22
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Potensi kekayaan hayati Indonesia sangat besar termasuk yang dapat digunakan sebagai obat. Masyarakat sudah sejak lama menggunakan obat tradisional secara turun temurun. Umumnya obat tradisional digunakan untuk memelihara kesehatan, mencegah dan mengobati penyakit, maupun memulihkan kesehatan (Anonim, 2000 a ). Obat tradisional sudah menjadi bagian penting dalam pengobatan di negara berkembang hingga negara maju. Hasil Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2010 menyebutkan secara nasional, 59,12 % penduduk Indonesia pernah mengkonsumsi jamu atau obat tradisional (Anonim, 2010 a ). Obat tradisional adalah bahan obat atau ramuan bahan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, hewan, mineral, dan sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat (Anonim, 2010 b ). Berdasarkan hasil survei nasional, pada tahun 2000 penggunaan obat tradisional untuk swamedikasi mencapai 15,6% dan meningkat sebesar 31,7% di tahun 2001 (Nurhadiyanto et al., 2003). Namun meskipun penggunaannya semakin banyak, obat tradisional belum banyak digunakan dalam sistem layanan kesehatan formal. Alasan utamanya adalah minimnya bukti ilmiah mengenai khasiat dan keamanan obat tradisional pada manusia (Dewoto, 2007). Oleh karena itu, diperlukan banyak penelitian untuk menjamin efikasi, keamanan, dan standar kualitasnya (Anonim, 2000 b ).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79489/potongan/S1-2015... · pengobatan di negara berkembang hingga ... 2007). Di Indonesia, cacing

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79489/potongan/S1-2015... · pengobatan di negara berkembang hingga ... 2007). Di Indonesia, cacing

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Potensi kekayaan hayati Indonesia sangat besar termasuk yang dapat

digunakan sebagai obat. Masyarakat sudah sejak lama menggunakan obat

tradisional secara turun temurun. Umumnya obat tradisional digunakan untuk

memelihara kesehatan, mencegah dan mengobati penyakit, maupun memulihkan

kesehatan (Anonim, 2000a). Obat tradisional sudah menjadi bagian penting dalam

pengobatan di negara berkembang hingga negara maju. Hasil Riset Kesehatan

Dasar pada tahun 2010 menyebutkan secara nasional, 59,12 % penduduk

Indonesia pernah mengkonsumsi jamu atau obat tradisional (Anonim, 2010a).

Obat tradisional adalah bahan obat atau ramuan bahan yang berasal dari

tumbuh-tumbuhan, hewan, mineral, dan sediaan sarian (galenik), atau campuran

dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan

dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat (Anonim,

2010b). Berdasarkan hasil survei nasional, pada tahun 2000 penggunaan obat

tradisional untuk swamedikasi mencapai 15,6% dan meningkat sebesar 31,7% di

tahun 2001 (Nurhadiyanto et al., 2003). Namun meskipun penggunaannya

semakin banyak, obat tradisional belum banyak digunakan dalam sistem layanan

kesehatan formal. Alasan utamanya adalah minimnya bukti ilmiah mengenai

khasiat dan keamanan obat tradisional pada manusia (Dewoto, 2007). Oleh karena

itu, diperlukan banyak penelitian untuk menjamin efikasi, keamanan, dan standar

kualitasnya (Anonim, 2000b).

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79489/potongan/S1-2015... · pengobatan di negara berkembang hingga ... 2007). Di Indonesia, cacing

2

Salah satu jenis obat tradisional yang sering digunakan oleh masyarakat

adalah cacing tanah (Lumbricus rubellus). Sejak ribuan tahun lalu, cacing tanah

telah banyak digunakan oleh masyarakat Cina sebagai obat berbagai macam

penyakit (Mihara et al., 1991). Kandungan gizi cacing tanah cukup tinggi,

terutama kandungan proteinnya yang mencapai 64-76% (Palungkun, 2008).

Kandungan protein cacing ini ternyata lebih tinggi dari sumber protein lainnya,

misalnya daging (65%) dan kacang kedelai (45%).

Selain bermanfaat untuk kesuburan tanah, cacing tanah banyak

dimanfaatkan sebagai bahan makanan, kosmetika dan obat-obatan. Sejak 1990 di

Amerika Serikat cacing tanah dimanfaatkan sebagai penghambat pertumbuhan

kanker. Ekstrak cacing tanah juga diketahui mampu menghambat pertumbuhan

bakteri patogen penyakit tipus dan diare (Rukmana, 1999). Cacing tanah juga

diketahui memiliki aktivitas antipiretik dan antiinflamasi (Balamurugan et al.,

2009), antimikroba (Indriati et al., 2012 ; Lestari, 2011), antitumor (Chen et al.,

2007), antitrombotik dan trombolitik (Trisina et al., 2011).

Penggunaan cacing tanah sangat beragam di masyarakat namun masih

belum ada penelitian ilmiah yang memastikan bahwa cacing tanah aman

dikonsumsi. Untuk mengetahui keamanan cacing tanah apabila digunakan untuk

bahan makanan, kosmetika maupun pengobatan, maka diperlukan suatu uji

toksisitas.

Uji toksisitas akut merupakan salah satu uji pra-klinik. Uji ini dilakukan

untuk mengukur derajat efek toksik suatu senyawa yang terjadi dalam waktu

singkat, yaitu 24 jam setelah pemberiannya dalam dosis tunggal. Tolok ukur

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79489/potongan/S1-2015... · pengobatan di negara berkembang hingga ... 2007). Di Indonesia, cacing

3

kuantitatif yang paling sering digunakan adalah Lethal Dose 50% (LD50). Oleh

karena itu, penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi ketoksikan cacing

tanah apabila dipejankan secara akut. Penelitian ini dilakukan secara in vivo,

menggunakan hewan uji mencit galur Swiss menggunakan metode OECD 423,

yaitu suatu pedoman untuk uji toksisitas akut.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Berapakah harga LD50 cut off dari serbuk cacing tanah yang dipejankan

secara akut pada mencit betina galur Swiss?

2. Apa saja gejala toksik yang timbul setelah pemberian serbuk cacing tanah

secara akut pada mencit betina galur Swiss?

3. Bagaimanakah wujud efek toksik serbuk cacing tanah berdasarkan gambaran

histopatologis organ?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Memperoleh informasi LD50 cut off dari serbuk cacing tanah yang dipejankan

secara akut pada mencit betina galur Swiss.

2. Mengetahui apa saja gejala toksik yang timbul setelah pemberian serbuk

cacing tanah secara akut pada mencit betina galur Swiss.

3. Mengetahui wujud efek toksik serbuk cacing tanah berdasarkan gambaran

histopatologis organ.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79489/potongan/S1-2015... · pengobatan di negara berkembang hingga ... 2007). Di Indonesia, cacing

4

D. Tinjauan Pustaka

1. Cacing Tanah (Lumbricus rubellus)

a. Deskripsi

Cacing tanah jenis Lumbricus mempunyai bentuk tubuh pipih. Jumlah

segmen yang dimiliki sekitar 90-195 dan kliteliumnya terletak pada segmen

27-32 (Budiarti & Palungkun, 1990). Jumlah segmen pada klitelium

berjumlah 6-7 segmen (Rukmana, 1999). Klitelium merupakan alat yang

membantu perkembangan dan baru muncul saat cacing mencapai dewasa

kelamin, sekitar 2 bulan. Lumbricus rubellus memiliki panjang tubuh antara 8-

14 cm, warna tubuh bagian dorsal berwarna coklat merah sampai ungu

kemerahan, sedangkan bagian ventral berwarna krem dan bagian ekor

kekuningan (Rukmana, 1999).

Di bagian akhir tubuhnya sekitar segmen ke-13 terdapat anus untuk

mengeluarkan sisa-sisa makanan dan tanah yang dimakannya (Rukmana,

1999). Kotoran yang keluar dari anusnya dikenal dengan istilah kascing.

Kascing terdiri dari berbagai komponen biologis (giberelin, sitokinin, auxin)

maupun kimiawi (nitrogen, fosfor, kalium, belerang, magnesium, besi) yang

sangat diperlukan untuk perkembangan dan pertumbuhan tanaman. Selain itu,

kascing bersifat netral dengan pH 6,5-7,4 dan rata-ratanya adalah 6,8

(Palungkun, 2008).

b. Taksonomi

Taksonomi cacing tanah adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79489/potongan/S1-2015... · pengobatan di negara berkembang hingga ... 2007). Di Indonesia, cacing

5

Filum : Annelida

Kelas : Oligochaeta

Ordo : Haplotaxida

Famili : Lumb ricidae

Genus : Lumbricus

Spesies : Lumbricus rubellus

(Desportes & Schrevel, 2013)

c. Nama Lain

Di luar negeri cacing tanah disebut juga dengan red earthworm, red

riggler, (European) earthworm, driftworm, gardenworm, red marsh worm

(Davidson, 2007; Wardhani, 2007). Di Indonesia, cacing ini dikenal dengan

sebutan cacing merah atau cacing lumbricus (Palungkun, 2008).

d. Kandungan dan Manfaat

Sejak ribuan tahun lalu cacing tanah telah banyak digunakan oleh

masyarakat Cina sebagai obat berbagai macam penyakit (Mihara et al., 1991).

Bagian yang dapat dimanfaatkan dari cacing tanah adalah biomas atau cacing

itu sendiri dan kascing. Biomas cacing tanah merupakan sumber protein

hewani (72%-84,5 %) (Rukmana, 1999). Kandungan asam amino cacing tanah

yang amat penting dibandingkan dengan hewan lain disajikan dalam Tabel 1.

Kandungan gizi cacing tanah cukup tinggi, terutama kandungan

proteinnya yang mencapai 61% (Palungkun, 2008). Kandungan protein cacing

ini ternyata lebih tinggi dari sumber protein lainnya, misalnya daging (51%)

dan ikan (60%) (Rukmana, 1999). Oleh karena itu, di Jepang, Hongaria,

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79489/potongan/S1-2015... · pengobatan di negara berkembang hingga ... 2007). Di Indonesia, cacing

6

Thailand, Filipina, dan Amerika Serikat cacing ini juga dimanfaatkan sebagai

bahan makanan manusia selain digunakan untuk ramuan obat dan bahan

kosmetik (Rukmana, 1999).

Tabel I. Kandungan asam amino (%) cacing tanah, ikan, daging (Simanjuntak & Waluyo,

1982)

No Kandungan Asam

Amino

Cacing Tanah (%) Daging (%) Ikan (%)

1 Arginin 4,13 3,48 3,909

2 Sistein 2,29 1,07 0,80

3 Asam Glutamat - - 3,40

4 Glisin 2,92 2,09 4,40

5 Histidin 1,56 0,97 1,50

6 Isoleusin 2,58 1,33 3,60

7 Leusin 4,84 3,54 5,10

8 Lisin 4,33 3,08 6,40

9 Methionin 2,18 1,45 1,80

10 Fenilalanin 2,25 2,17 2,60

11 Serin 2,88 2,15 -

12 Threonin 2.95 1,77 2,80

13 Triptofan - - 0,70

14 Tirosin 1,36 1,29 1,80

15 Valin 3,01 2,22 3,50

Protein kasar 61,00 51,00 60,00

Protein yang sangat tinggi pada tubuh cacing tanah ini terdiri dari

setidaknya sembilan asam amino esensial dan empat macam asam amino non-

esensial. Asam amino esensial tersebut antara lain arginin, histidin, leusin,

isoleusin, valin, metionin, fenilalanin, lisin, dan treonin. Asam amino non-

esensial yang terkandung antara lain sistin, glisin, serin, dan tirosin

(Palungkun, 2008).

Cacing tanah diketahui memiliki banyak aktivitas farmakologis.

Banyaknya asam amino yang terkandung dalam tubuh cacing tanah

memberikan gambaran bahwa tubuhnya mengandung berbagai jenis enzim

yang sangat berguna bagi kesehatan manusia. Mihara et al (1991)

menyebutkan bahwa enzim lumbrokinase telah ditemukan dalam ekstrak

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79489/potongan/S1-2015... · pengobatan di negara berkembang hingga ... 2007). Di Indonesia, cacing

7

cacing tanah yang bersifat fibrinolitik. Lumbrokinase juga dilaporkan

mencegah agregasi platelet, memperpanjang waktu penggumpalan darah, dan

memiliki aktivitas antitrombotik (Trisina et al., 2011). Selain itu enzim

lumbrokinase memiliki aktivitas antitumor pada sel hepatoma (Chen et al.,

2007).

Jenis enzim lain yang ditemukan dalam cacing tanah adalah lumbricin I.

Lumbricin I merupakan peptida dengan 62 asam amino yang sebagian besar

adalah prolin. Lumbricin I memiliki aktivitas antimikroba spektrum luas (Cho

et al., 1998). Rebusan air cacing tanah mampu menghambat pertumbuhan

E.coli (Indriati et al., 2012). Pemberian cacing tanah juga mampu menurunkan

kadar enzim transaminase (SGOT dan SGPT) pada tikus yang terinfeksi

Salmonella thypi (Lestari, 2011). Inilah sebabnya cacing tanah secara empiris

sering digunakan sebagai obat typus dan diare.

Ekstrak cacing tanah memiliki kandungan lain selain jumlah proteinnya

yang besar. Ekstrak cacing tanah dalam methanol 80% diketahui memiliki

kadar fenolik 247 mg/l dan memiliki aktivitas antioksidan yang cukup tinggi

(Aldaraji et al., 2013). Penelitian yang dilakukan Balamurugan et al (2009)

menyimpulkan adanya aktivitas antiinflamasi dan antipiretik pada cacing

tanah.

2. Toksikologi

a. Definisi Toksikologi

Istilah toksikologi berasal dari Bahasa Latin yang terdiri dari dua kata

yaitu toxicus yang berarti racun dan logos yang artinya pengetahuan (James et

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79489/potongan/S1-2015... · pengobatan di negara berkembang hingga ... 2007). Di Indonesia, cacing

8

al., 2000). Toksikologi mempunyai definisi yang bermacam-macam sesuai

dengan sejarah perkembangannya. Sejak awal manusia telah mengenal dua

jenis bahan, yaitu yang aman bagi tubuh disebut makanan dan yang berbahaya

bagi tubuh disebut dengan racun. Oleh karena itu pada mulanya toksikologi

didefinisikan sebagai ilmu tentang racun (Donatus, 2005). Definisi tersebut

dinilai kurang tepat setelah Paracelsus (1493-1541) menyatakan bahwa yang

membedakan antara racun dan bukan racun adalah takarannya (Gallo, 2008).

Definisi toksikologi kemudian berkembang menjadi ilmu yang mempelajari

pengaruh kuantitatif zat kimia pada sistem biologi dan mendasari

perkembangan toksikologi modern.

Lu mendefinisikan toksikologi sebagai kajian tentang hakikat dan

mekanisme efek toksik berbagai bahan terhadap makhluk hidup dan sistem

biologik lainnya (Lu, 1999). Oleh Loomis, toksikologi diartikan sebagai ilmu

yang mempelajari aksi berbahaya zat kimia atas sistem biologi tertentu.

Sampai saat ini, definisi Loomis belum banyak mengalami perubahan. Doull

dan Bruce mendefinisikan toksikologi sebagai ilmu yang mempelajari

berbagai pengaruh zat kimia yang merugikan atas sistem biologi, sedangkan

oleh Timbrell (2002) diartikan sebagai ilmu yang mempelajari antaraksi zat

kimia dengan sistem biologi. Definisi ini mengandung makna bahwa objek

yang dipelajari dalam toksikologi adalah antaraksi suatu senyawa kimia atau

senyawa asing dengan suatu sistem biologi atau makhluk hidup. Adapun pusat

perhatiannya ada pada pengaruh berbahaya racun atas kehidupan makhluk

hidup.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79489/potongan/S1-2015... · pengobatan di negara berkembang hingga ... 2007). Di Indonesia, cacing

9

b. Asas Umum Toksikologi

Peristiwa timbulnya pengaruh berbahaya atau efek toksik racun atas

makhluk hidup terjadi melalui beberapa proses. Pada awalnya, makhluk hidup

terpejani dengan racun. Setelah mengalami absorbsi dari lokasi pemejanan,

racun atau metabolitnya akan terdistribusi ke tempat aksi (sel sasaran atau

reseptor) tertentu di dalam makhluk hidup. Setelah sampai di tempat aksi,

akan terjadi antaraksi antara racun atau metabolitnya dan komponen penyusun

sel sasaran atau reseptor di tempat aksi. Kemudian pengaruh berbahaya atau

efek toksik akan muncul dengan wujud dan sifat tertentu setelah melalui

serangkaian peristiwa biokimia dan biofisika. Jadi ketoksikan suatu senyawa

ditentukan dari keberadaan (kadar dan lama tinggal) senyawa itu atau

metabolitnya di tempat aksi dan keefektifan antaraksinya (mekanisme aksi).

Keadaan ini bergantung pada kondisi pemejanan dan kondisi makhluk hidup

(Donatus, 2005).

Berdasarkan alur peristiwa timbulnya efek toksik, maka ada empat asas

utama dalam toksikologi. Empat asas tersebut meliputi kondisi pemejanan dan

kondisi makhluk hidup, mekanisme aksi, wujud dan sifat efek toksik atau

pengaruh berbahaya racun (Donatus, 2005). Pemahaman terhadap asas-asas

umum toksikologi tersebut berguna untuk evaluasi tingkat keamanan suatu

zat. Evaluasi tersebut dapat digunakan untuk menentukan atau memperkirakan

batas keamanan suatu zat apabila digunakan pada manusia serta cara

penggunaannya agat tidak menimbulkan efek toksik (Priyanto, 2009).

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79489/potongan/S1-2015... · pengobatan di negara berkembang hingga ... 2007). Di Indonesia, cacing

10

Pemahaman terhadap kondisi pemejanan dan kondisi makhluk hidup

akan mempermudah memahami penyebab timbulnya efek toksik. Pemahaman

tentang mekanisme aksi akan mempermudah dalam menghayati penyebab

timbulnya efek toksik. Pemahaman terhadap wujud dan sifat efek toksik akan

mempermudah memahami respon tubuh terhadap ketoksikan suatu senyawa

dan tolok ukur kualitatifnya. Tolok ukur kuantitatif toksisitas suatu senyawa

dapat dengan mudah diketahui dengan memahami kekerabatan antara kondisi

pemejanan dan wujud efek toksik (Donatus, 2005).

c. Kondisi efek toksik

Kondisi yang memperngaruhi efek toksik dapat diartikan sejumlah

faktor yang mempengaruhi efektifitas absorbsi, distribusi, dan eliminasi suatu

senyawa di dalam tubuh (Priyanto, 2009). Kondisi tersebut menentukan

keberadaan zat racun di dalam tubuh yang terdiri dari kondisi pemejanan dan

kondisi makhluk hidup. Kondisi pemejanan meliputi jenis, jalur, lama,

kekerapan, saat dan takaran pemejanan. Kondisi makhluk hidup mencakup

keadaan fisiologi dan patologi yang mempengaruhi ketersediaan xenobiotik di

sel sasaran (Donatus, 2005).

Terdapat dua jenis pemejanan yaitu akut dan kronis. Pemejanan akut

berkaitan dengan peristiwa tunggal dimana sejumlah racun tertentu masuk

dalam satu kali kejadian ke dalam makhluk hidup. Namun karena dosisnya

berlebih, maka keberadaan racun tersebut di tempat aksinya cukup untuk

menimbulkan efek toksik. Jenis pemejanan kronis adalah kondisi dengan

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79489/potongan/S1-2015... · pengobatan di negara berkembang hingga ... 2007). Di Indonesia, cacing

11

pemejanan racun yang berulang kali sehingga menyebabkan efek toksik secara

kumulatif (Donatus, 2005).

Kondisi makhluk hidup adalah keadaan fisiologi dan patologi yang

dapat mempengaruhi ketersediaan racun di sel sasaran dan keefektifan antar

aksi antara kedua variabel tersebut. Keadaan fisiologi tersebut antara lain berat

badan, umur, suhu tubuh, kecepatan pengosongan lambung, kecepatan aliran

darah, status gizi, kehamilan, dan jenis kelamin. Keadaan patologi meliputi

aneka ragam penyakit, diantaranya penyakit saluran cerna, kardiovaskular,

hati dan ginjal. Keadaan patologi ini merupakan faktor penting yang harus

dipertimbangkan dalam pelaksanaan uji toksikologi, terutama berkaitan

dengan pemilihan dan penentuan subyek uji (Donatus, 2005).

d. Mekanisme efek toksik

Pemahaman tentang mekanisme aksi toksik suatu senyawa berguna

untuk mengetahui penyebab timbulnya keracunan yang berkaitan dengan

wujud dan sifat efek toksik (Donatus, 2005). Secara umum mekanisme aksi

toksik senyawa digolongkan menjadi tiga, yaitu mekanisme berdasarkan sifat

dan tempat kejadian awal, berdasarkan sifat antaraksi antara senyawa dan

tempat aksinya, dan berdasarkan resiko penumpukan racun dalam gudang

penyimpanan tubuh (Donatus, 2005).

Mekanisme aksi toksik berdasarkan sifat dan tempat kejadian awal

dibagi menjadi dua, yaitu mekanisme luka intrasel dan mekanisme luka

ekstrasel. Mekanisme luka intrasel adalah luka sel yang diawali oleh aksi

langsung zat beracun atau metabolitnya pada tempat aksi tertentu di tempat sel

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79489/potongan/S1-2015... · pengobatan di negara berkembang hingga ... 2007). Di Indonesia, cacing

12

sasaran. Oleh karena itu mekanisme jenis ini seringkali dikenal dengan

mekanisme langsung atau primer. Sebaliknya mekanisme luka ekstrasel terjadi

secara tidak langsung. Artinya zat beracun pada awalnya beraksi di

lingkungan luar sel yang berakibat terjadinya luka di dalam sel (Donatus,

2005).

e. Wujud efek toksik

Wujud efek toksik suatu racun dapat berwujud perubahan biokimia,

fisiologi (fungsional) dan struktural. Perubahan ini memiliki sifat yang khas,

yaitu terbalikkan dan tak terbalikkan (Donatus, 2005). Wujud efek toksik

berdasarkan perubahan biokimia berkaitan dengan respon dan perubahan atau

kekacauan biokimia terhadap luka sel, akibat antaraksi antara zat beracun dan

tempat aksi tertentu yang sifatnya terbalikkan. Contohnya penghambatan

respirasi sel, perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit. Perubahan

fungsional berkaitan dengan antaraksi zat beracun dan reseptor atau tempat

aktif enzim yang sifatnya terbalikkan sehingga dapat mempengaruhi fungsi

homeostatis tertentu. Contohnya adalah anoksia, gangguan pernafasan,

perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit. Perubahan struktural berkaitan

dengan perubahan morfologi sel yang terwujud sebagai kekacauan struktural.

Contohnya adalah respon degenerasi, proliferasi dan inflamasi (Donatus,

2005).

f. Sifat efek toksik

Sifat efek toksik suatu racun dapat dibedakan menjadi terbalikkan

(reversible) dan tak terbalikkan (irreversible) (Priyanto, 2009). Ciri dari efek

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79489/potongan/S1-2015... · pengobatan di negara berkembang hingga ... 2007). Di Indonesia, cacing

13

toksik yang terbalikkan adalah apabila kadar racun yang ada dalam tempat

aksi atau reseptor tertentu telah habis maka reseptor akan kembali kepada

keadaan semula, efek toksik yang ditumbulkan akan segera kembali kepada

kondisi normal, toksisitas racun tergantung pada takaran serta kecepatan

absorbsi, distribusi, dan eliminasi racun (Donatus, 2005).

Ciri dari efek toksik yang tak terbalikkan yaitu kerusakan yang terjadi

sifatnya menetap, pemejanan berikutnya akan menimbulkan kerusakan yang

sifatnya sama sehingga memungkinkan terjadinya penumpukan efek toksik,

dan efek yang ditimbulkan antara pemejanan dengan takaran kecil jangka

penjang sama dengan pemaparan dosis besar jangka pendek. Zat yang dapat

menimbulkan efek toksik tak terbalikkan adalah zat racun yang terakumulasi

atau sangat sukar dieliminasi (Priyanto, 2009).

3. Uji Toksikologi

Setiap zat yang dikonsumsi manusia termasuk obat-obatan tradisional

harus memiliki kepastian keamanan. Untuk memastikan keamanan dari zat-zat

tersebut uji toksisitas sangat penting untuk dilakukan. Secara umum,

pengujian terhadap obat tradisional diawali dari skrining guna mencari

senyawa aktifnya, lalu dilanjutkan uji efektivitas dan mekanisme kerjanya

pada hewan coba maupun mikroba. Setelah dinyatakan mempunyai aktivitas

farmakologi tertentu, zat yang dimaksud akan menjalani serangkaian tes

keamanan pada hewan coba (Priyanto, 2009).

Uji toksisitas merupakan salah satu uji pra klinik yang dilakukan pada

hewan uji untuk tes keamanan suatu obat baru yang akan dikembangkan.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79489/potongan/S1-2015... · pengobatan di negara berkembang hingga ... 2007). Di Indonesia, cacing

14

Penelitian toksikologi merupakan sumber data utama bagi evaluasi toksisitas

karena mengungkapkan serangkaian efek akibat pemejanan zat toksik pada

berbagai peringkat dosis dengan waktu pemberian bervariasi serta

menunjukkan organ sasaran, sistem yang terpengaruh atau toksisitas khusus

yang muncul (Lu, 1999). Hewan yang dapat digunakan adalah galur tertentu

dari mencit, tikus, kelinci, marmot, hamster, atau anjing (Sukandar, 2004).

Tujuan uji toksisitas secara umum adalah untuk menentukan dosis suatu

sediaan uji yang dapat menimbulkan kematian atau gejala toksik pada organ

atau jaringan, mengidentifikasi hubungan antara dosis yang diberikan dengan

terjadinya perubahan fisiologis, dan morfologis suatu organisme, serta

melakukan monitoring terkait variasi hewan uji dengan responnya terhadap

sediaan uji (Donatus, 2005).

Uji toksisitas dibagi menjadi uji toksisitas tak khas dan khas (Donatus,

2005). Uji toksisitas khas adalah uji toksikologi yang dirancang untuk

mengevaluasi secara rinci efek yang khas sesuatu senyawa atas fungsi organ

atau kelenjar tertentu pada aneka ragam hewan uji. Termasuk uji toksisitas

khas adalah: uji potensiasi, kekarsinogenikan, kemutagenikan, reproduksi (uji

kesuburan, uji keteratogenikan, uji pra natal, dan pasca natal), uji kulit dan

mata, dan uji perilaku (Donatus, 2005).

Uji toksisitas tak khas bertujuan untuk mengevaluasi keseluruhan efek

toksik suatu zat beracun pada aneka ragam hewan uji. Termasuk dalam uji

tosksitas tak khas adalah uji toksisitas akut, sub kronis, dan kronis (Priyanto

2009). Uji toksisitas akut merupakan uji toksisitas yang dirancang untuk

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79489/potongan/S1-2015... · pengobatan di negara berkembang hingga ... 2007). Di Indonesia, cacing

15

mengetahui nilai LD50 dan dosis maksimal yang masih dapat ditoleransi oleh

hewan uji yang hasilnya diekstrapolasi pada manusia.

Pengamatan dilakukan selama 24 jam kecuali pada kasus tertentu

selama 6-14 hari. Uji tosksitas sub kronis yaitu uji toksisitas senyawa yang

diberikan dengan dosis berulang pada hewan uji tertentu. Pengamatan

dilakukan dengean 3 dosis selama 4 minggu - 3 bulan dan dengan 2 spesies

yang berbeda. Uji toksisias kronis menggunakan hewan rodent dan non rodent

selama 6 bulan atau lebih. Perbedaan dengan uji toksisitas sub kronis terletak

pada lamanya pemberian atau pemejanan takaran dosis sediaan uji, masa

pengamatan, dan pemeriksaannya, serta tujuannya. Uji toksisitas kronis

diperlukan jika obat nantinya akan digunakan dalam waktu yang cukup

panjang (Priyanto, 2009).

4. Uji Toksisitas Akut

Suatu keadaan yang menandai adanya efek toksik atau racun yang

terdapat pada suatu bahan dengan dosis tunggal atau campuran dinamakan

toksisitas (Hodgson, 2010). Keberbahayaan suatu senyawa terutama berkaitan

dengan jumlah senyawa tersebut dalam badan. Hal tersebut dapat dikatakan

dengan cara lain bahwa faktor yang menentukan tingkat keberbahayaan suatu

senyawa adalah dosis senyawa tersebut (Donatus, 2005).

Uji toksisitas akut dilakukan untuk mengetahui atau menentukan suatu

gejala sebagai akibat pemberian suatu senyawa, juga untuk menentukan

peningkatan letalitas senyawa tersebut. Uji toksisitas akut dilakukan dengan

sekali pemberian suatu senyawa pada hewan uji.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79489/potongan/S1-2015... · pengobatan di negara berkembang hingga ... 2007). Di Indonesia, cacing

16

Uji toksisitas akut termasuk ke dalam uji ketoksikan tak khas. Uji ini

dirancang untuk menentukan efek toksik suatu senyawa yang akan terjadi

dalam waktu yang singkat setelah pemejanan atau pemberian senyawa uji

dengan takaran tertentu. Uji ini dikerjakan dengan cara memberikan dosis

tunggal senyawa uji pada satu atau lebih hewan uji tertentu dan

pengamatannya dilakukan selama 24 jam. Untuk kasus tertentu

pengamatannya dapat dilakukan selama 7-14 hari (Donatus, 2005).

Data kuantitatif yang diperoleh dari uji ketoksikan akut ialah lethal

dose 50% cut off (LD50 cut off). Data kualitatifnya berupa gejala klinis dan

morfologis efek toksik senyawa uji. LD50 didefinisikan sebagai dosis tunggal

suatu zat yang diharapkan akan mematikan setengah hewan uji. Data LD50 cut

off yang diperoleh digunakan untuk menentukan potensi ketoksikan akut

senyawa relatif terhadap senyawa lain (Donatus, 2005). Kategori potensi

ketoksikan menurut Lu (1999) dapat dilihat pada tabel II.

Tabel II. Kategori ketoksikan suatu senyawa (Lu, 1999)

Kategori LD 50

Supertoksik <5 mg/kg

Amat sangat toksik 5-50 mg/kg

Sangat Toksik 50-500 mg/kg

Toksik Sedang 0,5-5 g/kg

Toksik Ringan 5-15 g/kg

Praktis Tidak Toksik >15 g/kg

Pelaksanaan uji toksisitas akut umumnya dilakukan pada mencit atau

tikus karena murah, mudah didapat, ukurannya kecil, dan mudah ditangani.

Selain itu terdapat banyak data toksisitas antar suatu zat. Hewan yang

digunakan sebelumnya diaklimatisasi dan observasi minimal 1 minggu dan

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79489/potongan/S1-2015... · pengobatan di negara berkembang hingga ... 2007). Di Indonesia, cacing

17

berada dalam tingkat kesehatan yang baik. Hewan yang dipilih harus homogen

dan memunyai metabolisme yang mirip dengan manusia (Priyanto, 2009).

Beberapa metode uji toksisitas akut oral untuk senyawa kimia telah

dipublikasikan oleh Organization for Economic Cooperation and

Development (OECD) yaitu OECD 420, OECD 423, dan OECD 425. Masing-

masing metode tersebut memiliki kelebihan dan keterbatasan (Sitzel & Carr,

1999).

a. OECD Guideline 401 Acute Oral Toxicity

Pedoman OECD 401 merupakan pedoman uij toksisitas akut oral

konvensional. Prinsipya adalah hewan uji dikelompokkan dalam beberapa

kelompok dosis yang telah ditetapkan dengan jenis kelamin yang sama.

Setiap kelompok dosis terdiri dari 5 hewan uji dengan jenis kelamin yang

sama. Pemberian sediaan dilakukan secara oral dan dosis bertingkat pada

setiap kelompok perlakuan. Apabila uji pada satu jenis kelamin selesai, uji

dilanjutkan menggunakan jenis kelamin yang berbeda. Pedoman OECD

401 menyatakan bahwa toksisitas adalah respon kuantal. Sehingga penentu

ketoksikan hanya dilihat dari ada atau tidaknya kematian sebagai endpoint

(Sitzel & Carr, 1999). Kelemahan lain dari OECD 401 adalah

menggunakan banyak hewan uji (minimal 20 hewan untuk setiap

senyawa) sehingga sekarang sudah tidak digunakan lagi (Ningrum, 2012).

b. OECD Guideline 420 Fixed Dose Procedure

Pedoman OECD 420 pertama kali diajukan sebagai pengganti dari

uji penentuan LD50 konvensional. Metode ini menggunakan hewan uji

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79489/potongan/S1-2015... · pengobatan di negara berkembang hingga ... 2007). Di Indonesia, cacing

18

yang lebih sedikit, mengurangi morbiditas dan menghasilkan data

ketoksikan yang dapat diklasifikasi berdasarkan Globally Harmonized

System (GHS). Prinsip metode ini adalah pemejanan sediaan uji secara

bertahap pada kelompok dosis perlakuan yang ditentukan, yaitu dosis 5,

50, 300, dan 2000 mg/kg BB. Jumlah hewan uji yang digunakan adalah 5

ekor pada masing-masing kelompok. Ketoksikan dilihat bukan hanya dari

kematian, namun juga berdasarkan gejala-gejala toksik yang muncul

(Anonim, 2001a).

c. OECD Guideline 423 Acute Toxic Class Method

Pedoman OECD 423 merupakan prosedur uji toksisitas bertahap

menggunakan 3 hewan uji pada masing-masing tahapan. Dosis yang

digunakan yaitu dosis 5, 50, 300, dan 2000 mg/kg BB. Penentu

ketoksikan berdasarkan kematian dan mempertimbangkan gejala toksik

yang muncul (Barile, 2008). Metode ini menggunakan sedikit hewan uji

dan memungkinkan untuk mengklasifikasikan sediaan uji menurut

ketoksikan relatifnya (Anonim, 2001b).

d. OECD Guideline 425 Up and Down Procedure

Berdasarkan panduan OECD 425 Up and Down Procedure,

sejumlah dosis tertentu, biasanya 175 mg/kg BB sebagai dosis awal

dipejankan ke satu ekor hewan uji. Kemudian hewan tersebut diamati 14

hari. Jika hewan uji bertahan selama 48 hari setelah pemejanan, maka

dosis ditingkatkan secara logaritmik pada hewan kedua. Sebaliknya

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79489/potongan/S1-2015... · pengobatan di negara berkembang hingga ... 2007). Di Indonesia, cacing

19

penurunan dosis diberikan apabila selama 48 jam terjadi kematian pada

hewan uji yang pertama (Anonim, 2001c; Barile, 2008).

Jenis kelamin hewan uji yang biasanya digunakan adalah betina

dikarenakan hewan betina umumnya lebih sensitif terhadap pemejanan

xenobiotik. Hewan uji dengan jenis kelamin jantan dapat digunakan jika

pengetahuan tentang toksikologi atau sifat toksikokinetik bahan kimia terkait,

secara struktural menunjukkan bahwa hewan jantan relatif lebih sensitif

(Anonim, 2001b).

Nilai LD50 cut off merupakan parameter kuantitatif penentu ketoksikan

suatu senyawa. LD50 cut off sangat berguna untuk klasifikasi zat kimia sesuai

dengan ketoksikan relatifnya. Pedoman OECD 423 menetapkan besarnya

LD50 bersumber dari kategori-kategori yang terdapat dalam Globally

Harmonized Classification System (GHS). Kategori Globally Harmonized

Classification System (GHS) beserta nilai LD50 cut off yang terdapat dalam

pedoman OECD 423 dapat dilihat pada tabel III.

Kegunaan dilakukan uji toksisitas akut selain menentukan nilai LD50

adalah untuk mengetahui hubungan antara dosis dengan timbulnya efek

seperti perilaku dan kematian, mengetahui gejala-gejala toksisitas akut yang

bermanfaat dalam diagnosis adanya keracunan, memenuhi persyaratan

regulasi jika zat uji akan dikembangkan menjadi obat. Uji ini juga

memberikan informasi tentang pengaruh umur, jenis kelamin, cara pemberian,

dan faktor lingkungan terhadap toksisitas suatu obat, mengetahui variasi

respon antar spesies dan antar galur (hewan, mikroba) serta adanya reaktivitas

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79489/potongan/S1-2015... · pengobatan di negara berkembang hingga ... 2007). Di Indonesia, cacing

20

suatu populasi hewan. LD50 juga digunakan sebagai salah satu indikasi

keamanan suatu obat yaitu indek terapi (IT), yang nilainya didapatkan dari

LD50 dibagi dengan ED50. Adapun ED50 merupakan dosis yang akan

menimbulkan respon 50% pada populasi (Priyanto, 2009).

Tabel III. Kategori globally harmonized classification system (GHS) beserta nilai LD50

Jumlah

hewan uji

tiap

langkah

Dosis

(mg/kg

BB)

Jumlah

Hewan

Kriteria GHS (mg/kg

BB) LD50 cut-off (mg/kg BB)

3

5

2-3* Kategori I (>0-5) 5

3

50

2-3* Kategori II (>25-50) 25-50

3

300

2-3* Kategori III (>50-300) 200-300

3 2000 2-3* Kategori VI (>300-2000)

500 (jika 3*)

1000 (jika 2*)

2000

3 2000 0-1* Kategori V (>2000-5000)

2500 (jika 1*)

5000 (jika 0*)

(tidak terklarifikasi)

3 5000 0* Kategori V (tidak

terklasifikasikan)

5000 (jika 0*)

(tidak terklasifikasi)

Keterangan: (*) = hewan uji menunjukkan gejala toksik atau hewan mati

5. Histopatologi

Histopatologi adalah cabang dari patologi, yaitu ilmu yang dipusatkan

untuk menemukan dan mendiagnosis penyakit dari hasil pemeriksaan

jaringan. Pemeriksaan tersebut meliputi pemeriksaan makroskopik jaringan

disertai seleksi sampel jaringan untuk pengamatan mikroskopik.

Histopatologis merupakan teknik paling sensitif untuk mendeteksi adanya

kerusakan pada sistem organ tertentu, misalnya sistem reproduksi (Greaves,

2007).

Uji histopatologis bukan hanya prosedur untuk mencocokkan gambar

antara hasil histologis organ normal dengan organ yang mengalami kerusakan.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79489/potongan/S1-2015... · pengobatan di negara berkembang hingga ... 2007). Di Indonesia, cacing

21

Histopatologis menggambarkan evaluasi dari pola jaringan tubuh, meliputi

penentuan ukuran, bentuk dan karakter pewarnaan. Teknik yang digunakan

dalam pemeriksaan histopatologis meliputi pemilihan jaringan, penutupan dan

pemotongan jaringan lain, pewarnaan imunokimia dan teknik dasar lain

(Greaves, 2007). Mayoritas diagnosis histopatologis dilakukan dari potongan

jaringan blok parafin dengan pewarnaan hematoksilin-eosin (Underwood,

2000).

Proses pewarnaan jaringan merupakan proses yang sangat penting dalam

pemeriksaan histopatologis organ. Jaringan yang telah diseleksi dan dipotong

harus dilakukan proses pengecatan agar dapat diamati di bawa mikroskop.

Metode pewarnaan jaringan dirancang agar jaringan terlihat dan dapat

dibedakan dengan jaringan lain. Kebanyakan zat pewarna bersifat sebagai

asam atau basa yang memungkinkan membentuk interaksi elektrostatik

dengan ion radikal pada jaringan.

Hematoksilin dan eosin (H&E) merupakan pewarna yang paling banyak

digunakan untuk pengecatan jaringan. Hematoksilin akan memberikan warna

biru pada nukleus sedangkan eosin memberikan warna merah muda pada

sitoplasma (Junqueira & Carneiro, 2003). Warna biru yang ditimbulkan oleh

hematoksilin disebabkan oleh proses oksidasi hematoksilin yang membentuk

kompleks dengan suatu mordant (Avwioro, 2011).

Page 22: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79489/potongan/S1-2015... · pengobatan di negara berkembang hingga ... 2007). Di Indonesia, cacing

22

E. Keterangan Empirik

Penelitian ini bersifat eksploratif untuk mengetahui dan menetapkan harga

potensi ketoksikan akut (LD50 cut-off), mengetahui gejala toksik, wujud dan

spektrum efek toksik pada organ mencit meliputi hati, paru-paru, lambung, limpa,

ginjal, usus, jantung, dan uterus akibat pemejanan oral serbuk cacing tanah .