Upload
dangphuc
View
215
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum acara pidana mempunyai tujuan untuk mencari dan mendekati
kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu
perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur
dan tepat waktu dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat
didakwa melakukan suatu pelanggaran hukum, selanjutnya meminta pemeriksaan
dan Putusan dari pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak
pidana telah dilakukan oleh orang yang didakwa itu.
Tujuan Hukum acara pidana dapat dibaca pada Pedoman Pelaksanaan
KUHAP yang diterbitkan oleh Menteri Kehakiman adalah sebagai berikut :
“Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan Putusan dari Pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.1
Salah satu tujuan hukum acara pidana yaitu untuk mencari kebenaran
materiil, oleh karena itu diperlukan adanya suatu pembuktian agar diperoleh
kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana. Pembuktian
adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-
cara yang dibenarkan dalam undang-undang membuktikan kesalahan yang
didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang
1 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2001, halaman 7.
2
mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh
dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.
Penanganan suatu perkara pidana mulai dilakukan oleh penyidik setelah
menerima laporan dari masyarakat ataupun diketahui sendiri tentang terjadinya
tindak pidana, atau bisa juga tertangkap tangan, kemudian dituntut oleh penuntut
umum dengan jalan melimpahkan perkara tersebut ke Pengadilan Negeri.
Selanjutnya hakim melakukan pemeriksaan apakah dakwaan penuntut umum
terhadap terdakwa terbukti atau tidak. Bagian yang paling penting dari tiap-tiap
proses pidana adalah persoalan mengenai pembuktian, karena dari hal inilah
tergantung apakah tertuduh akan dinyatakan bersalah atau dibebaskan.
Keluarga adalah bagian terkecil dari masyarakat dengan hubungan
kekerabatan yang sangat erat atau dekat. Dan keluarga juga merupakan kelompok
orang-orang yang dipersatukan oleh ikatan-ikatan perkawinan, darah, maupun
adopsi, yang membentuk satu rumah tangga, berinteraksi dan berkomunikasi
antara satu dengan yang lainnya dan melalui perannya sendiri sebagai anggota
keluarga dan mempertahankan kebudayaan masyarakat yang bersifat umum
atuapun mengembangkannya sendiri.
Pembunuhan yang dilakukan oleh anggota keluarga biasanya bersifat konfliktual dan akumulatif, artinya adanya konflik besar atau kecil yang berkepanjangan dalam keluarga dan terakumulasi sehingga menimbulkan rasa marah, dendam atau sakit hati jika terpicu oleh hal-hal yang sepele atau sederhana.2
2 J.E. Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati terhadap Pembunuhan Berencana, CV. Rajawali, Jakarta, 1982, halaman 32.
3
Pembunuhan yang dilakukan oleh anggota keluarga kebanyakan
merupakan pembunuhan dengan perencanaan (pembunuhan berencana), karena si
pembunuh mengetahui betul keadaan atau gerak-gerik korban. Sehingga si
pembunuh dengan mudah membuat rencana sebagai awal untuk melakukan
kejahatan itu.
Tindak pidana yang dilakukan oleh anggota keluarga adalah suatu
perbuatan yang keji, karena si pelaku tega membunuh orang yang telah
menyayangi dan disayanginya. Kebanyakan kasus-kasus tersebut dilakukan
dengan alasan yang sederhana seperti cemburu, masalah warisan, keinginannya
tidak terpenuhi, selingkuh dan lain-lain, yang sebenarnya alasan-alasan tersebut
dapat diselesaikan secara kekeluargaan.
Dalam penjelasan Pasal 183 KUHAP disebutkan bahwa ketentuan ini
adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi
seseorang. Adanya ketentuan sebagaimana tersebut dalam Pasal 183 KUHAP
menunjukkan bahwa negara kita menganut sistem atau teori pembuktian secara
negatif menurut undang-undang, di mana hakim hanya dapat menjatuhkan
hukuman apabila sedikit-dikitnya terdapat dua alat bukti dalam peristiwa pidana
yang dituduhkan kepadanya. Walaupun alat-alat bukti lengkap, akan tetapi jika
hakim tidak yakin tentang kesalahan terdakwa maka harus diputus lepas.
Alat bukti yang sah menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah:
a. Keterangan saksi. b. Keterangan ahli. c. Surat. d. Petunjuk. e. Keterangan terdakwa.
4
Salah satu jenis kejahatan mempunyai bentuk pokok pembunuhan (doodslag) yang artinya menghilangkan jiwa seseorang. Dari bentuk pokok tersebut terdapat bentuk-bentuk pokok yang lain, yaitu pembunuhan dengan direncanakan terlebih dahulu secara tenang (moord), pembunuhan anak, pembunuhan anak dengan direncanakan terlebih dahulu secara tenang, pembunuhan atas permintaan dan pembunuhan kandungana.3
Kejahatan terhadap jiwa merupakan kejahatan yang bersifaat materiil
dimana akibatnya yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-
undang atau disebut tindak pidana materiil.4
Lamintang berpendapat bahwa kejahatan dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain seperti diatur dalam Pasal 338 KUHP dalam bahasa Belanda disebut sebagai doodslag yaitu untuk membedakan dengan perbuatan serupa, akan tetapi dengan direncanakan terlebih dahulu yang dalam bahasa Belanda disebut moord seperti diatur dalam Pasal 340 KUHP. Perkataan dengan sengaja didalam pasal ini adalah terjemahan dari perkataan opzettelijk sehingga menurut ketentuan umum dimana dalam suatu rumusan delik dipergunakan perkataan opzettelijk maka semua yang terletak dibelakang unsur opzettelijk tersebut juga diliputi oleh opzet atau dengan perkataan lain bahwa disini masih harus dibuktikan apakah tertuduh mengetahui bahwa perbuatan itu merupakan perbuatan menghilangkan nyawa dan bahwa yang dihilangkan itu nyawa orang lain.5
Mengenai perkataan dengan sengaja Hoge Raad 23 Juli 1937, 1938
No.869 menerengkan lebih lanjut :
Hakim dapat menganggap, bahwa tertuduh itu mengetahui bahwa yang melakukan tusukan dengan mempergunakan sebuah pisau terhadap perut korban, ia telah menyebabkan kematian korban itu. Dari keadaan yang menunjukan bahwa tertuduh telah melakukan tindakan tersebut dengan sengaja, dapat diambil kesimpulan bahwa ia telah menghendaki kematian si korban itu.6
Dengan demikian hakim baru boleh menghukum seorang terdakwa apabila
kesalahannya terbukti secara sah menurut undang-undang. Bukti-bukti itu harus
pula diperkuat dan didukung oleh keyakinan hakim. Jadi walaupun alat bukti
sebagaimana tersebut dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP terpenuhi, namun apabila
3 Moch Anwar, H.A.K. Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II) Jilid 1, Alumni, Bandung, 1986, halaman 88. 4 Loc.Cit. 5 Lamintang, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1979, halaman 202. 6 Loc.Cit.
5
hakim tidak berkeyakinan atas kesalahan terdakwa, maka terdakwa tersebut dapat
dibebaskan. Hal ini sejalan dengan tugas hakim dalam pengadilan pidana yaitu
mengadili dalam arti menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang Pengadilan (Pasal 1 butir 9 KUHAP).
Atas dasar hal – hal yang diuraikan dalam latar belakang tersebut menjadi
pendorong bagi penulis untuk melakukan penelitian guna penyusunan skripsi
yang berjudul “Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan Yang
Dilakukan Oleh Anggota Keluarga Di Purbalingga (Studi Kasus Terhadap
Putusan Perkara Pidana Pembunuhan No. 032/Pid.B/2002/PN.Pbg)”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan dalam latar belakang masalah,
maka dapat dirumuskan permasalahan yaitu sebagai berikut:
a. Bagaimana pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan perkara pidana
pembunuhan yang dilakukan anggota keluarga dalam putusan No.
032/Pid.B/2002/PN.Pbg?
b. Bagaimana kekuatan alat bukti saksi dalam putusan pengadilan No.
032/Pid.B/2002/PN.Pbg terhadap perkara pidana pembunuhan yang
dilakukan oleh anggota keluarga di Purbalingga?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk
1. Mengetahui pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan perkara pidana
pembunuhan yang dilakukan anggota keluarga dalam putusan No.
032/Pid.B/2002/PN.Pbg.
6
2. Mengetahui kekuatan alat bukti saksi terhadap putusan pengadilan No.
032/Pid.B/2002/PN.Pbg terhadap perkara pidana pembunuhan yang dilakukan
oleh anggota keluarga di Purbalingga.
D. Kegunaan Penelitiaan
1. Kegunaan Teoritis
a. Memberikan sumbangan pemikiran yang bermanfaat bagi perkembangan
ilmu pengetahuan pada umumnya dan disiplin ilmu hukum acara pidana
pada khususnya.
b. Diharapkan dengan adanya tulisan ini dapat menjelaskan dan memberi
sedikit pencerahan bagi segenap civitas akademik Fakultas Hukum
UNSOED.
2. Kegunaan Terapan atau Praktis
Sebagai acuan wacana bagi para praktisi pengambil kebijakan atau akademisi
dalam menelaah suatu permasalahan di bidang hukum acara pidana.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian, Tujuan, dan Fungsi Hukum Acara Pidana 1. Pengertian Hukum Acara Pidana
KUHAP tidak memberikan pengertian mengenai hukum acara pidana, di
dalamnya tidak terdapat satupun pasal yang memberikan pengertian hukum acara
pidana secara eksplisit. Hanya di bagian akhir KUHAP pada pasal 285 yang
menerangkan sebagai berikut:
“Undang-undang ini disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana”
Ruang lingkup dari Undang-undang ini ialah keseluruhan proses-proses
beracara pidana mulai dari penyelidikan, penyidikan, pemeriksaan di persidangan,
banding, kasasi, hingga eksekusi, ahkan sampai juga pada pengawasan hakim.
Dengan terciptanya KUHAP, maka pertama kalinya di Indonesia
diadakan kodifikasi dan unifikasi yang lengkap dalam arti meliputi seluruh proses
pidana dari awal (mencari kebenaran) sampai pada kasasi di Mahkamah Agung,
bahkan sampai meliputi peninjauan kembali (herziening).7
Pembuat Undang-Undang memberikan pengertian bahwa hukum acara
pidana mengatur cara-cara bagaimana negara menggunakan haknya untuk
melakukan penghukuman dalam perkara-perkara yang terjadi. Hukum acara
pidana merupakan sistem kaidah atau norma yang diberlakukan oleh negara,
dalam hal ini adalah kekuasaan kehakiman, untuk melaksanakan hukum pidana.
7 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia. Edisi Revisi, Sapta Artha Jaya, Jakarta, 1996, halaman 3.
8
KUHAP sebagai hukum acara pidana yang berisi ketentuan-ketentuan tata tertib proses penyelesaian penanganan kasus tindak pidana, sekaligus telah memberi “legalitas hak azasi” kepada tersangka atau terdakwa untuk membela kepentingannya di depan pemeriksaan aparat penegak hukum. Pengakuan hukum yang tegas akan hak azasi yang melekat pada diri mereka akan tindakan sewenang-wenang. KUHAP telah mencoba menggariskan tata tertib hukum antara lain yang akan melepaskan tersangka atau terdakwa maupun keluarganya dari kesengsaraan putus asa dibelantara penegak hukum yang tak bertepi, tersangka atau terdakwa harus diberlakukan berdasarkan nilai-nilai yang manusiawi.8
Definisi hukum acara pidana yang lebih tepat dan tepat, karena
merincikan substansi hukum acara pidana, adalah definisi yang dikemukakan oleh
Van Bemmelen seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah, adalah sebagai berikut:
Ilmu hukum acara pidana mempelajari peaturan-peraturan yang diciptakan oleh negara, karena adanya terjadi pelanggaran undang-undang pidana:
1. Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran 2. Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu 3. Mengambil tindakan yang perlu guna menangkap si pembuat dan
kalau perlu menahannya 4. Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah
diperoleh pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan pada hakim dan membawa terdakwa ke depan hakim tersebut
5. Hakim memberi keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana atau tindakan tata tertib
6. Upaya hukum untuk melawan putusan itu 7. Akhirnya melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan tata
tertib.9
Kalau diperhatikan rumusan Van Bemmelen ini, maka dapat ditunjukkan, bahwa yang terdapat pada butir 1 sampai dengan 4 adalah tahap penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Oleh karena itu batas antara penyidikan dan penuntutan menjadi kabur, karena memang Van Bemmelen dapat digolongkan pada pakar-pakar yang memandang penyidikan sebagai bagian penuntutan dalam arti luas. Yang jelas terpisah ialah pemeriksaan dan putusan hakim yang tersebut pada butir 5. Begitu pula upaya hukum yang tersebut pada butir 6 dan butir 7. Sedangkan peninjauan kembali (herziening) merupakan hal khusus yang merupakan upaya hukum luar biasa, yang mestinya jarang terjadi dalam peradilan pidana normal.10
8 M Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, halaman 4. 9 Andi Hamzah, Op.Cit, halaman 6. 10 Ibid, halaman 7.
9
Seperti rumusan yang dibuat oleh pakar hukum Indonesia yaitu Wirjono
Projodikoro, mantan Ketua Mahkamah Agung yang dikutip oleh Andi Hamzah.
Memutuskan bahwa hukum acara pidana adalah:
“Hukum acara pidana berhubungan erat dengan adanya hukum pidana
maka dari itu merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara
bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan
dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara”.11
Darwan Prints memberikan definisi hukum acara pidana secara singkat
adalah sebagai berikut:
“Hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur tentang cara
bagaimana mempetahankan atau menyelenggarakan hukum pidana materiil,
sehingga diperoleh keputusan hakim dan cara bagaimana isi keputusan itu harus
dilaksanakan”.
Definisi-definisi ini dikemukakan oleh para ahli hukum, hal ini
dikarenakan KUHAP tidak memberikan definisi hukum acara pidana secara
implisit.
2. Tujuan Hukum Acara Pidana
Indonesia sebagai negara hukum menggunakan KUHAP sebagai kitab
hukum acara pidananya. Dengan menggunakan Pancasila sebagai landasan idiil
dan UUD 1945 sebagai landasan strukturnya. Hal itu tersebut dalam konsideran
huruf c KUHAP yang berbunyi:
11 Loc.Cit.
10
“Bahwa pembangunan hukum di nasional yang sedemikian itu di bidang hukum acara pidana adalah agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing, ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat, dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila.”
Dari bunyi konsideran tersebut dapat dirumuskan beberapa landasan
tujuan KUHAP yaitu:
1. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat, yang lebih dititik beratkan kepada peningkatan penghayatan akan hak dan kewajiban hukum. Yaitu menjadikan setiap anggota masyarakat mengetahui apa hak yang diberikan hukum atau UU kepadanya, serta apapula kewajiban yang dibebankan hukum kepadanya.
2. Meningkatkan sikap mental aparat penegak hukum, hal ini sudah barang tentu termuat dalam KUHAP menurut cara-cara pelaksanaan yang baik, yang menyangkut pembinaan keterampilan, pelayanan, kejujuran dan kewibawaan.
3. Tegaknya hukum dan keadilan, hal tersebut hanya dapat tercipta apabila segala aturan hukum yang ada serta keadilan harus sesuai dengan Pancasila, UUD 1945 serta didasarkan atas nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat.
4. Melindungi harkat dan martabat manusia, hal ini tidak dapat dilepaskan dari suatu kenyataan bahwa semua makhluk ciptaan Tuhan dan semua akan kembali kepada-Nya. Tidak ada kelebihan dan kemuliaan antara yang satu dengan yang lain, semua mempunyai harkat dan martabat kemanusiaan sesuai dengan hak-hak azasi yang melekat pada diri tiap manusia. Manusia sebagai hamba Tuhan, juga sebagai manusia yang sama derajatnya dengan manusia lain harus ditempatkan pada keluhuran harkat dan martabatnya. Sebagai makhluk Tuhan, setiap manusia memiliki hak dan kodrat kemanusiaan yang menopang harkat martabat pribadinya, yang harus dihormati dan dilindungi oleh orang lain.
5. Menegakkan ketertiban dan kepastian hukum, arti dan tujuan kehidupan masyarakat adalah mencari dan mewujudkan ketentraman dan ketertiban yaitu kehidupan bersama antara anggota masyarakat yang dituntut dan dibina dalam ikatan yang teratur dan layak, sehingga lalu lintas tata tertib lancar. Tujuan tersebut hanya dapat diwujudkan dengan jalan menegakan ketertiban dan kepastian hukum dalam setiap aspek kehidupan sesuai dengan kaidah-kaidah dan nilai hukum yang telah mereka sepakati.12
12 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2001, halaman 58-79.
11
Tujuan hukum acara pidana telah dirumuskan dalam Pedoman
Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman, yang berbunyi:
Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tdaknya mendekati kebenaran material, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwakan itu dapat dipersalahkan.13
Tujuan hukum acara pidana di atas memberikan suatu gambaran tujuan
yang memperhatikan hak-hak azasi manusia dan konsekuensi bagi penegak
hukum untuk melaksanakan ketentuan dalam KUHAP dengan sebaik-baiknya.
Kebenaran materiil merupakan hal terpenting dalam pelaksanaan KUHAP.
3. Fungsi Hukum Acara Pidana
Menurut Van Bemmelen, seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah,
mengemukakan tiga fungsi hukum acara pidana yaitu:
1. Mencari dan menemukan kebenaran.
2. Pemberian putusan oleh hakim
3. Pelaksanaan keputusan
Dari ketiga fungsihukum acara pidana tersebut, yang paling penting karena menjadi tumpuan kedua fungsi berikutnya, ialah “mencari kebenaran”. Setelah menemukan kebenaran yang diperoleh melalui alat bukti dan barang bukti itulah hakim akan sampai pada putusan (yang seharusnya adil dan tepat) yang kemudian dilaksanakan oleh jaksa.14
Fungsi hukum acara pidana berawal pada tugas mencari dan menemukan
kebenaran hukum. Hakekat mencari dan menemukan kebenaran hukum, sebagai
tugas awal hukum acara pidana tersebut menjadi landasan dari tugas berikutnya
13 Andi Hamzah, Op.Cit, halaman 8. 14 Ibid, halaman 9.
12
dalam memberikan suatu putusan hakim dan tugas melaksanakan putusan
hakim.15
B . Azas Hukum Acara Pidana
1. Macam Azas Hukum Acara Pidana dalam KUHAP
Landasan azas atau prinsip dalam KUHAP dapat diuraikan
secara singkat sebagai berikut:
1. Prinsip Legalitas, hal ini didasarkan pada titik tolak the rule of law dimana kita selalu menempatkan kepentingan hukum dan undang-undang diatas segala-galanya, sehingga terwujud suatu kehidupan masyarakat bangsa yang takhluk dibawah supremasi hukum yang selaras dengan ketentuan perundang-undangan dan perasaan keadilan bangsa Indonesia. Jadi the rule of law dan supremasi hukum, menguji dan meletakkan setiap penegak hukum takhluk dibawah ketentuan konstitusi, undang-undang dan rasa keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat.
2. Prinsip Keseimbangan, dalam penegakan hukum harus berlandaskan prinsip keseimbangan yang serasi antara perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia dengan kepentingan dan ketertiban masyarakat. Oleh karena itu aparat penegak hukum pada setiap saat harus sekaligus sadar dan mampu bertugas serta berkewajiban mempertahankan social interest (kepentingan masyarakat) yang berbarengan dengan tugas dan kewajiban menjunjung tinggi human dignity dan individual protection (harkat dan martabat manusia serta perlindungan kepentingan individu).
3. Prinsip Praduga Tak Bersalah, bila hal ini dilihat secara teknis yuridis maupun dari teknik dinamakan prinsip akusatur. Prinsip ini menempatkan tersangka atau terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan atau subjek, oleh karena itu tersangka atau terdakwa harus didudukkan dan diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat dan martabat harga diri. Oleh karena itu yang menjadi objek pemeriksaan bukan subjeknya tetapi kesalahan yang dilakukan.
4. Prinsip Pembatasan Kewenangan, penahanan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum berkaitan errat dengan kebebasan, kemerdekaan, nilai-nilai kemanusiaan serta menyangkut nama baik seseorang, oleh karena itu KUHAP menetapkan secara limitatif dan terperinci dan wewenang yang tidak boleh dilakukan oleh setiap penegak hukum dalam setiap tingkat pemeriksaan.
15 Bambang Poernomo, Pola Dasar Teori – Asas Umum Hukum Acara Pidana dan Penegakan Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta, 1993, halaman 17.
13
5. Prinsip Deferensiasi Fungsional, prinsip ini adalah suatu penjelasan dan penegasan pembagian tugas dan wewenang antara jajaran penegak hukum secara instansional. Dengan demikian KUHAP meletakkan azas penjernihan dan azas modifikasi fungsi dan wewenang antara setiap instansi penegak hukum, namun dengan pengaturan yang demikian masih tetap terbina korelasi dan koordinasi dalam proses penegakkan hukum antar setiap aparat penegak hukum.
6. Prinsip Saling Koordinasi, dimana KUHAP telah menggariskan pembagian tugas dan wewenang masing-masing instansi penegak hukum. Kepolisian sebagai instansi penyidik, kejaksaan sebagai instansi penuntut umum dan pejabat eksekusi serta hakim sebagai pejabat berwenang untuk mengadili.16
2. Implementasi Azas Hukum Acara Pidana
Adapun azas-azas yang menjadi pelaksanaan KUHAP, diatur
dalam penjelasan KUHAP butir ke-3. Azas-azas tersebut adalah
sebagai berikut:
a. Perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan (azas persamaan dimuka hukum);
b. Penagkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang dan hanya dalam hal dan dengan cara yang diatur dengan undang-undang (azas perintah tertulis);
c. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan dimuka persidangan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap (azas praduga tak bersalah);
d. Kepada seseorang yang ditangkap, ditahan,dituntut ataupun diadili tanpa alas an yang berdasarkan undang-undang atau hukum yang diterapkan wajib diberi ganti dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan azas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana dan atau dikenakan hukuman administrasi (azas pemberian ganti kerugian dan rehabilitasi atas salah tangkap, salah tahan dan salah tuntut);
e. Pengadilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus ditetapan
16 K.S Hukum Acara Pidana, 2007, halaman 7-9.
14
secara konsekuen dalam seluruh tingkat pengadilan (azas peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan, bebas, jujur dan tidak memihak);
f. Setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya (azas mamperoleh bantuan hukum seluas-luasnya);
g. Kepada seorang terdakwa sejak saat dilakukan penangkapan dan atau penahanan selain wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum apa yang didakwakan kepadanya, juga wajib diberitahu haknya yaitu termasuk hak untuk menghubungi dan minta bantuan penasehat hukum (azas wajib diberitau dakwaan dan dasar hukum dakwaan);
h. Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa (azas hadirnya terdakwa);
i. Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum kecuali dalam hal yang diatur undang-undang (azas pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum);
j. Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh ketua pengadilan negeri yang bersangkutan (azas pelaksanaan pengawasan putusan);
k. Tersangka diberi kebebasan memberi dan mendapatkan penasehat hukum menunjukkan bahwa dalam KUHAP telah dianut azas akusatur, yaitu tersangka dalam pemeriksaan dipandang sebagai subjek berhadap-hadapan dengan lain pihak yang memeriksa atau mendakwa yaitu kepolisian atau kejaksaan sedemikian rupa sehingga kedua belah pihak mempunyai hak-hak yang sama nilainya (azas accusatoir).17
C. Pembuktian
1. Pengertian pembuktian
Pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam
sidang pengadilan. Tujuan dari pembuktian itu sendiri adalah untuk
mencari dan mendapatkan kebenaran materiil. Oleh karena itu para
hakim harus berhati-hati, cermat dan matang dalam menilai dan
mempertimbangkan masalah pembuktian. Mengenai pengertian
pembuktian, sebenarnya tidak ditemukan dalam KUHAP maupun
17 M. Yahya Harahap, Op.Cit, halaman 378.
15
didalam ketentuan hukum lainnya. Oleh karena itu ada banyak
pengertian tentang pembuktian dari para sarjana.
Pembuktian merupakan masalah yang sangat penting dalam hukum acara pidana, khususnya dalam proses pemeriksaan sidangg pengadilan. Bersalah atau tidaknya seorang terdakwa ditentukan dalam pembuktian. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang “tidak cukup” membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Terdakwa “dibebaskan” dari hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebut dalam pasal 184, terdakwa dinyatakan “berasalah”. Kepadanya akan dijatuhi hukuman.18
Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi
penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-
undang membuktikan kesalahan-kesalahan yang didakwakan kepada
terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-
alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan
hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.
Menurut M. Yayha Harahap, pembuktian adalah ketentuan-ketentuan ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan-kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.19
Dari pengertian tersebut, arti pembuktian ditinjau dari segi
hukum acara pidana, antara lain:
Ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran. Baik hakim, penuntut umum, terdakwa, atau penasehat hukum, semua terikat pada ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan undang-undang. Tidak boleh leluasa bertindak dengan caranya sendiri dalam menilai pembuktian. Dalam mempergunakan alat bukti tidak boleh
18 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), Sinar Grafika, Jakarta, 2009, halaman 273. 19 Loc.Cit.
16
bertentangan dengan undang-undang. Terdakwa tidak bisa leluasa mempertahankan sesuatu yang dianggapnya benar diluar ketentuan yang digariskan undang-undang. Terutama bagi majelis hakim, harus benar-benar sadar dan cermat menilai dan mempertimbangkan kekuatan pembuktian yang ditemukan selama pemeriksaan persidangan. Jika majelis hakim hendak meletakkan kebenaran yang ditemukan dalam keputusan yang akan dijatuhkan, kebenaran itu harus diuji dengan alat bukti, dengan cara dan dengan kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti yang ditemukan.kalau tidak demikian, bisa saja orang yang jahat lepas, dan orang yang tidak bersalah mendapat ganjaran hukuman.
Sehubungan dengan pengertian di atas, majelis hakim dalam mencari dan meletakkan kebenaran yang akan dijatuhkan dalam putudan, harus berdasrkan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang secara “limitatif”, sebagai mana yang disebut dalam pasal 184 KUHAP.20
Peranan pembuktian yang begitu penting, menjadikan
pembuktian sebagai ujung tombak dari suatu perkara. Seperti yang
sudah disebutkan di atas, pembuktian akan menjadi penentu apakah
seseorang terbukti bersalah melakukan kesalahan yang didakwakan
atau tidak. Hakim sendiri memegang kewenangan untuk memutus
tentang suatu perkara yang sedang ditangani berdasarkan pembuktian
yang dilakukan dalam persidangan.
Menurut Bambang Poernomo, hukum pembuktian adalah keseluruhan aturan hukum atau peraturan undang-undang mengenai kegiuatan untuk rekonstruksi suatu kenyataan yang benar dari setiap kejadian masa lalu yang relefan dengan persangkaan terhadap orang yang diduga melakukan perbuatan pidana dan pengesahan setiap sarana bukti menurut ketentuan hukum yang berlaku untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana.21
20 Ibid, halaman 274. 21 Bambang Poernomo, Pokok-Pokok Tata Acara Peradilan Pidana Indonesia dalam Undang-Undang RI No.8 Tahun 1981, Liberty, Yogyakarta, 1985, halaman 85.
17
2. Teori Pembuktian
Dalam ilmu hukum acara pidana dikenal ada beberapa teori
sistem pembuktian, yaitu :
a. Conviction-in Time Sistem pembuktian ini menentukan salah tidaknya seseorang
terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian “keyakinan” hakim. Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Darimana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya tidak menjadi masalah dalam sistem ini.
b. Conviction- Raisonee Dalam sistem ini pun dapat dikatakan “keyakinan hakim” tetap
memegang peranan peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi, dalam sistem pembuktian ini, faktor faktor keyakinan hakim “dibatasi”. Jika dalam sistem pembuktian conviction-in time peran “keyakinan hakim” leluasa tanpa batas, maka dalam sistem ini keyakinan hakim harus didukung dengan “alasan-alasan yang jelas”. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Tegasnya keyakinan hakim dalam sistem ini harus dilandasi reasoning atau alasan-alasan, dan reasoning itu harus “reasonable”, yakni berdasar alasan yang dapat diterima. Keyakinan hakim harus mempunyai dasar-dasar alasan yang lgis dan benar-benar dapat diterima akal. Tidak semata-mata atas alasan keyakinan yang tertutup tanpa uraian alasan yang masuk akal.
c. Pembuktian menurut Undang-Undang secara positif Pembuktian menurut Undang-Undang secara positif merupakan
pembuktian yang bertolak belakang dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction-in time. Keyakinan hakim dalam sistem ini, tidak ikut berperan menurut salah atau tidaknya terdakwa. Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang. Untuk membuktikan slah atau tidaknya terdakwa semata-mata “digantungkan kepada alat-alat bukti yang sah”. Asal sudah dipenuhi syarat-syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang, sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim.
d. Pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif (Negatief Wettelijk Stelsel)
Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan teori antara pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan pembuktian menurut keyakinan atau conviction-in time. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan keseimbangan antara kedua sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrem. Dari keseimbangan tersebut, sistem
18
pembuktian menurut undang-undang secara negatif “menggabungkan” ke dalam dirinya secara terpadu sistem pembuktian menurut keyakinan dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif.22
Di Indonesia sendiri, teori pembuktian yang digunakan adalah
teori pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief
wettelijk). Hal ini disebabkan dalam Pasal 183 KUHAP, Pasal 294 (1)
HIR, dan juga Undang-Undang Pokok Kehakiman.
Menurut Wirjono Prodjodikoro, sistem negatief wettelijk sebaiknya dipertahankan bagi Indonesia, oleh karena pertama memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukum pidana, agar supaya janganlah hakim terpaksa menghukum orang, sedang hakim tidak berkeyakinan atas kesalahan terdakwa. Kedua berfaedah sekali apabila ada aturan yang sedikit banyak mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar supaya ada patokan-patokan tertentu yang harus dituruti oleh hakim dalam melakukan peradilan. Dengan adanya patokan-patokan tersebut hakim dalam putusannya terpaksa mengutarakan alasan-alasan yang dapat ditinjau secara teratur. Hal ini akan memudahkan adanya kesatuan dalam peradilan dan kepastian hukum dalam masyarakat.23
3. Alat Bukti
Alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang telah diatur
dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP yang terdiri dari :
1. Keterangan saksi; 2. Keterangan ahli; 3. Surat; 4. Petunjuk; 5. Keterangan terdakwa.
22 M. Yahya Harahap, Op.Cit, halaman 277. 23 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, 1981, halaman 94.
19
1) Keterangan Saksi
a. Pengertian Keterangan Saksi
Pengertian tentang keterangan saksi terdapat di dalam
KUHAP. Menurut Pasal 1 angka 27 KUHAP disebutkan :
“Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.”
Hampir semua perkara pidana selalu ada keterangan
saksi. Seseorang yang dipanggil sebagai saksi di muka
pengadilan dalam perkara pidana wajib untuk memenuhi
panggilan itu. Apabila seorang saksi tidak mau hadir dalam
persidangan, bisa diambil tindakan untuk memaksa dia datang,
bahkan dapat pula dituntut pidana.
Pada umumnya semua orang dapat menjadi saksi.
Kekecualian menjadi saksi tercantum dalam Pasal 168
KUHAP:
a. Keluarga sedarah atau semenda adalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa;
b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;
c. Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.24
24 Andi Hamzah, Op.Cit, halaman 268.
20
b. Syarat Sahnya Keterangan Saksi
Agar keterangan seorang saksi dapat dianggap sah
sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian,
harus dipenuhi aturan ketentuan sebagai berikut :
1. Harus mengucapkan sumpah atau janji.
Menurut ketentuan Pasal 160 ayat (3) KUHAP, sebelum saksi memberikan keterangan : “wajib mengucapkan” sumpah atau janji. Adapun sumpah atau janji : i. Dilakukan menurut cara agamanya masing-masing,
ii. Lafal sumpah atau janji berisi bahwa saksi akan memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dan tiada lain daripada yang sebenarnya.25
Ada perkecualian untuk memberikan kesaksia tanpa
sumpah. Hal ini tercantum dalam Pasal 171 KUHAP yaitu :
“Yang boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa sumpah ialah: a. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan
belum pernah kawin; b. Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-
kadang ingatannya baik kembali”.
2. Keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti.
Menurut Pasal 185 ayat (1) KUHAP disebutkan :
“Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di dalam siding pengadilan.”
Dikaitkan dengan Pasal 1 angka 27 KUHAP, dimana
saksi mendengar, melihat dan mengalami sendiri suatu peristiwa pidana, maka bisa diambil kesimpulan : a) Setiap keterangan saksi di luar apa yang didengarnya
sendiri dalam peritiwa pidana yang terjadi atau di luar yang dilihat atau dialaminya dalam peristiwa pidana yang terjadi, keterangan yang diberikan di luar pendengaran, penglihatan, atau pengalaman sendiri menjadi suatu peristiwa pidana yang terjadi, “tidak dapat dijadikan dan dinilai sebagai alat bukti”. Keterangan semacam itu tidak mempunyai kekuatan nilai pembuktian.
25 M. Yahya Harahap, Op.Cit, halaman 286.
21
b) “testimonium de auditu” atau keterangan saksi yang ia peroleh sebagai hasil pendengaran dari orang lain, “tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti”. Keterangan saksi di siding berupa keterangan ulangan dari apa yang didengarnya dari orang lain, tidak dapat dianggap sebagai alat bukti.
c) “pendapat” atau “rekaan” yang saksi peroleh dari hasil pemikiran, bukan merupakan keterangan saksi. Penegasan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 185 ayat (5). Oleh karena itu, setiap keterangan saksi yang bersifat pendapat atau hasil pemikiran saksi, harus dikesampingkan dari pembuktian dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Keterangan yang bersifat dan berwarna pendapat dan pemikiran pribadi saksi, tidak dapat dinilai sebagai alat bukti.
3. Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan.
Hal ini sesuai dengan penegasan Pasal 185 ayat (1) KUHAP. Keterangan yang berisi penjelasan tentang apa yang didengarnya sendiri, dilihatnya sendiri atau dialaminya sendiri mengenai suatu peristiwa pidana, baru dapat dinilai sebagai alat bukti apabila keterangan itu saksi nyatakan di sidang pengadilan.
4. Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup.
Pasal 185 ayat (2) KUHAP mengatur tentang masalah ini.
Disebutkan bahwa :
“keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya”.
Dengan demikian, keterangan seorang saksi saja baru
bernilai sabagai satu alat bukti yang harus ditambah dan
dicukupi dengan alat bukti lain.
5. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri.
Hal ini sudah diatur dalam Pasal 185 ayat (4) KUHAP
yang menyatakan :
“Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai
22
alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain, sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu”.
Dari ketentuan Pasal 185 ayat (4) ini, jelaslah bahwa keterangan beberapa orang saksi baru dapat dinilai sebagai alat bukti serta mempunyai kekuatan pembuktian, apabila keterangan para saksi tersebut mempunyai hubungan saling menguatkan tentang kebenaran suatu keadaan atau kejadian tertentu. Keterangan beberapa orang saksi yang berdiri sendiri-sendiri antara keterangan saksi yang satu dengan yang lain, tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti, atau paling-paling saksi yang banyak tapi berdiri sendiri-sendiri, masing-masing akan dikategorikan saksi tunggal yang tidak memiliki kekuatan pembuktian.26
c. Cara Menilai Kebenaran Keterangan Saksi
Dalam Pasal 185 ayat (6) KUHAP disebutkan :
“Dalam menilai kebenaran seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan : 1. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain; 2. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain; 3. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk
memberikan keterangan yang tertentu; 4. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang
pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya”.
d. Nilai Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi
Menurut Yahya Harahap, nilai kekuatan pembuktian
keterangan saksi sebagai alat bukti adalah sebagai berikut:
i. Mempunyai kekuatan pembuktian Bebas Alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah, tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan juga tidak memiliki kekuatan pembuktian yang menentukan. Atau dengan singkat dapat dikatakan alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah adalah bersifat bebas dan “tidak sempurna” dan “tidak menentukan” atau “tidak mengikat”.
ii. Nilai kekuatan pembuktiannya tergantung pada hakim Alat bukti keterangan saksi sebagai alat bukti yang bebas yang tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang
26 Ibid, halaman 286-290.
23
sempurna dan tidak menentukan, sama sekali tidak mengikat hakim. Hakim bebas untuk menilai kesempurnaan dan kebenarannya. Tergantung pada penilaian hakim untuk menganggapnya sempurna atau tidak. Tidak ada keharusan bagi hakim untuk menerima kebenaran setiap keterangan saksi. Hakim bebas menilai kekuatan atau kebenaran yang melekat pada keterangan itu, dan “dapat menerima” atau “menyingkirkannya”.27
2) Keterangan Ahli
Keterangan ahli menurut Pasal 1 angka 28 KUHAP adalah :
Keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.
Berdasarkan Pasal 1 angka 28 KUHAP, dapat diambil suatu
pengertian:
a. Keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan oleh seorang ahli yang memiliki keahlian khusus tentang masalah yang diperlukan penjelasannya dalam suatu perkara pidana yang sedang diperiksa.
b. Maksud keterangan khusus dari ahli, agar perkara pidana yang sedang diperiksa menjadi terang demi untuk penyelesaian pemeriksaan perkara yang bersangkutan.28
Pasal 186 KUHAP merumuskan :
Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.
Apabila Pasal 1 angka 28 KUHAP dihubungkan dengan Pasal 184 ayat (1) KUHAP dan Pasal 186 KUHAP, maka syarat keterangn ahli berlaku sebagai alat bukti yang sah apabila merupakan keterangan yang diberikan oleh seseorang yang mempunyai keahlian khusus tentang sesuatu yang ada hubungannya dengan perkara pidana yang sedang diperiksa, sedangkan keterangan yang diberikan oleh seorang ahli tetapi tidak mempunyai kehlian khusus tentang suatu keadaan yang ada hubungannya dengan perkara pidana yang bersangkutan, tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang.29
27 Ibid, halaman 294-295. 28 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, halaman 277. 29 Ibid, halaman 278.
24
Pasal 120 KUHAP merumuskan :
1) Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat seorang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus.
2) Ahli tersebut mengangkat sumpah atau mengucapkan janji dimuka penyidik bahwa ia akan memberi keterangan sebaik-baiknya kecuali bila disebabkan karena harkat atau martabat, pekerjaan atau jabbatannya yang mewajibkan ia menyimpan rahasia dapat menolak untuk emberi keterangan yang diminta.
Dari ketentuan Pasal 120 KUHAP dapat diketahui bahwa
ahli memberikan pendapat atau keterangan menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya, sedangkan seorang saksi melihat, mendengar atau mengalami sendiri. Seorang ahli terutama menyatakan pendapat atau konklusi dengan pengetahuan khususnya keterangan ahli menyangkut penelitian dari pemikiran.30
Penjelasan Pasal 186 KUHAP merumuskan :
Keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah diwaktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum maka pemeriksaan di sidang, diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji dihadapan hakim.
Berdasarkan penjelasan Pasal 186 KUHAP maka untuk
keterangan ahli disyaratkan bahwa ahli harus bersumpah atau
berjanji dengan ketentuan bahwa ahli harus bersumpah atau
berjanji dengan ketentuan akan memberikan keterangan yang
sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya menurut pengetahuan dalam
bidangnya.
30 Soedirjo, Jaksa dan Hakim Dalam Proses Pidana, Akademika Pressindo, Jakarta, 1985, halaman 53.
25
Disamping itu keterangan ahli dapat diberikan dalam dua
bentuk yaitu :
1. Secara lisan pada waktu pemeriksaan pengadilan 2. Secara tertulis pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau
penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporang yang dibuat dengan mengingat sumpah jabatan atau pekerjaan diwaktu diterimanya.31
Menurut M. Yahya Harahap, alat bukti keterangan ahli
mempunyai sifat dualisme sebagai alat bukti yaitu :
a. Pada suatu segi alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan atau visum et repertum, tetap dapat dinilai sebagai alat bukti keterangan ahli
b. Pada sisi lain alat bukti keterangan ahli yang berebentuk laporan juga menyentuh alat bukti surat sebagai mana ketentuan Pasal 187 huruf c KUHAP yang menentukan surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadan yang diterima secara resmi daripadanya.32
Mengenai kekuatan pembuktian keterangan ahli adalah
sebagai berikut :
1. mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas (Vrijbewijskracht) artinya hakim bebas menilainya dan tidak terikat kepadanya, tidak ada keharusan bagi hakim untuk harus menerima kebenaran keterangan ahli.
2. keterangan ahli yang berdiri sendiri tanpa didukung alat bukti lain tidak cukup dan tidak memadai untuk membuktikan kesalahan terdakwa.33
3) Surat
Alat bukti surat diatur dalam Pasal 187 KUHAP yang
merumuskan :
Surat sebagaimana diatur dalam Pasala 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas dasar sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah adalah :
31 Ibid, halaman 530. 32 M. Yahya Harahap, Op.Cit, halaman 282. 33 Ibid, halaman 413.
26
a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau dibuat dihadapannya yang memuat keterangn tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;
b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
c. Surat keterangn dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan kehaliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diterima secara resmi daripadanya;
d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
Kekuatan pembuktian alat bukti surat dapat ditinjau dari
beberapa segi:
a. Dari segi formil
Dari segi formal alat bukti surat yang disebut dalam Pasal 187
huruf a, b, c KUHAP adalah alat bukti yang sempurna. Oleh
karena itu mempunyai kekuatan pembuktian formal yang
sempurna
b. Dari segi materiil
Dari segi materiil semua alat bukti surat yang disebut Pasal 187 KUHAP bukan alat bukti yang mempunyai kekuatan mengikat. Nilai kekuatan pembuktian alat bukti surat sama dengan alat bukti yang lain mempunyai kekuatan pembuktian bebas.34 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa alat bukti surat mempunyai kekuatan pembuktian yang bebas, hakim bebas menilai kekuatannya dan kebenarannya yang dapat ditinjau dari beberapa alasan yaitu dari segi azas kebenaran sejati, segi keyakinan hakim maupun dari azas batas minimum pembuktian.35
34 Ibid, halaman 289. 35 Ibid, halaman 291.
27
4) Petunjuk
Pasal 188 ayat (1) KUHAP merumuskan :
Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena penyesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidan dan siapa pelakunya.
Pasal 188 ayat (2) KUHAP merumuskan :
Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari : a. Keterangan saksi b. Surat c. Keterangan terdakwa
Menurut Djoko Prakoso, dari ketentuan Pasal 188 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP maka dapat dikatakan bahwa petunjuk adalah merupakan alat pembuktian tidak langsung karena hakim dapat mengambil kesimpulan tentang pembuktian, haruslah menghubungkan suatu alat bukti dengan alat bukti lainnya dan memilih yang ada persesuaiannya satu sama lain.36
Menurut Djoko Prakoso, syarat-syarat untuk dapat
menjadikan petunjuk sebagai alat bukti haruslah :
1. Mempunyai persesuaian satu sama lain atas perbuatan yang terjadi;
2. Keadaan-keadaan perbuatan itu berhubungan satu sama lain dengan kejahatan yang terjadi;
3. Berdasarkan pengamatan hakim baik dari keterangan terdakwa maupun saksi dipersidangan.37
Sedangkan menurut Soedirjo, petunjuk sebenarnya
merupakan kesimpulan yang diperoleh dari ketiga alat bukti yaitu
keterangan saksi, surat, keterangan terdakwa jadi bukan merupakan
alat bukti.38
36 Djoko Prakoso, Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian di Dalam Proses Pidana, Liberty, Yogyakarta, 1988, halaman 94. 37 Ibid, halaman 96. 38 Soedirjo, Op.Cit, halaman 55.
28
Nilai kekuatan pembuktian alat bukti petunjuk yaitu sebagaimana alat pembuktian yang lain mempunyai kekuatan pembuktian yang bebas, hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk, oleh karena itu hakim bebas menilainya dan mempergunakannya sebagai upaya pembuktian.39
5) Keterangan Terdakwa
Pasal 189 ayat (1) KUHAP merumuskan :
Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan disidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.
Berdasarkan keterangan Pasal 189 ayat (1) KUHAP maka
keterangan terdakwa dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah dan mempunyai kekuatan pembuktian apabila : 1. Ketentuan itu dinyatakan di sidang pengadilan; 2. Tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri
atau alami sendiri.40
Pasal 189 ayat (2) KUHAP merumuskan :
Keterangan terdakwa yang diberikan diluar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti disidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengani hal yang didakwakan kepadanya. Jadi keterangan terdakwa yang diberikan diluar sidang daoat digunakan untuk menemukan bukti disidang asalakan keterangan itu didukung oleh alat bukti yang sah mengenai hal yang didakwakan kepadanya.41
4. Barang Bukti
Barang bukti atau corpus delicti adalah barang bukti kejahatan.
Barang bukti mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses
pidana, namun dalam peraturan perundang-undangan dalam hukum
39 M. Yahya Harahap, Op.Cit, halaman 296. 40 Ibid, halaman 299. 41 Soedirjo, Loc.Cit.
29
pidana tidak ada satu pasalpun yang memberikan definisi/ pengertian
mengenai barang bukti.
Sedangkan pengertian barang bukti menurut Peristilahan Hukum
Dalam Praktek adalah benda-benda yang disita yang digunakan untuk
kepentingan proses peradilan. Pasal 39, 46 ayat (2), 181 KUHAP.
Keberadaan barang bukti didalam suatu proses penyelesaian
perkara pidana merupakan fakta yang perlu diperhatikan secara serius
baik oleh penyidik, penuntut umum dan hakim. Hal ini karena
keberadaan barang itu dapat menambah keyakinan hakim dalam
pembuktian dipengadilan.
Menurut Djoko Prakoso, fungsi dari barang bukti terutama untuk menambah keyakinan hakim dalam menentukan kesalahan terdakwa, sehubungan dengan ini maka seyogyanya barang bukti tersebut diusahakan oleh penyidik dihadirkan di pengadilan agar proses penyelesaian perkara pidana dapat berjalan lancar.42
Agar supaya barang bukti mempunyai nilai pembuktian dimuka
persidangan maka barang bukti tersebut haruslah dilakukan penyitaan
terlebih dahulu menurut ketentuan hukum sebagaimana tersebut dalam
Pasal 38 ayat (1) KUHAP yaitu:
“ Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin Ketua Pengadilan Negeri setempat “
Sedangkan tujuan penyitaan menurut Yahya Harahap adalah
Untuk kepentingan “Pembuktian”, terutama ditujukan sebagai barang bukti dimuka sidang peradilan. Kemungkinan besar tanpa barang bukti, perkara tidak dapat diajukan ke sidang Pengadilan oleh karena itu, agar perkara tadi lengkap dengan barang bukti, penyidik melakukan penyitaan untuk dipergunakan sebagai bukti dalam penyidikan, dalam penuntutan dan pemeriksaan sidang pengadilan.43
42 Djoko Prakoso, Op.Cit, halaman 146-147. 43 M. Yahya Harahap, Op.Cit, halaman 261.
30
Tidak semua barang bukti dapat dilakukan penyitaan, hanya
benda-benda yang ada hubungannya dengan tindak pidana saja yang
dapat dilakukan penyitaan sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal
39 KUHAP ayat (1) yang dapat dikenakan penyitaan adalah :
“ a. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana ;
b. benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya ;
c. benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana ;
d. benda yang khusus dibuat atau diperuntukan melakukan tindak pidana ;
e. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.”
Benda yang telah disita untuk dijadikan barang bukti apabila
sudah tidak diperlukan lagi sebagai bahan pembuktian dalam proses
persidangan, status benda sitaan setelah perkara diputus oleh hakim
pengadilan dan sudah memperoleh kekuatan hukum tetap, baik jaksa
penuntut umum maupun terdakwa sudah menerima putusan maka
jaksa sebagai eksekutor akan dilaksanakan sesuai dengan amar putusan
yang tercantum dalam perkara tersebut sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 46 KUHAP yaitu:
ayat (1) “ Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dari siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak apabila: a. kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak
memerlukan lagi ; b. perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup
bukti atau ternyata tidak merupakan tindak pidana ; c. perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan
umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana.”
31
ayat (2) “ Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut, kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain.”
Ketentuan mengenai barang bukti apabila proses pembuktian
perkara pidana dalam persidangan telah selesai, dirumuskan pula
dalam Pasal 194 ayat (1) KUHAP yaitu:
“ Dalam putusan pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, pengadilan menetapkan supaya barang bukti yang disita diserahkan kepada pihak yang paling berhak menerima kembali yang namanya tercantum dalam putusan tersebut kecuali jika menurut ketentuan undang-undang barang bukti itu harus dirampas untuk kepentingan negara atau dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi.”
D. Putusan Pengadilan
Salah satu tahapan dalam proses beracara dalam perkara pidana
adalah pengambilan keputusan oleh Pengadilan. Pemberian keputusan oleh
hakim terhadap putusan yang akan dijatuhkan oleh pengadilan tergantung
dari hasil mufakat musyawarah hakim berdasarkan penilaian yang mereka
peroleh dari surat dakwaan dihubungkan dengan segala sesuatu yang
terbukti didalam pemeriksaan dalam sidang pengadilan.
Pengertian putusan pengadilan dirumuskan dalam Pasal 1 butir 11
KUHAP yang berbunyi :
“Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini “.
Menurut Soedirjo, keputusan dan penetapan adalah tindakan hakim
untuk menyelesaikan perkara. Keputusan diambil umumnya setelah
32
mengadakan sidang, sedang penetapan diberikan tanpa melalui sidang
pemeriksaan.44
Sedangkan menurut Leden Marpaung, putusan adalah hasil kesimpulan dari sesuatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai semasak-masaknya yang dapat berbentuk tertulis ataupun lisan. Ada juga yang mengartikan “putusan’ atau vonis sebagai vonis tetap (definitif), mengenai kata “putusan” yang diterjemahkan dari vonis adalah hasil akhir dari pemeriksaan perkara disidang pengadilan.45
Dalam KUHAP terdapat tiga jenis putusan pengadilan, yaitu :
1. Putusan bebas (Pasal 191 ayat (1) KUHAP).
2. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 191 ayat (2)
KUHAP).
3. Putusan pemidanaan (PASAL 193 ayat (1) KUHAP)
1. Putusan Bebas
Mengenai putusan bebas diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP
yang menyebutkan :
“ jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan disidang kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa diputus bebas “.
Penjelasan KUHAP menjelaskan, maksud dari kata “perbuatan
yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan” dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP adalah tidak cukup
terbukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan
menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana ini
(KUHAP).
44 Soedirdjo, Kasasi Dalam Perkara Pidana (Sifat dan Fungsi), Ahliyah, Jakarta, 1981, halaman 29. 45 Laden Marpaung, Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Ekonomi, Sinar Grafika, Jakarta, 1994, halaman 36.
33
Menurut Martiman Prodjohamidjojo, selain hal tersebut diatas, masih ada satu kemungkinan lagi yang dapat ditambahkan, bukan dari segi ketiadaan alat bukti tetapi dari segi lain, yakni kesalahan atau schuld, yang mempunyai pengertian bertalian dengan pertanggungjawaban pidana. Bila unsur kesalahan dalam bentuk dolus atau culpa tidak dapat dibuktikan, berarti pada terdakwa tidak ada kesalahan, sehingga terdakwa harus dibebaskan.46
Bertitik tolak dari dua asas yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP,
yaitu asas pembuktian menurut undang-undang secara negatif dan asas
batas minimum pembuktian, jika dihubungkan dengan Pasal 191 ayat
(1) KUHAP maka putusan bebas pada umumnya didasarkan pada
penilaian dan pendapat hakim jika :
1. Kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa sama sekali tidak terbukti.
2. Atau secara nyata hakim menilai, pembuktian kesalahan yang didakwakan tidak memenuhi ketentuan batas minimum pembuktian.
3. Atau putusan bebas tersebut bisa juga didasarkan atas penilaian, kesalahan yang terbukti itu tidak didukung oleh keyakinan Hakim.47
Putusan bebas berarti terdakwa dinyatakan bebas dari segala
tuntutan hukum, dalam arti dibebaskan dari pemidanaan, tegasnya
terdakwa “tidak dipidana”.
Terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding. Hak ini berdasarkan ketentuan Pasal 67 KUHAP, yang menentukan hak terdakwa atau penuntut umum untuk meminta pemariksaan tingkat banding atas putusan pengadilan tingkat pertama, kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat.48
Sedangkan mengenai pemeriksaan kasasi, terhadap putusan
bebas tidak dapat dimintakan kasasi. Hal ini berdasarkan Pasal 244 46 Martiman Prodjohamidjojo, Pemerataan Keadilan Penangkapan dan Penahanan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988, halaman 161. 47 M. Yahya Harahap, Op.Cit, halaman 327. 48 Martiman Prodjohamidjojo, Op.Cit. halaman 176.
34
KUHAP. Dalam pasal tersebut disebutkan mengenai hak terdakwa atau penuntut umum untuk meminta kasasi terhadap putusan perkara pidana pada tingkat akhir oleh pengadilan lain selain Mahkamah Agung, kecuali putusan bebas.49
2. Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum
Putusan lepas dari segala tuntutan hukum diatur dalam Pasal 191
ayat (2) KUHAP :
“Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum. ”
Dalam putusan hakim yang mengandung pelepasan dari tuntutan
hukum, terdakwa memang bersalah melakukan tindak pidana namun kepadanya tidak dapat dijatuhkan hukuman karena tindak pidana yang dilakukan itu bukan kejahatan atau pelanggaran atau perbuatannya itu tidak dapat dipertanggungjawabkan.50
Menurut Martiman Prodjohamidjojo putusan hakim yang
menyatakan lepas dari segala tuntutan hukum yaitu bahwa :
Perbuatan yang didakwakan itu tidak terbukti, akan tetapi perbuatannya tidak merupakan tindak pidana , hal ini bisa terjadi jika : 1. Terdapat kesalahan dalam merumuskan atau melukiskan perbuatan
yang dilakukan terdakwa kedalam surat dakwaan. Sehingga tidak mencocoki dengan rumusan ketentuan peraturan hukum pidana yang didakwakan.
2. Terdakwa dalam keadaan : a. Sakit jiwa atau cacat jiwa (Pasal 44 KUHP). b. Keadaan memaksa (Pasal 48 KUHP). c. Membela diri (Pasal 48 KUHP). d. Melakukan perbuatan yang menjalankan peraturan perundang-
undangan (Pasal 50 KUHP). e. Melakukan perintah yang diberikan oleh atasan yang sah (Pasal
51 KUHP).51
Terhadap putusan lepas dari segala tuntutan hukum ini
berdasarkan Pasal 67 KUHAP secara tegas termasuk kedalam salah
49 Ibid, halaman 182. 50 Djoko Prakoso, Op.Cit, halaman 50. 51 Martiman Prodjohamidjojo, Op.Cit. halaman 15.
35
satu jenis putusan yang tidak dapat diajukan upaya hukum banding,
tetapi karena tidak dikecualikan oleh Pasal 244 KUHAP maka dapat
diajukan permohonan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung.
3. Putusan Pemidanaan
Pasal 193 ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa penjatuhan
putusan pemidanaan terhadap seorang terdakwa didasarkan pada
penilaian pengadilan.
“Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan akan menjatuhkan pidana.”
Menurut van Bemmelen sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah
yaitu bahwa putusan pemidanaan dijatuhkan oleh hakim jika ia telah mendapat keyakinan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan dan ia menganggap bahwa perbuatan terdakwa dapat dipidana.52
Selanjutnya menurut Martiman Prodjohamidjojo menjelaskan
jika terdakwa bersalah, berarti dakwaan itu terbukti dan syarat untuk
menjatuhkan pidana telah dipenuhi, yakni 2 alat bukti dan hakim yakin
akan kesalahan terdakwa.53
Putusan pemidanaan kepada seseorang tiada lain dari pada putusan
yang berisi perintah untuk menghukum terdakwa sesuai ancaman pidana
yang disebut dalam pasal pidana yang didakwakan kepadanya. Undang-
undang memberi kebebasan kepada hakim untuk menjatuhkan hukuman
pidana antara minimum dan maksimum yang dicantumkan dalam pasal
pidana yang bersangkutan.
52 Andi Hamzah, Lembaga fiducia dan penerapannya di Indonesia, Indhill, Jakarta, 1987, halaman 14. 53 Martiman Prodjohamidjojo, Op.Cit. halaman 17
36
Mengenai hukuman pidana diatur dalam Pasal 10 KUHP, dimana
disebutkan pidana terdiri atas :
a. Pidana pokok : 1. Pidana mati. 2. Pidana penjara. 3. Pidana kurungan. 4. Pidana denda.
b. Pidana tambahan : 1. Pencabutan hak-hak tertentu. 2. Perampasan barang-barang tertentu. 3. Pengumuman putusan hakim.
37
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah Yuridis Normatif. Metode ini memandang hukum identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga dan pejabat yang berwenang. Metode demikian juga memandang hukum sebagai sistem normatif yang mandiri, tertutup dan terlepas dari kehidupan sehari-hari.54
B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang dipakai adalah deskriptif analitis, deskriptif
maksudnya bahwa penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan keadaan atau
gejala dari suatu objek yang diteliti secara menyeluruh dan sistematis. Analisis
karena kemudian akan dilakukan analisa terhadap berbagai aspek yang diteliti
dengan asas hukum, kaedah hukum dan berbagai pengertian hukum yang
berkaitan dengan penelitian ini.
C. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Pengadilan Negeri Purbalingga.
D. Sumber Data
a. Data sekunder.
Data sekunder adalah data pustaka yang mencakup dokumen-dokumen
rersmi, buku-buku kepustakaan, peraturan PerUndang-undangan, karya
ilmiah, artikel-artikel, serta dokumen-dokumen yang berkaitan dengan
materi penelitian.
54 Rony Hanitijo Sumitro, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, halaman 11.
38
b. Data Primer
Data yang berupa keterangan atau hasil wawancara dengan petugas
pengadilan (Hakim) yang bertugas memeriksa dan memutus perkara yang
berhubungan dengan materi yang diteliti.
E. Metode Pengumpulan Data
a. Data Sekunder
Diperoleh dari peraturan perundang-undangan, buku-buku literatur,
dokumen-dokumen resmi yang berkaitan dengan masalah yang diteliti
di lokasi penelitian kemudian dicatat menurut relevansi sebagai suatu
kesatuan yang utuh.
b. Data Primer
Diperoleh dari hasil wawancara secara bebas terpimpin dengan responden
yaitu petugas yang memeriksa dan memutus perkara di sidang pengadilan
F. Metode Penyajian Data
Bahan yang diperoleh akan disajikan secara deskriptif dalam bentuk uraian
yang disusun secara sistematis, yang didahului dengan pendahuluan yang berisi
latar belakang masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan
diteruskan dengan analisa data dan hasil pembahasan serta diakhiri dengan
simpulan.
G. Metode Analisa Data
Data yang diperoleh selanjutnya akan dianalisis dengan menggunakan
metode normatif kualitatif yaitu dengan menjabarkan data yang telah diperoleh
berdasarkan norma-norma hukum atau kaidah yang relevan dengan pokok
permasalahan.
39
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Data Sekunder
Berdasarkan kasus perkara pidana Nomor: 32/Pid.B/2002/PN.Pbg dengan
isi putusan sebagai berikut:
Pengadilan Negeri Purbalingga yang memeriksa dan mengadii perkara-
perkara pidana dengan acara pemeriksaan biasa pada tingkat pertama telah
menjatuhkan putusan dalam perkaranya terdakwa:
WAGIMAN bin RUHADI
Tempat lahir Purbalingga, umur/tanggal lahir 16 tahun/ 6 Juli 1985, Jenis kelamin
laki-laki, Kebangsaan Indonesia, Tempat tinggal Desa Babakan RT.24/RW.07,
Kecamatan Kalimanah, Kabupaten Purbalingga, Agama Islam, Pekerjaan Buruh.
Terdakwa tersebut ditahan oleh:
1. Penyidik sejak tanggal 17 Februari 2002 s/d 8 Maret 2002;
2. Perpanjangan Penuntut Umum, sejak tanggal 9 Maret 2002 s/d 13 Maret 2002;
3. Penuntut Umum sejak tanggal 14 Maret 2002 s/d tanggal 19 Maret 2002;
4. Hakim Pengadilan Negeri Sejak tanggal 20 Maret 2002 s/d tanggal 3 April
2002;
5. Perpanjangan Ketua Pengadilan Negeri sejak tanggal 4 April 2002 s/d 3 Mei
2002;
Pengadilan Negeri tersebut;
Telah membaca berkas perkara dan surat-surat yang bersangkutan;
40
Telah membaca Surat pelimpahan berkas perkara dengan acara pemeriksaan
biasa oleh Kejaksaan Negeri Purbalingga;
Telah membaca Surat penetapan Ketua Pengadilan Negeri Purbalingga
tentang penunjukan Majelis Hakim;
Telah membaca Surat penetapan Ketua Majelis Hakim tentang penetapan
hari sidang;
Telah mendengarkan keterangan saksi-saksi dan terdakwa di persidangan;
Telah memperhatikan barang bukti dan visum et repertum yang diajukan di
persidangan;
Telah memperhatikan hasil penelitian Kemasyarakatan dari BAPAS
Purwokerto yang telah dibacakan pada awal persidangan;
Telah mendengar tuntutan pidana yang dibacakan oleh Penuntut Umum di
persidangan dan pada pokoknya menuntut supaya Majelis Hakim yang memeriksa
dan mengadili terdakwa tersebut di atas:
1. Menyatakan terdakwa Wagiman bin Ruhadi terbukti bersalah melakukan
tindak pidana “Pembunuhan dengan direncanakan lebih dahulu” melanggar
Pasal 340 KUHP sebagaimana tersebut dalam dakwaan Primair;
2. Menghukum terdakwa Wagiman bin Ruhadi dengan pidana penjara selama 10
tahun dikurangi dengan waktu selama terdakwa berada dalam tahanan;
3. Menyatakan barang bukti berupa 1 (satu) bilah pisau panjang ± 35 cm gagang
kayu dirampas dan untuk dimusnahkan;
4. Membebani terdakwa membayar biaya perkara Rp.1000,-
41
Menimbang, bahwa atas tuntutan Penuntut Umum tersebut terdakwa melalui
Penasehat Hukumnya mengajukan pembelaan secara lisan yang pada pokoknya
mohon keringanan hukuman;
Menimbang, bahwa atas pembelaan lisan Penasehat Hukum terdakwa
tersebut Penuntut Umum menyatakan tetap pada tuntutannya;
Menimbang, bahwa terdakwa diajukan kepersidangan dengan dakwaan
sebagai berikut:
Primair:
Bahwa ia terdakwa WAGIMAN bin RUHADI, pada hari sabtu tanggal 16
Februari 2002 sekira jam 18.30 WIB atau pada waktu yang lain dalam bulan
Februari 2002 atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam tahun 2002
bertempat di dukuh Slatri desa Babakan, Kecamatan Kalimanah, Kabupaten
Purbalingga atau setidak-tidaknya pada suatu tempat dalam daerah hukum
Pengadilan Negeri Purbalingga, dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih
dahulu menghilangkan jiwa orang lain yaitu RUHADI, yang dilakukan oleh
terdakwa dengan cara sebagai berikut:
Mula-mula terdakwa sering dimarahi orang tuanya yaitu oleh ayahnya
RUHADI dan juga oleh ibunya PARSIAH alias KUNYIL karena terdakwa
tidak patuh dan tidak pernah membantu orang tua;
Pada hari Minggu tanggal 10 Februari 2002 sekira jam 10.00 WIB terdakwa
minta uang sebanyak Rp.100.000,- dengan alasan untuk ongkos ke Jakarta lalu
terdakwa diberi uang Rp.100.000 oleh Ibunya, tetapi uangnya habis dipakai
untuk kesenangan sendiri dan membeli minuman keras serta mabuk-mabukan.
42
Sehari kemudian Senin tanggal 11 Februari 2002 sekira Jam 18.30 WIB
terdakwa ditanya oleh Ibunya PARSIAH mengapa tidak ke Jakarta dan
Ayahnya RUHADI juga marah menanyakan uang Rp.100.000,- sehingga
terdakwa merasa kesal dan sakit hati kemudian timbul niat untuk membunuh
Ayahnya RUHADI dengan membungkam mulut menggunakan bantal dan
waktunya menunggu saat keadaan sepi;
Pada hari Sabtu tanggal 16 Februari 2002 sekira Jam 18.00 WIB keadaan
rumah sepi dan melihat Ayahnya RUHADI sedang Sholat Maghrib di kamar
belakang, niatnya membunuh ayahnya akan dilakukan tetapi tidak jadi
membungkam mulut menggunakan bantal namun akan menggunakan pisau
lalu terdakwa mengambil pisau di kamar depan tempat tidur ayahnya yang
ditaruh di bawah kasur, pisaunya kemudian ditaruh di atas lemari dan tidak
lama diambilnya lagi diselipkan ke dalam kaos;
Setelah menunggu dan ayahnya RUHADI selesai Sholat Maghrib, ayahnya
RUHADI pindah ke kamar depan duduk di atas tempat tidur, dan disaat itulah
terdakwa mendekati ayahnya RUHADI terus membacok kepalanya berkali-kali
dengan pisau yang telah dipersiapkan mengenai kepala atas kanan, puncak
kepala, dahi, tengkuk, belakang telinga, kemudian korban ayahnya RUHADI
jatuh ke tanah terus diinjak-injak dada dan kakinya sambil mengatakan “mati
kiye wong-mati kiye wong” maksudnya “mati ini orang-mati ini orang” dan
korban RUHADI hanya mengaduh minta tolong kepada Ibunya PARSIAH
“aduh tolong nyil” (panggilan ibunya PARSIAH KUNYIL) sehingga Ibunya
PARSIAH alias KUNYIL datang menolong korban suaminya RUHADI sambil
berteriak minta tolong;
43
Tidak lama kemudian tetangganya HADI SUWITO alias TARWIN datang
menolong, lalu datang lagi TRIYANTO bin KUSMEDI langsung dapat
merebut pisau dari tangan terdakwa, selanjutnya terdakwa diamankan di rumah
BAIDI dan akhirnya terdakwa ditangkap oleh petugas Polsek Kalimanah;
Sehingga akibat perbuatan terdakwa, korban RUHADI mati atau meninggal
dunia beberapa saat kemudian sewaktu di bawa ke rumah sakit sesuai Visum et
Repertum dari RSUD Purbalingga No. 183/VER/05/RSUD/II/01 tanggal 19
Februari 2002 yang dibuat dan ditandatangani oleh dr. Indrajaya AP dengan
hasil pemeriksaan korban datang di UGD sudah meninggal, pada kepala luka
robek pada dahi kiri 3 cm x 2 cm x 1 cm tembus sampai tulang tengkorak, luka
robek pada kepala atas kanan 7 cm x 2 cm x 2 cm luka robek pada puncak
kepala 4 cm x 2 cm x 1 cm, luka robek belakang telinga kanan 5 cm sampai
tembus tulang tengkorak, luka robek kepala belakang 3 cm, luka robek tengkuk
17 cm dalam 4 cm mandibula kanan robek 10 cm, luka sayat bahu kiri 4 cm,
yang menyimpulkan orang tersebut meninggal akibat cedera kepala berat,
disebabkan oleh benda tajam;
Sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 340 KUHP.
Subsidair:
Bahwa ia terdakwa WAGIMAN bin RUHADI, pada waktu dan tempat
sebagaimana diuraikan dalam dakwaan Primair di atas dengan sengaja
menghilangkan jiwa orang lain yaitu RUHADI dengan cara terdakwa melakukan
hal tersebut sebagai berikut:
Mula-mula terdakwa sering dimarahi orang tuanya yaitu ayahnya RUHADI
dan juga oleh Ibunya PARSIAH alias KUNYIL karena terdakwa tidak patuh
44
dan tidak pernah membantu orang tua, lalu pada hari Minggu tanggal 10
Februari 2002 sekira jam 10.00 WIB terdakwa minta uang sebanyak
Rp.100.000,- dengan alasan untuk ongkos ke Jakarta lalu terdakwa diberi uang
oleh Ibunya, tetapi uangnya habis dipakai untuk kesenangan sendiri dan
membeli minuman keras serta mabuk-mabukan;
Sehari kemudian Senin tanggal 11 Februari 2002 sekira Jam 18.30 WIB
terdakwa ditanya oleh Ibunya PARSIAH mengapa tidak jadi ke Jakarta dan
Ayahnya RUHADI juga marah menanyakan uang Rp.100.000,- sehingga
terdakwa merasa kesal dan sakit hati kemudian timbul niat untuk membunuh
Ayahnya RUHADI:
Pada hari Sabtu tanggal 16 Februari 2002 sekira Jam 18.00 WIB keadaan
rumah sepi dan melihat Ayahnya RUHADI sedang Sholat Maghrib di kamar
belakanglalu terdakwa mengambil pisau di kamar depan tempat tidur ayahnya
yang ditaruh di bawah kasur, pisaunya kemudian ditaruh di atas lemari dan
tidak lama diambilnya lagi diselipkan ke dalam kaos;
Setelah menunggu dan ayahnya RUHADI selesai Sholat Maghrib, ayahnya
RUHADI pindah ke kamar depan duduk di atas tempat tidur, dan disaat itulah
terdakwa mendekati ayahnya RUHADI terus membacok kepalanya berkali-kali
dengan pisau yang telah dipersiapkan mengenai kepala atas kanan, puncak
kepala, dahi, tengkuk, belakang telinga, kemudian korban ayahnya RUHADI
jatuh ke tanah terus diinjak-injak dada dan kakinya sambil mengatakan “mati
kiye wong-mati kiye wong” maksudnya “mati ini orang-mati ini orang” dan
korban RUHADI hanya mengaduh minta tolong kepada Ibunya PARSIAH
“aduh tolong nyil” (panggilan ibunya PARSIAH KUNYIL) sehingga Ibunya
45
PARSIAH alias KUNYIL datang menolong korban suaminya RUHADI sambil
berteriak minta tolong;
Tidak lama kemudian tetangganya HADI SUWITO alias TARWIN datang
menolong, lalu datang lagi TRIYANTO bin KUSMEDI langsung dapat
merebut pisau dari tangan terdakwa, selanjutnya terdakwa diamankan di rumah
BAIDI dan akhirnya terdakwa ditangkap oleh petugas Polsek Kalimanah;
Sehingga akibat perbuatan terdakwa, korban RUHADI mati atau meninggal
dunia beberapa saat kemudian sewaktu di bawa ke rumah sakit sesuai Visum et
Repertum dari RSUD Purbalingga No. 183/VER/05/RSUD/II/01 tanggal 19
Februari 2002 yang dibuat dan ditandatangani oleh dr. Indrajaya AP dengan
hasil pemeriksaan korban datang di UGD sudah meninggal, pada kepala luka
robek pada dahi kiri 3 cm x 2 cm x 1 cm tembus sampai tulang tengkorak, luka
robek pada kepala atas kanan 7 cm x 2 cm x 2 cm luka robek pada puncak
kepala 4 cm x 2 cm x 1 cm, luka robek belakang telinga kanan 5 cm sampai
tembus tulang tengkorak, luka robek kepala belakang 3 cm, luka robek tengkuk
17 cm dalam 4 cm mandibula kanan robek 10 cm, luka sayat bahu kiri 4 cm,
yang menyimpulkan orang tersebut meninggal akibat cedera kepala berat,
disebabkan oleh benda tajam;
Sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 340 KUHP.
Lebih Subsidair:
Bahwa ia WAGIMAN bin RUHADI, pada waktu dan tempat sebagaimana
diuraikan dalam dakwaan Primair di atas, telah melakukan penganiayaan, yang
menjadikan mati orangnya yaitu RUHADI, dengan cara terdakwa melakukan hal
tersebut seperti dengan cara yang diuraikan dan dijalankan dalam dakwaan
46
Subsidair di atas, sehingga akibat dari perbuatan terdakwa, korban RUHADI mati
atau meninggal dunia beberapa saat kemudian sewaktu dibawa ke rumah sakit
sesuai Visum et Repertum dari RSUD Purbalingga No. 183/Ver/05/RSUD/II/01
tanggal 19 Februari 2002 yang dibuat dan ditandatangani oleh dr. Indrajaya AP
dengan hasil pemeriksaan korban datang di UGD sudah meninggal, pada kepala
luka robek pada dahi kiri 3 cm x 2 cm x 1 cm tembus sampai tulang tengkorak,
luka robek pada kepala atas kanan 7 cm x 2 cm x 2 cm luka robek pada puncak
kepala 4 cm x 2 cm x 1 cm, luka robek belakang telinga kanan 5 cm sampai
tembus tulang tengkorak, luka robek kepala belakang 3 cm, luka robek tengkuk 17
cm dalam 4 cm mandibula kanan robek 10 cm, luka sayat bahu kiri 4 cm, yang
menyimpulkan orang tersebut meninggal akibat cedera kepala berat, disebabkan
oleh benda tajam;
Sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 351 (3) KUHP.
Menimbang, bahwa atas dakwaan Penuntut Umum tersebut terdakwa di
persidangan menyatakan telah mengerti isi dan maksud dakwaan tersebut,
selanjutnya terdakwa atas dakwaan Penuntut Umum tersebut tidak menyatakan
tidak mengajukan eksepsi dan mohon sidang dilanjutkan;
Menimbang, bahwa terdakwa di persidangan didampingi oleh Penasehat
Hukumnya yaitu Saudari SITI RACHMAH, SH. berdasarkan Surat Kuasa Khusus
tanggal 1 April 2002;
Menimbang, bahwa Penuntut Umum di persidangan telah mengajukan
barang bukti berupa sebilah pisau panjang ± 35 cm gagang kayu;
Menimbang, bahwa Penuntut Umum telah mengajukan saksi-saksi guna
didengar keterangannya di persidangan yang bunyi selengkapnya sebagaimana
47
termuat dalam Berita Acara Persidangan, adapun saksi-saksi tersebut telah
disumpah menurut agama dan kepercayaannya sebagai berikut:
1. Saksi PARSIAH alias KUNYIL, menerangkan;
Bahwa saksi kenal dengan terdakwa dan ada hubungan keluarga karena
saksi adalah ibu kandung dari terdakwa;
Bahwa pada hari Sabtu tanggal 16 Februari 2002 sekira pukul 18.30 WIB
(habis Maghrib) suami saksi bernama RUHADI telah dibunuh oleh
terdakwa Wagiman ketika berada di dalam kamar tidurnya di dukuh Slatri
Desa Babakan, Kecamatan Kalimanah, Kabupaten Purbalingga;
Bahwa pada saat kejadian tersebut suami saksi habis Sholat Maghrib terus
pindah ke kamar tidur dan saksi gantian Sholat Maghrib di kamar
belakang tersebut;
Bahwa pada saat Sholat Maghrib tersebut saksi mendengar teriakan
suaminya minta tolong “Nyil tulung Nyil aku agi dikapakaken nang
Giman” (Nyil saya sedang diapakan oleh Wagiman);
Bahwa begitu mendengar teriakan Ruhadi saksi langsung menuju ke
kamar Ruhadi di situ saksi melihat terdakwa sedang menginjak-injak dada
Ruhadi dengan tangannya memegang pisau dan sambil teriak “mati kiye
wong-mati kiye wong”
Bahwa melihat hal tersebut saksi lalu teriak minta tolong, dan segera saat
itu juga datang saksi Hadi dan Saksi Triyanto merebut pisau dari tangan
Wagiman dan membawa terdakwa ke luar rumah ke rumah saudara Baidi;
Bahwa akibat dari kejadian tersebut Ruhadi tergeletak memegangi
kepalanya yang luka di bagian kepala dan tengkuk serta banyak
48
mengeluarkan darah dan segera saksi bawa ke RSUD Purbalingga dengan
memakai becak namun meninggal di tengah jalan;
Bahwa pisau yang digunakan terdakwa untuk membacok kepala dan
tengkuk Ruhadi adalah pisau yang biasanya di simpan di bawah tempat
kasur kamar tidur Ruhadi karena Ruhadi senang menyimpan senjata tajam
di bawah kasurnya seperti pisau, kudi, dan pemes dan nanti kalau ada yang
butuh dijualnya lagi;
Bahwa seminggu sebelum kejadian terdakwa pernah minta uang
Rp.100.000,- untuk ongkos ke Jakarta kemudian oleh saksi dan Ruhadi
ditanya mengapa tidak ke Jakarta dan mana uangnya, oleh terdakwa
dijawab uangnya habis;
Bahwa terdakwa juga sering meminta uang antara Rp.2000,- s/d Rp.5000,-
dan juga diberi oleh saksi;
Bahwa terdakwa pernah mengatakan nanti ayahnya akan dibunuh, saksi
juga akan dibunuh dan kakaknya akan digombrang serta rumah akan
dibakar;
Bahwa Wagiman juga sering mengancam;
Bahwa Wagiman (terdakwa) mengatakan akan membunuh ayahnya
(Ruhadi) sekitar seminggu sebelum kejadian tetapi saksi tidak tahu dengan
cara apa atau bagaimana membunuhnya;
Bahwa luka korban dalam foto gambar korban adalah betul dan foto
rekontruksi juga betul;
49
Bahwa karena terdakwa telah bersalah membunuh ayahnya boleh
dihukum, kalau dikembalikan saksi takut, lingkungan keluarga juga masih
takut dan curiga terhadap terdakwa;
Bahwa benar sebilah pisau yang diajukan sebagai barang bukti adalah
pisau yang dipergunakan oleh terdakwa Wagiman untuk membunuh
Ruhadi;
2. Saksi HADI SUWITO alias TARWIN, menerangkan:
Bahwa saksi kenal dengan terdakwa namun tidak ada hubungan keluarga
maupun hubungan kerja dengan terdakwa;
Bahwa pada hari Sabtu tanggal 16 Februari 2002 sekira pukul 18.30 WIB
di dukuh Slatri, Desa Babakan, Kecamatan Kalimanah, Kabupaten
Purbalingga, Ruhadi telah dibacok oleh terdakwa Wagiman dengan sebilah
pisau panjang ± 35 cm kearah kepala dan tengkuk korban;
Bahwa terdakwa Wagiman adalah masih anak kandung dari Ruhadi;
Bahwa saksi adalah tetangga korban Ruhadi dan rumah saksi berdekatan
dengan rumah Ruhadi;
Bahwa pada saat kejadian ketika saksi sedang berada di rumah mendengar
suara teriakan saksi Parsiah alias Kunyil minta tolong, mendengar teriakan
tersebut saksi lari menuju ke rumah Ruhadi/ saksi Parsiah;
Bahwa ketika saksi sampai di rumah saksi Parsiah dan masuk ke kamar
Ruhadi, saksi melihat terdakwa Wagiman masih memegang pisau, lalu
datang saksi Triyanto ikut menolong merebut pisau dari tangan terdakwa,
lalu membawa terdakwa ke luar rumah dan membawanya ke rumah Baidi
untuk diamankan;
50
Bahwa pisau yang telah direbut dari tangan terdakwa Wagiman oleh saksi
Triyanto disimpan di bawah bufet;
Bahwa saksi melihat korban Ruhadi sempoyongan dengan luka-luka di
kepalanya dan banyak mengeluarkan darah;
Bahwa korban Ruhadi dibawa ke Rumah Sakit Umum Purbalingga oleh
saksi Parsiah dengan naik becak keburu meninggal di tengah perjalanan;
Bahwa luka korban pada foto adalah betul dan gambar rekontruksi juga
betul;
Bahwa barang bukti sebilah pisau sepanjang ± 35 cm adalah betul pisau
yang dipegang terdakwa Wagiman ketika direbut oleh saksi Triyanto;
Bahwa sebelum kejadian saksi mendengar dari saksi Pasrsiah, bahwa
terdakwa minta uang Rp.100.000,- dan sudah dikasih tetapi tidak jadi
berangkat ke Jakarta karena uangnya sudah habis;
3. Saksi TRIYANTO bin KUSMEDI, menerangkan:
Bahwa saksi kenal dengan terdakwa namun tidak ada hubungan keluarga
baik hubungan darah maupun semenda serta tidak ada hubungan kerja
dengan terdakwa;
Bahwa pada hari Sabtu tanggal 16 Februari 2002 sekira pukul 18.30 WIB
di dukuh Slatri Desa Babakan, Kecamatan Kalimanah, Kabupaten
Purbalingga telah terjadi pembunuhan terhadap korban Ruhadi yang
dilakukan oleh anak kandungnya sendiri bernama Wagiman;
Bahwa pada saat kejadian saksi sedang berada di rumah Pak Tarwin (saksi
Hadi Suwito) tiba-tiba mendengar tolong-tolong dari rumah Ruhadi dan
ketika masuk ke kamar Ruhadi saksi melihat terdakwa Wagiman sedang
51
memegang pisau ditangannya, terus saksi bersama Pak Tarwin merebut
pisau tersebut dari tangan terdakwa kemudian saksi taruh di bawah bufet
sebelah pintu;
Bahwa kemudian saksi bersama Pak Tarwin mendorong terdakwa keluar
lalu pintunya ditutup dan seterusnya terdakwa dibawa ke rumah Baidi;
Bahwa saksi melihat korban Ruhadi sempat berdiri sempoyongan sambil
memegang kepalanya yang berlumuran darah dan terdapat luka di kepala
bagian atas;
Bahwa korban Ruhadi kemudian dibawa ke RSU Purbalingga oleh saksi
Parsiah dengan naik becaknya Masirin namun meninggal diperjalanan;
Bahwa gambar foto korban dan gambar foto rekontruksi adalah betul;
Bahwa barang bukti berupa sebilah pisau panjang ± 35 cm adalah betul
pisau yang saksi rebut dari tangan terdakwa;
4. Saksi BAIDI bin SANILYAS, menerangkan:
Bahwa saksi kenal dengan terdakwa namun tidak ada hubungan keluarga
maupun hubungan kerja dengan terdakwa;
Bahwa pada hariSabtu tanggal 16 Februari 2002 sekira pukul 18.30 WIB
di dukuh Slatri Desa Babakan, Kecamatan Kalimanah, Kabupaten
Purbalingga, telah terjadi penganiayaan terhadap korban Ruhadi oleh
terdakwa Wagiman yang mengakibatkan Ruhadi meninggal dunia;
Bahwa pada saat kejadian saksi sedang berada di rumah mendengar
teriakan “tolong-tolong” dari seorang laki-laki dan ketika saksi keluar
rumah saksi melihat terdakwa Wagiman sedang dipegang tangannya oleh
52
saksi Hadi Suwito di depan rumah saksi dan kemudian diamankan di teras
rumah saksi;
Bahwa saat mengamankan terdakwa saksi sempat menanyakan kepada
terdakwa mengapa tega membunuh ayahnya sendiri dan dijawab oleh
terdakwa bahwa dia sudah puas setelah membunuh ayahnya dan kalau
dipenjara diberi makan juga;
Bahwa Ruhadi menderita luka bacokan pada bagian kepala, leher
(tengkuk) dan sebelah mulut, luka-luka tersebut banyak mengeluarkan
darah;
Bahwa korban Ruhadi dibawa ke rumah sakit dengan memakai becaknya
Sirin tetapi keburu meninggal diperjalanan;
Bahwa tedakwa pernah meminta uang Rp.100.000,- kepada Ibunya
(Parsiah) untuk ke Jakarta tetapi nyatanya tidak ke Jakarta;
Bahwa sebelum kejadian saksi tidak mendengar cek-cok/keributan antara
terdakwa dengan orang tuanya;
Bahwa terdakwa perilakunya buasa-basa saja seperti anak lainnya tetapi
kurang bergaul dan sopan santunnya kurang misalnya kalau masuk ke
rumah dengan menendang pintu;
Bahwa saksi juga mendengar dari Parsiah terdakwa pernah mengancam
akan membunuh Bapak dan Ibunya kalau tidak diberi uang;
Bahwa barang bukti berupa pisau panjang ± 35 cm adalah betul yang
direbut oleh saksi setelah digunakan untuk menbacok korban Ruhadi, dan
gambar foto yang ditunjukan adalah benar foto korban Ruhadi;
53
5. Saksi MASIRIN, menerangkan:
Bahwa saksi kenal dengan terdakwa namun tidak ada hubungan keluarga
maupun hubungan kerja dengan terdakwa;
Bahwa saksi sebagai tukang becak pada hari Sabtu tanggal 16 Februari
2002 sekira pukul 18.30 WIB ketika sedang di rumah didatangi warga
yang minta tolong untuk membawa becak mengantar Ruhadi ke Rumah
Sakit;
Bahwa ketika sampai di rumah Ruhadi, Ruhadi digotong beramai-ramai
dinaikan ke becak saksi, kepalanya Ruhadi dan pundaknya berlumuran
darah;
Bahwa di dalam becak Ruhadi dipangku Istrinya (Parsiah) menuju ke RSU
Purbalingga dalam perjalanan Ruhadi hanya diam dan ngorok tetapi
ditengah perjalanan tidak kedengaran ngorok lagi
Bahwa sesampai di RSUD Purbalingga ternyata Ruhadi sudah meninggal
dunia;
Bahwa kemudian saksi menunggu di RSUD dan baru pulang setelah
Ruhadi dibawa pulang dengan ambulan;
Bahwa terdakwa bekerja sebagai tukang becak tetapi baru, dan pernah
dibelikan becak oleh orang tuanya tetapi dijual;
Bahwa gambar foto yang diperlihatkan di persidangan adalah benar foto
korban Ruhadi dengan luka-luka di kepalanya;
6. Saksi SAMINGUN, menerangkan:
Bahwa saksi kenal dengan terdakwa dan terdakwa adalah adik ipar tetapi
tidak ada hubungan kerja;
54
Bahwa pada hari Sabtu tanggal 16 Februari 2002 sekira pukul 18.30 WIB
saksi diberitahu bahwa Ruhadi telah dianiaya oleh terdakwa Wagiman;
Bahwa mendengar hal tersebut lalu istri saksi berangkat lebih dahulu ke
rumah Ruhadi dan saksi menyusul belakangan;
Bahwa sesampai di rumah Ruhadi lalu saksi ikut ke RSUD Purbalingga
karena Ruhadi dibawa ke RSUD Purbalingga dengan membonceng sepeda
motor Achmadi, tetapi Ruhadi meninggal di perjalanan dan dibawa
kembali ke rumah sekitar ± pukul 01.00 WIB;
Bahwa korban Ruhadi meninggal akibat luka-luka di kepala dan leher
karena disabet dengan pisau oleh terdakwa Wagiman dan banyak
mengeluarkan darah;
Bahwa saksi pernah dengar dari saksi Parsiah (mertua saksi) bahwa
terdakwa mau membunuh Ruhadi dan Parsiah serta menggombrang
Misrinah istri saksi;
Bahwa terdakwa pernah minta uang sebanyak Rp.100.000,- untuk ongkos
ke Jakarta cari kerja namun terdakwa juga ke Jakarta;
Bahwa terdakwa kalau minta uang selalu dengan ancaman mau dibunuh
kalau tidak memberi;
Bahwa gambar foto yang ditunjukan di persidangan adalah benar foto
korban Ruhadi dengan luka-luka di kepalanya;
Menimbang, bahwa atas barang bukti dan keterangan saksi-saksi tersebut
terdakwa menyatakan benar dan tidak keberatan;
Menimbang, bahwa selanjutnya di persidangan telah di bacakan Visum et
Repertum Nomor: 183/VER/05/RSUD/II/01 tanggal 19 Februari 2002 yang dibuat
55
dan ditandatangani oleh dokter INDRAJAYA AP. dokter pada rumah sakit RSUD
Purbalingga atas nama korban Ruhadi bunyi selengkapnya sebagaimana tersebut
dalam surat dakwaan tersebut di muka dan atas isi Visum et Repertum tersebut
saksi-saksi dan terdakwa menyatakan benar dan tidak keberatan;
Menimbang, bahwa di persidangan telah didengar keterangan terdakwa
yang pada pokoknya sebagai berikut:
Bahwa terdakwa pada hari Sabtu tanggal 16 Februari 2002 sekira pukul 18.30
WIB terdakwa telah menganiaya ayahnya bernama Ruhadi dengan cara
dibacok pakai pisau di bagian kepala, pelipis, leher/tengkuk di rumah di Desa
Babakan Kecamatan Kalimanah, Kabupaten Purbalingga;
Bahwa terdakwa membacoknya dari arah samping dan yang dibacokan adalah
bagian tajamnya pisau sehingga menimbulkan luka yang cukup dalam dan
banyak mengeluarkan darah;
Bahwa setelah dibacok kemudian Ruhadi jatuh ke lantai terus diinjak-injak
dengan kaki kanan ambil mengatakan “mati kiye wong-mati kiye wong”
maksudnya mati ini orang;
Bahwa terdakwa sadar dan tahu kepala dan leher merupakan bagian vital
sehingga akibat bacokannya berkali-kali tersebut bisa mengakibatkan mati
terdakwa tetap melakukannya;
Bahwa terdakwa tahu akibat bacokannya tersebut bisa menyebabkan mati dan
terdakwa memang menghendaki Ruhadi mati;
Bahwa niat terdakwa untuk membunuh Ruhadi (ayah terdakwa) tersebut mulai
timbul pada hari Senin tanggal 11 Februari 2002 setelah terdakwa dimarahi
oleh Ruhadi, Parsiah dan juga oleh Misrinah;
56
Bahwa terdakwa dimarahi karena telah minta uang Rp.100.000,- pada hari
Minggu tanggal 10 Februari 2002 untuk ongkos pergi ke Jakarta cari kerja
namun tidak berangkat karena uangnya habis untuk beli minuman keras
Rp.50.000,- dan sisanya Rp.50.000,- dipinjam Eko;
Bahwa selain masalah uang tersebut, Ruhadi marah tiap hari karena terdakwa
jarang pulang ke rumah, kalau tidur di jalan atau di pasar Purbalingga;
Bahwa pada awalnya niat terdakwa untuk membunuh Ruhadi dengan cara
membungkam pakai bantal tetapi kemudian berubah pakai pisau supaya lebih
cepat;
Bahwa pada hari Sabtu tanggal 16 Februari 2002 sekira pukul 12.00 WIB
terdakwa pulang makan siang, di rumah hanya berdua dengan ayahnya
(Ruhadi) kemudian terdakwa tidur;
Bahwa ketika waktu Sholat Ashar ± pukul 15.00 WIB terdakwa bangun dan
ingat rencananya maka ketika Ruhadi Sholat Ashar terdakwa mengambil
sebilah pisau dari bawah kasur tempat tidur Ruhadi dan terus disimpan di atas
almari kamar tengah;
Bahwa setelah dapat mengambil pisau lalu terdakwa menunggu waktu sepi
tidur lagi dikamarnya;
Bahwa sekira pukul 17.30 WIB terdakwa bangun dan saat ibunya (Parsiah)
pulang dari dagang dan ayahnya (Ruhadi) Sholat Maghrib di kamar belakang;
Bahwa pada saat itu terdakwa mengambil pisau yang sudah disiapkan di atas
almari lalu diselipkan di perut di balik baju terdakwa;
57
Bahwa setelah selesai Sholat Maghrib ayahnya (Ruhadi) pindah ke kamar
depan diikuti terdakwa dari belakang sedang ibunya (Parsiah) gantian Sholat
Maghrib di kamar belakang;
Bahwa ketika Ruhadi sampai di kamar depan lalu duduk di tempat tidur, saat
itulah kemudian terdakwa membacokan pisau yang telah disiapkan ke arah
kepala dan leher/tengkuk Ruhadi berkali-kali dari arah samping hingga Ruhadi
jatuh ke lantai yang lalu diinjak-injak dengan kaki kanan terdakwa sambil
teriak “mati kiye wong-mati kiye wong”;
Bahwa pada saat Ruhadi dibacok berteriak minta tolong Parsiah sehingga
Parsiah datang dan terus berteriak-teriak minta tolong sehingga tetangganya
datang yaitu Hadi Suwito dan Triyanto yang langsung merebut pisau yang
dibawa oleh terdakwa;
Bahwa pada hari Sabtu pagi sebelum kejadian sekira pikul 11.00 WIB
terdakwa di rumah temannya telah minum bodrex 4 butir/tablet dicampur
dengan Sprite karena pusing dan kesal;
Bahwa sebilah pisau yang diajukan sebagai barang bukti adalah benar yang
digunakan terdakwa untuk membacok Ruhadi;
Bahwa terdakwa menyesali perbuatannya dan merasa bersalah, dan apabila
sudah keluar tidak akan membabad ibu maupun kakaknya;
Menimbang, bahwa untuk mempersingkat uraian putusan ini maka segala
sesuatu yang termuat dalam Berita Acara Persidangan dianggap merupakan satu
kesatuan dengan putusan ini;
Menimbang, bahwa terdakwa diajukan ke persidangan oleh Penuntut Umum
dengan dakwaan yang disusun secara Subsidair atas sebagaimana tersebut di atas;
58
Menimbang, bahwa untuk itu Majelis Hakim akan membuktikan lebih
dahulu apakah perbuatan terdakwa memenuhi unsur-unsur dari dakwaan Primair
melanggar Pasal 340 KUHP yang unsur-unsurnya sebagai berikut:
Barang siapa
Dengan sengaja
Dengan direncanakan lebih dulu
Menghilangkan jiwa orang lain
1. Unsur “barang siapa”:
Unsur barang siapa ini yang dimaksud adalah orang atau natuurlijke personen
yang mampu bertanggungjawab dan tanpa kualitas tertentu yang harus
diajukan oleh Penuntut Umum sebagai terdakwa, dengan diajukannya
Wagiman sebagai terdakwa oleh Penuntut Umum maka terpenuhilah sudah
unsur pertama ini tanpa perlu dibuktikan lebih lanjut lagi;
2. Unsur dengan sengaja:
Unsur dengan sengaja atau dolus atau opset yang dimaksud adalah perbuatan
dan akibatnya memang dikehendaki dan dimengerti oleh si pelaku dengan
demikian kesengajaan juga merupakan sikap batin dari si pelaku hal ini dapat
dilihat dari tingkah laku dan perbuatannya yang dilakukan pada waktu itu,
dalam hal ini tingkah laku dan perbuatan-perbuatan dari terdakwa sebelum
maupun pada saat melakukan tindak pidana, seperti halnya mengambil pisau
dari bawah kasur tempat tidur Ruhadi sewaktu Ruhadi sedang Sholat Ashar
dan kemudian menyimpannya di atas almari kamar tengah, lalu menunggu sepi
dan terdakwa sempat tidur, setelah Maghrib terdakwa bangun mengambil pisau
dan diselipkan di balik baju dan kemudian ketika Ruhadi di kamar depan
59
duduk di tempat tidur lalu dibacok oleh terdakwa dari arah samping kepalanya
berkali-kali dengan pisau sampai jatuh ke lantai dan masih diinjak-injak
dadanya dengan mengatakan “mati kiye wong-mati kiye wong” bahwa dari
kata-kata mati kiye wong-mati kiye wong serta bacokan-bacokan pisau
terdakwa ke arah kepala dan tengkuk Ruhadi yang merupakan bagian yang
vital dan membuktikan bahwa Visum et Repertum No:
183/VER/05/RSUD/II/01 tanggal 19 Februari 2002 serta keterangan terdakwa
sendiri yang menyatakan menginginkan kematian Ruhadi maka dapat
disimpulkan terdakwa melakukan perbuatan tersebut karena memang
menginginkan kematian korban Ruhadi dengan demikian maka unsur
kesengajaan tersebut telah terpenuhi dan terbukti;
3. Unsur “Dengan direncanakan lebih dahulu”:
Bahwa unsur “dengan direncanakan lebih dahulu” yang dimaksud adalah
antara timbulnya maksud/niat untuk membunuh dengan pelaksanaannya masih
ada waktu yang cukup untuk berfikir dengan tenang cara bagaimana
pembunuhan itu dilakukan;
Bahwa dalam hubungannya dengan terdakwa maka berdasarkan keterangan
saksi dan pengakuan terdakwa sendiri niat untuk membunuh ayahnya (Ruhadi)
timbul sejak tanggal 11 Februari 2002 hari Senin karena terdakwa dimarahi
leh Ruhadi sebab pada hari Minggu tanggal 10 Februari 2002 terdakwa minta
uang Rp.100.000,- untuk ke Jakarta cari kerja dan sudah dikasih tetapi
terdakwa tidak juga berangkat karena uangnya habis untuk beli minuman
keras Rp.50.000,- dan dipinjam Eko Rp.50.000,- sehingga ayahnya (Ruhadi)
dan Parsiah marah-marah dan terdakwa sakit hati dan dendam kepada ayahnya
60
maka timbul niatnya untuk membunuh ayahnya dengan cara dibungkam pakai
bantal dan kemudian pada hari Sabtu tanggal 16 Februari 2002 terdakwa
berubah pikiran kalau dibunuh dengan dibungkam pakai bantal terlalu lama
matinya maka dibunuh pakai pisau, dengan perubahan rencana tersebut
kemudian hari Sabtu tanggal 16 Februari 2002 tersebut pada waktu Ashar saat
Ruhadi sedang Sholat Ashar terdakwa mengambil sebilah pisau dari bawah
kasur tempat tidur Ruhadi lalu disimpannya di atas almari kamar tengah dan
sambil menunggu sepi terdakwa tidur lagi. Bahwa baru sekitar pukul 17.30
WIB terdakwa bangun dikiranya sepi karena Maghrib;
Waktu itu Ruhadi sedang Sholat Maghrib terdakwa mengambil pisau dari atas
lemari lalu diselipkan di balik baju sambil menunggu Ruhadi selesai Sholat
Maghrib;
Ketika Ruhadi selesai Sholat Maghrib dan menuju ke kamar tidur depan
terdakwa mengikuti dari belakang dan ketika Ruhadi sedang duduk di tempat
tidur terdakwa membacokan pisau yang telah disiapkannya dari samping ke
arah kepala, pelipis, dan leher/tengkuk Ruhadi berkali-kali hingga Ruhadi
jatuh ke lantai dan mengalami luka-luka yang cukup dalam sebagaimana
tersebut dalam Visum et Repertum No: 183/VER/05/RSUD/II/01 tanggal 19
Februari 2002;
Bahwa dari uraian fakta tersebut di atas ternyata terdakwa punya waktu yang
cukup yaitu sejak dari Ashar ketika terdakwa mengambil pisau dari bawah
kasur Ruhadi hingga sampai dengan perbuatan pelaksanaannya pada waktu
Maghrib untuk memikirkan bagaimana caranya melakukan pembunuhan
tersebut ataupun mengurungkan niatnya tersebut tetapi terdakwa tetap
61
melaksanakan niatnya tersebut maka dengan demikian terpenuhilah unsur
dengan direncanakan lebih dahulu tersebut;
4. Unsur “Menghilangkan jiwa orang lain”:
Bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa serta
Visum et Repertum No: 183/VER/05/RSUD/II/01 tanggal 19 Februari 2002
menerangkan bahwa Ruhadi sebagai akibat bacokan-bacokan terdakwa
menderita luka-luka di kepalanya di 7 tempat dan di 3 tempat yaitu di dahi
kiri/kanan, belakang sehingga tembus sampai tulang tengkorak dan di bagian
tengkuk luka sedalam 4 cm sehingga korban Ruhadi meninggal dunia karena
akibat cedera kepala berat disebabkan benda tajam. Dengan demikian maka
unsur “menghilangkan jiwa orang lain” ini telah terpenuhi dan terbukti;
Menimbang, bahwa karena unsur-unsur dari Pasal 340 KUHP dalam
dakwaan Primair telah terpenuhi dan terbukti maka terdakwa harus dinyatakan
telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
“Pembunuhan berencana”;
Menimbang, bahwa karena dakwaan Primair telah terbukti maka dakwaan
berikutnya tidak perlu dipertimbangkan lagi;
Menimbang, bahwa terdakwa selama dalam persidangan dalam keadaan
sehat jasmani dan rokhani serta tidak ditemukan adanya alasan pemaaf maupun
pembenar dengan demikian terdakwa dalam keadaan mampu bertanggungjawab
atas perbuatannya;
Menimbang, bahwa karena terdakwa dinyatakan mampu bertanggungjawab
maka terdakwa harus dijatuhi pidana penjara yang setimpal dengan perbuatannya;
62
Menimbang, bahwa oleh karena terdakwa dijatuhi pidana maka terdakwa
harus dibebani pula membayar biaya perkara;
Menimbang, bahwa karena selama pemeriksaan terdakwa ditahan maka
lamanya masa penahanan terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana penjara
yang dijatuhkan;
Menimbang, karena lamanya pidana yang telah dijatuhkan kepada terdakwa
lebih lama dari masa tahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dinyatakan tetap
ditahan;
Menimbang, bahwa terhadap barang bukti sebagaimana tersebut di atas akan
ditentukan dalam amar putusan ini;
Menimbang, bahwa karena terdakwa masih anak-anak maka terhadapnya
harus diberlakukan ketentuan dalam Pasal 26 ayat 2 Undang-Undang No. 3 tahun
1997 tentang pengadilan anak;
Menimbang, bahwa sebelum pengadilan menjatuhkan hukuman kepada
terdakwa maka terlebih dahulu akan dipertimbangkan hal-hal yang meringankan
dan hal-hal yang memberatkan terdakwa;
Hal-hal yang meringankan terdakwa :
Terdakwa mengaku terus terang dan bersikap sopan di persidangan
Terdakwa masih anak-anak
Terdakwa belum pernah dihukum
Hal-hal yang memberatkan terdakwa :
Perbuatan terdakwa di luar batas kemanusiaan
Perbuatan terdakwa dilakukan terhadap orangtuanya sendiri
63
Menimbang, bahwa selain hal-hal yang meringankan maupun yang
memberatkan Majelis wajib mempertimbangkan pula kesimpulan dari saran
Petugas BAPAS Purwokerto dalam hasil LITMASnya No: 011/II/Pid.A/2002;
Menimbang, bahwa oleh karena semua hal telah dipertimbangkan oleh
Majelis Hakim dalam putusan ini, maka penjatuhan pidana kepada terdakwa telah
dipandang adil atau memenuhi rasa keadilan baik bagi terdakwa maupun
masyarakat;
Mengingat Pasal 340 KUHP dan Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang No. 3
Tahun 1997 tentang pengadilan anak serta pasal lain dari peraturan perundangan
yang bersangkutan;
MENGADILI
Menyatakan terdakwa WAGIMAN bin RUHADI terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “PEMBUNUHAN
BERENCANA”;
Menjatuhkan pidana kepada terdakwa tersebut dengan pidana penjara
selama 9 (SEMBILAN) TAHUN;
Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan
sepenuhnya dari pidana yang dijatuhkan;
Memerintahkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan;
Memerintahkan barang bukti berupa 1 (satu) bilah pisau panjang ± 35 cm
bergagang kayu dirampas untuk dimusnahkan;
Membebankan biaya perkara sebesar Rp.1000,- (SERIBU RUPIAH) kepada
terdakwa;
64
Berdasarkan putusan tersebut dapat dilihat bagaimana pertimbangan hakim
dalam menilai kekuatan alat bukti dan bagaimana kekuatan alat bukti saksi dalam
putusan pengadilan terhadap perkara pidana pembunuhan yang dilakukan oleh
anggota keluarga, berikut ini data sekunder yang diperoleh dari pustaka yang
berkaitan dengan putusan tersebut.
1. Mengenai pertimbangan hakim dalam menilai kekuatan alat bukti dalam
pembuktian dipersidangan.
Sebagai aturan umum dari prinsip pembuktian diatur dalam Pasal 183
KUHAP yang menyatakan bahwa:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Sesuai dengan ketentuan Pasal 183 KUHAP, terkandung tiga asas yaitu :
1. Asas proses pemeriksaan perkara pidana adalah untuk mencari kebenaran materiil atau kebenaran sejati sebagaimana ditentukan dalam Pasal 183 KUHAP.
2. Asas keyakinan hakim Berdasarkan Pasal 183 KUHAP menganut sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif bahwa hakim baru boleh menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa apabila telah terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan atas keterbuktian itu hakim yakin bahwa terdakwalah yang bersalah.
3. Asas pembuktian minimum Bertitik tolak pada prinsip batas minimum pembuktian, bagaimanapun sempurnanya satu alat bukti surat kesempurnaan itu tidak dapat berdiri sendiri akan tetapi harus didukung oleh minimal satu alat bukti yang lain guna memenuhi batas minimum pembuktian yang ditentukan Pasal 183 KUHAP.55
Menurut Martiman Prodjohamidjojo, makna dari Pasal 183 KUHAP, menunjukan bahwa yang dianut dalam sistem pembuktian adalah sistem negatif menurut undang-undang (negatief wettelijk) penyebutan kata-kata “sekurang-kurangnya dua alat bukti”, maka berarti disini bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang hanya berdasarkan pada satu alat bukti
55 M. Yahya Harahap, Op.Cit, halaman 289.
65
saja. Sedangkan penyebutan dua alat bukti secara limitatif menunjukan suatu minimum pembuktian yang ditetapkan oleh undang-undang, karena itu hakim tidak diperkenankan menyimpang dalam menjatuhkan putusannya. Bahwa sistem negatif menurut undang-undang menghendaki hanya alat-alat bukti yang sah yang disebutkan oleh undang-undang yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Adapun makna dari keyakinan hakim bukan diartikan perasaan hakim pribadi sebagai manusia, keyakinan hakim adalah keyakinan yang didasari atas alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.56
Pada hakekatnya Pasal 183 KUHAP tersebut berisi suatu penegasan sistem
pembuktian menurut undang-undang secara negatif, tidak dibenarkan menghukum
seorang terdakwa yang kesalahannya tidak terbukti secara sah menurut undang-
undang. Unsur keyakinan dalam praktek dapat saja dikesampingkan apabila
keyakinan tersebut tidak dibarengi oleh suatu pembuktian yang cukup. Sekalipun
hakim yakin dengan seyakin-yakinnya atas kesalahan terdakwa, keyakinan
tersebut dapat dianggap tidak mempunyai nilai jika tidak dibarengi dengan
pembuktian yang cukup. Sebaliknya seandainya kesalahan terdakwa telah terbukti
dan hakim lalai mencantumkan keyakinannya kealpaan itu tidak menyebabkan
batalnya putusan.
Dalam perkara Nomor 32/Pid.B/2002/PN.Pbg, saksi-saksi yang diajukan
oleh Jaksa Penuntut Umum yang berjumlah 6 orang, masing-masing saksi
memenuhi syarat sebagai saksi yaitu saksi telah memberikan keterangan yang ia
rasakan, ia lihat dan ia alami sendiri. Kemudian masing-masing saksi juga telah
diambil sumpahnya sebelum memberikan keterangannya sehingga sah sebagai
alat bukti. Kemudian saksi-saksi tersebut dihubungkan satu dengan yang lainnya
terdapat saling persesuaian dan saling menguatkan, sehingga memberikan
keyakinan kepada hakim untuk mengambil keputusan bahwa terdakwa telah
bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan yang direncanakan lebih dahulu.
56 Martiman Prodjohamidjojo, Op.Cit, halaman 132-133.
66
2. Mengenai kekuatan alat bukti saksi dalam putusan pengadilan terhadap
perkara pidana pembunuhan yang dilakukan oleh anggota keluarga
Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara yang ia dengar
sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri (Pasal 1 butir 26 KUHAP). Keterangan
saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan
saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan
ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu (Pasal 1 butir 27
KUHAP).
Mengenai syarat-syarat menjadi saksi, pada dasarnya setiap orang yang
melihat, mendengar dan mengalami sendiri suatu peristiwa yang ada sangkut
pautnya dengan tindak pidana dapat menjadi saksi (Pasal 1 butir 26 KUHAP).
Namun demikian agar di dalam persidangan didapatkan keterangan saksi yang
sejauh mungkin obyektif dalam arti tidak memihak atau merugikan terdakwa,
KUHAP membagi dalam 3 (tiga) golongan pengecualian:
Golongan A
Tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai
saksi (Pasal 168 KUHAP):
1. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa;
2. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;
3. Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama terdakwa.
67
Golongan B
Golongan saksi yang dapat meminta dibebaskan dari kewajiban untuk
memberikan keterangan (Pasal 170 KUHAP):
1. Mereka yang karena pekerjaannya atau harkat martabatnya diwajibkan menyimpan rahasia yaitu tentang hal yang dipercayakan kepadanya dan hal tersebut haruslah diatur oleh peraturan perundang-undangan;
2. Jika tidak ada ketentuan yang mengatur jabatan atau pekerjaannya, maka hakim yang menentukan sah atau tidaknya alasan yang dikemukakan untuk mendapatkan kebenaran tersebut.
Golongan C
Golongan saksi yang boleh diperiksa tanpa sumpah (Pasal 171 KUHAP):
1. Anak yang umurnya belum 15 (lima belas) tahun atau belum pernah kawin;
2. Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali.
Berkaitan dengan sumpah saksi, bunyi sumpah saksi adalah bahwa ia
sebagai saksi akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain
daripada sebenarnya (Pasal 160 ayat (3) KUHAP). Sumpah saksi bisa
diberhentikan sebelum saksi memberikan keterangan (promissioris) atau sesudah
saksi memberikan keterangan baru dikuatkan dengan sumpah (assertoris),
demikian bunyi Pasal 160 ayat (3) (4) KUHAP. Sumpah bagi seorang saksi
sebenarnya untuk mendorong atau memotifasi seorang saksi untuk berkata benar.
Oleh karena itu setidaknya dilakukan penyumpahan sebelum seorang saksi
memberikan keterangan. Bagi seorang yang agamanya tidak memperbolehkan
bersumpah, sumpah tersebut diganti dengan berjanji (Staatblad 1920 Nomor 69
Pasal 5). Pengucapan sumpah atau janji bisa dilakukan di luar sidang dan hakim
dapat menunda pemeriksaan atau saksi tersebut. Pengucapan sumpah atau janji
tersebut dihadiri panitera dengan pembuat berita acara (Pasal 223 KUHAP).
68
Menurut M. Yahya Harahap, pada dasarnya nilai kekuatan pembuktian
dengan keterangan saksi sebagai alat bukti adalah:
1. Mempunyai kekuatan pembuktian bebas. Alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah mempunyai nilai pembuktian bebas. Oleh karena itu tidak mempunyai kekuatan yang sempurna dan juga tidak memiliki kekuatan pembuktian yang menentukan. Atau dengan singkat dapat dikatakan, alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah adalah bersifat bebas dan tidak sempurna dan tidak menentukan atau tidak mengikat.
2. Nilai kekuatan pembuktiannya tergantung pada penilaian hakim, maksudnya alat bukti keterangan saksi sebagai alat bukti sama sekali tidak mengikat hakim. Hakim bebas untuk menilai kesempurnaan dan kebenarannya. Tergantung pada penilaian hakim untuk menganggapnya sempurna atau tidak. Tidak ada keharusan hakim untuk menerima kebenaran setiap keterangan saksi. Hakim bebas menilai kekuatan atau kebenaran yang melekat pada keterangan itu.57
Agar suatu kesaksian mempunyai kekuatan sebagai alat bukti, maka harus
mempunyai syarat sebagai berikut:
1. Syarat objektif: a. Tidak boleh bersama-sama sebagai terdakwa; b. Tidak boleh ada hubungan keluarga; c. Mampu bertanggung jawab, yakni sudah berumur 15 tahun (lima
belas) tahun atau sudah pernah kawin dan tidak sakit ingatan. 2. Syarat formal:
a. Kesaksian harus diucapkan dalam sidang; b. Kesaksian tersebut harus diucapkan di bawah sumpah; c. Tidak dikenai asas anus testis nullus testis.
3. Syarat subyektif/material: a. Saksi menerangkan apa yang ia lihat, ia dengar dan ia alami sendiri; b. Dasar-dasar atau alasan mengapa saksi tersebut melihat, mendengar
dan mengalami sesuatu yang diterangkan tersebut.58
57 M. Yahya Harahap, Op.Cit, halaman 273-274 58 Hari Sasongko dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, Mandar Maju, Bandung, 2003, halaman 48.
69
Keterangan yang diberikan di muka persidangan dapat dikelompokan
menjadi dua jenis:
1. Keterangan yang diberikan tanpa sumpah
a. Mengenai keterangan saksi yang tidak disumpah bisa karena saksi
menolak untuk disumpah.
Tentang kemungkinan penolakan saksi bersumpah diatur dalam
Pasal 161 KUHAP. Memang ditinjau dari segi ketentuan, keterangan yang
diberikan tanpa sumpah karena saksi menolak untuk mengucapkan
sumpah atau janji, bukan merupakan suatu alat bukti. Namun Pasal 161
ayat (2) KUHAP, menilai kekuatan pembuktian keterangan tersebut dapat
menguatkan keyakinan hakim apabila pembuktian yang telah ada telah
memenuhi batas minimum pembuktian.
Namun demikian kalau titik tolak dari ketentuan Pasal 161 ayat (2)
KUHAP dihubungkan dengan Pasal 185 ayat (7) KUHAP yang berbunyi:
“Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti yang sah yang lain”. Paling tidak nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada
keterangan saksi, yang dibacakan di sidang pengadilan, sekurang-
kurangnya dapat dipersamakan dengan keterangan saksi yang diberikan di
persidangan tanpa sumpah, jadi sifatnya bukan merupakan alat bukti,
tetapi nilai kekuatan pembuktian yang melekat padanya:
70
1. Dapat dipergunakan menguatkan keyakinan hakim
2. Atau dapat bernilai dan dipergunakan sebagai tambahan alat
bukti yang sah lainnya, sepanjang keterangan saksi yang
dibacakan tadi mempunyai saling persesuaian dengan alat bukti
yang sah tersebut, dan alat bukti yang telah ada telah memenuhi
batas minimum pembuktian.
b. Karena hubungan keluarga
Seorang saksi yang memiliki pertalian keluarga tertentu dengan terdakwa
tidak dapat memberi keterangan dengan sumpah, kecuali mereka
menghendakinya dan kehendaknya disetujui oleh penuntut umum dan
terdakwa.
c. Saksi termasuk golongan yang disebut dalam Pasal 171 KUHAP
Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah
kawin atau orang sakit ingatan atau orang sakit jiwa meskipun kadang-
kadang baik kembali, boleh diperiksa memberi keterangan tanpa
disumpah. Nilai keterangan mereka tetap dinilai sebagai alat bukti yang
sah. Akan tetapi sekalipun keterangan itu tidak merupakan alat bukti yang
sah, pada penjelasan Pasal 171 KUHAP telah menentukan nilai
pembuktian yang melekat pada keterangan mereka itu dapat dipakai
sebagai petunjuk.
2. Keterangan saksi yang disumpah
a. Mempunyai nilai kekuatan yang bebas
b. Nilai kekuatan pembuktian tergantung pada penilaian hakim
71
Kemudian dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, maka hakim
harus memperhatikan ketentuan pasal 185 ayat (6) KUHAP yang merumuskan:
Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan: a. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain; b. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain; c. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi
keterangan yang tertentu; d. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada
umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.
Menurut hasil pemeriksaan dipersidangan maka terungkap antara saksi yang
satu dan saksi yang lain saling bersesuaian dan saling menguatkan, sehingga dapat
dijadikan dasar oleh hakim untuk menjatuhkan putusan.
Mengenai kekuatan pembuktian keterangan saksi adalah sebagai berikut:
a.) Tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat, hakim mempunyai kebebasan untuk menilainya.
b.) Mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang bebas artinya dapat dilumpuhkan terdakwa dengan alat bukti lain berupa saksi a decharge maupun dengan keterangan ahli atau alibi.59
Berdasarkan kasus pada perkara No. 32/Pid.B/2002/PN.Pbg bahwa terdapat
saksi yang merupakan anggota keluarga dari terdakwa yaitu (Ph) yang merupakan
ibu dari terdakwa.
Seperti yang sudah dijelaskan, seorang saksi yang mempunyai pertalian keluarga tertentu dengan terdakwa tidak dapat member keterangan dengan sumpah. Kecuali mereka menghendakinya, dan kehendaknya itu disetujui secara tegas oleh penuntut umu dan terdakwa. Jadi, seandainya penuntut umum atau terdakwa tidak menyetujui mereka sebagai saksi dengan disumpah, Pasal 169 ayat (2) KUHAP memberi kemungkinan bagi mereka untuk diperbolehkan memberikan keterangan “tanpa sumpah” akan tetapi, disinipun undang-undang tidak menyebut secara tegas nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada keterangan seperti ini. Untuk mengetahui nilai keterangan mereka yang tergolong pada Pasal 168 KUHAP, harus kembali menoleh pada Pasal 161 ayat (2) dan Pasal 185 ayat (7) KUHAP yang dapat di jelaskan sebagai berikut : a. Keterangan mereka tidak dapat dinilai sebagai alat bukti, b. Tetapi dapat dipergunakan menguatkan keyakinan hakim,
59 M. Yahya Harahap, Op.Cit, halaman 274.
72
c. Atau dapat bernilai dan dipergunakan sebagai tambahan menguatkan alat bukti yang sah lainnya sepanjang keterangan tersebut mempunyai persusaian dengan alat bukti yang sah lainnya itu, dan alat bukti yang sah itu telah memenuhi batas minimum pembuktian.60
2. Data Primer
Saksi merupakan suatu alat bukti yang dapat menentukan dalam proses
suatu persidangan, dan dapat menjadi pertimbangan hakim dalam memutus suatu
perkara, seperti perkara pidana Nomor: 32/Pid.B/2002/PN.Pbg.
Keterangan saksi supaya dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah harus memenuhi dua syarat, yaitu:
1. Syarat Formal Bahwa keterangan saksi hanya dapat dianggap sah, apabila diberikan di bawah sumpah sebagaimana telah diatur dalam Pasal 160 ayat (3) KUHAP. Keterangan saksi yang tidak di bawah sumpah hanya boleh dipergunakan sebagai penambah penyaksian yang sah sebagaimana telah diatur dalam Pasal 185 ayat (7) KUHAP.
2. Syarat Materiil Syarat materiil saksi terdapat dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP, bahwa keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Selain Pasal 1 angka 27 KUHAP, syarat materiil saksi tercantum dalam Pasal 185 ayat (2) dan (6)61.
Berkaitan keterangan saksi, Joko, S.H selaku hakim Pengadilan Negeri Purbalingga mengatakan bahwa orang-orang yang masih mempunyai hubungan keluarga sedarah dari terdakwa dapat menjadi saksi di persidangan. Sebagaimana Pasal 168 KUHAP keterangan yang diberikan oleh saksi dari keluarga sedarah dengan terdakwa tidak dapat disumpah. Namun hal ini dapat dikecualikan jika dari mereka menghendaki untuk disumpah dan disetujui oleh Penuntut Umum dan terdakwa seperti tercantum pada Pasal 169 ayat (1) KUHAP. Apabila saksi dari keluarga terdakwa bersedia untuk di sumpah maka keterangan yang ia berikan dapat dinilai sebagai alat bukti, dan keterangan tersebut dapat dipersamakan dengan alat bukti saksi yang sah lainnya.62
60 M. Yahya Harahap, Op.Cit, halaman 292. 61 Wawancara Kamis, 14 April 2011 dengan Joko, S.H. 62 Loc.Cit.
73
Mengenai pertimbangan saksi yang masih keluarga terdakwa disumpah
atau tidak Joko, S.H menerangkan bahwa sebelumnya Hakim menyanyakan
terlebih dahulu kepada saksi tersebut, apakah ingin mengundurkan diri atau
bersedia untuk di sumpah. Apabila saksi tersebut memilih untuk tidak disumpah
maka lihat keterangan saksi lainnya apakah ada persesuaian dan keterangan saksi
yang tidak disumpah dapat ditambahkan sebagai petunjuk untuk menguatkan
keyakinan hakim.
Hal-hal yang harus diperhatikan hakim untuk menyatakan bahwa terdakwa benar-benar bersalah yaitu penjelasan Pasal 183 KUHAP yang menyebutkan bahwa “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Selain itu keyakinan hakim juga diperlukan untuk menyatakan bahwa terdakwa benar-benar bersalah.63
Sebagai hakim Pengadilan Negeri Purbalingga, Joko, S.H mengatakan
mengenai pertimbangan hakim dalam menjatuhkan hukuman pidana penjara 9
(Sembilan) tahun karena terdakwa telah melanggar Pasal 340 KUHP dan 351 ayat
(3) KUHP. Dengan melanggar Pasal 340 KUHP terdakwa dapat dijerat pidana
penjara paling lama dua puluh tahun. Dikarenakan terdakwa masih anak-anak
maka terhadapnya harus diberlakukan ketentuan dalam Pasal 26 ayat 2 Undang-
Undang No. 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak, sehingga hukuman yang
berlaku adalah setengahnya dari hukuman dewasa maka terdakwa dihukum pidana
penjara selama sembilan tahun.
63 Loc.Cit.
74
Hakim menyatakan terdakwa dikenai hukuman penjara Sembilan tahun yaitu dengan dengan melihat pertimbangan sebagai berikut:
1. Unsur-unsur Pasal yang dilanggar oleh terdakwa. Dalam hal ini terdakwa melanggar Pasal 340 KUHP.
2. Hal-hal yang memberatkan dan meringankan 3. Tuntutan Penuntut Umum64.
Pada putusan tersebut dakwaan yang didakwakan oleh Penuntut Umum
sudah sesuai. Terdakwa melakukan pembunuhan yang direncanakan lebih
dahulu65.
Alat bukti yang diajukan di persidangan sudah memenuhi syarat sah
sebagai alat bukti, yaitu keterangan 6 orang saksi (meliputi satu orang saksi dari
keluarga, dan lima orang saksi dari luar keluarga), alat bukti surat Visum et
Repertum dan keterangan terdakwa. Syarat formal dan materiilnya sudah
terpenuhi66.
Menurut Joko, S.H selaku hakim Pengadilan Negeri Purbalingga
Keterangan dari saksi-saksi yang ada sudah mencukupi untuk menilai kekuatan
pembuktian karena saksi dari keluarga sudah disumpah dan keterangan dari saksi
satu memiliki persesuaian dengan saksi lainnya. Di samping itu alat bukti saksi
sudah sesuai dengan alat bukti lain.
Dalam menentukan kriteria hal yang memberatkan terdakwa, Joko, S.H
mengatakan bahwa kriteria hal yang memberatkan dapat dinilai berdasarkan
faktor psikologis, sudut pandang agama, peran serta masyarakat dan sosial
ekonomi. Joko, S.H menambahkan bahwa ada juga hal-hal yang meringankan
terdakwa yaitu belum pernah melakukan tindak pidana dan karena terdakwa
masih anak-anak.
64 Loc.Cit. 65 Loc.Cit. 66 Loc.Cit.
75
B. Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian tentang perkara Nomor: 32/Pid.B/2002/PN.Pbg
dihubungkan dengan data pustaka yang berkaitan dengan permasalahan tersebut di
atas maka dapat uraikan sebagai berikut:
1. Bagaimana pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan perkara
pidana pembunuhan yang dilakukan anggota keluarga dalam putusan
Nomor: 32/Pid.B/2002/PN.Pbg ?
Penjatuhan putusan oleh hakim di pengadilan tergantung dari hasil mufakat
musyawarah hakim berdasarkan penilaian yang mereka peroleh dari surat
dakwaan dihubungkan dengan segala sesuatu yang terbukti didalam pemeriksaan
dalam sidang pengadilan.
Pengertian putusan pengadilan dirumuskan dalam Pasal 1 butir 11 KUHAP
yang berbunyi :
“ Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini “.
Menurut Soedirjo, keputusan dan penetapan adalah tindakan hakim
untuk menyelesaikan perkara. Keputusan diambil umumnya setelah
mengadakan sidang, sedang penetapan diberikan tanpa melalui sidang
pemeriksaan.67
Sedangkan menurut Laden Marpaung, putusan adalah hasil kesimpulan dari sesuatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai semasak-masaknya yang dapat berbentuk tertulis ataupun lisan. Ada juga yang mengartikan “putusan’ atau vonis sebagai vonis tetap (definitif), mengenai kata “putusan” yang diterjemahkan dari vonis adalah hasil akhir dari pemeriksaan perkara disidang pengadilan.68
67 Soedirdjo, Op.Cit, halaman 29 68 Laden Marpaung, Op.Cit, halaman 36.
76
Dalam KUHAP terdapat tiga jenis putusan pengadilan, yaitu :
1. Putusan bebas (Pasal 191 ayat (1) KUHAP).
2. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 191 ayat (2) KUHAP).
3. Putusan pemidanaan (Pasal 193 ayat (1) KUHAP)
Dalam Putusan perkara Nomor: 32/Pid.B/2002/PN.Pbg merupakan bentuk
putusan pemidanaan sebagaimana yang termuat dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP
menyebutkan bahwa penjatuhan putusan pemidanaan terhadap seorang terdakwa
didasarkan pada penilaian pengadilan.
“Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan akan menjatuhkan pidana.”
Menurut van Bemmelen sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah yaitu
bahwa putusan pemidanaan dijatuhkan oleh hakim jika ia telah mendapat
keyakinan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan dan ia
menganggap bahwa perbuatan terdakwa dapat dipidana.69
Dalam perkara Nomor: 32/Pid.B/2002/PN.Pbg, Jaksa Penuntut Umum telah
mendakwa dengan dakwaan:
a. Primair, melanggar Pasal 340 KUHP
b. Subsidair, melanggar Pasal 340 KUHP
c. Lebih subsidair, melanggar Pasal 351 ayat (3) KUHP
Atas dakwaan tersebut, terdakwa (Wn) memberikan keterangan yang isinya
membenarkan semua dakwaan yang didakwakan kepadanya dan selain itu juga
membenarkan keterangan dari para saksi. Dari keterangan yang telah diberikan
dengan memperhatikan Pasal 183 KUHAP dan Pasal 184 KUHAP, Hakim
69 Andi Hamzah, Op.Cit, halaman 14.
77
Pengadilan Negeri Purbalingga selanjutnya berpendapat dan memberikan
pertimbangan.
Sebelum hakim menjatuhkan putusan, hakim memberikan pertimbangan
sesuai dengan Pasal 185 ayat (6) KUHAP yaitu:
“Dalam menilai kebenaran seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan : 1. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain; 2. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain; 3. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberikan keterangan
yang tertentu; 4. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya
dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya”.
Dalam perkara Nomor 32/Pid.B/2002/PN.Pbg, saksi-saksi yang diajukan
oleh Jaksa Penuntut Umum yang berjumlah 6 orang, masing-masing saksi
memenuhi syarat sebagai saksi yaitu saksi telah memberikan keterangan yang ia
rasakan, ia lihat dan ia alami sendiri. Kemudian masing-masing saksi juga telah
diambil sumpahnya sebelum memberikan keterangannya sehingga sah sebagai
alat bukti. Kemudian saksi-saksi tersebut dihubungkan satu dengan yang lainnya
terdapat saling persesuaian dan saling menguatkan, sehingga memberikan
keyakinan kepada hakim untuk mengambil keputusan bahwa terdakwa telah
bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan yang direncanakan lebih dahulu.
Hal tersebut sesuai dengan ketentuan pada Pasal 160 ayat (3), Pasal 183 KUHAP
dan Pasal 184 KUHAP.
Berdasarkan kasus tersebut terdapat saksi dari keluarga yaitu ibu dari
terdakwa yang berinisial (Ph). Saksi tersebut telah bersedia disumpah. Keterangan
saksi (Ph) yang merupakan ibu dari terdakwa dapat dipersamakan dengan
keterangan saksi-saksi lainnya, sehingga menambah keyakinan hakim dalam
menjatuhkan putusan pemidanaan tersebut. Dalam hal ini saksi (Ph) ibu dari
78
terdakwa tersebut sudah sesuai dengan ketentuan Pasal 168 KUHAP dan Pasal
169 KUHAP.
Selain itu, adapun pertimbangan-pertimbangan hakim dalam menjatuhkan
putusan tersebut yaitu
1. Unsur-unsur Pasal yang dilanggar oleh terdakwa. Dalam hal ini terdakwa
melanggar Pasal 340 KUHP.
2. Hal-hal yang memberatkan dan meringankan
3. Tuntutan Penuntut Umum
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut dan berdasarkan undang-
undang secara negatif yang dianut oleh KUHAP serta berdasarkan alat bukti yang
sah, maka hakim memberikan keputusan bagi terdakwa (Wn) dengan hukuman
penjara 9 (sembilan) tahun. Hakim dalam menjatuhkan hukuman pidana penjara 9
(sembilan) tahun karena terdakwa telah melanggar Pasal 340 KUHP dan 351 ayat
(3) KUHP. Dengan melanggar Pasal 340 KUHP terdakwa (Wn) dapat dijerat
pidana penjara paling lama dua puluh tahun. Dikarenakan terdakwa (Wn) masih
anak-anak maka terhadapnya harus diberlakukan ketentuan dalam Pasal 26 ayat 2
Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak, sehingga hukuman
yang berlaku adalah setengahnya dari hukuman dewasa maka terdakwa (Wn)
dihukum pidana penjara selama 9 (sembilan) tahun.
Dalam kasus ini terdapat persesuaian antara keterangan saksi (Ph) yang
merupakan ibu dari terdakwa (Wn) dengan saksi lain yaitu (HS), (To), (Bi), (Mn),
(Sn) dan persesuaian antara keterangan saksi dengan barang bukti berupa sebilah
pisau panjang ± 35 cm gagang kayu serta Visum et Repertum dari RSUD
Purbalingga No. 183/VER/05/RSUD/II/01 tanggal 19 Februari 2002 yang dibuat
79
dan ditandatangani oleh dr. Indrajaya AP, maka majelis hakim telah mendapat
bukti yang sah dan merupakan sumber keyakinan hakim dalam memberikan
putusan.
2. Bagaimana kekuatan alat bukti saksi dalam putusan pengadilan terhadap
perkara pidana pembunuhan yang dilakukan oleh anggota keluarga?
Arti umum dari kata “saksi” adalah seorang yang memberikan keterangan
untuk membuktikan keterangan suatu peristiwa. Keterangan saksi adalah salah
satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan saksi mengenai suatu
peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri
dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu (Pasal 1 butir 27 KUHAP).
Pada umumnya semua orang dapat menjadi saksi. Kekecualian menjadi
saksi tercantum dalam Pasal 168 KUHAP:
a. Keluarga sedarah atau semenda adalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa;
b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;
c. Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.70
Namun hal ini dapat dikecualikan jika dari mereka menghendaki untuk
disumpah dan disetujui oleh Penuntut Umum dan terdakwa seperti tercantum pada
Pasal 169 ayat (1) KUHAP. Apabila saksi dari keluarga terdakwa bersedia untuk
di sumpah maka keterangan yang ia berikan dapat dinilai sebagai alat bukti, dan
keterangan tersebut dapat dipersamakan dengan alat bukti saksi yang sah lainnya.
70 Andi Hamzah, Op.Cit, halaman 268.
80
Mengenai pertimbangan saksi yang masih keluarga terdakwa disumpah
atau tidak bahwa sebelumnya Hakim menyanyakan terlebih dahulu kepada saksi
tersebut, apakah ingin mengundurkan diri atau bersedia untuk di sumpah. Apabila
saksi tersebut memilih untuk tidak disumpah maka lihat keterangan saksi lainnya
apakah ada persesuaian, dan keterangan saksi yang tidak disumpah dapat
ditambahkan sebagai petunjuk untuk menguatkan keyakinan hakim.
Pada perkara Nomor 32/Pid.B/2002/PN.Pbg, saksi-saksi yang diajukan
oleh Jaksa Penuntut Umum yang berjumlah 6 orang, salah seorang dari saksi
tersebut adalah anggota keluarga dari terdakwa yaitu yang berinisial (Ph), saksi
tersebut merupakan ibu dari terdakwa (Wn). Namun sesuai dengan ketentuan
Pasal 169 ayat (1) KUHAP, maka saksi tersebut dapat memberi keterangan pada
persidangan karena saksi tersebut telah bersedia memberikan keterangan dibawah
sumpah dan penuntut umum serta terdakwa menyetujuinya.
Saksi dari anggota keluarga yaitu (Ph) yang merupakan ibu dari terdakwa
telah memenuhi syarat sah menjadi seorang saksi dan keterangan yang
diberikannya bersesuaian dengan saksi-saksi yang lain sehingga merupakan alat
bukti yang sah dan dapat dipersamakan dengan alat bukti saksi yang lain. Karena
saksi tersebut sudah sesuai dengan ketentuan Pasal 160 ayat (3) KUHAP, Pasal 1
angka 27 KUHAP serta Pasal 185 ayat (1) KUHAP.
Berdasarkan keterangan saksi pada perkara Nomor:
32/Pid.B/2002/PN.Pbg, masing-masing dari 6 orang saksi tersebut telah
memenuhi syarat sah menjadi seorang saksi, meliputi syarat formal dan syarat
materiil.
81
1. Syarat Formal
Bahwa keterangan saksi hanya dapat dianggap sah, apabila diberikan di
bawah sumpah sebagaimana telah diatur dalam Pasal 160 ayat (3)
KUHAP. Keterangan saksi yang tidak di bawah sumpah hanya boleh
dipergunakan sebagai penambah penyaksian yang sah sebagaimana telah
diatur dalam Pasal 185 ayat (7) KUHAP.
2. Syarat Materiil
Syarat materiil saksi terdapat dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP, bahwa
keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang
berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia
dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut
alasan dari pengetahuannya itu.
Sehingga saksi-saksi tersebut telah mempunyai nilai kekuatan pembuktian
sebagai berikut:
i. Mempunyai kekuatan pembuktian Bebas Alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah, tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan juga tidak memiliki kekuatan pembuktian yang menentukan. Atau dengan singkat dapat dikatakan alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah adalah bersifat bebas dan “tidak sempurna” dan “tidak menentukan” atau “tidak mengikat”.
ii. Nilai kekuatan pembuktiannya tergantung pada hakim Alat bukti keterangan saksi sebagai alat bukti yang bebas yang tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan tidak menentukan, sama sekali tidak mengikat hakim. Hakim bebas untuk menilai kesempurnaan dan kebenarannya. Tergantung pada penilaian hakim untuk menganggapnya sempurna atau tidak. Tidak ada keharusan bagi hakim untuk menerima kebenaran setiap keterangan saksi. Hakim bebas menilai kekuatan atau kebenaran yang melekat pada keterangan itu, dan “dapat menerima” atau “menyingkirkannya”.71
71 M. Yahya Harahap, Op.Cit, halaman 294-295.
82
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut:
1. Dasar pertimbangan hakim pada putusan No. 32/Pid.B/2002/PN.Pbg dalam
membuktikan kesalahan terdakwa (Wn) melakukan tindak pidana
pembunuhan berencana yaitu, dengan terpenuhinya batas minimum
pembuktian menurut Pasal 183 KUHAP yaitu berupa keterangan saksi dan
surat (Visum et Repertum) dan keterangan terdakwa, selain itu diperkuat
dengan alat bukti berupa sebilah pisau dengan panjang ± 35 cm sehingga
hakim memperoleh keyakinan bahwa terdakwa melakukan tindak pidana
pembunuhan berencana dan oleh karenanya terdakwa dihukum pidana
penjara selama 9 (sembilan) tahun.
2. Nilai kekuatan alat bukti saksi keluarga terdakwa mempunyai kekuatan
pembuktian yang sama dengan alat bukti saksi yang lain, selama saksi dari
keluarga terdakwa mengangkat sumpah dan memperoleh persetujuan dari
jaksa maupun terdakwa hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 169 ayat (1)
KUHAP.
B. Saran
Kasus pembunuhan keluarga merupakan kasus yang menarik. Apabila
kasus ini terjadi kembali, sebaiknya perlu dihadirkan seorang psikolog atau
psikiater agar mengetahui mengenai kejiwaan terdakwa. Apakah terdakwa
mengalami gangguan kejiwaan atau tidak.
83
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, H.A.K. Moch. 1986. Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II) Jilid 1. Bandung: Alumni.
Hamzah, Andi. 1987. Lembaga fiducia dan penerapannya di Indonesia, Jakarta: Indhill.
____________. 1996. Hukum Acara Pidana Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: Sapta Artha Jaya.
___________. 2001. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Harahap, M Yahya. 2000. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta: Sinar Grafika.
________________.2001. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika.
________________. 2002. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta: Sinar Grafika.
________________. 2009. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali). Jakarta: Sinar Grafika.
J.E. Sahetapy. 1982. Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati terhadap Pembunuhan Berencana. Jakarta: CV. Rajawali. Hal 32.
Lamintang. 1979. Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Sinar Baru.
Marpaung, Laden. 1994. Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Ekonomi. Jakarta: Sinar Grafika.
Prakoso, Djoko. 1988. Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian di Dalam Proses Pidana. Yogyakarta: Liberty.
Prodjodikoro, Wirjono. 1981. Hukum Acara Pidana di Indonesia. Bandung: Sumur Bandung.
Prodjohamidjojo, Martiman. 1988. Pembahasan Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Pradnyaparaminta.
_____________________. 1988. Pemerataan Keadilan Penangkapan dan Penahanan. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Purnomo, Bambang. 1985. Pokok-Pokok Tata Acara Peradilan Pidana Indonesia dalam Undang-Undang RI No.8 Tahun 1981. Yogyakarta: Liberty.
84
________________. 1988. Orientasi Hukum Acara Pidana Indonesia. Yogyakarta: Amarta Buku.
________________. 1993. Pola Dasar Teori – Asas Umum Hukum Acara Pidana dan Penegakan Hukum Pidana. Yogyakarta: Liberty.
Sasongko, Hari dan Lily Rosita. 2003Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana. Bandung: Mandar Maju.
Soedirdjo. 1981. Kasasi Dalam Perkara Pidana (Sifat dan Fungsi). Jakarta: Ahliyah.
________. 1985. Jaksa dan Hakim Dalam Proses Pidana. Jakarta: Akademika Pressindo.
Sumitro, Rony Hanitijo, 1983, Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Peraturan Perundang- undangan :
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidan (KUHAP)
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak