Upload
trannhi
View
214
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam sebagai sebuah ajaran memiliki aturan-aturan tersendiri yang mengatur
hubungan antara sesama manusia maupun hubungan manusia dengan Tuhan. Sebagai
sebuah ajaran yang bersifat universal sudah tentu ajaran Islam harus fleksibel agar
dapat menjawab berbagai persoalan yang datang agar tidak menyusahkan umatnya
dalam menjalankan ajaran tersebut.
Islam memproritaskan harkat dan martabat manusia merupakan prioritas utama,
sehingga penghormatan terhadap manusia ketika seorang manusia masih hidup akan
tetapi juga sampai meninggal dunia maupun nasib anak turunannya. Agam Islam
merupakan agama yang berusaha mengatur umatnya agar tercipta keadilan,
kesejahteraan, dan kedamaian dengan melaksanakan norma-norma hukum yang ada
di dalamnya. Dari seluruh hukum yang ada dan berlaku dewasa ini di samping hukum
perkawinan, hukum kewarisan juga merupakan bagian dari hukum keluarga yang
memegang peranan yang sangat penting, bahkan menentukan dan mencerminkan
sistem kekeluargaan yang berlaku dalam masyarakat.1
Kematian adalah hal yang pasti terjadi pada setiap makhluk yang bernyawa,
tidak ada yang mengetahui kapan dan dimana ia akan menemui ajal, dalam keadaan
1 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur’an dan Hadits, cet. VI (Jakarta:
Tintamas, 19810, hlm 1.
2
baik atau buruk. Bila ajal telah tiba tidak ada yang dapat memajukan atau
memundurkan.
Apabila berbicara tentang seseorang yang sudah meninggal dunia, arah dan
pikiran akan tertuju pada masalah warisan. Warisan memiliki 3 rukun :
1. Pewaris atau al-Muwaris : adalah si mayit itu sendiri, baik nyata ataupun mati
secara hukum, seperti orang hilang dan dinyatakan mati.
2. Ahli waris atau al-Waris : adalah orang mempunyai hubungan kewarisan
dengan si mayit sehingga ia memperoleh warisan.
3. Harta warisan atau al-Maurus : adalah harta atau hak yang dipindahkan dari
yang mewariskan kepada pewaris.2
Pewaris merupakan orang yang mempunyai harta warisan. Warisan dapat
dibagi dengan syarat meninggalnya pewaris. Apabila seorang pewaris meninggal
dunia, tentunya tidak dalam waktu yang singkat para ahli waris dan keluarganya
membicarakan tentang harta peninggalannya. Sedangkan ahli waris itu benar-benar
hidup ketika pewaris meninggal dunia. Adapun harta warisan adalah harta
peninggalan yang akan menjadi hak ahli waris. Pembagian harta warisan tersebut
disesuaikan dengan ketentuan yang ada dalam ilmu faraid beserta dengan jumlah atau
besarnya harta yang diterima ahli waris.3
Persoalan kewarisan, pada khususnya di tengah-tengah masyarakat, ilmu
faraidh selalu berhadapan dengan dilemanya sendiri, karena bila masyarakat bicara
2As-Sayyid Sabiq, Fiqih as-Sunnah (Beirut: Dar al-kutub al-Arabiyah, 1971), hlm. 292.
3Zakiah Darojat, Ilmu Fiqh (Yogyakarta: PT. Dana Bakti Wakaf, 1995), hlm. 18.
3
mengenai keadilan cenderung menepis adanya ketidak seimbangan. Oleh karena itu,
penyimpangan yang dilakukan sebagian besar masyarakat dalam hal kewarisan tidak
disebabkan oleh tipisnya keIslaman, melainkan juga dapat disebabkan oleh
pertimbangan bahwa budaya dan struktur sosial, bahkan ada yang beranggapan
penerapan ilmu faraid secara tekstual kurang diterima oleh rasa keadilan.
Adapun pembagian harta waris dijelaskan dalam Al-Qur’an :
في أولدكم نساء كنه فإن النثيين حظ مثل للذهكر يوصيكم للاه
الن صف فلها واحدة كانت وإن ترك ما ثلثا فلهنه اثنتين فوق
نهما واحد لكل ولبويه ا السدس م يكن لهم فإن ك إن كان له ولد تر ممه
ه أبواه وورثه ولد لهه ه إخوة له كان فإن الثلث فلم السدس فلم
أيهم تدرون ل وأبناؤكم آباؤكم دين أو بها يوصي وصيهة بعد من
ن فريضة رب لكم نفع ا أق م إنه للاه ا كان للاه 4 احكيم عليم Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-
anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang
anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka
bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu
seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa,
bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai
anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga;
jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat
seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat
yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat
(banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.5
ولد لهنه كان فإن ولكم نصف ما ترك أزواجكم إن لهم يكن لههنه ولد
بع فلكم ا الر ولهنه بها أو دين يوصين وصيهة بعد من تركن ممه
4Surat Annisa ayat 11 (versi Aplikasi Ayat 2.1.1)
5 Terjemahan qur’an versi ayata volume 4
4
بع ا الر ا الثمن فلهنه ولد لكم كان فإن ولد لهكم يكن لهم إن تركتم ممه ممه
ن تركتم يورث رجل كان وإن دين أو بها توصون وصيهة بعد م
نهما السدس امرأ أو كللة كانوا فإن ة وله أخ أو أخت فلكل واحد م
لك من أكثر أو بها يوصى وصيهة بعد من الثلث في شركاء فهم ذ
ن وصيهة مضار غير دين م للاه حليم عليم وللاه6
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu
mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah
dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu
tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak,
maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan
sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-
hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang
saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja),
maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi
jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam
yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah
dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah
menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah,
dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.7
Dalam hadits juga dijelaskan yang artinya sebagai berikut:
Dari Ibnu Mas'ud radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW
menetapkan bagi anak tunggal perempuan setengah bagian, dan buat anak
perempuan dari anak laki seperenam bagian sebagai penyempurnaan dari 2/3.
Dan yang tersisa buat saudara perempuan .(HR. Jamaah kecuali Muslim dan
Nasai).
Perkembangan zaman yang semakin modern ini melahirkan pemikiran-
pemikiran modern seseorang mengenai suatu ilmu pengetahuan, dan perbedaan
pendapat dalam memahami suatu ilmu tersebut. Sehubungan dengan pembagian
6 Surat An-nisa ayat 12 (versi aplikasi Ayat 2.1.1)
7 Terjemahan qur’an versi ayata volume 4
5
waris, yang kemudian lahirlah ananlisis gender yang berusaha untuk mendapatkan
pembagian waris yang sama antara laki-laki dan wanita. Menurut mereka pembagian
waris 2:1 tidak adil.8
Menurut Hazairin, sistem kewarisan tidak dapat dilepaskan dari bentuk
kekeluargaan dan bentuk kekeluargaan berpangkal pada sistem keturunan yang
dipengaruhi pula oleh bentuk perkawinan. Pada prinsipnya ada tiga macam sistem
keturunan, yaitu paterilinial, matrilinial, dan parental atau bilateral. Prinsip patrilineal
atau materilineal akan melahirkan kesatuan kekeluargaan tertentu dan di sebagian
yang lain melahirkan kesatuan kekeluargaan tertentu yang disebut dengan rumpun
(tribe).9
Berdasarkan pada tiga macam sistem keturunan itu, Hazairin menyimpulkan:
Jika disebut suatu masyarakat itu patrilinial atau matrilinial atau bilateral, maka yang
dimaksud ialah sistem kekeluargaan dalam masyarakat itu berdasarkan sistem
keturunan yang patrilinial atau matrilinial atau bilateral, maka yang dimaksud ialah
bahwa hukum kewarisan itu mencerminkan suatu sistem kekeluargaan, dimana
berlaku sistem keturunan yang patrilinial atau matrilinial atau bilateral. Dari uraian
tersebut di atas dapat diambil kesimpulan kalau Hazairin mengungkap konsep
pembagian waris dengan Hukum Adat.
8Abu Hamzah Agus Hasan Bashori, “ Relevansi Hukum Waris Islam Bias Isu Gender,
Egalitarianisme, Pluralisme, dan HAM,” As—Sunnah, No 7 & 8, th. Ke-IX (1426/2005) hlm. 50. 9Hazairin, Hukum Kewarisan Menurut Qur’an dan Hadits cet. IV (Jakarta: Tintamas, 1982).
Hlm 11.
6
Seperti dalam sistem kekerabatan matrilinial yang dianut pada masyarakat
Minangkabau di Sumatera Barat, merupakan sistem kekerabatan yang tertua. Sistem
kekerabatan ini menempatkan status kaum wanita yang tinggi dan disertai dengan
sistem perkawinan semendonya, dan sebagai penerus keturunan serta dalam hukum
waris juga sebagai ahli waris. Pada masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat
dimana pada sistem kekeluargaan ini garis keturunan ditarik dari garis wanita (ibu)
akan tetatpi kekuasaan bukan berada di tangan wanita namun tetap berada di tangan
laki-laki, hal ini dapat dilihat bahwa yang menjadi mamak kepala waris adalah dijabat
oleh laki-laki yakni laki-laki tertua.10
Dalam sistem kekerabatan patrilinial yang dianut oleh masyarakat Tapanuli,
Lampung, Bali dan lain-lainnya sangat jelas menempatkan kaum laki-laki pada
kedudukan yang lebih tinggi. Laki-laki berkedudukan sebagai ahli waris, sebagai
pelanjut nama keluarga, sebagai penerus keturunan, sebagai anggota masyarakat adat
dan juga mempunyai peranan dalam pengambilan keputusan keluarga maupun
masyarakat luas. Dalam masyarakat yang menganut sistem patrilinial kaum wanita
justru sebaliknya yaitu mempunyai kedudukan yang sangat rendah, tidak sebagai ahli
waris, tidak sebagai pelanjut keturunan, tidak sebagai penerus nama keluarga karena
dalam perkawinan jujur (pada umumnya) wanita mengikuti suami dan juga tidak
menjadi anggota masyarakat adat.
10
Riwayat, Hukum Tanah Dan Hukum Waris Di minangkabau, http://minangkabaunews.
blogspot,com/2008/10/hukum-tanah-dan -hukum-waris-di html. Akses di 15 januari 2017.
7
Musdah Mulia aktifis perempuan yang menginginkan adanya persamaan derajat
antara laki-laki dan wanita dari segi manapun. Islam menurut Musdah Mulia adalah
agama tauhid. Tauhid adalah inti agama Islam yang mengajarkan berketuhanan, dan
juga menuntun manusia bagaimana berkemanusiaan dengan benar, dalam kehidupan
sehari-hari. Tauhid menjadi pegangan pokok yang membimbing dan mengarahkan
manusia untuk bertindak benar, baik dalam hubungan dengan Allah
(intensif/mengikuti keesaan Allah) maupun dengan sesama manusia dan alam
semesta.
Berdasarkan hal itu, Musdah beranggapan bahwa laki-laki dan wanita itu tidak
ada perbedaan diantara keduanya, tidak ada yang nomor satu dan yang utama, karena
hanya Allah yang nomor satu dan yang utama. Dikontekskan dengan pembagian
waris yang 2:1 menurut Musdah tidak adil.11
Dalam Fiqh, UUP (Undang-Undang Perkawinan) dan KHI (Komplikasi Hukum
Islam) sudah banyak mengatur tentang waris tersebut, bahkan pada kahir-akhir ini
muncul CLD KHI (Counter Legal Draft Komplikasi Hukum Islam) yang juga ikut
mengatur tentang pembaharuan hukum Islam yang lebih menekankan pada kesetraan
gender, para aktifis gender mempunyai keinginan adanya kesetaraan hak antara laki-
laki dan wanita adalah sama yaitu 2:2 / 1:1, karena pada dasarnya peran dan tanggung
jawab laki-laki dan wanita itu sama.12
11
Marwan Sarijo, Cak Nur di Antara Sarung dan Dasi Dan Musdah Mulia Tetap Berjilbab,
Catatan Pinggir Sekitar Pemikiran Islam di Indonesia (Jakarta: Yayasan Nagali Aksara Penamadani,
2005). 12
Abu Hamzah Agus Hasan Bashori, Relevansi Hukum Waris Islam.
8
Berdasarakan problematika di atas, penyusun melihat adanya perbedaan yang
signifikan antara Pandangan Hazairin dan Musdah Mulia tentang Waris, Oleh karena
itu, penyusun tertarik untuk melakukan kajian yang lebih mendalam tentang
perbedaan atau persemaan tersebut, dan tercapai kepastian hukum yang relevan untuk
pembagian waris di masyarakat. Melalui skripsi ini yang berjudul:
“STUDI KOMPARATIF ATAS PEMIKIRAN HAZAIRIN DAN MUSDAH
MULIA TENTANG KONSEP BAGIAN AHLI WARIS ANAK LAKI-LAKI DAN
ANAK PEREMPUAN”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalah diatas, penulis dapat mengidentifikasi masalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana pemikiran Hazairin dan Musdah terhadap konsep pembagian ahli
waris anak laki-laki dan anak perempuan dan apa dasar hukumnya?;
2. Bagaimana perbedaan dan persamaan pemikiran Hazairin dan Musdah Mulia
terhadap konsep pembagian ahli waris anak laki-laki dan anak perempuan ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini dapat
diketahui, sebagai berikut :
9
1. Untuk mengetahui pemikiran Hazairin dan Musdah Mulia terhadap konsep
pembagian ahli waris anak laki-laki dan anak perempuan dan dasar
hukumnya;
2. Untuk mengetahui perbedaan dan persamaan pemikiran Hazairin dan Musdah
Mulia terhadap konsep pembagian ahli waris anak laki-laki dan anak
perempuan.
D. Kerangka Pemikiran
Syariah mengatur suatu hukum baik hukum yang bersifat umum ataupun yang
bersifat terperinci dan mendetail, seperti halnya tentang kewarisan, hukum kewarisan
mengatur peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal kepada ahli warisnya
yang masih hidup. Aturan tentang peralihan harta ini disebut dengan berbagai istilah
yaitu Faraid, Fikih Mawaris, dan Hukum al-Waris.
Adupun pembagian harta warisan, Allah telah menjelaskan di awal dan di akhir
surat An-Nisa’. Allah sendiri yang langsung membagi warisan demi kemashlahatan
makhlukNya. Allah menetapkan laki-laki memperoleh dua bagian dari perempuan
seperti yang telah dijelaskan dalam al-Qur’an An-Nisa Ayat 11.
Fenomena pembagian warisan yang menempatkan laki-laki dua kali lipat
dibanding wanita, tidak saja terjadi pada kalangan masyarakat yang belu faham
dengan sistem hukum, akan tetapi juga berlaku bagi kalangan masyarakat yang telah
mengenal atau” faham” hukum, seperti yang terjadi pada kalangan keluarga yang
memiliki status pendidikan yang tinggi. Dengan demikian dalam pembagian warisan
10
yang terpenting bagi masyarakat adalah terpenuhinya unsur “keadilan” atau bagian
sebanding antara laki-laki dan wanita.
Islam memberikan kesempatan yang sama bagi laki-laki dan wanita untuk
menjadi hamba yang terbaik sesuai dengan al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 13.
ن ذكر وأنثى وجعلناكم شعوب ا وقبائل لتعارفوا يا أيها النهاس إنها خلقناكم م
عند أكرمكم إنه إنه أتقاكم للاه 13خبير عليم للاه
Menurut ayat di atas dijelaskan, laki-laki dan wanita adalah sama menurut
Allah. Hanya tingkatan ketaqwaan seseorang terhadap Allah yang membedakannya.
Dalam memahami nas, baik itu dari al-Qur’an maupun hadits, Hazairin
mempunyai karakteristik tersendiri yaitu dengan melakukan perbandingan langsung
antara segala ayat-ayat yang berkaitan dengan pokok persoalan, meskipun keterkaitan
antara ayat yang satu dengan ayat yang lain sangat jauh dan menjadikannya satu
kesatuan utuh dan saling menerangkan antara ayat tersebut, sehingga corak penafsiran
ini tidak membolehkan mengartikan suatu ayat yang menjadi bagian dari keseluruhan
itu secara terlepas atau dikeluarkan dari ikatan keseluruhan itu.14
Keadilan bagi manusia mengarah pada berbagai definisi keadilan yang bukan
tidak mungkin antara satu masyarakat manusia dengan yang lainnya berbeda dalam
mengartikan keadilan hukum. Artinya flrksibelitas produk keadilan mutlak diperukan
dalam heterogenitas manusia dan lingkungannya, sedangkan muara keadilan kepada
13
Al-Hujurat ayat 13 (versi aplikasi ayat 2.1.1) 14
Hazairin, Op. Cit., hlm. 3.
11
Allah adalah produk hukum yang ada tetap menempatkan Allah sesuai proposi-Nya
sebagai Tuhan, dan kegiatan manusia dalam formulasi tujuan hukum berupa
keadilanvjuga tetap berada dalam koridor ibadah kepad-Nya15
.
Dalam surat Az-Zariyat ayat 56 juga disebutkan :
نس إله ليعبدون 16وما خلقت الجنه وال
Sebagai hamba Allah, menurut Musdah Mulia tidak ada perbedaan antara laki-
laki dan wanita. Keduanya berpotensi menjadi hamba yang Ideal yang di dalam al-
Qur’an diistilahkan dengan orang yang bertaqwa. 17
Menurut Musdah Mulia salah satu tuntunan agama yang mendasar adalah
keharusan menghormati sesama manusia tanpa melihat jenis kelamin, gender, ras,
suku bangsa dan bahkan agama. Karena itu, setiap agama mempunyai dua aspek
ajaran: ajaran tentang ketuhanan dan kemanusiaan. Islam, misalnya, memiliki ajaran
yang menekan pada dua aspek sekaligus: aspek vertical dan horizontal. Yang pertama
berisi seperangkat kewajiban manusia kepada Tuhan, sementara yang terakhir berisi
seperangkat tuntunan yang mengatur hubungan antar sesama manusia dan hubungan
manusia dengan alam sekitarnya. Sayangnya, dimensi horizontal ini tidak terwujud
15
Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Kewarisan Islam, Konsep Kewarisan Bilateral
Hazairin (Yogyakarta: UII Press, 2005), hlm 153 16
(Versi aplikasi ayat 2.1.1) 17
Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis Perempuan Pembaru Keagamaan (Bandung:PT
Mizan Pustaka, 2005), hlm 29.
12
dengan baik dalam kehidupan penganutnya, khususnya dalam interaksi dengan
sesamanya.18
Keadilan yang diajarkan oleh agama selalu memuat prinsip membela yang
benar, melindungi yang tertindas, dan menghentikan kedzaliman dan kesewenang-
wenangan. Dengan keadilan, yang benar akan dibela meskipun merupakan kelompok
minoritas. Dengan keadilan, yang tertindas terlindungi hak-haknya dari pihak-pihak
yang berkuasa dan menguasai dengan dzalim dan sewenang-wenang. Keadilan
menjadikan agama sebagai tumpuan harapan.19
Isyarat keadilan hukum yang dikehendaki Allah tertuang dalam firmanNya
surat Al-Maidah ayat 8. Esensi ayat tersebut adalah semangat menegakkan keadilan
kepada siapapun tanpa pandang bulu. Islam memiliki standar keadilan yang mutlak
dengan penggabungan norma dasar Illahi dengan prinsip keadilan insani. Hukum
diterapkan kepada semua orang atas dasar persamaan, tidak dibedakan antara kaya
dan miskin, antara kulit hitam dan kulit putih, anatara pengusaha dengan rakyat jelata.
Islam tidak bertujuan untuk menghancurkan kebebasan individu, tetapi mengontrol
kebebasan itu demi keselarasan dan harmonisasi masyarakat yang terdiri dari individu
itu sendiri. Individu diberi hak untuk mengembangkan hak pribadinya dengan syarat
tidak mengganggu kepentingan orang banyak.20
18
Ibid., hlm 3-4. 19
Ibid., hlm 21. 20
Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Kewarisan Islam, Konsep Kewarisan Bilateral
Hazairin (Yogyakarta: UII Press, 2005), hlm 155.
13
Dalam Undang-Undang di Indonesia yang menyebutkan dalam hubungannya
dengan hukum waris antara lain:
Dalam UU No.1 Tahun 1974 Pasal 34 ayat 1 menyebutkan : Suami wajib
melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga
sesuai dengan kemampuan.21
Dalam KHI pasal 176 : Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat
separoh bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga
bagian, dan apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka
bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan.22
Adapun sisi negatifnya adalah sering terjadinya perselisihan di antara para ahli waris,
hal itu menyangkut pada kepentingan pribadi masing-masing ahli waris.
Dari uraian di atas jelas bagi kita bahwa proses penyelesaian masalah dalam
penelitian ini, selain merujuk pada Al-Qur’an dan Al-Hadis, ada upaya pengerahan
akal fikiran dalam menggunakan pemikiran-pemikiran para tokoh.
E. Metode dan Langkah-Langkah Penelitian
1. Metode yang digunakan adalah metode pendekatan komparatif, jenis penelitian
deskriptif analatik.
21
Undang –undang No.1 tahun 1974 22
Departemen agama R.I, Komplikasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 2002), hlm 114.
14
2. Jenis Data
Jenis data dalam penelitian ini adalah :
a. Data tentang pendapat Hazairin dan Musdah Mulia mengenai pembagian
ahli waris anak laki-laki dan anak perempuan.
b. Data tentang dalil dan metode istinbath Hazairin dan Musdah Mulia.
c. Data tentang persamaan dan perbedaan pemikiran Hazairin dan Musdah
Mulia.
3. Sumber Data
a. Sumber data Primer adalah sebagai berikut :
1) Al-Qur’an
2) Hadits
3) Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur’an dan Hadits.
4) Muslimah Reformis Perempuan Pembaru Keagamaan.
5) Filsafat Hukum Kewarisan Islam, Konsep Kewarisan Bilateral Hazairin
b. Sumber data Sekunder adalah data-data dan buku-buku yang relevan dan sesuai
dengan permasalahan dalam penelitian ini.
4. Analisis Data
Dalam menganalisis data, penulis menggunakan tahapan sebagai berikut:
1. Mengkaji semua data yang terkumpul, baik itu data primer maupun data
sekunder.
2. Mengklasifikasikan data-data ke dalam satuan-satuan sesuai dengan
pertanyaan penelitian.