29
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mistik sebagai sebuah paham disebut mistisisme, sebagai paham yang memberikan ajaran bersifat serbamistis,ajarannya berbentuk rahasia atau serbarahasia, tersembunyi, gelap, atau terselubung dalam kekelaman, sehingga dapat dikenal, diketahui, atau dipahami oleh orang-orang tertentu saja, terutama sekali oleh penganutnya (Petir, 2014:15). Para antropolog dan sosiolog mengartikan mistik sebagai subsistem yang ada pada hampir semua sistem religi untuk memenuhi hasrat manusia mengalami dan merasakan kebersatuan dengan Tuhan.Mistik merupakan keyakinan yang hidup di dalam alam pikiran kolektif masyarakat. Alam kolektif akan kekal abadi, meskipun masyarakat telah berganti generasi. Demikian pula dengan mistik orang Jawa. Keyakinan itu telah hidup bersamaan dengan lahirnya masyarakat Jawa dan diturunkan dari generasi ke generasi (Yana,2010:25).Harun Nasution dalam Orientalis Barat menyatakan bahwa tujuan dari mistik atau paham mistisme adalah untuk memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, atau orang Jawa biasa menyebutnya dengan istilah Manunggaling Kawula Gusti. MistikDalam pandangan umum selalu dikaitkan dengan hal-hal yang menakutkan berbau horor, dan selalu berhubungan dengan alam ghaib, gugon tuhon/mitos, makhluk halus, dan hantu. Jawa memiliki khasanah budaya yang beragam, dan filsafat berkehidupan yang luas, salah satu unsur kebudayaan Jawa adalah agama dan kepercayaan masyarakat. Masyarakat Jawa memiliki sistem kepercayaan yang khusus, sistem kepercayaan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0111020_bab1.pdf · aspek kepercayaan pada cerita-cerita ... bergabung menjadi anggota Pamarsudi Sastra Jawa

  • Upload
    hadang

  • View
    221

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mistik sebagai sebuah paham disebut mistisisme, sebagai paham yang

memberikan ajaran bersifat serbamistis,ajarannya berbentuk rahasia atau serbarahasia,

tersembunyi, gelap, atau terselubung dalam kekelaman, sehingga dapat dikenal,

diketahui, atau dipahami oleh orang-orang tertentu saja, terutama sekali oleh

penganutnya (Petir, 2014:15). Para antropolog dan sosiolog mengartikan mistik

sebagai subsistem yang ada pada hampir semua sistem religi untuk memenuhi hasrat

manusia mengalami dan merasakan kebersatuan dengan Tuhan.Mistik merupakan

keyakinan yang hidup di dalam alam pikiran kolektif masyarakat. Alam kolektif akan

kekal abadi, meskipun masyarakat telah berganti generasi. Demikian pula dengan

mistik orang Jawa. Keyakinan itu telah hidup bersamaan dengan lahirnya masyarakat

Jawa dan diturunkan dari generasi ke generasi (Yana,2010:25).Harun Nasution dalam

Orientalis Barat menyatakan bahwa tujuan dari mistik atau paham mistisme adalah

untuk memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, atau orang Jawa

biasa menyebutnya dengan istilah Manunggaling Kawula Gusti. MistikDalam

pandangan umum selalu dikaitkan dengan hal-hal yang menakutkan berbau horor,

dan selalu berhubungan dengan alam ghaib, gugon tuhon/mitos, makhluk halus, dan

hantu.

Jawa memiliki khasanah budaya yang beragam, dan filsafat berkehidupan yang

luas, salah satu unsur kebudayaan Jawa adalah agama dan kepercayaan masyarakat.

Masyarakat Jawa memiliki sistem kepercayaan yang khusus, sistem kepercayaan

2

tersebut dinamakan kejawen. Endraswara (2006:3-4) mengatakan bahwa religius

Jawa tidak lain adalah mistik kejawen. Kajian ini memfokuskan pada pokok bahasan

pada mistik kejawen.Kejawen sendiri memiliki arti sebuah kepercayaan atau

barangkali boleh dikatakan agama terutama dianut oleh masyarakat suku Jawa dan

bahkan suku bangsa lainnya yang menetap di pulau Jawa (Petir,2014:20).

Kejawen tidak menganggap ajarannya sebagai agama dalam pengertian seperti

agama monoteistik (Islam, Kristen, Katolik, Hindhu, dan Budha), tetapi lebih

melihatnya sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang dibarengi dengan

laku. Simbol-simbol laku melibatkan benda-benda yang diambil dari tradisi yang

dianggap asli Jawa, seperti keris, wayang, pembacaan mantra, penggunaan bunga-

bunga tertentu yang memiliki arti simbolik, sesajen dan lain sebagainya, laku dapat

pula diartikan sebagai langkah atau jalan dalam mewujudkan Manunggaling Kawula

Gustiatau pendekatan diri kepada Tuhan YME.

Mistik Kejawen adalah suatu upaya spiritual mendekatkan diri kepada Tuhan

YME yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Jawa. Mistik kejawen berarti

juga kehidupan kejawen, karena itu jika kejawen tanpa mistik akan pudar kejawen

tersebut. Kejawen dan mistik telah menyatu, menjadi sebuah ekspresi religi mistik

kejawen. Mistik kejawen dalam hal-hal tertentu berbeda dengan mistik-mistik lainnya,

karena itu mistik kejawen memiliki karakter dalam aktifitas ritualnya.Adaalasan

mendasar mengapa manusia menjalankan mistik kejawen, alasan ini berhubungan

dengan hakikat hidup manusia di mana hidup manusia dituntut harus berbuat sejalan

dengan kehendak Tuhan YME (Petir,2014:36-37).

Masyarakat Jawa pada umumnya kejawen dipandang sebagai sebuah kepercayaan

yang selalu dikaitkan dengan mitos, segala perilaku orang Jawa sangat sulit lepas dari

3

aspek kepercayaan pada cerita-cerita sakral yang menjadi sebuah foklor dalam

kehidupan atau sering disebut dengan istilah gugon tuhon. Mistik kejawen adalah

pelaku budaya Jawa yang berusaha untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, hal ini

berarti mistik kejawen kepercayaan, dan kebatinan adalah perwujudan dari salah satu

laku yang dilaksanakan sebuah aliran kebatinan dan kepercayaan

(Suwardi,2006:39).Mistik Kejawen menurut Khaya Khan, terbagi menjadi dua

golongan. Pertama mistik eksoterin yaitu mistik yang berdasarkan tatanan agama,

kedua mistik esoterik, yaitu mistik yang berdasarkan pengalaman batin sesorang yang

terkadang oleh kaum sufi dianggap menyimpang dari agama.(Petir, 2014:42)

Menurut Petir Abimanyu dalam bukunya Mistik Kejawen, ia mengemukakan

beberapa perbedaan mistik kejawen dengan agama, ajaran atau mistik-mistik lainnya

adalah pertama mistik kejawen tidak memiliki kitab suci seperti agama lainnya karena

pada dasarnya kejawen memang bukan agama, kedua kejawen mampu menerima

nilai-nilai dari ajaran lain sehingga dapat terjadi akulturasi antara kejawen dengan

agama lain, misal terdapat istilah Islam kejawen sebagai wujud akulturasi dari agama

islam dan kejawen tersebut, hal ini biasa terjadi pada masyarakat Jawa yang beragama

Islam dan bertempat tinggal di pulau Jawa yang menjunjung tinggi nilai kejawen,

ketiga dalam ritualnya mistik kejawen menggunakan banyak sekali uba rampe yang

beraneka ragam. Mistik kejawen dalam opini umum, berisikan tentang seni, budaya,

tradisi, ritual, sikap serta filososfi orang-orang Jawa. Sastra merupakan bagian di

dalam seni dan budaya.(Petir, 2014:30)

Sastra adalah karya tulis yang jika dibandingkan dengan karya tulis yang lain

memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinilan, keartistikan, dan keindahan

dalam isi dan ungkapannya (Badan Pengembangan dan Pembinaan bahasa,2011:159).

Menurut Herman J. Waluyo (2008:1) Sastra adalah cabang kesenian dengan bahasa

4

sebagai mediumnya atau saranannya. Sastra dibagi menjadi dua yakni sastra tulis dan

sastra lisan.Sastra tulis sendiri dapat dibagi menjadi tiga genre yaitu prosa, puisi, dan

drama.Pengarang mencoba menghasilkan pandangan dunianya tentang realitas sosial

di sekitarnya untuk menunjukkan sebuah karya sastra berakar pada kultur tertentu dan

masyarakat tertentu. Karya sastra memiliki struktur yang membangunnya, struktur

tersebut antara lain adalah tema,alur, amanat, dan sebagainya.(Stanton, 2007:20)

Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengantar

serta refleksinya terhadap gejala-gajala sosial di sekitarnya (Ismanto,2003:59). Gejala-

gejala sosial tersebut salah satunya adalah pengalaman mistik kejawen yang dialami

oleh para tokoh. Dalam karya sasrra, khususnya karya sastra Jawa, mistik kejawen

memiliki eksistensi yang cukup besar, banyak karya sastra yang ditulis menggunakan

tema mistik, kejawen, bahkan mistik kejawen. Eksistensi tersebut dapat dibuktikan

dengan masih adanya majalah, koran, dan media masa cetak lainnya yang memuat

karya sastra fiksi yang bertemakan mistik, kejawen, seperti misalnya Penjebar

Semangat, dan Djoko Lodang.

Membaca sebuah karya sastra fiksi berarti menikmati cerita, menghibur diri untuk

memperoleh kepuasan batin. Betapapun syaratnya pengalaman dan permasalahan

kehidupan yang ditawarkan, sebuah karya sastra fiksi haruslah tetap merupakan

bangunan struktur yang koheren, dan tetap mempunyai tujuan estetik

(Burhan,2010:03). Sekian banyak karya sastra fiksi yang berbentuk prosa salah

satunya adalah cerkak. Salah satu karya sastra ini menarik perhatian penulis untuk

mengadakan penelitian tentang mistik kejawen yang terkandung di

dalamnya.Penelitian inimenggunakan objek kajian sastra tulis yang berbentuk

prosa.Prosa tersebut berwujud kumpulan cerkak yang dibukukan menjadi satu atau

lebih dikenal dengan antologi.

5

Objek kajian yang digunakan adalah lima cerkak dalam antologi cerkak Malaikat

Jubah Putih (selanjutnya ditulis ACMJP) yang merupakan antologi cerkak karya

Nono Warnono yang diterbitkan oleh Azzagrafika di kota Jogjakarta pada tahun 2014.

Nono Warnono menuliskan dua puluh tiga cerkak dari seratus lima puluh enam

halaman yang rata-rata diterbitkan pada tahun 1997-2014 dalam majalah bahasa jawa

yaitu Penjebar Semangat. Dipilihlima cerkakdari dua puluh tiga cerkakyang memiliki

tema yang sama yaitu mistik kejawen.Dengan tema yang sama, hal ini memudahkan

penulis dalam melakukan penelitian. Sebuah buku fiksi yang bersampulkan warna

hitam dengan gambar ilustrasi sosok malaikat berjubah putih sesuai dengan judulnya,

merupakan buku antologi cerkakyang menceritakan tentang berbagai kejadian mistik

atau misteri yang dialami oleh tokoh di dalam masing-masing cerita.

Beberapa hal yang menjadi alasan dalam penelitian terhadap lima cerkak ACMJP

karya Nono Warnono adalah pertama, ACMJP merupakan karya sastra yang dikarang

oleh penulis yang produktif, berpengalaman, dan penuh dengan prestasi. Nono

Warnono merupakan seorang sastrawan yang juga bertugas sebagai pengawas

sekolah, bernama asli H. Suwarno, S.pd., M.M. lahir di kota Bojonegoro pada tanggal

14 Juli 1964. Prestasi menulisnya terlihat sejak ia duduk di bangku Sekolah

Pendidikan Guru, tulisannya yang berupa cerpen, puisi, dan opini yang mulai

mendapat perhatian khalayak dengan diterbitkannya tulisan-tulisannya tersebut di

berbagai surat kabar. Karya-karyanya semakin melanglang buana sastra, sejak ia

bergabung menjadi anggota Pamarsudi Sastra Jawa Bojonegoro (PSJB). Cerkak,

geguritan, wacan bocah, cerita misteri, dan lain sebagainya banyak dimuat di

majalah-majalah bahasa Jawa seperti Jaya Baya, Penjebar Semangat, Mekarsari, Jaka

Lodhang dan Radar Jawa Pos. Karya lain yang juga sangat fenomenal adalah antologi

6

yang berjudul “Bojonegoro Ing Gurit” (2006), geguritan yang berjudul “Blangkon”

(2006), juga “Tunggak Jarak Mrajak” pada tahun (2010) wujud cerita cekak.

Tahun 1998 Nono Warnono mendapatkan prestasi yaitu Juara I Guru Teladan

Jawa Timur dengan makalahnya “Revitalisasi Nilai Budi Pekerti Melalui Bahasa,

Sastra dan Budaya Jawa”, dan pada tahun 2014 terpilih menjadi Instruktur Nasional

Kurikulum 2013. Alasan kedua, ACMJP merupakan cerkak yang berisikan tentang

cerita misteri, dimana cerita misteri memang sangat diminati oleh semua kalangan

serta tak pernah padam oleh waktu, sejak dulu hingga saat ini masih tetap banyak

sekali peminatnya. Tidak hanya dalam bentuk karya sastra, tema misteri memiliki

perhatian cukup tinggi dalam masyarakat Indonesia seperti film, dan acara TV (reality

show) yang menyajikan tentang hal-hal misteri masih sangat diburu dan dinikmati

oleh masyarakat. Selain kedua alasan di atas,alasan lain yaitu sebagian cerkak dari

antologi ini merupakan cerita nyata yang dialami langsung oleh pengarangnya sendiri.

Mengetahui bahwa beberapa cerita dalam ACMJP merupakan cerita nyata yang

dialami oleh pengarang maka, hal tersebut dapat menguatkan alasan peneliti untuk

melakukan penelitian terhadap antologi cerkak ini.

Pembahasan dalam penelitian ini, penulis meneliti mengenai pola struktur yang

terdapat dalam limacerkakkarya Nono warnono dalam ACMJP. Dari 23 cerkak yang

dimuat dalam ACMJP penulis mengambil limacerkak yang bertemakan mistik

kejawen. Limacerkaktersebut berjudul Malaikat Jubah Putih, Dhemit Gunung Pegat

Mantu, Tanggapan Ing Cungkup Dhompoh, Tendha Sanga Wolu, danUla Memba-

memba, meliputi fakta-fakta cerita (alur, karakter, dan latar), tema, dan sarana-sarana

sastra (judul, sudut pandang, ironi, gaya dan tone, dan simbolisme) kemudian

7

dilanjutkan tentang penjelasan tentang bentuk mistik kejawen yang terkandung dan

yang dialami oleh tokoh-tokoh dalam cerita ACMJP ini.

Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi satra. Sosiologi sastra

merupakan suatu pendekatan terhadap sastra dengan mengikutsertakan atau

mempertimbangkan segi-segi luar (faktor eksternal) karya sastra seperti kondisi

sosial, politik, ideologi, budaya, sejarah, ekonomi dan sebagainya ke dalam lingkup

analisisnya dengan maksud untuk mendapatkan pemahaman yang selengkap-

lengkapnya terhadap sastra sebagai gejala sosial. Hubungannya dengan penelitian ini,

bahwa setiap karya sastra pasti selalu berhubungan dengan kehidupan bermasyarakat,

bagaimana gejala-gejala sosial yang terjadi di dalamnya, proses-proses sosial yang

ada, jadi untuk melihat lebih dekat bagaimana kehidupan sosial yang ada di dalam

sebuah karya sastra penulis mebutuhkan pendekatan sosiologi sastra.

Sosiologi mencoba mencari tahu bagaimana masyarakat itu tetap ada

(Wardhana, 20111:4-5).Operasionalnya dalam penelitian ini penulis menggunakan

pendekatan sosiologi sastra untuk melihat gejala sosial yang ada di dalam lima cerkak

karya Nono Warnono dalam ACMJP. Gejala sosial tersebut berupa pengalaman

misteri yang dialami oleh para tokoh dalam masing-masing cerita, dan bagaimana

pengaruh sosial yang timbul atas gejala sosial tersebut. Selain gejala sosial yang

terkandung juga terdapat nilai sosial di dalam lima cerkak karya Nono Warnono

tersebut yaitu berperilaku baik tidak selalu dengan makhluk nyata saja, jika kita mau

berperilaku baik sekalipun dengan mahkluk di alam gaib maka mereka pun juga akan

berperilaku baik kepada kita, dengan kata lain yang biasa orang jawa ungkapkan yaitu

Wong nandur bakale ngunduh.Maka dari itu penulis mengkaji tentang mistik kejawen

yang ada di dalam lima cerkak karya Nono warnono dalam ACMJP, dengan

8

menerapkan teori pendekatan sosilogi sastra, sehingga dalam penelitian ini penulis

mengambil judul Mistik Kejawen dalam Antologi Cerkak Malaikat Jubah Putih

Karya Nono Warnono (Suatu Pendekatan Sosiologi Sastra)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, muncul berbagai permasalahan.Oleh karena

itu perlu pengidentifikasian masalah untuk menampilkan persoalan-persoalan yang

muncul untuk kemudian diteliti dan diselidiki. Permasalahan-permasalahan yang

dikaji dalam lima cerkakdalam antologi ACMJP karya Nono Warnono dapat

diidentifikasikan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah keterjalinan antarunsur pembangunlima cerkak karya Nono

Warnono dalam ACMJP?

2. Bagaimanakah Mistik kejawen yang terkandung di dalam lima cerkak karya

Nono Warnono dalam ACMJP?

3. Bagaimanakah Ritual kejawen yang terkandung di dalam lima cerkak karya

Nono Warnono dalam ACMJP?

4. Bagaimana Realisasimistik kejawen dalam lima cerkak karya Nono Warnono

terhadap kehidupan masyarakat Jawa ?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan dan mendeskripsikan :

1. Mendeskripsikan keterjalinan antar unsur pembangun di dalam lima cerkak

karya Nono Warnono dalam ACMJP.

9

2. Menyebut dan menjelaskan mistik kejawen yang terkandung di dalam lima

cerkak karya Nono Warnono dalam ACMJP.

3. Menyebut dan menjelaskan ritual kejawen yang terkandungdi dalam lima

cerkak karya Nono Warnono dalam ACMJP.

4. Menyebut dan menjelaskanrealisasimistik kejawen dalam lima cerkak karya

Nono Warnono terhadap kehidupan masyarakat Jawa?

D. Batasan Masalah

Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, maka masalah yang akan diteliti

pada penelitian ini dibatasi pada penjelasan tentang mistik kejawen dan ritual kejawen

yang terkandung di dalam lima cerkak karya Nono Warnono dalam ACMJP.Lima cerkak

ini dapat diteliti menggunakan berbagai macam pendekatan, namun penulis memilih

pendekatan sosiologi sastra dalam penelitiannya. Pembatasan masalah dilakukan agar

tidak membias dan memudahkan pembahasan serta menghindari pendiskripsian yang

meluas.

E. Landasan Teori

A. Teori Cerpen

Cerpen adalah salah satu jenis teks sastra yang tak asing bagi kita.Meski demikian

namun kita masih sering bingung jika ditanya mengenai hakikat cerpen.Demikian pula

ketika ditanya mengenai ciri bahasa, kaidah, dan struktur yang terdapat di

dalamnya.Apabila merujuk pada redaksi definisi yang terdapat pada beberapa buku teks

cerpen dapat dimaknai sebagai sebuah karya prosa fiksi yang dapat selesai dibaca sekali

duduk dan ceritanya membangkitkan efek tertentu dalam diri pembacanya (Sayuti,

10

2000:8).Cerita pendek atau yang lebih dikenal dengan cerpen adalah karangan pendek

yang berbentuk prosa.Sebuah cerpen mengisahkan sepenggal kehidupan tokoh yang

penuh pertikaian, peristiwa, dan pengalaman.Tokoh dalam cerpen tidak mengalami

perubahan nasib (Depdiknas, 2014:6).

Cerita pendek, sesuai dengan namanya, memperlihatkan ciri bahasa yang serba

pendek, baik peristiwa yang diungkapkan, isi cerita, jumlah pelaku, dan jumlah kata yang

digunakan (Priyanti, 2013:5).ciri-ciri sebuah cerpen adalah sebagai berikut.

1. Bentuk tulisan singkat, padat, dan lebih pendek daripada novel.

2. Tulisan kurang dari 10.000 kata.

3. Sumber cerita dari kehidupan sehari-hari, baik pengalaman sendiri maupun

orang lain.

4. Tidak melukiskan seluruh kehidupan pelakunya karena mengangkat masalah

tunggal atau sarinya saja.

5. Habis dibaca sekali duduk dan hanya mengisahkan sesuatu yang berarti bagi

pelakunya.

6. Tokoh-tokohnya dilukiskan mengalami konflik sampai pada penyelesaiannya.

7. Penggunaan kata-katanya sangat ekonomis dan mudah dikenal masyarakat.

8. Meninggalkan kesan mendalam dan efek pada perasaan pembaca.

9. Menceritakan satu kejadian dari terjadinya perkembangan jiwa dan krisis, tetapi

tidak sampai menimbulkan perubahan nasib.

10. Beralur tunggal dan lurus.

11. Penokohannya sangat sederhana, singkat, dan tidak mendalam.

11

B. Teori Pendekatan Struktural

Totalitas yang dibangun secara koheresif oleh berbagai unsur pembangunnya,

sebuah karya sastra fiksi dapat diartikan sebagai susunan, penegasan, dan gambaran

semua bahan dan bagian yang menjadi komponennya yang secara bersama-sama

membentuk totalitas atau kebulatan yang indah. Menurut Burahan Nugiantoro,

struktur sebuah karya sastra khususnya karya sastra fiksi juga mengarah pada

hubungan antar unsur (intrinsik) yang bersifat timbal balik, saling menentukan saling

mempengaruhi yang secara bersama-sama membentuk satu kesatuan yang utuh.

Aristoteles menekankan akan pentingnya pemahaman struktur dalam kajian fiksi.

Istilah strukturalisme secara khusus mengacu pada praktik kritik yang mendasarkan

model analisis kajian pada teori linguistik modern termasuk ke dalam kelompok

ini.Menurut Hawkes strukturalisme pada dasarnya merupakan cara pandang dunia

sastra yang menekankan pada susunan hubungan antarunsur.(Stanton,2007)

Pendekatan Struktural merupakan langkah awal yang menjembatani dengan

langkah selanjutnya.Pendekatan ini digunakan untuk memahami sebuah karya sastra

berdasarkan unsur intrinsik yang membangunnya, meliputi tema, tokoh dan

penokohan, setting, plot, sudut pandang, style, dan pesan.Berdasarkan uraian di atas

penelitian ini menganalisis tentang unsur pembangun dalam sebuah karya sastra,

tujuannya untuk memahami unsur-unsur intrinsik yang membangun karya sastra

dalam hal ini cerpen atau cerkak, sebelum memasuki kajian sosiologis.(Stanton,2007)

Adapun tinjauan struktur formal fiksi yang digunakan untuk menganalisis dalam

kajian struktural adalah teori struktural Robert Stanton. Stanton membagi unsur

intrinsik fiksi menjadi dua bagian yaitu, fakta cerita dan sarana cerita. Ia membagi

12

fakta cerita menjadi empat yaitu alur, tokoh, latar, dan tema. Sarana cerita terdiri dari

judul, sudut pandang, dan nada, simbolisme, dan ironi.sebagai berikut :

1. Fakta Cerita

Karakter, alur, dan latar merupakan fakta-fakta cerita. Elemen-elemen ini

berfungsi sebagai catatan kejadian imajinatif dari sebuah cerita. Jika dirangkum

menjadi satu, maka elemen ini dinamakan struktur faktual atau tingkatan faktual

cerita. Struktur faktual merupakan salah satu aspek cerita. Struktur faktual adalah

cerita yang disorot dari satu sudut pandang (Stanton, 2007:220). Unsur-unsur yang

berkaitan dengan fakta cerita adalah :

a. Alur

Secara umum alur merupakan rangkaian-rangkaian peristiwa dalam sebuah

cereita. Istilah alur biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa yang terhubung

secara kausal saja. Peristiwa kausal merupakan peristiwa yang menyebabkan atau

menjadi dampak bagi peristiwa lain yang dapat diabaikan karena akan

berpengaruh pada keseluruhan karya(Stanton, 2007:26)

Alur merupakan tulang punggung cerita, sebuah cerita tidak akan pernah

seutuhnya dimengerti tanpa adanya pemahaman terhadap peristiwa-peristiwa yang

mempertautkan alur. Sama halnya dengan elemen-elemen lain alur memeiliki

hukum-hukum sendiri, alur hendaknya memiliki bagian awal, tengah, dan akhir

yang memunculkan sekaligus mengakhiri ketegangan-ketegangan(Stanton,

2007:28)

Teknik pengaluran terbagi menjadi dua jenis yaitu :

a) Sorot balik (flashback) yaitu urutan tahapannya dibalik seperti halnya regresif.

Teknik flasback tentu mengubah teknik pengalurannya dari yang progresif ke

regresif.

13

b) Teknik tarik balik (backtracking) jenis pengaluran tetap progresif, hanya saja

pada tahap-tahap tertentu peristiwanya dibalik ke belakang. Jadi yang ditarik

ke belakang hanya peristiwanya (mengenang peristiwa yang lalu) alurnya

tetap progresif (Soediro,1996:28-29)

b. Tokoh atau karakter

Tokoh atau biasa disebut karakter biasanya dipakai dalam dua konteks.

Konteks pertama karakter merujuk pada individu-individu yang muncul dalam

cerita. Konteks kedua karakter merujuk pada berbagai percampuran dari berbagai

kepentingan, keinginan emosi, dan prinsip moral dari individu-individu tersebut.

Dalam sebuah cerita dapat ditemukan satu tokoh utama, tokoh yang terkait dalam

semua peristiwa yang berlangsung dalam sebuah cerita. Alasan tokoh dalam

bertindak sebagaimana yang dilakukan dinamakan motivasi(Stanton, 2007:33).

c. Latar

Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita,

semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung.

Latar dapat berwujud dekor, latar juga dapat berwujud waktu-waktu tertentu.latar

terkadang berpengaruh pada karakter-karakter, latar juga terkadang menjadi

contoh representasi tema. Dapat dilihat dari berbagai cerita dapat dilihat bahwa

latar memiliki daya untuk memunculkan tone dan mode emosional yang

mlingkupi sang karakter. Tone dan emosional ini disebut dengan istilah atmosfer.

Atmosfer bisa jadi merupakan cermin yang merefleksikan suasana jiwa sang

karakter(Stanton, 2007:35-36).

14

d. Tema

Tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan makna dalam pengalaman

manusia,sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu diingat(Stanton,

2007:36).Tema membuat cerita lebih terfokus,menyatu, mengerucut, dan

berdampak.bagian awal dan akhir menjadi pas, sesuai, dan memuaskan berkat

keberadaan tema (Stanton, 2007:37).

Tema hendaknya memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut :

a) Interpretasi yang baik hendaknya selalu mempertimbangkan berbagai detail

menonjol dalam sebuah cerita. Kriteria ini adalah yang paling penting.

b) Interpretasi yang baik hendaknya tidak terpengaruh oleh berbagai detail cerita

yang saling berkontradiksi.

c) Intrepretasi hendaknya tidak sepenuhnya bergantung pada bukti-bukti yang tidak

secara jelas diutarakan (hanya secara implisit).

d) Intrepetasi yang dihasilkan hendaknya diujarkan secara jelas oleh cerita

bersangkutan (Stanton, 2007:44-45)

2. Sarana Cerita

Sarana-sarana sastra dapat diartikan sebagai metode (pengarang) memilih dan

menyusun detail cerita agar tercapai pola-pola yang bermakna. Metode semacam ini

perlu karena dengannya pembaca dapat melihat berbagai fakta melalui kacamata

pengarang, memahami apa maksud fakta-fakta tersebut sehingga pengalaman pun

dapat dibagi (Stanton, 2007:46-47).

a. Judul

Judul berhubungan dengan cerita secara keseluruhan karena menunjukkan

karakter, latar, dan tema. Judul merupakan kunci pada makna cerita. Seringkali

judul dalam karya sastra mempunyai tingkatan-tingkatan makna yang terkandung

15

dalam cerita. Judul juga dapat berisi sindiran terhadap kondisi yang ingin dikritisi

oleh pengarang atau merupakan kesimpulan terhadap keadaan yang sebenarnya

dalam cerita(Stanton,1965:25-26)

b. Sudut pandang

Stanton dalam bukunya membagi sudut pandang menjadi empat tipe utama

yaitu :

1. Sudut pandang orang pertama-utama.

Sang karakter utama bercerita dengan kata-katanya sendiri.

2. Sudut pandang orang pertama-sampingan.

Cerita dituturkan oleh satu karakter bukan utama(sampingan)

3. Sudut pandang orang ketiga-terbatas.

Pengarang mengacu pada semua karakter dan emosinya sebagai orang

ketiga tetapi hanya menggambarkan apa yang dilihat, didengar, dan

dipikirkan oleh suatu karakter saja.

4. Sudut pandang orang ketiga-tidak terbatas.

Pengarang mengacu pada semua karakter dan memposisikan sebagai orang

ketiga. Pengarang juga dapat membuat beberapa karakter melihat,

mendengar, atau berfikir atau saat tidak ada satu karakter pun hadir

(Stanton, 1965:27-28).

c. Gaya dan Tone

Dalam sastra gaya adalah cara seorang pengarang menggunakan bahasa.

Meski dua orang pengarang memakai karakter, alur, dan tema yang sama hasil

kedua tulisanya bisa sangat berbeda. Perbedaan tersebut secara umum terletak

16

pada penggunaan bahasa dan penyebar dalam berbagai aspek seperti kerumitan,

ritme, panjang-pendek kalimat, detail, humor, kekonkretan, dan banyaknya imaji

dan metafora. Campuran dari berbagai aspek di atas (dengan kadar tertentu) akan

menghasilkan gaya (Stanton,2007:61).

d. Simbolisme

Simbolisme dapat menimbulkan efek yang masing-masing bergantung pada

bagaimana simbol bersangkutan digunakan, pertama sebuah simbol yang muncul

pada suatu kejadian penting dalam cerita menunjukan makna peristiwa tersebut.

Kedua, simbol yang ditampilkan berulang-ulang mengingatkan kita pada beberapa

elemen konstan dalam semesta cerita. Ketiga, sebuah simbol yang muncul pada

konteks yang berbeda-beda akan membantu kita menemukan tema (Stanton,

2007:65).

Salah satu bentuk simbol yang khas adalah momen simbolis istilah ini dapat

disamakan dengan momen kunci atau momen pencerahan. Momen simbolis,

momen kunci, dan momen pencerahan adalah tabula tempat seluruh detail yang

terlihat dan beban fisis mereka dibebani oleh makna(Stanton, 2007:58).

e. Ironi

Secara umum ironi dimaksudkan sebagai cara untuk menunjukkan bahwa

sesuatu berlawanan dengan apa yang telah diduga sebelumnya. Ironi dapat

ditentukan dalam hampir semua cerita. Dalam dunia fiksi ada dua jenis ironi yang

dikenal luas, yaitu ironi dramatis dan tone ironi (Stanton, 2007:71).

C. Teori Sosiologi Sastra

Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari kata

sosio (Yunani) (socius berarti bersama-sama,bersatu, kawan,teman) dan logi

17

(logosberartisabda,perkataan,perumpamaan). Perkembangan berikutnya mengalami

perubahan makna, sosio atau socius berarti masyarakat logi atau logos berarti ilmu

mengenai asal-usul dan pertumbuhan (evolusi) masyarakat. Ilmu pengetahuan yang

mempelajari keseluruhan jaringan hubungan antarmanusia dalam

masyarakat,sifatnyaumum,rasionaldan empiris. Sastra dari akar sas (sansekerta) berarti

mengarahkan, mengajar dan memberi petunjuk dari instruksi. Akhiran tra berarti alat

atau sarana. Jadi, sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar,buku petunjuk atau

memiliki objek yang sama yaitu masyarakat (Ratna,2003: 18).

Semua fakta menyiratkan adanya penulis,buku,pembaca atau dikatakan pencipta

karya sastra dan publik. Setiap karya sastra merupakan bagian dari sirkuit. Sosiologi

sastra merupakan bagian dari sirkuit tersebut. Pendekatan sosologi sastra merupakan

pendekatan yang menganggap sebagai karya sastra merupakan bentuk cerminan

kaehidupan masyarakat. Karya sastra dapat mengungkapkan berbagai hal. Pengarang

bisa masuk karyanya sendiri (Escarpit,2005:3).

Pendekatan sosiologis bertolak dari asumsi bahwa sastra merupakan pencerminan

kehidupan masyarakat. Melalui karya sastra seorang pengarang mengungkapkan

problem kehidupan yang pengarang sendiri ikut beradaa di dalamnya. Karya sastra

menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh

terhadap masyarakat. Bahkan,sering kali masyarakat sangat menentukan nilai karya

sastra yang hidup di suatu zaman,sementara sastrawan sendiri yang merupakan angota

masyarakat tidak dapat mengelak dari adanya pengaruh yang di terimanya dari

lingkungan yang membesarkannya dan sekaligus membentuknya (Semi,2012:19).

Sosiologi sastra adalah suatu pendekatan terhadap sastra dengan mengikut

sertakan atau mempertimbangkan segi-segi luar(faktor eksternal) karya sastra seperti

18

kondisi sosial,politik,ideologi,budaya,sejarah, dan ekonomi di dalam lingkup

analisisnya dengan maksud untuk mendapatkan pemahaman yang selengkap-

lengkapnya terhadap sastra sebagai gejala sosial. Secara singkat dapat di jelaskan

bahwa sosiologi adalah telaah yang objektif dan telaah tentang manusia dalam

masyarakat,telaah tentang lembaga sosial serta proses-prosessosial termasuk

perubahan-perubahan sosial. Sosiologi mencoba mencaritahu bagaimana masyarakat

itu tetap ada (Wardhana,2011:4-5)

Menurut Kasnadidan Sutejo, sosiologi merupakan ilmu yang mengkaji

segalaaspekkehidupan sosial manusia,yang meliputi masalah

perekonomian,politik,keagamaan,ideologi dan aspek yang lain. Sosiologi mempelajari

tumbuh dan berkembangnya manusia. Mempelajari proses-proses dalam kehidupan

masyarakat yang menyangkut masalah ekonomi,politik,budaya,agama, dan lain-lain,

kita mendapatkan bagaimana manusia berhubungan dengan manusia, manusia dengan

lingkunganya, dan bagaimana proses pembudayaanya(2010:56-57).

Menurut Kasnadi dan Sutejo(2010: 58-59), dalam sebuah kajianhal penting yang

harus di perhatikan adanya wujud karya sastra sebagai teks yang di kaji, oleh karna

itudalam sosiologi sastra perlu dikemukan wujud karya sastra yang dapat dijadikan

objek kajian.Objek kajian sosiologi satra dibagi menjadi tiga bidang kajian, yakni

(1)satra tulis, (2)sastra lisan, (3)kesenian.Sastra tulis berupa karya sastra yang

diwujudkan dalam bentuk cetakan (tulisan). Wujud sastra tulis dapat berupa puisi,

novel, novelet, prosa liris, drama.Sosiologi sastra pertama bergerak dari teori-teori

sosiologi untuk digunakan meganalisis karya sastra.Kedua analisis bermula dari

sebuah karya sastra untuk dicocokan dengan persoalan sosial yang ada di masyarakat.

19

Menurut Rene Wellek dan Austin Warren (dalam Kasnadi dan Sutedjo),

mengklasifikasikan sosiologi sastra meliputi :

a. Sosiologi pengarang

Masalah yang berkaitan dengan sosiologi pengarang adalah pengarang, status

sosial pengarang, umur pengarang, tempat kelahiran penagrang, profesi

pengarang, ideologi pengarang, latar belakang pengarang, ekonomi pengarang,

agama dan keyakinan pengarang, tempat tinggal pengarang, dan kesenangan

pengarang.

b. Sosiologi karya sastra

Masalah yang berkaitan dengan sosiologi karya sastra adalah isi karya sastra,

tujuan karya sastra, dan hal-hal yang tersirat dalam karya sastra dan yang

berkaitan dengan masalah sosial. Sosiolgi karya sastra mencangkup : (1) Aspek

sosial (sosial ekonomi, sosial politik, sosial pemdidikan, sosial religi, sosial

budaya, sosial kemsyarakatan); (2) Aspek adat istiadat (tentang perkawinan,

tentang “tingkeban” tentang perawatan bayi, tentang keamatian, tentang sabung

ayam, tentang judi, tentang pemujaan, dan sebagainya);(3) Aspek religious

(Keimanan, ketaqwaan, ibadah, hukum, muamalah);(4) Aspek etika (pergaulan

bebas antara laki-laki dan wanita, pertemanan, bertamu, berkunjung); (5) Aspek

Moral (pelacuran, pemerasan, penindasan, perkosaan, dermawan, penolong, kasih

sayang, korupsi, ketabahan); (6) Aspek nilai (nilai kepahlawanan, nilai religi, nilai

persahabatan, nilai moral, nilai sosial, nilai perjuangan, nilai diktatik)

20

c. Sosiologi Pembaca

Masalah yang diabahas dalam sosiologi pembaca ini adalah masalah pembaca

dan dampak sosial karya sastra terhadap masyarakatnya. Dalam kaitannya dengan

sosiologi pembaca ini dapat dikaji dari (jenis kelamin pembaca, umur pembaca,

pekerjaan pembaca, kegemaran pembaca, status sosial pembaca,profesi pembaca,

tendensi pembaca) (Kasnadi dan Sutejo: 2010: 58-59).

Sosiologi sastra adalah studi ilmiah mengenai manusia dalam masyarakat.

Studi mengenai lembaga-lembaga dan proses-proses sosial. Selanjutnya dikatakan

bahwa sosiologi berusaha menjawab pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat

dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya, dan mengapa masyarakat bertahan hidup

(Faruk, 2012: 1-2). Menurut Mayor Polak (1974: 5-6) sosiologi adalah suatu ilmu

pengetahuan yang mempelajari msyarakat sebagai keseluruhan, yakni antar

hubungan diantara manusia dengan manusia, manusia dengan kelompok, dan

kelompok dengan kelompok baik formil maupunmateriil.

D. Konsep Mistik Kejawen

Unsur mistik seringakli merasuk dalam karya seorang pengarang. Maka,

pengkajian ini mencoba melihat sejauh mana posisi unsur mistik kejawen dalam

kelima cerkak karya Nono Warnono yang tergabung dalam ACMJP.

1. Mistik

Mistik adalah hal-hal gaib yang tidak terjangkau akal manusia, tetapi ada

yang nyata. Para antropolog dan sosiolog mengartikan mistik sebagai subsistem

yang ada pada hampir semua sistem religi untuk memenuhi hasrat manusia

mengalami dan merasakan kebersatuan dengan Tuhan(Suwardi,2006;3-4). Mistik

21

merupakan keyakinan yang hidup dalam pikiran kolektif masyarakat. Alam

kolektif akan kekal abadi, meskipun masyarakat telah berganti generasi.

Demikian pula dengan mistik orang Jawa. Keyakinan itu telah hidup bersamaan

dengan lahirnya masyarakat Jawa dan diturunkan dari generasi ke generasi (

Yana, 2010:25).Jawa dipandang dari sudut pemikiran memiliki khasanah budaya

yang luas, selain budaya yang luas filsafat kehidupan jawa juga sangat luas,

bahkan Jawa bisa dikatakan bukan lagi wilayah geografis tetapi Jawa adalah

filsafat.

Terdapat lima ciri-ciri mistik yaitu :

1. Misitisisme adalah persoalan praktek

2. Secara keseluruhan, mistisisme adalah aktifitas spiritual

3. Jalan dan metode mistisisme adalah cinta dan kasih sayang

4. Mistisisme menghasilkan pengalaman psikologis yang nyata

5. Mistisisme sejati tidak mementingkan diri sendiri

(Damarjati, 2006;12)

2. Kejawen

Kejawen adalah sebuah kepercayaan atau barangkali boleh dikatakan agama

yang terutama dianut oleh masyarakat suku Jawa dan suku bangsa lainnya yang

menetap di Pulau Jawa. Penanaman “kejawen” bersifat umum, biasanya karena

bahasa pengantar ibadahnya menggunakan bahsa Jawa. Kejawen, dalam opini

umum, berisikan tentang seni, budaya, tradisi, ritual sikap, serta filosofi orang-

orang jawa. Penganut ajaran kejawen biasanya tidak menganggap ajarannya

sebagai agama dalam pengertian seperti agama monoteistik (Islam, Kristen,

Katolik, Hindu, dan Budha) tetapi lebih melihatnya sebagai seperangkat cara

22

pandang dan nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlah laku (mirip dengan

“ibadah”)(Petir, 20-21;2014)

Kebudayaan spiritual Jawa yang disebut kejawen memiliki ciri-ciri umum

antara lain :

a. Orang Jawa percaya bahwa hidup di dunia ini sudah diatur oleh Tuhan

yang Mahakuasa.

b. Orang Jawa percaya pada kekuatan gaib pada benda-benda seperti keris,

kereta istana, dan gamelan.

c. Orang Jawa percaya terhadap roh leluhur dan roh halus, yang berada di

sekitar tempat tinggal mereka(Kodiran,1971)

3. Mistik Kejawen

Mistik kejawen adalah pelaku budaya Jawa yang berusaha mendekatkan diri

pada Tuhan. Hal ini berarti, mistik kejawen, kepercayaan dan kebatinan adalah

perwujudan dari salah satu laku yang dilaksanakan sebuah aliran kebatinan dan

kepercayaan, dengan kata lain, mistik merupakan bagian dari jurus kebatinan

dalam praktik kultural(Suwardi, 2006:39).

Bentuk-bentuk mistik kejawen lebih sering diaplikasikan dalam kehidupan

sehari-hari, misalnya keyakinan tentang keblatpapat lima pancer, sebuah

keyakinan tentang saudara ghaib. Kosmologi ini merupakan bentuk alam yang

dimanifestasikan dalam anatomi tubuh manusia. Alam kosmis ini dibatasi oleh

keblat papat lima pancer, yakni arah wetan, kidul, kulon dan lor serta pancer

(tengah). Tengah adalah kosmis manusia jawa. Arah kiblat ini juga terkait

dengan perjalanan hidup manusia, yang hidupnya ditemani juga oleh kadang

papat lima pancer. Kadang papat, yaitu kawah, getih, puser, dan adhi ari-ari.

sedangkan pancer (ego atau manusia itu sendiri). Letak kadang papat ini sejalan

23

dengan arah kiblat manusia juga. Kawah berwarna putih berada disebelah timur

(wetan,witan) ini mengawali kelahiran, dia pembuka jalan, getih berwarna merah

di sebelah selatan (kidul), puser berwarna hitam disebelah barat (kulon) dan adhi

ari-ari berwarna kuning berada di arah utara (lor). Yang ditengah adalah pancer

yaitu Mar dan Marti yang keluar lewat marga hina secara

lahiriah(Suwardi,2006;54)

Penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa mistik harus dipahami melalui

pemahaman batin yang dalam karena praktik mistik kejawen tidak bisa

dilepaskan dari kebatinan. Media batin inilah yang membuat mistik dapat

dipahami siapapun tanpa harus memandang ras.

4. Konsep Laku Ritual dalam Kejawen

Dalam literatur dan kaidah kebudayaan Jawa tidak ditemukan adanya pakem

dalam kalimat doa serta tata cara baku menyembah Tuhan, karena Kejawen

bukanlah agama maka dalam kejawen yang ada hanyalah laku spiritual dalam

tataran batiniah dan ritual dalam tataran lahiriahnya(Petir, 2014:51). Adapun

bentuk dari laku ritual kejawen adalah sebagai berikut :

1) Mantra

Mantra adalah teknologi kuno. Mantra bukanlah doa, namun sejenis

senjata atau alat berwujud kata-kata atau kalimat sebagai teknologi spiritual

tingkat tinggi hasil karya leluhur nusantara di masa silam. Mantra dibuat

melalui tahapan spiritual yang tidak mudah (Petir, 2014:54). Secara garis

besar, ada dua jenis mantra yaitu :

a. Mantra menurut fungsinya

24

Mantra ini hanya dapat digunakan untuk keperluan tertentu, misalnya

menaklukan musuh di medan perang, atau diperuntukan sebagai alat medis

sebagai mantra penyembuhan(Petir, 2014:54).

b. Mantra menurut sifatnya

Mantra jenis ini dibagi lagi menjadi dua jenis lagi, yaitu :

1. Mantra yang hanya dapat bekerja jika digunakan untuk hal-hal

yang sifatnya baik saja. Mantra jenis ini tidak dapat

disalahgunakan untuk hal-hal buruk oleh si pemakai. Mantra jenis

ini sering digunakan di lingkungan keraton sebagai salah satu

tradisi turun-temurun(Petir, 2014:54).

2. Mantra yang bersifat umum

Mantra jenis ini bebas digunakan untuk acara dann keperluan apa

saja tergantung kemauan si pemakai. Ibarat pisau, mantra ini dapat

digunakan sebagai alat bedah operasi, alat memasak, atau

disalahgunakan untuk mencelakai orang, namun, mantra jenis ini,

setiap penyalahgunaannya, pasti memiliki konsekuensi yang berat

berupa karma, atau hukuman Tuhan yang dirasakan langsung

maupun kelak setelah ajal(Petir, 2014:54)

2) Sesaji/sajen

Maksud sesaji sebenarnya merupakan suatu upaya harmonisasi melalui

jalan spiritual yang kreatif untuk menyelaraskan dan mengubungkan daya aura

magis manusia dengan seluruh ciptaan Tuhan yang saling berdampingan di

dunia ini, khususnya kekuatan alam dan makhluk gaib. Dengan kata lain,

sesaji merupakan harmonisasi manusia dalam dimensi horisontal terhadap

25

makhluk sesama ciptaan Tuhan. Harmonisasi diartikan sebagai kesadaran

manusia(Petir, 2014:55).

F. Metode dan Teknik Pengumpulan Data

a. Bentuk Penelitian

Bentuk penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian sastra.

Penelitian sastra adalah suatu usaha untuk mengungkapkan fakta literer berdasarkan

realita literer (realita empiris yang ada di masyarakat) untuk dikembangkan dan diuji

kebenarannya dengan cara menganalisis data-data literer yang telah

disimpulkan(Sangidu,2004:12). Penelitian sastra dalam penelitian ini termasuk ke

dalam jenis penelitian deskriptif kualitatif, karena penelitian ini bersifat alamiah dan

digunakan untuk memahami fenomena apa yang dialami oleh subyek penelitian,

misalnya pelaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll, dengan cara deskriptif dalam

bentuk kata-kata dan bahasa (Lexy J. Moleong, 2010:6).

b. Sumber Data dan Data

a) Sumber Data

Sumber data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah lima cerkak

dalam antologi cerkak karya Nono Warnono yang berjudul Malaikat Jubah

Putih,yang diterbitkan oleh Azzagrafika di kota Jogjakarta pada tahun 2014. Adapun

kelima cerkak tersebut ialah :

1. Malaikat Jubah Putih

2. Tanggapan Ing Cungkup Dhompoh

3. Dhemit Gunung Pegat Mantu

4. Tendha Sanga Wolu

5. Ula Memba-memba

26

juga data yang berasal dari informan yaitu Nono Warnono sebagi pengarang yang

berupa hasil wawancara, Sumber data sekunder adalah berasal dari buku-buku

referensi sebagai penunjang penelitian, seperti yang tampak pada daftar pustaka

penelitian ini.

b) Data

Data yang disajikan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder.

Data primer adalah data pokok dalam penelitian ini terdiri dari data teks lima cerkak

dalam ACMJP karya Nono Warnono dan unsur-unsur intrinsik meliputi fakta-fakta

cerita (alur, tema, karakter, latar belakang) dan sarana-sarana cerita (judul, sudut

pandang, gaya dan tone, simbolisme, ironi) serta hasil wawancara dengan pengarang

yaitu Nono Warnono yang bertempat tinggal di perumahan Gajah Indah Village Blok

O Gang VII No. 18-19 Baureno Bojonegoro. Data sekunder adalah data pelaporan

kegiatan teknis, biografi, buku-buku acuan, artikel, foto, serta penelitian lain yang

relevan dengan objek penelitian ini.

c. Pengumpulan Data

1. Wawancara

Wawancara merupakan alat re-cheking atau pembuktian terhadap informasi

atau keterangan yang diperoleh sebelumnya.Tehnik wawancara yang digunakan

dalam penelitian kualitatif adalah wawancara mendalam. Wawancara mendalam

(in–depth interview) adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan

penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara

dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa

menggunakan pedoman (guide) wawancara, di mana pewawancara dan informan

terlibat dalam kehidupan interaksi sosial yang relatif lama.

27

Beberapa hal yang perlu diperhatikan seorang peneliti saat mewawancarai

responden adalah intonasi suara, kecepatan berbicara, sensitifitas pertanyaan,

kontak mata, dan kepekaan nonverbal.Dalam mencari informasi, peneliti

melakukan dua jenis wawancara, yaitu autoanamnesa (wawancara yang

dilakukan dengan subjek atau responden) dan aloanamnesa (wawancara dengan

keluarga responden). Beberapa tips saat melakukan wawancara adalah mulai

dengan pertanyaan yang mudah, mulai dengan informasi fakta, hindari

pertanyaan multiple, jangan menanyakan pertanyaan pribadi sebelum building

raport, ulang kembali jawaban untuk klarifikasi, berikan kesan positif, dan

kontrol emosi negatif.

2. Content Analysis

Content analysis atau analisis isi merupakan metodologi yang digunakan

dalam penelitian dengan cara menganalisis data yang berbentuk tertulis atau

berupa buku, dengan kita membaca buku tersebut. Tehnik analisis isi yang

digunakan dalam penelitian kualitatif adalah tehnik menganalisis isi dari objek

penelitian yang berupa data teks, serta data-data tulis lainnya yang berhubungan

dengan tema objek sebagai sumber referensi, untuk menyusun landasan teori

dan sebagai alat menganalisis data dari objek tertulis tersebut.

G. Sistematika Penulisan

Dalam penyampaian hasil penelitian terhadap teks cerkak karya Nono

wranono yang berjudul Malaikat Jubah Putih, Dhemit Gunung Pegat Mantu,

Tanggapan Ing Cungkup Dhompoh, Tendha Sanga Wolu, dan Ula Memba-

memba penulis menggunakan sistematika sesuai dengan Pedoman penulisan

28

Skripsi/Tugas Akhir Fakultas Ilmu Budaya tahun 2013. Adapun sistematika

kajian ini sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Pendahuluan bermaksud mengantar pembaca ke dalam pembahasan suatu

masalah. Membaca bagian pendahuluan, pembaca sudah mendapat gambaran

tentang pokok pembahasan dan gambaran umum tentang penyajiannya.

Pendahuluan hendaklah dapat merangsang dan memudahkan pembaca memahami

seluruh karya ilmiah itu. Bagian laporan penelitian berisi :

a. Latar belakang masalah

Bagian ini berisi penalaran pentingnya pembahasan masalah atau alasan yang

mendorong pemilihan topik.

b. Perumusan masalah

Bagian ini menjelaskan tentang permasalahan pokok yang akan dibahas

secara jelas dan eksplisit dalam bentuk pertanyaan.

c. Tujuan pembahasan

Bagian ini berisi tentang upaya pokok yang akan dikerjakan di dalam

pemecahan masalah , dan garis besar hasil yang hendak dicapai.

d. Pembatasan masalah

Bagian ini berisi pembatasan masalah yang dibahas agar tidak membias dan

memudahkan pembahasan serta menghindari pendiskripsian yang meluas.

e. Landasan Teori

Bagian ini berisi prinsip-prinsip teori yang dapat menggambarkan langkah

dan arah analisis.

f. Sumber data

Bagian ini berisi tentang

29

g. Metode dan teknik

Bagian ini berisi metode apa yang digunakan dalam menganalisis masalah,

dan teknik yang digunakan dalam pengumpulan data.

h. Sistematika penyajian

Bagian ini berisi urutan hal-hal yang dimuat di dalam karya ilmiah , mulai

dari pendahuluan sampai dengan daftar pustaka.