Upload
others
View
2
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) Sering kita mendengar bahkan mungkin
kita sudah tidak asing lagi tentang suatu tindak pidana yang erat sekali
hubungannya dengan yang namanya pejabat pemerintah atau Pegawai Negeri
Sipil (PNS) yakni korupsi dan kenapa penulis bilang erat sekali hubungannya
dengan pejabat pemerintah atau PNS karena merekalah yang mampu atau
memiliki kemampuan melaksanakan tindak pidana korupsi.
Korupsi menurut hukum positif yakni adalah suatu perbuatan yang di
lakukan oleh pejabat atau seseorang untuk memperkaya diri sendiri atau
kelompok atau korporasi. yang dapat merugikan keuangan atau perokonimian
negara. Di Indonesia cakupan korupsi memanglah sangat luas dibandingkan
dengan negara - negara maju lainnya selain itu juga penerapan delik korupsi di
Indonesia bukan hanya mengacu kepada hukum formil saja tetapi juga hukum
secara materiel sehingga nilai-nilai atau norma-norma yang hidup di masyarakat
(living law) juga bisa di terapkan sepanjang itu melanggar rasa keadilan
masyarakat.
Tindak pidana korupsi seakan memiliki perlakuan khusus tidak seperti
tindak pidana yang lain seperti halnya pencurian atau perzinahan yang banyak
sekali terjadi dikalangan masyarakat, karena korupsi masuk dalam kategori
kejahatan luar biasa (extra ordenary crime) sehingga perlu adanya aturan hukum
2
yang mampu menembus segala bentuk modus operandi sehingga keuangan atau
perekonomian negara tidak dirugikan.
Namun semangat untuk memberantas korupsi terkadang tidak diimbangi
dengan kapasitas atau kualitas seorang pejabat publik maupun aparat penegak
hukum kita,mengingat masih banyak sekali tindak pidana korupsi di indonesia
termasuk tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh para penagak hukum itu
sendiri,sehingga sering kali muncul bahasa bahwa hukum indonesia itu lancip
kebawah dan tumpul keatas. Dalam hal ini menurut penulis bukan kemudian
instrumen hukumnya yang lemah tetapi aparatur penegaknya lah yang perlu di
perbaiki.
Korupsi dilihat sebagai suatu hal yang biasa dan umum bahkan beberapa
kelompok masyarakat yang seolah-olah semacam suatu hal yang pasti dan sangat
wajar semisal ada bahasa "seorang Polisi itu gajinya sedikit tetapi ceperannya
yang banyak" hal ini pada dasarnya adalah suatu hal yang salah tapi di anggap
suatu hal yang wajar dan sangat biasa.
Dalam hal ini penulis akan mengkaji terkait dengan Putusan Mahkamah
Agung Nomor 2088 K/PID.SUS/2012 tentang Tindak Pidana Korupsi yang mana
dalam hal ini menurut penulis ada hal – hal yang di kesampingkan oleh seorang
hakim agung dalam putusan tingkat kasasi sebagai judex juris yang bersifat final
dan mengikat.
Putusan Mahkamah Agung yang tidak melihat mens rea sebagai unsur utama
dalam hal orang dikatakan melakukan tindak pidana, selain itu juga menurut
3
penulis ada alasan yang bisa dijadikan alasan pembenar oleh terdakwa Drg.Cholil
M.Kes melakukan tindak pidana korupsi sesuai dengan rumusan delik pidana
yang tertuang dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 adalah untuk alasan kemanusian seperti
yang tertuang dalam pasal 28H ayat (1) terkait dengan Hak warga negara untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan.
Karena untuk memberikan pelayanan semaksimal mungkin kepada pasien
RSUD H.Hasan Basry yang dipimpin oleh Drg.Cholil M.Kes melakukan
perjanjian hutang piutang kepada beberapa distributor obat guna memenuhi
kebutuhan pasien agar pasien tidak terlantar.
Pada tahun 2008 RSUD Brigjend. H. Hasan Basry Kandangan dalam
Dokumen Pelaksanaan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (DPA-SKPD)
Kabupaten Hulu Sungai Selatan No. 1.02.02.26.19.5.2 tanggal 2 Januari 2008
yang sumber dananya bersumber dari APBD II (Dana Alokasi Umum) diberikan
anggaran untuk pengadaan obat-obatan Rumah Sakit Tahun Anggaran 2008
dengan jenis pekerjaan Kegiatan Pengadaan Obat Pelengkap untuk mengisi stok
obat pelengkap Rumah Sakit pada Rumah Sakit Brigjend. H. Hasan Basry
Kandangan TA 2008, dan nilai kegiatannya sebesar Rp. 1.265.350.000,- (satu
milyar dua ratus enam puluh lima juta tiga ratus lima puluh ribu rupiah)
Setelah melakukan pencairan dana dari APBD II (Dana Alokasi Umum )
Drg.Cholil M.Kes selaku Direktur RSUD Brigjend H.Hasan Basry
mempergunakan uang tersebut untuk membayar piutang kepada distributor
4
terdahulu dan berjanji akan melunasi kekurangan biaya kepada Distrubutor yang
telah menandatangani kontrak yakni PT. Antasan Urip sesuai dengan DPA-
SKPD pada waktu yang akan datang namun dalam laporan yang dilakukan oleh
RSUD Brigjend H.Hasan Basry bahwa Obat obatan tersebut telah lunas padahal
dana dan pengadaan obat obatan oleh PT.Antasan Urip baru senilai 97 juta atau
sekitar 7 % dari dana yang seharusnya.
Dari sini kemudian Drg.Cholil M.Kes selaku Direktur dianggap melakukan
penyalahgunaan wewenang atau perbuatan melawan hukum untuk memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau korporasi dan dapat merugikan keuangan atau
perekonomian negara.dalam hal ini terdakwa sama sekali tidak memiliki niat
untuk menguntungkan diri sendiri tetapi merasa bertanggung jawab terhadap
piutang yang dilakukannya atas nama RSUD yang mana obat – obatannya sudah
digunakan oleh pasien .
Dalam kasus ini negara sama sekali tidak dirugikan dalam hal keuangan atau
perekonomian karena pengembalian yang dilakukan oleh RSUD Brigjend
H.Hasan basry kepada negara jauh lebih banyak dibandingkan dana yang
dikucurkan oleh APBD II (Dana Alokasi Umum) dan bisa dikatakan negara
untung dan masuk dalam pendapatan negara atas RSUD Brigjend H.Hasan
Basry.
Jika Drg.Cholil M.Kes tidak melakukan hal diatas maka pasien akan
terlantar dan hal ini bertentangan dengan pasal 28H ayat (1) Undang – undang
Dasar 1945 dan disisi lain RSUD tidak mampu melakukan pengembalian kepada
5
negara karena uangnya digunakan untuk membayar piutang kepada Distributor
Obat – obatan diluar kontrak dengan PT.Antasan Urip.
Selain mengutamakan kepastian hukum harusnya memperhatikan rasa
keadilan dimasyarakat,memang walaupun tindakan yang dilakukan oleh
terdakwa Drg.Cholil M.kes adalah tindak pidana tetapi menurut penulis rasa
keadilan dimasyarakat harus di utamakan sesuai dengan tujuan hukum yakni ada
tiga (3) keadilan,kemanfaatan serta kepastian hukum itu sendiri, memang ketika
kita mengacu kepada pasal 1 KUHP yakni :
“Suatu perbuatan tidak dapat dipidana ,kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan
perundang – undangan pidana yang telah ada”
Hal ini secara tidak langsung dimaksudkan bahwa apabila ada aturan
perundang–undangan yang mengatur terkait dengan suatu perbuatan dan itu
dikatakan sebagai tindak pidana maka sah apabila orang tersebut di jatuhi
pidana,namun apabila suatu tindak pidana terjadi karena alasan untuk
kemaslahatan orang banyak maka hal tersebut bisa dijadikan sebagai alasan
pembenar, atau alasan pemaaf, karena terjadinya suatu tindak pidana karena
adanya undang – undang lain yang mengatur,sebagai contoh seseorang yang di
berikan mandat oleh undang – undang untuk mengeksekusi hukuman mati secara
tidak langsung dia melakukan tindak pidana pembunuhan namun tidak dapat
dipidana karena hal tersebut adalah mendapat legitimasi dari undang –
undang.sama halnya dengan kasus ini yakni terdapat pada pasal 51 Undang-
Undang Nomor 29 Tahun 2009 tentang praktik kedokteran poin (d) “melakukan
6
pertolongan darurat atas dasar peri kemanusiaan, kecuali bila dia yakin ada orang
lain yang bertugas dan mampu melakukannya” disini dalam hal seorang dokter
melakukan kewajibannya untuk melakukan tindakan darurat tentu harus di
imbangi dengan sarana prassarana termasuk obat – obatan yang harus di berikan
kepada pasien agar pasien cepat sembuh dan tidak terjadi hal yang lebih buruk
lagi.
Apabila mengacu pada pasal 4 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009
tentang Rumah Sakit yang berbunyi “Rumah sakit mempunyai tugas memberikan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna” dalam hal memberikan
pelayanan kesehatan secara paripurna tentu harus didukung oleh obat–obatan
yang lengkap dan rumah sakit harus melakukan pengadaan obat pelengkap guna
menunjang tugasnya.
Dalam hal ini cukup beralasan apabila terdakwa sebagai direktur RSUD
melakukan piutang kepada distributor obat pelengkap guna memberikan
pelayanan kesehatan kepada pasien secara paripurna,dan hal tersebut dirasa
sangat penting dan urgen untuk dilakukan dan apabila mengacu pada pasal 1338
KUH Perdata yang menentukan bahwa :
“Setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi
mereka yang membuatnya”
Jelas bahwa apa bila RSUD Brigjend H.Hasan Basry tidak melakukan
pembayaran kepada pihak penyedia barang yakni distributor obat pelengkap
maka rumah sakit dikatakan wanprestasi, sehingga sangat beralasan apabila
7
terdakwa melakukan pengalihan dana dari PT. Antasan Urip kepada Distributor
lain diluar kontrak, namun tidak berarti kemudian wanprestasi terhadap
PT.Antasan Urip karena terdakwa yang bergerak atas nama RSUD Brigjend
H.Hasan Basry menjanjikan akan melaksanakan pelunasan di kemudian hari
dengan konsekuensi PT. Antasan Urip belum mengirim Obat pelengkap kepada
RSUD Brigjend H.Hasan Basry Kabupaten Hulu sungai Kandangan.
Melihat posisi kasus yang diuraikan penulis diatas maka penulis ingin
mengkaji lebih dalam terkait dengan putusan Mahkamah Agung 2088
K/PID.SUS/2012 tentang tindak pidana korupsi ini menurut hukum positif di
Indonesia serta sejauh mana alasan pembenar dan atau alasan pemaaf atas dasar
kemanusiaan dapat di terapkan dalam suatu tindak pidana khususnya tindak
pidana korupsi yang selama ini di anggap sebagai tindak pidana yang harus
dihukum seberat - beratnya.
Maka menurut penulis Ada sesuatu yang perlu dikaji kembali saat penulis
membaca putusan Mahkamah Agung No. 2088 K/Pid.Sus/2012 ini. Karena di
dalam perkara korupsi ini secara tegas dalam pertimbangannya Mahkamah
Agung berpendapat bahwa tidak terdapat niat jahat untuk melakukan tindak
pidana pada Terdakwa. Selain itu apa yang dilakukan Terdakwa dikatakan oleh
Mahkamah Agung terbukti bermanfaat, serta tidak Terdakwa (terbukti) sama
sekali menikmati/memperoleh keuntungan dari perbuatannya. Akan tetapi,
Mahkamah Agung tetap memandang bahwa perbuatan terdakwa terbukti
merupakan korupsi (Pasal 3 Undang-Undang 31 Tahun 1999) dan dijatuhi pidana
8
1 tahun (tanpa denda). Dengan putusan yang demikian, apakah artinya asas
dalam hukum pidana yang berbunyi geen straf zonder schuld.
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan dalam latar belakang diatas, maka
penulis terdorong untuk membuat suatu penulisan hukum dengan judul “Analisis
Putusan Mahkamah Agung Nomor 2088 K / PID.SUS / 2012 tentang Tindak
Pidana Korupsi Ditinjau Dari Azas Alasan Pembenar Yang Dilakukan Oleh
Terpidana Korupsi”.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Penerapan Unsur Mens Rea Di Dalam Putusan Mahkamah Agung
Nomor 2088 K/PID.SUS/2012 Tentang Tindak Pidana Korupsi ?
2. Bagaimana Penerapan Alasan Pembenar Dalam Putusan Mahkamah Agung
Nomor 2088 K/Pid.Sus/2012 Tentang Tindak Pidana Korupsi ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk Mengetahui Bagaimana Penggunaan Untuk Penerapan Unsur Mens Rea
Di Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 2088 K/PID.SUS/2012 Tentang
Tindak Pidana Korupsi.
2. Untuk Mengetahui Sejauh Mana Alasan Kemanusiaan Bisa Di Terapkan
Sebagai Alasan Pembenar Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 2088
K/PID.SUS/2012
9
D. Manfaat Penelitian
Penulisan hukum ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk kepentingan-
kepentingan sebagai berikut:
1. Penulisan hukum ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran
bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya terkait dengan penerapan alasan
pembenar dalam kasus pidana yang tidak di sertai dengan keadaan batin atau
niat (mens rea) pelaku.
2. Penulisan hukum ini diharapkan dapat berguna dalam memberikan masukan
bagi pihak-pihak yang memerlukannya yaitu bagi pemerintah dan instansi
penegak hukum khususnya Hakim sehingga dapat dijadikan bahan
pertimbangan dalam memeriksa dan memutus perkara pidana khususnya
tindak pidana korupsi di dalam persidangan sehingga dapat tercipta rasa
keadilan dimasyarakat.
E. Kegunaan Penelitian
1. Bagi Penulis
Berguna untuk menambah pengetahuan, wawasan dan pemahaman tentang
penerapan alasan pembenar yang berangkat dari rasa kemanusian, guna
menciptakan rasa keadilan di dalam kehidupan bermasyarakat
2. Bagi Masyarakat
Penulisan hukum ini diharapkan dapat memberikan informasi serta
pengetahuan kepada masyarakat khususnya masyarakat awam tentang hak
yang diberikan negara terhadap mereka sebagai hak asasi yang tidak boleh
10
dikurangi dalam keadaan apapun.dan merupakan hal utama yang harus
diberikan negara terhadap warga negaranya.
3. Bagi Instansi penegak hukum
Penulisan hukum ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi instansi
penegak hukum khususnya hakim yang mana dalam hal ini pemegang
kekuasaan atas kewenangannya dalam memutus perkara hukum terutama
kasus pidana sesuai amanah dari undang-undang sehingga segala macam
putusan yang di tetapkan oleh majelis hakim dapat diterima serta mampu
mencerminkan rasa keadilan dimasyarakat.
4. Bagi Pemerintah
Penulisan hukum ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pemerintah
khususnya dewan legislatif agar lebih konkret dan tidak ambigu dalam
membuat peraturan perundang-undangan sehingga tidak terjadi pertentangan
dan benturan antara Undang-Undang yang satu dengan yang lain,sehingga
proses penegakan hukum dapat berjalan dengan sebagai mana mestinya.
F. Metode Penelitian
Metode penelitian menjadi hal yang penting untuk memberikan gambaran
sistematika berfikir sehingga penulisan skripsi ini dapat dipertanggung
jawabkan secara ilmiah. Adapun penulisan skripsi ini menggunakan metode
sebagai berikut:
11
1. Metode Pendekatan
Penulis menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yaitu
pendekatan yang mempunyai maksud dan tujuan untuk mengkaji
perundang-undangan dan peraturan yang berlaku dan juga kajian teoritis
dari literatur yang ada yang kemudian dihubungkan dengan permasalahan
yang menjadi pokok pembahasan yang dibahas di dalam penulisan skripsi
ini. Penulisan hukum ini menganalisa peraturan perundang-undangan dan
juga kajian teoritis dari literatur yang berkaitan dengan penerapan alasan
pembenar dengan dasar kemanusiaan terhadap kasus korupsi yang mana
dalam penulisan skripsi ini penulis mengambil Putusan Mahkamah Agung
Nomor 2088 K/Pid.sus/2012 terkait kasus Tindak Pidana Korupsi yang
dilakukan oleh terdakwa Drg.Cholil M.Kes selaku Direktur RSUD
Brigjend H,Hasan Basry Kabupaten Hulu sungai – kandangan.
2. Jenis Bahan Hukum
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang diperoleh dari hukum
positif atau peraturan perundang-undangan. Bahan hukum primer yang
digunakan antara lain yaitu:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
3. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
4. Undang -Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
12
5. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana
Korupsi
b. Bahan Hukum Sekunder
Sumber bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang mendukung
bahan hukum primer yang diperoleh dengan cara studi dokumen. Yang
dimaksud studi dokumen yaitu mempelajari permasalahan melalui buku-
buku, literature jurnal hukum, internet, media massa, makalah dan
bahan-bahan lainnya yang berkaitan dengan materi penulisan.
c. Bahan Hukum Tersier
Sumber bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang dapat
memberikan petunjuk, informasi dan penjelasan terhadap bahan hukum
primer dan sekunder, diperoleh dari Ensiklopedia, kamus, dan lain-lain
untuk mengetahui pengertian secara baku dari suatu istilah yang terkait
dengan masalah yang dibahas oleh penulis dalam penulisan hukum.
3. Tenik Pengumpulan Bahan Hukum
Pada penulisan hukum ini teknik pengumpulan bahan hukum yang
digunakan oleh penulis untuk menggali dan mengumpulkan data yang
dibutuhkan yaitu melalui studi dokumen dan studi pustaka.
4. Teknik Analisa Bahan Hukum
Analisis terhadap bahan-bahan hukum dilakukan dengan menggunakan
metode analisis deskriptif yaitu menemukan permasalahan yang dijumpai
dalam studi kepustakaan yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi atau
13
tindak pidana lain yang tidak disertai dengan mens rea,kemudian
memahami permasalahan yang sesungguhnya serta tindakan apa yang
harus dilakukan sehubungan dengan aturan-aturan hukum yang ada dan
kemudian melakukan penarikan kesimpulan guna memberikan pemecahan
masalah yang dijumpai sehingga dapat disusun konsep dalam bentuk saran
yang relevan dengan tujuan penelitian.
G. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini diuraikan tentang garis besar permasalahan dari keseluruhan
penulisan hukum ini yang memuat pendahuluan yaitu terdiri dari latar
belakang masalah, permasalahan yang mendasari pemilihan judul penelitian,
tujuan dan manfaat yang ingin dicapai, kegunaan, metode penulisan hukum,
dan sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Merupakan bab yang didalamnya akan dibahas dan disajikan kajian teoritis
(pustaka) sebagai sumber dalam menganalisis permasalahan yang diangkat
oleh penulis yaitu tentang Analisis Yuridish Normatif alasan pembenar dalam
putusan Mahkamah Agung nomor 2088 K / PID.SUS / 2012 tentang Tindak
Pidana Korupsi sehingga mendapatkan analisis hukum yang benar dan tepat
sesuai dengan tema penelitian.
14
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini penulis akan memaparkan data yang telah dikumpulkan sebagai
hasil dari penelitian untuk menjadi sumber utama dalam pembahasan skripsi
ini yang akan membahas dan menganalisa tentang permasalahan yang
diangkat oleh penulis dalam bab sebelumnya.
BAB IV PENUTUP
Bab ini merupakan bagian terakhir dari hasil penelitian yang memuat
kesimpulan dan saran atas setiap permasalahan yang telah dikemukakan.