25
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah Cina’ 1 di Indonesia kembali menjadi perbincangan hangat setelah terjadinya peristiwa kerusuhan antara tanggal 13 15 Mei 1998 di Jakarta, Solo, dan beberapa kota yang lain. 2 Persoalan lama ini muncul kembali karena pada peristiwa tersebut, khususnya di Jakarta, terjadi penyerangan, pembakaran serta penjarahan pada toko-toko dan rumah-rumah milik orang Tionghoa 3 . Selain itu juga terjadi kekerasan seksual (pelecehan dan pemerkosaan) yang sebagian korbannya adalah perempuan Tionghoa (Pattiradjawane, 2000: 237-238). Menurut I. Wibowo (1999: xxxi), ‘masalah Cina’ tampak sebagai masalah lama tetapi yang selalu baru. Oleh karena itu menurutnya, perlu dilakukan dua hal yait u retrospeksi dan rekontekstualisasi ‘masalah Cina’. Hal 1 Ada beberapa pendapat yang menjelaskan ‘masalah Cina’ ini, antara lain: terkait dengan dominasi mereka dalam bidang ekonomi (Jan, 1960), terkait dengan warisan kolonial dan kompleksitas internal mereka (Tjeng, 1971), dan terkait dengan hubungan antara mayoritas dan minoritas (Gungwu, 1981). Lihat Catatan Belakang no. 1 dalam Hari Poerwanto, Orang Cina Khek dari Singkawang, Jakarta: Komunitas Bambu, 2005, hlm. 307 2 Beberapa literatur awal yang membahas ‘masalah cina’ setelah kerusuhan antara lain, Alfian Hamzah (ed), Kapok Jadi Nonpri; Warga Tionghoa Mencari Keadilan, Jakarta: Zaman, 1998. I. Wibowo (ed), Retrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah Cina, Jakarta: Gramedia, 1999. Leo Suryadinata. Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa. Jakarta: LP3ES, 1999. 3 Istilah Tionghoa merujuk pada orang / masyarakat dan budaya sebagaimana istilah ini digunakan dalam berbagai perayaan publik. Istilah Orang Tionghoa digunakan sebagaimana istilah wong Jowo pada bahasa lokal (Yogyakarta; Jawa). Sedangkan istilah China atau Tiongkok digunakan secara bergantian dengan tetap merujuk pada budaya dan Negara RRC / RRT. Namun dalam praktik komunikasi di lapangan (berbicara, wawancara), istilah Tionghoa, Cina, Cino, dan Tiongkok digunakan secara acak sesuai dengan lawan bicara. Reka Cipta Kembali Tradisi pada Peringatan Hari Raya Orang Tionghoa di Yogyakarta: Studi Kasus Perayaan Imlek, Peh Cun dan Tiong Jiu REZZA MAULANA Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81425/potongan/S2-2015-291251-chapter1.pdfpolitik berbasis kesukubangsaan, (2) terbitnya pers (surat

  • Upload
    lyanh

  • View
    213

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81425/potongan/S2-2015-291251-chapter1.pdfpolitik berbasis kesukubangsaan, (2) terbitnya pers (surat

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

‘Masalah Cina’1 di Indonesia kembali menjadi perbincangan hangat

setelah terjadinya peristiwa kerusuhan antara tanggal 13 – 15 Mei 1998 di

Jakarta, Solo, dan beberapa kota yang lain.2 Persoalan lama ini muncul

kembali karena pada peristiwa tersebut, khususnya di Jakarta, terjadi

penyerangan, pembakaran serta penjarahan pada toko-toko dan rumah-rumah

milik orang Tionghoa3. Selain itu juga terjadi kekerasan seksual (pelecehan

dan pemerkosaan) yang sebagian korbannya adalah perempuan Tionghoa

(Pattiradjawane, 2000: 237-238).

Menurut I. Wibowo (1999: xxxi), ‘masalah Cina’ tampak sebagai

masalah lama tetapi yang selalu baru. Oleh karena itu menurutnya, perlu

dilakukan dua hal yaitu retrospeksi dan rekontekstualisasi ‘masalah Cina’. Hal

1 Ada beberapa pendapat yang menjelaskan ‘masalah Cina’ ini, antara lain: terkait dengan dominasi

mereka dalam bidang ekonomi (Jan, 1960), terkait dengan warisan kolonial dan kompleksitas internal

mereka (Tjeng, 1971), dan terkait dengan hubungan antara mayoritas dan minoritas (Gungwu, 1981).

Lihat Catatan Belakang no. 1 dalam Hari Poerwanto, Orang Cina Khek dari Singkawang, Jakarta:

Komunitas Bambu, 2005, hlm. 307 2 Beberapa literatur awal yang membahas ‘masalah cina’ setelah kerusuhan antara lain, Alfian Hamzah

(ed), Kapok Jadi Nonpri; Warga Tionghoa Mencari Keadilan, Jakarta: Zaman, 1998. I. Wibowo (ed),

Retrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah Cina, Jakarta: Gramedia, 1999. Leo Suryadinata. Etnis

Tionghoa dan Pembangunan Bangsa. Jakarta: LP3ES, 1999. 3 Istilah Tionghoa merujuk pada orang / masyarakat dan budaya sebagaimana istilah ini digunakan

dalam berbagai perayaan publik. Istilah Orang Tionghoa digunakan sebagaimana istilah wong Jowo

pada bahasa lokal (Yogyakarta; Jawa). Sedangkan istilah China atau Tiongkok digunakan secara

bergantian dengan tetap merujuk pada budaya dan Negara RRC / RRT. Namun dalam praktik

komunikasi di lapangan (berbicara, wawancara), istilah Tionghoa, Cina, Cino, dan Tiongkok

digunakan secara acak sesuai dengan lawan bicara.

Reka Cipta Kembali Tradisi pada Peringatan Hari Raya Orang Tionghoa di Yogyakarta: Studi KasusPerayaan Imlek, Peh Cun dan Tiong JiuREZZA MAULANAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 2: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81425/potongan/S2-2015-291251-chapter1.pdfpolitik berbasis kesukubangsaan, (2) terbitnya pers (surat

2

pertama berupa perenungan dan usaha melihat kembali akar dari ‘masalah

Cina’. Kedua adalah mencoba melihat ke depan atau usaha untuk

menempatkan ‘masalah Cina’ dalam konteks Indonesia yang wajar. Menurut

Suparlan (1999: 149-173), salah satu usaha dari rekontekstualisasi ‘masalah

Cina’ adalah meletakkannya dalam kerangka masyarakat majemuk dan

dinamika hubungan antar-suku bangsa di Indonesia yang bhinneka tunggal

ika.

Keadaan orang Tionghoa pada masa reformasi di bawah pimpinan

Presiden B.J. Habibie, dianalisis dengan baik oleh Suryadinata (2003: 3-4). Ia

menunjukkan bahwa kebijakan asimilasi yang diterapkan pada masa Orde

Baru mulai ditinggalkan secara bertahap. Indikatornya adalah bangkitnya tiga

pilar budaya orang Tionghoa yaitu, (1) munculnya kembali organisasi sosial

politik berbasis kesukubangsaan, (2) terbitnya pers (surat kabar) berbahasa

dan beraksara Mandarin dan (3) pengajaran bahasa Mandarin di level sekolah

dasar hingga perguruan tinggi.

Kebijakan pertama yang terkait dengan ‘masalah Cina’ di era

reformasi adalah Instruksi Presiden No. 26 Tahun 1998 yang dikeluarkan oleh

Presiden Habibie pada tanggal 16 September 1998. Peraturan ini berisi

larangan penggunaan istilah pribumi dan non pribumi dalam bidang bisnis dan

kebijakan resmi pemerintah. Kebijakan ini juga mengatur bahwa peluang

yang sama akan diberikan kepada orang Indonesia apapun suku-bangsa, ras

dan agamanya. Kemudian pada tanggal 5 Mei 1999, Habibie mengeluarkan

Reka Cipta Kembali Tradisi pada Peringatan Hari Raya Orang Tionghoa di Yogyakarta: Studi KasusPerayaan Imlek, Peh Cun dan Tiong JiuREZZA MAULANAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 3: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81425/potongan/S2-2015-291251-chapter1.pdfpolitik berbasis kesukubangsaan, (2) terbitnya pers (surat

3

kembali Instruksi Presiden No. 4 Tahun 1999 yang isinya menguatkan

Instruksi Presiden No. 56 Tahun 1996 bahwa SBKRI (Surat Bukti

Kewarganegaraan Republik Indonesia) tidak diperlukan lagi dan kepemilikan

KTP (Kartu Tanda Penduduk) cukup menjadi bukti sebagai warganegara

Indonesia. Meskipun dalam implementasinya, dua kebijakan tersebut diatas

masih kurang efektif (Purdey, 2005: 21-22).

Kebijakan yang paling berpengaruh terhadap aspek sosial dan budaya

orang Tionghoa pasca Orde Baru adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh

K.H. Abdurrahman Wahid ketika menjabat sebagai presiden. Ia mengeluarkan

Keputusan Presiden No. 6 Tahun 2000 yang intinya adalah orang Tionghoa

diperbolehkan kembali menjalankan keyakinannya, yaitu ajaran Khonghucu,

ibadah dan tradisi leluhur serta merayakan festival budayanya tanpa

memerlukan ijin khusus. Pada tahun berikutnya, Menteri Agama

mengeluarkan Surat Keputusan No. 13 Tahun 2001 yang menetapkan bahwa

Imlek (Tahun Baru China) dijadikan hari libur fakultatif orang Tionghoa

(Lindsey, 2005: 59-60).

Kebijakan Gus Dur ini kemudian direspon oleh orang Tionghoa di

berbagai kota besar, terutama yang jumlah penduduk Tionghoanya tinggi,

dengan menyelenggarakan perayaan Tahun Baru Imlek secara lebih terbuka.

Respon paling awal dari orang-orang Tionghoa di Yogyakarta adalah

merayakan Imlek tahun 2000 di Klenteng Poncowinatan dengan

menampilkan, untuk pertama kalinya setelah 30 tahun, atraksi kesenian liong

Reka Cipta Kembali Tradisi pada Peringatan Hari Raya Orang Tionghoa di Yogyakarta: Studi KasusPerayaan Imlek, Peh Cun dan Tiong JiuREZZA MAULANAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 4: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81425/potongan/S2-2015-291251-chapter1.pdfpolitik berbasis kesukubangsaan, (2) terbitnya pers (surat

4

dan samsi (barongsai)4

. Kemudian dengan sikap berhati-hati, mereka

mengundang Sultan Yogyakarta untuk merayakan Imlek di sebuah hotel

dengan tema Malam Keakraban Bersama Sri Sultan. Tema yang kamuflatif

ini dilakukan karena mereka mendapat nasehat dari Sultan dan beberapa tokoh

Tionghoa untuk tidak berlebihan dalam menonjolkan identitas ketionghoaan

(Susanto, 2008: 164). Bahkan ketika orang Tionghoa muslim di Yogyakarta

mengadakan perayaan Imlek di Masjid Syuhada tahun 2003, pun

menimbulkan kontroversi baik yang pro dan kontra (lihat Syarif, 2005;

Ahimsa-Putra, 2010; Maulana, 2011 dan Chiou, 2013).

Menariknya, pada tahun 2006 terselenggara Pekan Budaya Tionghoa

Yogyakarta (PBTY) dalam rangka perayaan Tahun Baru Imlek 2557 di

Kampung Ketandan. Peristiwa ini menjadi peringatan Imlek pertama di ruang

publik Kota Yogyakarta dan terbuka untuk umum. Acara ini tidak hanya

dimeriahkan oleh pawai liong dan samsi dari klenteng Fuk Ling Miao

(Gondomanan) ke Ketandan, tetapi juga pameran kebaya encim, rumah khas

tradisional Tionghoa Ketandan, pertunjukan wayang potehi, pentas karaoke

lagu-lagu Mandarin dan ketoprak Sam Pek Ing Tay. Bahkan acara ini dibuka

secara resmi dan langsung oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X sebagai

Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta 5.

4 “Imlek 2551 Dapat Pertanda Bagus” dalam Bernas, 4 Februari 2000. 5 “Pekan Budaya Tionghoa 2006, Layak Jadi Laboratorium Sosial” Kompas, 20 Januari 2006.

“Keraton-Pecinan Sudah Lama Kerja Sama” dalam Bernas, 28 Januari 2006. “Menyusuri Rumah

Tradisional Cina: Terasa Kentalnya Asimilasi Budaya” dalam Kedaulatan Rakyat, 27 Januari 2006.

Reka Cipta Kembali Tradisi pada Peringatan Hari Raya Orang Tionghoa di Yogyakarta: Studi KasusPerayaan Imlek, Peh Cun dan Tiong JiuREZZA MAULANAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 5: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81425/potongan/S2-2015-291251-chapter1.pdfpolitik berbasis kesukubangsaan, (2) terbitnya pers (surat

5

Festival yang pertama kali digelar ini berlangsung selama lima hari

berturut – turut dan selalu ramai oleh pengunjung di setiap bagian acaranya.

Penulis yang juga hadir beberapa hari berturut – turut, menyempatkan diri

melihat pameran rumah arsitektur Tionghoa, alat musik China, lukisan

Chinese painting (menggunakan cat air), dan ikut salah satu forum diskusinya.

Sayang sekali penulis tidak ikut acara penutupannya yang berupa fashion

show dan gala dinner di sebuah hotel, karena untuk acara ini terbatas pada

undangan dan dikenai beaya sebesar Rp. 150.000,00.

Setelah kesuksesan PBTY yang pertama, acara ini kemudian

diselenggarakan secara berturut-turut hingga tahun ini (2014). Kemudian

komunitas Tionghoa juga melebarkan usahanya dalam perayaan publik

peringatan hari besar tradisi China yang lain, seperti Festival Perahu Naga di

Bendung Tegal, Bantul dalam rangka peringatan Peh Cun dan Festival Bulan

Purnama di Klenteng Tjen Lin Kiong (Poncowinatan) dalam rangka

peringatan Tiong Jiu. Bahkan untuk dua festival yang pertama telah menjadi

agenda tahunan objek pariwisata Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul.

Saat mengunjungi penyelenggaraan festival publik pertama (PBTY)

tahun 2006, di dalam hati penulis membatin bahwa peristiwa ini sangatlah

menarik dan membenarkan sebuah headline surat kabar lokal yang

menyatakan momentum ini layak menjadi sebuah laboratorium sosial di

“Afif Syakur Pamerkan Busana Bernuansa China di PBTY: Kebaya Ratusan Tahun Tetap Elegan”

dalam Radar Jogja, 29 Januari 2006.

Reka Cipta Kembali Tradisi pada Peringatan Hari Raya Orang Tionghoa di Yogyakarta: Studi KasusPerayaan Imlek, Peh Cun dan Tiong JiuREZZA MAULANAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 6: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81425/potongan/S2-2015-291251-chapter1.pdfpolitik berbasis kesukubangsaan, (2) terbitnya pers (surat

6

Yogyakarta. Dan ketika penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan

studi Magister, maka peristiwa tersebut langsung dipilih menjadi subyek

penelitian tesis seperti saat ini.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian mengenai perubahan kekuasaan pemerintahan dan

kebijakan yang dikeluarkan menyangkut tradisi orang Tionghoa serta efek

yang muncul setelahnya, maka timbul beberapa pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana bentuk atau performansi dari tiga peringatan hari raya China

(Imlek, Peh Cun dan Tiong Jiu) yang digelar secara terbuka tersebut?

Siapa yang berpengaruh dalam proses pembentukannya dan dari mana

sumber-sumber pengetahuan mengenai tradisi orang Tionghoa yang

menjadi rujukan ?

2. Bagaimana strategi orang Tionghoa dalam mempersiapkan dan

menyelenggarakan festival budaya tersebut sehingga menjadi acara

tahunan di Yogyakarta?

3. Apa yang ingin dicapai dan apa arti dari penyelenggaraan peringatan hari

raya China bagi orang Tionghoa kini? dan pihak lain yang terlibat?

C. Ruang Lingkup dan Tujuan Penelitian

Ruang lingkup spasial penelitian ini adalah Kotamadya Yogyakarta

yang merupakan salah satu Daerah Tingkat II di Provinsi Daerah Istimewa

Reka Cipta Kembali Tradisi pada Peringatan Hari Raya Orang Tionghoa di Yogyakarta: Studi KasusPerayaan Imlek, Peh Cun dan Tiong JiuREZZA MAULANAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 7: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81425/potongan/S2-2015-291251-chapter1.pdfpolitik berbasis kesukubangsaan, (2) terbitnya pers (surat

7

Yogyakarta. Pemilihan tempat ini mempunyai beberapa argumen dasar.

Pertama, penduduk kota Yogyakarta merupakan representasi dari

kemajemukan masyarakat Indonesia, sehingga tepat dengan konsep

rekontektualisasi yang diajukan Suparlan (1999) di awal tulisan. Hal ini

tercermin dari komposisi penduduknya yang beragam, mulai dari berbagai

sukubangsa di Indonesia hingga expatriat dan Warga Negara Asing.6 Sejak

berdiri pada tahun 1755, Kota Yogyakarta pun telah dihuni oleh berbagai

suku-bangsa ‘pribumi’ (Jawa, Batak, Minang dan Banjar), Eropa (khususnya

Belanda dan Indo Belanda) dan Timur Asing: China, Arab dan India

(Kwartanada, 1997: 51).

Kedua, Kota Yogyakarta merupakan representasi daerah di Jawa yang

mempunyai kompleksitas masalah yang lebih dinamis. Kompleksitas ini

diakibatkan karena masih berkembangnya sistem kerajaan yang cukup

‘mapan’ (Poerwanto, 2005: 4), yaitu Kasultanan dan Pakualaman Yogyakarta.

Sehingga situasi tersebut secara langsung atau tidak langsung juga telah

memberikan dinamika yang khas pada tradisi orang Tionghoa di Yogyakarta.

Ketiga, Kota Yogyakarta merupakan kota yang tidak mengalami kerusuhan

rasial anti China pada tahun 1998, meskipun di masa itu kota Yogyakarta juga

dipenuhi dengan demonstrasi mahasiswa besar-besaran (Susanto, 2008: 146).

6 Jawa (3.331.355), Sunda (23.752), Melayu (15.430), Tionghoa (11.545), Batak (9.858),

Minangkabau (5.152), Bali (3.495), Madura (5.289), Bugis (3.335) dan untuk warga negara asing

yaitu; (307). BPS Pusat, Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama, dan Bahasa Sehari-Hari Penduduk

Indonesia: Hasil Sensus 2010, Jakarta: BPS Pusat, 2010

Reka Cipta Kembali Tradisi pada Peringatan Hari Raya Orang Tionghoa di Yogyakarta: Studi KasusPerayaan Imlek, Peh Cun dan Tiong JiuREZZA MAULANAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 8: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81425/potongan/S2-2015-291251-chapter1.pdfpolitik berbasis kesukubangsaan, (2) terbitnya pers (surat

8

Hal ini menarik karena dinamika bentuk hubungan sosial mereka dapat

membantu melengkapi analisis fokus permasalahan studi ini.

Sementara itu terkait dengan fokus penelitian, karena yang menjadi

subyeknya adalah perayaan hari besar yang terselenggara secara terbuka,

maka periodenya adalah perayaan yang terselenggara pasca jatuhnya rezim

Orde Baru. Oleh karena itu, perayaan Imlek bukan satu-satunya fokus

penelitian melainkan juga perayaan Peh Cun (Dragon Boat Festival) dan

Tiong Jiu (Moon Cake Festival). Ketiga perayaan tersebut layak dijadikan

kajian secara bersama karena merupakan usaha atau praktik yang sama dari

orang - orang Tionghoa di Kota Yogyakarta. Meskipun ketiganya digelar di

tempat dan waktu yang berbeda: Pertama, perayaan Imlek digelar selama lima

hari di kampung Ketandan (Pecinan). Kedua, Peh Cun yang digelar di

Bendung Tegal Jetis dan Pantai Parangtritis pada tanggal 5 bulan 5 kalender

Imlek. Ketiga, perayaan Tiong Jiu yang digelar di halaman Klenteng

Poncowinatan pada tanggal 15 bulan 8 kalender Imlek.

Berdasarkan uraian di atas, tujuan dari penelitian ini adalah: pertama,

memperlihatkan potret mengenai praktik tradisi orang Tionghoa terutama

dalam penyelenggaraan peringatan hari raya dan siapa saja yang berpengaruh

didalam perayaan tersebut termasuk sumber - sumber pengetahuan mereka.

Kedua, mengetahui strategi politik kebudayaan yang diterapkan orang

Tionghoa di masa yang lebih terbuka dan demokratis ini. Ketiga adalah

Reka Cipta Kembali Tradisi pada Peringatan Hari Raya Orang Tionghoa di Yogyakarta: Studi KasusPerayaan Imlek, Peh Cun dan Tiong JiuREZZA MAULANAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 9: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81425/potongan/S2-2015-291251-chapter1.pdfpolitik berbasis kesukubangsaan, (2) terbitnya pers (surat

9

mengetahui harapan mereka, baik material atau non-material, dan arti penting

dari peringatan hari raya atau festival budaya tersebut di masa ini.

D. Kajian Pustaka

Terdapat sedikit kajian tentang hari raya orang Tionghoa di Indonesia

yang muncul sebelum masa Orde Baru. Pertama adalah karya Tjoa Tjoe Koan

(1887) dengan judul buku Hari Raja Orang Tjina yang terbit di Batavia. Buku

ini ditulis dalam bahasa Malayu Tionghoa7 dan dominan menggunakan dialek

Hokkian, selain karena penulisnya lebih menguasai dialek tersebut, bahasa

Mandarin saat itu pun belum populer di Jawa.8

Dari segi isi, kajian ini lengkap dalam menguraikan beragam hari raya

yang berlaku di negeri China dan diikuti para perantau China serta

keturunannya di Jawa masa itu. Buku ini disusun dengan penjelasan yang

runtut dan sederhana agar mudah dipahami oleh kaum peranakan Tionghoa

dan masyarakat awam. Tapi sayangnya, kajian ini tidak banyak membahas

konteks dalam praktik perayaan dan strategi dibelakang penyelenggaraannya

di dalam masyarakat.

7 Bahasa Melayu di kalangan orang Tionghoa dan juga berlaku umum di Jawa masa itu. Merupakan

salah satu unsur dalam pembentukan proto bahasa Indonesia. Lihat Claudine Salmon, “Apakah Dari

Sudut Linguistik Istilah Bahasa Melayu–Tionghoa Dapat Diterima?” dalam Citra Masyarakat

Indonesia, Jakarta: Sinar Harapan, 1983, hlm. 99-111 8 Menurut Didi Kwartanada, buku ini merupakan yang pertama ditulis menggunakan bahasa Melayu

mengenai perayaan China di Indonesia. Bahkan karena menariknya, buku ini diterjemahkan ke bahasa

Belanda dan diulas di jurnal Belanda oleh sinolog J. W Young tahun 1889. Lihat selengkapnya artikel

Didi Kwartanada di “Tionghoa-Java: A Peranakan Family History from Javanese Principalities” dalam

CHC Bulletin No. 4 Desember 2004

Reka Cipta Kembali Tradisi pada Peringatan Hari Raya Orang Tionghoa di Yogyakarta: Studi KasusPerayaan Imlek, Peh Cun dan Tiong JiuREZZA MAULANAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 10: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81425/potongan/S2-2015-291251-chapter1.pdfpolitik berbasis kesukubangsaan, (2) terbitnya pers (surat

10

Kedua adalah kajian tentang hari raya yang ditulis oleh Han Swan

Tiem berjudul Hari Raya Tionghoa (1953). Buku yang diberi kata pengantar

oleh Tjan Tjoe Siem ini menjelaskan asal usul tahun baru Imlek yang ternyata

merupakan dongeng (folklore) yang berkembang di masyarakat China saat itu.

Dongeng tersebut bukan berkisah tentang Konfusius, melainkan kisah Giok

Hong Siang Tee atau ‘Kaisar Mutiara’ dalam lagenda China kuno yang

terkenal welas asih, murah hati dan penolong orang miskin. Untuk menandai

kembalinya kaisar ini ke bumi, orang-orang merayakan pesta, yang kini

dikenal sebagai pesta tahun baru. Secara umum karya Han Swan Tiem ini juga

menjelaskan berbagai hari raya orang Tionghoa yang diperingati tersebut

secara deskriptif namun masih cenderung normatif.

Literatur lain yang juga mengulas hari raya orang Tionghoa adalah

bagian kecil dalam karya Nio Joe Lan (1961) berjudul Peradaban Tionghoa

Selajang Pandang. Pembahasan tentang hari raya memang tidak selengkap

kajian sebelumnya, karena karya ini lebih mengfokuskan pada hari raya China

yang hanya diperingati oleh orang Tionghoa secara umum di Indonesia.

Kekurangan lainnya terletak pada minimnya deskripsi mendalam tentang

praktik perayaan dan dinamikanya di dalam komunitas orang Tionghoa di

Indonesia.

Namun yang cukup signifikan dari kajian ini adalah adanya

pembagian hari raya China yang terdiri dari (1) hari raya umum yang di patuhi

oleh seluruh rakyat, (2) hari raya yang berkaitan dengan peringatan tokoh

Reka Cipta Kembali Tradisi pada Peringatan Hari Raya Orang Tionghoa di Yogyakarta: Studi KasusPerayaan Imlek, Peh Cun dan Tiong JiuREZZA MAULANAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 11: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81425/potongan/S2-2015-291251-chapter1.pdfpolitik berbasis kesukubangsaan, (2) terbitnya pers (surat

11

bersejarah atau pahlawan bangsa China dan (3) hari raya yang berkaitan

dengan peringatan dewa-dewa yang dipuja oleh bangsa China.

Di masa Orde Baru, jarang ditemukan pustaka yang mengangkat tema

perayaan hari raya orang Tionghoa. Selain adanya pembatasan literatur yang

berkaitan dengan aksara dan bahasa orang Tionghoa,9 kekosongan ini juga

disebabkan karena pembatasan berbagai bentuk perayaan di ruang publik.10

Meskipun demikian, terdapat beberapa buku liturgi dan pengenalan ajaran

Khonghucu11

, termasuk hari-hari besarnya, yang diterbitkan oleh

MATAKIN12

dan diedarkan secara terbatas pada umatnya. Format buku yang

ukuran saku tersebut tidak banyak menjelaskan perihal hari raya, hanya

sekedar informasi nominal peringatan hari besar dalam satu tahun kalender

Imlek13

.

Setelah reformasi terdapat beberapa kajian tentang hari raya China

seperti yang ditulis oleh Tedy Jusuf (2000). Buku ini berjudul Sekilas Budaya

Tionghoa di Indonesia dan disponsori oleh salah satu organisasi baru orang

9 Pelarangan impor, perdagangan dan distribusi publikasi tentang China berdasarkan kebijakan Menteri

Koperasi dan Perdagangan No. 286 Tahun 1978. Tim Lindsey, “Reconstituting the Ethnic Chinese in

Post-Soeharto Indonesia: Law, Racial Discrimination and Reform” dalam Chinese Indonesians:

Remembering, Distorting, Forgetting, Tim Lindsey, Helen Pausacker (Ed). Singapore: ISEAS. 2005. p. 55. 10 Pembatasan perayaan yang berkaitan dengan ajaran Khonghucu termasuk peringatan hari raya orang

Tionghoa berdasarkan Kepres No. 14 Tahun 1967. Tim Lindsey, loc.cit., p. 60. 11 Antara lain berjudul: Pokok-Pokok Keimanan Konfusiani (Agama Khonghucu) (1985) dan Selayang

Pandang Sejarah Suci Agama Khonghucu (1985) 12 Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia. Baca tulisan Leo Suryadinata, “Khonghucuisme Di

Indonesia: Dahulu dan Sekarang” dalam Kebudayaan Minoritas Tionghoa di Indonesia, Jakarta:

Gramedia, 1988. Hlm. 37-73. 13 Panitia Cisingtan 2543, Pokok-Pokok Penting Ajaran & Ibadah Agama Khonghucu, Surakarta:

MATAKIN, 1992. Hlm. 34.

Reka Cipta Kembali Tradisi pada Peringatan Hari Raya Orang Tionghoa di Yogyakarta: Studi KasusPerayaan Imlek, Peh Cun dan Tiong JiuREZZA MAULANAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 12: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81425/potongan/S2-2015-291251-chapter1.pdfpolitik berbasis kesukubangsaan, (2) terbitnya pers (surat

12

Tionghoa yaitu PSMTI14

di Jakarta. Kajian ini isinya juga lebih bersifat umum

dan populer, sebagaimana tujuan dari penulisnya yang bermaksud

menginventarisasi tradisi Tionghoa yang masih hidup dan terpelihara dalam

masyarakat Tionghoa agar dapat diwariskan pada generasi muda.

Penulis buku ini menambahkan bahwa kajian ini dapat dijadikan

pedoman dalam kehidupan sehari-hari, meskipun dapat dimodifikasi dan

disesuaikan dengan kebiasaan dan kondisi masyarakat setempat. Kajian ini

sekaligus juga sebagai media pengenalan budaya pada masyarakat yang lebih

luas untuk saling mengenal dan menumbuhkan rasa saling menghormati dan

menyayangi.

Beberapa bulan menjelang penelitian ini, terbit sebuah buku di

Yogyakarta yang peluncuran perdananya bersamaan dengan perayaan festival

Tiong Jiu dengan judul Berkenalan dengan Adat dan Ajaran Tionghoa. Buku

yang disunting oleh Tjan K dan Kwa Tong Hay (2011) ini merupakan

penyempurnaan tulisan yang bahan-bahannya telah dikumpulkan oleh tim

penelitian dan pengembangan PTITD (Perhimpunan Tempat Ibadah Tri

Dharma – San Jiao) Komisariat Daerah Jawa Tengah. Oleh karena sifatnya

yang berupa pengenalan umum, deskripsi tentang perayaan juga cenderung

formal. Namun menariknya, buku ini memberikan informasi yang lebih

lengkap tentang Tri Dharma dengan menggunakan sumber – sumber

14 Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia. Lihat Susan Mary Giblin, Being Chinese and

Indonesian: Chinese Organitation in Post Soeharto Indonesia, Ph.D Dissertation, Departement of East

Asian, University of Leeds, 2003. Pp. 120-122.

Reka Cipta Kembali Tradisi pada Peringatan Hari Raya Orang Tionghoa di Yogyakarta: Studi KasusPerayaan Imlek, Peh Cun dan Tiong JiuREZZA MAULANAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 13: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81425/potongan/S2-2015-291251-chapter1.pdfpolitik berbasis kesukubangsaan, (2) terbitnya pers (surat

13

berbahasa dan beraksara Mandarin termasuk penggunaannya dalam

penyebutan istilah sepanjang tulisan.

Studi lain yang bersinggungan dengan rencana penelitian ini adalah

tesis yang ditulis oleh Ubed Abdilah Syarif (2005) mengenai perayaan Imlek

di Mesjid oleh kalangan Tionghoa Muslim di Yogyakarta. Studi ini cukup

membantu dalam memberikan konteks waktu pasca 1998 dan lokalitasnya,

tetapi sayangnya kajian ini hanya terbatas pada orang Tionghoa yang

beragama Islam saja dan bias asimilasi. Sehingga konsep dan bentuk dari

transformasi budaya ketionghoaannya (Chineseness) kurang tampak. Pada

saat penulisan tesis ini, muncul tulisan terbaru mengenai kasus yang sama

yaitu perayaan Imlek di mesjid yang ditulis oleh Syuan-Yuan Chiou (2013).

Penulis tersebut melihat usaha Tionghoa muslim dalam reka cipta tradisi

Imlek yang berupa solat Imlek sebagai sebuah kontroversi dan komplikasi

dari jejaring antara tradisi Imlek, Khonghucu dan Islam. Dengan kata lain,

persoalan asal usul dan keaslian dari tradisi Imlek masih merupakan sebuah

kontestasi yang panas antara budaya dan agama.

Kemudian ada juga sebuah artikel menarik yang ditulis oleh Margaret

Chan (2009) tentang perayaan Imlek pasca Orde Baru, khususnya karnaval

Cap Go Meh di Singkawang Kalimantan Barat. Dengan pendekatan

dramaturgis dan simbolik, Chan mencoba menganalisis ritual antar etnik

(Tionghoa, Dayak dan Melayu) yang tampil dalam karnaval Cap Go Meh.

Sebagai sebuah pertunjukan budaya yang penuh dengan praktik ritual dari

Reka Cipta Kembali Tradisi pada Peringatan Hari Raya Orang Tionghoa di Yogyakarta: Studi KasusPerayaan Imlek, Peh Cun dan Tiong JiuREZZA MAULANAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 14: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81425/potongan/S2-2015-291251-chapter1.pdfpolitik berbasis kesukubangsaan, (2) terbitnya pers (surat

14

masing-masing etnis, berubah menjadi medan eksistensi dan kontestasi politik

tiga etnis yang berujung pada perebutan posisi walikota dalam Pilkada Kota

Singkawang hingga Pilgub Kalimantan Barat.

Dari beberapa kajian mengenai hari raya di atas, peneliti menempatkan

penelitian ini sebagai salah satu usaha memotret tahapan perkembangan

sejarah tradisi orang Tionghoa yang berupa peringatan hari raya. Penelitian ini

juga berusaha untuk memperkaya ranah kajian mengenai salah satu praktik

tradisi orang Tionghoa di Indonesia (peringatan hari raya). Di samping itu,

kajian ini bermaksud untuk mengungkap pemaknaan dari pembentukan

kembali tradisi orang Tionghoa yang telah lama, lebih dari 30 tahun,

direpresif oleh penguasa Orde Baru.

E. Landasan Teori

Pada setiap masyarakat di dunia, hampir semuanya mempunyai waktu

khusus yang teratur untuk merayakan sesuatu. Perayaan tersebut menjadi

momentum yang terbaik bagi semua anggotannya. Misalnya perayaan hari

bersejarah, kelahiran atau kematian pahlawan atau dewa yang dihormati, dan

masa transisi peralihan musim. Momentum yang spesial ini dengan perayaan

didalamnya, sering dibungkus dalam sebuah kemasan bernama festival

(Smith, 1972: 159). Dalam studi ini, perayaan Imlek merupakan peringatan

untuk menyambut pergantian musim, dari musim dingin ke musim semi,

dimana masyarakat petani di China mulai menggarap ladang. Sedangkan

Reka Cipta Kembali Tradisi pada Peringatan Hari Raya Orang Tionghoa di Yogyakarta: Studi KasusPerayaan Imlek, Peh Cun dan Tiong JiuREZZA MAULANAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 15: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81425/potongan/S2-2015-291251-chapter1.pdfpolitik berbasis kesukubangsaan, (2) terbitnya pers (surat

15

perayaan Peh Cun merupakan momentum untuk menghormati meninggalnya

seorang negarawan yang mencintai negerinya. Kemudian pada perayaan

Tiong Jiu Pia adalah perayaan pada saat panen dan menyambut musim gugur.

Partisipan dari perayaan adalah anggota masyarakat itu sendiri. Namun

dalam masyarakat tersebut masih terdapat sub kelompok yang biasanya juga

merayakan dalam waktu dan tempat yang berbeda dan terbatas (privat)

(Smith, 1972: 164). Dalam konteks tiga perayaan hari besar Tionghoa, ada

beberapa kelompok dalam masyarakat Tionghoa yang menggelar perayaan

terpisah. Mereka antara lain kelompok terkecil yaitu keluarga inti, kelompok

berbasis Marga atau dialek, dan kelompok berbasis institusi atau paguyuban.

Biasanya perayaan ini digelar di rumah, di gedung atau di restoran. Sedangkan

perayaan yang diikuti oleh seluruh masyarakat Tionghoa dan bersifat publik,

bisa juga diikuti oleh kelompok masyarakat lain, biasanya digelar di fasilitas

publik seperti jalan raya, lapangan atau pantai.

Peringatan hari raya pada kelompok kebudayaan tertentu, pada

dasarnya bisa dikategorikan di dalam salah satu bentuk tradisi. Jika mengacu

pada pengertian tradisi yang didefinisikan oleh Edward Shils (1981: 12),

maka tradisi China yang berkembang sekarang adalah warisan dari leluhur

orang China di masa lalu. Dalam konteks ke-Indonesiaan, tradisi orang

Tionghoa sekarang merupakan turunan dari tradisi leluhur mereka yang telah

bermigrasi beberapa abad yang lalu dan bermukim di berbagai tempat di

Indonesia. Dengan kata lain, terdapat perubahan yang signifikan antara tradisi

Reka Cipta Kembali Tradisi pada Peringatan Hari Raya Orang Tionghoa di Yogyakarta: Studi KasusPerayaan Imlek, Peh Cun dan Tiong JiuREZZA MAULANAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 16: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81425/potongan/S2-2015-291251-chapter1.pdfpolitik berbasis kesukubangsaan, (2) terbitnya pers (surat

16

China di mainland dengan tradisi China yang berkembang dan dipraktikkan

oleh orang – orang Tionghoa di Indonesia.

Menurut Shils (1981: 213-258), perubahan tradisi disebabkan oleh dua

faktor yaitu faktor dari dalam dan faktor dari luar. Faktor dari dalam antara

lain; (1) rasionalisasi dan koreksi dari pengikutnya, (2) imajinasi dan (3)

godaan untuk menemukan yang baru. Sedangkan faktor dari luar berupa; (1)

tekanan dari tradisi asing, (2) sinkretisasi, (3) ekspansi dan perlawanan dalam

hubungan pusat – pinggiran tradisi, serta (4) lingkungan tradisi yang berubah.

Perbedaan dan keragaman tradisi China di Indonesia bisa terjadi

karena orang China yang pertama kali datang dan menetap di Nusantara

bukan orang kaya atau pejabat, melainkan orang biasa yang miskin atau

pelarian politik. Kebanyakan dari mereka kemudian berprofesi sebagai buruh

kontrak, petani, atau pedagang (Poerwanto, 2005: 43-44). Disamping itu,

mereka berasal dari daerah yang berbeda dan sering dibedakan dengan

dialeknya antara lain, Hokkian, Hakka (Khek), Teociu, Kanton dan lainnya.

Meski demikian, sebagian besar imigran China yang ke Indonesia berasal dari

Provinsi Fukien (Fujian) dan Kwangtung (Guangdong). Dan mereka selalu

membawa serta ciri kultural setempat khas kampung halamannya (Skinner,

1979: 6).

Denys Lombard (1996: 247) menegaskan bahwa meskipun

perkembangan tradisi orang Tionghoa di Nusantara, Jawa khususnya,

mengalami pasang surut karena berbagai pengaruh seperti perkawinan campur

Reka Cipta Kembali Tradisi pada Peringatan Hari Raya Orang Tionghoa di Yogyakarta: Studi KasusPerayaan Imlek, Peh Cun dan Tiong JiuREZZA MAULANAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 17: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81425/potongan/S2-2015-291251-chapter1.pdfpolitik berbasis kesukubangsaan, (2) terbitnya pers (surat

17

dan imigran baru perempuan Tionghoa, kesuksesan finansial atau jatuh

miskin, dan gejolak politik di negeri China atau di tanah perantauan, namun

setidaknya ada dua hal yang pasti yaitu (1) orang Tionghoa di Jawa

merupakan kelompok yang majemuk dan terpecah-pecah serta (2) kelompok

yang konsisten terbuka terhadap lingkungan sosial dan budaya setempat.

Dalam konteks kekinian, tradisi China pasca Soeharto tampaknya

mengalami kebangkitan yang signifikan. Seperti yang dinyatakan oleh Allen

(2003: 389), bahwa fenomena yang menghiasi identitas orang Tionghoa pasca

Soeharto adalah kebangkitan kembali berbagai bentuk budaya orang Tionghoa

yang selama masa Orde Baru dilarang atau dikerdilkan. Ragam budaya

tersebut antara lain; barongsai, film roman sejarah China di TV nasional,

wayang potehi, sastra Mandarin15

dan peringatan Imlek.

Menariknya adalah tradisi yang muncul kembali tersebut sedikit sekali

menyerupai tradisi Tionghoa masa kolonial atau pra 1965, bahkan beberapa di

antaranya merujuk pada tradisi klasik di China atau malah tradisi baru yang

direkonstruksi atau direka cipta kembali (reinventing tradition). Selain itu

adalah reka cipta tradisi tersebut bermuara pada proses formalisasi dan

ritualisasi yang merujuk pada masa lalu, namun dengan pengulangan –

pengulangan yang lebih mengesankan (Hobsbawm, 1989: 1- 4).

15 Beberapa karya yang disebut dengan sastra Mandarin dalam tulisan Pamela Allen (2003) antara lain:

Wilson Tjandinegara, Kumpulan Cerpen Mini Yin Hua, Jakarta: Komunitas Sastra Indonesia, 1999.

Tan Lioe Ie, Kita Bersaudara, Denpasar: Sanggar Minum Kopi, 1999.

Reka Cipta Kembali Tradisi pada Peringatan Hari Raya Orang Tionghoa di Yogyakarta: Studi KasusPerayaan Imlek, Peh Cun dan Tiong JiuREZZA MAULANAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 18: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81425/potongan/S2-2015-291251-chapter1.pdfpolitik berbasis kesukubangsaan, (2) terbitnya pers (surat

18

Sebagaimana munculnya kembali seni tradisi China liong dan

barongsai pasca 1998 (Shahab, 2000), peringatan hari raya juga telah

mengalami sebuah reka cipta tradisi dalam rangka mengembalikan fungsinya

sebagai identitas budaya orang-orang Tionghoa (Hoon, 2004: 13-14). Menurut

Horowitz (1975: 117), untuk memperluas atau memperbanyak keanggotaan

sebuah organisasi (penganut atau pengikutnya), dapat diperoleh lewat

kelahiran kembali generasinya yaitu anak muda yang mengetahui dan

memahami nilai – nilai tradisi.

Di sisi lain, Hoon (2009: 1-5) melihat bahwa peringatan hari raya,

khususnya Imlek, telah menjadi arena kontestasi politik bagi orang Tionghoa

terhadap negara, bahkan juga di antara orang - orang Tionghoa sendiri. Selain

itu, salah satu catatan yang juga perlu diperhatikan atas fenomena ini adalah

adanya fungsi lain dari peringatan hari raya tersebut yaitu kecenderungan

proses detradisionalisasi dalam peringatan hari raya Tionghoa, termasuk kelas

menengahnya, dengan ditandai adanya keterlibatan dan persiapan anggota

keluarga dalam proses produksi ekonomi (Onghokham, 1999; Hoon, 2009)

Jika menurut Swartz (1997: 117), perayaan Imlek, Peh Cun dan Tiong

Jiu tampaknya telah menjadi arena (field) produksi, sirkulasi, dan

pemanfaatan barang-barang, pelayanan, pengetahuan atau status dalam

kompetisi posisi para aktor untuk mengakumulasi dan memonopoli pelbagai

modal (capital). Masih menurut Swartz, arena ini merupakan (1) tempat

perjuangan mengkontrol berbagai nilai lebih sumber daya. Sumber daya yang

Reka Cipta Kembali Tradisi pada Peringatan Hari Raya Orang Tionghoa di Yogyakarta: Studi KasusPerayaan Imlek, Peh Cun dan Tiong JiuREZZA MAULANAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 19: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81425/potongan/S2-2015-291251-chapter1.pdfpolitik berbasis kesukubangsaan, (2) terbitnya pers (surat

19

terkait dengan hubungan kekuasaan inilah yang disebut dengan modal. Atau

dalam bahasa Bourdieu, arena adalah tempat untuk memperebutkan

legitimasi. Kemudian arena juga dipahami sebagai (2) ruang yang tersusun

dari posisi dominan dan subordinat berbasis pada beberapa tipe modal. Selain

itu arena juga (3) ditentukan oleh bentuk perjuangan dari aktor - aktor dan (4)

perluasan signifikan dari mekanisme internal dalam pengembangannya

(Swartz, 1997: 123-125).

Sumber daya atau modal (capital) yang berada di posisi paling tinggi

atau dominan adalah modal ekonomi (economic capital) kemudian diikuti

atau juga sering diposisikan sebagai oposisinya adalah modal budaya (cultural

capital). Secara tidak langsung modal ekonomi dianggap sebagai akar dari

modal yang lain seperti modal sosial (social capital) dan modal simbolik

(symbolic capital) (Swartz, 1997: 136).

Dominannya modal ekonomi dapat terlihat jelas dalam pelaksanaan

tiga perayaan Tionghoa di Yogyakarta. Panitia berusaha mengumpulkan dana

sebanyak-banyaknya, baik iuran pribadi atau mencari sponsor, agar semua

rencana kegiatan dapat terlaksana. Hal ini dilakukan karena pihak pemerintah

daerah tidak dapat membantu banyak atau menutup semua anggaran tersebut.

Pada perayaan hari besar tradisi China di Yogyakarta, bukan hanya

tokoh - tokoh dan warga Tionghoa biasa yang terlibat melainkan juga orang –

orang non Tionghoa, baik itu kelompok intelektual, penguasa lokal atau

penduduk setempat. Masing – masing pihak membaca sikap pemerintah pasca

Reka Cipta Kembali Tradisi pada Peringatan Hari Raya Orang Tionghoa di Yogyakarta: Studi KasusPerayaan Imlek, Peh Cun dan Tiong JiuREZZA MAULANAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 20: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81425/potongan/S2-2015-291251-chapter1.pdfpolitik berbasis kesukubangsaan, (2) terbitnya pers (surat

20

Orde Baru, yang menjadikan Tahun Baru Imlek sebagai hari Libur Nasional,

sebagai sebuah ruang publik baru. Tokoh atau elit menggunakan modal

ekonominya untuk mendukung perayaan semeriah mungkin. Intelektual dan

institusi akademiknya menjadikan momentum ini untuk berkontribusi

sekaligus memediasi. Seniman dan pekerja budaya, baik orang Tionghoa atau

bukan, ikut menyumbang keahlian sekaligus kepedulian dan juga eksistensi.

Jumlah massa yang banyak juga ikut meramaikan dan sebagai tanda sukses

acaranya. Pihak keamanan pun ikut kontribusi menjaga tapi juga menambah

uang saku, hingga pihak keamanan swasta pun tertarik terlibat.

Melibatkan pemerintah dan pihak lain seperti keamanan dan

masyarakat sekitar masih menjadi habitus dari komunitas Tionghoa. Hal ini

terjadi karena telah 30 tahun lebih posisi orang Tionghoa menjadi subordinat

dan objek dari penguasa, khususnya zaman Orde Baru. Seperti yang

dijelaskan oleh Swartz (1997: 100), konsep habitus yang dikenalkan oleh

Bourdieu merupakan usaha untuk menjelaskan suatu kondisi yang bertahan

lama yang mampu mempengaruhi struktur pikiran dan tindakan.

Aksi yang dilakukan oleh para aktor di atas adalah strategi itu sendiri.

Seperti yang dijelaskan oleh Swartz (1997: 99), strategi ini merupakan siasat

dengan menggunakan waktu dan inilah yang membuat perbedaan masing-

masing agen dan membedakan struktur dalam praktik sehari-hari. Siasat lewat

waktu ini dapat dipahami dengan melihat kemungkinan timbal balik modal di

antara aktor. Dalam konteks perayaan di Yogyakarta, kelompok elit Tionghoa

Reka Cipta Kembali Tradisi pada Peringatan Hari Raya Orang Tionghoa di Yogyakarta: Studi KasusPerayaan Imlek, Peh Cun dan Tiong JiuREZZA MAULANAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 21: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81425/potongan/S2-2015-291251-chapter1.pdfpolitik berbasis kesukubangsaan, (2) terbitnya pers (surat

21

(pengusaha) terlibat sebagai panitia dan bertemu dengan penentu dan pelaku

kebijakan publik seperti kepala daerah, mereka melihat bahwa ada potensi di

kemudian hari untuk bekerjasama kembali dalam hal perdagangan atau kontak

bisnis lain.

F. Metode Pengumpulan dan Analisis Data

Paling mendasar dalam mengumpulkan data penelitian ini adalah

pengamatan di lapangan (Jorgensen, 1989). Pengamatan dilakukan selama

berlangsungnya perayaan, baik perayaan Imlek, Peh Cun dan Tiong Jiu.

Pengamatan hanya ditujukan pada perayaan di ruang publik saja. Karena

aksesnya lebih mudah, sedangkan di ruang privat (keluarga atau paguyuban /

marga), aksesnya lebih sulit, karena peneliti bukan bagian dari marga /

paguyuban tersebut.

Cara ini sebenarnya telah dilakukan secara berkelanjutan oleh peneliti

sejak delapan tahun yang lalu ketika perayaan Imlek yang pertama di

Ketandan tahun 2006. Bahkan di tahun 2007, peneliti pernah terlibat

(partisipasi) dalam susunan kepanitiaan salah satu perayaan Imlek di Bantul.

Di tahun 2012, peneliti juga pernah ikut sebagai peserta karnaval. Sedangkan

pengamatan pada perayaan Peh Cun di Pantai Parangtritis, lebih sering

sebagai penonton aktif. Namun untuk peringatan Tiong Jiu di Klenteng

Poncowinatan, pengamatan baru dilakukan tiga kali karena perayaan ini baru

mulai digelar tiga tahun yang lalu.

Reka Cipta Kembali Tradisi pada Peringatan Hari Raya Orang Tionghoa di Yogyakarta: Studi KasusPerayaan Imlek, Peh Cun dan Tiong JiuREZZA MAULANAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 22: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81425/potongan/S2-2015-291251-chapter1.pdfpolitik berbasis kesukubangsaan, (2) terbitnya pers (surat

22

Cara pengumpulan data yang lain adalah adalah wawancara

(Koentjaraningrat, 1977). Wawancara yang akan dilakukan tidak dilakukan

sekali saja terhadap satu informan, tetapi akan dilakukan beberapa kali. Hal

ini dilakukan karena satu informan seringkali merangkap jabatan dan berganti

posisi dalam kepanitiaan setiap tahunnya, baik Imlek atau Peh Cun.

Pengulangan ini, atau ganti informan, juga disebabkan karena adanya

penolakan atau pengalihan dari informan utama, misalnya informan dari

pejabat pemerintahan. Mulanya adalah informan yang berkedudukan sebagai

kepala dinas (pariwisata), namun karena peneliti hanya seorang mahasiswa

master dari perguruan tinggi lokal, akhirnya peneliti hanya diberikan

informasi oleh kepala seksi (kasi). Mereka beralasan bahwa kepala dinas

hanya layak menemui peneliti yang berstatus mahasiswa doktoral atau peneliti

dari luar negeri. Kasus lain adalah terkadang informan dari masyarakat

Tionghoa masih ada yang kurang terbuka terhadap peneliti lokal, apalagi yang

berasal dari suku lain. Tetapi beberapa informan justru lebih terbuka terhadap

peneliti asing.16

Pemilihan informan juga didasarkan pada fungsi dan peran mereka

dalam pelaksanaan festival tahunan ini, antara lain: penasehat atau konsultan

acara yang biasanya terdiri dari tokoh masyarakat dan tokoh komunitas

16 Peneliti mendapatkan pengalaman ini ketika membandingkan dua kali wawancara dengan partner

yang berbeda. Pertama dengan partner lokal, yang kedua bersama partner asing. Terima kasih kepada

Evamaria Muller, mahasiswi doktoral dari Universitas Freiburg Jerman yang berbagi pengalaman saat

meneliti tentang orang Tionghoa di Yogyakarta pada saat yang hampir bersamaan.

Reka Cipta Kembali Tradisi pada Peringatan Hari Raya Orang Tionghoa di Yogyakarta: Studi KasusPerayaan Imlek, Peh Cun dan Tiong JiuREZZA MAULANAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 23: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81425/potongan/S2-2015-291251-chapter1.pdfpolitik berbasis kesukubangsaan, (2) terbitnya pers (surat

23

Tionghoa (sesepuh Tionghoa), panitia harian dan beberapa koordinator

bidang, serta partisipan acara yang biasanya berasal dari paguyuban orang -

orang Tionghoa di Yogyakarta dan kelompok liong samsi, baik itu pembuat,

pemilik dan pemainnya. Selain informan dari kalangan orang Tionghoa,

penulis juga akan mewancarai informan yang bukan orang Tionghoa, namun

terlibat di dalam susunan kepanitiaan atau sekedar partisipan perayaan

tersebut. Hal ini perlu dilakukan oleh peneliti dengan maksud untuk melacak

kontribusi dan pengaruhnya dalam pembentukan tradisi perayaan orang

Tionghoa di Yogyakarta.

Terkait dengan kualitas informan sebagai bagian dari studi kasus, juga

untuk menjawab pertanyaan riset terakhir, peneliti membuat klasifikasi awal

untuk informan sebagai berikut: Pertama, golongan tua yang kaya raya.

Kedua, golongan tua kelas menengah. Ketiga, golongan muda berpendidikan

tinggi. Keempat, golongan muda berpendidikan sedang dan kelima, golongan

muda (masih) berpendidikan rendah.

Berikutnya adalah pengumpulan dokumen baik yang berupa teks atau

gambar (video dan potret). Dokumen yang dimaksud tidak hanya yang

dimiliki oleh kepanitiaan (resmi), tetapi juga dokumen dari sumber lain

seperti berita surat kabar, majalah, artikel ilmiah dan cerita rakyat atau tradisi

lisan (Kartodirdjo, 1977).

Data – data yang terkumpul di atas akan dianalisis menggunakan

beberapa pendekatan. Analisis historis akan diterapkan untuk menganalisa

Reka Cipta Kembali Tradisi pada Peringatan Hari Raya Orang Tionghoa di Yogyakarta: Studi KasusPerayaan Imlek, Peh Cun dan Tiong JiuREZZA MAULANAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 24: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81425/potongan/S2-2015-291251-chapter1.pdfpolitik berbasis kesukubangsaan, (2) terbitnya pers (surat

24

data yang berasal dari teks, pengamatan dan wawancara yang mana terkait

dengan gambaran perkembangan dan dinamika masyarakat Tionghoa dan

tradisinya pada masa awal mereka menetap di kota praja hingga pasca Orde

Baru. Kemudian data yang terkait dengan performa perayaan tiga hari raya

akan dianalisa dengan pendekatan fenomenologi. Diharapkan dengan

pendekatan ini, fenomena perayaan hari raya Tionghoa yang kembali muncul

setelah Orde Baru mundur dapat terjelaskan secara rinci. Untuk yang terakhir,

analisa strukturalisme konstruktif, seperti yang diakui sendiri oleh Bourdieu

(1989: 14), akan digunakan untuk menganalisis data yang terkait dengan

ragam makna atau kepentingan dalam medan produksi sebuah budaya, yakni

peringatan hari raya budaya orang Tionghoa.

G. Organisasi Tulisan

Secara singkat, tulisan ini diawali dengan eksplorasi dinamika sosial

orang Tionghoa Indonesia yang terjadi di masa Orde Baru hingga

perkembangan terakhir pasca Orde Baru yang tercermin dalam bab 1. Di

samping itu, bagian pertama ini diikuti dengan rumusan masalah dan landasan

teori. Untuk melihat kontekstualisasi tulisan ini dibahas juga kajian pustaka

yang sudah ada mengenai tradisi orang Tionghoa.

Bagian kedua akan menjelaskan kondisi historis orang Tionghoa

secara umum di wilayah Kesultanan Yogyakarta hingga menjadi daerah

istimewa Yogyakarta. Kemudian penjelasan dilanjutkan dengan menekankan

Reka Cipta Kembali Tradisi pada Peringatan Hari Raya Orang Tionghoa di Yogyakarta: Studi KasusPerayaan Imlek, Peh Cun dan Tiong JiuREZZA MAULANAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 25: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81425/potongan/S2-2015-291251-chapter1.pdfpolitik berbasis kesukubangsaan, (2) terbitnya pers (surat

25

pada perkembangan dan dinamika budaya, khususnya tiga pilarnya yaitu

organisasi, pers dan pendidikan, orang Tionghoa yang diwariskan dari

generasi ke generasi dan melewati beberapa zaman hingga masa pasca Orde

Baru.

Di dalam bagian ketiga, penulis akan menguraikan gambaran dari tiga

perayaan hari besar orang Tionghoa yang dirayakan secara terbuka di ruang

publik Yogyakarta yaitu perayaan Imlek, Peh Cun dan Tiong Jiu. Selain itu

juga akan diuraikan proses produksi dan orang-orang Tionghoa yang terlibat

didalamnya, termasuk pihak di luar komunitas mereka.

Bagian keempat adalah uraian argumentasi dan praktik dari berbagai

pihak yang terlibat dalam perayaan tradisi orang Tionghoa di Yogyakarta.

Dengan kata lain, bagian ini berusaha untuk mengungkap makna yang

tersembunyi di balik perayaan atau festival yang terselenggara di ruang

publik.

Bagian kelima adalah bagian akhir dari keseluruhan tulisan yang

berusaha untuk menunjukkan benang merah atau ringkasan terkait dan titik

simpul dari awal hingga akhir tulisan.

Reka Cipta Kembali Tradisi pada Peringatan Hari Raya Orang Tionghoa di Yogyakarta: Studi KasusPerayaan Imlek, Peh Cun dan Tiong JiuREZZA MAULANAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/