29
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1. Permasalahan Nasionalisme merupakan sebuah penemuan sosial yang menjadi jalan bagi perkembangan kehidupan kebangsaan manusia. Hampir semua negara tidak terlepas dari pengaruh ideologi ini. Perkembangan ini tidak bisa dilepaskan dari berakhirnya perang dingin pada tahun 1991 dan semakin merebaknya gagasan dan budaya global (internasionalisme) pada dekade 1990-an. Lebih khusus lagi dengan adanya teknologi komunikasi dan informasi yang berkembang dengan sangat pesat. Nasionalisme yang melahirkan konsep bangsa, berada pada titik persinggungan antara politik, teknologi dan transformasi sosial. Perang dingin berakhir dengan membawa perubahan arus global yang ditandai dengan pesatnya perkembangan sistem informasi dan transportasi. Hal tersebut berdampak pada semakin mudahnya manusia dalam menghemat waktu perjalanan antar satu wilayah dengan wilayah lainnya, selain itu perkembangan teknologi dan informasi telah membawa perubahan besar pula pada akibat yang cukup kuat bagi perkembangan kebijakan politik dan kedaulatan suatu negara- bangsa. Hal tersebut berpengaruh pula pada perkembangan dan kemandirian ekonomi serta identitas nasional suatu bangsa. Kemunculan negara-negara baru pecahan dari negara-negara adidaya seperti halnya Uni Soviet, maraknya peperangan, sampai pada pembantaian etnik,

BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/131234/potongan/S1-2017...terlepas dari pengaruh ideologi ini. Perkembangan ini tidak bisa dilepaskan

  • Upload
    vothien

  • View
    218

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

1. Permasalahan

Nasionalisme merupakan sebuah penemuan sosial yang menjadi jalan bagi

perkembangan kehidupan kebangsaan manusia. Hampir semua negara tidak

terlepas dari pengaruh ideologi ini. Perkembangan ini tidak bisa dilepaskan dari

berakhirnya perang dingin pada tahun 1991 dan semakin merebaknya gagasan dan

budaya global (internasionalisme) pada dekade 1990-an. Lebih khusus lagi dengan

adanya teknologi komunikasi dan informasi yang berkembang dengan sangat pesat.

Nasionalisme yang melahirkan konsep bangsa, berada pada titik persinggungan

antara politik, teknologi dan transformasi sosial.

Perang dingin berakhir dengan membawa perubahan arus global yang

ditandai dengan pesatnya perkembangan sistem informasi dan transportasi. Hal

tersebut berdampak pada semakin mudahnya manusia dalam menghemat waktu

perjalanan antar satu wilayah dengan wilayah lainnya, selain itu perkembangan

teknologi dan informasi telah membawa perubahan besar pula pada akibat yang

cukup kuat bagi perkembangan kebijakan politik dan kedaulatan suatu negara-

bangsa. Hal tersebut berpengaruh pula pada perkembangan dan kemandirian

ekonomi serta identitas nasional suatu bangsa.

Kemunculan negara-negara baru pecahan dari negara-negara adidaya seperti

halnya Uni Soviet, maraknya peperangan, sampai pada pembantaian etnik,

2

semuanya menunjukkan betapa nasionalisme mulai terkikis dari kehidupan dan

pandangan manusia di berbagai penjuru dunia. Artinya, bahwa pergerakan

perkembangan masyarakat dunia mengarah pada titik di mana meninggalkan

kesamaan batas wilayah dan asosiasi politik. Hal tersebut kemudian menuju pada

kesamaan etnik, agama, dan berbagai hal lainnya yang mendukung perkembangan

kebangsaan yang lebih mengerucut dan sempit.

Nasionalisme adalah suatu paham yang berpendapat bahwa kesetiaan

tertinggi individu harus diserahkan kepada negara-kebangsaan. Perasaan sangat

mendalam akan suatu ikatan yang erat dengan tanah tumpah darahnya, dengan

tradisi-tradisi setempat dan penguasa-penguasa resmi di daerahnya selalu ada di

sepanjang sejarah dengan kekuatan yang berbeda-beda. Nasionalisme menyatakan

bahwa negara kebangsaan adalah cita dan satu-satunya bentuk sah dari organisasi

politik dan bahwa bangsa adalah sumber daripada semua tenaga kebudayaan kreatif

dan kesejahteraan ekonomi (Hans Kohn, 1969: 11-12). Pernyataan ini telah

membawa pada suatu kesimpulan bahwa secara umum nasionalisme bertujuan

membangun satu prinsip makna kebersamaan yang tercipta dari perbedaan.

Nasionalisme menginginkan setiap urusan diserahkan pada negara-kebangsaan. Hal

ini berarti bahwa bangsa menjadi patokan utama dalam semua segi kehidupan

bernegara.

Andrew Heywood (2014: 186) menjelaskan bahwa nasionalisme merupakan

suatu fenomena yang kompleks dan sangat beragam. Tidak hanya terdapat bentuk-

bentuk nasionalisme, tetapi implikasi-implikasi politik dari nasionalisme sangat

luas dan beragam dan terkadang kontradiktif. Perihal tersebut terjadi karena

3

nasionalisme telah dikaitkan dengan ajaran-ajaran ideologi yang sangat berbeda-

beda. Hal ini menjadi persoalan baru kebangsaan itu sendiri ketika dihadapkan pada

bentuk-bentuk sejarah dan perjuangan suatu bangsa, ditambah lagi oleh ideologi

yang dipegang masing-masing negara ataupun suatu kelompok. Tidak jarang

nasionalisme dianggap sebagai bagian dari dogma agama, sehingga aksi-aksi yang

dilakukan dinilai sebagai bagian bentuk perjuangan nasionalisme kebangsaan.

Akan tetapi, dasar nasionalisme yang dibangun hanya berdasarkan dogma atau

ideologi satu kelompok tertentu.

Nasionalisme merupakan dasar bagi warga negara untuk membentuk sikap

terkait bagaimana seharusnya bertindak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tujuan utamanya adalah untuk membentuk hubungan yang intens antarwarga,

pemerintah, dan negara terkait pelaksanaan suatu pemerintah dalam satu kesatuan

yang menjadi cita-cita bersama. Artinya bahwa dalam pandangan nasionalisme itu

sendiri harus memuat aturan yang bisa menumbuhkan kesadaran yang nyata tentang

paham kebangsaan. Terkait bagaimana bentuk nasionalisme yang harus

ditumbuhkan, menjadi paham dan metode tersendiri di masing-masing negara.

Indonesia dengan negara kesatuan, memiliki sejarah yang panjang terkait

perkembangan nasionalismenya. Nasionalisme dalam arti penting bagi perjuangan

bangsa Indonesia merupakan suatu kata yang mampu mewakilkan semangat juang

bangsa Indonesia. Hal tersebut dengan latar belakang nasib yang sama-sama

dijajah, sehingga mampu membangkitkan persamaan dengan meninggalkan segala

perbedaan yang ada dimasyarakat. Perbedaan terkait suatu etnik, agama, maupun

latar politik yang dianut masing-masing individu atau kelompok.

4

Pembahasan tentang hak asasi manusia dan kesadaran hukum membawa

pada satu pengenalan dan pemahaman yang mengacu pada tatanan dunia yang lebih

maju. Di Indonesia sendiri, paham tentang hak kemerdekaan bagi semua bangsa

untuk membentuk negara yang berdaulat dan menentukan nasib sendiri, telah

membawa masyarakat Indonesia yang berbeda-beda pada satu tujuan. Di mana

aspek yang menjadi tujuan tersebut adalah kebersamaan untuk mewujudkan satu

visi, yakni untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Sejarah proses perkembangan nasionalisme di Indonesia dimulai ketika

lahirnya organisasi Budi Utomo pada tahun 1908. Selanjutnya, dilaksanakan pula

ikrar sumpah pemuda pada tahun 1928 perihal tersebut yang kemudian menjadi

basis lahirnya konsep negara-bangsa Indonesia, konsep bahwa tanah air, berbangsa,

dan berbahasa satu dalam wujud “Indonesia”. Proses ini kemudian masih berlanjut

dan mengilhami perjuangan yang sebenarnya tentang kemerdekaan Indonesia pada

tanggal 17 Agustus tahun 1945 setelah melewati proses yang penuh perjuangan dari

bangsa Indonesia. Keberhasilan bangsa Indonesia menjadi negara yang merdeka,

kemudian mendapatkan pengakuan dari berbagai negara, bahwa Indonesia

merupakan negara yang memiliki landasan nasionalisme yang cukup kuat dan

mampu mengilhami berbagai negara lainnya untuk memproklamasikan

kemerdekaan.

Hal di atas dapat memberikan pemahaman bahwa nasionalisme memiliki

andil yang cukup besar bagi perkembangan suatu negara bangsa dalam membentuk

negara yang berdaulat. Hal tersebut dilatari oleh rasa persaudaraan, persamaan,

saling menghargai, saling mendukung satu sama lain, dengan meninggalkan sikap

5

arogansi, dan etnosentrisme yang berlebihan. Beberapa sikap yang berhasil

dibangun tersebut, maka akhirnya negara kebangsaan Indonesia dapat terwujud.

Hal ini juga bisa dikomparasikan dengan situasi Indonesia saat ini, di mana mulai

meninggalkan rasa solidaritas dan nasionalisme. Realitas masyarakat yang lebih

mengarah pada kepentingan etnik, agama, dan individu serta kelompok tertentu,

seperti yang telah ketahui bahwa perihal seperti itu bisa merusak persatuan dan cita-

cita bangsa Indonesia.

Nasionalisme lahir dengan membawa konsep persatuan dalam

keberagaman. Konsep ini kemudian diperkuat dengan paham multikulturalisme dan

solidaritas. Pemaknaan nasionalisme dengan stigma yang berusaha dibangun

adalah bagaimana mencintai negara sendiri, masyarakat, bangsa, dan tanah air

dengan menyampingkan kepentingan-kepentingan. Aspek yang di kedepankan

adalah asas persatuan, dengan tujuan politik bangsa Indonesia, dengan itu maka

Indonesia akan menemui titik terang sebagai negara yang berdaulat dan mampu

merangkul semua golongan.

Persoalan nasionalisme pada saat ini tidak hanya persoalan etnosentrisme,

tetapi kacaunya sistem politik yang diperparah dengan maraknya tindak pidana

korupsi menjadi pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan oleh negara

Indonesia. Persoalan ini secara jelas memperlihatkan betapa nasionalisme tidak lagi

menjadi pedoman dalam penyelenggaraan kebangsaan. Banyak pihak yang

memainkan kesempatan politik untuk memenuhi kebutuhan individu dan golongan.

Persoalan ini akan dapat memicu terjadinya kesenjangan yang memunculkan

konflik dan kekacauan yang berkepanjangan. Akibat dari hal tersebut adalah

6

semakin terpuruknya kedaulatan internal bangsa Indonesia. Di lansir dari website

(http://cnnindonesia.com, diakses tanggal 18 Agustus 2017, pukul 11.32 wib),

berdasarkan data Mahkamah Agung, penanganan kasus korupsi pada tahun 2016

mencapai 453 perkara, menempati urutan kedua setelah kasus narkotika, dan terjadi

peningkatan dari tahun 2015. Ini merupakan suatu kemunduran moral yang menjadi

ancaman bagi perkembangan bangsa Indonesia kedepannya.

Cabang-cabang produksi vital negara seharusnya menguasai hajat hidup

rakyat Indonesia secara keseluruhan yang mestinya dikuasai oleh negara. Namun,

pada saat ini banyak cabang produksi vital tersebut dikuasai oleh kelompok,

individu, ataupun pemodal asing. Akibatnya, rakyat menjadi tertindas dan

menderita karena penguasaan yang tidak semestinya. Eksploitasi sumber daya alam

secara sepihak dengan tidak memperhatikan rakyat juga menjadi perhatian

tersendiri dalam persoalan kebangsaan. Hal ini menjadi semakin memparah

keadaan kebangsaan Indonesia yang katanya merupakan “Tanah Surga”, namun

nyatanya bukan memberikan kebahagian kepada rakyat, hanya sebagian kecil saja

rakyat Indonesia yang benar-benar bisa menikmati surga tersebut.

Di konteks yang lain, separatisme dan terorisme menjadi ancaman yang

cukup menyita perhatian terkait persoalan kebangsaan. Hal tersebut diperparah

dengan kehidupan individualis di kota-kota besar di Indonesia, ini kemudian

menciptakan suatu tatanan yang membentuk kelas sosial baru di kalangan

masyarakat. Beberapa ancaman tersebut berdampak pada lunturnya persatuan

Indonesia yang dimaknai dalam ragam kesetaraan dan kebersamaan. Kemudian

7

memunculkan jarak yang menciptakan anggapan “kita” dan “mereka” dalam

memaknai kehidupan sosial.

Filsafat Pancasila merupakan buah pemikiran bangsa Indonesia sebagai

bentuk refleksi yang mendalam tentang kehidupan dan jati diri bangsa. Suatu

bentuk refleksi dari sistem filsafat yang dianggap dan diyakini sebagai suatu

kenyataan, norma dan nilai yang tepat bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan.

Pemikiran Filsafat Pancasila yang mendalam dan komprehensif, bukan hanya

bertujuan mencari kebenaran atau kebijaksanaan. Akan tetapi juga berusaha

menemukan titik persamaan dari setiap elemen bangsa sebagai satu kesatuan yang

utuh, dengan tujuan untuk mewujudkan kebahagiaan bangsa baik lahir maupun

batin.

Perlu digarisbawahi bahwa konsep Pancasila dalam pandangan Filsafat

Pancasila dibangun secara sistematis dan metodis. Artinya bahwa semua segi dalam

butir-butir silanya tidak terlepas antara satu dengan yang lainnya. Saling berkaitan

antar sila yang menjadi pedoman dalam memahami dan mengilhami kehidupan

bangsa Indonesia. Hal tersebut sehingga menjadikan Pancasila sebagai aturan yang

benar-benar relevan dengan semua segi kehidupan bangsa Indonesia. Selanjutnya,

Pancasila harus dijadikan pedoman serta acuan dalam menjalani kehidupan

berbangsa dan bernegara di Indonesia.

Penelitian ini akan membahas tentang bagaimana konsep nasionalisme

dalam pemikiran Yudi Latif. Hal tersebut mengingat bahwa konsep nasionalisme

Yudi Latif sangat dekat dengan aspek-aspek kehidupan kebangsaan Indonesia,

sehingga dalam penerapannya akan mudah diterima oleh masyarakat Indonesia.

8

Langkah selanjutnya, peneliti akan menganalisis pemikiran nasionalisme Yudi

Latif tersebut dengan menggunakan nilai-nilai Pancasila dalam Filsafat Pancasila

Notonagoro.

2. Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini, diantaranya

adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana konsep nasionalisme dalam pemikiran Yudi Latif?

2. Apa analisis Filsafat Pancasila Notonagoro terhadap konsep nasionalisme

Yudi Latif?

3. Keaslian Penelitian

Peneliti melakukan penelusuran terhadap penelitian yang berkaitan dengan

konsep nasionalisme dalam pemikiran Yudi Latif. Terkait penelitian dengan konsep

nasionalisme, peneliti menemukan beberapa judul :

a. Y. Haris Nusarastriya, 1986, Konsepsi Mohammad Hatta tentang Nasionalisme

Indonesia, Fakultas Filsafat UGM. Skripsi ini membahas pandangan Hatta

tentang nasionalisme di Indonesia secara umum. Nasionalisme menurut Hatta

merupakan gabungan antara teori objektif dan subjektif. Kondisi objektif

menurut Hatta dapat menimbulkan kondisi subjektif.

b. Sri Wahyuni, 1988, Nasionalisme Menurut Ir. Soekarno, Fakultas Filsafat

UGM. Skripsi ini mengupas pemikiran Soekarno tentang nasionalisme

khususnya yang terjadi di Indonesia. Nasionalisme di Indonesia menurut

9

Soekarno terbentuk atas kesepakatan bersama ditambah dengan faktor

geopolitik di Indonesia. Skripsi ini juga membahas Pancasila sebagai bentuk

nasionalisme Soekarno yang menjadi dasar bangsa Indonesia.

c. Decky Hermawan, 2003, Akar Nasionalisme dalam Kajian Benedict Anderson

(Telaah Kritis terhadap Buku Imagined Comunities: Komunitas-komunitas

Terbayang), Fakultas Filsafat UGM. Skripsi ini berisi telaah buku Benedict

Anderson yang berjudul Imagined Comunities: Komunitas-komunitas

Terbayang yang menghasilkan analisis perkembangan nasionalisme sekaligus

meninjau secara historis tahapan-tahapan menjadi sebuah bangsa.

d. Hermawan Susanto, 2009, Konsep Nasionalisme Menurut Mohandas

Karamchand Gandhi, Fakultas Filsafat UGM. Skripsi ini berisi pembedaan

antara nasionalisme Gandhi yang terbentuk dari faktor objektif dan subjektif,

kemudian konsep nasionalisme Gandhi terkait tentang kemanusiaan sebagai roh

bangsa yang dimimpikannya, seperti pembebasan manusia dari penjajahan dan

berusaha keras melakukan pembaharuan dalam stigma masyarakat.

Sementara itu peneliti sejauh ini belum menemukan penelitian yang

mendalam terkait pemikiran Yudi Latif, ataupun yang lebih rinci penelitian yang

membahas tentang konsep nasionalisme dalam pemikiran Yudi Latif dengan

menggunakan perspektif Filsafat Pancasila Notonagoro sebagai objek formalnya.

4. Manfaat Penelitian

10

Setiap peneliti berharap apa yang ditelitinya dapat menghasilkan manfaat

bagi orang lain dan lingkungannya, terutama bagi perkembangan ilmu pengetahuan

yang semakin pesat. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :

a. Bagi Ilmu Pengetahuan

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan pengetahuan tambahan

mengenai bagaimana konsep nasionalisme dalam pemikiran Yudi Latif. Hal

tersebut baik terkait dengan teori maupun perkembangannya. Selanjutnya

konsep tersebut dapat dijadikan sebagai acuan dalam memahami dan

melaksanakan nasionalisme dalam kehidupan berbangsa di Indonesia.

b. Bagi Perkembangan Ilmu Filsafat

Penelitian ini diharapkan dapat menambah wacana dalam dunia dan

literatur kefilsafatan secara umum yang termasuk dalam bidang ilmu Filsafat

Pancasila serta Nasionalisme. Hal tersebut diharapkan mampu menjadi sarana

untuk menerapkan pemikiran filosofis di Indonesia. Lebih khusus lagi untuk

memahami nasionalisme dan dasar negara Indonesia, yaitu Pancasila.

c. Bagi Pembaca dan Bangsa Indonesia

Penelitian ini diharapkan dapat menumbuhkan pemahaman dan

pengertian bagi pembaca terkait permasalahan yang berhubungan dengan

konsep nasionalisme dalam pemikiran Yudi Latif. Permasalahan-permasalahan

yang juga berkaitan dengan persoalan kebangsaan. Hal ini kemudian ke

depannya dapat berguna sebagai masukan bagi penelitian selanjutnya yang

lebih lengkap dan terperinci.

B. Tujuan Penelitian

11

Tujuan dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui konsep nasionalisme dalam pemikiran Yudi Latif.

2. Untuk mengetahui tinjauan Filsafat Pancasila Notonagoro terhadap konsep

nasionalisme dalam pemikiran Yudi Latif.

C. Tinjauan Pustaka

Nation berasal dari bahasa Latin nation, yang dikembangkan dari kata

nascor (saya dilahirkan), maka pada awalnya nation (bangsa) dimaknai sebagai

“sekelompok orang yang dilahirkan di suatu daerah yang sama” (group of people

born in the same place) (Ritter, 1986: 286). Snyder menyatakan bahwa

nasionalisme merupakan emosi yang kuat yang telah mendominasi pikiran dan

tindakan politik kebanyakan rakyat sejak revolusi Prancis. Nasionalisme tidak

bersifat alamiah, melainkan merupakan satu gejala sejarah, yang timbul sebagai

tanggapan terhadap kondisi politik, ekonomi, dan sosial tertentu (Snyder, 1964: 23).

Nasionalisme merupakan multimakna, hal tersebut tergantung pada kondisi

objektif dan subjektif dari setiap bangsa. Nasionalisme dapat bermakna sebagai

berikut:

1. Nasionalisme adalah rasa cinta pada tanah air, ras, bahasa atau budaya yang

sama, maka dalam hal ini nasionalisme sama dengan patriotisme.

2. Nasionalisme adalah suatu keinginan akan kemerdekaan politik, keselamatan

dan prestise bangsa.

12

3. Nasionalisme adalah suatu kebaktian mistis terhadap organisme sosial yang

kabur, kadang-kadang bahkan adikodrati yang disebut sebagai bangsa atau volk

yang kesatuannya lebih unggul daripada bagian-bagiannya.

4. Nasionalisme adalah dogma yang mengajarkan bahwa individu hanya hidup

untuk bangsa dan demi bangsa itu sendiri.

5. Nasionalisme adalah doktrin yang menyatakan bahwa bangsanya sendiri harus

dominan atau tertinggi di antara bangsa-bangsa lain dan harus bertindak agresif

(Boyd Shafer, 1955: 6).

Nasionalisme merupakan ideologi negara dan satu bentuk tingkah laku dari

suatu bangsa. Nasionalisme sebagai ideologi dibentuk berdasarkan gagasan bangsa

dan membuatnya untuk memberi fondasi kokoh bagi negara. Nasionalisme sebagai

ideologi dapat memainkan tiga fungsi, yaitu mengikat semua kelas warga bangsa,

menyatukan mentalitas warga bangsa, dan membangun atau memperkokoh

pengaruh warga bangsa terhadap kebijakan yang diambil oleh negara. Nasionalisme

merupakan alat perekat kohesi sosial untuk mempertahankan eksistensi negara dan

bangsa. Semua negara dan bangsa membutuhkan nasionalisme sebagai faktor

integratif (Hertz, 1996: 47). Ungkapan senada juga disampaikan Smith,

nasionalisme merupakan gerakan ideologis untuk meraih dan memelihara otonomi,

kohesi, dan individualitas bagi satu kelompok sosial tertentu yang diakui oleh

beberapa anggotanya untuk membentuk atau menentukan satu bangsa yang

sesungguhnya atau yang berupa potensi saja (Smith, 1979: 1).

Benedict Anderson (1996: 2) menyatakan bahwa nasionalisme adalah

suatu komunitas politik yang berbayang, yang dibayangkan sebagai kesatuan yang

13

terpisah dan berdaulat. Benedict Anderson (2001: 215) juga menekankan

pentingnya nasionalisme bagi bangsa Indonesia, dalam pengertian tradisional.

Salah satu yang mendesak di Indonesia dewasa ini adalah adanya apa yang disebut

sebagai “defisit nasionalisme”, yakni semakin berkurangnya semangat nasional,

lebih-lebih di kalangan yang kaya dan berpendidikan.

Nasionalisme merupakan gejala sosio-politik yang berkembang secara

dialektik, berakar di masa silam serta tumbuh dan berkembang yang akhirnya

terwujud semangat persatuan dengan dasar cita-cita hidup bersama dalam suatu

negara nasional. Hal ini dengan demikian, nasionalisme yang merupakan paham

kebangsaan ini memiliki dua hal pokok sebagai perwujudannya, yaitu kenangan

masa lampau dalam hidup berbangsa dan kehendak untuk bersatu dalam bernegara.

Dua dasar tersebut nasionalisme sebagai gejala sosio-politik berhubungan erat

dengan organisasi negara, sebagai organisasi politik, kekuasaan serta alat

perjuangan (Noor M.Bakry, 1994: 172).

Nasionalisme merupakan salah satu unsur dalam pembinaan kebangsaan

atau nation-building. Hal tersebut dengan proses pembinaan kebangsaan semua

anggota masyarakat bangsa dibentuk agar berwawasan kebangsaan serta berpola

tata-laku yang mencerminkan budaya maupun ideologi. Kemudian untuk

masyarakat yang heterogen lebih mengedepankan wawasan kebangsaan yang

unsur-unsurnya adalah rasa kebangsaan, paham kebangsaan, dan semangat

kebangsaan atau nasionalisme. Rasa kebangsaan merupakan perekat paling dasar

dari setiap anggota masyarakat bangsa yang karena sejarah dan budayanya

memiliki dorongan untuk menjadi satu dan bersatu tanpa pamrih di dalam satu

14

wadah negara bangsa (nation-state) (Ichlasul Amal dan Armaidy Armawi, 1998:

12).

Terkait beberapa defenisi tentang nasionalisme di atas, dapat disimpulkan

bahwa nasionalisme merupakan suatu paham kebangsaan yang mengajarkan

tentang bagaimana memahami makna kebersamaan dan persatuan. Hal tersebut

yang menjadi pedoman kehidupan bersama dalam mewujudkan cita-cita

kebangsaan secara bersama-bersama dalam suatu negara kebangsaan. Kemudian

tujuan akhir yang ingin dicapai dalam nasionalisme adalah membangun solidaritas

dan sikap mental yang mencintai tanah air secara penuh. Dilakukan dengan

membuktikan diri bahwa seseorang atau kelompok mampu berpartisipasi bagi

perkembangan bangsanya sesuai dengan kemampuannya masing-masing.

Perkembangan nasionalisme di beberapa tempat di dunia, dihubungkan

dengan meningkatnya peristiwa perang saudara, bukan perang di antara negara

bangsa. Ada pula perubahan-perubahan besar pada komposisi sosial. Di masa lalu,

nasionalisme adalah ideologi kaum elite yang bersaing memperebutkan dukungan

rakyat; dalam kesempatan lain, nasionalisme adalah ideologi yang dipaksakan dari

atas oleh negara kepada masyarakat. Kini nasionalisme pada umumnya berasal dari

‘bawah’ dan antistatis. Kompenen antistatis dalam nasionalisme baru ini

dicontohkan Northern League, yang berpendapat negara Italia tidak bisa dipercaya,

dan dalam kasus ekstrem, kalangan milisi Amerika, yang berpendapat pemerintah

federal menghianati bangsa Amerika (George Ritzer, 2012: 960).

Sidney Hook menyatakan bahwa nasionalisme harus dibedakan dari apa

yang dinamakan patriotisme. Hal tersebut sesuai dengan kata-kata George

15

Santayana, yaitu bahwa ia suatu penyembahan terhadap sumber, terhadap asal mula

dari kehidupan. Seorang patriot adalah seorang yang cinta pada negara di mana ia

lahir, bahasa yang mendidik, lambang-lambang dari kepercayaannya. Hal itu adalah

penyembahan terhadap asal mulanya. Tetapi nasionalisme adalah lebih luas

daripada patriotisme, karena ia mengharapkan rakyat ikut menjadi bagian dari

bangsanya, juga dari hal yang tidak membedakan penyembahan lokal

diharapkannya menerima suatu pandangan nasional. Oleh karena itu, maka di satu

pihak harus dibedakan nasionalisme dari patriotisme dan di lain pihak dari

chauvinisme yang merupakan suatu nasionalisme yang agresif terhadap negara lain

(Harsja W. Bachtiar, 1986: 59).

Di Eropa, nasionalisme menjalankan peranan yang progresif karena ia

menghancurkan feodalisme dan menghancurkan konsep universalitas dari gereja,

karena gereja sangat bertalian dengan feodalisme. Tetapi peranan progresif itu

berakhir dikala nasionalisme mengambil bentuk chauvinisme dan kolonialisme.

Hal tersebut dengan didorongnya kolonialisme negara-negara Barat oleh penelitian-

penelitian nasionalisme serta sumber nasionalisme bangsa-bangsa jajahan, dan

dengan lebih interdependen dunia, istimewa dunia Barat secara komersil dan dalam

hal komunikasi. Oleh karena akibat-akibat perang menjadi lebih hebat, maka

menarik sekali bahwa gerakan-gerakan di negara-negara Barat seolah-olah

berpaling dari nasionalisme. Gerakan-gerakan itu melemparkan pengertian negara

kebangsaan sebagai suatu kesatuan tertinggi, dan menerima pengertian negara

super-nasional, sekalipun tidak universal, tetapi secara regional (Harsja W.

Bachtiar, 1986: 60). Sidney Hook juga menambahkan bahwa yang dikatakan

16

dengan nasionalisme itu adalah ketika seseorang atau kelompok telah

meninggalkan makna regional menuju pada kata nasional. Sebagai contoh, orang

Sumatera tidak lagi menggolongkan dirinya sebagai Sumatera, orang Yogyakarta

tidak lagi menggolongkan dirinya Yogyakarta, melainkan satu kata, bahwa ia

adalah orang “Indonesia” dan ini merupakan salah satu konsep kebangsaan.

Di Indonesia menurut Mestika Zed, gagasan kebangsaan pada mulanya

merupakan suatu entitas yang abstrak dan belum pernah ada sebelumnya. Ketika

itu yang ada adalah ‘negara kolonial’ (colonial state) Hindia-Belanda, hasil

konstruksi para sarjana Eropa yang diterapkan oleh penguasa kolonial di negeri

jajahan. Berkaitan dengan iklim dan watak kolonial itulah kaum nasionalis

memperjuangkan kemerdekaan sebuah negara bangsa yang dicita-citakan.

Rintangan utama pada masa itu, selain harus berhadapan dengan sistem kolonial

Belanda yang keras dan wataknya yang sangat konservatif (berbeda dengan jajahan

Inggris), kaum nasionalis juga harus berurusan dengan kondisi rakyat jajahan yang

beraneka ragam, dan terpecah-pecah ke dalam sentimen lokal yang kuat (Tim

Penyusun Buku Proceeding Kongres Pancasila, 2009: 137-138). Perjuangan para

nasionalis tersebut akhirnya membuahkan hasil dengan kerja keras yang telah

dilakukan. Kunci utamanya adalah mengedepankan intelektualitas dan gagasan

yang dimiliki oleh founding fathers Indonesia.

D. Landasan Teori

17

Filsafat Pancasila dapat didefinisikan secara ringkas sebagai refleksi kritis

dan rasional tentang Pancasila sebagai dasar negara dan kenyataan budaya bangsa.

Tujuannya untuk mendapatkan pokok-pokok pengertiannya yang mendasar dan

menyeluruh. Pancasila dikatakan sebagai filsafat, karena Pancasila merupakan hasil

perenungan jiwa yang mendalam yang dilakukan oleh the founding fathers bangsa

Indonesia yang dituangkan dalam suatu sistem. Filsafat Pancasila memberi

pengetahuan dan pengertian ilmiah yaitu tentang hakikat dari Pancasila

(Notonagoro, 1975: 2).

Pembahasan filsafat dapat dilakukan secara deduktif dengan mencari

hakikat Pancasila serta menganalisa dan menyusunnya secara sistematis menjadi

keutuhan pandangan yang komprehensif. Hal yang lain dapat juga dilakukan secara

induktif dengan mengamati gejala-gejala sosial dan budaya masyarakat,

merefleksikannya dan menarik arti dan makna yang hakiki dari gejala-gejala

tersebut. Selanjutnya dengan menyajikannya sebagai bahan-bahan yang sangat

penting bagi penjabaran ideologi Pancasila (Soerjanto Poespowardojo, 1991: 12-

13). Profesor Koento Wibisono menyatakan bahwa Filsafat Pancasila berbeda dari

Sosialisme maupun Marxisme. Filsafat Pancasila adalah pencerminan suatu

masyarakat yang das Sollen hendak diwujudkan, sebagai ganti dari masyarakat

yang secara de facto dengan berbagai kondisinya setelah sekian lamanya

mengalami sistem penjajahan harus dirombak (Soeroso, Anton Bakker, Slamet

Sutrisno, 1987: 39).

Mohammad Noor Syam menyatakan bahwa nilai Filsafat Pancasila

berkembang dalam budaya dan peradaban Indonesia—terutama sebagai jiwa dan

18

asas kerohanian bangsa— dalam perjuangan kemerdekaan dari kolonialisme-

imperialisme 1596-1945. Nilai filsafat Pancasila baik sebagai pandangan hidup

(filsafat hidup, Weltanschauung) bangsa, sekaligus sebagai jiwa bangsa

(Volksgeist, jati diri nasional) memberikan identitas dan integritas serta martabat

(kepribadian) bangsa dalam budaya dan peradaban dunia modern. Hal tersebut juga

sebagai sumber motivasi dan spirit perjuangan bangsa Indonesia (Tim Penyusun

Buku Proceeding Kongres Pancasila, 2009: 79).

Ruslan Abdulgani menyatakan bahwa Pancasila adalah filsafat negara yang

lahir sebagai collective-ideologie dari seluruh bangsa Indonesia. Filsafat Pancasila

pada hakikatnya merupakan suatu realiteit dan pula suatu noodzakelijkheid bagi

keutuhan persatuan Bangsa Indonesia sebagaimana tiap-tiap filsafat adalah

hakikatnya suatu noodzakelijkheid pula. Di dalam kajian-kajiannya dari dalam,

Pancasila masih mengandung ruang yang luas untuk berkembangnya penegasan-

penegasan lebih lanjut. Di dalam fungsinya sebagai fundamen negara, ia telah

bertahan terhadap segala ujian, baik yang datang dari kekuatan contra-revolusioner,

maupun yang datang dari kekuatan extreme (Sunoto, 1985: 51).

Mengenai pembahasan filsafat Pancasila, pertama yang perlu dibicarakan

adalah dasar-dasar kefilsafatan Pancasila merupakan suatu sistem filsafat dengan

menunjukkan ciri-ciri dan dasar kefilsafatannya. Hal tersebut juga disertakan sarana

apa yang untuk mengembangkan filsafat Pancasila, dan juga membahas Pancasila

sebagai suatu ideologi dikembangkan menjadi ideologi dinamik atau terbuka

dengan menunjukkan ciri-ciri kekhususannya. Setelah itu dibuktikan juga bahwa

landasan yang untuk merumuskan Pancasila adalah ada dalam diri setiap manusia,

19

sehingga merupakan sifat hakikat manusia yang bersifat abstrak umum universal,

dan juga diuraikan landasan Pancasila tersebut dalam perkembangan masyarakat,

serta apa hakikat inti sila-sila Pancasila itu sebagai dasar negara (Noor Ms. Bakry,

2001: 11).

Sila-sila yang ada di dalam Pancasila sebenarnya memiliki kesatuan antara

satu dengan yang lainnya. Kesatuan sila-sila Pancasila pada hakikatnya bukanlah

hanya merupakan kesatuan yang bersifat formal logis saja, namun juga meliputi

kesatuan dasar ontologis, dasar epistemologis serta dasar aksiologis dari sila

Pancasila. Sebagaimana dijelaskan bahwa kesatuan sila-sila Pancasila adalah

bersifat hierarkis dan mempunyai bentuk piramidal, digunakan untuk

menggambarkan hubungan hierarkis sila-sila dalam Pancasila dalam urut-urutan

luas (kuantitas) dan dalam pengertian inilah hubungan kesatuan sila-sila Pancasila

itu dalam arti formal logis. Selain kesatuan sila-sila Pancasila itu hierarkis dalam

hal kuantitas juga dalam hal isi sifatnya yaitu menyangkut makna serta hakikat sila-

sila Pancasila. Kesatuan yang demikian ini meliputi kesatuan dalam hal dasar

ontologis, dasar epistemologis serta dasar aksiologis dari sila-sila Pancasila

(Notonagoro, 1984: 61 dan 1975: 52,57). Secara filosofis Pancasila sebagai suatu

kesatuan sistem filsafat memiliki, dasar ontolgis, dasar epistemologis, dan dasar

aksiologis sendiri yang berbeda dengan sistem filsafat yang lainnya. Misalnya

materialisme, liberalisme, pragmatisme, komunisme, idealisme, dan paham filsafat

lainnya di seluruh dunia. Sila-sila Pancasila juga memiliki kesatuan dasar makna

isinya yang hakikat, yaitu landasan-landasan ontologis, epistemologis, dan

aksiologis. Landasan epistemologis dan aksiologis Pancasila pada hakikatnya tidak

20

dapat dipisahkan dengan landasan ontologisnya yang bersumber pada pengertian

tentang hakikat manusia (Kaelan, 2002: 72, 159).

Pancasila sebagai dasar negara merupakan satu kesatuan dalam arti lahiriah

yang oleh Notonagoro disebut kesatuan organis. Kesatuan organis adalah kesatuan

sila-sila Pancasila sebagai sistem. Pancasila terdiri atas bagian-bagian (sila-sila)

yang tidak terpisahkan. Sila-sila Pancasila dalam kesatuan organis tersebut masing-

masing mempunyai kedudukan dan fungsi-fungsi sendiri-sendiri. Meskipun

masing-masing sila mempunyai kedudukan dan fungsi-fungsi tersendiri, tetapi

saling melengkapi dan tidak saling bertentangan (Sri Soeprapto, 2014: 77).

Pancasila sebagai dasar filsafat negara mempunyai isi arti yang abstrak,

umum, universal. Dikatakan abstrak karena setiap pokok dalam sila Pancasila

seperti Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil dengan ditambahkan imbuhan awalan

dan akhiran membuat kata tersebut menjadi abstrak, tidak maujud atau lebih tidak

maujud daripada kata pokoknya. Kata Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil

merupakan kata-kata umum, kemudian dari kata-kata umum itu meliputi jumlah hal

yang tidak terbatas atau umum universal (Notonagoro, 1987: 33).

Hal-hal yang berkaitan dengan penjabaran sila-sila Pancasila yang abstrak

umum universal, yang terdiri dari kata Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil, yang

kemudian menurut Notonagoro dapat dijabarkan dengan rinci. Pertama, pengertian

substansial sila pertama Pancasila adalah hakikat Tuhan sebagai sebab yang

pertama dari segala sesuatu atau Causa Prima. Pengertian substansial sila kedua

Pancasila adalah hakikat manusia yang bersusun terdiri dari unsur-unsur jiwa dan

tubuh, akal-rasa-kehendak dalam kesatuan ketunggalan, serta kedudukan kodrat

21

pribadi berdiri sendiri dan makhluk Tuhan dalam kesatuan ketunggalan. Pengertian

substansial sila ketiga Pancasila adalah hakikat satu, yaitu mutlak utuh tidak terbagi

dan mutlak terpisah dari segala sesuatu hal lainnya. Pengertian substansial sila ke-

empat Pancasila adalah hakikat rakyat, yaitu keseluruhan penjumlahan semua orang

warga dalam lingkungan daerah atau negara tertentu. Pengertian substansial sila

kelima Pancasila adalah hakikat adil, yaitu dipenuhinya segala wajib segala sesuatu

hak di dalam hubungan hidup. Kewajiban untuk memenuhi lebih diutamakan

daripada penuntutan hak (Notonagoro, 1980: 76, 90, 103, 120, 155).

Hakikat kodrat manusia sebagai dasar Filsafat Pancasila, menurut

Notonagoro adalah monopluralis, yaitu terdiri atas beberapa unsur menjadi satu

kesatuan. Hakikat kodrat manusia monopluralis dikelompokkan menjadi tiga

kelompok :

1. Susunan kodrat manusia monodualis. Manusia hakikatnya tersusun atas jiwa

dan raga. Dua unsur susunan kodrat ini mempengaruhi pola hidup manusia. Jika

manusia dalam kehidupannya selalu mementingkan segi kejiwaannya termasuk

juga kerohaniannya, tanpa memperhatikan raganya, maka akan sulit untuk

mencapai kebahagiaan jasmani atau juga kebahagiaan duniawi. Demikian juga

sebaliknya, jika manusia hanya memperhatikan aspek raga tanpa

memperhatikan jiwanya, kebahagiaan juga akan sulit tercipta. Pola hidup

manusiawi seperti ini adalah menyeimbangkan antara kepentingan rohani dan

jasmani yang selaras. Keseimbangan dua unsur ini merupakan salah satu dasar

filsafat Pancasila. Demikian maka tujuan negara yang berdasarkan Pancasila

22

adalah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur sejahtera lahir dan

batin, hal ini berdasarkan pada kesatuan unsur jiwa dan raga.

2. Sifat kodrat manusia monodualis. Manusia hakikatnya adalah bersifat

individual dan juga sosial. Dua unsur sifat kodrat ini juga mempengaruhi pola

hidup manusia. Jika manusia atau suatu masyarakat dalam kehidupannya selalu

menonjolkan sifat individualis atau liberalis, hanya mementingkan hak individu

tidak memperhatikan kepentingan bersama, sehingga ada individu yang

menguasai hajat hidup orang banyak. Begitu juga sebaliknya, jika manusia

hanya memperhatikan aspek sosial atau kolektifnya, yang ada hanyalah hak

kolektif dengan menihilkan hak individu. Pola hidup yang manusiawi adalah

keselarasan kepentingan individu dan kolektif (sosial), dan kedua sifat kodrat

ini menjadi landasan dasar filsafat Pancasila. Masyarakat yang diinginkan

dalam Pancasila adalah masyarakat yang penuh kebahagiaan yang didasarkan

atas hubungan manusia dengan masyarakatnya yang seimbang, masyarakat

yang bukan liberalis dan juga penganut sosialis, melainkan seimbang,

masyarakat yang berpaham kebersamaan dan kekeluargaan.

3. Kedudukan kodrat manusia yang monodualis. Manusia hakikatnya adalah

berkedudukan sebagai pribadi mandiri dan juga sebagai makhluk Tuhan. Dua

unsur ini terbukti bahwa manusia adalah pribadi berdiri sendiri dapat berkreasi

dan bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri dan juga menyadari sebagai

makhluk Tuhan. Dua hal ini tidak dapat diingkari oleh manusia yang harus

bertanggung jawab atas dirinya dan juga kepada Tuhan. Implementasinya bagi

kehidupan berbegara adalah adanya keselarasan antara kebebasan manusia

23

sebagai makhluk individu dan juga menjaga kepercayaan yang melandasi

perbuatan atas ajaran Tuhan Yang Maha Esa. Negara yang melandaskan hakikat

kodrat monopluralis penyelenggaraannya berdasarkan keseimbangan antara

segi jiwa dan raga, kebutuhan pribadi dan sosial, dan juga manusia sebagai

pribadi mandiri dan juga sebagai makhluk Tuhan dalam bermasyarakat dan

bernegara (Noor Ms. Bakry, 2001: 16-18, 21).

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Peneliti memerlukan metode penelitian yang sesuai dengan konsep yang

diteliti supaya mendapatkan hasil yang baik. Penelitian ini termasuk ke dalam jenis

penelitian kualitatif dengan model historis-faktual tokoh. Adapun metode yang

dipilih untuk melakukan penelitian ini adalah metode studi pustaka. Karena konsep

persoalan yang peneliti angkat berkaitan dengan pemikiran yang harus membedah

beberapa buku pokok, dan persoalan objek kajiannya begitu mendalam terkait

nasionalisme dalam pemikiran Yudi Latif. Kemudian akan ditinjau dengan

menggunakan kacamata Filsafat Pancasila Notonagoro.

2. Bahan Penelitian

Bahan penelitian adalah seluruh data yang diperlukan oleh peneliti sebagai

sumber acuan, meliputi unsur-unsur yang berkaitan dengan obek material dan juga

objek formal.

a. Pustaka Primer

24

Pustaka primer adalah data-data utama yang dipergunakan dalam proses

penelitian. Pustaka primer berisi buku-buku yang berkaitan langsung dengan

objek material dan objek formal. Adapun pustaka primer yang dimaksud dalam

penelitian ini adalah :

1. Latif, Yudi. 2011. Negara Paripurna Historisitas, Rasionalitas, dan

Aktualitas Pancasila. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

2. Latif, Yudi. 2014. Air Mata Keteladanan Pancasila dalam Perbuatan.

Mizan, Jakarta.

3. Latif, Yudi. 2015. Revolusi Pancasila. Mizan, Bandung.

4. Notonagoro. 1972. Beberapa Hal Mengenai Pancasila, cetakan ke-4.

Pantjuran Tudjuh, Jakarta.

5. Notonagoro. 1974. Pancasila Dasar Falsafah Negara (Kumpulan tiga

uraian dan pokok persoalan tentang Pancasila). Pantjuran Tudjuh,

Jakarta.

6. Notonagoro. 1980. Pancasila Secara Ilmiah Populer. Pantjuran

Tudjuh, Jakarta.

b. Pustaka Sekunder

Pustaka sekunder adalah referensi yang dipakai sebagai pendukung

pustaka primer. Pustaka sekunder dalam penelitian terdiri atas:

1. Abdulgani. 1995. Problem Nasionalisme, Regionalisme dan Keamanan

di Asia Tenggara. Duta Wacana University Press, Yogyakarta.

2. Adams, Ian. 2004. Ideologi Politik Mutakhir. Terjemahan Ali

Noerzaman. Qalam, Yogyakarta.

25

3. Anderson, Benedict. 1996. Imagined Communities. Verso, Seventh

Impression, London dan New York.

4. Bakry, M. Noor. 1994. Orientasi Filsafat Pancasila. Liberty,

Yogyakarta.

5. Gellner, Ernest. 1983. Nations and Nationalism. Oxford University

Press, Oxford.

6. Heywood, Andrew. 2014. Politik (terjemahan Ahmad Lintang). Pustaka

Pelajar, Yogyakarta.

7. Kaelan. 1996. Filsafat Pancasila. Yogyakarta: Paradigma

8. Kohn, Hans. 1971. Nasionalisme Arti dan Sejarahnya (terjemahan

Sumantri Mertodipura). Pustaka Sardjana, Jakarta.

9. Kartodirjo, Sartono. 1994. Pembangunan Bangsa. Aditya Media,

Yogyakarta.

10. Ritzer, George, dan Smart, Barry. 2012. Handbook Teori Sosial (terj:

Imam Muttaqien). Nusa Media, Bandung.

11. Smith, Antony. 2003. Nasionalisme: Teori, Ideologi dan Sejarah.

Erlangga, Jakarta.

12. Soekarno. 1963, Di Bawah Bendera Revolusi, Djilid Pertama, Tjetakan,

Kedua, Panitia Penerbit di bawah Bendera Revolusi. PT. Jambatan,

Jakarta.

13. Soeprapto, Sri. 2014. Konsep Inventif Etika Pancasila Berdasarkan

Filsafat Pancasila Notonagoro (cet-kedua). UNY Press, Yogyakarta.

26

3. Jalan Penelitian

Adapun langkah-langkah yang dilakukan oleh peneliti dalam

menjalankan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Inventarisasi data, pada tahapan pertama, dilakukan pengumpulan data

kepustakaan dan penunjang lainnya yang bersangkutan dengan objek

material dan objek formal penelitian. Studi pustaka dilakukan dalam upaya

untuk memperoleh data yang sesuai dan mencukupi tentang konsep

nasionalisme dalam pemikiran Yudi Latif dan Filsafat Pancasila.

b. Klasifikasi data, pada tahapan ini akan dilakukan klasifikasi terhadap data

yang sudah dikumpulkan. Pengklasifikasian bertujuan untuk membedakan

data objek material dan data objek formal yang selanjutnya akan menjadi

data yang diolah.

c. Melakukan analisis hasil dari data primer dan sekunder serta data penunjang

lainnya yang sudah diklasifikasi, sehingga diperoleh pemahaman dalam

menentukan arah penelitian.

d. Penyusunan penelitian, berupa laporan sistematis dan objektif. Pada tahapan

ini peneliti melakukan refleksi kritis atas konsep nasionalisme dalam

pemikiran Yudi Latif dengan menggunakan pisau analisis Filsafat Pancasila

Notonagoro.

4. Analisis Hasil Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian historis-faktual tokoh. Oleh karena itu,

objek formal dalam penelitian ini akan bersifat filosofis. Tokoh itu sendiri, dengan

27

berpikir secara filosofis, sudah mempergunakan segala metodis umum yang berlaku

bagi pemikiran filsafat, dengan gayanya pribadi. Peneliti hanya ikut-serta dalam

pemikiran tokoh yang bersangkutan (Bakker dan Achmad, 1990: 63).

a. Interpretasi: Proses analisis dilakukan dengan menerangkan,

mengungkapkan dan menafsirkan teks-teks nasionalisme karya Yudi Latif

dan filsafat Pancasila Notonagoro yang menyusun konsep-konsep dalam

pemikirannya.

b. Deskriptif: Berusaha menguraikan pemahaman secara sistematis konsep

nasionalisme Yudi Latif dan filsafat Pancasila Notonagoro sehingga dapat

memperoleh hasil yang diinginkan.

c. Koherensi: Berusaha mencari pokok-pokok pemikiran filsafat Pancasila

Notonagoro sebagai landasan berpikir kemudian dihubungkan dengan

konsep nasionalisme dalam pemikiran Yudi Latif.

d. Heuristik: Berusaha menemukan visi baru dalam menganalisis konsep

nasionalisme Yudi Latif melalui perspektif filsafat Pancasila Notonagoro

secara runtut dan sistematis sehingga peneliti dapat menghasilkan wawasan

baru.

e. Refleksi peneliti pribadi: Setelah melakukan beberapa tahap di atas, peneliti

akan melakukan refleksi kritis terhadap hasil-hasil yang telah diperoleh,

yang kemudian hasil-hasil tersebut akan digunakan untuk mendapatkan

pemahaman mendasar dan refleksi kritis terhadap konsep nasionalisme

dalam pemikiran Yudi Latif.

28

F. Hasil yang Telah Dicapai

Adapun beberapa hasil yang ingin dicapai oleh peneliti dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut :

1. Memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang konsep

nasionalisme dalam pemikiran Yudi Latif.

2. Memperoleh pemahaman yang mendalam tentang analisis Filsafat Pancasila

Notonagoro terhadap konsep nasionalisme dalam pemikiran Yudi Latif.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan penelitian ini terdiri dari lima bab yang disusun dengan

sistematika berikut :

Bab I : Berisi pendahuluan yang terdiri atas latar belakang masalah, rumusan

masalah, keaslian penelitian, manfaat penelitian, tujuan penelitian,

tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan daftar isi.

Bab II : Berisi tentang uraian objek formal penelitian mengenai pembahasan yang

mendalam tentang Filsafat Pancasila Notonagoro, pengertian Filsafat

Pancasila, dan tentang isi arti Pancasila.

Bab III : Berisi tentang uraian objek material. Berisikan pembahasan yang

mendalam mengenai konsep nasionalisme dalam pemikiran Yudi Latif;

riwayat hidup Yudi Latif, historisitas nasionalisme menurut Yudi Latif,

dan kepribadian nasionalisme dalam pandangan Yudi Latif.

29

Bab IV : Berisi mengenai uraian analisis kritis terhadap konsep nasionalisme dalam

pemikiran Yudi Latif dengan pisau analisisnya adalah Filsafat Pancasila

Notonagoro.

Bab V : Berisikan penutup yang di dalamnya memuat tentang kesimpulan dari

serangkaian penulisan hasil penelitian serta saran yang diajukan kepada

subjek dan objek penelitian.