29
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konflik berlatar agama telah kerap kali muncul dan mengancam kesatuan bangsa Indonesia. The Wahid Institute melaporkan bahwa jumlah konflik berlatar agama pada tahun 2014 masih tergolong tinggi meskipun secara kuantitas telah mengalami penurunan dari tahun sebelumnya. Namun hasil tersebut diambil dari pemantauan 18 wilayah saja, yang berarti bahwa masih ada kemungkinan peristiwa konflik di wilayah lain yang tidak terpantau oleh lembaga ini maupun oleh coverage media. Salah satu dari 18 wilayah yang dipantau mengalami persitiwa konflik dan masuk pemberitaan media adalah kota Yogyakarta (www.wahidinstitude.org, diakses Maret 2015). Data menunjukkan bahwa sepanjang dua tahun terakhir, jumlah kasus kekerasan berlatar agama di Yogyakarta terus mengalami peningkatan. Bahkan dari awal tahun sampai pertengahan tahun 2014, ada sekitar 8 kasus kekerasan berlatar agama kota Yogyakarta yang masuk dalam pemberitaan media massa (www.tempo.co, “Kasus Intoleransi di Yogyakarta Mengkhawatirkan”, Senin 2 Juni 2014). Kasus Penyerangan terhadap umat Katholik di Sleman dan penyegelan rumah Pdt. Nico adalah peristiwa terkini yang turut menambah jumlah konflik berlatar agama di kota yang mendapat julukan city of tolerance tersebut. Persitiwa konflik yang terjadi pada Kamis malam, 29 Mei 2014 tersebut, bermula dari aksi sekelompok orang yang melakukan penyerangan terhadap umat Katholik yang sedang berdoa Rosario dan latihan Koor di rumah direktur Galang Press, Julicianus Felicianus, Sleman. Penyerangan yang dilakukan dengan aksi pengrusakan, pemukulan dan pelemparan batu tersebut mengakibatkan pemilik rumah dan sejumlah umat yang beribadah terluka. Tindakan intoleransi tersebut cukup mengejutkan, mengingat Kota Yogyakarta adalah kota yang toleran terhadap berbagai perbedaan latarbelakang masyarakatnya. Kecaman terhadap persitiwa tersebut pun datang dari berbagai pihak baik pemerintah, masyarakat, LSM, aktivis, dan tentunya para jurnalis.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107007/potongan/S2-2016...labelisasi pelaku untuk mendramatisir konflik guna menimbulkan sensasi bagi para

  • Upload
    leliem

  • View
    213

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107007/potongan/S2-2016...labelisasi pelaku untuk mendramatisir konflik guna menimbulkan sensasi bagi para

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Konflik berlatar agama telah kerap kali muncul dan mengancam kesatuan

bangsa Indonesia. The Wahid Institute melaporkan bahwa jumlah konflik

berlatar agama pada tahun 2014 masih tergolong tinggi meskipun secara

kuantitas telah mengalami penurunan dari tahun sebelumnya. Namun hasil

tersebut diambil dari pemantauan 18 wilayah saja, yang berarti bahwa masih ada

kemungkinan peristiwa konflik di wilayah lain yang tidak terpantau oleh

lembaga ini maupun oleh coverage media. Salah satu dari 18 wilayah yang

dipantau mengalami persitiwa konflik dan masuk pemberitaan media adalah kota

Yogyakarta (www.wahidinstitude.org, diakses Maret 2015).

Data menunjukkan bahwa sepanjang dua tahun terakhir, jumlah kasus

kekerasan berlatar agama di Yogyakarta terus mengalami peningkatan. Bahkan

dari awal tahun sampai pertengahan tahun 2014, ada sekitar 8 kasus kekerasan

berlatar agama kota Yogyakarta yang masuk dalam pemberitaan media massa

(www.tempo.co, “Kasus Intoleransi di Yogyakarta Mengkhawatirkan”, Senin 2

Juni 2014). Kasus Penyerangan terhadap umat Katholik di Sleman dan

penyegelan rumah Pdt. Nico adalah peristiwa terkini yang turut menambah

jumlah konflik berlatar agama di kota yang mendapat julukan city of tolerance

tersebut.

Persitiwa konflik yang terjadi pada Kamis malam, 29 Mei 2014 tersebut,

bermula dari aksi sekelompok orang yang melakukan penyerangan terhadap

umat Katholik yang sedang berdoa Rosario dan latihan Koor di rumah direktur

Galang Press, Julicianus Felicianus, Sleman. Penyerangan yang dilakukan

dengan aksi pengrusakan, pemukulan dan pelemparan batu tersebut

mengakibatkan pemilik rumah dan sejumlah umat yang beribadah terluka.

Tindakan intoleransi tersebut cukup mengejutkan, mengingat Kota

Yogyakarta adalah kota yang toleran terhadap berbagai perbedaan latarbelakang

masyarakatnya. Kecaman terhadap persitiwa tersebut pun datang dari berbagai

pihak baik pemerintah, masyarakat, LSM, aktivis, dan tentunya para jurnalis.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107007/potongan/S2-2016...labelisasi pelaku untuk mendramatisir konflik guna menimbulkan sensasi bagi para

2

Tidak mengherankan, bila kemudian beritanya bermunculan di ruang

pemberitaan sejumlah media. Beberapa media massa baik cetak, elektronik

(televisi & radio) dan media berita online bahkan mengangkat konflik tersebut

sebagai bahan pemberitaan selama beberapa hari berturut-turut.

Dari sekian banyaknya media yang memberitakan tentang peristiwa

konflik tersebut, media berita online adalah yang pertama sekali dan yang paling

banyak melaporkan tentang peristiwa tersebut kepada masyarakat. Dengan

segala kelebihan yang dimungkinkan oleh media berita online, informasi terkait

peristiwa tersebut pun sampai kepada masyarakat hanya berselang beberapa jam

dari terjadinya konflik, sementara media konvensional memberitakannya pada

keesokan harinya.

Dalam media berita online, berita-berita konflik tersebut biasanya

cenderung berbentuk hardnews yang singkat, padat, lugas, tidak akurat dan tidak

jarang terkesan provokatif. Selain itu media berita online juga sering melakukan

labelisasi pelaku untuk mendramatisir konflik guna menimbulkan sensasi bagi

para users untuk meng-klik dan membaca atau bahkan men-share informasi

tersebut di dunia maya lewat sosial media.

Hal inilah yang kemudian menjadi persoalan ketika konflik-konflik terkait

isu agama yang sangat sensitif diangkat dalam media berita online. Kecepatan

media berita online dalam menyampaikan informasi, justru sering kali

berbanding terbalik dengan akurasi dan penerapan objektivitas jurnalisme yang

baik. Alih-alih melaporkan konflik, media justru menyulut konflik semakin

memanas atau bahkan memicu konflik baru terjadi.

Tribunjogja.com misalnya, dalam beritanya yang dimuat hanya berselang

beberapa jam setelah kejadian tersebut, menyatakan bahwa pelaku penyerangan

terhadap umat Katholik tersebut adalah “sekelompok pria berjubah”.

Sementara Portalkbr.com menuliskan bahwa pelaku penyerangan tersebut

adalah “ormas radikal” yang sering melakukan keributan di masyarakat. Dalam

hal ini kedua media tersebut telah melabeli pelaku dengan identitas tertentu,

meskipun pada kenyataannya, pihak yang berwajib belum mengkonfirmasi siapa

pelaku dari penyerangan tersebut.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107007/potongan/S2-2016...labelisasi pelaku untuk mendramatisir konflik guna menimbulkan sensasi bagi para

3

Labelisasi pelaku penyerangan yang dilakukan oleh beberapa media berita

online tersebut telah mengakibatkan munculnya beragam prasangka dan

kesimpangsiuran informasi di masyarakat terkait persitiwa tersebut. Salah satu

di antaranya adalah anggapan bahwa pelaku penyerangan tersebut adalah

anggota ormas FPI, mengingat anggota ormas ini sering terlibat konflik dalam

masyarakat dan selalu menggunakan jubah dalam melakukan aksi-aksinya.

Kekeliruan pemberitaan ini mengakibatkan keresahan dan kecaman

masyarakat terhadap ormas tersebut. FPI pun langsung mengklarifikasi dengan

memberi pernyataan bahwa pelaku penyerangan tersebut bukan anggotanya.

Voa-Islam.com dalam sebuah tulisanya menyatakan kekecewaan FPI terhadap

beberapa media nasional yang dinilai terburu-buru menyatakan FPI sebagai

pelaku penyerangan umat katholik tersebut. Mereka menilai adanya

penggiringan opini yang dilakukan oleh media berita online nasional agar ormas

Islam didiskreditkan dan diarahkan menjadi pelaku penyerangan tersebut.

Melaporkan konflik berlatar agama sebagai suatu isu yang sangat sensitif

di tengah masyarkat Indonesia yang plural, memang bukanlah hal yang mudah.

Dibutuhkan pemberitaan yang objektif agar tidak berdampak buruk bagi

masyarkaat yang mengonsumsi berita tersebut. Namun realitanya, pemberitaan

terkait konflik di Indonesia justru sering terjebak dengan apa yang dinamakan

dengan Jurnalisme konflik. Dalam jurnalisme konflik, pemberitaan biasanya

hanya berfokus pada konflik dan kekerasan yang terjadi. Hal ini bisa terjadi

karena ketidaksadaran dan keterbatasan jurnalis dalam melakukan peliputan.

Tetapi tidak menutup kemungkinan juga karena unsur kesengajaan untuk

mendramatisir konflik sehingga berita menjadi semakin menarik dan seru.

Secara normatif, pemberitaan yang berorientasi pada konflik dan kekerasan

adalah merupakan bentuk jurnalisme yang tidak etis, karena media seharusnya

menjadi agen yang mendorong terjadinya perdamaian dalam situasi konflik.

Berdasarkan realitas tersebut penulis kemudian memilih berita di media

berita online sebagai bahan kajian untuk melihat bagaimana media berita online

menyajikan/menampilakan konflik penyerangan terhadap umat Katholik di

Sleman, Yogyakarta. Berita yang dikaji adalah berita-berita terkait konflik

tersebut dalam portal berita Tribunnews.com &Tempo.com. Kedua media

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107007/potongan/S2-2016...labelisasi pelaku untuk mendramatisir konflik guna menimbulkan sensasi bagi para

4

online ini sengaja dipilih karena keduanya terbilang cukup banyak

memberitakan konflik penyerangan terhadap umat Katholik di Sleman tersebut.

Keduanya juga memiliki khalayak pembaca yang terbilang banyak sehingga

dianggap mampu mempengaruhi opini banyak users di dunia maya. Apalagi

kedua media online ini merupakan bagian dari keberadaan Harian Kompas dan

majalah Tempo yang sebelumnya sudah dikenal khalayak sebagai media cetak

nasional yang memiliki ideologi masing-masing dalam melaksanakan fungsi

persnya. Tentunya faktor-faktor ini turut andil dalam menentukan corak

pemberitaan terkait konflik penyerangan terhadap umat Katholik tersebut.

B. Perumusan Masalah

Berpijak dari uraian tersebut, permasalahan yang diteliti kemudian

difokuskan pada tampilan berita terkait kasus penyerangan terhadap Umat

Katholik di Ngaglik, Sleman, Yogyakarta. Sehingga pertanyaan pokok yang

dapat diajukan terkait hal tersebut adalah Bagaimanakah objektivitas

pemberitaan kasus penyerangan terhadap Umat Katholik di Ngagklik Sleman

pada Tribunnews.com & Tempo.com periode 29 Mei- 3 Juni 2014?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui objektivitas pemberitaan

kasus penyerangan Umat Katholik di Sleman Yogyakarta pada Tribunnews.com

& Tempo.com, periode 29 Mei- 3 Juni 2014

D. Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Manfaat akademis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan bacaan dan kajian

bagi mahasiswa Ilmu Komunikasi dalam memahami objektivitas

pemberitaan konflik berlatar agama di media berita online.

b. Manfaat praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan baru bagi

penelitian selanjutnya untuk terus disempurnakan, sehingga dapat

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107007/potongan/S2-2016...labelisasi pelaku untuk mendramatisir konflik guna menimbulkan sensasi bagi para

5

berfungsi seoptimal mungkin dalam melihat objektivitas pemberitaan

konflik di media berita online.

E. Objek Penelitian

Yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah berita-berita Kasus

Penyerangan Umat Katholik di Ngaglik, Sleman, Yogyakarta dalam

Tribunnews.com & Tempo.com edisi 30 Mei- 3 Juni 2014. Pemilihan kedua

situs berita ini adalah karena keduanya memiliki khalayak/user yang banyak

sehingga dianggap mampu mempengaruhi opini publik dalam jumlah banyak.

F. Kerangka Teori

1. Jurnalisme Media Online

Kemunculan Jurnalisme online yang merevolusi cara penyampaian

informasi kepada khalayak bagaimanapun tidak terlepas dari kemajuan

teknologi komunikasi dan informasi khususnya dalam hal penemuan

internet. Internet memiliki kemampuan yang unik dibandingkan dengan

media lainnya. Ia tidak hanya memiliki semua kemampuan yang dimiliki

oleh media tradisional (teks, gambar, grafis, animasi, audio, video dan

real-time) tetapi ia juga menawarkan kemampuan-kemampuan baru

lainnya kepada kita. Tidak salah bila John Pavlik kemudian mengatakan

bahwa “Internet is a journalist’s Medium” (Foust, 2009: 7).

Secara umum, pengaruh internet terhadap jurnalisme dapat dilihat

dalam dua hal yakni dalam hal terobosan perubahan newsroom pembuatan

berita yang dibantu oleh internet dan munculnya jenis jurnalisme baru

yang disebut sebagai Jurnalisme Online (Mark Deuze & Steve Paullusen,

2002; 238). Jurnalisme Online berasal dari gabungan kata “jurnalisme”,

yang memiliki arti penyajian informasi dan fakta secara luas kepada publik

dan kata “daring” yang merupakan singkatan dari “dalam jaringan”

(online) yang dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang berhubungan

dengan teknologi dan media Internet. Sehingga Jurnalisme Online secara

sederhana dapat diartikan sebagai metode penyajian informasi dan fakta

dengan menggunakan bantuan atau perantara internet (Wikipedia.com).

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107007/potongan/S2-2016...labelisasi pelaku untuk mendramatisir konflik guna menimbulkan sensasi bagi para

6

Media-media konvensional saat ini telah melirik media online

sebagai ranah baru yang menjanjikan. Dengan konsep jurnalisme yang

berbeda dari media konvensional, media online menghadirkan kebaruan

dalam dunia pemberitaan dan jurnalistik. Bukan hanya mengadaptasi

media cetak menuju layar datar, namun juga menggabungkan cetak, suara,

dan gambar dalam satu media tunggal (convergen). Babakan inilah yang

kemudian membawa kita memasuki era baru yang dinamakan dengan era

jurnalisme online (Mark Deuze, 1999: 376-378).

Singer (dalam Tsfati, 2010) mengatakan bahwa pada awalnya

media berita online hanya berbentuk “Shovelware”, yang mana berita-

berita dalam media tersebut langsung diangkat dari versi cetaknya ke

dalam internet. Tetapi kemudian para pelaku media menyadari bahwa bila

mereka ingin mendapatkan keuntungan finansial dari media tersebut,

mereka harus mengakomodir segala fitur yang ada dalam teknologi online

tersebut.

Dengan demikian, kehadiran media online benar-benar telah

merubah pakem jurnalistik dalam hal pelaporan berita. Pemberitaan dalam

media online pun menjadi sangat berbeda dengan pemberitaan yang ada

dalam media berita konvensional. Bila dibandingkan dengan media

tradisional, media online memungkinkan banyak hal yang tidak bisa

dilakukan oleh media tradisional. Mark Deuze (2003) mengidentifikasi

bahwa ada tiga hal yang bisa dikatakan sebagai bahasa operasi media

online yakni:

1. Hypertextuality

Dalam media baru dimungkinkan adanya hyperlink. Teks-teks

dalan media baru mempunyai hubungan melalui link secara internal,

dengan teks lain dalam domain teks atau secara internal dengan teks lain

dengan dokumen lain di luar internet.

2. Multimediality

Ketika ruang-ruang dalam media tradisional terdistorsi dan

menciptakan efektivitas, dimana pekerjaan yang biasanya dikerjakan

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107007/potongan/S2-2016...labelisasi pelaku untuk mendramatisir konflik guna menimbulkan sensasi bagi para

7

secara terpisah kini dapat dilakukan dalam waktu bersamaan karena

adanya konvergensi media dalam media online.

3.Interactivity

Interaktivitas merupakan konsep utama dalam memahami new

media, begitu pula pada jurnalisme online. Namun, perlu diingat bahwa

interaktivitas yang terjadi dalam new media dipahami dalam dua aktivitas.

Pertama, aktivitas mekanis yang berarti protokoler dalam internet. Kedua,

aktivitas interaktif yang berarti interaksi yang terjadi dalam internet.

Dengan karakteristik yang disebutkan di atas, media online pun

tampil lebih unggul dibandingkan dengan media-media konvensional yang

ada sebelumya. Adapun yang menjadi keunggulan dari media online

adalah sebagai berikut (Agus, 2001):

1) Informasinya bersifat up to date (senantiasa diperbaharui)

Media online dapat melakukan upgrade informasi dari waktu ke waktu.

Hal ini terjadi karena media online memiliki proses penyajian informasi

dan berita yang lebih mudah dan sederhana dibanding jenis media massa

lainnya.

2) Informasinya bersifat real time

Media online dapat menyajikan informasi dan berita saat peristiwa sedang

berlangsung.

3) Informasinya bersifat praktis

Media online dapat diakses di mana dan kapan saja, sejauh didukung oleh

fasilitas teknologi internet.

Namun demikian keunggulan media online dalam banyak hal

ternyata tidak membuatnya selalu sesuai dengan norma dan praktek

jurnalistik konvensional. Bahkan dalam beberapa kondisi, kualitas yang

sangat diagung-agungkan dalam media online seperti konektivitas,

interaktivitas dan ketiadaan hierarki justru bertentangan dengan konsep

profesionalisme jurnalistik konvensional.

Jurnalisme tradisional biasanya ditandai dengan adanya batasan

ruang yang diatur oleh gatekeeper dan praktek seleksi berita. Sebaliknya

ruang yang dapat digunakan oleh produsen berita online justru sangat tak

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107007/potongan/S2-2016...labelisasi pelaku untuk mendramatisir konflik guna menimbulkan sensasi bagi para

8

terbatas sehingga seleksi berita yang menjadi inti jurnalisme tradisional

tidak lagi diperhatikan. Media online juga menawarkan pengurangan

hierarki dalam sistem produksi berita sehingga produksi berita tidak

serumit di media tradisional. Tidak hanya itu, media online juga

memungkinkan pengguna (users) untuk melompat dari suatu berita ke

berita lain bahkan ke sumber informasi asli. Yang berarti kita dapat

mengakses langsung ke sumber-sumber yang mungkin dapat

meningkatkan tingkat kepercayaan kita terhadap teks berita tersebut (Yariv

Tsfati, 2010).

Tidak dapat dipungkiri bahwa kecepatan penyampaian informasi

adalah salah satu alasan mengapa media online menjadi rujukan sebagian

khalayak pada saat ini. Khalayak tidak lagi harus berlangganan koran

ataupun meluangkan waktu untuk membacanya karena mereka dapat

menerima informasi kapanpun dan di manapun mereka berada. Tetapi

sayangnya faktor kecepatan pada sisi lain justru mengurangi kualitas berita

dalam media online. Kebutuhan akan kecepatan dalam menyajikan berita

seringkali menyebabkan para pekerja di media online abai terhadap

kedalaman berita (indepth reporting). Ini tampak jelas pada penyajian

berita dalam media online yang bergeser dari seragam (pers cetak) ke

personal dengan format penulisan pendek, tajam (snappier), dan bergaya

percakapan (Priyono Hadi, 2003).

Pembaca dalam media berita online berubah menjadi partisipan

yang dapat merespon secara langsung kepada materi yang disajikan

reporter online, entah lewat e-mail, fasilitas online reply, model forum

diskusi, submit artikel, respon langsung atas komentar-komentar dari

pembaca lain ataupun lewat jajak pendapat online. Reporter online juga

dapat diuntungkan dengan adanya respon ‘segera’ dari pembacanya atas

berita yang disajikan. Sehingga umpan balik dengan cepat dapat diketahui

reporter atas suatu peristiwa/kejadian (Agus, 2001).

Inilah yang namanya perubahan mendasar dalam siklus publikasi

berita, yang dulu periodik (pers cetak) menjadi seketika dan interaktif.

Sehingga, unsur aktualitas berita menjadi sangat mutlak, karena khalayak

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107007/potongan/S2-2016...labelisasi pelaku untuk mendramatisir konflik guna menimbulkan sensasi bagi para

9

pembaca online umumnya aktif dan menyukai ekplorasi isi website.

Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa kelebihan yang ditawarkan oleh

media berita online juga memiliki beragam kelemahan sebagai

konsekuensi dari kelebihan yang dimilikinya. Misalnya saja dalam hal

akurasi informasi yang dinilai sering kali justru berbanding terbalik

dengan kecepatan media berita online dalam menyiarkan peristiwa. Oleh

karena itu, khalayak dituntut lebih kritis dalam memilih dan memilah

informasi melalui media online (Mark Deuze, 1999).

2. Kredibilitas Berita Di Media Berita Online

Meningkatnya jumlah pengguna internet yang mencari dan

membaca berita secara online setiap tahunnya, telah menjadi bukti nyata

kebangkitan media berita online. Beragam pandangan dari para pengamat

perkembangan media pun muncul menyertai perkembangan tersebut.

Namun satu isu utama yang kemudian banyak dipersoalkan dalam

merayakan kehadiran beragam media berita online tersebut adalah

persoalan kredibilitas berita yang disampaikannya.

Flanagin and Metzger (Salwan, et.al, 2005) mencatat bahwa media

online tidak selalu mengikuti aturan ataupun standar berita seperti di

media-media konvensional. Kurangnya proses editorial dan pengawasan

Gatekeeping dinilai menjadi akar dari munculnya persoalan tersebut.

Padahal menurut Schweiger, kredibilitas menjadi sangat penting di tengah

melimpahnya informasi yang diterima oleh publik saat ini.

Dalam sebuah buku yang dikeluarkan oleh AJI (Aliansi Jurnalistik

Indonesia) (2014) dinyatakan bahwa, “kehadiran internet telah membawa

kita memasuki suatu jaman yang mengoyak-ngoyak aneka pakem

jurnalistik yang selama ini dibangun dan dijaga selama bertahun-tahun.”

Sehingga sebagai dampaknya, berita sebagai produk jurnalisme di media

berita online menjadi jauh berbeda dengan berita di media tradisional

Kehadiran media berita online bagaimanapun telah turut pula

dalam mengubah pola konsumi informasi/ berita khalayak pada saat ini.

Kita tidak lagi harus menunggu terbitan surat kabar esok hari untuk

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107007/potongan/S2-2016...labelisasi pelaku untuk mendramatisir konflik guna menimbulkan sensasi bagi para

10

mengetahui peristiwa-peristiwa yang terjadi hari ini secara lengkap. Media

berita online memanjakan kita dengan beragam pilihan informasi yang

kita butuhkan dengan cepat dan mudah tanpa batasan ruang dan waktu.

Namun keunggulan tersebut tidak lantas membuat media berita

online menjadi media yang paling sempurna dalam hal pelaporan berita.

Ada banyak hal yang harus dievaluasi dan dipikirkan kembali ketika

media online menjadi sumber informasi. Bila jurnalisme tradisional

ditandai oleh batasan ruang yang diatur oleh gatekeeper dan juga seleksi

berita yang sangat ketat, tidak demikian halnya dengan jurnalisme online.

Batasan ruang dan seleksi berita tidak seketat seleksi berita di jurnalisme

tradisional (Foust, 2009: 83-85).

Kualitas dan kredibilitas informasi tentu sangat penting guna

mendorong kemajuan dan pembangunan dalam masyarakat. Namun sangat

disayangkan ketika kecepatan sebagai salah satu kelebihan media online

justru sering kali berbanding terbalik dengan kualitas dan kredibilitas

berita yang ia tampilkan. Banyak media berita online yang kemudian

mengatasnamakan kecepatan terjerembab menyampaikan informasi yang

dangkal dan terkadang minim verifikasi kepada masyarakat. Sehingga

pada akhirnya terjadi mis-persepsi dan mis-interpretasi terhadap fakta

yang ada (AJI, 2014: VI).

Apalagi dengan melimpahnya jumlah situs berita yang

menyediakan informasi di internet, khalayak pada akhirnya akan kesulitan

untuk membedakan mana berita yang berkualitas dan yang tidak

berkualitas (sesuai prinsip jurnalisme). Bill Kovach (2010) mendefinisikan

situasi tersebut sebagai kondisi Blur, dimana kita menerima informasi

dalam jumlah yang melimpah sehingga sulit menentukan mana informasi

yang bisa dipercaya dan mana yang tidak, mana produk jurnalisme dan

yang mana yang tidak.

Para peneliti telah melakukan beragam upaya untuk memahami

kredibilitas media dengan berbagai macam metode dan pengukuran.

Namun pemahaman defenisi kredibilitas sendiri masih mengundang

banyak perdebatan. Lazimnnya, kredibilitas dipahami sebagai suatu hal

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107007/potongan/S2-2016...labelisasi pelaku untuk mendramatisir konflik guna menimbulkan sensasi bagi para

11

yang dapat dipercaya dan dapat dibuktikan. Sehingga bila suatu berita

dipercayai oleh publik, maka berita tersebut bisa dikatakan jujur. Dengan

demikian “keterpercayaan” menjadi salah satu faktor penting dalam

kredibilitas suatu medium (Rasha A.Abdullah, et.al, 2005 dalam Online

News And The Public)

James c. Foust (2009) dalam bukunya yang berjudul Online

Journalism memberikan beberapa panduan untuk mengevaluasi situs

berita online apakah situs tersebut dapat dipercaya atau tidak. Adapun

beberapa hal yang diperhatikan dalam panduan tersebut adalah sebagai

berikut:

1) Who is Producing the site?

Kita harus mempertimbangkan siapa sumber informasi dari situs

berita yang kita baca. Apakah ia ditulis oleh organisasi jurnalistik,

ataukah perusahaan tertentu, perusahaan PR maupun partai politik.

Hal ini dapat kita lakukan dengan membaca kolom profil situs

media (about us). Hal ini penting agar kita mengetahui apakah

yang menjadi agenda media tersebut.

2) What is The content of the site?

Satu hal yang harus kita ingat adalah bahwa jurnalisme akan selalu

membahas isu kepentingan public, yakni isu-isu yang

mempengaruhi hajat hidup orang banyak baik langsung maupun

tidak langsung. Bila isi situs tersebut tidak mengandung isu-isu

penting terkait public maka situs tersebut bukanlah situs jurnalisme

3) Is The Information Accurate?

Untuk mengetahui apakah informasi yang disampaikan akurat atau

tidak memang bukanlah hal yang mudah. Tetapi kita bisa melihat

apakah ada kesalahan pengetikan, pengejaan yang salah, tata

bahasa yang tidak tepat bukti-bukti lain yang menunjukan

ketidakprofesionalan penulis berita tersebut. Perlu diingat bahwa

akurasi adalah satu hal yang wajib dalam jurnalisme, baik dalam

isu kecil maupun isu besar, karena itulah mengapa organisasi-

oranisasi jurnalisme memiliki editor.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107007/potongan/S2-2016...labelisasi pelaku untuk mendramatisir konflik guna menimbulkan sensasi bagi para

12

4) How Often the information Update

Kebaruan merupakan hal yang penting dalam dunia Jurnalisme.

Situs web memiliki kemampuan untuk mengupdate informasi

secara terus menerus. Sehingga bila ada situs berita yang belum

mengupdate beritanya dalam jangka waktu yang lama, maka situs

tersebut bukanlah situs jurnalisme yang baik.

5) What Does The site Look Like?

Situs berita yang dibuat secara professional biasanya bersih,

memiliki desain yang menyenangkan dan merefleksikan karakter

organisasinya.

Beberapa langkah di atas, memang belum sepenuhnya dapat

melihat kredibilitas media berita online. Namun Foust meyakini bahwa

beberapa hal di atas cukup dapat membantu public untuk mengenali suatu

sumber berita. Kredibilitas media memang suatu hal yang kompleks.

Namun secara sederhana kita dapat memahami bahwa keberimbangan,

kejujuran, dan ketepatan adalah hal-hal yang paling utama dalam melihat

kredibilitas suatu media. Semakin credible sebuah situs berita, tentunya

tingkat keterpercayaan akan berita/informasi yang disampaikan pun akan

semakin tinggi. Hal ini penting untuk kita perhatikan bila kita ingin

mendapatkan informasi yang akurat di tengah melimpahnya informasi saat

ini (Abdulla, et al, 2005).

3. Objektivitas Pemberitaan di Media Berita Online

Persoalan Objektivitas media dalam melaporkan suatu peristiwa

memang masih menyisakan sejumlah perdebatan dan sering sekali

disalahpahami oleh banyak orang. Pada saat konsep ini pertama sekali

dikembangkan, objektivitas tidak dipahami untuk menyatakan bahwa para

pekerja media/wartawan pada saat itu bebas dari bias. Tetapi sebaliknya

konsep ini meminta para wartawan untuk mengembangkan suatu metode

yang secara konsisten menguji informasi sehingga bias personal dan bias

budaya tidak melemahkan akurasi berita yang mereka tulis (Bill Kovach &

Tom Rosentiel, 2001: 88).

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107007/potongan/S2-2016...labelisasi pelaku untuk mendramatisir konflik guna menimbulkan sensasi bagi para

13

Lippmann (Bill Kovach & Tom Rosentiel, 2001: 89) bahkan

menyatakan bahwa dalam peliputan berita wartawan seharusnya tetap

berpikir jernih dan bebas dari penilaian awalnya yang tidak rasional, tidak

teruji dan yang tidak jelas sumbernya dalam memahami dan menyajikan

berita. Dan cara untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan melakukan

pengujian berita secara berulang-ulang dan transparan. Namun hal tersebut

tentu akan sulit terjadi dalam jurnalisme online, dimana kecepatan menjadi

tuntutan utama bagi para wartawan dalam bekerja. Tidak jarang bahkan

para wartawan membuat berita yang tidak disaksikannya sendiri, tetapi

hanya berdasarkan referensi dari pihak-pihak lain. Dengan demikian

kualitas berita (akurasi dan verifikasi data) menjadi sangat jauh dari apa

yang diharapkan.

Penerapan prinsip objektivitas dalam pelaporan berita sangatlah

berdampak pada kualitas berita yang dihasilkan. Mcquail mengatakan

bahwa objektivitas merupakan nilai sentral yang mendasari disiplin profesi

wartawan dan penting untuk menjaga kredibilitas berita yang dihasilkan

(Denis Mcquail, 1992: 73). Dalam konsep peliputan yang objektif,

wartawan diharapkan memiliki sikap yang adil dan tidak diskriminatif

terhadap narasumber maupun objek yang diberitakan. Dengan demikian

semua harus diperlakukan sama dan diberi ruang bicara yang sama bila

beritanya melibatkan dua belah pihak yang berkonflik.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Boyer ada enam

elemen utama yang mencakup objektivitas itu sendiri, yaitu

keberimbangan dalam menyajikan dua sisi dari sebuah perisitiwa,

ketepatan dalam menyampaikan berita, penyajian poin-poin yang relevan

terhadap isu,memisahkan antara fakta dan opini jurnalis, meminimalisir

pengaruh, sikap, dan pendapat dari penulis berita, dan yang terakhir adalah

menghindari adanya kesimpangsiuran, dendam, atau tujuan yang licik

(Boyer dalam McQuail, 1992: 184-185). J. Westerstahl kemudian

mengembangkan kerangka konseptual dasar guna meneliti dan mengukur

objektivitas pemberitaan. Objektivitas melibatkan dua dimensi yang

berbeda namun saling melengkapi, yaitu dimensi kognitif dan evaluatif.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107007/potongan/S2-2016...labelisasi pelaku untuk mendramatisir konflik guna menimbulkan sensasi bagi para

14

Dimensi kognitif mencakup faktualitas yang merupakan kualitas informasi

yang terkandung dalam sebuah berita. Sedangkan dimensi evaluative

mencakup imparsialitas atau ketidakberpihakan yang digunakan sebagai

kualitas sebuah berita. Berikut adalah skema objektivitas menurut

Westerstahl:

Gambar 1. Skema Objektivitas Westerstahl (McQuail, 1992: 196)

a. Faktualitas Berita

Kriteria faktualitas mengandung tiga hal yakni kebenaran (truth),

relevansi(relevance) dan juga informativeness berita. Truth digunakan

untuk mengukur tingkatan fakta yang disajikan dalam berita. Meskipun

banyak perdebatan terkait apa itu kebenaran dalam pengertian jurnalisme,

namun truth biasanya dihubungkan dengan factualness, accuracy dan juga

completeness (5W + 1H) (Kriyantono, 2006). Sedangkan untuk mengukur

relevansi dilihat dari standar jurnalistik yang terkandung di dalamnya,

seperti adanya significance, timelines, magnitude, timeliness, proximity,

prominence, dan human interest. Relevansi dan sensasionalisme adalah hal

yang bertentangan. Berita dikatakan mengandung unsur sensasionalisme

ketika lebih mengacu pada human interest, personalisasi, atau karakteristik

hiburan lainnya dalam berita. Nilai informasi yang terkandung akan

dianggap kurang dan semakin tidak relevan dengan kebutuhan informasi

masyarakat (McQuail, 1992: 200).

Informativeness

Neutral Presentation

Faktuality

Balance relevance Truth

Imparsiality

Objecttivity

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107007/potongan/S2-2016...labelisasi pelaku untuk mendramatisir konflik guna menimbulkan sensasi bagi para

15

b. Imparsialitas

Imparsialitas dapat diartikan sebagai keberpihakan

wartawan/penulis berita dalam melaporkan setiap peristiwa. Sehingga

dalam pemberitaannya, wartawan diharapkan netral dan tidak memihak

satu pihak manapun. Imparsialitas terbagi menjadi dua bagian yakni

Neutrality dan balance. Neutrality berkaitan dengan aspek penyajian suatu

berita, termasuk didalamnya penempatan berita, aspek-aspek yang

ditonjolkan, maupun pemilihan kata-kata yang digunakan (McQuail, 1992:

233). Dalam skema netralitas McQuail, tolak ukur dalam netralitas

meliputi non-evaluative dan non-sensational. Non-evaluative adalah ada

atau tidaknya percampuran antara fakta dan opini, sedangkan non-

sensational adalah bagaimana kesesuaian antara judul dengan isi berita.

Selanjutnya, dimensi balance atau keberimbangan pemberitaan

berkaitan dengan keseimbangan dalam pemberitaan. Dimensi ini terbagi

menjadi dua yakni Equal or proportional access dan Even Handed

evaluation. Equal or proportional access adalah seberapa banyak ruang

dan waktu yang diberikan media untuk menyajikan pendapat atau

kepentingan dari berbagai pihak; apakah hanya satu sisi saja yang

ditonjolkan atau dari berbagai sisi. Sedangkan even-handed evaluation

dapat dijadikan indikator evaluasi sebuah berita, apakah positif, negatif,

atau netral (McQuail, 1992: 224).

4. Pemberitaan Konflik di Media Berita Online

Berita merupakan salah satu produk media yang menjawab

kebutuhan kita akan berbagai informasi. Berita adalah reka adegan dari

setiap peristiwa berdasarkan interpretasi dari para pekerja media/jurnalis.

Artinya, berita bukanlah refleksi dari realitas yang ada, melainkan hanya

konstruksi dari realitas tersebut. Tidak semua peristiwa yang terjadi dapat

dijadikan berita. Ada beberapa nilai yang harus dipenuhi agar suatu

peristiwa dapat diangkat menjadi sebuah berita yang sering disebut sebagai

news value (Stuart Allan, 2010).

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107007/potongan/S2-2016...labelisasi pelaku untuk mendramatisir konflik guna menimbulkan sensasi bagi para

16

Konflik merupakan satu dari beberapa nilai berita yang paling

diminati oleh media massa. Bukan hanya media massa, khalayak pembaca

pun dinilai sangat antusias dengan berita yang mengandung nilai konflik.

Sehingga tidak salah lagi bila konflik menjadi isu yang dinanti dan diburu

oleh para pekerja media untuk dijadikan sebagai bahan pemberitaan.

Sebaliknya media menjadi penentu suatu peristiwa konflik diketahui atau

tidak oleh masyarakat. Media menjadi sarana/saksi yang merekam

peristiwa-peristiwa konflik di tengah masyarakat dan melaporkannya

kembali kepada kita (Iswandi Syahputra, 2006: 53).

Konflik tentu bukanlah hal yang asing bagi kita. Konflik menjadi

bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah manusia. Coser bahkan

mengatakan bahwa konflik adalah suatu hal yang instingtif dan kita dapat

menemukannya di setiap tempat yang dihuni oleh manusia (Lewis Coser,

1956: 112)

Ada begitu banyak definisi konflik menurut para ahli. Namun

secara etimologis, konflik berasal dari bahasa latin, con, yang berarti

“bersama”, dan figere, yang berarti “penyerangan”. Dalam kamus, konflik

mengacu pada kata-kata seperti “perkelahian”, “perlawanan”, dan

penolakan keras mengenai kepentingan atau gagasan. Sementara Louis

Coser (1956) mengemukakan definisi konflik, adalah: “a struggle over

values and claims to secure status, power, and resources, a struggle in

which the main aims of opponents are to neutralize, injure, or eliminate

rivals”. Meskipun ada beragam pemahaman dari para teoritisi tentang

definisi dari konflik, namun benang merah yang bisa ditarik dari beberapa

definisi tersebut adalah bahwa konflik selalu berkaitan dengan

pertentangan, perbedaan dan perseteruan.

Relasi media dan konflik, memang terus menyisakan diskusi dan

perdebatan panjang. Selain wacana tentang peran media dalam

memberitakan konflik, cara media memberitakan konflik pun menjadi

wacana yang menarik untuk dikaji di kalangan peneliti. Hal ini dianggap

penting mengingat dampaknya terhadap khalayak sangatlah besar.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107007/potongan/S2-2016...labelisasi pelaku untuk mendramatisir konflik guna menimbulkan sensasi bagi para

17

Harus diakui, bahwa melaporkan peristiwa konflik kepada

masyarakat bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Alih-alih

melaporkan konflik yang terjadi, media justru sering kali memperbesar

eskalasi konflik dan memantik konflik baru terjadi. Dibutuhkan kehati-

hatian dalam memberitakan konflik sebagai sebuah isu yang sensitif dalam

masyarakat. Diperlukan cek dan recek agar informasi yang disampaikan

benar-benar sesuai dengan kaidah-kadiah jurnalisme yang benar (Irfan

Abubakar, 2001).

Pemberitaan media yang justru memperparah konflik, jelas akan

merugikan bagi pihak yang berkonflik maupun masyarakat luas.

Pemberitaan yang destruktif dapat berdampak buruk bagi pembaca yang

bahkan mungkin tidak terlibat secara langsung dalam konflik tersebut.

Timbulnya dendam, kebencian, stereotyping dan pelabelan terhadap salah

satu pihak sering kali muncul sebagai akibat dari konsumsi berita konflik

yang destruktif (A.Aziz, 2011).

Kehadiran media berita online menjadi tantangan tersendiri bagi

pemberitaan terkait konflik khususnya konflik berlatar agama. Tingkat

kesulitan yang dihadapi tentu akan semakin tinggi dengan tuntutan moda

komunikasi yang serba cepat ini. Bila informasi yang disampaikan tidak

proporsional menurut kaidah jurnalisme yang baik dan benar, maka hal

tersebut akan menjadi bumerang bagi khalayak. Belum lagi jangkauan

media yang tidak terbatas, tentunya akan sangat berpengaruh bagi opini

publik.

Beberapa penelitian terdahulu (Suryawati & wulansari, 2013 ;

Rusmulyadi, 2013) yang meneliti tentang media online dalam meliput

berita konflik, menemukan bahwa pemberitaan terkait konflik berlatar

agama di media berita online cenderung vulgar, sarkas, parsial, tidak

akurat dan provokatif. Media juga sering terjebak dan tidak dapat

melepaskan diri dari latar ideologi dan visi lembaga sehingga konstruksi

berita yang terbangun oleh media pun cenderung mengikuti perspektif

media masing-masing.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107007/potongan/S2-2016...labelisasi pelaku untuk mendramatisir konflik guna menimbulkan sensasi bagi para

18

Kredibilitas dan reliabilitas media online dalam mengelola

peristiwa konflik menjadi sebuah sajian berita pun menimbulkan banyak

perdebatan tersendiri di kalangan pengamat media. Tuntutan pemberitaan

yang serba cepat dianggap menjadi hambatan bagi media berita online

untuk menyajikan berita konflik dengan objektif dan sesuai dengan kaidah

jurnalisme damai yang selama ini banyak digaungkan sebagai alternatif

konstruksi berita konflik. Praktik“speed-driven journalism” dalam media

online justru dianggap menjadi penyebab abainya para jurnalis terhadap

akurasi berita (Adam Sukarno, 2015, hhtp://digi-

journalism.or.id/jurnalisme-online-cepat-tapi-tidak-akurat).

Update berita yang berlangsung cepat mengakibatkan banyaknya

frekuensi berita yang muncul terkait suatu konflik di media berita online.

Sementara berita yang di update tersebut seringkali hanyalah berupa fakta

dan pernyataan yang belum terverifikasi. Tidak jarang berita konflik di

media online disajikan dengan konstruksi jurnalisme perang yang justru

berdampak negatif bagi publik maupun bagi pihak yang berkonflik.

Adapun yang menjadi perbedaan antara jurnalisme perang dengan

jurnalisme damai adalah sebagai berikut:

Table 1. Perbedaan Jurnalisme Damai & Jurnalisme Perang

Jurnalisme Perang Jurnalisme Damai

Hanya memberitakan efek konflik yang terlihat Memberitakan efek konflik yang tidak terlihat

dan tidak terlihat

Tidak memberitakan masalah (latarbelakang)

yang menyebabkan konflik atau juga tidak

menyebutkan pihak-pihak yang berkonfik

Memberitakan penyebab atau latarbelakang

konflik dengan jelas, apakah itu masalah sara,

ekonomi, politk atau ideologi dan sekaligus

aktor-aktor atau semua pihak yang berkonflik

Meliput Konflik Hanya dengan satu sudut

pandangsalah satu pihak sehingga terasa tidak

seimbang

Melihat konflik dari kedua sudut pandang pihak

yang berkonflik atau dengan kata lain Cover

Both Side

Nara Sumber hanya para elite dan juga militer Meliput konflik dengan tidak mengabaikan

masyarakat sipil dalam pemberitaannya

Adanya pemberian label (julukan) atau nama

negative kepada salah satu ataupun kedua belah

pihak

Menggunakan nama yang sedeskrsiptif mungkin

atau menyebut dengan cara masing-masing

pihak menamai diri mereka sendiri

Here and Now, yang berarti hanya sebatas di

sini dan saat ini (memberitakan hanya ketika

terjadi kekerasan)

Continually, adanya pemberitaan konflik yang

proaktif dan berkelanjutan. Artinya pemberitaan

mulai dari pra konflik (konflik masih laten),

pada saat konflik terjadi dan pasca konflik

terjadi.

Perbedaan antar pihak. Membedakan antara

pihak yang buruk dengan pihak yang baik

Menghindari pembedaan antara baik Vs Buruk.

Tidak ada diskriminasi atau perlakuan yang

berbeda dalam memberitakan salah satu pihak

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107007/potongan/S2-2016...labelisasi pelaku untuk mendramatisir konflik guna menimbulkan sensasi bagi para

19

Hanya memberitakan dari sisi kekerasan Memberitakan isu yang diusung oleh kedua

belah pihak sehingga memicu konflik, Misal,

pihak A menginginkan X, sementara pihak B

mengkhendaki Y

Berorientasi pada menang – kalah Berorientasi pada win-win solution.

Memberitakan solusi yang mungkin bagi kedua

belah pihak untuk tujuan resolusi

Bahasa yang digunakan emotif ataupun sarkas Memakai bahasa yang moderat

Menganalogikan Konflik dengan Pertandingan Melihat Konflik sebagai suatu persoalan dan

ketidaksamaan kepentingan

Berdasarkan ciri di atas kita dapat memahami bahwa dalam

jurnalisme perang, media hanya memberitakan konflik dari aspek

sensasionalitasnya saja, yakni aspek yang menunjukkan betapa

dramatisnya peristiwa tersebut. Sehingga isi beritanya tidak jauh dari

sekedar siapa menyerang siapa, berapa jumlah korban, seberapa parah

kondisi korban dan seberapa menegangkan situasi di lokasi kejadian.

Dalam media online berita-berita konflik malah ditampilkan lebih vulgar

bila dibandingkan dengan media konvensional lainnya. Beberapa situs

berita bahkan dengan sengaja melakukan pemberitaan yang demikian

hanya untuk memperoleh jumlah pengunjung.

Meskipun ada nilai-nilai yang harus dijalankan oleh setiap media

dalam peliputannya seperti akurasi, objektivitas dalan lain sebagainya

namun pada dasarnya harus diakui bahwa media tidak pernah menyajikan

realita apa adanya. Mereka melakukan proses editing, membuat narasi,

menonjolkan suatu aspek dan mengabaikan yang lainnya. Tetapi praktek-

praktek tersebut dikuatirkan tidak akan membantu terjadinya resolusi

konflik malah justru akan semakin memperparahnya. Belum lagi bila

berita tersebut terbit secara online, makan akan lebih cepat pula berita

tersebut sampai kepada public dan tentunya akan mempengaruhi

sikap/respon mereka pula (Eriyanto, 2003).

Kerisauan akan dampak pemberitaan media yang buruk terkait

konflik telah mendorong munculnya gagasan “Jurnalisme damai”.

Keeble, Tulloch & Zollman (2010, p.2) mengatakan bahwa gagasan ini

muncul di kalangan para peneliti perdamaian, aktivis dan juga para

akademisi pada tahun 1970-an. Namun yang pertama sekali

mengembangkan gagasan Jurnalisme Damai secara teoritis adalah Johan

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107007/potongan/S2-2016...labelisasi pelaku untuk mendramatisir konflik guna menimbulkan sensasi bagi para

20

Galtung. Dalam sebuah lokakarya musim panas di Taplow Court,

Buckinghamshire, Inggris pada Agustus 1997, ia pun berhasil

merumuskan perbedaan ideologi antara jurnalisme konflik/perang dengan

jurnalisme damai.

Galtung berupaya mendorong peran positif media dengan

menghadirkan konsep jurnalisme damai dalam peliputan berita konflik.

Menurutnya jurnalis bukanlah sekedar mewartakan, apalagi memprovokasi

tetapi justru mendorong masyarakat untuk mempertimbangkan dan

mengambil respon-respon non kekerasan terhadap konflik yang terjadi.

Sehingga dalam konsep ini media diharapkan tidak hanya fokus terhadap

konflik yang terjadi melainkan pada proses dan hubungan antar peristiwa

yang memberi makna bagi khalayak.

G. Kerangka Konsep

Dari kerangka teori yang telah dipaparkan sebelumnya, penulis

kemudian menyusun kerangka konsep yang dimaksudkan untuk memberi

batasan dan pedoman dalam penyusunan instrumen penelitian. Penulis

menggunakan konsep kategorisasi dan indikator yang disusun oleh

Kriyantono (2010), untuk mengetahui model pemberitaan konflik di media

online Tribunnews.com dan Tempo.co. Kategorisasi tersebut disusun

dengan memadukan model objektivitas dari Westerthal dan model

jurnalisme damai dari Subiakto,dkk. Adapun kategorisasi beserta

indikatornya tersebut adalah sebagai berikut:

a. Frekuensi berita bertujuan untuk mengetahui jumlah berita tentang

penyerangan terhadap umat Katholik di Sleman pada media berita online

Tempo.com & Tribunnews.com edisi 29 Mei – 3 Juni 2014.

b. Tema–tema umum berita konflik. Tema umum ini bertujuan untuk

melihat dan mengetahui tema-tema apa saja yang terdapat di situs berita

online Tribunnews.com dan Tempo.com terkait berita konflik penyerangan

umat Katholik tersebut.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107007/potongan/S2-2016...labelisasi pelaku untuk mendramatisir konflik guna menimbulkan sensasi bagi para

21

c. Tipe Berita. Yang dimaksud tipe Berita adalah kategori berita yaitu

hard news, soft news, developing news, dan continuing news. Tipe atau

kategori berita dalam Eriyanto (2012:127-130) yaitu:

1) Hard news, yaitu berita mengenai peristiwa yang terjadi saat itu. Hard

news dibatasi oleh waktu dan aktualitas dengan indikator keberhasilan

adalah kecepatannya untuk diberitakan.

2) Soft news, berhubungan dengan kisah manusiawi (human interest) dan

tidak dibatasi oleh aktualitasnya karena ukuran keberhasilan berita ini

adalah emosi khalayak yang tersentuh oleh berita tersebut.

3) Developing news, berhubungan juga dengan peristiwa yang tidak

terduga

namun dimasukkan juga elemen lainnya yaitu rangkaian berita yang akan

diteruskan pada keesokan atau dalam berita selanjutnya.

4) Continuing news, dimana peristiwa yang terjadi bisa diprediksikan atau

direncanakan.

d. Akurasi Pemberitaan. Diukur berdasarkan kejujuran dalam

pemberitaan, yaitu tidak adanya percampuran fakta dengan opini wartawan

yang menulis berita, kesalahan penulisan data dan juga kesesuaian Judul

dengan isi berita yang disampaikan. Adapaun yang menjadi indikatornya

adalah:

1. Ada tidaknya pencampuran fakta dan opini, yaitu bila terdapat kata-

kata opinionative yang berasal dari journalist seperti: tampaknya,

diperkirakan, seakan-akan, terkesan, kesannya, seolah, agaknya,

diramalkan, kontroversi, mengejutkan, maneuver, sayangnya dan lainnya.

2. Ada tidaknya kesalahan penulisan data, tanggal, alamat, nama

narasumber dan sebagainya.

3. Ada tidaknya kesesuaian antara Judul dengan isi berita.

e. Imparsialitas atau ketidakberpihakan pemberitaan, adalah menyangkut

keseimbangan penulisan berita meliputi:

1. Balance, yaitu apabila berita konflik tersebut dilihat dari dua perspektif,

yaitu dari masing-masing pihak yang bertikai.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107007/potongan/S2-2016...labelisasi pelaku untuk mendramatisir konflik guna menimbulkan sensasi bagi para

22

2. Tidak Balance, bila perspektif pemberitaan yang dipakai hanya dari satu

pihak saja. Tidak ada kesempatan yang sama terhadap kedua pihak

f. Penggunaan bahasa Puffery, indikatornya:

1. Menggunakan Puffery, yakni bila menggunakan bahasa yang

menunjukkan kekerasan fisik dari masing-masing kelompok yang bertikai

dan menunjukkan dengan jelas pihak-pihak yang melakukan kekerasan itu,

disertai dengan kata-kata kekerasan seperti membantai, memusnahkan,

menghancurkan , membasmi dan lainnya.

2. Tidak menggunakan puffery, yaitu bila dengan tidak menyebutkan

kelompok secara jelas dan menggunakan kata-kata yang lebih netral

seperti menyerang, menyerbu, membakar.

g. Giving Voice to the voiceless, indikatornya:

1. Berita berdasarkan wawancara atau statement elite atau tokoh yang

bertikai

2. Berita berdasarkan wawancara hanya dengan para korban, seperti

wanita, anak-anak dan orangtua

3. Berita berdasarkan wawancara baik dengan elit maupun dengan korban.

h. Konsep mengenai akibat yang ditimbulkan oleh pertikaian.

Indikatornya:

1. Berita lebih banyak memperlihatkan akibat pertikaian yang sifatnya

terlihat (visible), seperti beberapa korban yang tewas, cedera, bangunan

hancur, mobil terbakar, desa yang hancur dan lainnya.

2. Berita lebih banyak memperlihatkan akibat pertikaian yang sifatnya

tidak dapat dilihat, misalnya trauma psikologis korban, hilangnya masa

depan korban, rusaknya moral, ketakutan-ketakutan dan lainnya.

3. Berita menampilkan kedua hal di atas.

i. Orientasi pemberitaan, yakni fokus penulis berita dalam menulis berita

konflik tersebut. Indikatornya:

1. Beritanya lebih banyak berorientasi pada arena konflik, yaitu hanya

meliput konfliknya saja, deskripsi di daerah pertikaian

2. Beritanya berorientasi melihat konflik sebagai persoalan yang tidak

sederhana, melakukan mapping, mencari atau melihat latar belakang

Page 23: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107007/potongan/S2-2016...labelisasi pelaku untuk mendramatisir konflik guna menimbulkan sensasi bagi para

23

masalah, problema-problem kultural dan politik yang mendasari serta

memberi serta memberi alternative solusi.

j. Media Berita Online adalah media massa yang

menyajikan/memproduksi dan mendistribusikan fakta dan peristiwa

melalui internet (Wikipedia.com)

H. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode analisis isi

kualitatif. Menurut Krippendrorff (2006: 8), analisis isi adalah sebagai

suatu teknik penelitian untuk membuat inferensi yang dapat di replikasi

(ditiru) dan sahih datanya dengan memperhatikan konteksnya. Menurut

Schreier (2012:1), analsisis isi kualitatif adalah metode sistematis yang

menggambarkan makna dari materi penelitian melalui klasifikasi dan

kategorisasi materi. Altheide dalam Kriyantono (2006:247) memberikan

penjelasan secara teknis dimana periset analisis isi berinteraksi dengan

material-material dokumentasi atau bahkan melakukan wawancara

mendalam sehingga pernyataan-pernyataan yang spesifik dapat diletakkan

pada konteks yang tepat untuk dianalisis.

2. Tipe Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang berupaya

menggambarkan secara detail suatu teks tertentu melalui karakteristik dari

setiap teks, sehingga ia tidak menguji suatu hipotesis tertentu (Eriyanto,

2011:47). Penulis menggunakan teknik deskripsi untuk menjabarkan dan

menganalisis data melalui pertanyaan bagaimana media online

menampilkan berita penyerangan umat Katholik di Sleman.

3. Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan pada media berita online Tribunnews.com

& Tempo.com edisi 29Mei-3 Juni 2014. Penelitian akan dilaksanakan

pada bulan Juni 2015 sampai selesai.

Page 24: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107007/potongan/S2-2016...labelisasi pelaku untuk mendramatisir konflik guna menimbulkan sensasi bagi para

24

4. Sumber Data

Dalam penelitian ini, data diperoleh dari dua jenis sumber berikut:

a. Data Primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung dari sumbernya

saat penelitian dilaksanakan. Dalam penelitian ini yang menjadi data

primer adalah berita kasus penyerangan umat Katholik di Sleman

Yogyakarta pada harian Tribunnews.com & Tempo.com . Data inilah yang

kemudian akan dianalisis sesuai dengan kategori yang relevan dengan

tujuan penelitian.

b. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari studi pustaka, melalui

buku-buku ilmiah, pengetahuan umum sebagai landasan teori yang

berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. Di samping itu data juga

diperoleh dari literatur dan jurnal-jurnal penelitian yang mendukung.

6. Analisis Data

Dalam penelitian ini, analisa data akan dilakukan melalui berbagai

tahapan. Pada tahap pertama, penulis mengumpulkan keseluruhan berita

terkait penyerangan tersebut dari kedua situs berita online Tribunnews.com

dan Tempo.co. Selanjutnya pada tahap kedua penulis menghitung

frekuensi pemberitaan masing-masing situs berita online tersebut dari

tanggal 29 Mei- 3 Juni 2014. Tahap ketiga, berita-berita tersebut

dikelompokkan berdasarkan beberapa tema umum penting dan

menganalisis tipe beritanya. Pada Tahap keempat, penulis mengukur

model pemberitaan dengan menggunakan indikator objektivitas

pemberitaan. Tahap kelima, hasil pengkategorisasian masing-masing akan

dianalisis secara deskripsi untuk menggambarkan hasil temuan dan

memberikan analisis yang lebih mendalam.

Page 25: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107007/potongan/S2-2016...labelisasi pelaku untuk mendramatisir konflik guna menimbulkan sensasi bagi para

25

Tabel 2

Unit analisis Objektivitas Pemberitaan

No Kategori Unit analisis Sumber

1 Frekuensi Berita

2 Tema Umum Berita

3 Tipe Berita 1.Hard news;

2. Soft news;

3. Developing news;

4. Continuing news..

Eriyanto,2012:127-130

4 Akurasi

Pemberitaan

1. Ada tidaknya pencampuran fakta dan opini,

yaitu bila terdapat kata-kata opinionative yang

berasal dari journalist seperti: tampaknya,

diperkirakan, seakan-akan, terkesan, kesannya,

seolah, agaknya, diramalkan, kontroversi,

mengejutkan, maneuver, sayangnya dan

lainnya.

2. Ada tidaknya kesalahan penulisan pada

data, tanggal, nama narasumber, alamat dan

sebagainya

3. Akurasi judul dengan isi (judul dan isi

berhubungan)

Westerthal (McQuil,

2000) & Subiakto,

Rahmaida, Syirikit

Syach (200)

5 Imparsialitas atau

ketidakberpihakan

pemberitaan

1. Balance, yaitu apabila berita konflik

tersebut dilihat dari dua perspektif, yaitu dari

masing-masing pihak yang bertikai.

2. Tidak Balance, bila perspektif pemberitaan

yang dipakai hanya dari satu pihak saja. Tidak

ada kesempatan yang sama terhadap kedua

pihak

Westerthal (McQuil,

2000) & Subiakto,

Rahmaida, Syirikit

Syach (200)

Page 26: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107007/potongan/S2-2016...labelisasi pelaku untuk mendramatisir konflik guna menimbulkan sensasi bagi para

26

6. Penggunaan Bahasa

Puffery

1. Menggunakan Puffery, yakni bila

menggunakan bahasa yang menunjukkan

kekerasan fisik dari masing-masing kelompok

yang bertikai dan menunjukkan dengan jelas

pihak-pihak yang melakukan kekerasan itu,

disertai dengan kata-kata kekerasan seperti

membantai, memusnahkan, menghancurkan ,

membasmi dan lainnya.

2. Tidak menggunakan puffery, yaitu bila

dengan tidak menyebutkan kelompok secara

jelas dan menggunakan kata-kata yang lebih

netral seperti menyerang, menyerbu,

membakar.

Westerthal (McQuil,

2000) & Subiakto,

Rahmaida, Syirikit

Syach (200)

7 Konsep mengenai

akibat yang

ditimbulkan

pertikaian

1. Berita lebih banyak memperlihatkan akibat

pertikaian yang sifatnya terlihat (visible),

seperti beberapa korban yang tewas, cedera,

bangunan hancur, mobil terbakar, desa yang

hancur dan lainnya.

2. Berita lebih banyak memperlihatkan akibat

pertikaian yang sifatnya tidak dapat dilihat,

misalnya trauma psikologis korban, hilangnya

masa depan korban, rusaknya moral, ketakutan-

ketakutan dan lainnya.

3. Berita menampilkan kedua hal di atas.

Westerthal (McQuil,

2000) & Subiakto,

Rahmaida, Syirikit

Syach (200)

8 Giving voice to the

voiceless

1. Berita berdasarkan wawancara atau

statement elite atau tokoh yang bertikai

2. Berita berdasarkan wawancara hanya dengan

para korban, seperti wanita, anak-anak dan

orangtua

3. Berita berdasarkan wawancara baik dengan

elit maupun dengan korban.

Westerthal (McQuil,

2000) & Subiakto,

Rahmaida, Syirikit

Syach (200)

Page 27: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107007/potongan/S2-2016...labelisasi pelaku untuk mendramatisir konflik guna menimbulkan sensasi bagi para

27

9. Orientasi

Pemberitaan

1. Beritanya lebih banyak berorientasi pada

arena konflik, yaitu hanya meliput konfliknya

saja, deskripsi di daerah pertikaian

2. Beritanya berorientasi melihat konflik

sebagai persoalan yang tidak sederhana,

melakukan mapping, mencari atau melihat

latar belakang masalah, problema-problem

kultural dan politik yang mendasari serta

memberi serta member alternatif solusi.

Westerthal (McQuil,

2000) & Subiakto,

Rahmaida, Syirikit

Syach (200)

Page 28: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107007/potongan/S2-2016...labelisasi pelaku untuk mendramatisir konflik guna menimbulkan sensasi bagi para

28

SISTEMATIKA PENULISAN

BAB I. PENDAHULUAN

Pada bab ini akan dipaparkan mengenai latarbelakang masalah,

pembatasan/perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, objek penelitian,

Kerangka Teori, Kerangka Konsep dan Metode Penelitian dan unit analisis

penelitian.

BAB II. KAJIAN TEORITIS

Bab ini akan menguraikan kajian teoritis mengenai jenis-jenis situs

Jurnalisme, Transformasi Jurnalis dan Newsroom di Media Berita online,

Kredibilitas Berita di Media Berita Online, coverage Media Online terhadap berita

konflik agama di Indonesia dan Jurnalisme damai sebagai Alternatif Konstruksi

Berita Konflik Agama di Media Online.

BAB II . GAMBARAN UMUM SITUS BERITA TEMPO.CO &

TRIBUNNEWS.COM

Pada bab ini akan dipaparkan mengenai gambaran singkat tentang situs

berita Tribunnews.com dan Tempo.co, Konvergensi Media dan perubahan

Kebijakan Redaksi dan Newsroom di Tribunnews.com dan Tempo.co serta content

berita di kedua situs berita tersebut.

BAB IV. PEMBAHASAN

Pada bab ini akan dipaparkan hasil penelitian terkait karakteristik berita

Konflik Agama di Media Berita online berdasarkan masing-masing unit

analisisnya sebagaimana telah dipaparkan pada bab 1.

BAB V. KESIMPULAN SARAN DAN PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan dari penelitian dan saran untuk penelitian

selanjutnya.

Page 29: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107007/potongan/S2-2016...labelisasi pelaku untuk mendramatisir konflik guna menimbulkan sensasi bagi para

29