Upload
others
View
8
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Lahir dan mati adalah takdir, tidak ada seorangpun yang dapat
menghindari atau menentukan mengenai kelahiran dan kematian. Kelahiran
dapat terjadi baik dikehendaki, maupun tidak dikehendaki, begitu pula
kematian dapat terjadi baik dikehendaki, maupun tidak dikehendaki, apakah
karena uzur, penyakit, kecelakaan, bunuh diri, bahkan dibunuh orang lain.
Kematian adalah suatu topik yang sangat ditakuti oleh publik, dalam dunia
kedokteran yang mengarah pada konteks kesehatan modern, kematian tidak
selalu menjadi sesuatu yang datang dengan tiba-tiba atau secara alamiah.
Kematian dapat dilegalisir menjadi sesuatu yang definit dan dapat
dipastikan tanggal kejadiannya, euthanasia memungkinkan hal tersebut
terjadi. Dalam bahasa Yunani, euthanasia disebut euthanatos, dari kata “eu”
yang berarti baik dan “thanatos” yang berarti mati, sehingga kadang
didefinisikan sebagai “good death” atau “mercy killing”, atau “easy death”.
Secara singkat pengertian euthanasia adalah dapat diartikan sebagai
tindakan agar penderitaan yang dialami seseorang yang menjelang
kematiannya dapat diperingan1.
1 Cecep Tribowo, Etika & Hukum Kesehatan, Yogyakarta:Nuha Medika, 2014, hal. 200.
2
Berdasarkan cara pelaksanaannya, secara garis besar ada dua jenis
tindakan euthanasia, yaitu, euthanasia aktif dan euthanasia pasif. Pertama,
euthanasia aktif adalah tindakan dokter mempercepat kematian pasien
dengan memberikan obat/suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Suntikan
diberikan pada saat keadaan penyakit pasien sudah sangat parah atau sudah
sampai stadium akhir yang menurut para dokter sudah tidak mungkin lagi
sembuh atau bertahan lama.
Jenis yang kedua disebut euthanasia pasif adalah tindakan
menghentikan pengobatan pada pasien yang sakit parah, yang secara medis
sudah tidak mungkin dapat lagi disembuhkan. Penghentian pengobatan ini
berarti mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim dikemukakan
adalah karena keadaan ekonomi dibarengi dengan rasa putus asa, baik dari
pasien itu sendiri dan ataupun dari keluarga pasien. Sementara dana yang
dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, sedangkan fungsi pengobatan
menurut perhitungan medis sudah tidak efektif lagi dan jika meninggalpun
pasien diharapkan mati secara alamiah.
Belanda merupakan negara yang pertama kali di dunia yang
melegalkan tindakan euthanasia. Negara Belanda mengatur euthanasia
dalam Pasal 2 Wet van 12 April 2001 Wet toetsing levensbeeindiging op
verzoek en hulp bij zelfdoding atau Undang-Undang mengenai Prosedur
untuk Mengakhiri Hidup Secara Sukarela dan Pengecualian terhadap
3
Ketentuan Pidana dan Undang-Undang tentang Kremasi dan Penguburan,
yang mendekriminalisasi euthanasia terhadap pasien-pasien yang
mengalami sakit menahun dan tak tersembuhkan, diberi hak untuk
mengakhiri penderitaannya sebagaimana diatur dalam Bab II tentang Tata
Cara Pelaksanaan Euthanasia2.
Dalam Universal Declaration of Human Right oleh perserikatan
bangsa-bangsa tanggal 10 Desember 1948, mengenai hak untuk hidup,
memang telah diakui oleh dunia, sedangkan mengenai “hak untuk mati”,
karena tidak dicantumkan secara tegas dalam suatu deklarasi dunia, maka
masih merupakan perdebatan dan pembicaraan dikalangan ahli berbagai
bidang dunia, seperti diperagakan dalam “Peradilan Semu” dalam rangka
Konperensi Hukum Sedunia di Manila.3 Namun demikian jika mengacu
pada Pasal 7 pada Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM)4 yang
berbunyi: “Tidak seorangpun boleh dikenai penyiksaan, atau perlakukan atau
hukuman yang keji, tidak manusia atau merendahkan martabatnya,
khususnya tidak seorangpun, tanpa persetujuannya secara sukarela dapat
dijadikan eksperimen medis atau ilmiah“, maka seharusnya konperensi
tersebut tidak perlu dilakukan. Sebab pada pasal tersebut secara implisit jelas
2 Pasal 2 Wet van 12 April 2001 Wet toetsing levensbeeindiging op verzoek en hulp bij zelfdoding
atau Undang-Undang mengenai Prosedur untuk Mengakhiri Hidup Secara Sukarela dan
Pengecualian terhadap Ketentuan Pidana dan Undang-Undang tentang Kremasi dan Penguburan. 3Emawati, “Kedudukan Hukum Pasien Euthanasia Ditinjau Dalam Perspektif Undang-Undang
No. 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Hukum Konsumen“, Lex Jurnalica Volume 11 Nomor 2,
Agustus 2014, hal. 98-109. 4 Pasal 7 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM).
4
melarang tindakan euthanisia baik aktif maupun pasif sebab dinilai sebagai
sebuah bentuk tindakan yang merendahkan martabat manusia.
Di Indonesia sendiri, ketentuan tentang euthanasia tidak diatur secara
jelas dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Pihak yang pro pada
tindakan euthanasia menganggap bahwa tindakan euthanasia di Indonesia
legal, sebab dasarnya telah diatur dalam Pasal 9 ayat 1 Undang-Undang
Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM5, yang berbunyi: “Setiap orang berhak
untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf
kehidupannya”. Melalui ketentuan tersebut, maka dapat ditafsirkan, bahwa
hak hidup ditafsirkan sebagai hak untuk menentukan hidupnya sendiri,
sehingga tindakan euthanasia di Indonesia dilegalkan. Tetapi jika merujuk
pada Pasal 33 ayat 2 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM6,
yang berbunyi: “Setiap orang berhak untuk bebas dari penghilangan paksa
dan penghilangan nyawa“, maka tindakan euthanasia pasif maupun aktif di
Indonesia jelas merupakan tindakan yang ilegal.
Begitu pula jika merujuk pada Pasal 344 KUHP7, yang berbunyi:
“Barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas pemintaan orang itu
sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 12 tahun”, maka tindakan euthanasia baik secara
pasif ataupun aktif dilarang karena merupakan tindakan pidana. Kemudian
5 Pasal 9 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM
6 Pasal 33 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM
7 Pasal 344 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
5
pasal-pasal lainnya yang melarang tindakan euthanasia juga dapat dilihat
pada Pasal 338 KUHP8, yang berbunyi: “Barangsiapa sengaja merampas
nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan, dengan pidana penjara
paling lama lima belas tahun“. Pasal 340 KUHP9 yang berbunyi: “Barang
siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu menghilangkan
nyawa orang lain, dipidana karena pembunuhan dengan rencana, dengan
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu,
paling lama 20 tahun”.
Pelarangan tindakan euthanisia di Indonesia juga dapat dilihat pada
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Hukum
Konsumen. Hal ini sesuai dengan asas perlindungan konsumen, yaitu: ”Asas
Keamanan dan Keselamatan Konsumen”, juga tujuan dari adanya Undang-
Undang Perlindungan Konsumen, yaitu pasal 3 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen. Walaupun dalam undang-undang tersebut belum
secara jelas mengatur euthanasia, namun berdasarkan Ketentuan Peralihan
Undang-Undang Perlindungan Konsumen (pasal 64), maka berlaku dari
aspek hukum pidana perlindungan pasien selaku konsumen. Pasal 64
Undang-Undang Perlindungan Konsumen berbunyi: “segala ketentuan
peraturan perundang-undangan yang bertujuan melindungi konsumen yang
telah ada pada saat Undang-undang ini diundangkan, dinyatakan tetap
8 Pasal 344 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
9 Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
6
berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dan/atau tidak bertentangan
dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini”. Berdasarkan ketentuan
tersebut, maka secara yuridis formal dalam hukum positif di Indonesia
hanya dikenal satu bentuk euthanasia, yaitu euthanasia yang dilakukan atas
permintaan pasien/korban itu sendiri (voluntary euthanasia) sebagaimana
secara eksplisit diatur dalam Pasal 344 KUHP. Berdasarkan uraian tersebut
jelas bahwa hukum perlindungan konsumen di Indonesia belum memberikan
ruang bagi euthanasia baik euthanasia aktif maupun euthanasia pasif.
Pada Pedoman Etik Kedokteran, yaitu Pedoman I yang berbunyi:
“Tujuan pokok profesi kedokteran adalah memberikan pelayanan
kemanusiaan dan penghargaan yang setinggi-tingginya terhadap martabat
manusia”. Pasal 7 Kode Etik Kedokteran Indonesia tentang kewajiban dokter
kepada pasien, berbunyi: “Seorang dokter harus senantiasa mengingat akan
kewajiban melindungi hidup makhluk insani“. Pasal 7d menjelaskan bahwa
menurut kode etik kedokteran, “Dokter tidak diperbolehkan mengakhiri
hidup seorang yang sakit meskipun menurut pengetahuan dan berdasarkan
hasil diagnosa pasien tidak akan sembuh lagi“. 10
Melalui ketentuan tersebut
jelas, bahwa secara etika dokter ditekankan untuk melakukan tindakan
meringankan penderitaan, memperpanjang hidup, dan melindungi
kehidupan11
, maka tindakan euthanisia baik pasif maupun aktif merupakan
10
Pasal 7 Kode etik Kedokteran Indonesia. 11
Fred Amelin, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Grafika Taruna Jaya, Jakarta, 1991, hal. 134.
7
tindakan yang dilarang, terlebih mengingat adanya perkembangan teknologi
dibidang medis yang telah maju pesat, maka banyak cara yang dapat
dilakukan oleh dokter untuk menghindari tindakan euthanisia, yaitu dengan
memberikan upaya kesembuhan penyakit yang diderita pasien, tanpa harus
mengambil jalan pintas dengan melakukan euthanasia. Manusia berhak dan
harus berusaha untuk mendapatkan kesembuhan karena setiap orang
memiliki hak untuk hidup dan tidak ada hak untuk mati.
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas menunjukkan, bahwa tindakan
euthanasia di Indonesia merupakan sesuatu hal yang ilegal, namun
demikian, walaupun tindakan tersebut di Indonesia dilarang, permohonan
untuk melakukan euthanasia untuk anggota keluarga yang sakit pernah
dilakukan. Contoh permohonan euthanasia di Indonesia, kasus Panca Satria
Hasan Kusuma tanggal 22 Oktober 2004, permohonan euthanasia diajukan
oleh seorang suami bernama Panca Satria Hasan Kusuma karena tidak tega
menyaksikan istrinya yang bernama Agian Isna Nauli, 33 tahun, tergolek
koma selama 3 bulan pasca operasi Caesar, dan disamping itu
ketidakmampuan untuk menanggung beban biaya perawatan merupakan
suatu alasan pula. Permohonan untuk melakukan euthanasia ini diajukan ke
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kasus ini merupakan salah satu contoh
bentuk euthanasia yang diluar keinginan pasien. Permohonan ini akhirnya
ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan setelah menjalani
8
perawatan intensif maka kondisi terakhir pasien (7 Januari 2005) telah
mengalami kemajuan dalam pemulihan kesehatannya12
.
Kasus lain, Siti Julaeha menjalani operasi di RSUD Pasar Rebo pada
bulan Oktober 2004 dengan diagnosa hamil diluar kandungan, namun
setelah di operasi ternyata ada cairan di sekitar rahim. Setelah diangkat,
operasi tersebut mengakibatkan Siti Julaeha mengalami koma dengan tingkat
kesadaran dibawah level. Pada bulan Februari 2005 keluarga Siti Julaeha,
resmi mengajukan permohonan penetapan euthanasia kepada Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat di jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat. Suami Siti Julaeha,
Rudi Hartono menyampaikan surat permohonan euthanasia tersebut dan
diterima oleh I Made Karna, S.H. Permohonan euthanasia yang diajukan ke
Pengadilan Negeri oleh keluarga besar dari Siti Julaeha ini belum bisa
dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan alasan lembaga
Pengadilan tidak dapat begitu saja mengeluarkan penetapan tanpa
melakukan pemeriksaan terhadap suatu perkara yang diajukan oleh pencari
keadilan (pemohon) dengan segala alat bukti yang sudah disiapkan sebagai
pendukung dalil-dalil permohonannya sesuai hukum yang berlaku.13
Kasus Berlin Silalahi yang beralamat di Desa Merduati Kecamatan
Kuta Raja-Banda Aceh. Pada tanggal 27 April 2017 yang diwakili oleh
12
Amiruddin, Pembelajaran Hukum dan Politik: Kasus Euthanasia yang Pernah Terjadi, 2013,
diakses dari http://amireksepsi.blogspot.com/2013/11/kasus-euthanasia-yang-pernah-
terjadi.html, tanggal 1 Desember 2018 13
Tempo, “Suami Siti Julaeha Menilai Euthanasia Adalah Keputusan Terbaik”, diakses dari
www.memobisnis.tempointeraktif.com, tanggal 22 Januari 2019.
9
SAFARUDDIN, SH. SULAIMAN, SH. YUSI MUHARNINA, SH serta
MILA KESUMA, SH; kesemuanya warga Negara Indonesia, Pekerjaan
sebagai Advokad pada Kantor YAYASAN ADVOKASI RAKYAT ACEH
yang beralamat jalan Pelangi Nomor 88 Kp. Keuramat mengajukan
permohonan penetapan euthanasia kepada Pengadilan Negeri Banda Aceh.
Sesuai dengan surat Penetapan Nomor 83/Pdt.P/2017/PN Bna, permohonan
tersebut akhirnya juga ditolak. Berikut beberapa kutipan tentang duduk
perkara, pertimbangan hukum, dan penetapan perkara yang diajukan
pemohon,14
Merujuk dari beberapa kasus yang dicontohkan di atas, maka
pengajuan permohonan euthanasia di Indonesia disebabkan oleh beberapa
alasan, yaitu: faktor medis, yaitu ada kepastian bahwa penyakit pasien
menurut pertimbangan medis sudah tidak dapat disembuhkan lagi, sehingga
apapun upaya memberikan pengobatan dan perawatan sama halnya dengan
memperpanjang penderitaan pasien. Selain itu juga faktor ekonomi,
maksudnya dari faktor ini adalah euthanasia dilakukan karena faktor
ekonomi keluarga yang tidak memungkinkan apabila pasien terlalu lama
dirawat dirumah sakit. Jadi pada kasus ini keluarga pasien memang sudah
tidak mampu menanggung biaya rumah sakit karena pasien sudah terlalu
lama dalam komanya selain itu harga pengobatan dan tindakan medis sudah
terlalu mahal.
14
Surat Penetapan Keputusan Pengadilan Tinggi Banda Aceh Nomor 83/Pdt.P/2017/PN Bna
10
Terlepas dari ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia yang
melarang tindakan euthanasia aktif dan positif, namun kenyataannya,
tindakan euthanasia secara pasif telah dipraktekkan di Indonesia. Contoh
kasus yang sering terjadi adalah pemulangan paksa pasien rumah sakit
karena faktor biaya, misal: kasus pemulangan paksa pasien BPJS yang
diberitakan oleh Koran online Fajar terbitan Balikpapan15
, dan Koran
Republik News16
. Koran online Fajar terbitan Balikpapan tertanggal 29
Oktober 2017 memberitakan seorang pasien BPJS dengan penyakit kanker
payudara dipulang paksa oleh RSUD Kanujoso Djatiwibowo dengan alasan
tidak jelas. Koran Republik News terbitan Mojokerto tertanggal 8 Maret
2019 memberitakan seorang pasien yang dipaksa pulang oleh pihak rumah
sakit di Mojokerto karena faktor biaya, padahal keadaannya masih dalam
kondisi sakit parah. Kedua contoh tersebut bisa dikatakan sebagai tindakan
euthanasia pasif, sebab tindakan yang dilakukan pihak rumah sakit dengan
tidak melakukan perawatan yang maksimal dapat menyebabkan pasien
dalam jangka waktu tertentu mengalami kematian.
Fakta-fakta tersebut di atas sekali lagi memberikan bukti bahwa
euthanasia atau "pembunuhan tanpa penderitaan" hingga saat ini belum
dapat diterima dalam nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat
Indonesia, namun demikian entah alasan tidak tahu masalah perundangan-
15
Koran online Fajar terbitan Balikpapan, tanggal 29 Oktober 2017. 16
Koran Republik News, tertanggal 8 Maret 2019.
11
undangan yang berlaku, ternyata tindakan euthanasia positif sebenarnya
telah berlangsung di Indonesia. Berpijak dari penjelasan tersebut menarik
peneliti untuk mengetahui lebih jauh tentang euthanasia dan pandangan hak
asasi manusia di Indonesia, untuk itu judul yang diajukan dalam penelitian
ini adalah “EUTHANISIA DALAM PANDANGAN HAK ASASI
MANUSIA DI INDONESIA“.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut di atas, maka dapat
dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: “Bagaimana perspektif hak
asasi manusia (HAM) terhadap euthanasia?”.
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas maka tujuan yang
hendak dicapai dalam penelitian ini adalah: “Menjelaskan perspektif hak
asasi manusia (HAM) terhadap euthanasia”
12
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu
pengetahuan tentang hukum, khususnya berkaitan dengan eutahanasia.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pembentuk
peraturan perundang-undangan untuk mengatur lebih lanjut mengenai
euthanasia di Indonesia agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam
memahami hukum positif Indonesia.
E. MetodePenelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dipilih dalam penelitian ini adalah kualitatif.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk
memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian,
misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan sebagainya, secara
holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa,
pada suatu konteks khusus alamiah dengan memanfaatkan berbagai
metode ilmiah.17
2. Pendekatan yang digunakan
17
Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif. Remaja Rosda Karya, Bandung, 2008, hlm.
6.
13
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
yuridis normatif, yaitu pendekatan yang menggunakan konsep legitis
positivis. Konsep ini memandang hukum identik dengan norma tertulis
yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang.
Selain itu, konsep ini juga memandang hukum sebagai sistem normatif
yang bersifat otonom tertutup.18
3. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
sekunder. Data sekunder dalam penelitian ini mencakup:19
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat.
Dalam penelitian ini, bahan hukum primer yang digunakan terdiri dari,
1) Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM.
2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen
4) Kode Etik Kedokteran Indonesia
5) Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM)
b. Bahan hukum Sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer. Menurut Marzuki bahan penelitian
hukum sekunder adalah bahan-bahan berupa semua publikasi tentang
18
Roni Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Alumni, Jakarta, 2008, hal.
13. 19
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Suatu Tinjauan Singkat, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal 36.
14
hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi, meliputi
buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan
komentar-komentar atas putusan pengadilan. Bahan penelitian hukum
yang digunakan buku-buku yang terkait dengan materi/bahasan yang
penulis gunakan.20
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,
seperti: kamus hukum (law encyclopedia).
4. Unit Amatan dan Unit Analisis
a. Unit amatan dalam penelitian ini meliputi bahan hukum primer.
b. Unit analisisnya adalah pasal-pasal pada hukum primer.
20
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2005, hal. 66.