Upload
nguyenhanh
View
223
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tujuan utama dalam suatu proses di muka Pengadilan adalah untuk
memperoleh putusan Hakim yang berkekuatan hukum tetap. Akan tetapi, setiap
putusan yang dijatuhkan oleh Hakim belum tentu dapat menjamin kebenaran
secara yuridis, karena putusan itu tidak lepas dari kekeliruan dan kekilafan.
Sebagai manusia biasa, mungkin hakim khilaf atau kurang sempurna
mempertimbangkan semua hal-hal berkenaan dengan fakta-fakta yang terungkap
di persidangan atau tidak tepat menggunakan sesuatu istilah atau keliru
menafsirkan unsur-unsur tindak pidana.1
Agar kekeliruan dan kekilafan itu dapat diperbaiki, maka demi tegaknya
kebenaran dan keadilan, terhadap putusan Hakim itu dimungkinkan untuk
diperiksa ulang. Cara yang paling tepat untuk dapat mewujudkan kebenaran dan
keadilan itu adalah dengan melaksanakan upaya hukum.2
Menurut Pasal 1 angka 12 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP), upaya hukum adalah hak
terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang
berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan
1Leden Marpaung, Proses Penanganan Perara Pidana Buku 2, Sinar Grafika, Jakarta, 2011,
hlm. 158. 2http://peunebah.blogspot.com/2011/12/upaya-hukum.html? diakses 15 April 2017
2
permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini.
Dari pengertian di atas terlihat bahwa upaya hukum merupakan hak terdakwa
atau terpidana yang dapat dipergunakan apabila si terdakwa atau si terpidana
merasa tidak puas atas putusan yang diberikan oleh pengadilan. Sehingga,
terhadap hak tersebut, bisa saja dipergunakan dan bisa juga tidak dipergunakan
oleh si terdakwa atau si terpidana.
Dengan demikian KUHAP juga membedakan upaya hukum menjadi
perlawanan, banding, kasasi dan peninjauan kembali. Yang kesemuanya/masing-
masing pada hakikatnya adalah untuk tidak menerima putusan/penetapan
pengadilan.3 Sedangkan menurut ilmu pengetahuan hukum, upaya hukum dibagi
atas:4
a. Upaya Hukum biasa, yang terdiri dari:
1. Perlawanan
2. Banding
3. Kasasi
b. Upaya Hukum Luar Biasa, yang terdiri dari:
1. Kasasi demi kepentingan hukum yang diajukan oleh Jaksa Agung
2. Peninjauan Kembali
3Leden Marpaung, Op-Cit., hlm. 154. 4Ibid,.
3
Menurut Yahya Harahap terdapat persamaan antara upaya hukum biasa dan
upaya hukum luar biasa, yaitu bertujuan untuk:5
i. Mengoreksi dan meluruskan kesalahan yang terdapat dalam putusan
tersebut,
ii. Pelurusan kesalahan itu dimaksudkan demi tegaknya hukum dan
kebenaran serta keadilan
Sedangkan perbedaanya, terdapat pada keistimewaan yang dimiliki oleh upaya
hukum luar biasa dan tidak dimiliki oleh upaya hukum biasa yaitu:6
i. Diajukan dan ditujukan terhadap putusan pengadilan yang “telah
berkekuatan hukum tetap”,
ii. Upaya ini hanya dapat ditujukan dan diajukan dalam keadaan tertentu,
tidak dapat diajukan terhadap semua putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap. Harus ada dan terdapat keadaan-keadaan
tertentu sebagai syarat,
iii. Upaya hukum luar biasa diajukan kepada Mahkamah Agung, dan
diperiksa serta diputus oleh Mahkamah Agung sebagai instansi pertama
dan terakhir.
Terkait upaya hukum luar biasa sendiri, antara kasasi demi kepentingan
hukum dan peninjauan kembali (selanjutnya disebut PK) juga memiliki
5M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hlm.
607. 6Ibid.
4
perbedaan. Di dalam peraktek, terpidana dapat menggunakan upaya hukum luar
biasa PK. Sedangkan upaya hukum kasasi demi kepentingan hukum hanya dapat
digunakan oleh Jaksa Agung.7
Untuk mengajuan permohonan PK berdasarkan ilmu hukum pidana harus
memenuhi syarat formil dan syarat materiil sebagaimana yang telah ditentukan
dalam KUHAP. Syarat-syarat formil untuk mengajukan PK adalah sebagai
berikut:8
- Adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
- Putusan pengadilan tersebut memuat pemidanaan, artinya bukan putusan
bebas (vrisjpraak) atau lepas dari segala tuntutan hukum
- Diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya
- Diajukan kepada panitera pengadilan yang telah memutus perkara tersebut
dalam tingkat pertama (Pasal 262 ayat (2) jo Pasal 264 ayat (1) KUHAP)
- Terpidana atau ahli warisnya, belum pernah mengajukan peninjauan
kembali (Pasal 268 ayat (3) KUHAP).
Sedangkan syarat-syarat materiil yang menjadi dasar atau alasan pengajuan
PK di dalam KUHAP adalah sebagai berikut:
- Adanya novum yaitu bukti atau keadaan baru yang belum pernah diajukan
dalam pemeriksaan perkara
7Lihat Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 303. 8Leden Marpaung, Op-Cit., hlm. 74-75
5
- Adanya dua atau lebih putusan pengadilan yang saling bertentangan
- Adanya kekeliruan atau kekilafan hakim secara nyata (Pasal 263 ayat (2)
KUHAP).
Permasalahan yang terjadi adalah bahwa di dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP
telah diatur secara jelas bahwa pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan
PK ke Mahkmah Agung adalah terpidana atau ahli warisnya. Dimana menurut
Pasal 1 angka 32 KUHAP yang dimaksud terpidana adalah seorang yang dipidana
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Sedangkan yang dimaksud ahli waris tidak dijelaskan dalam KUHAP.
Tidak adanya penjelasan mengenai ahli waris di dalam KUHAP telah
menimbulkan ketidakpastian hukum, sehingga berakibat pada penegakan hukum
pidana. Pada kasus Sudjono Timah misalnya. Sudjono Timan dipidana karena
menyalahgunakan dana talangan yang diberikan oleh negara, sehingga
menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 369 Miliar.
Kerugian tersebut muncul setelah PT. BPUI (PT. Bahana Pembinaan Usaha
Indonesia) yang merupakan BUMN, memberikan sejumlah surat hutang yang
diterbitkan oleh PT. KAFL (PT. Kredit Asia Finance Limited) yang dijadikan
media penempatan sementara (placement) untuk kemudian dialirkan kembali
dananya ke sejumlah pihak. Pembelian tersebut tidak disertai dengan prinsip
kehati-hatian yang menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 360 Miliar.9
9Icjr.or.id/catatan-terhadap-upaya-hukum-yang-dilakukan-oleh-buronandpo-dalam-perkara-
pidana-di-indonesia/ diakses 23 Januari 2017
6
Sudjiono Timan dipidana di tingkat kasasi setelah di tingkat pengadilan
negeri, ia sempat dilepaskan dari segala tuntutan karena perkaranya dianggap
merupakan perkara perdata, bukan pidana. Pasca putusan kasasi yang dikeluarkan
pada 3 Desember 2004, Sudjiono Timan melarikan diri dan tidak diketahui
keberadaannya pada saat itu, sehingga Kejaksaan Agung tidak jadi
mengeksekusinya.10 Namun, dalam pelariannya Sudjiono Timan melalui istrinya
yang dianggap ahli warisnya, mengajukan PK yang dikabulkan oleh MA melalui
Putusan Nomor 97/PK/Pid.Sus/2012.
Contoh permasalahan penegakan hukum pidana korupsi di atas tentu
membawa konsekuensi munculnya penilaian yang tidak menguntungkan terhadap
hukum dan sistem peradilan pidana.11 Adanya pihak yang tidak bertangung jawab
atas perbuatannya sehingga melarikan diri, dirasakan sebagai hambatan untuk
menegakkan keadilan. Kondisi itu juga terasa tidak adil bagi pelaku yang secara
konsisten mengikuti persidangan dan menjalani kurungan penjara.12
Apalagi, permasalahan hukum yang didakwakan kepada Sudjiono Timan
dianggap sebagai perbuatan tindak pidana korupsi yang telah menimbulkan
banyak kerugian keuangan negara. Tindak pidana korupsi yang merupakan
kejahatan luar biasa (extraordinary crime), maka sudah seharusnya dalam
penanganannya juga dilakukan secara luar biasa, termasuk dalam menerima
permohonan upaya hukum PK yang dimohonkan oleh ahli warisnya.
10 Ibid. 11Elwi Danil, Korupsi: Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya, Rajwali Pers, Jakarta,
2011, hlm. 75. 12http://mediaindonesia.com/news/read/53580/buronan-leluasa-hindari-hukuman/2016-06-29
diakses 10 Februari 2017
7
Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik untuk menyusun studi kasus
dengan judul “UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI (PK) OLEH AHLI
WARIS BURONAN TERPIDANA TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Kasus
Putusan Nomor 97/PK/Pid.Sus/2012)”.
B. RumusanMasalah
Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan sebagaimana dipaparkan di
atas, maka dalam lingkup permasalahan ini penulis merasa perlu membatasinya
agar masalah yang dibahas tidak menyimpang dari sasarannya. Adapun rumusan
permasalahan yang teridentifikasi adalah sebagai berikut:
1. Apa dasar pertimbangan hakim dalam menerima permohonan upaya hukum
peninjauan kembali (PK) oleh ahli waris (isteri) buronan terpidana tindak
pidana korupsi dalam putusan perkara Nomor: 97/PK/Pid.Sus/2012.
2. Apa dasar pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan upaya
hukum peninjauan kembali (PK) yang diajukan oleh ahli waris (isteri) buronan
terpidana tindak pidana korupsi dalam putusan perkara Nomor:
97/PK/Pid.Sus/2012.
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menerima permohonan upaya
hukum peninjauan kembali (PK) yang dilakukan oleh ahli waris (isteri)
buronan tindak pidana korupsi dalam Putusan Nomor: 97/PK/Pid.Sus/2012.
8
2. Mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan
upaya hukum peninjauan kembali (PK) yang dilakukan oleh ahli waris (isteri)
buronan terpidana tindak pidana korupsi dalam Putusan Nomor:
97/PK/Pid.Sus/2012.
D. Manfaat Penelitian
Dari penelitian ini, penulis mengharapkan adanya manfaat penelitian yaitu
berupa:
1. Manfaat Teoritis
a. Untuk memperkaya referensi dan literatur hukum pidana dan hukum acara
pidana.
b. Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan di bidang hukum acara pidana,
khususnya berkaitan dengan upaya hukum luar biasa berupa peninjauan
kembali oleh ahli waris buronan terpidana tindak pidana korupsi.
2. Manfaat Praktis
a. Untuk menambah pengetahuan masyarakat tentang upaya hukum
peninjauan kembali yang dilakukan oleh ahli waris buronan terpidana
tindak pidana korupsi.
b. Untuk memberikan masukan kepada hakim dalam praktik penegakan
hukum pidana, khsusnya penegakan hukum terhadap tindak pidana
korupsi di Indonesia.
E. Landasan Teoritis dan Yuridis
1. Landasan Teoritis
9
a. Hak Tersangka, Terdakwa dan Terpidana menurut Hukum Acara
Pidana
Dalam Sistem Peradilan Pidana, ketentuan perlindungan terhadap hak
tersangka, terdakwa dan terpidana mengarah pada kewajiban utama negara
melalui Hukum Acara Pidana agar sejalan dengan tujuan dari Hukum Acara
Pidana, yaitu untuk mewujudkan dan menjamin kebenaran dan keadilan sesuai
dengan peri kemanusiaan.13
Menurut Clive Walker sebagaimana yang dikutip oleh O.C. Kaligis, keadilan
sebagai tujuan eksistensi hukum dan Sistem Peradilan Pidana, merupakan elemen
penting dari Hak Asasi Manusia. Negara dianggap gagal dalam menegakkan
keadilan manakala negara melanggar hak-hak tersangka atau terdakwa atau
terpidana, baik karena: pertama, proses hukum yang tidak mencukupi; atau kedua,
hukum yang diterapkan terhadap mereka; atau ketiga, tidak adanya pembenaran
atas hukuman yang diberikan; atau keempat, perlakuan terhadap tersangka atau
terdakwa atau terpidana tidak seimbang dengan hak-hak orang lain yang hendak
dilindungi; atau kelima, ketika hak-hak orang lain tidak dilindungi secara aktif
oleh negara dari para pelaku kejahatan; atau keenam, hukum negara itu sendiri.14
Sedangkan di dalam perspektif teori Hak Asasi Manusia, perlindungan
terhadap hak tersangka, hak terdakwa dan hak terpidana merupakan norma-norma
moral dan hukum yang bertujuan untuk melindungi semua umat manusia di
13 Bismar Siregar, Hukum Acara Pidana, Binacipta, Jakarta, 1983, hlm. 46. 14O.C. Kaligis, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana,
PT. Alumni, Bandung, 2006, hlm. 13.
10
manapun dari penyalahgunaan dan perlakuan kejam kekuatan sosial, politik dan
hukum.
Di dalam KUHAP, terdapat ketentuan yang mengatur secara eksplisit
perlindungan dan jaminan terhadap hak-hak tersangka dan terdakwa. Di samping
itu, ada pula ketentuan yang hanya menyebutkan secara implisit, di mana di
dalamnya terkandung makna adanya hak-hak tersangka, terdakwa maupun
terpidana.
Terkait dengan itu, menurut Romly Atmasasmita paling tidak terdapat sepuluh
asas yang merupakan wujud perlindungan hak-hak warga negara dalam proses
peradilan pidana, sehingga memenuhi apa yang disebut “due process of law”
dalam KUHAP.15 Kesepuluh asas tersebut yaitu:
1. Perlakuan yang sama di muka hukum, tanpa diskriminasi apapun;
2. Asas praduga tak bersalah;
3. Pelanggaran atas hak-hak individu warga negara (yaitu dalam hal
penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan) harus didasarkan
pada undang-undang dan dilakukan dengan surat perintah;
4. Seorang tersangka berhak diberitahu tentang persangkaan dan pendakwaan
terhadapnya;
5. Seorang tersangka dan terdakwa berhak mendapat bantuan penasihat
hukum;
6. Seorang terdakwa berhak hadir di muka pengadilan;
15 Romly Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Criminal Justice System: Perspektif
Eksistensialisme dan Abolisionisme, Putra A. Bardin (Anggota IKAPI), Jakarta, 1996, hlm. 41.
11
7. Adanya peradilan yang bebas dan dilakukan dengan cepat serta sederhana;
8. Peradilan harus terbuka untuk umum;
9. Tersangka maupun terdakwa berhak memperoleh kompensasi (ganti
kerugian) dan rehabilitasi;
10. Adanya kewajiban pengadilan untuk mengendalikan pelaksanaan putusan-
putusannya.
Apabila asas-asas itu dihayati, diamalkan, dan dilaksnakan sesuai sikap batin
pembuat undang-undang yang menginginkan dilindunginya hak-hak warga negara
Indonesia, maka dengan demikian berarti prinsip-prinsip “due process of law”
telah diwujudkan dalam proses penyelenggaraan peradilan pidana.16
b. Upaya Hukum
Upaya hukum menurut R. Atang Ranoemihardja adalah suatu usaha melalui
saluran hukum dari pihak-pihak yang merasa tidak puas terhadap keputusan
hakim yang dianggapnya kurang adil atau kurang tepat.17 Untuk itu, KUHAP
membedakan upaya hukum menjadi upaya hukum biasa dan luar biasa.18
1. Upaya Hukum Biasa
Upaya hukum biasa adalah hak terdakwa dan penuntut umum untuk tidak
menerima putusan pengadilan negeri atau tingkat pertama (judec faxtie), sehingga
16Elwi Danil, Op-Cit., hlm. 199. 17Andi Sofyan, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Rangkang Education, Yokyakarta,
2013, hlm. 287. 18 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 290.
12
maksud dari upaya hukum terdakwa (terpidana) atau penuntut yang tidak puas
atau tidak dapat menerima putusan tersebut, adalah:19
Untuk memperbaiki kesalahan yang dibuat oleh pengadilan tingkat
sebelumnya;
Untuk kesatuan dalam pengadilan;
Sebagai perlindungan terhadap tindak sewenang-wenang hakim atau
pengadilan.
Upaya hukum biasa terdiri dari tiga bagian, yaitu:
a) Perlawanan
Perlawanan juga sering disebut dengan istilah Verzet. Perlawanan merupakan
upaya hukum berdasarkan undang-undang dalam hal-hal yang telah ditentukan
yang umumnya bersifat insitential yang tidak dimaksudkan terhadap putusan akhir
dari pengadilan negeri.20
Perlawanan diajukan kepada Pengadilan Tinggi dan tidak diwajibkan dengan
akta seperti akta banding. Perlawanan dapat diajukan dalam hal-hal sebagai
berikut:21
a. Berdasarkan Pasal 29 ayat (7) KUHAP terhadap perpanjangan penahanan
dimaksud oleh Pasal 29 ayat (2), tersangka/terdakwa mengajukan
keberatan-keberatan.
19 Andi Sofyan, Op-Cit., hlm. 289. 20 Ledeng Marpaung, Op-Cit., hlm. 155. 21Ibid.
13
b. Berdasarkan Pasal 249 ayat (1) huruf a KUHAP yakni Penuntut Umum
berkeberatan terhadap penetapan pengadilan negeri yang memuat bahwa
perkara pidana ini tidak termasuk wewenangnya.
c. Perlawanan penuntut umum berdasarkan Pasal 156 ayat (3) KUHA P yakni
keberatan Penuntut Umum atas diterimanya eksepsi terdakwa/penasihat
Hukum.
d. Perlawanan yang diajuka terdakwa/penasihat Hukum berdasarkan Pasal
156 ayat (4) terhadap Keputusan Pengadilan Negeri atas eksepsi yang
diajukan.
e. Perlawanan atas Keputusan Sela yang diajukan oleh Penuntut Umum atau
terdakwa penasihat hukum Keputusan sela adalah keputusan yang
mendahului keputusan akhir.
Pemakaian kata perlawanan bagi Putusan Verstek yakni putusan di luar
hadirnya terdakwa, sebagaimana dimaksud Pasal 214 ayat (4) KUHAP yakni
mengenai perkara-perkara pelanggaran lalu lintas, berbeda dengan perlawanan
dimaksud pada huruf a sampai huruf e, karena perlawanan terhadap Putusan
Verstek tersebut tidak diajukan ke pengadilan tinggi.22
Mirip dengan jenis Verstek ini adalah mengenai perlawanan/keberatan atas
perampasan barang-barang yang telah disita, yakni dalam:23
- Perkara ekonomi berdasarkan Pasal 6 ayat (3) dari Undang-undang Nomor
7 Drt 1955,
22Ibid. 23Ibid.
14
- Perkara korupsi berdasarkan Pasal 19 ayat (2) dari Undnag-undang Nomor
31 Tahun 1999.
Dalam kedua hal tersebut, yakni dalam hal in absensia, setiap orang dapat
mengajukan keberatan kepada Pengadilan yang telah menjatuhkan perampasan
atas barang sitaan. Putusan atas keberatan/perlawanan tersebut tidak dapat
dimintakan banding atau kasasi.24
b) Pemeriksaan Tingkat Banding
Pemeriksaan banding adalah pemeriksaan perkara pada tingkat II atau
pengadilan tinggi. Menurut J.C.T. Simorangkir sebagaimana yang dikutip Andi
Sofyan mengungkapkan bahwa banding adalah suatu alat hukum (rechtseniddel)
yang merupakan hak terdakwa dan hak penuntut umum untuk memohon, supaya
putusan pengadilan negeri diperiksa kembali oleh pengadilan tinggi.25
Tujuan dari hak ini adalah untuk memperbaiki kemungkinan adanya
kekhilafan pada putusan oleh hakim kepada terdakwa sesudah putusannya
diucapkan. Pengadilan Tinggi dapat membenarkan, mengubah, atau membatalkan
putusan pengadilan negeri.26 Selain itu pemeriksaan banding sebenarnya juga
merupakan suatu penilaian baru. Sehingga, dapat diajukan saksi-saksi baru, ahli-
ahli, dan surat-surat baru.27
Tidak semua putusan yang dapat dimintakan banding. Pasal 67 KUHAP
mengatur bahwa ada tiga putusan yang tidak dapat dimintakan banding, yaitu:
24Ibid., hlm. 156. 25Ibid. 26Ibid., hlm. 289-290. 27 Andi Hamzah, Op-Cit., hlm. 292.
15
1. Putusan bebas (vrijspraak);
2. Lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut kurang tepatnya
penerapan hukum;
3. Putusan pengadilan dalam acara cepat (dahulu dipakai istilah perkara rol).
Selain apa yang dikecualikan dalam Pasal 67 KUHAP, terhadap pemeriksaan
praperadilan tidak dapat dimintakan banding, menurut ketentuan Pasal 83
KUHAP, yaitu:
a. Terhadap putusan praperadilan, dalam hal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 79, Pasal 80, dan Pasal 81 tidak dapat dimintakan banding
b. Dikecualikan dari ketentuan ayat (1) adalah putusan praperadilan yang
menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan yang
untuk itu dapat dimintakan putusan akhir ke pengadilan tinggi dalam daerah
hukum yang bersangkutan.
Terkait ketentuan Pasal 83 ayat (2) KUHAP sebagaimana tersebut di atas, telah
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah
Konstitusi berdasarkan putusan Nomor 65/PUU-IX/2011 tertanggal 1 Mei 2013.28
Sedangkan tata cara pengajuan dan mekanisme pemeriksaan tingkat banding,
diatur dalam BAB XVII bagian kesatu, Pasal 233 sampai dengan Pasal 243
KUHAP.
28Andi Hidayat Nur Putra, Skripsi Kewenangan Pengadilan Memeriksa dan Memutus
Gugatan Praperadilan tentang Tidak Sahnya Penetapan Tersangka (Studi Kasus Putusan Nomor:
04/Pid.Prap/2015/PN. Jkt. Sel), Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar, 2015, hlm.
44.
16
c) Kasasi
Upaya hukum kasasi (cassatie) merupakan lembaga hukum, dilahirkan di
Perancis dengan istilah “Cassation” dan berasal dari kata kerja “Casser” yang
berarti membatalkan atau memecahkan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, kata kasasi diartikan sebagai
pembatalan atau pernyataan tidak sah oleh Mahkamah Agung terhadap putusan
Hakim karena putusan itu tidak sesuai benar dengan undang-undang.29
Kasasiadalah salah satu tindakan Mahkamah Agung RI sebagai pengawas
tertinggi atas putusan-putusan pengadilan lain, tetapi tidak berarti merupakan
pemeriksaan tingkat ketiga. Hal ini karena perkara dalam tingkat kasasi tidak
diperiksa kembali seperti yang dilakukan judex facti, tetapi hanya diperiksa
masalah hukum/penerapan hukumnya.30
Upaya kasasi merupakan hak yang diberikan kepada terdakwa maupun kepada
penuntut umum. Berbarengan dengan hak mengajukan permintaan kasasi yang
diberikan undang-undang kepada terdakwa dan penuntut umum, dengan sendiri
hal itu menimbulkan kewajiban bagi pejabat pengadilan untuk menerima
permintaan kasasi, tidak ada alasan untuk menolak. Apakah permohonan itu
diterima atau ditolak, bukan wewenang Pengadilan Negeri untuk menilai,
sepenuhya menjadi wewenang Mahkmah Agung.31
29Ledeng Marpaung, Op-Cit., hlm. 169. 30Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik dan Permasalahannya, PT
Alumni Bandung, Bandung, 2012, hlm. 31Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hlm. 466.
17
Dasar pengajuan kasasi diatur dalam Pasal 244 KUHAP, bahwa terhadap
putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain
selain dari Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan
permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap
putusan bebas.
Namun kemudian frasa “kecuali terhadap putusan bebas”, dinyatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi melalui
putusan nomor: 114/PUU-X/2012 tertanggal 28 Maret 2013.32 Ketentuan
mengenai tata cara pengajuan dan mekanisme pemeriksaan tingkat kasasi diatur
dalam BAB XVII bagian kedua, Pasal 244 sampai dengan Pasal 258 KUHAP.
2. Upaya Hukum Luar Biasa
Di samping pemeriksaan tingkat banding dan kasasi yang merupakan upaya
hukum biasa sebagaimana diuraikan di atas, KUHAP juga mengatur tentang
upaya hukum luar biasa yang merupakan pengecualian dari upaya hukum biasa,
diatur dalam Bab XVIII Bagian Kesatu dari Pasal 259 sampai dengan Pasal 262
KUHAP tentang kasasi demi kepentingan hukum dan Bagian Kedua dari Pasal
263 sampai dengan Pasal 269 KUHAP tentang peninjaun kembali atas putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.33
32 Andi Hidayat Nur Putra, Op-cit., hlm. 46 33 Andi Sofyan, Op-cit., hlm. 308.
18
a) Pemeriksaan Tingkat Kasasi Demi Kepentingan Hukum
Dalam peraturan lama, kasasi demi kepentingan hukum ini telah diatur
bersama kasasi biasa dalam satu pasal, yaitu Pasal 17 Undang-Undang Mahkamah
Agung (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950) yang mengatakan bahwa kasasi
dapat dilakukan atas permohonan pihak yang berkepentingan atau atas
permohonan Jaksa Agung karena jabatannya, dengan pengertian bahwa kasasi
atas permohonan Jaksa Agung hanya semata-mata untuk kepentingan hukum
dengan tidak dapat merugikan pihak-pihak yang berkepentingan.34
Terhadap perkara yang bagaimana dan alasan apa yang dapat dikemukakan
oleh Jaksa Agung untuk mengajukan suatu permohonan kasasi demi kepentingan
hukum tidak diatur dalam KUHAP maupun PP Nomor 27 Tahun 1983 tentang
Pelaksanaan KUHAP tersebut. Rupanya pembuat undang-undang menyerahkan
kepada pertimbangan Jaksa Agung sendiri. Dan bagi terdakwa hal ini sama sekali
tidak membawa pengaruh. Jadi, betul-betul hanya untuk kepentingan teori
belaka.35
b) Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan yang Telah Memperoleh
Kekuatan Hukum Tetatp
Sebelum berlakunya KUHAP, belum ada undang-undang yang mengatur
pelaksanaan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap. Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Kekuasaan
34 Andi Hamzah, Op-Cit., hlm. 303. 35Ibid.
19
Kehakiman pada Pasal 21 hanya menyebut kemungkinan adanya PK, tetapi
pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan undang-undang.36
Setelah kemerdekaan, lembaga PK perdata maupun PK pidana pertama kali
terdapat dalam Perma No. 1 Tahun 1969.37 Dikeluarkannya Perma No, 1 Tahun
1969 ditujukan untuk memenuhi kebutuhan hukum yang sangat mendesak.
Banyak permohonan PK yang mempunyai dasar-dasar yang kuat, namun tidak
dapat ditindaklanjuti berhubung hukum acara PK belum ada.
Sementara beluma ada hukum acara mengenai PK, Mahkmah Agung
mengelurkan peraturan tersebut dengan maksud untuk menambah hukum acara
Mahkamah Agung dengan hukum acara pidana PK yang telah terdapat dalam
Undang-Undang No. 13 Tahun 1965.38
Pada tanggal 30 November 1971, Perma No. 1 Tahun 1969 dicabut melalui
Perma No. 1 Tahun 1971. Hal ini disebabkan bahwa Mahkamah Agung
menyadari bahwa ketentuan mengenai PK yang semula diatur melalui Perma
adalah suatu kekeliruan.39
Tahun 1980 terungkap peradilan sesat di Pengadilan Negeri Bekasi, yang
menghukum Senkon dan Karta. Untuk menangani putusan peradilan sesat tersebut
itulah diterbitkan Perma No. 1 Tahun 1980. Sifatnya sementara dengan tujuan
36Ibid., hlm. 304. 37 Adami Chazawi, Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana: Penegakan Hukum
dalam Penyimpangan Praktik & Peradilan Sesat, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 4. 38 Lihat dalam hal Menimbang dari Perma No. 1 Tahun 1969. 39 Lihat dalam hal Menimbang dari Perma No. 1 Tahun 1971.
20
utama untuk mengatasi kesalahan negara yang telah terlanjur menghukum Sekon
dan Karta yang kemudian terbukti tidak bersalah.40
Dibentuknya lembaga PK semata-mata ditujukan bagi kepentingan terpidana,
bukan kepentingan negara atau korban.41 Terkandung filosofi mengapa hak untuk
mengajukan PK semata-mata diperuntukan bagi terpidana.
Menurut Yahya Harahap sebagaimana yang dikutip oleh Adami Chazawi
mengatakan bahwa substansi upaya hukum PK berpijak pada dasar, bahwa negara
telah salah mempidana (miscarriage of justice) penduduk yang tidak berdosa yang
tidak dapat diperbaiki lagi dengan upaya hukum biasa.
Landasan filosofi dan sejarah yang menjiwai dan melatarbelakangi lembaga
PK perkara pidana diwujudkan dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP. Sementara
ketentuan dalam ayat (2) memuat syarat-syarat materiil yang harus dipenuhi untuk
dapat diterima dan dibenarkan pengajuan PK ke Mahkmah Agung.42
Selanjutnya terkait pengajuan PK dapat dilakukan berulang kali. Hal ini
ditegaskan oleh Mahkmaha Konstitusi dalam Putusan Nomor 34/PUU-XI/2013
yang membatalkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang membatasi pengajuan PK
sebanyak satu kali. Sehingga dengan tidak berlakunya pasal tersebut, terpidana
atau ahli warisnya dapat mengajukan PK berulang kali.43 Namun pada tahun 2014
MA berpendapat berbeda dari MK dengan mengeluarkan SEMA No. 7 Tahun
40 Adami Chazawi, Op-Cit., hlm. 5. 41Ibid., hlm. 8. 42Ibid., hlm. 24. 43http://m.cnnindonesia.com/nasional/20140923154200-12-4091/perang-pakar-soal-
peninjauan-kembali/ diakses pada 5 Maret 2017
21
2014 di mana PK hanya bisa dilakukan sebanyak satu kali. Lebih lanjut PK diatur
dalam Bab XVIII Bagian kedua Pasal 263 sampai 269 KUHAP.
2. Landasan Yuridis
Landasan yuridis adalah landasan hukum berupa peraturan perundang-
undangan yang menjadi dasar dari penelitian studi kasus ini. Secara yuridis
penulis berlandaskan kepada:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Sebagai staatsfundamentalnorm atau norma fundamental negara dan
staatsgrundgesetz atau aturan dasar negara,44 terdapat beberapa Pasal dalam
UUD 1945 yang menjadi landasan yuridis studi kasus ini yaitu:
Pasal Pasal 1 ayat (3):
“Negara Indonesia dalah negara hukum.”
Pasal 28D ayat (1):
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
b. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP)
Di dalam KUHAP terdapat beberapa pasal yang menurut penulis ada
kaitannya dengan studi kasus ini, yaitu:
Pasal 1 angka 12:
“Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk
tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding
44Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-undangan, Kanisius, Yogyakarta, 2007, hlm. 75.
22
atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan
kembali dalam serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”
Pasal 1 angka 14:
“Tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau
keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku
tindak pidana.”
Pasal 1 angka 32:
“Terpidana adalah seorang yang telah dipidana berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”
c. Point a, bagian Menimbang Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantsan Tindak Pidana Korupsi:
“bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional,
sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan
makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945;”
d. Pasal 3 ayat (2) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia:
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan
perlakuan hukum yang adil serta mendapatkan kepastian hukum dan
perlakuan yang sama di depan hukum.”
e. Pasal 8 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman:
23
“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau
dihadapkan di depan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum
adanya putusan pengadilan, yang menyatakan kesalahannya dan
memperoleh kekuatan hukum tetap.”
F. Metode Penelitian
Metode pada hakikatnya memberikan pedoman, tentang cara-cara seorang
ilmuan mempelajari, menganalisis dan memahami lingkungan-lingkungan yang
dihadapinya.45
1. Pendekatan Penelitian
Jenis pendekatan penelitian yang Penulis gunakan adalah hukum yuridis
normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Menurut
Soerjono Soekanto pendekatan yuridis normatif yaitu penelitian hukum yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder sebagai bahan
dasar untuk diteliti dengan cara mengadakan penelurusun terhadap peraturan-
peraturan dan literature-literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang
diteliti.46
Alasan penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan dan
pendekatan kasus karena dalam penelitian ini penulis melakukan telaah terhadap
kasus yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu pada Putusan
45 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, FH UI Pres, Jakarta, 2008, hlm. 51. 46 Soerjono Soekanto dan Sri Mamujdi, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat),
Rajawali Pers, Jakarta, 2001, hlm. 13-14
24
Peninjauan Kembali Nomor 97/PK/Pid.Sus/2012 terhadap peraturan perundang-
undangan pidana positif Indonesia.
2. Jenis Data
Jenis data yang penulis gunakan pada penelitian ini adalah data sekunder. Data
sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka atau data yang
merupakan hasil pengolahan,47 serta internet.
Data sekunder tersebut adalah:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat. Adapun
bahan hukum primer yang penulis butuhkan adalah sebagai berikut:
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
3) Undang-undang 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
4) Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pengajuan
Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana
5) Putusan Peninjauan Kembali Nomor 97/PK/Pid.Sus/2012
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer
yang berupa hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum yaitu buku-
buku.
47 Soejono Soekanto dan Srimamudji, Op-Cit., hlm. 12.
25
c. Bahan hukum tersier Bahan hukum tersier adalah bahan yang memberikan
petunjuk terhadap bahan hukum primer dan sekunder, yaitu kamus-kamus
hukum, jurnal-jurnal hukum, dan pendapat para sarjana yang berkaitan dengan
penelitian.
3. Sumber Data
Pada penelitian ini penulis hanya menggunakan bahan pustaka atau data
sekunder. Sumber data sekunder penulis peroleh dari bahan kepustakaan
Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Andalas.
4. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan cara melakukan studi
kepustakaan, yaitu dengan mengumpulkan data dengan menelusuri literatur-
literatur, bahan-bahan hukum dan internet yang berhubungan dengan materi atau
objek penelitian yang kemudian dibaca dan dipahami.
5. Teknik Analisis Data
Pada penelitian ini penulis menggunakan analisis kualitatif. Semua data yang
dikumpulkan, kemudian diolah secara kualitatif, yakni analisis data dengan cara
menganalisa, menafsirkan, menarik kesimpulan dan menuangkan dalam bentuk
kalimat-kalimat pada studi kasus.