Upload
doankhanh
View
221
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tapak dara atau yang dikenal dengan nama ilmiah Catharanthus roseus (L.)
G. Don. merupakan tanaman semak tahunan yang banyak dibudidayakan sebagai
tanaman hias dan obat. Tapak dara memiliki warna mahkota bunga ungu, merah,
merah muda atau putih (Plaizier, 1981). Menurut Kumar dkk. (2013), terdapat
lima variasi bunga tapak dara, yaitu putih-kuning, putih-merah, merah muda-
merah, merah muda-putih, dan merah-putih. Daun tapak dara digunakan sebagai
sumber penghasil alkaloid, namun hanya mengandung sekitar 0,2-1,0% alkaloid
(Renault dkk., 1999). Menurut Schmelzer (2007), beberapa jenis alkaloid dalam
tanaman tapak dara yaitu vinkristin dan vinblastin dapat digunakan untuk terapi
leukemia dan Hodgkin’s disease.
Penelitian yang dilakukan oleh Idrees dkk. (2008) di India menyatakan
bahwa tapak dara dengan mahkota warna merah muda lebih superior dalam hal
pertumbuhan, fisiologi dan biokimia dari pada tapak dara mahkota warna putih.
Dalam penelitian tersebut tenyata jumlah alkaliod total khususnya vinkristin dan
vinblastin keduanya tidak memiliki perbedaan yang signifikan.
Genom adalah sekumpulan instruksi yang dibutuhkan dalam pembentukan
organisme. Genom berisi sekumpulan master blueprint yang akan menentukan
struktur sel dan aktivitas sel selama hidup. Asam deoksiribonukleotida (DNA)
3
merupakan penyusun genom yang dapat mengalami mutasi sehingga
menghasilkan satu individu mutan yang baru (Casey, 1992).
Menurut Crowder (1997), mutasi dapat terjadi secara alami ataupun buatan.
Mutasi buatan yang dilakukan secara sengaja oleh manusia bertujuan untuk
pemuliaan tanaman. Kolkisin merupakan mutagen yang umum digunakan dalam
pemuliaan tanaman. Kolkisin adalah suatu alkaloid yang dihasilkan oleh tanaman
Colchicum autumnale L. (Snustad dkk., 1997). Pemberian kolkisin di daerah titik
tumbuh suatu tunas dapat mencegah pembentukan gelendong pembelahan sel
yang akan membagi kromosom sama besar jumlahnya. Hal ini berakibat
terjadinya penggandaan jumlah kromosom (poliploid) pada tahap anafase sel-sel
yang bermitosis dan menyebabkan sel tidak menghasilkan cell plate pada tahap
telofase sel tersebut (Crowder, 1997).
Menurut Plaizier (1981), tapak dara tetraploid menghasilkan lebih banyak
alkaloid dibandingkan tapak dara diploid, tetapi tapak dara tetraploid memiliki
kemampuan fertilitas kecil. Ciri-ciri fisik tunas poliploid yang umum adalah
meningkatnya ukuran sel, laju pertumbuhan sel lambat, daun lebih tebal, bunga
lebih besar dan sedikit, buah lebih besar, serta menurunnya fertilitas pada
berbagai tingkat dibandingkan dengan tunas diploid (Griffith dkk., 1999).
Kultur sel salah satu metode yang dapat digunakan untuk mutasi sel secara
buatan. Sel-sel kalus bersifat meristemoid yang mudah termutasi oleh mutagen.
Ciri-ciri sel yang bersifat meristemoid adalah sel terus-menerus membelah,
memiliki dinding sel selulosa yang tipis, bentuk sel isodiametrik, oval, poligonal
atau rektagular, sitoplasma banyak, sel-sel tersusun rapat dengan ruang antarsel
4
sempit, vakuola tidak ada atau sangat kecil dan memiliki intisel besar (Barclay,
2002). Dengan cara ini diharapkan sel-sel kalus daun tapak dara akan lebih
banyak memproduksi alkaloid karena mengalami ploidisasi.
Sel-sel kalus tapak dara yang mengalami mutasi kolkisin dapat diamati
secara sitologi di bawah mikroskop secara langsung atau dengan pewarnaan
(Anonim, 2014). Menurut Stahl (1985), KLT merupakan metode pemisahan
komponen secara fisikokimia menggunakan fase diam sebagai penjerap dan fase
gerak sebagai pengelusi. Komponen senyawa yang terdapat dalam sel-sel kalus
dapat diamati dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas tersebut maka dapat dirumuskan permasalahan
yaitu:
1. Bagaimana pengaruh kolkisin pada sitologi sel-sel kalus daun tapak dara
dalam kultur sel?
2. Bagaimana profil Kromatografi Lapis Tipis (KLT) ekstrak petroleum eter,
ekstrak kloroform, dan ekstrak metanol dari sel-sel kalus daun tapak dara
yang telah diinduksi kolkisin dibandingkan dengan kontrol?
C. Manfaat Penelitian
1. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai salah satu cara peningkatan hasil
produksi alkaloid tapak dara.
5
2. Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai model untuk produksi alkaloid tapak
dara dalam skala produksi melalui kultur sel.
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui pengaruh kolkisin pada sitologi sel-sel kalus tapak dara dalam
kultur sel.
2. Mengetahui profil kromatografi lapis tipis ekstrak petroleum erer, ekstrak
kloroform, dan ekstrak metanol dari sel-sel kalus tapak dara yang telah
diinduksi kolkisin dibandingkan dengan kontrol.
E. Tinjauan Pustaka
1. Catharanthus roseus (L.) G. Don.
Catharanthus roseus (L.) G. Don. memiliki nama sinonim Vinca rosea
L. nama umum di Indonesia adalah tapak dara, rutu-rutu atau kembang
serdadu, di Inggris tapak dara sering disebut sebagai Madagascar periwinkle
atau rose periwinkle, di Cina dikenal dengan nama chang chun hua.
Klasifikasi tapak dara dalam taksonomi tumbuhan sebagai berikut,
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Anak kelas : Asteridae
Bangsa : Gentianales
Suku : Apocynaceae
6
Marga : Catharanthus
Jenis : Catharanthus roseus (L.) G. Don. (Backer & Bakhuizen, 1963).
Tapak dara berasal dari Madagaskar, tetapi sekarang telah tersebar di
derah lain baik tropis maupun subtropis. Tapak dara dapat mencapai tinggi
sampai satu meter, memiliki getah berwarna putih dengan bau yang tidak
enak. Akarnya dapat mencapai panjang sampai 70 cm, batangnya bersayap
menyempit, warna hijau atau merah, berbulu dan biasanya berkayu di bagian
pangkal. Letak daun tapak dara saling berhadapan, bentuk bulat dengan ujung
yang meruncing, berwarna hijau atau hijau pucat dan ukurannya 2,5-8,5 cm x
1-4 cm. Bunga biseksual, berbilangan lima. Bunga terdiri atas lima daun
kelopak dan lima daun mahkota. Daun-daun mahkota saling berlekatan
sedemikian rupa sehingga membentuk tabung mahkota dengan panjang 2-3
cm yang di dalam tabung terdapat putik dan benang sari. Bagian ujung daun-
daun mahkota terbagi menjadi lima cuping (Schmelzer, 2007). Mahkota
bunganya ada yang berwarna putih-kuning, putih-merah, merah muda-merah,
merah muda-putih dan merah-putih (Kumar dkk., 2013).
Penelitian tentang khasiat antidiabetes dari tapak dara pada akhir tahun
1950, menemukan bahwa alkaloid tapak dara juga memiliki khasiat
antimitotik. Seratus tiga puluh substansi dari tapak dara dengan struktur indol
maupun dihidroindol telah ditemukan dengan komponen pokoknya adalah
vindolin (sampai 0,5%) dan yang lainnya adalah serpentin, katarantin,
ajmalisin, akuamin, lokhnerin, lokhnerisin, dan tetrahidoalstonin. Ajmalisin
dan serpentin banyak terdapat pada akar tanaman, sedangkan katharantin dan
7
vindolin berakumulasi di bagian tanaman yang berada di atas tanah. Bagian
ini mengandung 0,2-1% alkaloid. Alkaloid vinkristin dan vinblastin adalah
agen antimitotik yang sangat kuat yang dapat menghambat mitosis pada
metafase. Selain itu, keduanya juga memiliki aktivitas neurotoksik terutama
vinkristin yang berpengaruh pada proses neurotransmisi. Dosis terkontrol
vinkristin dan vinblastin digunakan antara lain untuk terapi leukimia, dan
Hodgkin’s disease (Schmelzer, 2007).
Gambar 1. Bunga tapak dara dengan mahkota putih-kuning (a), mahkota merah muda-merah (b) dan mahkota merah-putih (c)
2. Mitosis
Tahap mitosis adalah tahapan yang paling singkat dalam siklus sel.
Selama tahap ini, sel melalui dua tahap yaitu kariokinesis dan sitokinesis.
Kariokinesis adalah proses pembagian materi inti yang terdiri dari beberapa
tahap yaitu profase, metafase, anafase, dan telofase. Sitokinesis adalah
a b
c
8
pembagian sitoplasma kepada kedua sel anak hasil pembelahan (Lodish dkk.,
2000).
Tahap profase ditandai dengan kondensasi sehingga terbentuk
kromosom. Sentrosom yang telah berduplikasi mulai memproduksi
mikrotubula. Mikrotubula terus diproduksi ke segala arah, sebagian
mikrotubula dari kutub yang berlawanan bertemu dan berikatan serta
mendorong sentrosom bergerak ke kutub sel. Kromosom terus mengalami
kondensasi. Membran nukleus menghilang, pecah menjadi fragmen kecil
sehingga kromosom terapung di dalam sitoplasma setelah nukleolus
menghilang. Setiap kromosom membentuk kinetokor pada setiap sisi
sentromer. Sentromer merupakan kompleks protein, tempat melekatnya
mikrotubulus pada kromosom. Kinotokor memiliki molekul motor yang
menggunakan ATP untuk menarik mikrotubula dari kutub sehingga
mikrotubula polar membentuk mitotic spindle. Mikrotubula yang menempel
pada kinetokor disebut mikrotubulus kinetokor (Lodish dkk., 2000).
Saat tahap metafase, kromosom akan berjajar di bidang pembelahan
(equatorial plane), mikrotubula kinetokor tarik-menarik. Setiap kinotokor
harus berhubungan dengan mikrotubula. Bila ada yang terlewat, kinetokor
akan memberikan sinyal sehingga proses mitosis selanjutnya tidak berlanjut
(mitotic spindle check point) (Lodish dkk., 2000).
Tahapan anafase menunjukan terjadinya peristiwa terputusnya protein
yang mengikat dua kromatid, dan mikrotubula kinetokor memendek menarik
9
kromatid ke arah kutub sel. Mikrotubular polar terus memanjang untuk
persiapan sitokinesis (Lodish dkk., 2000).
Saat tahap telofase, mikrotubula kinetokor menghilang, mikrotubula
polar terus memanjang untuk persiapan sitokinesis. Kromosom mencapai
kutub sel kemudian mulai membentuk membran inti dengan menggunakan
fragmen membran inti sel induk yang kemudian menyelubungi kromosom.
Selanjutnya muncul nukleolus dan kromosom mengalami penguraian (Lodish
dkk., 2000).
3. Kultur jaringan
Kultur jaringan adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian tunas
seperti protoplasma, sel, jaringan, dan organ serta menumbuhkannya dalam
kondisi aspetik sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri
dan beregenerasi menjadi tunas lengkap (Gunawan, 1992). Prinsipnya kultur
jaringan memerlukan tiga tahap utama. Tahap pertama meliputi penjagaan
agar kultur yang ditumbuhkan dapat berkembang dengan baik dalam kondisi
aseptik. Tahap kedua adalah melakukan usaha agar dapat terjadi multiplikasi
(penggandaan) propagula dengan cepat sehingga diperoleh tunas dalam
jumlah besar. Tahap ketiga merupakan persiapan pemindahan planlet ke
media tanam dalam pot atau tanah. Perkembangan teknik perbanyakan klon
melalui kultur in vitro mengarah kepada optimasi beberapa aspek penting,
yaitu sifat eksplan awal, komposisi media, kondisi fisik media, dan
lingkungan kultur (Murashige, 1974).
10
Subkultur adalah pemindahan kultur ke media yang baru, baik yang
sama maupun berbeda komposisi kimianya. Subkultur merupakan kebutuhan
untuk memperbanyak tunas dan mempertahankan kultur (George &
Sherrington, 1984). Pierik (1987) melaporkan bahwa subkultur diperlukan
bila unsur hara dan hormon dalam media telah berkurang atau habis, untuk
merubah pola pertumbuhan dan perkembangan kultur, dan bila kultur telah
memenuhi wadah atau botol. Pertumbuhan dan perkembangan tunas secara in
vitro bergantung pada beberapa faktor yaitu genotipe tunas, nutrisi (elemen
makro dan mikro) dan faktor eksternal pertumbuhan seperti cahaya, suhu, pH,
konsentrasi O2 dan CO2 serta beberapa faktor substansi (hormon, vitamin)
(Pierik, 1987). Nutrisi merupakan faktor penting untuk pertumbuhan dan
perkembangan organ tanaman. Salah satu hambatan dalam kultur jaringan
adalah kontaminasi. Kontaminasi dapat berasal dari eksplan, organisme kecil
yang masuk dalam kultur, alat tanam yang kurang steril, lingkungan kerja
yang kurang higienis, dan kecerobohan dalam pelaksanaan.
Propagasimikro adalah pembiakan secara vegetatif in vitro yang
dimulai dari bagian yang sangat kecil eksplan (sel, jaringan) untuk
mendapatkan sejumlah besar tanaman (George & Sherington, 1984). Tahap-
tahap propagasi tanaman menurut Prof. Murashige yang disempurnakan oleh
Maene dan Debergh, dikelompokkan menjadi tahap 0 (persiapan dan
pemilihan tanaman), tahap I (pembuatan kultur aseptik), tahap II
(penggandaan), tahap III (persiapan untuk tumbuh di lingkungan eksternal),
tahap IV (pemindahan ke lingkungan eksternal).
11
Kultur kalus adalah teknik budidaya kalus tanaman dalam suatu
lingkaran yang terkendali dan dalam keadaan aseptik atau bebas organisme.
Kultur kalus mensyaratkan eksplan yang ditanam harus diberi perlukaan.
Tujuan dari perlukaan (wounding) adalah untuk mendeferensiasi kembali
jaringan yang telah dewasa dalam arti menjadikan jaringan yang bersifat
meristemoid lagi setelah jaringan dewasa (Santosa & Nursandi, 2002).
Kalus adalah kumpulan sel yang bersifat parenkimatis sebagai akibat
dari pembelahan sel yang tidak terkendali dan belum mengalami diferensiasi,
meskipun pada umur tertentu dari kalus akan menunjukkan diferensiasi ke
arah organ. Tujuan dari kultur kalus adalah dapat menjadi sarana bank plasma
nutfah yang efisien, dan dapat digunakan untuk tujuan memproduksi senyawa
metabolit sekunder (Santosa & Nursandi, 2002).
Media yang umum digunakan dalam kultur jaringan tanaman adalah
media Murashige-Skoog (MS). Media MS mengandung persenyawaan garam
amonium dan nitrat dalam jumlah yang tinggi, keduanya dibutuhkan dalam
proses regenerasi. Selain itu, media MS juga banyak mengandung unsur
kalium (Dixon, 1985; George, 1993).
Menurut Dixon (1985), terdapat enam kelompok komponen media yang
digunakan untuk kultur kalus, yaitu: unsur anorganik makro, unsur anorganik
mikro, sumber besi, suplemen organik (vitamin), sumber karbon, dan zat
pengatur tumbuh. Unsur anorganik makro merupakan unsur yang dibutuhkan
tanaman dalam jumlah yang banyak, antara lain: N, K, S yang merupakan
anion dan P, Ca, Mg yang merupakan kation. Sedangkan unsur anorganik
12
mikro merupakan unsur yang dibutuhkan dalam jumlah yang sedikit. Unsur
anorganik mikro meliputi: Fe, Mn, Zn, B, Cu dan Mo (Santosa & Nursandi,
2002). Unsur mineral anorganik terutama unsur anorganik makro sangat
dibutuhkan oleh tanaman dengan masing-masing fungsinya untuk kehidupan
tanaman tersebut. Sebagai contoh Ca (kalsium) dibutuhkan tanaman sebagai
komponen pembentuk dinding sel, N (nitrogen) merupakan komponen utama
dari asam amino, protein, asam nukleat serta vitamin dan magnesium sebagai
bagian dari molekul klorofil (Chawla, 2002). Kalium (K) dibutuhkan tanaman
dalam pengaturan potensial osmotik, fosfor (P) berperan dalam proses
transfer energi, penyusun asam nukleat, berperan dalam proses respirasi dan
fotosintesis. Sedangkan sulfur merupakan komponen dari asam amino
metionin dan sistein serta beberapa kofaktor enzim (Slater dkk., 2008).
Sebagai unsur anorganik mikro, Fe (besi) diberikan dalam bentuk sulfat.
Bentuk sitrat dari besi juga dapat digunakan. Besi sulfat yang biasanya
digunakan adalah etilendiamintetraasetat (EDTA) sebagai pembentuk
komplek. Terdapat agen pembentuk komplek selain EDTA, yaitu: EGTA
(etilenglikol-bis(2-aminoetileter)tetraasetat), EDDHA (etilendiamindi(o-
hidroksifenil)asetat, DTPA (dietilentriaminpentaasetat) dan DHPT (1,3-
diamino-2-hidroksipropantetraasetat) (George & de Klerk, 2008).
Pembentukan komplek bertujuan untuk pelepasan lambat dan
berkesinambungan dari unsur besi dalam media. Sumber besi yang tidak
dibuat dalam bentuk komplek akan megendap sebagai feri oksida (Slater
dkk., 2008). Sumber besi berperan untuk menjaga kestabilan pH dalam
13
media. Mn (Mangaan) merupakan metaloprotein yang berperan dalam proses
respirasi dan fotosintesis. Mn dibutuhkan dalam aktivitas berbagai enzim
seperti dekarboksilase, dehidrogenase, kinase dan oksigenase serta
superoksida dismutase. Mn dibutuhkan dalam pembentukan kloroplas dan
berperan penting dalam reaksi redoks. Akan tetapi Mn dalam jumlah yang
besar dapat menjadi toksik bagi tanaman (George & de Klerk, 2008).
Kekurangan seng (Zn) dalam tanaman menyebabkan penurunan aktivitas
enzim, terhambatnya pembentukan protein serta penurunan sintesis asam
nukleat dan klorofil. Pembentukan klorofil terhambat apabila terjadi
defisiensi Zn dan Mo (Molybdenum) sehingga hanya sedikit klorofil yang
disintesis. Cu atau tembaga merupakan unsur anorganik mikro yang terdapat
dalam enzim, berperan dalam pengikatan maupun reaksi dengan oksigen.
Seperti dalam sistem enzim sitokrom oksidase, Cu bertanggung jawab dalam
respirasi oksidatif dan dismutase superoksida. Cu juga berperan dalam
pembentukan warna pada tanaman. Komponen yang lainnya dari unsur
anorganik mikro adalah Bo (Boron). Boron terlibat dalam integritas membran
yang berkaitan dengan keutuhan dinding sel dan pembentukan protein
membran (George & de Klerk, 2008).
Penggunaan tiamin sebagai sumber vitamin dan myo-inositol diketahui
dapat meningkatkan pertumbuhan yang lebih baik. Asam amino seperti glisin,
arginin, asam aspartat, alanin, asam glutamat dan prolin merupakan vitamin
yang dapat digunakan selain tiamin (Slater dkk., 2008). Myo-inositol yang
digunakan bersamaan dengan auksin, kinetin dan vitamin dapat mendorong
14
pertumbuhan jaringan kalus (Hendaryono & Wijayani, 1994). Jenis vitamin
lain yang dapat digunakan dalam media kultur antara lain asam
paraaminobenzoat, folat, kolin, klorid riboflavin dan asam askorbat (Santosa
& Nursandi, 2002).
Sumber karbon yang sering digunakan dalam media adalah sukrosa atau
glukosa. Sukrosa atau glukosa yang digunakan umumnya sebanyak 2-3%.
Sumber karbon yang lain yang pernah dicoba adalah laktosa, maltosa, pati
dan galaktosa. Akan tetapi hasilnya tetap dianggap tidak lebih baik daripada
sukrosa atau glukosa (Santoso & Nursandi, 2002). Zat pengatur tumbuh yang
digunakan umumnya merupakan hormon tumbuhan atau bentuk sintetiknya.
Zat pengatur tumbuh diperlukan dalam proses pertumbuhan dan
perkembangan sel tanaman dalam kultur jaringan tanaman sebagai zat
tambahan yang berperan sebagai hormon pertumbuhan. Zat pengatur tumbuh
dibagi menjadi lima, yaitu: auksin, sitokinin, giberelin, asam absisat, dan
etilen. Pembuatan kalus dapat digunakan zat pengatur tumbuh tunggal dengan
auksin. Auksin berperan dalam proses pembelahan dan pertumbuhan sel. IAA
merupakan bentuk auksin alami tetapi sangat jarang digunakan pada media
kultur jaringan tanaman karena sifatnya yang sangat tidak stabil terhadap
cahaya dan suhu. Auksin sintetik yang sering digunakan dalam media kultur
jaringan tanaman adalah 2,4-D (asam diklorofenoksiasetat) (Slater dkk.,
2008). Penambahan 2,4-D dengan konsentrasi 0,2-2 mg/L merupakan
konsentrasi yang paling efektif untuk menginduksi pembelahan sel dan
pembentukan kalus (Dodds & Roberts, 1982). Media padat merupakan media
15
cair yang ditambahakan bahan pemadat. Bahan pemadat yang sering
digunakan adalah agar. Keuntungan penggunaan agar dalam pembuatan
media padat antara lain:
a. Agar dapat membentuk gel dengan air yang dapat mencair pada suhu ±
100oC dan memadat pada suhu ± 45oC.
b. Stabil dalam penyimpanan.
c. Agar tidak bereaksi kuat dengan komponen-komponen lain dalam media.
d. Gel yang terbentuk tidak dapat diuraikan oleh enzim dalam eksplan yang
ditanam.
Penambahan agar dalam media secara umum dengan konsentrasi 0,5-
1,0%. Kepadatan media yang dihasilkan dipengaruhi oleh pH. Selain itu, pH
mempengaruhi kelarutan ketersediaan dari ion-ion mineral dan juga
mempengaruhi sifat gel (kemampuan membentuk gel) dari agar (Wetherell,
1982). Sel-sel tanaman dalam budidaya kultur jaringan tanaman
membutuhkan pH yang cenderung asam dengan kisaran pH optimumnya
adalah 5,5-5,9 (Santoso & Nursandi, 2002).
4. Induksi kolkisin
Mutasi adalah salah satu teknik yang digunakan untuk mengubah
susunan basa nukleotida atau DNA. Berdasarkan proses terjadinya perubahan
genetik mutasi terbagi menjadi mutasi alami dan mutasi buatan. Mutasi alami
adalah perubahan materi genetik secara spontan di alam, sedangkan mutasi
buatan terjadi akibat diberi mutagen secara sengaja untuk tujuan pemuliaan
tanaman. Bahan mutagen dapat secara kimia dan fisik. Mutasi fisik bersifat
16
sebagai radiasi pengion (ionizing radiation) yang dapat melepas energi
(ionisasi), begitu melewati atau menembus materi. Mutagen fisika termasuk
diantaranya sinar-X, radiasi gama, radiasi beta, neutron, dan partikel dari
akselerator sudah umum digunakan dalam pemuliaan tanaman. Mutagen
kimia pada umumnya berasal dari senyawa alkyl misalnya seperti
etilmetansulfonat (EMS), dietilsulfat (DES), metilmetansulfonat (MMS),
hidroksilamin, sam nitrat, akridin, dan sebagainya. Beberapa mutagen kimia
penting lainnya ialah gas metan, asam nitrat, kolkisin, digitonin, hidroksil
amin, akridin, etiletansulfonat (EES), 5-bromourasil, 2-aminopurin7.
Kolkisin adalah suatu alkaloid yang dihasilkan oleh tanaman Colchicum
autumnale L. yang banyak ditanam di Eropa, India, dan Afrika Utara
(Snustad dkk., 1997). Penggunaan kolkisin bisa dengan berbagai cara
misalnya imersi biji, imersi jaringan, imersi meristem, imersi akar, penetesan,
pengolesan pasta, dan emulsi. Umumnya kolkisin akan bekerja efektif pada
konsentrasi 0,01-1% untuk jangka waktu 6-72 jam, namun setiap jenis
tanaman memiliki respon yang berbeda-beda (Eigsti & Dustin, 1957; Suryo,
1995). Lamanya waktu perendaman dan konsentrasi kolkisin akan
mempengaruhi terjadinya poliploidi. Poliploidi adalah keadaan suatu individu
yang memiliki lebih dari dua set kromosom (Welsh, 1991). Rumus kimia
kolkisin adalah C22H25O6N (BM 399,44) dan merupakan senyawa alkaloid
yang mudah larut dalam air dan digunakan dalam konsentrasi rendah.
Digunakan sebagai inhibitor pembentukan mikrotubula, antiinflamasi, dan
antiaktifitas fibrotik, dapat menembus blood brain barier. Kolkisin mudah
17
terdegradasi oleh cahaya, dalam penyimpanan bentuk serbuk dalam flakon
kedap cahaya dapat bertahan selama 12 bulan, sedangkan dalam bentu larutan
disimpan pada suhu -40oC dapat bertahan selama satu bulan (Anonim, 2012).
Pemberian kolkisin pada titik tumbuh dari tunas dapat mencegah
pembentukan gelendong pembelahan yang akan mengikat kromosom dan
pemisahan kromosom pada anafase dari mitosis dan menyebabkan ploidisasi
kromosom, tanpa pembentukan dinding sel. Perlakuan ini menyebabkan
penambahan jumlah kromosom per sel (Crowder, 1997).
Ciri-ciri fisik tunas poliploid yang umum adalah meningkatnya ukuran
sel, laju pertumbuhan sel lambat, daun lebih tebal, bunga lebih besar dan
sedikit, buah lebih besar, serta menurunnya fertilitas pada berbagai tingkat
dibandingkan dengan tunas diploid (Griffith dkk., 1999). Menurut Brewbaker
(1983) tanaman poliploid seringkali menunjukkan keunggulan sifat
dibandingkan diploidnya. Pada tanaman ryegrass kultivar tetraploid
menghasilkan bobot segar tanaman yang lebih tinggi dibandingkan kultivar
diploid, lebih tahan terhadap penyakit, lebih banyak karbohidrat yang
terstruktur dan rendah kandungan serat kasar (Thomas, 1993).
5. Kromatografi lapis tipis
Kromatografi lapis tipis merupakan salah satu metode pemisahan
fisikokimia dari senyawa campuran. Senyawa campuran yang akan
dipisahkan ditotolkan dalam bentuk totolan (bercak) maupun pita pada
lapisan penjerap (fase diam) yang telah diletakkan di atas pelat gelas, logam,
atau lapisan yang cocok. Larutan pengembang (fase gerak) dalam bejana
18
dibiarkan hingga jenuh dan fase diam yang telah ditotolkan dimasukkan
hingga jarak elusi yang diinginkan (Stahl, 1985).
Fase diam yang digunakan dalam KLT merupakan penjerap berukuran
kecil dengan diameter partikel antara 10-30 µm. Semakin kecil ukuran rata-
rata partikel fase diam dan semakin sempit kisaran ukuran fase diam, maka
semakin baik kinerja KLT dalam hal efisiensi dan resolusinya. Penjerap yang
paling sering digunakan adalah silika dan serbuk selulosa, sedangkan
mekanisme sorpsi yang utama pada KLT adalah partisi dan absorbsi (Gandjar
& Rohman, 2007). Penjerap silika gel mekanisme sorbsinya adalah adsorpsi
dan digunakan untuk menjerap asam amino, hidrokarbon, vitamin dan
alkaloid (Kealey & Haines, 2002).
Fase gerak KLT dapat dipilih dari pustaka, tetapi lebih sering dengan
mencoba-coba karena waktu yang diperlukan hanya sebentar. Bebrapa
petunjuk dalam memilih dan mengoptimasi fase gerak:
a. Fase gerak harus mempunyai kemurnian yang sangat tinggi karena KLT
merupakan teknik yang sensitif.
b. Daya elusi fase gerak harus diatur sedemikian rupaa sehingga harga Rf
terletak antara 0,2-0,8 untuk memaksimalkan pemisahan.
c. Pemisahan dengan menggunakan fase diam polar seperti silika gel,
polaritas fase gerak akan menentukan kecepatan migrasi solut yang
berarti juga menentukan nilai Rf.
d. solut-solut ionik dan solut-solut polar lebih baik digunakan campuran
pelarut sebagai fase geraknya, seperti campuran air dan metanol dengan
19
perbandingan tertentu. Penambahan sedikit asam etanoat atau amonia
masing-masing akan meningkatkan solut-solut yang bersifat basa dan
asam.
(Gandjar & Rohman, 2007).
Deteksi senyawa yang dipisahkan dapat dilakukan secara kimia, fisika
dan biologi. Secara fisika adalah dengan pencacahan radio aktif dan
fluoresensi sinar ultraviolet. Secara kimia dilakukan dengan mereaksikan
bercak dengan suatu pereaksi melalui cara penyemprotan sehingga bercak
menjadi jelas (Gandjar & Rohman, 2007).
Jarak pengembangan senyawa pada kromatogram biasanya dinyatakan
dalam bentuk Rf (Retardation factor/ Retention factor). Harga Rf
didefinisikan sebagai berikut:
�� =����� ������
����� �����
Identifikasi senyawa tersebut dapat juga dilakukan dengan menghitung
harga hRf (hundred Retardation factor) yang merupakan 100 kali nilai Rf
sebagai pembulatan dua angka di belakang koma yang terdapat pada harga Rf.
Harga hRf dinyatakan dalam bentuk bulat bukan pecahan yang merupakan
bilangan utuh 1-99 (Roth & Blaschke, 1998).
Gerakan bercak dalam KLT berkaitan dengan harga Rf bercak tersebut
yang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:
a. Struktur kimia senyawa yang dipisahkan.
20
b. Sifat penjerap dan derajat aktivitasnya. Perbedaan penjerap walaupun
menggunakan fase gerak yang sama dapat menghasilkan harga Rf yang
berbeda.
c. Tebal dan kerataan lapisan penjerap. Lapisan penjerap yang tidak rata
dapat menyebabkan aliran fase gerak yang tidak merata.
d. Kemurnian fase gerak. Kemurnian fase gerak merupakan faktor yang
sangat penting karena dapat mempengaruhi pergerakan bercak dan
apabila fase gerak yang digunakan merupakan campuran harus benar-
benar diperhatikan pembuatan campurannya.
e. Derajad kejenuhan dari bejana pengembang. Bejana harus berada dalam
keadaan yang terjenuhi oleh fase gerak agar pengembangan yang
dilakukan berjalan merata.
f. Metode pengembangan yang dilakukan harus diperhatikan.
g. Jumlah cuplikan dalam totolan yang terlalu banyak dapat menyebabkan
tendensi penyebaran bercak dengan kemungkinan terbentuknya ekor dan
efek ketidakseimbangan lainnya yang mengakibatkan kesalahan dalam
pembacaan nilai Rf.
h. Pengembangan sebaiknya dilakukan pada suhu yang tetap untuk
mencegah terjadinya perubahan-perubahan komposisi fase gerak akibat
penguapan atau perubahan-perubahan fase.
i. Kesetimbangan bejana harus diperhatikan karena ketidaksetimbangan
dapat menyebabkan pengembangan yang melengkung (Sastrohamidjojo,
2005).
21
Analisis kuantitatif KLT dapat dilakukan dengan dua cara yaitu bercak
diukur langsung pada lempeng menggunakan ukuran luas atau dengan teknik
densitometri dan dengan mengerok bercak lalu menetapkan kadar senyawa
yang terdapat pada bercak tersebut dengan metode lain, misalkan dengan
spektrofotometri. Pada cara pertama tidak terjadi kesalahan yang disebabkan
pemindahan bercak atau kesalahan ekstraksi, sementara pada cara kedua
sangat mungkin terjadi kesalahan karena pengambilan atau karena ekstraksi.
Analisis kuantitatif dari suatu senyawa yang telah dipisahkan dengan
KLT biasanya dilakukan dengan densitometer langsing pada lempeng KLT
atau secara in situ. Densitometer dapat bekerja secara serapan atau
fluoresensi. Kebanyakan densitometer mempunyai sumber cahaya,
monokromator untuk memilih panjang gelombang yang cocok, sistem untuk
memfokuskan sinar pada lempeng, pengganda foton dan rekorder (Gandjar &
Rohman, 2007).
Pada sistem serapan dapat dilakukan dengan model pantulan atau
transmisi. Pada cara pantulan, yang diukur adalah sinar yang dipantulkan
yang dapat menggunakan sinar tampak maupun ultraviolet. Sementara itu,
cara transmisi dilakukan dengan menyinari bercak dari satu sisi dan
mengukur sinar yang diteruskan bercak pada sisi yang lainnya. Pada
kenyataannya hanya sinar tampak yang dapat digunakan untuk metode ini
(Gandjar & Rohman, 2007).
Gangguan utama pada sisitem serapan adalah fluktuasi latar belakang
yang dapat dikurangi dengan beberapa cara, misalnya dengan menggunakan
22
alat berkas ganda, sistem transmisi dan pantulan secara bersamaan, atau
dengan sistem dua panjang gelombang. Kurva dibuat untuk setiap lempeng
dan kadar senyawa dihitung seperti pada metode instrumental yang lain.
Presisi penetapan, termasuk penotolan cuplikan, pengembangan
kromatogram, dan pengukuran adalah 2-5%. Sistem fluoresensi biasanya
lebih disenangi jika senyawa itu dapat dibuat berfluoresensi. Batas deteksi
sistem ini lebih rendah dan kelinieran respon dan sensitifitasnya lebih tinggi.
Gangguan fluktuasi latar belakang lebih rendah. Bercak yang diukur dengan
sistem fluoresensi, serapan ultraviolet, dan sinar tampak dapat ditetapkan
lebih teliti daripada bercak yang di semprot dengan pereaksi warna. Faktor
keseragaman penyemprotan merupakan hal yang sangat menentukan. Semua
pekerjaan KLT jika ditujukan untuk analisis kuantitatif harus dilakukan
dengan seksama. Alat yang digunakan untuk mengambil sampel harus
terkalibrasi baik. Saat ini tersedia alat penotol sampel kapiler yang berukuran
antara 1-100 µl. Pada saat penotolan sampel, kapiler harus tegak lurus dengan
lempeng dan semua sampel harus dikeluarkan dari kapiler (Gandjar &
Rohman, 2007).
F. Landasan Teori
Kalus pada eksplan akan tumbuh ketika jumlah hormon auksin lebih banyak
dibandingkan hormon sitokinin (Gunawan, 1995). Kalus tapak dara tumbuh dalam
media Murashige-Skoog padat yang mengandung zat pengatur tumbuh 2,4-D
sebagai hormon auksin. Sel-sel kalus ini bersifat parenkimatis atau meristematis
23
sebagai akibat pertumbuhan yang tidak terkendali dan belum mengalami
diferensiasi (Santosa & Nursandi, 2002). Kalus dalam keadaan seperti ini akan
dengan mudah diinterfensi oleh mutagen karena dinding sel yang masih tipis.
Mutagen kolkisin secara umum digunakan pada tumbuhan untuk menginduksi
ploidisasi sel tumbuhan. Kolkisin akan menghambat pembentukan benang-benang
spindel mikrotubula sehingga terjadi penggandaan kromosom dan menghambat
sitokinesis sel (Crowder, 1997). Umumnya kolkisin akan bekerja efektif pada
konsentrasi 0,01-1% untuk jangka waktu 6-72 jam, namun setiap jenis tanaman
memiliki respon yang berbeda-beda (Eigsti & Dustin, 1957; Suryo, 1995).
Pengaruh kolkisin ini dapat diamati dari sitologi sel di bawah mikroskop
secara langsung dan dengan pengecatan terlebih dahulu. Pewarnaan asetokarmin
selama 1 jam akan bereaksi dengan DNA sel sehingga berwarna merah (Anonim,
2014), dan jika terjadi ploidisasi kromosom akan dapat terlihat jelas. Adanya
perbedaan sitologi sel mengartikan bahwa genom penyusun individu sudah
berbeda, protein atau enzim yang dihasilkan berbeda, maka hasil metabolit yang
dihasilkan juga akan berbeda. KLT merupakan metode pemisahan fisikokimia
dalam suatu campuran senyawa (Stahl, 1985). Perbedaan metabolit sel-sel kalus
hasil induksi kolkisin dapat diamati dengan profil KLT ekstraknya. Penggunaan
pelarut yang berbeda dalam proses ekstraksi akan melarutkan senyawa dalam sel-
sel kalus yang berbeda pula, menurut prinsip ‘like disolve like’. Dua senyawa
dinyatakan identik jika mempunyai Rf yang sama jika diukur pada kondisi KLT
yang sama (Gandjar & Rohman, 2007). Analisis kuantitatif KLT dilakukan
dengan pengukuran densitometri.