Upload
leliem
View
213
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konflik berlatar agama telah kerap kali muncul dan mengancam kesatuan
bangsa Indonesia. The Wahid Institute melaporkan bahwa jumlah konflik
berlatar agama pada tahun 2014 masih tergolong tinggi meskipun secara
kuantitas telah mengalami penurunan dari tahun sebelumnya. Namun hasil
tersebut diambil dari pemantauan 18 wilayah saja, yang berarti bahwa masih ada
kemungkinan peristiwa konflik di wilayah lain yang tidak terpantau oleh
lembaga ini maupun oleh coverage media. Salah satu dari 18 wilayah yang
dipantau mengalami persitiwa konflik dan masuk pemberitaan media adalah kota
Yogyakarta (www.wahidinstitude.org, diakses Maret 2015).
Data menunjukkan bahwa sepanjang dua tahun terakhir, jumlah kasus
kekerasan berlatar agama di Yogyakarta terus mengalami peningkatan. Bahkan
dari awal tahun sampai pertengahan tahun 2014, ada sekitar 8 kasus kekerasan
berlatar agama kota Yogyakarta yang masuk dalam pemberitaan media massa
(www.tempo.co, “Kasus Intoleransi di Yogyakarta Mengkhawatirkan”, Senin 2
Juni 2014). Kasus Penyerangan terhadap umat Katholik di Sleman dan
penyegelan rumah Pdt. Nico adalah peristiwa terkini yang turut menambah
jumlah konflik berlatar agama di kota yang mendapat julukan city of tolerance
tersebut.
Persitiwa konflik yang terjadi pada Kamis malam, 29 Mei 2014 tersebut,
bermula dari aksi sekelompok orang yang melakukan penyerangan terhadap
umat Katholik yang sedang berdoa Rosario dan latihan Koor di rumah direktur
Galang Press, Julicianus Felicianus, Sleman. Penyerangan yang dilakukan
dengan aksi pengrusakan, pemukulan dan pelemparan batu tersebut
mengakibatkan pemilik rumah dan sejumlah umat yang beribadah terluka.
Tindakan intoleransi tersebut cukup mengejutkan, mengingat Kota
Yogyakarta adalah kota yang toleran terhadap berbagai perbedaan latarbelakang
masyarakatnya. Kecaman terhadap persitiwa tersebut pun datang dari berbagai
pihak baik pemerintah, masyarakat, LSM, aktivis, dan tentunya para jurnalis.
2
Tidak mengherankan, bila kemudian beritanya bermunculan di ruang
pemberitaan sejumlah media. Beberapa media massa baik cetak, elektronik
(televisi & radio) dan media berita online bahkan mengangkat konflik tersebut
sebagai bahan pemberitaan selama beberapa hari berturut-turut.
Dari sekian banyaknya media yang memberitakan tentang peristiwa
konflik tersebut, media berita online adalah yang pertama sekali dan yang paling
banyak melaporkan tentang peristiwa tersebut kepada masyarakat. Dengan
segala kelebihan yang dimungkinkan oleh media berita online, informasi terkait
peristiwa tersebut pun sampai kepada masyarakat hanya berselang beberapa jam
dari terjadinya konflik, sementara media konvensional memberitakannya pada
keesokan harinya.
Dalam media berita online, berita-berita konflik tersebut biasanya
cenderung berbentuk hardnews yang singkat, padat, lugas, tidak akurat dan tidak
jarang terkesan provokatif. Selain itu media berita online juga sering melakukan
labelisasi pelaku untuk mendramatisir konflik guna menimbulkan sensasi bagi
para users untuk meng-klik dan membaca atau bahkan men-share informasi
tersebut di dunia maya lewat sosial media.
Hal inilah yang kemudian menjadi persoalan ketika konflik-konflik terkait
isu agama yang sangat sensitif diangkat dalam media berita online. Kecepatan
media berita online dalam menyampaikan informasi, justru sering kali
berbanding terbalik dengan akurasi dan penerapan objektivitas jurnalisme yang
baik. Alih-alih melaporkan konflik, media justru menyulut konflik semakin
memanas atau bahkan memicu konflik baru terjadi.
Tribunjogja.com misalnya, dalam beritanya yang dimuat hanya berselang
beberapa jam setelah kejadian tersebut, menyatakan bahwa pelaku penyerangan
terhadap umat Katholik tersebut adalah “sekelompok pria berjubah”.
Sementara Portalkbr.com menuliskan bahwa pelaku penyerangan tersebut
adalah “ormas radikal” yang sering melakukan keributan di masyarakat. Dalam
hal ini kedua media tersebut telah melabeli pelaku dengan identitas tertentu,
meskipun pada kenyataannya, pihak yang berwajib belum mengkonfirmasi siapa
pelaku dari penyerangan tersebut.
3
Labelisasi pelaku penyerangan yang dilakukan oleh beberapa media berita
online tersebut telah mengakibatkan munculnya beragam prasangka dan
kesimpangsiuran informasi di masyarakat terkait persitiwa tersebut. Salah satu
di antaranya adalah anggapan bahwa pelaku penyerangan tersebut adalah
anggota ormas FPI, mengingat anggota ormas ini sering terlibat konflik dalam
masyarakat dan selalu menggunakan jubah dalam melakukan aksi-aksinya.
Kekeliruan pemberitaan ini mengakibatkan keresahan dan kecaman
masyarakat terhadap ormas tersebut. FPI pun langsung mengklarifikasi dengan
memberi pernyataan bahwa pelaku penyerangan tersebut bukan anggotanya.
Voa-Islam.com dalam sebuah tulisanya menyatakan kekecewaan FPI terhadap
beberapa media nasional yang dinilai terburu-buru menyatakan FPI sebagai
pelaku penyerangan umat katholik tersebut. Mereka menilai adanya
penggiringan opini yang dilakukan oleh media berita online nasional agar ormas
Islam didiskreditkan dan diarahkan menjadi pelaku penyerangan tersebut.
Melaporkan konflik berlatar agama sebagai suatu isu yang sangat sensitif
di tengah masyarkat Indonesia yang plural, memang bukanlah hal yang mudah.
Dibutuhkan pemberitaan yang objektif agar tidak berdampak buruk bagi
masyarkaat yang mengonsumsi berita tersebut. Namun realitanya, pemberitaan
terkait konflik di Indonesia justru sering terjebak dengan apa yang dinamakan
dengan Jurnalisme konflik. Dalam jurnalisme konflik, pemberitaan biasanya
hanya berfokus pada konflik dan kekerasan yang terjadi. Hal ini bisa terjadi
karena ketidaksadaran dan keterbatasan jurnalis dalam melakukan peliputan.
Tetapi tidak menutup kemungkinan juga karena unsur kesengajaan untuk
mendramatisir konflik sehingga berita menjadi semakin menarik dan seru.
Secara normatif, pemberitaan yang berorientasi pada konflik dan kekerasan
adalah merupakan bentuk jurnalisme yang tidak etis, karena media seharusnya
menjadi agen yang mendorong terjadinya perdamaian dalam situasi konflik.
Berdasarkan realitas tersebut penulis kemudian memilih berita di media
berita online sebagai bahan kajian untuk melihat bagaimana media berita online
menyajikan/menampilakan konflik penyerangan terhadap umat Katholik di
Sleman, Yogyakarta. Berita yang dikaji adalah berita-berita terkait konflik
tersebut dalam portal berita Tribunnews.com &Tempo.com. Kedua media
4
online ini sengaja dipilih karena keduanya terbilang cukup banyak
memberitakan konflik penyerangan terhadap umat Katholik di Sleman tersebut.
Keduanya juga memiliki khalayak pembaca yang terbilang banyak sehingga
dianggap mampu mempengaruhi opini banyak users di dunia maya. Apalagi
kedua media online ini merupakan bagian dari keberadaan Harian Kompas dan
majalah Tempo yang sebelumnya sudah dikenal khalayak sebagai media cetak
nasional yang memiliki ideologi masing-masing dalam melaksanakan fungsi
persnya. Tentunya faktor-faktor ini turut andil dalam menentukan corak
pemberitaan terkait konflik penyerangan terhadap umat Katholik tersebut.
B. Perumusan Masalah
Berpijak dari uraian tersebut, permasalahan yang diteliti kemudian
difokuskan pada tampilan berita terkait kasus penyerangan terhadap Umat
Katholik di Ngaglik, Sleman, Yogyakarta. Sehingga pertanyaan pokok yang
dapat diajukan terkait hal tersebut adalah Bagaimanakah objektivitas
pemberitaan kasus penyerangan terhadap Umat Katholik di Ngagklik Sleman
pada Tribunnews.com & Tempo.com periode 29 Mei- 3 Juni 2014?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui objektivitas pemberitaan
kasus penyerangan Umat Katholik di Sleman Yogyakarta pada Tribunnews.com
& Tempo.com, periode 29 Mei- 3 Juni 2014
D. Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Manfaat akademis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan bacaan dan kajian
bagi mahasiswa Ilmu Komunikasi dalam memahami objektivitas
pemberitaan konflik berlatar agama di media berita online.
b. Manfaat praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan baru bagi
penelitian selanjutnya untuk terus disempurnakan, sehingga dapat
5
berfungsi seoptimal mungkin dalam melihat objektivitas pemberitaan
konflik di media berita online.
E. Objek Penelitian
Yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah berita-berita Kasus
Penyerangan Umat Katholik di Ngaglik, Sleman, Yogyakarta dalam
Tribunnews.com & Tempo.com edisi 30 Mei- 3 Juni 2014. Pemilihan kedua
situs berita ini adalah karena keduanya memiliki khalayak/user yang banyak
sehingga dianggap mampu mempengaruhi opini publik dalam jumlah banyak.
F. Kerangka Teori
1. Jurnalisme Media Online
Kemunculan Jurnalisme online yang merevolusi cara penyampaian
informasi kepada khalayak bagaimanapun tidak terlepas dari kemajuan
teknologi komunikasi dan informasi khususnya dalam hal penemuan
internet. Internet memiliki kemampuan yang unik dibandingkan dengan
media lainnya. Ia tidak hanya memiliki semua kemampuan yang dimiliki
oleh media tradisional (teks, gambar, grafis, animasi, audio, video dan
real-time) tetapi ia juga menawarkan kemampuan-kemampuan baru
lainnya kepada kita. Tidak salah bila John Pavlik kemudian mengatakan
bahwa “Internet is a journalist’s Medium” (Foust, 2009: 7).
Secara umum, pengaruh internet terhadap jurnalisme dapat dilihat
dalam dua hal yakni dalam hal terobosan perubahan newsroom pembuatan
berita yang dibantu oleh internet dan munculnya jenis jurnalisme baru
yang disebut sebagai Jurnalisme Online (Mark Deuze & Steve Paullusen,
2002; 238). Jurnalisme Online berasal dari gabungan kata “jurnalisme”,
yang memiliki arti penyajian informasi dan fakta secara luas kepada publik
dan kata “daring” yang merupakan singkatan dari “dalam jaringan”
(online) yang dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang berhubungan
dengan teknologi dan media Internet. Sehingga Jurnalisme Online secara
sederhana dapat diartikan sebagai metode penyajian informasi dan fakta
dengan menggunakan bantuan atau perantara internet (Wikipedia.com).
6
Media-media konvensional saat ini telah melirik media online
sebagai ranah baru yang menjanjikan. Dengan konsep jurnalisme yang
berbeda dari media konvensional, media online menghadirkan kebaruan
dalam dunia pemberitaan dan jurnalistik. Bukan hanya mengadaptasi
media cetak menuju layar datar, namun juga menggabungkan cetak, suara,
dan gambar dalam satu media tunggal (convergen). Babakan inilah yang
kemudian membawa kita memasuki era baru yang dinamakan dengan era
jurnalisme online (Mark Deuze, 1999: 376-378).
Singer (dalam Tsfati, 2010) mengatakan bahwa pada awalnya
media berita online hanya berbentuk “Shovelware”, yang mana berita-
berita dalam media tersebut langsung diangkat dari versi cetaknya ke
dalam internet. Tetapi kemudian para pelaku media menyadari bahwa bila
mereka ingin mendapatkan keuntungan finansial dari media tersebut,
mereka harus mengakomodir segala fitur yang ada dalam teknologi online
tersebut.
Dengan demikian, kehadiran media online benar-benar telah
merubah pakem jurnalistik dalam hal pelaporan berita. Pemberitaan dalam
media online pun menjadi sangat berbeda dengan pemberitaan yang ada
dalam media berita konvensional. Bila dibandingkan dengan media
tradisional, media online memungkinkan banyak hal yang tidak bisa
dilakukan oleh media tradisional. Mark Deuze (2003) mengidentifikasi
bahwa ada tiga hal yang bisa dikatakan sebagai bahasa operasi media
online yakni:
1. Hypertextuality
Dalam media baru dimungkinkan adanya hyperlink. Teks-teks
dalan media baru mempunyai hubungan melalui link secara internal,
dengan teks lain dalam domain teks atau secara internal dengan teks lain
dengan dokumen lain di luar internet.
2. Multimediality
Ketika ruang-ruang dalam media tradisional terdistorsi dan
menciptakan efektivitas, dimana pekerjaan yang biasanya dikerjakan
7
secara terpisah kini dapat dilakukan dalam waktu bersamaan karena
adanya konvergensi media dalam media online.
3.Interactivity
Interaktivitas merupakan konsep utama dalam memahami new
media, begitu pula pada jurnalisme online. Namun, perlu diingat bahwa
interaktivitas yang terjadi dalam new media dipahami dalam dua aktivitas.
Pertama, aktivitas mekanis yang berarti protokoler dalam internet. Kedua,
aktivitas interaktif yang berarti interaksi yang terjadi dalam internet.
Dengan karakteristik yang disebutkan di atas, media online pun
tampil lebih unggul dibandingkan dengan media-media konvensional yang
ada sebelumya. Adapun yang menjadi keunggulan dari media online
adalah sebagai berikut (Agus, 2001):
1) Informasinya bersifat up to date (senantiasa diperbaharui)
Media online dapat melakukan upgrade informasi dari waktu ke waktu.
Hal ini terjadi karena media online memiliki proses penyajian informasi
dan berita yang lebih mudah dan sederhana dibanding jenis media massa
lainnya.
2) Informasinya bersifat real time
Media online dapat menyajikan informasi dan berita saat peristiwa sedang
berlangsung.
3) Informasinya bersifat praktis
Media online dapat diakses di mana dan kapan saja, sejauh didukung oleh
fasilitas teknologi internet.
Namun demikian keunggulan media online dalam banyak hal
ternyata tidak membuatnya selalu sesuai dengan norma dan praktek
jurnalistik konvensional. Bahkan dalam beberapa kondisi, kualitas yang
sangat diagung-agungkan dalam media online seperti konektivitas,
interaktivitas dan ketiadaan hierarki justru bertentangan dengan konsep
profesionalisme jurnalistik konvensional.
Jurnalisme tradisional biasanya ditandai dengan adanya batasan
ruang yang diatur oleh gatekeeper dan praktek seleksi berita. Sebaliknya
ruang yang dapat digunakan oleh produsen berita online justru sangat tak
8
terbatas sehingga seleksi berita yang menjadi inti jurnalisme tradisional
tidak lagi diperhatikan. Media online juga menawarkan pengurangan
hierarki dalam sistem produksi berita sehingga produksi berita tidak
serumit di media tradisional. Tidak hanya itu, media online juga
memungkinkan pengguna (users) untuk melompat dari suatu berita ke
berita lain bahkan ke sumber informasi asli. Yang berarti kita dapat
mengakses langsung ke sumber-sumber yang mungkin dapat
meningkatkan tingkat kepercayaan kita terhadap teks berita tersebut (Yariv
Tsfati, 2010).
Tidak dapat dipungkiri bahwa kecepatan penyampaian informasi
adalah salah satu alasan mengapa media online menjadi rujukan sebagian
khalayak pada saat ini. Khalayak tidak lagi harus berlangganan koran
ataupun meluangkan waktu untuk membacanya karena mereka dapat
menerima informasi kapanpun dan di manapun mereka berada. Tetapi
sayangnya faktor kecepatan pada sisi lain justru mengurangi kualitas berita
dalam media online. Kebutuhan akan kecepatan dalam menyajikan berita
seringkali menyebabkan para pekerja di media online abai terhadap
kedalaman berita (indepth reporting). Ini tampak jelas pada penyajian
berita dalam media online yang bergeser dari seragam (pers cetak) ke
personal dengan format penulisan pendek, tajam (snappier), dan bergaya
percakapan (Priyono Hadi, 2003).
Pembaca dalam media berita online berubah menjadi partisipan
yang dapat merespon secara langsung kepada materi yang disajikan
reporter online, entah lewat e-mail, fasilitas online reply, model forum
diskusi, submit artikel, respon langsung atas komentar-komentar dari
pembaca lain ataupun lewat jajak pendapat online. Reporter online juga
dapat diuntungkan dengan adanya respon ‘segera’ dari pembacanya atas
berita yang disajikan. Sehingga umpan balik dengan cepat dapat diketahui
reporter atas suatu peristiwa/kejadian (Agus, 2001).
Inilah yang namanya perubahan mendasar dalam siklus publikasi
berita, yang dulu periodik (pers cetak) menjadi seketika dan interaktif.
Sehingga, unsur aktualitas berita menjadi sangat mutlak, karena khalayak
9
pembaca online umumnya aktif dan menyukai ekplorasi isi website.
Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa kelebihan yang ditawarkan oleh
media berita online juga memiliki beragam kelemahan sebagai
konsekuensi dari kelebihan yang dimilikinya. Misalnya saja dalam hal
akurasi informasi yang dinilai sering kali justru berbanding terbalik
dengan kecepatan media berita online dalam menyiarkan peristiwa. Oleh
karena itu, khalayak dituntut lebih kritis dalam memilih dan memilah
informasi melalui media online (Mark Deuze, 1999).
2. Kredibilitas Berita Di Media Berita Online
Meningkatnya jumlah pengguna internet yang mencari dan
membaca berita secara online setiap tahunnya, telah menjadi bukti nyata
kebangkitan media berita online. Beragam pandangan dari para pengamat
perkembangan media pun muncul menyertai perkembangan tersebut.
Namun satu isu utama yang kemudian banyak dipersoalkan dalam
merayakan kehadiran beragam media berita online tersebut adalah
persoalan kredibilitas berita yang disampaikannya.
Flanagin and Metzger (Salwan, et.al, 2005) mencatat bahwa media
online tidak selalu mengikuti aturan ataupun standar berita seperti di
media-media konvensional. Kurangnya proses editorial dan pengawasan
Gatekeeping dinilai menjadi akar dari munculnya persoalan tersebut.
Padahal menurut Schweiger, kredibilitas menjadi sangat penting di tengah
melimpahnya informasi yang diterima oleh publik saat ini.
Dalam sebuah buku yang dikeluarkan oleh AJI (Aliansi Jurnalistik
Indonesia) (2014) dinyatakan bahwa, “kehadiran internet telah membawa
kita memasuki suatu jaman yang mengoyak-ngoyak aneka pakem
jurnalistik yang selama ini dibangun dan dijaga selama bertahun-tahun.”
Sehingga sebagai dampaknya, berita sebagai produk jurnalisme di media
berita online menjadi jauh berbeda dengan berita di media tradisional
Kehadiran media berita online bagaimanapun telah turut pula
dalam mengubah pola konsumi informasi/ berita khalayak pada saat ini.
Kita tidak lagi harus menunggu terbitan surat kabar esok hari untuk
10
mengetahui peristiwa-peristiwa yang terjadi hari ini secara lengkap. Media
berita online memanjakan kita dengan beragam pilihan informasi yang
kita butuhkan dengan cepat dan mudah tanpa batasan ruang dan waktu.
Namun keunggulan tersebut tidak lantas membuat media berita
online menjadi media yang paling sempurna dalam hal pelaporan berita.
Ada banyak hal yang harus dievaluasi dan dipikirkan kembali ketika
media online menjadi sumber informasi. Bila jurnalisme tradisional
ditandai oleh batasan ruang yang diatur oleh gatekeeper dan juga seleksi
berita yang sangat ketat, tidak demikian halnya dengan jurnalisme online.
Batasan ruang dan seleksi berita tidak seketat seleksi berita di jurnalisme
tradisional (Foust, 2009: 83-85).
Kualitas dan kredibilitas informasi tentu sangat penting guna
mendorong kemajuan dan pembangunan dalam masyarakat. Namun sangat
disayangkan ketika kecepatan sebagai salah satu kelebihan media online
justru sering kali berbanding terbalik dengan kualitas dan kredibilitas
berita yang ia tampilkan. Banyak media berita online yang kemudian
mengatasnamakan kecepatan terjerembab menyampaikan informasi yang
dangkal dan terkadang minim verifikasi kepada masyarakat. Sehingga
pada akhirnya terjadi mis-persepsi dan mis-interpretasi terhadap fakta
yang ada (AJI, 2014: VI).
Apalagi dengan melimpahnya jumlah situs berita yang
menyediakan informasi di internet, khalayak pada akhirnya akan kesulitan
untuk membedakan mana berita yang berkualitas dan yang tidak
berkualitas (sesuai prinsip jurnalisme). Bill Kovach (2010) mendefinisikan
situasi tersebut sebagai kondisi Blur, dimana kita menerima informasi
dalam jumlah yang melimpah sehingga sulit menentukan mana informasi
yang bisa dipercaya dan mana yang tidak, mana produk jurnalisme dan
yang mana yang tidak.
Para peneliti telah melakukan beragam upaya untuk memahami
kredibilitas media dengan berbagai macam metode dan pengukuran.
Namun pemahaman defenisi kredibilitas sendiri masih mengundang
banyak perdebatan. Lazimnnya, kredibilitas dipahami sebagai suatu hal
11
yang dapat dipercaya dan dapat dibuktikan. Sehingga bila suatu berita
dipercayai oleh publik, maka berita tersebut bisa dikatakan jujur. Dengan
demikian “keterpercayaan” menjadi salah satu faktor penting dalam
kredibilitas suatu medium (Rasha A.Abdullah, et.al, 2005 dalam Online
News And The Public)
James c. Foust (2009) dalam bukunya yang berjudul Online
Journalism memberikan beberapa panduan untuk mengevaluasi situs
berita online apakah situs tersebut dapat dipercaya atau tidak. Adapun
beberapa hal yang diperhatikan dalam panduan tersebut adalah sebagai
berikut:
1) Who is Producing the site?
Kita harus mempertimbangkan siapa sumber informasi dari situs
berita yang kita baca. Apakah ia ditulis oleh organisasi jurnalistik,
ataukah perusahaan tertentu, perusahaan PR maupun partai politik.
Hal ini dapat kita lakukan dengan membaca kolom profil situs
media (about us). Hal ini penting agar kita mengetahui apakah
yang menjadi agenda media tersebut.
2) What is The content of the site?
Satu hal yang harus kita ingat adalah bahwa jurnalisme akan selalu
membahas isu kepentingan public, yakni isu-isu yang
mempengaruhi hajat hidup orang banyak baik langsung maupun
tidak langsung. Bila isi situs tersebut tidak mengandung isu-isu
penting terkait public maka situs tersebut bukanlah situs jurnalisme
3) Is The Information Accurate?
Untuk mengetahui apakah informasi yang disampaikan akurat atau
tidak memang bukanlah hal yang mudah. Tetapi kita bisa melihat
apakah ada kesalahan pengetikan, pengejaan yang salah, tata
bahasa yang tidak tepat bukti-bukti lain yang menunjukan
ketidakprofesionalan penulis berita tersebut. Perlu diingat bahwa
akurasi adalah satu hal yang wajib dalam jurnalisme, baik dalam
isu kecil maupun isu besar, karena itulah mengapa organisasi-
oranisasi jurnalisme memiliki editor.
12
4) How Often the information Update
Kebaruan merupakan hal yang penting dalam dunia Jurnalisme.
Situs web memiliki kemampuan untuk mengupdate informasi
secara terus menerus. Sehingga bila ada situs berita yang belum
mengupdate beritanya dalam jangka waktu yang lama, maka situs
tersebut bukanlah situs jurnalisme yang baik.
5) What Does The site Look Like?
Situs berita yang dibuat secara professional biasanya bersih,
memiliki desain yang menyenangkan dan merefleksikan karakter
organisasinya.
Beberapa langkah di atas, memang belum sepenuhnya dapat
melihat kredibilitas media berita online. Namun Foust meyakini bahwa
beberapa hal di atas cukup dapat membantu public untuk mengenali suatu
sumber berita. Kredibilitas media memang suatu hal yang kompleks.
Namun secara sederhana kita dapat memahami bahwa keberimbangan,
kejujuran, dan ketepatan adalah hal-hal yang paling utama dalam melihat
kredibilitas suatu media. Semakin credible sebuah situs berita, tentunya
tingkat keterpercayaan akan berita/informasi yang disampaikan pun akan
semakin tinggi. Hal ini penting untuk kita perhatikan bila kita ingin
mendapatkan informasi yang akurat di tengah melimpahnya informasi saat
ini (Abdulla, et al, 2005).
3. Objektivitas Pemberitaan di Media Berita Online
Persoalan Objektivitas media dalam melaporkan suatu peristiwa
memang masih menyisakan sejumlah perdebatan dan sering sekali
disalahpahami oleh banyak orang. Pada saat konsep ini pertama sekali
dikembangkan, objektivitas tidak dipahami untuk menyatakan bahwa para
pekerja media/wartawan pada saat itu bebas dari bias. Tetapi sebaliknya
konsep ini meminta para wartawan untuk mengembangkan suatu metode
yang secara konsisten menguji informasi sehingga bias personal dan bias
budaya tidak melemahkan akurasi berita yang mereka tulis (Bill Kovach &
Tom Rosentiel, 2001: 88).
13
Lippmann (Bill Kovach & Tom Rosentiel, 2001: 89) bahkan
menyatakan bahwa dalam peliputan berita wartawan seharusnya tetap
berpikir jernih dan bebas dari penilaian awalnya yang tidak rasional, tidak
teruji dan yang tidak jelas sumbernya dalam memahami dan menyajikan
berita. Dan cara untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan melakukan
pengujian berita secara berulang-ulang dan transparan. Namun hal tersebut
tentu akan sulit terjadi dalam jurnalisme online, dimana kecepatan menjadi
tuntutan utama bagi para wartawan dalam bekerja. Tidak jarang bahkan
para wartawan membuat berita yang tidak disaksikannya sendiri, tetapi
hanya berdasarkan referensi dari pihak-pihak lain. Dengan demikian
kualitas berita (akurasi dan verifikasi data) menjadi sangat jauh dari apa
yang diharapkan.
Penerapan prinsip objektivitas dalam pelaporan berita sangatlah
berdampak pada kualitas berita yang dihasilkan. Mcquail mengatakan
bahwa objektivitas merupakan nilai sentral yang mendasari disiplin profesi
wartawan dan penting untuk menjaga kredibilitas berita yang dihasilkan
(Denis Mcquail, 1992: 73). Dalam konsep peliputan yang objektif,
wartawan diharapkan memiliki sikap yang adil dan tidak diskriminatif
terhadap narasumber maupun objek yang diberitakan. Dengan demikian
semua harus diperlakukan sama dan diberi ruang bicara yang sama bila
beritanya melibatkan dua belah pihak yang berkonflik.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Boyer ada enam
elemen utama yang mencakup objektivitas itu sendiri, yaitu
keberimbangan dalam menyajikan dua sisi dari sebuah perisitiwa,
ketepatan dalam menyampaikan berita, penyajian poin-poin yang relevan
terhadap isu,memisahkan antara fakta dan opini jurnalis, meminimalisir
pengaruh, sikap, dan pendapat dari penulis berita, dan yang terakhir adalah
menghindari adanya kesimpangsiuran, dendam, atau tujuan yang licik
(Boyer dalam McQuail, 1992: 184-185). J. Westerstahl kemudian
mengembangkan kerangka konseptual dasar guna meneliti dan mengukur
objektivitas pemberitaan. Objektivitas melibatkan dua dimensi yang
berbeda namun saling melengkapi, yaitu dimensi kognitif dan evaluatif.
14
Dimensi kognitif mencakup faktualitas yang merupakan kualitas informasi
yang terkandung dalam sebuah berita. Sedangkan dimensi evaluative
mencakup imparsialitas atau ketidakberpihakan yang digunakan sebagai
kualitas sebuah berita. Berikut adalah skema objektivitas menurut
Westerstahl:
Gambar 1. Skema Objektivitas Westerstahl (McQuail, 1992: 196)
a. Faktualitas Berita
Kriteria faktualitas mengandung tiga hal yakni kebenaran (truth),
relevansi(relevance) dan juga informativeness berita. Truth digunakan
untuk mengukur tingkatan fakta yang disajikan dalam berita. Meskipun
banyak perdebatan terkait apa itu kebenaran dalam pengertian jurnalisme,
namun truth biasanya dihubungkan dengan factualness, accuracy dan juga
completeness (5W + 1H) (Kriyantono, 2006). Sedangkan untuk mengukur
relevansi dilihat dari standar jurnalistik yang terkandung di dalamnya,
seperti adanya significance, timelines, magnitude, timeliness, proximity,
prominence, dan human interest. Relevansi dan sensasionalisme adalah hal
yang bertentangan. Berita dikatakan mengandung unsur sensasionalisme
ketika lebih mengacu pada human interest, personalisasi, atau karakteristik
hiburan lainnya dalam berita. Nilai informasi yang terkandung akan
dianggap kurang dan semakin tidak relevan dengan kebutuhan informasi
masyarakat (McQuail, 1992: 200).
Informativeness
Neutral Presentation
Faktuality
Balance relevance Truth
Imparsiality
Objecttivity
15
b. Imparsialitas
Imparsialitas dapat diartikan sebagai keberpihakan
wartawan/penulis berita dalam melaporkan setiap peristiwa. Sehingga
dalam pemberitaannya, wartawan diharapkan netral dan tidak memihak
satu pihak manapun. Imparsialitas terbagi menjadi dua bagian yakni
Neutrality dan balance. Neutrality berkaitan dengan aspek penyajian suatu
berita, termasuk didalamnya penempatan berita, aspek-aspek yang
ditonjolkan, maupun pemilihan kata-kata yang digunakan (McQuail, 1992:
233). Dalam skema netralitas McQuail, tolak ukur dalam netralitas
meliputi non-evaluative dan non-sensational. Non-evaluative adalah ada
atau tidaknya percampuran antara fakta dan opini, sedangkan non-
sensational adalah bagaimana kesesuaian antara judul dengan isi berita.
Selanjutnya, dimensi balance atau keberimbangan pemberitaan
berkaitan dengan keseimbangan dalam pemberitaan. Dimensi ini terbagi
menjadi dua yakni Equal or proportional access dan Even Handed
evaluation. Equal or proportional access adalah seberapa banyak ruang
dan waktu yang diberikan media untuk menyajikan pendapat atau
kepentingan dari berbagai pihak; apakah hanya satu sisi saja yang
ditonjolkan atau dari berbagai sisi. Sedangkan even-handed evaluation
dapat dijadikan indikator evaluasi sebuah berita, apakah positif, negatif,
atau netral (McQuail, 1992: 224).
4. Pemberitaan Konflik di Media Berita Online
Berita merupakan salah satu produk media yang menjawab
kebutuhan kita akan berbagai informasi. Berita adalah reka adegan dari
setiap peristiwa berdasarkan interpretasi dari para pekerja media/jurnalis.
Artinya, berita bukanlah refleksi dari realitas yang ada, melainkan hanya
konstruksi dari realitas tersebut. Tidak semua peristiwa yang terjadi dapat
dijadikan berita. Ada beberapa nilai yang harus dipenuhi agar suatu
peristiwa dapat diangkat menjadi sebuah berita yang sering disebut sebagai
news value (Stuart Allan, 2010).
16
Konflik merupakan satu dari beberapa nilai berita yang paling
diminati oleh media massa. Bukan hanya media massa, khalayak pembaca
pun dinilai sangat antusias dengan berita yang mengandung nilai konflik.
Sehingga tidak salah lagi bila konflik menjadi isu yang dinanti dan diburu
oleh para pekerja media untuk dijadikan sebagai bahan pemberitaan.
Sebaliknya media menjadi penentu suatu peristiwa konflik diketahui atau
tidak oleh masyarakat. Media menjadi sarana/saksi yang merekam
peristiwa-peristiwa konflik di tengah masyarakat dan melaporkannya
kembali kepada kita (Iswandi Syahputra, 2006: 53).
Konflik tentu bukanlah hal yang asing bagi kita. Konflik menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah manusia. Coser bahkan
mengatakan bahwa konflik adalah suatu hal yang instingtif dan kita dapat
menemukannya di setiap tempat yang dihuni oleh manusia (Lewis Coser,
1956: 112)
Ada begitu banyak definisi konflik menurut para ahli. Namun
secara etimologis, konflik berasal dari bahasa latin, con, yang berarti
“bersama”, dan figere, yang berarti “penyerangan”. Dalam kamus, konflik
mengacu pada kata-kata seperti “perkelahian”, “perlawanan”, dan
penolakan keras mengenai kepentingan atau gagasan. Sementara Louis
Coser (1956) mengemukakan definisi konflik, adalah: “a struggle over
values and claims to secure status, power, and resources, a struggle in
which the main aims of opponents are to neutralize, injure, or eliminate
rivals”. Meskipun ada beragam pemahaman dari para teoritisi tentang
definisi dari konflik, namun benang merah yang bisa ditarik dari beberapa
definisi tersebut adalah bahwa konflik selalu berkaitan dengan
pertentangan, perbedaan dan perseteruan.
Relasi media dan konflik, memang terus menyisakan diskusi dan
perdebatan panjang. Selain wacana tentang peran media dalam
memberitakan konflik, cara media memberitakan konflik pun menjadi
wacana yang menarik untuk dikaji di kalangan peneliti. Hal ini dianggap
penting mengingat dampaknya terhadap khalayak sangatlah besar.
17
Harus diakui, bahwa melaporkan peristiwa konflik kepada
masyarakat bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Alih-alih
melaporkan konflik yang terjadi, media justru sering kali memperbesar
eskalasi konflik dan memantik konflik baru terjadi. Dibutuhkan kehati-
hatian dalam memberitakan konflik sebagai sebuah isu yang sensitif dalam
masyarakat. Diperlukan cek dan recek agar informasi yang disampaikan
benar-benar sesuai dengan kaidah-kadiah jurnalisme yang benar (Irfan
Abubakar, 2001).
Pemberitaan media yang justru memperparah konflik, jelas akan
merugikan bagi pihak yang berkonflik maupun masyarakat luas.
Pemberitaan yang destruktif dapat berdampak buruk bagi pembaca yang
bahkan mungkin tidak terlibat secara langsung dalam konflik tersebut.
Timbulnya dendam, kebencian, stereotyping dan pelabelan terhadap salah
satu pihak sering kali muncul sebagai akibat dari konsumsi berita konflik
yang destruktif (A.Aziz, 2011).
Kehadiran media berita online menjadi tantangan tersendiri bagi
pemberitaan terkait konflik khususnya konflik berlatar agama. Tingkat
kesulitan yang dihadapi tentu akan semakin tinggi dengan tuntutan moda
komunikasi yang serba cepat ini. Bila informasi yang disampaikan tidak
proporsional menurut kaidah jurnalisme yang baik dan benar, maka hal
tersebut akan menjadi bumerang bagi khalayak. Belum lagi jangkauan
media yang tidak terbatas, tentunya akan sangat berpengaruh bagi opini
publik.
Beberapa penelitian terdahulu (Suryawati & wulansari, 2013 ;
Rusmulyadi, 2013) yang meneliti tentang media online dalam meliput
berita konflik, menemukan bahwa pemberitaan terkait konflik berlatar
agama di media berita online cenderung vulgar, sarkas, parsial, tidak
akurat dan provokatif. Media juga sering terjebak dan tidak dapat
melepaskan diri dari latar ideologi dan visi lembaga sehingga konstruksi
berita yang terbangun oleh media pun cenderung mengikuti perspektif
media masing-masing.
18
Kredibilitas dan reliabilitas media online dalam mengelola
peristiwa konflik menjadi sebuah sajian berita pun menimbulkan banyak
perdebatan tersendiri di kalangan pengamat media. Tuntutan pemberitaan
yang serba cepat dianggap menjadi hambatan bagi media berita online
untuk menyajikan berita konflik dengan objektif dan sesuai dengan kaidah
jurnalisme damai yang selama ini banyak digaungkan sebagai alternatif
konstruksi berita konflik. Praktik“speed-driven journalism” dalam media
online justru dianggap menjadi penyebab abainya para jurnalis terhadap
akurasi berita (Adam Sukarno, 2015, hhtp://digi-
journalism.or.id/jurnalisme-online-cepat-tapi-tidak-akurat).
Update berita yang berlangsung cepat mengakibatkan banyaknya
frekuensi berita yang muncul terkait suatu konflik di media berita online.
Sementara berita yang di update tersebut seringkali hanyalah berupa fakta
dan pernyataan yang belum terverifikasi. Tidak jarang berita konflik di
media online disajikan dengan konstruksi jurnalisme perang yang justru
berdampak negatif bagi publik maupun bagi pihak yang berkonflik.
Adapun yang menjadi perbedaan antara jurnalisme perang dengan
jurnalisme damai adalah sebagai berikut:
Table 1. Perbedaan Jurnalisme Damai & Jurnalisme Perang
Jurnalisme Perang Jurnalisme Damai
Hanya memberitakan efek konflik yang terlihat Memberitakan efek konflik yang tidak terlihat
dan tidak terlihat
Tidak memberitakan masalah (latarbelakang)
yang menyebabkan konflik atau juga tidak
menyebutkan pihak-pihak yang berkonfik
Memberitakan penyebab atau latarbelakang
konflik dengan jelas, apakah itu masalah sara,
ekonomi, politk atau ideologi dan sekaligus
aktor-aktor atau semua pihak yang berkonflik
Meliput Konflik Hanya dengan satu sudut
pandangsalah satu pihak sehingga terasa tidak
seimbang
Melihat konflik dari kedua sudut pandang pihak
yang berkonflik atau dengan kata lain Cover
Both Side
Nara Sumber hanya para elite dan juga militer Meliput konflik dengan tidak mengabaikan
masyarakat sipil dalam pemberitaannya
Adanya pemberian label (julukan) atau nama
negative kepada salah satu ataupun kedua belah
pihak
Menggunakan nama yang sedeskrsiptif mungkin
atau menyebut dengan cara masing-masing
pihak menamai diri mereka sendiri
Here and Now, yang berarti hanya sebatas di
sini dan saat ini (memberitakan hanya ketika
terjadi kekerasan)
Continually, adanya pemberitaan konflik yang
proaktif dan berkelanjutan. Artinya pemberitaan
mulai dari pra konflik (konflik masih laten),
pada saat konflik terjadi dan pasca konflik
terjadi.
Perbedaan antar pihak. Membedakan antara
pihak yang buruk dengan pihak yang baik
Menghindari pembedaan antara baik Vs Buruk.
Tidak ada diskriminasi atau perlakuan yang
berbeda dalam memberitakan salah satu pihak
19
Hanya memberitakan dari sisi kekerasan Memberitakan isu yang diusung oleh kedua
belah pihak sehingga memicu konflik, Misal,
pihak A menginginkan X, sementara pihak B
mengkhendaki Y
Berorientasi pada menang – kalah Berorientasi pada win-win solution.
Memberitakan solusi yang mungkin bagi kedua
belah pihak untuk tujuan resolusi
Bahasa yang digunakan emotif ataupun sarkas Memakai bahasa yang moderat
Menganalogikan Konflik dengan Pertandingan Melihat Konflik sebagai suatu persoalan dan
ketidaksamaan kepentingan
Berdasarkan ciri di atas kita dapat memahami bahwa dalam
jurnalisme perang, media hanya memberitakan konflik dari aspek
sensasionalitasnya saja, yakni aspek yang menunjukkan betapa
dramatisnya peristiwa tersebut. Sehingga isi beritanya tidak jauh dari
sekedar siapa menyerang siapa, berapa jumlah korban, seberapa parah
kondisi korban dan seberapa menegangkan situasi di lokasi kejadian.
Dalam media online berita-berita konflik malah ditampilkan lebih vulgar
bila dibandingkan dengan media konvensional lainnya. Beberapa situs
berita bahkan dengan sengaja melakukan pemberitaan yang demikian
hanya untuk memperoleh jumlah pengunjung.
Meskipun ada nilai-nilai yang harus dijalankan oleh setiap media
dalam peliputannya seperti akurasi, objektivitas dalan lain sebagainya
namun pada dasarnya harus diakui bahwa media tidak pernah menyajikan
realita apa adanya. Mereka melakukan proses editing, membuat narasi,
menonjolkan suatu aspek dan mengabaikan yang lainnya. Tetapi praktek-
praktek tersebut dikuatirkan tidak akan membantu terjadinya resolusi
konflik malah justru akan semakin memperparahnya. Belum lagi bila
berita tersebut terbit secara online, makan akan lebih cepat pula berita
tersebut sampai kepada public dan tentunya akan mempengaruhi
sikap/respon mereka pula (Eriyanto, 2003).
Kerisauan akan dampak pemberitaan media yang buruk terkait
konflik telah mendorong munculnya gagasan “Jurnalisme damai”.
Keeble, Tulloch & Zollman (2010, p.2) mengatakan bahwa gagasan ini
muncul di kalangan para peneliti perdamaian, aktivis dan juga para
akademisi pada tahun 1970-an. Namun yang pertama sekali
mengembangkan gagasan Jurnalisme Damai secara teoritis adalah Johan
20
Galtung. Dalam sebuah lokakarya musim panas di Taplow Court,
Buckinghamshire, Inggris pada Agustus 1997, ia pun berhasil
merumuskan perbedaan ideologi antara jurnalisme konflik/perang dengan
jurnalisme damai.
Galtung berupaya mendorong peran positif media dengan
menghadirkan konsep jurnalisme damai dalam peliputan berita konflik.
Menurutnya jurnalis bukanlah sekedar mewartakan, apalagi memprovokasi
tetapi justru mendorong masyarakat untuk mempertimbangkan dan
mengambil respon-respon non kekerasan terhadap konflik yang terjadi.
Sehingga dalam konsep ini media diharapkan tidak hanya fokus terhadap
konflik yang terjadi melainkan pada proses dan hubungan antar peristiwa
yang memberi makna bagi khalayak.
G. Kerangka Konsep
Dari kerangka teori yang telah dipaparkan sebelumnya, penulis
kemudian menyusun kerangka konsep yang dimaksudkan untuk memberi
batasan dan pedoman dalam penyusunan instrumen penelitian. Penulis
menggunakan konsep kategorisasi dan indikator yang disusun oleh
Kriyantono (2010), untuk mengetahui model pemberitaan konflik di media
online Tribunnews.com dan Tempo.co. Kategorisasi tersebut disusun
dengan memadukan model objektivitas dari Westerthal dan model
jurnalisme damai dari Subiakto,dkk. Adapun kategorisasi beserta
indikatornya tersebut adalah sebagai berikut:
a. Frekuensi berita bertujuan untuk mengetahui jumlah berita tentang
penyerangan terhadap umat Katholik di Sleman pada media berita online
Tempo.com & Tribunnews.com edisi 29 Mei – 3 Juni 2014.
b. Tema–tema umum berita konflik. Tema umum ini bertujuan untuk
melihat dan mengetahui tema-tema apa saja yang terdapat di situs berita
online Tribunnews.com dan Tempo.com terkait berita konflik penyerangan
umat Katholik tersebut.
21
c. Tipe Berita. Yang dimaksud tipe Berita adalah kategori berita yaitu
hard news, soft news, developing news, dan continuing news. Tipe atau
kategori berita dalam Eriyanto (2012:127-130) yaitu:
1) Hard news, yaitu berita mengenai peristiwa yang terjadi saat itu. Hard
news dibatasi oleh waktu dan aktualitas dengan indikator keberhasilan
adalah kecepatannya untuk diberitakan.
2) Soft news, berhubungan dengan kisah manusiawi (human interest) dan
tidak dibatasi oleh aktualitasnya karena ukuran keberhasilan berita ini
adalah emosi khalayak yang tersentuh oleh berita tersebut.
3) Developing news, berhubungan juga dengan peristiwa yang tidak
terduga
namun dimasukkan juga elemen lainnya yaitu rangkaian berita yang akan
diteruskan pada keesokan atau dalam berita selanjutnya.
4) Continuing news, dimana peristiwa yang terjadi bisa diprediksikan atau
direncanakan.
d. Akurasi Pemberitaan. Diukur berdasarkan kejujuran dalam
pemberitaan, yaitu tidak adanya percampuran fakta dengan opini wartawan
yang menulis berita, kesalahan penulisan data dan juga kesesuaian Judul
dengan isi berita yang disampaikan. Adapaun yang menjadi indikatornya
adalah:
1. Ada tidaknya pencampuran fakta dan opini, yaitu bila terdapat kata-
kata opinionative yang berasal dari journalist seperti: tampaknya,
diperkirakan, seakan-akan, terkesan, kesannya, seolah, agaknya,
diramalkan, kontroversi, mengejutkan, maneuver, sayangnya dan lainnya.
2. Ada tidaknya kesalahan penulisan data, tanggal, alamat, nama
narasumber dan sebagainya.
3. Ada tidaknya kesesuaian antara Judul dengan isi berita.
e. Imparsialitas atau ketidakberpihakan pemberitaan, adalah menyangkut
keseimbangan penulisan berita meliputi:
1. Balance, yaitu apabila berita konflik tersebut dilihat dari dua perspektif,
yaitu dari masing-masing pihak yang bertikai.
22
2. Tidak Balance, bila perspektif pemberitaan yang dipakai hanya dari satu
pihak saja. Tidak ada kesempatan yang sama terhadap kedua pihak
f. Penggunaan bahasa Puffery, indikatornya:
1. Menggunakan Puffery, yakni bila menggunakan bahasa yang
menunjukkan kekerasan fisik dari masing-masing kelompok yang bertikai
dan menunjukkan dengan jelas pihak-pihak yang melakukan kekerasan itu,
disertai dengan kata-kata kekerasan seperti membantai, memusnahkan,
menghancurkan , membasmi dan lainnya.
2. Tidak menggunakan puffery, yaitu bila dengan tidak menyebutkan
kelompok secara jelas dan menggunakan kata-kata yang lebih netral
seperti menyerang, menyerbu, membakar.
g. Giving Voice to the voiceless, indikatornya:
1. Berita berdasarkan wawancara atau statement elite atau tokoh yang
bertikai
2. Berita berdasarkan wawancara hanya dengan para korban, seperti
wanita, anak-anak dan orangtua
3. Berita berdasarkan wawancara baik dengan elit maupun dengan korban.
h. Konsep mengenai akibat yang ditimbulkan oleh pertikaian.
Indikatornya:
1. Berita lebih banyak memperlihatkan akibat pertikaian yang sifatnya
terlihat (visible), seperti beberapa korban yang tewas, cedera, bangunan
hancur, mobil terbakar, desa yang hancur dan lainnya.
2. Berita lebih banyak memperlihatkan akibat pertikaian yang sifatnya
tidak dapat dilihat, misalnya trauma psikologis korban, hilangnya masa
depan korban, rusaknya moral, ketakutan-ketakutan dan lainnya.
3. Berita menampilkan kedua hal di atas.
i. Orientasi pemberitaan, yakni fokus penulis berita dalam menulis berita
konflik tersebut. Indikatornya:
1. Beritanya lebih banyak berorientasi pada arena konflik, yaitu hanya
meliput konfliknya saja, deskripsi di daerah pertikaian
2. Beritanya berorientasi melihat konflik sebagai persoalan yang tidak
sederhana, melakukan mapping, mencari atau melihat latar belakang
23
masalah, problema-problem kultural dan politik yang mendasari serta
memberi serta memberi alternative solusi.
j. Media Berita Online adalah media massa yang
menyajikan/memproduksi dan mendistribusikan fakta dan peristiwa
melalui internet (Wikipedia.com)
H. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode analisis isi
kualitatif. Menurut Krippendrorff (2006: 8), analisis isi adalah sebagai
suatu teknik penelitian untuk membuat inferensi yang dapat di replikasi
(ditiru) dan sahih datanya dengan memperhatikan konteksnya. Menurut
Schreier (2012:1), analsisis isi kualitatif adalah metode sistematis yang
menggambarkan makna dari materi penelitian melalui klasifikasi dan
kategorisasi materi. Altheide dalam Kriyantono (2006:247) memberikan
penjelasan secara teknis dimana periset analisis isi berinteraksi dengan
material-material dokumentasi atau bahkan melakukan wawancara
mendalam sehingga pernyataan-pernyataan yang spesifik dapat diletakkan
pada konteks yang tepat untuk dianalisis.
2. Tipe Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang berupaya
menggambarkan secara detail suatu teks tertentu melalui karakteristik dari
setiap teks, sehingga ia tidak menguji suatu hipotesis tertentu (Eriyanto,
2011:47). Penulis menggunakan teknik deskripsi untuk menjabarkan dan
menganalisis data melalui pertanyaan bagaimana media online
menampilkan berita penyerangan umat Katholik di Sleman.
3. Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan pada media berita online Tribunnews.com
& Tempo.com edisi 29Mei-3 Juni 2014. Penelitian akan dilaksanakan
pada bulan Juni 2015 sampai selesai.
24
4. Sumber Data
Dalam penelitian ini, data diperoleh dari dua jenis sumber berikut:
a. Data Primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung dari sumbernya
saat penelitian dilaksanakan. Dalam penelitian ini yang menjadi data
primer adalah berita kasus penyerangan umat Katholik di Sleman
Yogyakarta pada harian Tribunnews.com & Tempo.com . Data inilah yang
kemudian akan dianalisis sesuai dengan kategori yang relevan dengan
tujuan penelitian.
b. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari studi pustaka, melalui
buku-buku ilmiah, pengetahuan umum sebagai landasan teori yang
berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. Di samping itu data juga
diperoleh dari literatur dan jurnal-jurnal penelitian yang mendukung.
6. Analisis Data
Dalam penelitian ini, analisa data akan dilakukan melalui berbagai
tahapan. Pada tahap pertama, penulis mengumpulkan keseluruhan berita
terkait penyerangan tersebut dari kedua situs berita online Tribunnews.com
dan Tempo.co. Selanjutnya pada tahap kedua penulis menghitung
frekuensi pemberitaan masing-masing situs berita online tersebut dari
tanggal 29 Mei- 3 Juni 2014. Tahap ketiga, berita-berita tersebut
dikelompokkan berdasarkan beberapa tema umum penting dan
menganalisis tipe beritanya. Pada Tahap keempat, penulis mengukur
model pemberitaan dengan menggunakan indikator objektivitas
pemberitaan. Tahap kelima, hasil pengkategorisasian masing-masing akan
dianalisis secara deskripsi untuk menggambarkan hasil temuan dan
memberikan analisis yang lebih mendalam.
25
Tabel 2
Unit analisis Objektivitas Pemberitaan
No Kategori Unit analisis Sumber
1 Frekuensi Berita
2 Tema Umum Berita
3 Tipe Berita 1.Hard news;
2. Soft news;
3. Developing news;
4. Continuing news..
Eriyanto,2012:127-130
4 Akurasi
Pemberitaan
1. Ada tidaknya pencampuran fakta dan opini,
yaitu bila terdapat kata-kata opinionative yang
berasal dari journalist seperti: tampaknya,
diperkirakan, seakan-akan, terkesan, kesannya,
seolah, agaknya, diramalkan, kontroversi,
mengejutkan, maneuver, sayangnya dan
lainnya.
2. Ada tidaknya kesalahan penulisan pada
data, tanggal, nama narasumber, alamat dan
sebagainya
3. Akurasi judul dengan isi (judul dan isi
berhubungan)
Westerthal (McQuil,
2000) & Subiakto,
Rahmaida, Syirikit
Syach (200)
5 Imparsialitas atau
ketidakberpihakan
pemberitaan
1. Balance, yaitu apabila berita konflik
tersebut dilihat dari dua perspektif, yaitu dari
masing-masing pihak yang bertikai.
2. Tidak Balance, bila perspektif pemberitaan
yang dipakai hanya dari satu pihak saja. Tidak
ada kesempatan yang sama terhadap kedua
pihak
Westerthal (McQuil,
2000) & Subiakto,
Rahmaida, Syirikit
Syach (200)
26
6. Penggunaan Bahasa
Puffery
1. Menggunakan Puffery, yakni bila
menggunakan bahasa yang menunjukkan
kekerasan fisik dari masing-masing kelompok
yang bertikai dan menunjukkan dengan jelas
pihak-pihak yang melakukan kekerasan itu,
disertai dengan kata-kata kekerasan seperti
membantai, memusnahkan, menghancurkan ,
membasmi dan lainnya.
2. Tidak menggunakan puffery, yaitu bila
dengan tidak menyebutkan kelompok secara
jelas dan menggunakan kata-kata yang lebih
netral seperti menyerang, menyerbu,
membakar.
Westerthal (McQuil,
2000) & Subiakto,
Rahmaida, Syirikit
Syach (200)
7 Konsep mengenai
akibat yang
ditimbulkan
pertikaian
1. Berita lebih banyak memperlihatkan akibat
pertikaian yang sifatnya terlihat (visible),
seperti beberapa korban yang tewas, cedera,
bangunan hancur, mobil terbakar, desa yang
hancur dan lainnya.
2. Berita lebih banyak memperlihatkan akibat
pertikaian yang sifatnya tidak dapat dilihat,
misalnya trauma psikologis korban, hilangnya
masa depan korban, rusaknya moral, ketakutan-
ketakutan dan lainnya.
3. Berita menampilkan kedua hal di atas.
Westerthal (McQuil,
2000) & Subiakto,
Rahmaida, Syirikit
Syach (200)
8 Giving voice to the
voiceless
1. Berita berdasarkan wawancara atau
statement elite atau tokoh yang bertikai
2. Berita berdasarkan wawancara hanya dengan
para korban, seperti wanita, anak-anak dan
orangtua
3. Berita berdasarkan wawancara baik dengan
elit maupun dengan korban.
Westerthal (McQuil,
2000) & Subiakto,
Rahmaida, Syirikit
Syach (200)
27
9. Orientasi
Pemberitaan
1. Beritanya lebih banyak berorientasi pada
arena konflik, yaitu hanya meliput konfliknya
saja, deskripsi di daerah pertikaian
2. Beritanya berorientasi melihat konflik
sebagai persoalan yang tidak sederhana,
melakukan mapping, mencari atau melihat
latar belakang masalah, problema-problem
kultural dan politik yang mendasari serta
memberi serta member alternatif solusi.
Westerthal (McQuil,
2000) & Subiakto,
Rahmaida, Syirikit
Syach (200)
28
SISTEMATIKA PENULISAN
BAB I. PENDAHULUAN
Pada bab ini akan dipaparkan mengenai latarbelakang masalah,
pembatasan/perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, objek penelitian,
Kerangka Teori, Kerangka Konsep dan Metode Penelitian dan unit analisis
penelitian.
BAB II. KAJIAN TEORITIS
Bab ini akan menguraikan kajian teoritis mengenai jenis-jenis situs
Jurnalisme, Transformasi Jurnalis dan Newsroom di Media Berita online,
Kredibilitas Berita di Media Berita Online, coverage Media Online terhadap berita
konflik agama di Indonesia dan Jurnalisme damai sebagai Alternatif Konstruksi
Berita Konflik Agama di Media Online.
BAB II . GAMBARAN UMUM SITUS BERITA TEMPO.CO &
TRIBUNNEWS.COM
Pada bab ini akan dipaparkan mengenai gambaran singkat tentang situs
berita Tribunnews.com dan Tempo.co, Konvergensi Media dan perubahan
Kebijakan Redaksi dan Newsroom di Tribunnews.com dan Tempo.co serta content
berita di kedua situs berita tersebut.
BAB IV. PEMBAHASAN
Pada bab ini akan dipaparkan hasil penelitian terkait karakteristik berita
Konflik Agama di Media Berita online berdasarkan masing-masing unit
analisisnya sebagaimana telah dipaparkan pada bab 1.
BAB V. KESIMPULAN SARAN DAN PENUTUP
Bab ini berisikan kesimpulan dari penelitian dan saran untuk penelitian
selanjutnya.
29