oleh kebutuhan menurut

kebutuhan masyarakat. Jika masyarakat memerlukan penyerahan luasnya

pagar untuk dipakai dan sebaliknya membayar harganya untuk itu, maka

itupun termasuk pengertian sewa juga.

Inti persoalan dari pertentangan pendapat tersebut sebenarnya adalah

mengenai penafsiran “benda” yang menjadi obyek sewa. Dalam pengertian

Hukum Benda, yang dimaksud “benda” adalah bersifat “mandiri,” sehingga

“bagian benda” bukan benda. Pada argumentasi pertama, tidak terpenuhinya

kriteria obyek sewa sebagai benda mandiri, lalu memperluas penafsiran

perjanjian sewa-menyewa menjadi perjanjian tak bernama; Sedang pada

argumntasi kedua, dengan tetap mempertahankan pengertian perjanjian sewa

menurut Pasal 1548 KUH Perdata, tetapi pengertian bendanya yang diperluas,

bahwa sekalipun “luasnya pagar” bukan benda menurut Hukum Benda, tetapi

karena dapat diserahkan pemakaiannya, maka luasnya pagar dapat menjadi

obyek dalam perjanjian sewa.

4

Pada masa kini, dijumpai peristiwa perjanjian sewa atas fasilitas

penempatan materi visual (pamflet) sebagai media promosi barang dagangan,

yang berupa papan reklame (bilboard).

Peristiwanya : Perusahaan lampu neon PT. Hannochs, menggunakan

fasilitas penempatan materi visual (pamflet) sebagai media promosi berupa

papan reklame milik perusahaan penyedia papan reklame PT. Maju Makmur

Abadi. Dalam transaksinya para pihak menyatakan sepakat bahwa PT. Maju

Makmur Abadi memberi ijin kepada PT. Hannochs yang menyatakan setuju

menyewa lokasi Billboard milik PT. Maju Makmur Abadi untuk

mempromosikan produk milik PT. Hannochs dengan pemasangan 1 (satu) buah

billboard ukuran 5 m x 10 m x 1 muka, yang terletak di Jl. Ahmad Yani

Semarang.

Yang perlu dicermati dalam perjanjian sewa tersebut adalah mengenai

obyek benda sewanya : apakah “papan reklame (billboard) milik PT. Maju

Makmur Abadi, ataukah lokasi billboard yang nota bene adalah lahan di Jl.

Ahmad Yani Semarang milik Pemda Semarang ? Pertanyaan tersebut jelas

membutuhkan kajan toeritis mengenai hal-hal yang berkaitan dengan

pengertian benda dalam kedudukannya sebagai “obyek sewa.”

Peristiwa perjanjan sewa ini memang tidak sama persis dengan

peristiwa sewa dalam sengketa arrest Hoge Raad tanggal 27 Mei 1910, namun

keduanya sama-sama membutuhkan kajian teoritis mengenai penafsiran benda

sebagai “obyek benda sewa.”

5

Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, penulis merasa perlu untuk

melakukan penelitian mengenai perjanjian sewa-menyewa yang terjadi antara

Perusahaan lampu neon PT. Hannochs yang menggunakan fasilitas

penempatan materi visual (pamflet) sebagai media promosi berupa papan

reklame dengan perusahaan penyedia papan reklame PT. Maju Makmur

Abadi. Hal ini penting untuk memahami bagaimanakah cara pandang hukum

dalam menentukan manakah obyek sewa yang sebenarnya, apakah papan

reklame ataukah lokasi papan reklame dan bagaimana konsekuensi hukumnya

terutama mengenai cara penyerahan benda obyek sewa dari pemberi sewa

kepada penyewa sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 1550 KUH Perdata

bahwa kewajiban pokok pemberi sewa adalah menyerahkan (leveren) bendanya

kepada penyewa.

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimanakah penafsiran terhadap pengertian atas benda obyek sewa dalam

perjanjian sewa papan reklame (billboard) antara PT. Hannochs dan PT.

Maju Makmur Abadi ?

2. Bagaimanakah cara menyerahkan benda obyek sewa dalam perjanjian sewa

papan reklame ?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk memahami makna benda obyek sewa dalam perjanjian sewa antara

PT. Hannochs dan PT. Maju Makmur Abadi.

2. Untuk memahami cara menyerahkan benda obyek sewa dalam perjanjian

sewa papan reklame.

6

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis : memberikan sumbangan pemikiran untuk pengembangan

ilmu pengetahuan hukum, khususnya dibidang Hukum Perjanjian dan

Hukum Perdata pada umumnya, khususnya berkaitan dengan masalah

perjanjian sewa lokasi pemasangan reklame.

2. Manfaat Praktis : memberikan kejelasan aspek hukum dalam perjanjian

sewa lokasi papan reklame, khususnya bagi pihak-pihak terkait dalam

perjanjian ini.

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Perikatan

Perikatan menurut doktrin adalah hubungan hukum antara 2 (dua) pihak

yang terletak dalam lapangan hukum harta kekayaan, di mana pihak yang satu

berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi itu.2 Dengan

demikian istilah perikatan menunjuk pada suatu keadaan berupa timbulnya

hubungan hukum yang berisikan hak dan kewajiban atas suatu prestasi. Pihak

yang berhak menuntut prestasi dinamakan kreditur, sedang pihak yang wajib

berprestasi dinamakan debitur.

Secara umum terdapat dua sumber perikatan, yaitu perjanjian dan

undang-undang, sebagaimana di sebutkan dalam Pasal 1233 KUH. Perdata

yang menyebutkan bahwa :

“Tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena perjanjian, baik karena undang-undang”.

Akan tetapi menurut Mariam Darus Badrulzaman bahwa sesungguhnya masih

dapat ditemukan adanya sumber perikatan selain kedua sumber di atas, yaitu

ilmu pengetahuan hukum perdata, hukum tidak tertulis dan keputusan Hakim

atau yurisprudensi.3

Berdasarkan pengertian perikatan di atas, maka dapat diuraikan unsur-

unsur perikatan, yaitu :

2 Mariam Darus Badrulzaman, dkk, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya

Bakti, Bandung, hal. 1. 3 Ibid, hal. 9.

8

a. Hubungan hukum, yaitu hubungan terhadap mana hukum melekatkan hak

pada satu pihak dan melekatkan kewajiban pada pihak yang lain. Hak yang

timbul dalam hubungan hukum ini harus hak yang dapat dituntut

pemenuhannya atau diajukan gugatan di muka Hakim, atau yang

pemenuhannya dapat dimintakan upaya paksa melalui keputusan Hakim.

Hal ini untuk membedakan dengan hak-hak yang berada dalam lapangan

moral atau sosial.

b. Dalam lapangan kekayaan, yaitu hubungan perikatan yang diatur dalam

Buku III KUH Perdata atau perikatan-perikatan yang dapat dinilai dengan

uang. Hal ini untuk membedakan adanya hubungan perikatan dalam arti

luas yang meliputi perikatan dalam lapangan hukum keluarga.

c. Para pihak, bahwa dalam hubungan perikatan selalu terdiri dari dua pihak,

yaitu pihak yang berhak atas prestasi atau berpiutang yang disebut kreditur

dan pihak yang wajib berprestasi atau berutang yang disebut debitur.

Masing-masing pihak tersebut bisa terdapat lebih dari satu orang atau

subyek hukum, dan pada prinsipnya pihak-pihak dalam perikatan dapat

digantikan kedudukannya. Asasnya penggantian debitur harus dengan

sepengetahuan kreditur, sedangkan penggantian kreditur tidak harus dengan

sepengetahuan debitur bahkan seringkali penggantian itu sudah

diperjanjikan sejak semula.

d. Prestasi (obyek hukum), yaitu sesuatu yang dapat dituntut atau sesuatu

yang wajib dilakukan dalam hubungan perikatan. Prestasi itu sendiri dapat

dibedakan menjadi tiga, yaitu : memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan

9

tidak berbuat sesuatu. Pada prestasi untuk memberikan sesuatu, obyeknya

adalah barang yang harus diserahkan untuk diambil manfaatnya atau untuk

dialihkan hak miliknya. Prestasi berbuat sesuatu, obyeknya adalah

melakukan suatu perbuatan selain menyerahkan suatu barang, seperti

membangun rumah. Sedangkan prestasi untuk tidak berbuat sesuatu adalah

kewajiban untuk tidak melakukan perbuatan yang telah diperjanjikan oleh

para pihak.

B. Perjanjian Pada Umumnya

1. Pengertian Perjanjian.

Pengertian perjanjian disebutkan dalam Pasal 1313 KUH Perdata

dengan rumusan sebagai berikut :

“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau labih”.

Rumusan perjanjian di atas oleh para sarjana, dikatakan banyak

mengandung kelemahan, karena di satu pihak rumusannya terlalu luas, dan

di pihak lain rumusannya terlalu sempit. Di bawah ini akan dipaparkan

beberapa pendapat sarjana yang membahas mengenai pengertian perjanjian.

Abdulkadir Muhammad mengatakan bahwa rumusan Pasal 1313 KUH

Perdata ini banyak mengandung kelemahan, karena :

a. Hanya menyangkut perjanjian sepihak saja.

Hal ini dapat dilihat dari kalimat “satu orang atau lebih mengikatkan

dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. kata mengikatkan diri

bersifat satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya

10

perumusannya adalah saling mengikatkan diri sehingga ada konsensus di

antara para pihak.

b. Kata “perbuatan” juga mencakup tanpa konsensus.

Dalam pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan

tugas tanpa kuasa (zaakwarneming), tindakan melawan hukum

(onrechtmatige daad) yang tidak mengandung suatu konsensus,

seharusnya dipakai kata persetujuan.

c. Pengertian perjanjian terlalu luas.

Pengertian perjanjian dalam pasal tersebut adalah terlalu luas, karena

mencakup juga perlangsungan perkawinan, janji kawin, yang diatur

dalam lapangan hukum kekayaan. Padahal yang dimaksud adalah

hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan

saja. Perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan perjanjian yang bersifat

perseorangan.

d. Tanpa menyebut tujuan.

Dalam rumusan tersebut di atas tidak disebutkan tujuan mengadakan

perjanjian, sehingga para pihak tidak jelas mengikatkan diri untuk apa.4

Menurut Subekti, bahwa perjanjian adalah suatu peristiwa dimana

seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling

berjanji untuk melaksanakan suatu hal.5

Dengan mendasarkan pada pendapat para sarjana di atas, maka dapat

dirumuskan pengertian perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dalam

4 Abdulkadir Muhammad, 1990, Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 78.

5 Subekti, 1987, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, hal. 1.

11

lapangan hukum kekayaan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan

dirinya terhadap satu orang atau lebih, atau dimana kedua belah pihak saling

mengikatkan dirinya.

2. Asas-asas Dalam Perjanjian

Paul Scholten mengemukakan bahwa asas hukum sebagai

kecenderungan-kecenderungan yang disyaratkan oleh pandangan kesusilaan

pada hukum dan merupakan sifat-sifat umum dengan keterbatasannya

sebagai pembawaan yang umum itu, tetapi harus ada. Seangkan asas hukum

menurut Van Eikema Hommes adalah dasar-dasar atau petunjuk arah dalam

pembentukan hukum positif.6

Asas hukum bukan peraturan hukum, namun tidak ada hukum yang

bisa dipahami tanpa mengetahui asas-asas hukum yang ada di dalamnya.

Oleh karena itu untuk memahami hukum suatu bangsa dengan sebaik-

baiknya, tidak bisa hanya melihat peraturan-peraturan hukumnya saja,

melainkan harus menggalinya sampai pada asas-asas hukumnya. Asas

hukum inilah yang memberi makna etis pada peraturan-peraturan hukum

serta tata hukum.7

Dalam hukum perjanjian dapat dijumpai beberapa asas penting yang

perlu diketahui. Menurut Abdulkadir Muhammad8, asas- asas tersebut

adalah seperti diuraikan dibawah ini:

1) Asas kebebasan berkontrak atau dengan istilah lain disebut juga sistem

terbuka (open system), pada dasarnya setiap orang boleh mengadakan

6 Yahoo! Answer, http://id.answers.yahoo.com, diakses tanggal 30 Oktober 2010. 7 Satjipto Raharjo, 1986, Ilmu Hukum, PT. Alumni, Bandung, hal. 87. 8 Abdulkadir Muhammad, op.cit. hal 84-86.

12

perjanjian apa saja, dengan siapa saja dan mengenai apa saja, walaupun

belum atau tidak diatur dalam Undang-undang. Dalam Pasal 1338 ayat

(1) KUH Perdata disebutkan bahwa :

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

Dengan menekankan pada kata “semua perjanjian”, seolah-olah berisikan

pernyataan kepada masyarakat bahwa setiap orang boleh membuat

perjanjian berupa apa saja asal memenuhi syarat sahnya perjanjian, dan

perjanjian lahir dan mengikat para pihak yang membuatnya.

2) Bersifat pelengkap (optional), artinya pasal-pasal undang-undang boleh

disingkirkan, apabila pihak yang membuat perjanjian menghendaki

membuat perjanjian sendiri, yang menyimpang dari kketentuan pasal-

pasal undang-undang. Akan tetapi apabila dalam perjanjian tidak

diperjanjikan lain, maka berlakulah ketentuan yang ada dalam undang-

undang.

3) Asas konsensualisme, artinya perjanjian (pada umumnya) itu terjadi atau

telah lahir sejak adanya kata sepakat antara pihak-pihak. A. Qirom

Syamsudin menyebutkan dengan adanya asas konsensualisme maka

perjanjian itu sudah lahir dengan adanya kata sepakat di antara para

pihak, tanpa diikuti dengan perbuatan hukum lain kecuali dalam

perjanjian yang bersifat formil.9

9A. Qirom Syamsudin, 1985, Pokok-Pokok Hukum Perikatan Beserta Perkembangannya,

Liberty, Yogyakaarta, hal. 20.

13

4) Bersifat obligatoir, artinya perjanjian yang dibuat oleh pihak- pihak itu

baru dalam taraf menimbulkan hak dan kewajiban saja, belum

memindahkan hak milik (ownership). Hak milik baru berpindah, apabila

diperjanjikan tersendiri yang disebut perjanjian kebendaan (zakelijke

overeenskomst).

5) Asas Daya Mengikat Perjanjian (Pacta Sunt Servanda), bahwa semua

perjanjian yang dibuat secara sah, mengikat para pihak seperti halnya

mengikatnya undang-undang. Dengan kata lain orang yang membuat

perjanjian berarti telah membuat undang-undang bagi dirinya sendiri.

Asas ini disimpulkan dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata

bahwa : “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai

undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dalam hal ini Sudikno

berpendapat bahwa kedua belah pihak terikat oleh kesepakatan dalam

perjanjian yang mereka buat. Perjanjian secara sah mengikat kedua belah

pihak seperti undang-undang. Berarti bahwa kedua belah pihak

berkewajiban mentaati danmelaksanakan perjanjian, sudah selayaknyalah

bahwa sesuatu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak dipatuhi pula

oleh kedua belah pihak.10

6) Asas Iktikad Baik (te goeder trouw), bahwa pelaksanaan perjanjian harus

didasarkan pada kepatutan (redelijkheid) dan keadilan (billijkheid).

10Sudikno Mertokusumo, 1991, Mengenal Hukum (Suatu Pemngantar), Liberty,

Yogyakarta, hal. 97.

14

3. Syarat sahnya perjanjian

J. Satrio11 dalam bukunya Hukum Perjanjian menyebutkan bahwa

ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata diartikan sebagai untuk “sahnya” suatu

perjanjian diperlukan 4 syarat. Dalam bahasa aslinya sebenarnya tertulis

untuk “adanya” (bestaanbaarheid) suatu perjanjian diperlukan 4 syarat.

Kata “adanya” adalah tidak tepat, karena ada kalanya, sekalipun suatu

perjanjian tidak memenuhi salah satu dari keempat syarat yang ditentukan

dalam Pasal 1320 KUH Perdata, tetapi tetap diterima sebagai “ada”,

sekalipun mengandung cacat dan karenanya sebagai “tidak sah” sehingga

ada kemungkinan dibatalkan. Tidak sah disini dimaksudkan sebagai “dapat

dibatalkan”.

Syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH

Perdata, adalah :

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

b. Kecakap untuk membuat suatu perikatan;

c. Suatu hal tertentu; dan

d. Suatu sebab yang halal.

Keempat syarat di atas dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu

berdasarkan subyeknya dan berdasarkan obyeknya. Dua syarat pertama

disebut syarat subyektif, karena menyangkut subyek yang menutup

perjanjian, sedangkan dua syarat yang lain disebut syarat obyektif, karena

menyangkut obyek dari perjanjian. Pembedaan ini menimbulkan

11J. Satrio, 2001, Hukum Perjanjian, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, PT. Citra

Aditya Bakti, Bandung, hal. 163.

15

konsekuensi hukum, yaitu apabila suatu perjanjian tidak memenuhi syarat

subyektif maka perjanjian itu tetap ada walaupun tidak sah dan

menimbulkan kemungkinan untuk dibatalkan. Sedangkan apabila suatu

perjanjian tidak memenuhi syarat obyektif maka perjanjian tersebut

dianggap tidak pernah ada dan dengan sendirinya batal demi hukum.

Mengenai keempat syarat sahnya perjanjian dapat dijabarkan sebagai

berikut :

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya (Pasal 1321-1328 KUH

Perdata).

Dalam suatu perjanjian haruslah ada kata sepakat diantara para pihak

mengenai hal-hal pokok dari perjanjian yang mereka adakan. Yang

dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian kehendak antara dua

pihak, atau dengan perkataan lain ada pertemuan dua kehendak yang

berbeda akan tetapi saling mengisi dan masing-masing pihak menyatakan

persetujuannya masing-masing.

Untuk dapat bertemu, antara kehendak pihak yang satu dengan pihak

yang lain, maka kehendak tersebut harus dinyatakan. Kehendak yang

dinyatakan haruslah nyata dan dapat dimengerti oleh pihak lain.

Sehingga apabila kehendak yang dinyatakan tersebut sampai dan bisa

dimengerti pihak lain, dan pihak lain tersebut kemudian menyatakan

menerimanya, maka disitulah timbul kata sepakat.

16

Berkaitan dengan masalah kesepakatan, apabila tidak ada kesesuaian

antara pernyataan dan kehendak, telah melahirkan teori-teori hukum

untuk menyelesaikannya, yaitu :

1) Teori Kehendak (Wiltheorie)

Teori kehendak adalah teori tertua dan menekankan pada faktor

kehendak. Menurut teori ini jika mengemukakan suatu pernyataan

yang berbeda dengan apa yang dikehendakinya, maka kita tidak

terikat kepada pernyataan tersebut. Teori ini mendapat penerapan

dalam Pasal 1343 KUH Perdata yang menyebutkan : “Jika kata-kata

suatu perjanjian dapat diberikan berbagai macam penafsiran, harus

dipilihnya menyelidiki maksud kedua belah pihak yang membuat

perjanjian itu, dari pada memegang teguh arti kata-kata menurut

huruf.”

2) Teori Pernyataan (Verklaringstheorie)

Menurut teori ini pernyataan sepakat yang dinyatakan seseorang

adalah mengikat dirinya, tanpa menghiraukan apakah yang

dinyatakan kedua belah pihak sesuai atau tidak dengan kehendak

masing-masing pihak. Pernyataan adalah tindakan lahiriah yang dapat

diketahui, sedangkan kehendak adalah tindakan batin seseorang yang

tidak dapat diketahui. Teori ini mendapat penerapan dalam Pasal

1342 KUH Perdata yang menyebutkan : “Jika kata-kata suatu

perjanjian adalah jelas, tidaklah diperkenankan untuk menyimpang

dari padanya dengan jalan penafsiran”.

17

3) Teori Kepercayaan (Vetrouwenstheorie)

Teori ini mengajarkan bahwa kata sepakat terjadi, jika ada dua

pernyataan yang saling bertemu dan menimbulkan kepercayaan.

Teori ini mendapat penerapan daalam Pasal 1346 KUH Perdata, yang

menyebutkan : “Apa yang meragu-ragukan harus ditafsirkan menurut

apa yang menjadi kebiasaan dalam negeri atau di tempat di mana

perjanjian telah dibuat”.

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (Pasal 1329-1331 KUH

Perdata).

Dalam KUH Perdata tidak diatur mengenai siapa orang yang cakap untuk

membuat membuat perikatan, yang diatur adalah mengenai orang yang

dinyatakan tidak cakap membuat perikatan, yaitu sebagaimana diatur

dalam Pasal 1330 KUH Perdata, yaitu :

“Tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah : 1. Orang-orang yang belum dewasa; 2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan; 3. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-

undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.”

Dengan demikian pada dasarnya setiap orang adalah cakap untuk

membuat perjanjian, kecuali mereka yang dinyatakan tidak cakap oleh

undfang-undang.

Berlakunya ketentuan Pasal 1330 KUH Perdata mendapat perubahan

dengan adanya SEMA Nomor 3 Tahun 1963 yang mencabut antara lain

Pasal 108 dan 110 KUH Perdata, dan dengan adanya Undang-Undang

18

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan khususnya Pasal 31 ayat (2),

maka seorang isteri dinyatakan cakap bertindak dalam hukum.

c. Suatu hal tertentu (Pasal 1332-1334 KUH Perdata).

Dalam Pasal 1332 KUH Perdata disebutkan, bahwa :

“Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok suatu perjanjian”

Berdasarkan pasal tersebut, obyek perjanjian harus merupakan benda-

benda yang dapat diperdagangkan. Apabila benda tersebut merupakan

benda terlarang untuk diperdagangkan, maka perjanjian tersebut menjadi

batal demi hukum. Pada asasnya suatu benda bisa menjadi pokok suatu

perjanjian, kecuali tujuan dari padanya sebagai suatu dinas/instansi

umum (pelayanan umum) tidak memungkinkannya.12

Selanjutnya dalam Pasal 1333 KUH Perdata disebutkan :

“Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya”. “Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung”.

Perihal syarat “tertentu”, suatu barang minimal dapat ditentukan

jenisnya, sedangkan mengenai jumlahnya boleh saja tidak ditentukan

pada saat dibuatnya perjanjian, asal dikemudian hari dapat ditentukan

atau dihitung. Suatu perjanjian yang obyeknya tidak tentu atau tidak ada,

maka perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada dan batal demi

hukum.

12 J. Satrio, op.cit, hal 49.

19

Selanjutnya dalam Pasal 1334 ayat (1) KUH Perdata disebutkan bahwa

barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi obyek

suatu perjanjian. Barang yang akan ada dibedakan menjadi dua, yaitu

barang yang akan ada dalam arti mutlak dan barang yang akan ada dalam

arti nisbi. Benda yang akan ada dalam arti mutlak yaitu bahwa pada saat

dibuat perjanjian memang belum ada, sedangkan barang yang akan ada

dalam arti nisbi yaitu barang itu sudah ada tetapi bagi orang tertentu

masih merupakan harapan untuk dimiliki.13

Sementara itu J. Satrio menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “suatu

hal tertentu” adalah :

“Obyek prestasi perjanjian, suatu pokok untuk mana diadakan suatu perjanjian. Ditinjau dari kreditur dan debitur, “hal tertentu” tidak lain merupakan isi dari pada perikatan utama yaitu prestasi pokok dari pada perikatan utama yang muncul dari perjanjian tersebut”

d. Suatu sebab yang halal (Pasal 1335-1337 KUH Perdata).

Dalam Pasal 1335 KUH Perdata disebutkan, bahwa :

“Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang tidak mempunyai kekuatan”.

Menurut Hamaker bahwa yang dimaksud causa suatu perjanjian adalah

akibat yang sengaja ditimbulkan oleh tindakan menutup perjanjian, yaitu

apa yang menjadi tujuan mereka (para pihak bersama) menutup

perjanjian.14 Causa atau sebab berbeda dengan motif, yaitu alasan yang

13 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1980, Hukum Perdata-Hukum Perutangan Bagian B,

Seksi Hukum Perdata Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, hal. 28. 14 J. Satrio, op.cit, hal. 41.

20

mendorong batin seseorang untuk melakukan sesuatu hal, sedangkan

causa adalah tujuan dari pada perjanjian.15

Maksud dari “causa atau sebab yang halal” artinya bukan causa atau

sebab yang terlarang, sedangkan mengenai causa yang terlarang

disebutkan dalam Pasal 1337 KUH Perdata, yaitu :

“Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”

Dengan demikian yang dimaksud dengan kata “halal” adalah tidak

bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.

Abdulkadir Muhammad menyebutkan bahwa undang-undang tidak

mempedulikan apa yang menjadi sikap batin (motif) orang mengadakan

perjanjian, yang diperhatikan atau diawasi adalah isi perjanjian, yang

menggambarkan tujuan yang akan dicapai, apakah dilarang oleh undang-

undang, kesusilaan dan ketertiban umum atau tidak16.

4. Saat Lahirnya Perjanjian

Dalam asas konsensualisme, maka suatu perjanjian lahir sejak saat

tercapainya kata sepakat di antara para pihak mengenai pokok perjanjian

atau unsur essensial dari perjanjian. Hal ini hanya dapat terjadi dalam

hubungan hukum yang dilakukan secara langsung, baik dalam arti bertemu

secara nyata dalam suatu tempat dan waktu yang sama, ataupun hubungan

hukum secara langsung yang dilakukan melalui media elektronik, seperti

telepon, webcam , teleconference dan sebagainya. Dalam hubungan yang

15R. Setiawan, 1987, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Binacipta, bandung, hal 62. 16 Abdulkadir Muhammad, 1990, op.cit. hal, 94.

21

seperti ini antara penawaran dan penerimaan dapat langsung diketahui satu

sama lain antara para pihak yang menutup perjanjian.

Berbeda halnya dalam transaksi atau hubungan hukum yang

dilakaukan secara tidak langsung, misalnya : melalui surat, telegraf, sms,

email, website atau blok di Internet, dalam hubungan yang demikian antara

penawaran dan penerimaan dipisahkan oleh waktu. Dalam keadaan

demikian seringkali tidak mudah untuk menentukan kapan lahirnya

perjanjian.

Untuk itu doktrin telah memberikan berbagai teori yang bertujuan

untuk menjawab pertanyaan mengenai kapan saat lahirnya suatu perjanjian,

yaitu :

a. Teori Pernyataan (Uitingstheorie)

Menurut teori ini, perjanjian telah ada pada saat ditulis surat jawaban

penerimaan atas suatu penawaran. Dengan kata lain, perjanjian itu ada,

pada saat pihak lain menyatakan penerimaan atau akseptasinya. Pada

saat tersebut pernyataan kehendak dari orang yang menawarkan dan

akseptor saling bertemu. Keberatan dari teori ini adalah orang tidak

dapat menetapkan secara pasti kapan perjanjian itu lahir, karena sulit

membuktikan kapan saat penulisan surat jawaban tersebut.

b. Teori Pengiriman (Verzendingstheorie)

Menurut teori ini saat pengiriman jawaban atau akseptasi adalah saat

yang menentukan lahirnya perjanjian. Dalam hal ini, biasanya tanggal

cap Pos yang dipakai sebagai jawaban, apabila surat tersebut telah

22

dikirim, maka akseptor tidak mempunyai kekuasaan lagi terjhadap surat

tersebut dan tidak dfapat merubah lagi saat terjadinya perjanjian. Teori

ini merupakan perbaikan dari teori pernyataan. Adapun keberata

terhadap teori ini adalah perjanjian sudah lahir dan mengikat orang yang

menawarkan pada saat orang yang memberi penawaran sendiri belum

tahu akan hal itu.

c. Toei Pengetahuan (Vernemingstheorie)

Dalam teori ini, saat lahirnya perjanjian adalah pada saat jawaban

akseptasi diketahui orang yang melakukan penawaran. Teori ini

dianggap paling sesuai dengan prinsip bahwa perjanjian lahir atas dasar

pertemua dua kehendak yang dinyatakan, dan pernyataan kehendak

tersebut harus dapat saling dimengerti antara kedua belah pihak yang

membuat perjanjian. Keberata teori ini adaalah apabila penerima surat

membiarkan suratnya dan tidak dibuka, maka perjanjian tidak lahir dan

tidak akan pernah lahir.

d. Teori Penerimaan (Ontvangstheorie)

Sebagai jawaban dari kekuranga-kekurangan dari teori sebelumnya,

maka muncul teori penerimaan ini yang mengajarkan bahwa saat

lahirnya perjanjian adaalah saat diterimanya jawaban atau akseptasi oleh

orang yang memberikan penawaran. Jadi tidak peduli apakah surat itu

dibuka ataukah tidak atau memang dibiarkan tidak dibuka, perjanjian

23

tetap lahir, yang penting surat tersebut telah sampai pada alamat si

penerima surat, yaitu pihak yang melakukan penawaran.17

5. Unsur-unsur Perjanjian

Dengan mencermati isi prestasi dari suatu perjanjian, maka dapat

dikelompokkan dalam tiga unsur perjanjian, yaitu :

a. Unsur Essensialia

Unsur essensialia adala unsur mutlak, dimana tanpa adanya unsur

ini perjanjian tidak mungkin ada. Jadi dapat dikatakan bahwa unsur

essensialia adalah sesuatu yang harus ada, merupakan hal pokok yang

harus ada dalam suatu perjanjian.18 Tanpa hal pokok tersebut maka tidak

ada perjanjian. Contohnya dalam perjanjian jual beli, maka barang dan

harga merupakan unsur essensialia.

Pada perjanjian riil, syarat penyerahan obyek perjanjian merupakan

essensialia, sama seperti bentuk tertentu merupakan essensialia dari

perjanjian formil. Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur essensialia

dari suatu perjanjian masing-masing berbeda, atau yang membedakan

antara perjanjian yang satu dengan perjanjian lainnya. dalaam jual beli

sekurang-kurangnya harus ditentukan mengenai barang dan harganya,

untuk hal yang lain dapat diabaikan, sedangkan dalam perjanjian yang

lain, disyaratkan menyebut hal-hal pokok yang harus dicantumkan

dalam perjanjian (important in highest degree).

17J. Satrio, 2001, op.cit, hal. 257-262. 18Ibid, hal. 60, baca juga Rai Wijaya, 2004, Merancang Suatu Kontrak, Megapoin, Bekasi,

hal 118.

24

Dalam suatu perjanjian untuk dapat membedakan perjanjian yang

satu dengan perjanjian lainnya, dapat diketahui dari unsur essensialia

dan causa perjanjian. Causa adalah tujuan yang sengaja ditimbulkan

oleh tindakan menutup perjanjian, yaitu apa yang menjadi tujuan para

pihak dengan menutup perjanjian tersebut.19 Unsur essensialia dan causa

perjamnjian yang satu berbeda dengan perjanjian lainnya, karena setiap

perjanjian mempunyai caausa atau tujuannya sendiri yang khas,

meskipun kadang terdapat kemiripan.

Misalnya antara perjanjian jual beli dengan perjanjian sewa

menyewa, kedua perjanjian ini unsur essensialianya sama yaitu : barang

dan harga. Akan tetap causa kedua perjanjian tersebut berbeda, pada

perjanjian jual beli causanya adalah penyerahan barang untuk dimiliki

pihak lain (pembeli) jadi ada penyerahan barang dan penyerahan hak

milik, sedangkan dalam perjanjian sewa menyewa causanya adalah

penyerahan kenikmatan atas suatu barang, sedangkan hak miliknya tetap

ada pada pihak pemberi sewa.

b. Unsur Naturalia

Unsur Naturalia adalah unsur perjanjian yang oleh undang-undang

di atur tetapi yang oleh para pihak dapat di singkirkan atau di ganti 20.

Unsur ini sebenarnya merupakan bagian-bagian isi perjanjian yang secara

umum patut, dan adil bagi para pihak karena merupakan konsekuensi

logis dari perjanjian yang bersangkutan. Dalam keadaan normal orang

19 J. Satrio, op,cit, hal. 60.

20 Ibid.

25

pada umumnya pun akan menghendaki pengaturan demikian

sebagaimana logisnya.

Unsur naturalia ini oleh undang-undang diatur dengan hukum yang

bersifat mengatur atau menambah (regelend rech atau aanvullend rech).

Jadi, melalui aturan yang bersifat menambah ini pembuat undang-undang

telah menfiksikan kehendak para pihak rata-rata umumnya orang dalam

membuat perjanjian. Secara logis (natural) seseorang yang dalam suatu

perjanjian misal nya jual beli diwajibkan untuk menyerahkan hak milik

atas kebendaan tertentu, sebagai konsekuensi logisnya ia diwajibkan pula

untuk menjamin bahwa kebendaan yang diserahkan tersebut aman dari

tuntutan pihak ketiga dan bebas dari cacat tersembunyi ( Pasal 1491

KUH Perdata). Tanpa memperjanjikan hal ini pun ketentuan pasal

tersebut berlaku secara otomatis menambah isi perjanjian yang dibuat

oleh para pihak. Namun demikian ketentuan tersebut dapat disingkirkan

dengan mengaturnya secara lain melalui kesepakatan kedua belah pihak.

Contohnya adalah kewajiban penjual untuk menanggung biaya

penyerahan (Pasal 1476 KUH Perdata) dan untuk menjamin (vrijwaren)

dari cacat tersembunyi (Pasal 1491), semua itu dapat disimpangi atas

dasar kesepakatan bersama.

c. Unsur Accidentalia

Unsur Accidentalia adalah unsur perjanjian yang ditambahkan oleh

para pihak karena undang-undang tidak mengatur tentang hal tersebut21.

21 Ibid.

26

Semua janji-janji dalam suatu perjanjian yang sengaja dibuat untuk

menyimpangi ketentuan hukum yang menambah merupakan unsur

accidentalia22.

Pemahaman tentang unsur accidentalia ini akan menjadi jelas bila

dikaitkan dengan perjanjian khusus atau perjanjian bernama yang

umumnya telah mendapatkan pengaturan secara relatif lengkap melalui

ketentuan yang bersifat menambah. Meskipun demikian kadang-kadang

terkandung hal-hal tertentu undang-undang tidak atau lupa mengaturnya

sehingga diserahkan kepada para pihak untuk mengaturnya sendiri.

Dengan demikian unsur accidentalia ini dapat berupa janji-janji yang

dibuat oleh para pihak karena undang-undang (yang bersifat menambah)

tidak mengaturnya atau berupa janji-janji yang dibuat para pihak dalam

hal mereka menyimpangi ketentuan yang bersifat menambah tersebut.

6. Akibat Hukum Perjanjian

KUH Perdata Buku III titel 2 bagian 3 yang berjudul tentang akibat

hukum perjanjian, dibuka dengan Pasal 1338 yang menyatakan : “ semua

perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi

mereka yang membuatnya.“

Dengan demikian setiap perjanjian yang dibuat “ secara sah “ berarti

memenuhi syarat untuk sahnya perjanjian yaitu ada kesepakatan untuk

membuat perjanjian, mereka yang bersepakat adalah orang yang cakap

untuk membuat perjanjian, prestasinya tertentu dan tujuan para pihak

22 Ibid., hal 73.

27

mengadakan perjanjian secara jelas tidak melanggar ketentuan undang-

undang, kesusilaan dan ketertiban umum, maka perjanjian mengikat para

pihak yang membuat perjanjian, seperti undang-undang yang mengikat

orang terhadap siapa undang-undang berlaku.

Perjanjian yang dibuat secara sah tidak dapat dibatalkan secara

sepihak. Pembatalan hanya dapat dilakukan atas dasar kesepakatan antara

para pihak yang membuatnya untuk membatalkan perjanjian yang telah ada

tersebut. Dengan demikian perjanjian yang dibuat secara sah berlaku

mengikat dan para pihak wajib melaksanakan ketentuan-ketentuan yang ada

dalam perjanjian.

Sampai kapankah perjanjian mengikat atau sampai kapan suatu

perjanjian itu berakhir ? Pada asasnya perjanjian berakhir kalau akibat-

akibat hukum yang dituju telah selesai terpenuhi.

7. Risiko

Yang dimaksud dengan risiko adalah suatu kewajiban untuk

menanggung kerugian sebagai akibat dari adanya suatu peristiwa atau

kejadian yang menimpa obyek perjanjian dan bukan karena kesalahan dari

salah satu pihak.23 Hal itu berarti risiko berpokok pangkal pada suatu

peristiwa diluar kesalahan salah satu pihak yang mengadakan perjanjian,

atau dengan kata lain berpokok pangkal pada kejadian yang didalam hukum

dinamakan : keadaan memaksa. Dengan demikian maka risiko adalah

merupakan kelanjutan dari keadaan memaksa.

23 A. Qirom Syamsudin Meliala, op.cit, hlm. 49.

28

a. Resiko pada Perjanjian Sepihak

Pasal 1237 KUH Perdata : “Dalam hal adanya perikatan untuk

memberikan sesuatu kebendaan tertentu, kebendaan itu semenjak

perikatan dilahirkan, adalah atas tanggungan si berpiutang”. Ketentuan

ini terletak pada bab tentang perikatan pada umumnya; jadi disini diatur

tentang perikatan dalam bentuk dasarnya yaitu hubungan dalam lapangan

hukum kekayaan, dimana disatu pihak ada hak (kreditur) dan dilain pihak

ada kewajiban (debitur). Bentuk perikatan seperti ini muncul pada

perjanjian sepihak, seperti pada hibah.

Berdasarkan ketentuan tersebut benda yang harus diserahkan

menjadi tanggungan kreditur. Disini tidak dibicarakan siapa yang

bersalah, tetapi hanya dikatakan yang menanggung kerugian adalah

kreditur; maka ---ditafsirkan bahwa--- kalau terjadi kerugian pada benda

tertentu yang harus diserahkan dan tidak ada yang bersalah atas kerugian

itu, yang menanggung adalah kreditur. Dengan begitu, dalam perikatan

untuk memberikan suatu barang tertentu, jika barang ini sebelum

diserahkan, musnah atau rusak karena suatu peristiwa di luar kesalahan

salah satu pihak, kerugian ini harus dipikul oleh “si berpiutang”

(kreditur), yaitu pihak yang berhak menerima barang itu. Dalam bahasa

hukum dikatakan pada perikatan untuk memberikan suatu barang

tertentu, yang timbul dari suatu perjanjian yang sepihak resiko ada pada

kreditur.

29

b. Resiko pada Perjanjian Timbal Balik

Dalam perjanjian timbal balik prestasi yang satu berkaitan erat

sekali dengan prestasi yang lain; dijanjikannya prestasi yang satu adalah

dengan memperhitungkan akan diterimanya prestasi yang lain.

Pengaturan resiko dalam perjanjian timbal-balik, dimana kedua belah

pihak sama-sama berkewajiban memenuhi prestasi, dapat kita simpulkan

dari pengaturan yang terdapat dalam Pasal 1444 ayat (1) KUH Perdata

yang menyatakan :

“Jika barang tertentu yang menjadi bahan persetujuan, musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang, sedemikian hingga samasekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang di luar salahnya si berutang, dan sebelum ia lalai menyerahkannya.”

Disini ditentukan, apabila suatu barang tertentu yang menjadi

bahan perjanjian musnah tak dapat lagi diperdagangkan atau hilang diluar

salahnya si berutang maka perikatan antara pihak-pihak yang membuat

perjanjian menjadi hapus; dan karena seluruh perikatan hapus, maka

dengan sendirinya pihak yang membuat perjanjian tidak dapat menuntut

sesuatu apapun antara yang satu terhadap yang lain.

Hal itu berarti apabila barang yang menjadi obyek perjanjian

timbal-balik selama belum diserahkan telah musnah tak lagi dapat

diperdagangkan atau hilang diluar salahnya salah satu pihak, maka

risikonya ditanggung oleh pemilik; Karena terhadap barang miliknya,

pemilik yang harus menyerahkan barangnya, berkedudukan sebagai

debitur, maka disini dikatakan risiko kerugian dipikul oleh debitur.

30

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa berdasarkan Pasal 1444

KUH Perdata, resiko pada perjanjian timbal-balik ditanggung oleh

pemilik atau debitur.

Karena Pasal 1444 KUH Perdata ini termuat dalam Bagian Umum

Buku III KUH Perdata, maka pasal tersebut merupakan ketentuan umum

tentang resiko yang menjadi pedoman bagi perjanjian-perjanjian pada

umumnya. Pasal 1237 KUH Perdata sebagai pedoman tentang resiko

bagi perjanjian sepihak. Sedangkan Pasal 1444 KUH Perdata sebagai

pedoman tentang resiko bagi perjanjian timbal-balik.

Kecuali perihal resiko ini diatur dalam pasal-pasal Bagian Umum

Buku III KUH Perdata yang menjadi pedoman bagi perjanjian pada

umumnya, yang dirasakan mengatur tentang resiko itu sudah seadilnya,

perihal resiko juga diatur dalam pasal-pasal Bagian Khusus Buku III

KUH Perdata tentang perjanjian-perjanjian tertentu pada pasal-pasal

tertentu pula. Misalnya dalam perjanjian jual-beli resikonya diatur pada

Pasal 1460, 1461 dan 1462 KUH Perdata, dalam perjanjian tukar-

menukar resikonya diatur pada Pasal 1545 KUH Perdata, selanjutnya

dalam perjanjian sewa-menyewa resikonya diatur dalam Pasal 1553

KUH Perdata dan lain sebagainya.

Pasal-pasal KUH Perdata yang megatur resiko dalam perjanjian-

perjanjian jual-beli, tukar-menukar, dan sewa-mnyewa itu dirasakan

sebagai sudah seadilnya sesuai dengan Pasal 1444 KUH Perdata. Kecuali

Pasal 1460 KUH Perdata yang mengatur resiko secara tidak adil,

31

sehingga Mahkamah Agung dengan Surat Edarannya No. 3 tahun 1963

menyatakan Pasal 1460 tersebut tidak berlaku lagi.

Kemudian bilamana ketentuan mengenai resiko ini kita hubungkan

dengan asas kebebasan berkontrak yang menentukan bahwa semua orang

dapat membuat perjanjian yang bagaimanapun isinya asal tidak

bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum,

maka dapat dikatakan bahwa pengaturan mengenai resiko ini inkonkreto

diserahkan kepada para pihak yang membuat perjanjian untuk mengatur

dan menentukan sendiri sedemikian rupa, bagaimana perihal resiko itu

diinginkan mereka.

C. Perjanjian Sewa Menyewa

1. Pengertian Perjanjian Sewa Menyewa

Perjanjian sewa-menyewa diatur di dalam babVII Buku III KUH

Perdata yang berjudul “Tentang Sewa-Menyewa” yang meliputi pasal 1548

sampai dengan pasal 1600 KUH Perdata. Definisi perjanjian sewa-menyewa

menurut Pasal 1548 KUH Perdata menyebutkan bahwa: “ Perjanjian sewa-

menyewa adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu

mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainya

kenikmatan dari suatu barang, selama waktu tertentu dan dengan

pembayaran suatu harga, yang oleh pihak tersebut belakangan telah

disanggupi pembayaranya.”

32

Sewa-menyewa dalam bahasa Belanda disebut dengan

huurenverhuur dan dalam bahasa Inggris disebut dengan rent atau hire .

Sewa-menyewa merupakan salah satu perjanjian timbal balik.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia sewa berarti pemakaian sesuatu

dengan membayar uang sewa dan menyewa berarti memakai dengan

membayar uang sewa.24 Yahya Harahap menyebutkan bahwa : “sewa-

menyewa adalah persetujuan antara pihak yang menyewakan dengan pihak

penyewa. Pihak yang menyewakan menyerahkan barang yang hendak

disewa kepada pihak penyewa untuk dinikmati sepenuhnya”.25

Menurut Wiryono Projodikoro sewa-menyewa barang adalah suatu

penyerahan barang oleh pemilik kepada orang lain itu untuk memulai dan

memungut hasil dari barang itu dan dengan syarat pembayaran uang sewa

oleh pemakai kepada pemilik.26

Berdasarkan beberapa pengertian perjanjian sewa-menyewa di atas

dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri dari perjanjian sewa-menyewa, yaitu:

a. Ada dua pihak yang saling mengikatkan diri

Pihak yang pertama adalah pihak yang menyewakan yaitu pihak yang

mempunyai barang. Pihak yang kedua adalah pihak penyewa, yaitu pihak

yang membutuhkan kenikmatan atas suatu barang. Para pihak dalam

perjanjian sewa-menyewa dapat bertindak untuk diri sendiri, kepentingan

pihak lain, atau kepentingan badan hukum tertentu.

24 Kamus Besar Bahasai Indonesia, hal 833. 25 Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, hal 240. 26 Wiryono Projodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, hal

190.

33

b. Ada unsur pokok yaitu barang, harga, dan jangka waktu sewa

Barang adalah harta kekayaan yang berupa benda material, baik bergerak

maupun tidak bergerak. Harga adalah biaya sewa yang berupa sebagai

imbalan atas pemakaian benda sewa. Dalam perjanjian sewa-menyewa

pembayaran sewa tidak harus berupa uang tetapi dapat juga mengunakan

barang ataupun jasa (pasal 1548 KUH Perdata). Hak untuk menikmati

barang yang diserahkan kepada penyewahanya terbatas pada jangka

waktu yang ditentukan kedalam perjanjian.27

c. Ada kenikmatan yang diserahkan

Kenikmatan dalam hal ini adalah penyewa dapat menggunakan barang

yang disewa serta menikmati hasil dari barang tersebut. Bagi pihak yang

menyewakan akan memperoleh kontra prestasi berupa uang, barang, atau

jasa menurut apa yang diperjanjikan sebelumnya.

Perjanjian sewa-menyewa merupakan perjanjian konsensuil, yang

berarti perjanjian tersebut sah dan mengikat apabila sudah tercapai kata

sepakat diantara para pihak tentang unsur pokok perjanjian sewa-menyewa

yaitu barang dan harga. Di dalam KUH Perdata tidak dijelaskan secara tegas

tentang bentuk perjanjian sewa-menyewa sehingga perjanjian sewa-

menyewa dapat dibuat secara lisan maupun tertulis. Bentuk perjanjian sewa-

menyewa dalam praktek khususnya sewa-menyewa bangunan dibuat dalam

bentuk tertulis.

2. Subyek dan Obyek Perjanjian Sewa menyewa

27 Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, cetakan ke sepuluh, CV. Citra Aditya Bakti, Bandung,

hlm 40.

34

Pihak-pihak yang terlibat dalam Perjanjian sewa-menyewa adalah :

a. Pihak yang menyewakan

Pihak yang menyewakan adalah orang atau badan hukum yang

menyewakan barang atau benda kepada pihak lainya untuk dinikmati

kegunaan benda tersebut kepada penyewa. Pihak yang menyewakan

barang atau benda tidak harus pemilik benda sendiri tetapi semua orang

yang atas dasar hak penguasaan untuk memindahkan pemakaian barang

ke tangan orang lain. Hal tersebut dikarenakan didalam sewa-menyewa

yang diserahkan kepada pihak penyewa bukanlah hak milik atas suatu

barang melainkan hanya pemakaian atau pemungutan atas hasil dari

barang yang disewakan.

b. Pihak Penyewa

Pihak penyewa adalah orang atau badan hukum yang menyewa barang

atau benda dari pihak yang menyewakan.

Obyek barang yang dapat disewakan menurut Hofmann dan De Burger,

yang dapat di sewa adalah barang bertubuh saja, namun ada pendapat

lain yaitu dari Asser dan Van Brekel serta Vollmar berpendapat bahwa

tidak hanya barang-barang yang bertubuh saja yang dapat menjadi obyek

sewa melainkan hak-hak juga dapat disewa, pendapat ini diperkuat

dengan adanya putusan Hoge Raad tanggal 8 Desember 1922 yang

menganggap kemungkinan ada persewaan suatu hak untuk memburu

hewan (jachtrecht).28

28 Wiryono Projodikoro, Op. cit, hlm 50.

35

Tujuan dari diadakanya perjanjian sewa-menyewa adalah untuk

memberikan hak pemakaian kepada pihak penyewa sehingga benda yang

bukan bersetatus hak milik dapat disewakan oleh pihak yang mempunyai

hak atas benda tersebut. Jadi benda yang dapat disewakan oleh pihak yang

menyewakan dapat berupa hak milik, hak guna usaha, hak pakai, hak

mengunakan hasil, hak pakai, hak sewa (hak sewa kedua) dan hak guna

bangunan.

Perjanjian sewa-menyewa menurut Van Brekel, bahwa harga sewa

dapat berwujud barang-barang lain selain uang, namun barag-barang

tersebut harus merupakan barang-barang bertubuh, karena sifat dari

perjanjian sewa-menyewa akan hilang jika harga sewa dibayar dengan suatu

jasa. Pendapat tersebut bertentangan dengan pendapat dari Subekti yang

berpendapat bahwa dalam perjanjian sewa-menyewa tidaklah menjadi

keberatan apabila harga sewa tersebut berupa uang, barang ataupun jasa.29

Jadi obyek dari perjanjian sewa-menyewa adalah segala jenis benda, baik

benda bergerak maupun benda tidak bergerak, benda berwujud maupun

benda tidak berwujud.

3. Hak dan Kewajiban

a. Hak dan Kewajiban Para pihak

Perjanjian sewa-menyewa merupakan perjanjian timbal balik

sehingga ada hak dan kewajiban yang membebani para pihak yang

melakukan perjanjian. Kewajiban pihak yang menyewakan dapat

29 Subekti, Op. cit, hlm 91.

36

ditemukan di dalam pasal 1550 KUH Perdata. Kewajiban-kewajiban

tersebut, yaitu :

1) Menyerahkan barang yang disewakan kepada penyewa.

2) Memelihara barang yang disewakan sedemikian rupa sehingga

barang tersebut dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksudkan.

3) Memberikan si penyewa kenikmatan yang terteram dari pada barang

yang disewakan selama berlangsungnya sewa-menyewa.

Kewajiban pihak yang menyewakan adalah menyerahkan barang

yang disewa untuk dinikmati kegunaan barang tersebut bukan hak

miliknya. Tentang pemeliharaan barang yang disewakan pihak yang

menyewakan barang diwajibkan untuk melakukan perbaikan-perbaikan

yang diperlukan atas barang yang disewakan. Ketentuan tersebut diatur

di dalam Pasal 1551 ayat (2) KUH Perdata yang berbunyi: “Ia harus

selama waktu sewa menyuruh melakukan pembetulan-pembetulan pada

barang yang disewakan, yang perlu dilakukan kecuali pembetulan-

pembetulan yang menjadi wajibnya si penyewa.”

Pasal 1552 KUH Perdata mengatur tentang cacat dari barang yang

disewakan. Pihak yang menyewakan diwajibkan untuk menanggung

semua cacat dari barang yang dapat merintangi pemakaian barang yang

disewakan walaupun sewaktu perjanjian dibuat pihak-pihak tidak

mengetahui cacat tersebut. Jika cacat tersebut mengakibatkan kerugian

bagi pihak penyewa maka pihak yang menyewakan diwajibkan untuk

menganti kerugian.

37

Pihak yang menyewakan diwajibkan untuk menjamin tentang

gangguan atau rintangan yang menggangu penyewa menikmati obyek

sewa yang disebabkan suatu tuntutan hukum yang bersangkutan dengan

hak milik atas barangnya. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan pasal

1556 dan 1557 KUH Perdata. Jika terjadi yang demikian, maka penyewa

berhak menuntut suatu pengurangan harga sewa menurut imbangan,

asalkan ganguan dan rintangan tersebut telah di beritahukan kepada

pemilik. Akan tetapi pihak yang menyewakan tidak diwajibkan untuk

menjamin sipenyewa terhadap rintangan-rintangan dalam menggunakan

barang sewa yang dilakukan oleh pihak ketiga dengan peristiwa yang

tidak berkaitan dengan tuntutan atas hak milik atas barang sewa.

Pihak yang menyewakan disamping dibebani dengan kewajiban

juga menerima hak. Hak-hak yang diperoleh pihak yang menyewakan

dapat disimpulkan dari ketentuan pasal 1548 KUH Perdata, yaitu:

1) Menerima uang sewa sesuai dengan jangka waktu yang telah

ditentukan dalam perjanjian;

2) Menegur penyewa apabila penyewa tidak menjalankan kewajibanya

dengan baik.

Pasal 1560, 1564, dan 1583 KUH Perdata menentukan bahwa pihak

penyewa memiliki kewajiban-kewajiban, yaitu:

1) Memakai barang yang disewa sebagai bapak rumah yang baik,

sesuai dengan tujuan yang diberikan pada barang itu menurut

38

perjanjian sewanya, atau jika tidak ada perjanjian mengenai itu,

menurut tujuan yang dipersangkakan berhubungan dengan keadaan

2) Membayar harga sewa pada waktu-waktu yang telah ditentukan.

3) Menanggung segala kerusakan yang terjadi selama sewa-menyewa,

kecuali jika penyewa dapat membuktikan bahwa kerusakan tersebut

terjadi bukan karena kesalahan si penyewa.

4) Mengadakan perbaikan-perbaikan kecil dan sehari-hari sesuai

dengan isi perjanjian sewa-menyewa dan adat kebiasaan setempat.

Pihak penyewa memiliki hak, yaitu:

1) Menerima barang yang disewa

2) Memperoleh kenikmatan yang terteram atas barang yang disewanya

selama waktu sewa.

3) Menuntut pembetulan-pembetulan atas barang yang disewa, apabila

pembetulan-pembetulan tersebut merupakan kewajiban pihak yang

menyewakan.

4. Risiko dalam Perjanjian Sewa-Menyewa

Risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian yang disebabkan

oleh suatu peristiwa yang terjadi diluar kesalahan salah satu pihak, yang

menimpa barang yang menjadi obyek dari suatu perjanjian.30 Risiko

merupakan suatu akibat dari suatu keadaan yang memaksa (Overmacht)

sedangkan ganti rugi merupakan akibat dari wanprestasi.

30 Subekti, Op. cit, hlm 92

39

Pembebanan risiko terhadap obyek sewa didasarkan terjadinya suatu

peristiwa diluar dari kesalahan para pihak yang menyebabkan musnahnya

barang / obyek sewa. Musnahnya barag yang menjadi obyek perjajian sewa-

menyewa dapat dibagi menjadi dua macam yaitu :

a. Musnah secara total (seluruhnya)

Jika barang yang menjadi oyek perjanjian sewa-menyewa musnah

yang diakibatkan oleh peristiwa di luar kesalahan para pihak maka

perjanjian tersebut gugur demi hukum. Pengertian musnah disini berarti

barang yang menjadi obyek perjanjian sewa-menyewa tidak lagi bisa

digunakan sebagai mana mestinya, meskipun terdaat sisa atau bagian

kecil dari barang tersebut masih ada.

Ketentuan tersebut diatur di dalam pasal 1553 KUH Perdata yang

menyatakan jika musnahnya barang terjadi selama sewa-menyewa

berangsung yang diakibatkan oleh suatu keadaan yang diakibatkan oleh

suatu keadaan yang tidak bisa dipertanggung jawabkan pada salah satu

pihak maka perjanjian sewa-menyewa dengan sendirinya batal.

b. Musnah sebagian

Barang yang menjadi obyek perjanjian sewa-menyewa disebut

musnah sebagian apabila barang tersebut masih dapat di gunakan dan

dinikmati kegunaanya walaupun bagian dari barang tersebut telah

musnah. Jika obyek perjanjian sewa-menyewa musnah sebagian maka

penyewa mempunyai pilihan, yaitu :

40

1) Meneruskan perjanjian sewa-menyewa dengan meminta

pengurangan harga sewa.

2) Meminta pembatalan perjanjian sewa-menyewa.

5. Mengulang sewakan dan melepas sewa kepada pihak ke tiga

Pihak penyewa dilarang untuk mengulang sewakan obyek sewa

kepada pihak ketiga tanpa sepengetahuan dan persetujuan dari pemilik

obyek sewa. Mengenai hal ini diatur di dalam pasal 1559 ayat (1) KUH

Perdata yang menyatakan bahwa :

“Si penyewa, jika kepadanya tidak telah diperzinkan, tidak diperbolehkan

mengulang sewakan barang, yang disewanya, ataupun melepas sewanya

kepada orang lain, atas ancaman pembatalan perjanjian sewa dan pengantian

biaya, rugi, dan bunga, sedangkan pihak yang menyewakan, setelah

pembatalan itu, tidak diwajibkan mentaati perjanjian ulang sewa.”

Dari ketentuan Pasal 1559 ayat (1) KUH Perdata dapat diketahui bahwa :

a. Mengulang sewakan obyek sewa kepada pihak ketiga hanya dapat

dilakukan oleh seorang penyewa, apabila diperbolehkan di dalam

perjanjian sewa menyewa atau disetujui oleh para pihak;

b. Jika pihak penyewa mengulang sewakan obyek sewa tanpa ijin, pihak

yang menyewakan dapat menuntut pembatalan perjanjian sewa dan

setelah pembatalan tidak tunduk pada perjanjian ulang sewa.

Perbuatan hukum berupa melakukan sewa ulang atau melepaskan

sewa, keduanya adalah dilarang; kecuali memang telah diperjanjikan

sebelumnya antara pihak penyewa dengan pihak yang menyewakan. Yang

41

dimaksud dengan mengulang sewakan adalah pihak penyewa bertindak

sendiri sebagai pihak yang menyewakan obyek sewa dalam suatu perjanjian

sewa menyewa yang diadakan olehnya dengan pihak ketiga. Sedangkan

yang dimaksud dengan melepaskan sewanya adalah pihak penyewa

mengundurkan diri sebagai pihak yang menyewa dan menyuruh pihak

ketiga untuk menggantikan kedudukannya sebagai penyewa, sehingga pihak

ketiga berhadapan sendiri dengan pihak yang menyewakan.

6. Berakhirya Perjanjian Sewa Menyewa

Dalam KUH Perdata pengaturan mengenai berakhirnya perjanjian

sewa menyewa dibedakan berdasarkan bentuk perjanjiannya, yaitu apakah

sewa menyewa itu dibuat secara tertulis ataukah dilakukan secara lisan, dan

juga apakah perjanjian sewa menyewa itu dibuat dengan batas waktu

ataukah tidak. Dengan demikian pembedaan itu didasarkan pada dua hal,

yaitu bentuk perjanjian dan ketentuan waktu. Berikut ini uraian mengenai

berakhirnya perjanjian sewa menyewa.

a. Perjanjian sewa menyewa dengan batas waktu.

1) Perjanjian sewa menyewa tertulis.

Dalam Pasal 1570 KUH Perdata disebutkan bahwa : “ jika sewa

dibuat dengan tulisan, maka sewa tersebut berakhir demi hukum,

apabila waktu yang ditentukan telah lampau tanpa diperlukanya

suatu pemberitahuan untuk itu”.

Dengan demikian apabila perjanjian sewa menyewa dibuat secara

tertulis, maka perjanjian itu berakhir setelah jangka waktu sewa

42

selesai. Untuk pengakhirannya tanpa harus didahului adanya

pemberitahuan atau somasi.

2) Perjanjian sewa menyewa lisan.

Diatur dalam pasal 1571 KUH Perdata yang berbunyi: “jika sewa

tidak dibuat dengan tulisan, maka sewa tersebut tidak berakhir pada

waktu yang telah ditentukan, melainkan jika pihak lain menyatakan

bahwa ia hendak menghentikan sewanya, dengan mengindahkan

tenggang waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat.”

b. Batas akhir sewa-menyewa tidak ditentukan waktunya.

Penghentian atau berakhirnya waktu sewa dalam perjanjian sewa-

menyewa seperti ini didasarkan pada pedoman bahwa berakhirnya

sewa-menyewa pada saat yang dianggap pantas oleh para pihak.

Undang-undang tidak mengatur berakhirnya perjanjian sewa-menyewa

tanpa batas waktu, sehingga penghentianya diserahkan pada

kesepakatan kedua belah pihak.

c. Berakhirnya sewa-menyewa dengan ketentuan khusus

1) Permohonan / pernyataan dari salah satu pihak

Penghentian perjanjian sewa-menyewa hanya dapat dilakukan atas

persetujuan dua belah pihak yaitu pihak yang menyewakan dengan

pihak penyewa. Penghentian karena kehendak para pihak ini bisa

dilakukan tanpa putusan dari pengadilan. Di atur di dalam pasal

1579 KUH Perdata yang menyatakan bahwa pemilik barang tidak

dapat menghentikan sewa dengan mengatakan bahwa ia akan

43

mengunakan sendiri barangnya, kecuali apabila waktu membentuk

perjanjian sewa-menyewa ini diperbolehkan.

2) Putusan Pengadilan

Penghentian hubungan sewa-menyewa yang dikehendaki oleh salah

satu pihak saja, hanya dapat dilakukan dengan putusan pengadilan

seperti yang diatur di dalam pasal 10 ayat (3) PP No. 49 Tahun

1963 jo PP No. 55 Tahun 1981.

3) Benda obyek sewa-menyewa musnah

Pasal 1553 KUH Perdata mengatur apabila benda sewaan musnah

sama sekali bukan karena kesalahan salah satu pihak, maka

perjanjian sewa-menyewa gugur demi hukum. Dengan demikian

perjanjian berakhir bukan karena kehendak para pihak melainkan

karena keadaan memaksa (Overmacht).

44

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode Pendekatan

Metode penelitian yang dipakai adalah penelitian yuridis normatif yaitu

penelitian yang menggunakan legis positivis, yang menyatakan bahwa hukum

identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh

lembaga atau pejabat yang berwenang. Selain itu konsepsi ini memandang

hukum sebagai suatu sistem normatif yang bersifat otonom, tertutup dan

terlepas dari kehidupan masyarakat.31

B. Spesifikasi Penelitian

Dalam penelitian ini dipergunakan spesifikasi penelitian deskriptif.

yaitu suatu penelitian yang menggambarkan keadaan obyek yang akan

diteliti.32 Penelitian deskriptif tidak dimaksudkan untuk mengambil kesimpulan

secara umum, akan tetapi berupa analisis yang mendalam terhadap obyek yang

diteliti.

C. Bahan Hukum

a. Bahan Hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif

artinya memiliki suatu otoritas, mutlak dan mengikat33. Bahan hukum

primer yang dipakai dalam penelitian ini adalah semua peraturan yang

berkaitan dengan pengaturan mengenai perjanjian sewa menyewa.

31Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group,

Jakarta, hal..37. 32Bambang Sunggono, 2006, Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada,

Jakarta, hal.. 35. 33Ibid, hal.. 113.

45

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer, berupa hasil karya dari kalangan hukum

dalam bentuk buku-buku atau artikel. Bahan hukum sekunder yang

digunakan dengan penelitian ini terdiri dari literatur hukum, hasil penelian

para sarjana dan berbagai artikel perjanjian sewa menyewa.

D. Metode Pengambilan Bahan hukum

a. Bahan hukum primer diperoleh dengan melakukan inventarisasi hukum,

mempelajari, mencatat dan mensistematisasi berbagai peraturan mengenai

sewa menyewa.

b. Bahan hukum sekunder diperoleh dengan melakukan inventarisasi dokumen

resmi, literatur, hasil penelitian dan artikel ilmiah yang relevan.

E. Metode Penyajian Bahan Hukum

Hasil penelitian disajikan dalam bentuk teks naratif yang disusun secara

sistematis.

F. Analisis Bahan Hukum

Analisis bahan hukum dilakukan secara kualitatif, yaitu dengan

menjabarkan dan menginterpretasikan hasil penelitian berlandaskan pada teori-

teori ilmu hukum (Theoritical Interpretation) yang ada.34 Berdasarkan hasil

pembahasan diambil kesimpulan sebagai jawaban terhadap permasalahan yang

diteliti.

34 Ronny H. Soemitro, 1983, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta,

hal..93.

46

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Penelitian ini dilakukan terhadap data sekunder berupa perjanjian sewa

lokasi pemasangan reklame dengan pokok-pokok sebagai berikut :

1. Subyek Perjanjian :

1.1. Pemberi sewa adalah Suprayogi, selaku Direktur PT. Maju Makmur

Abadi yang berkedudukan di. Jl. Gadjah Mada No. 56 Semarang.

1.2. Penyewa adalah Handoko selaku Direktur PT. Hannochs, yang

berkedudukan di Jl. Kartini No. 35 Jakarta Pusat.

2. Lingkup Perjanjian :

Pihak Pertama member ijin kepada Pihak Kedua yang menyatakan setuju

menyewa lokasi Billboard milik Pihak Pertama untuk mempromosikan

produk milik Pihak Kedua dengan pemasangan 1 (satu) buah billboard

ukuran 5 m x 10 m x 1 muka, vertikal, frontlite yang dipasang pada

konstruksi milik Pihak Pertama yang terletak di Jl. Ahmad Yani Semarang.

3. Jangka Waktu Sewa :

Jangka waktu untuk pemasangan billboard tersebut selama 1 ( satu ) tahun

terhitung sejak visual / MMT billboard pertama kali dipasang dan bisa

diperpanjang dengan kententuan selambat-lambatnya 2 ( dua ) bulan

sebelum masa kontrak berakhir.

4. Harga Sewa :

47

4.1. Harga kontrak sewa lokasi tersebut sebesar Rp.135.000.000, (Seratus

Tiga Puluh Lima Juta Rupiah) belum termasuk PPN 10%.

4.2. Harga kontrak tersebut diatas termasuk penyediaan berbagai fasilitas

berupa :

a. Perijinan dan pajak reklame selama 1 (satu) tahun.

b. Sewa lahan pemkot selama 1 ( Satu ) tahun.

c. Sewa konstruksi dan panel billboard 1 muka selama 1 ( satu ) tahun .

d. Sambungan listrik dan instalasinya.

e. Lampu penerangan HPIT @ 400W= 4 unit menyala mulai pukul

17.30 s/d 05.00 WIB.

f. Rekening listrik bulanan selama 12 ( dua belas ) bulan .

g. Perawatan selama 1 (m satu ) tahun.

h. Dua (2) kali cetak materi visual Flexface Fronlite ( MMT ) 5 x 10m.

i. Gratis biaya pemasangan materi visual selama dua (2) kali selama

masa kontrak.

j. Maintenance.

5. Pembayaran :

5.1. Uang sewa harus dibayar sebesar 50% saat penandatangan kontrak

sewa billboard.

5.2. Pembayaran pelunasan setelah pekerjaan selesai yang dibuktikan

dengan Berita Acara Serah Terima Pekerjaan.

48

5.3. Pembayaran dilakukan melalui transfer ke rekening bank yaitu BCA

Cabang Semarang Barat an. PT. Maju makmur Abadi No. Rek.

420xxxxxx.

6. Hak dan Kewajiban :

6.1. Pemberi sewa memberikan persetujuan dan ijin untuk menampilkan

produk milik Penyewa selama masa kontrak.

6.2. Pemberi sewa menjamin tidak akan ada tuntutan dari pihak manapun

sehubungan dengan pemasangan Billboard di lokasi tersebut, namun

apabila hal tersebut terjadi, maka Penyewa bebas dari segala tuntutan,

dan Pemberi sewa juga menjamin bahwa papan reklame / billboard

yang terpasang tidak tertutup atau terhalang bangunan / apapun

didepanya sehingga dapat terlihat oleh khalayak umum.

6.3. Apabila dikemudian hari Pemkot Kota Semarang mengeluarkan

peraturan baru atau peraturan tambahan yang mengakibatkan reklame

dimaksud ditiadakan, sedangkan masa kontrak belum berakhir maka

kedua belah pihak sepakat untuk mencari lokasi pengganti yang tata

letaknya bisa diterima oleh kedua belah pihak.

7. Pembongkaran Reklame :

7.1. Apabila jangka waktu perjanjian berakhir dan tidak diperpanjang lagi

oleh Penyewa, maka Pemberi Sewa akan menurunkan visual Reklame

beserta lampu-lampu yang telah terpasang dibeberapa lokasi dalam

jangka waktu 14 ( empat belas ) hari kerja terhitung sejak pihak

Pemberi Sewa menerima konfirmasi tertulis dari Penyewa.

49

7.4. Biaya pembongkaran dan pemasangan kembali papan reklame menjadi

beban dan tanggung jawab Pemberi Sewa.

8. Force Majeure :

8.1.Tidak satupun pihak dalam perjanjian ini yang bertanggung jawab atas

kegagalan dalam melaksanakan ketentuan–ketentuan perjanjian ini atau

mengakhiri perjanjian ini apabila pelaksanaan kewajiban tertunda, tidak

dapat dilaksanakan atau terganggu oleh alasan-alasan force majeure,

termasuk tetapi tidak terbatas pada:

a) Gempa bumi, taufan, banjir, tanah longsor, badai asteroid atau

bencana alam lainnya, bencana ruang angkasa, kontaminasi radio

aktif, pemberontakan, penyanderaan, hura-hura, demonstrasi,

pencurian, sabotase dan perang.

b) Pemogokan umum, penutupan tempat kerja sehubungan dengan

ancaman pemogokan , perselisihan perburuan , penghentian kerja,

embargo, atau kesulitan perburuhan.

c) Setiap peraturan hukum atau peraturan pemerintah lainnya termasuk

dicabutnya ijin penggunaan lokasi oleh pihak yang berwenang dan

kebijaksanaan permerintah yang berakibat langsung terhadap

pembangunan dan penggunaan obyek Sewa.

8.2. Apabila salah satu pihak terkana salah satu kejadian tersebut diatas,

maka pihak tersebut harus segera memberitahukan secara tertulis

kepada pihak lainnya tentang penyebab dan akibatnya dalam jangka

waktu 14 hari kalender.

50

8.3. Pemberi sewa akan menanggulangi kerusakan yang disebabkan oleh

kejadian Force Majeure secepatnya dan segera memberikan sesuatu

perkiraan waktu untuk penyelesaiannya kepada Penyewa. Untuk biaya

perbaikan atas kerusakkan Billboard yang disebabkan oleh kejadian

Force Majeure menjadi tanggungan Penyewa.

8.4. Jangka waktu yang hilang selama perbaikan akan diperhitungkan

kembali berdasarkan kesepakatan Para Pihak dan diatur secara tertulis

serta ditandatangani oleh kedua belah pihak.

8.5. Apabila kejadian-kejadian diatas berlangsung terus menerus untuk

jangka waktu selama 30 hari kalender berturut-turut, maka Para Pihak

dapat menghentikan sementara Perjanjian ini selama 30 hari kalender

atau melakukan pengakhiran perjanjian.

8.6. Selama jangka waktu penghentian sementara, Para Pihak akan berusaha

untuk mengambil semua tindakkan yang diperlukan untuk mencegah

atau mengurangi gangguan sehingga papan reklame dapat segera

dipasang kembali.

9. Sanksi dan Denda :

9.1. Apabila dalam jangka waktu 60 hari kerja terhitung sejak

penandatangan perjanjian ini Pemberi sewa tidak berhasil memasang

Billboard dan bukan disebabkan oleh keadaan force majeure, maka

Pemberi Sewa akan dikenakan denda sebesar 1% ( satu persen ) perhari

terhitung dari Billboard yang belum terpasang. Denda keterlambatan ini

hanya berlaku untuk 30 ( tiga puluh ) hari.

51

9.2. Apabila waktu 30 hari sebagaimana tersebut diatas telah lewat dan

Pemberi Sewa masih juga belum dapat menyelesaikan pekerjaannya,

maka wajib mengembalikan biaya pekerjaan yang telah dibayarkan dan

Penyewa berhak membatalkan perjanjian ini secara sepihak. Biaya

pekerjaan yang akan dikembalikan oleh Pemberi Sewa akan disesuaikan

dengan biaya pekerjaan perlokasi yang dapat terpasang Billboard.

9.3. Apabila keterlambatan pemasangan dikarenakan kelalaian Pihak

Penyewa antara lain kertelambatan persetujuan proof desain maka

sanksi dan denda tersebut di atas tidak berlaku. Proof desain yang telah

disetujui oleh Penyewa diterima oleh Pemberi Sewa paling lambat 30

(tiga puluh) hari terhitung sejak surat Perjanjian ditanda-tangani.

B. Pembahasan

Pembahasan yang akan dilakukan dalam penulisan hukum ini adalah

untuk memperoleh jawaban dari perumusan masalah yaitu pertama tentang

penafsiran terhadap pengertian atas benda obyek sewa khususnya dalam

peristiwa perjanjian sewa papan reklame (billboard) antara PT. Hannochs dan

PT. Maju Makmur Abadi dan cara menyerahkan benda obyek sewa dalam

perjanjian sewa papan reklame tersebut. Untuk itu pembahasan akan

dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap pertama pembahasan yang bersifat

teoritis tentang perjanjian sewa-menyewa akan diuraikan dalam Pembahasan

Umum, selanjutnya pembahasan dilanjutkan dengan menganalisis pelaksanaan

52

perjanjian sewa papan reklame (billboard) antara PT. Hannochs dan PT. Maju

Makmur Abadi.

1. Pembahasan umum

Pembahasan teoritis tentang perjanjian sewa-menyewa adalah kajian

untuk memahami bagaimanakah KUH Perdata memberikan perumusan

perjanjian sewa-menyewa, sebagai pengantar untuk membahas hubungan

hukum para pihak dalam perjanjian sewa-menyewa.

Dalam KUH Perdata perjanjian sewa-menyewa diatur dalam Buku III

Bab 7, bagian 1 mengatur pengertian sewa dan benda-benda yang dapat

disewakan yaitu benda bergerak dan benda tak bergerak. Akan tetapi bagian 2

dan 3 dan 4, hanya mengatur tentang sewa tanah, rumah dan isi rumah (huis

raad) seperti mebel, alat-alat dapur dan lain sebagainya dan sewa tanah

pertanian Sehingga untuk sewa-menyewa benda-benda bergerak lainnya,

Pasal-pasal dalam KUH Perdata digunakan secara analogi.

Pasal 1548 KUH Perdata menyatakan :

“Sewa menyewa ialah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari sesuatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran sesuatu harga, yang oleh pihak tersebut belakangan itu disanggupi pembayarannya.”

Berdasarkan rumusan tersebut maka dapat dinyatakan bahwa : Essesnsi dari

perjanjian sewa-menyewa adalah “kenikmatan atas suatu benda” dan “uang”

harga sewa; Causa atau tujuan para pihak dalam menutup perjanjan sewa

adalah : pihak yang satu berkehendak menyerahkan kenikmatan atas suatu

benda dalam jangka waktu tertentu, dan kehendak pihak lain untuk membayar

53

harganya. Sistem Hukum Perjanjian mengajarkan bahwa nama dari suatu

perjanjian merupakan suatu rumusan pengertian yang menunjukkan prestasi

pokok para pihak dalam perjanjian dimaksud. Dengan demikian berdasarkan

rumusan perjanjian sewa tersebut dapat dipahami kewajiban pokok para pihak

adalah sebagai berikut :

- Kewajiban pemberi sewa adalah menyerahkan kenikmatan atas suatu

benda. Kewajiban pokok pemberi sewa mendapat penjabaran dalam

Pasal 1550 KUH Perdata yang menyatakan adanya tiga macam

kewajiban yaitu :

1) menyerahkan barang yang disewakan kepada penyewa;

2) memelihara barang sedemikian rupa, sehingga barangnya

dapat dipakai untuk keperluan dimaksud;

3) memberikan ketenteraman menikmati barang yang disewakan

selama sewa berjalan.

- Kewajiban penyewa adalah membayar uang sewa. Kewajiban pokok

penyewa mendapat penjabaran dalam Pasal 1560 KUH Perdata yang

menyatakan adanya tiga macam kewajiban yaitu :

1) memakai barang yang disewa secara sangat hati-hati (als een

goed huisvader) dan menurut tujuan serta maksud menurut

perjanjian sewa;

2) membayar uang sewa pada waktu-waktu yang telah ditentukan.

54

Untuk memahami bagaimana makna benda sebagai obyek sewa,

pertama-tama harus diawali dengan analisis mengenai hak milik sebagai dasar

munculnya hak-sewa.

Pasal 570 KUH Perdata menentukan bahwa : “Hak milik adalah hak

untuk menikmati kegunaan suatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk

berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal

tidak bersalahan ………….. “ Berdasarkan rumusan tersebut dapat dipahami

bahwa ada dua hak yang merupakan isi dari hak milik yaitu : 1) hak untuk

menikmati sesuatu benda dengan leluasa (genotsrecht) dan 2) hak untuk

berbuat bebas terhadap bendanya (beschikkingsrecht). Yang dimaksud dengan

hak menikmati (genotsrect) adalah hak memakai benda sesuai dengan sifatnya

benda, termasuk dalam pengertian ini adalah memetik hasilnya. Adapun hak

untuk berbuat bebas terhadap bendanya (beschikkingsrecht) dibedakan

menjadi dua arti. Pertama, perbuatan materiil yaitu perbuatan yang tertuju

pada materi bendanya seperti memelihara, merubah, memperbaiki bahkan

merusaknya. Yang kedua, perbuatan hukum, yaitu perbuatan-perbuatan yang

diatur oleh hukum terhadap bendanya, seperti : meminjamkan, menitipkan,

menjual dan menyewakan.

Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa yang menjadi obyek

perjanian sewa adalah benda hak milik, sedangkan yang diserahkan kepada

penyewa adalah hak menikmatinya (genotsrecht) saja, bukan hak miliknya.

Mengenai benda apa yang dapat disewakan ?, Pasal 1548 KUH

Perdata hanya menyebutkan benda (zaak) saja. Menurut doktrin benda yang

55

dapat disewakan meliputi baik benda berwujud (lichmellijk zaken) maupun

benda tidak berwujud (onlichamelijk zaken) yang berupa “hak.” Hal ini

ditunjukkan oleh Pasal 772 KUH Perdata yang mengijinkan seorang yang

mempunyai hak memungut hasil atas suatu benda, boleh menyewakan hak

memungut hasilnya kepada orang lain.

Berdasarkan uraian tersebut dapat dipahami bahwa benda yang dapat

disewakan adalah benda hak milik, baik yang berwujud maupun yang tidak

berwujud, dan orang yang dapat menyewakan adalah pemilik, karena dia-lah

yang wenang bertindak bebas terhadap bendanya (bescikking bevoegdheid).

Bagaimana kalau benda sewa di sewakan lagi ?

Hal itu diatur dalam Pasal 1559 KUH Perdata yang menyatakan

meneruskan sewa hanya dapat terjadi apabila diperbolehkan dalam perjanjian

sewa-menyewa yang semula (asli). Kalau tidak dan kemudian bendanya toh

disewakan lagi kepada seorang pihak ketiga, maka pihak yang menyewakan

semula dapat menuntut pembatalan dengan disertai ganti rugi. Dan dengan ini

pecah pula perjanjian sewa-menyewa yang diadakan antara penyewa dengan

pihak ketiga.

Pasal 1559 KUH Perdata menggunakan dua istilah yang berbeda

tentang penyewaan terus, yaitu :

- menyewakan lagi (wederverhuren), artinya, dengan mempertahankan

perjanjian sewa-menyewa yang semula (asli), si penyewa mengadakan

perjanjian sewa-menyewa baru dengan seorang pihak ketiga, dalam mana

ia bertindak sebagai pihak yang menyewakan.

56

- menyerahkan sewanya kepada orang lain (zijn huur aan een ander

afstaan), artinya, penyerahan segala hak dan kewajiban si penyewa kepada

seorang pihak ketiga, sehingga seorang pihak ketiga itu selaku penyewa

baru mempunyai hubungan langsung dengan pihak yang menyewakan

semula.

Bagaimana penyerahan kemikmatan atas benda yang di sewakan ?

Berdasarkan rumusan dari perjanjian sewa dalam Pasal 1548 KUH

Perdata dapat dinyatakan bahwa yang dimaksud “hak sewa” adalah : hak

untuk menikmati benda orang lain (milik pemberi sewa) untuk sementara

waktu dengan membayar sejumlah uang. Selanjutnya Pasal 1550 KUH

Perdata memberikan kepada pemberi sewa suatu kewajiban pokok yaitu :

menyerahkan (leveren) bendanya kepada penyewa. Dari ketentuan tersebut

dapat disimpulkan bahwa, menurut KUH Perdata agar penyewa dapat

menikmati suatu benda yang disewa, maka penyewa harus menguasai

bendanya. Dengan demikian yang dimaksud dengan penyerahan benda sewa

adalah penyerahan kekuasaan atas benda sewa, sedangkan hak milik tetap

berada pada pemberi sewa.

Mengenai bagaimana cara melakukan penyerahan kekuasaan atas

benda sewa, ketentuan-ketentuan tentang perjanjian sewa-menyewa dalam

KUH Perdata, sama sekali tidak mengatur.

Untuk lebih memahami tentang penyerahan kekuasaan dalam arti

hukum, maka perlu dikemukakan disini mengenai makna penyerahan

(levering) dalam ranah hukum Benda.

57

Penyerahan (deliverance) mengandung dua aspek yaitu penyerahan

nyata (feitelijke levering) dan penyerahan yuridis (juridische levering).

1) Penyerahan nyata (feitelijke levering); yaitu penyerahan kekuasaan nyata

atas bendanya, sehingga orang lain (yang menerima) secara nyata

menguasai benda itu.35 Tujuannya adalah untuk memberikan kekuasaan

atau kenikmatan atas bendanya; yang ditonjolkan dalam penyerahan ini

adalah penyerahan phisik. Cara penyerahan nyata tidak diatur dalam

undang-undang. Penyerahan nyata tercapai jika si penerima telah mampu

untuk melakukan kekuasaan seperti kekuasaan yang dapat dilakukan

sendiri oleh orang yang memindahkannya.36 Penyerahan nyata atas benda

tidak bergerak dilakukan dengan mengosongkan tanah atau bangunan dan

membuka pagar, dan memberikan kunci.37

2) Penyerahan yuridis (juridische levering); yaitu penyerahan kekuasaan

hukumnya. Tujuannya adalah memberikan hak kebendaan-nya (hak

milik); oleh karena itu yang ditonjolkan dalam penyerahan ini adalah

pengoperan haknya. Berlainan dengan penyerahan nyata yang tidak perlu

diatur, maka penyerahan yuridis inilah yang memang harus diatur dalam

undang-undang. Tidak mengikuti cara penyerahan yuridis yang ditentukan

mengakibatkan tidak sahnya penyerahan yang dilakukan.

35 Chidir Ali, 1979, Hukum Perdatra I (Hukum Benda), Fakultas Hukum UNPAD, Tidak

Diterbitkan, hal 47. 36 Soetojo Prawirohamidjojo danMartalena Pohan, 1984, Bab-bab tentang Hukum Benda,

PT. Bina Ilmu, Surabaya, hal. 61. 37 Ko Tjay Sing, tanpa tahun, Hukum Perdata Jilid II Hukum Benda (Diktat Lengkap), tidak

diterbitkan. Semarang., hal 179.

58

2. Perjanjian sewa lokasi papan reklame (billboard) antara PT.

Hannochs dan PT. Maju Makmur Abadi.

Dari data no. 1 mengenai subyek perjanian, data no. 2 lingkup perjanjian

dan data no. 3 mengenai harga sewa, dapat dideskripsikan bahwa telah terjadi

perjanjian sewa antara PT. Maju Makmur Abadi dengan PT. Hannochs, yang

isinya PT. Maju Makmur Abadi memberi ijin kepada PT. Hannochs yang

menyatakan setuju menyewa lokasi Billboard milik PT. Maju Makmur Abadi

untuk mempromosikan produk milik PT. Hannochs dengan pemasangan 1

(satu) buah billboard ukuran 5 m x 10 m x 1 muka, yang terletak di Jl. Ahmad

Yani Semarang. Untuk jangka waktu 1 (satu) tahun, dan Penyewa mengikatkan

diri untuk membayar uang sewa sebesar Rp. 135.000.000,-.

Apabila hasil penelitian tersebut dihubungkan dengan pengertian

Essesnsi dari perjanjian sewa-menyewa yaitu “kenikmatan atas suatu benda”

dan “uang” harga sewa, maka dapat dinyatakan bahwa essensi perjanjian

tersebut adalah : “pemakaian lokasi papan reklame (billboard) untuk

mempromosikan produk” dan “harga sewa,” maka dapat dinyatakan bahwa

perjanjian tersebut telah memenuhi unsur essensial perjanjian sewa.

Apabila hasil penelitian tersebut dihubungkan dengan pengertian Causa

atau tujuan para pihak dalam menutup perjanjan sewa adalah : pihak yang satu

berkehendak menyerahkan kenikmatan atas suatu benda dalam jangka waktu

tertentu, dan kehendak pihak lain untuk membayar harganya, maka dapat

dinyatakan bahwa Causa dalam perjanjian sewa tersebut adalah :

59

- PT. Maju Makmur Abadi berkehendak menyerahkan “pemakaian lokasi

papan reklame (billboard) yang terletak di Jl. Ahmad Yani Semarang.”

untuk mempromosikan lampu neon produksi PT. Hannochs dengan

pemasangan 1 (satu) buah billboard ukuran 5 m x 10 m x 1 muka”

- PT. Hannochs berkehendak membayar harga sewa sebesar Rp.

135.000.000,- untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.

Dengan telah terpenuhinya unsur essensial dan causa perjanjian sewa-

menyewa maka dapat dinyatakan bahwa antara PT. Maju Makmur Abadi dan

PT. Hannochs telah terjadi perjanjan sewa-menyewa, sebagaimana diatur

dalam Pasal 1548 KUH Perdata, dengan rincian :

- Pemberi sewa : PT. Maju Makmur Abadi.

- Penyewa : PT. Hannochs

- Obyek sewa : Pemakaian lokasi papan reklame (billboard) di Jl. Ahmad

Yani Semarang” untuk mempromosikan lampu neon pro

duksi PT. Hannochs dengan pemasangan 1 (satu) buah

billboard ukuran 5 m x 10 m x 1 muka”

Berdasarkan uraian tersebut maka kewajiban pokok PT. Maju Makmur

Abadi.sebagai pemberi sewa adalah menyerahkan kenikmatan (genotsrecht)

berupa : “pemakaian lokasi papan reklame (billboard) di Jl. Ahmad

Yani Semarang untuk mempromosikan lampu neon produksi PT. Hannochs

dengan pemasangan 1 (satu) buah billboard ukuran 5 m x 10 m x 1 muka” atas

benda sewa.

60

a. Tentang benda sewa

Kewajiban pokok pemberi sewa mendapat penjabaran dalam Pasal 1550

KUH Perdata yang menyatakan kewajiban pokok pemberi sewa adalah :

“menyerahkan benda yang disewakan kepada penyewa.”

Untuk memberikan pemahaman tentang benda sewa tersebut, maka perlu

dianalisis tentang kedudukan pihak PT. Maju Makmur Abadi terhadap

lahan di Jl. Ahmad Yani Semarang, dalam skema berikut.

Pemkot Semarang

PT. Maju Makmur Abadi

PT. Hannochs

Pemberi sewa lahan

Jl. Ahmad Yani

Pemberi Ijin Lokasi

pemasangan iklan

Perjanjian

Sewa lahan

Penyewa lahan

Jl. Ahmad Yani

Pemegang Ijin Lokasi

pemasangan iklan

pemilik konstruksi papan

reklame

Perjanjian Sewa

Papan reklame diatas lahan Jl Ahmad Yani

PT. Hannochs

Penyewa Papan reklame

diatas lahan Jl Ahmad Yani

PT. Maju Makmur Abadi adalah perusahaan yang bergerak di bidang

usaha periklanan dalam bentuk media papan reklame, yang didirikan di

atas lahan milik Pemerintah Kota Semarang yang berlokasi di Jl Ahmad

Yani Semarang. Dalam menjalankan usahanya langkah-langkah yang

dijalankan adalah :

1) Menyewa lahan dengan Ijin Lokasi untuk pemasangan reklame di Jl.

Ahmad Yani Semarang dari Pemerintah Kota Semarang, kemudian

membangun konstruksi papan rekalme (Billboard).

61

2) Menyewakan Ijin Lokasi pemasangan reklame di Jl. Ahmad Yani

Semarang tersebut untuk pemasangan materi visual (pamlet) lampu

neon produksi PT. Hannoch pada papan reklame (Billboard).

Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa hubungan sewa-

menyewa antara PT. Maju Makmur Abadi dan PT. Hannoch pada

hakikatnya mengandung dua perjanjian sewa yaitu :

1) Perjanjian sewa papan reklame (Billboard) atas benda (hak) milik PT.

Maju Makmur Abadi;

2) Perjanian sewa lokasi pemasangan papan reklame (Billboard), atas hak

sewa Lokasi pemasangan reklame di Jl. Ahmad Yani Semarang milik

Pemerintah Kota Semarang.

Dalam sistem KUH Perdata, dibedakan dua kategori perjanjian

sewa, yaitu “penyewaan asli” dihadapkan dengan “penyewaan terusan.”

Persewaan asli mengandung pengertian, benda yang disewakan adalah

milik pemberi sewa; sedang “persewaan terusan” artinya benda yang

disewakan adalah benda yang disewa oleh pemberi sewa semula (asli).

Dalam Pasal 1559 KUH Perdata yang mengatur tentang “penyewaan

terus” dibedakan dua jenis perjanjian terusan, yaitu :

- menyewakan lagi (wederverhuren), atau

- menyerahkan sewanya kepada orang lain (zijn huur aan een ander

afstaan).

Apabila perjanjian sewa atas papan reklame (Billboard) milik PT.

Maju Makmur Abadi, dihubungkan dengan ketentuan Pasal 1559 KUH

62

Perdata, maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian sewanya termasuk

dalam kategori “persewaan asli.”

Apabila perjanjian sewa lokasi pemasangan papan reklame

(Billboard), atas hak sewa lokasi pemasangan reklame di Jl. Ahmad Yani

Semarang milik Pemerintah Kota Semarang ini dihubungkan dengan Pasal

1559 KUH Perdata yang mengatur tentang “penyewaan terus” ada dua

kemungkinan jenis perjanjian sewanya yaitu :

- menyewakan lagi (wederverhuren), atau

- menyerahkan sewanya kepada orang lain (zijn huur aan een ander

afstaan).

Dari data hasil penelitian no. 4.2. tentang isi perjanjian sewa mengenai

harga pembayaran harga kontrak, dapat dideskripsikan bahwa isi

perjanjian sewa tersebut pada adalah bukan merupakan tindakan

penyerahan segala hak dan kewajiban PT. Hannoch kepada Pemerintah

Kota Semarang.

Apabila hal ini dihubungkan dengan Pasal 1559 KUH Perdata tersebut,

kiranya dapat disimpulkan bahwa untuk perjanjian sewa lokasi

pemasangan papan reklame (Billboard), atas benda (hak) sewa dari

Pemerintah Kota Semarang, adalah termasuk dalam kategori Perjanjian

menyewakan lagi (wederverhuren).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam hubungan sewa-

menyewa antara PT. Maju Makmur Abadi dan PT. Hannoch pada

hakikatnya mengandung dua benda sewa yang dapat dipisahkan yaitu :

63

- Papan reklame (Billboard) berupa benda milik PT. Maju Makmur

Abadi;

- Hak sewa pemasangan papan reklame (Billboard) di Jl. Ahmad

Semarang, di atas lahan milik Pemerintah Kota Semarang.

Konsekuensi dari Perjanjian menyewakan lagi (wederverhuren), adalah

PT. Hannoch tidak mempunyai hubungan hukum langsung dengan

Pemerintah Kota Semarang.

b. Tentang penyerahan benda sewa

Telah disebutkan bahwa “hak sewa” adalah : hak untuk

menikmati benda orang lain (milik pemberi sewa) untuk sementara waktu

dengan membayar sejumlah uang. Menurut KUH Perdata agar penyewa

dapat menikmati benda yang disewa,, penyewa harus menguasai

bendanya, sehingga yang dimaksud dengan penyerahan benda sewa

adalah penyerahan kekuasaan atas bendanya bukan penyerahan hak milik

atas bendanya.

Dalam teori Hukum Benda penyerahan kekuasaan termasuk dalam

kategori “penyerahan nyata” (feitelijke levering), yaitu penyerahan

kekuasaan nyata atas bendanya, sehingga yang menerima secara nyata

menguasai benda itu, dengan tujuan agar dapat memakai atau menikmati

bendanya. Undang-undang tidak mengatur bagaimana penyerahan harus

dilakukan, yang penting si penerima telah mampu untuk melakukan

kekuasaan seperti kekuasaan yang dapat dilakukan sendiri oleh orang yang

memindahkannya.

64

Dari hasil penelitian No. 2 tentang obyek perjanjian dapat

dideskripsikan bahwa obyek perjanjian sewa adalah pemakaian papan

reklame untuk promosi produk, di Jl. Ahmad Semarang, di atas lahan milik

Pemerintah Kota Semarang, dengan cara pemasangan materi visual

(pamlet) lampu neon produksi PT. Hannoch pada papan reklame ukuran 5

m x 10 m 1 muka, vertikal, frontlite di Jl. Ahmad Yani Semarang.

Dari hasil penelitian No. 4.2 tentang fasilitas benda sewa dapat

dideskripsikan bahwa pemasangan materi visual (pamlet) dua muka pada

konstruksi papan reklame dilakukan oleh PT. Maju Makmur Abadi.

Dengan tindakan pemasangan materi visual (pamlet) secara gratis tersebut,

maka PT. Hannoch berarti sudah dalam keadaan dapat menikmati atau

memakai kegunaan benda sewa sesuai dengan tujuan perjanjian sewa.

Apabila dari hasil penelitian tersebut dihubungkan dengan makna

dari pengertian penyerahan nyata (feitelijke levering), maka dapat

disimpulkan bahwa “penyerahan nyata” (feitelijke levering) atas benda

sewa berupa pemakaian papan reklame untuk promosi produk adalah

berupa tindakan dari PT. Maju Makmur Abadi pemasangan materi visual

(pamlet) secara gratis.

Dalam Pasal 1551 ayat (1) KUH Perdata ditentukan bahwa pihak

yang menyewakan wajib menyerahkan barangnya kepada si penyewa

dalam keadaan terpelihara sebaik-baiknya. Wirjono Prodjodikoro

65

menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan pengertian sebaik-baiknya

adalah tergantung dari apa yang disepakati oleh para pihak.38

Dari data hasil penelitian No. 4.2. dapat dideskripsikan bahwa

Papan reklame tersebut diberi sambungan listrik dan instalasinya dengan

lampu penerangan HPIT @ 400W = 4 unit menyala mulai pukul 17.30 s/d

05.00 WIB, adalah merupakan wujud dari pelaksanaan kewajiban PT.

Maju Makmur Abadi yang berupa tindakan menyerahkan benda sewa

dalam keadaan sebaik-baiknya.

38 Wirjono Prodjodikoro, 1981, Hukum Perdata, tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu,

Sumur Bandung, hal. 52.

66

BAB V

PENUTUP

1) Dalam hubungan sewa-menyewa Lokasi Pemasangan Reklame antara PT.

Maju Makmur Abadi dan PT. Hannoch untuk pemasangan materi visual

(pamlet) lampu neon produksi PT. Hannoch pada papan reklame yang

terletak di Jl. Ahmad Yani Semarang, pada hakikatnya terdiri dari dua

benda sewa yang masing-masing terikat pada perjanjian sewa yang

berbeda yaitu :

a. papan reklame (Billboard) milik PT. Maju Makmur Abadi yang terikat

pada perjanjian sewa-menyewa (asli);

b. hak sewa Lokasi Pemasangan Reklame di Jl. Ahmad Yani Semarang

atas lahan milik Pemerintah Kota Semarang yang terikat pada

perjanjian sewa terusan berupa perjanjian “menyewakan lagi

(wederverhuren).

2) Cara penyerahan benda obyek sewa dalam perjanjian sewa papan reklame

tersebut adalah dengan “penyerahan nyata” (feitelijke levering) berupa

tindakan pemasangan materi visual (pamlet) pada papan reklame

(billboard) di Jl. Ahmad Yani Semarang secara gratis oleh PT. Maju

Makmur Abadi.

---------------------------