Upload
vothien
View
218
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
1. Permasalahan
Nasionalisme merupakan sebuah penemuan sosial yang menjadi jalan bagi
perkembangan kehidupan kebangsaan manusia. Hampir semua negara tidak
terlepas dari pengaruh ideologi ini. Perkembangan ini tidak bisa dilepaskan dari
berakhirnya perang dingin pada tahun 1991 dan semakin merebaknya gagasan dan
budaya global (internasionalisme) pada dekade 1990-an. Lebih khusus lagi dengan
adanya teknologi komunikasi dan informasi yang berkembang dengan sangat pesat.
Nasionalisme yang melahirkan konsep bangsa, berada pada titik persinggungan
antara politik, teknologi dan transformasi sosial.
Perang dingin berakhir dengan membawa perubahan arus global yang
ditandai dengan pesatnya perkembangan sistem informasi dan transportasi. Hal
tersebut berdampak pada semakin mudahnya manusia dalam menghemat waktu
perjalanan antar satu wilayah dengan wilayah lainnya, selain itu perkembangan
teknologi dan informasi telah membawa perubahan besar pula pada akibat yang
cukup kuat bagi perkembangan kebijakan politik dan kedaulatan suatu negara-
bangsa. Hal tersebut berpengaruh pula pada perkembangan dan kemandirian
ekonomi serta identitas nasional suatu bangsa.
Kemunculan negara-negara baru pecahan dari negara-negara adidaya seperti
halnya Uni Soviet, maraknya peperangan, sampai pada pembantaian etnik,
2
semuanya menunjukkan betapa nasionalisme mulai terkikis dari kehidupan dan
pandangan manusia di berbagai penjuru dunia. Artinya, bahwa pergerakan
perkembangan masyarakat dunia mengarah pada titik di mana meninggalkan
kesamaan batas wilayah dan asosiasi politik. Hal tersebut kemudian menuju pada
kesamaan etnik, agama, dan berbagai hal lainnya yang mendukung perkembangan
kebangsaan yang lebih mengerucut dan sempit.
Nasionalisme adalah suatu paham yang berpendapat bahwa kesetiaan
tertinggi individu harus diserahkan kepada negara-kebangsaan. Perasaan sangat
mendalam akan suatu ikatan yang erat dengan tanah tumpah darahnya, dengan
tradisi-tradisi setempat dan penguasa-penguasa resmi di daerahnya selalu ada di
sepanjang sejarah dengan kekuatan yang berbeda-beda. Nasionalisme menyatakan
bahwa negara kebangsaan adalah cita dan satu-satunya bentuk sah dari organisasi
politik dan bahwa bangsa adalah sumber daripada semua tenaga kebudayaan kreatif
dan kesejahteraan ekonomi (Hans Kohn, 1969: 11-12). Pernyataan ini telah
membawa pada suatu kesimpulan bahwa secara umum nasionalisme bertujuan
membangun satu prinsip makna kebersamaan yang tercipta dari perbedaan.
Nasionalisme menginginkan setiap urusan diserahkan pada negara-kebangsaan. Hal
ini berarti bahwa bangsa menjadi patokan utama dalam semua segi kehidupan
bernegara.
Andrew Heywood (2014: 186) menjelaskan bahwa nasionalisme merupakan
suatu fenomena yang kompleks dan sangat beragam. Tidak hanya terdapat bentuk-
bentuk nasionalisme, tetapi implikasi-implikasi politik dari nasionalisme sangat
luas dan beragam dan terkadang kontradiktif. Perihal tersebut terjadi karena
3
nasionalisme telah dikaitkan dengan ajaran-ajaran ideologi yang sangat berbeda-
beda. Hal ini menjadi persoalan baru kebangsaan itu sendiri ketika dihadapkan pada
bentuk-bentuk sejarah dan perjuangan suatu bangsa, ditambah lagi oleh ideologi
yang dipegang masing-masing negara ataupun suatu kelompok. Tidak jarang
nasionalisme dianggap sebagai bagian dari dogma agama, sehingga aksi-aksi yang
dilakukan dinilai sebagai bagian bentuk perjuangan nasionalisme kebangsaan.
Akan tetapi, dasar nasionalisme yang dibangun hanya berdasarkan dogma atau
ideologi satu kelompok tertentu.
Nasionalisme merupakan dasar bagi warga negara untuk membentuk sikap
terkait bagaimana seharusnya bertindak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tujuan utamanya adalah untuk membentuk hubungan yang intens antarwarga,
pemerintah, dan negara terkait pelaksanaan suatu pemerintah dalam satu kesatuan
yang menjadi cita-cita bersama. Artinya bahwa dalam pandangan nasionalisme itu
sendiri harus memuat aturan yang bisa menumbuhkan kesadaran yang nyata tentang
paham kebangsaan. Terkait bagaimana bentuk nasionalisme yang harus
ditumbuhkan, menjadi paham dan metode tersendiri di masing-masing negara.
Indonesia dengan negara kesatuan, memiliki sejarah yang panjang terkait
perkembangan nasionalismenya. Nasionalisme dalam arti penting bagi perjuangan
bangsa Indonesia merupakan suatu kata yang mampu mewakilkan semangat juang
bangsa Indonesia. Hal tersebut dengan latar belakang nasib yang sama-sama
dijajah, sehingga mampu membangkitkan persamaan dengan meninggalkan segala
perbedaan yang ada dimasyarakat. Perbedaan terkait suatu etnik, agama, maupun
latar politik yang dianut masing-masing individu atau kelompok.
4
Pembahasan tentang hak asasi manusia dan kesadaran hukum membawa
pada satu pengenalan dan pemahaman yang mengacu pada tatanan dunia yang lebih
maju. Di Indonesia sendiri, paham tentang hak kemerdekaan bagi semua bangsa
untuk membentuk negara yang berdaulat dan menentukan nasib sendiri, telah
membawa masyarakat Indonesia yang berbeda-beda pada satu tujuan. Di mana
aspek yang menjadi tujuan tersebut adalah kebersamaan untuk mewujudkan satu
visi, yakni untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Sejarah proses perkembangan nasionalisme di Indonesia dimulai ketika
lahirnya organisasi Budi Utomo pada tahun 1908. Selanjutnya, dilaksanakan pula
ikrar sumpah pemuda pada tahun 1928 perihal tersebut yang kemudian menjadi
basis lahirnya konsep negara-bangsa Indonesia, konsep bahwa tanah air, berbangsa,
dan berbahasa satu dalam wujud “Indonesia”. Proses ini kemudian masih berlanjut
dan mengilhami perjuangan yang sebenarnya tentang kemerdekaan Indonesia pada
tanggal 17 Agustus tahun 1945 setelah melewati proses yang penuh perjuangan dari
bangsa Indonesia. Keberhasilan bangsa Indonesia menjadi negara yang merdeka,
kemudian mendapatkan pengakuan dari berbagai negara, bahwa Indonesia
merupakan negara yang memiliki landasan nasionalisme yang cukup kuat dan
mampu mengilhami berbagai negara lainnya untuk memproklamasikan
kemerdekaan.
Hal di atas dapat memberikan pemahaman bahwa nasionalisme memiliki
andil yang cukup besar bagi perkembangan suatu negara bangsa dalam membentuk
negara yang berdaulat. Hal tersebut dilatari oleh rasa persaudaraan, persamaan,
saling menghargai, saling mendukung satu sama lain, dengan meninggalkan sikap
5
arogansi, dan etnosentrisme yang berlebihan. Beberapa sikap yang berhasil
dibangun tersebut, maka akhirnya negara kebangsaan Indonesia dapat terwujud.
Hal ini juga bisa dikomparasikan dengan situasi Indonesia saat ini, di mana mulai
meninggalkan rasa solidaritas dan nasionalisme. Realitas masyarakat yang lebih
mengarah pada kepentingan etnik, agama, dan individu serta kelompok tertentu,
seperti yang telah ketahui bahwa perihal seperti itu bisa merusak persatuan dan cita-
cita bangsa Indonesia.
Nasionalisme lahir dengan membawa konsep persatuan dalam
keberagaman. Konsep ini kemudian diperkuat dengan paham multikulturalisme dan
solidaritas. Pemaknaan nasionalisme dengan stigma yang berusaha dibangun
adalah bagaimana mencintai negara sendiri, masyarakat, bangsa, dan tanah air
dengan menyampingkan kepentingan-kepentingan. Aspek yang di kedepankan
adalah asas persatuan, dengan tujuan politik bangsa Indonesia, dengan itu maka
Indonesia akan menemui titik terang sebagai negara yang berdaulat dan mampu
merangkul semua golongan.
Persoalan nasionalisme pada saat ini tidak hanya persoalan etnosentrisme,
tetapi kacaunya sistem politik yang diperparah dengan maraknya tindak pidana
korupsi menjadi pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan oleh negara
Indonesia. Persoalan ini secara jelas memperlihatkan betapa nasionalisme tidak lagi
menjadi pedoman dalam penyelenggaraan kebangsaan. Banyak pihak yang
memainkan kesempatan politik untuk memenuhi kebutuhan individu dan golongan.
Persoalan ini akan dapat memicu terjadinya kesenjangan yang memunculkan
konflik dan kekacauan yang berkepanjangan. Akibat dari hal tersebut adalah
6
semakin terpuruknya kedaulatan internal bangsa Indonesia. Di lansir dari website
(http://cnnindonesia.com, diakses tanggal 18 Agustus 2017, pukul 11.32 wib),
berdasarkan data Mahkamah Agung, penanganan kasus korupsi pada tahun 2016
mencapai 453 perkara, menempati urutan kedua setelah kasus narkotika, dan terjadi
peningkatan dari tahun 2015. Ini merupakan suatu kemunduran moral yang menjadi
ancaman bagi perkembangan bangsa Indonesia kedepannya.
Cabang-cabang produksi vital negara seharusnya menguasai hajat hidup
rakyat Indonesia secara keseluruhan yang mestinya dikuasai oleh negara. Namun,
pada saat ini banyak cabang produksi vital tersebut dikuasai oleh kelompok,
individu, ataupun pemodal asing. Akibatnya, rakyat menjadi tertindas dan
menderita karena penguasaan yang tidak semestinya. Eksploitasi sumber daya alam
secara sepihak dengan tidak memperhatikan rakyat juga menjadi perhatian
tersendiri dalam persoalan kebangsaan. Hal ini menjadi semakin memparah
keadaan kebangsaan Indonesia yang katanya merupakan “Tanah Surga”, namun
nyatanya bukan memberikan kebahagian kepada rakyat, hanya sebagian kecil saja
rakyat Indonesia yang benar-benar bisa menikmati surga tersebut.
Di konteks yang lain, separatisme dan terorisme menjadi ancaman yang
cukup menyita perhatian terkait persoalan kebangsaan. Hal tersebut diperparah
dengan kehidupan individualis di kota-kota besar di Indonesia, ini kemudian
menciptakan suatu tatanan yang membentuk kelas sosial baru di kalangan
masyarakat. Beberapa ancaman tersebut berdampak pada lunturnya persatuan
Indonesia yang dimaknai dalam ragam kesetaraan dan kebersamaan. Kemudian
7
memunculkan jarak yang menciptakan anggapan “kita” dan “mereka” dalam
memaknai kehidupan sosial.
Filsafat Pancasila merupakan buah pemikiran bangsa Indonesia sebagai
bentuk refleksi yang mendalam tentang kehidupan dan jati diri bangsa. Suatu
bentuk refleksi dari sistem filsafat yang dianggap dan diyakini sebagai suatu
kenyataan, norma dan nilai yang tepat bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Pemikiran Filsafat Pancasila yang mendalam dan komprehensif, bukan hanya
bertujuan mencari kebenaran atau kebijaksanaan. Akan tetapi juga berusaha
menemukan titik persamaan dari setiap elemen bangsa sebagai satu kesatuan yang
utuh, dengan tujuan untuk mewujudkan kebahagiaan bangsa baik lahir maupun
batin.
Perlu digarisbawahi bahwa konsep Pancasila dalam pandangan Filsafat
Pancasila dibangun secara sistematis dan metodis. Artinya bahwa semua segi dalam
butir-butir silanya tidak terlepas antara satu dengan yang lainnya. Saling berkaitan
antar sila yang menjadi pedoman dalam memahami dan mengilhami kehidupan
bangsa Indonesia. Hal tersebut sehingga menjadikan Pancasila sebagai aturan yang
benar-benar relevan dengan semua segi kehidupan bangsa Indonesia. Selanjutnya,
Pancasila harus dijadikan pedoman serta acuan dalam menjalani kehidupan
berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Penelitian ini akan membahas tentang bagaimana konsep nasionalisme
dalam pemikiran Yudi Latif. Hal tersebut mengingat bahwa konsep nasionalisme
Yudi Latif sangat dekat dengan aspek-aspek kehidupan kebangsaan Indonesia,
sehingga dalam penerapannya akan mudah diterima oleh masyarakat Indonesia.
8
Langkah selanjutnya, peneliti akan menganalisis pemikiran nasionalisme Yudi
Latif tersebut dengan menggunakan nilai-nilai Pancasila dalam Filsafat Pancasila
Notonagoro.
2. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini, diantaranya
adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana konsep nasionalisme dalam pemikiran Yudi Latif?
2. Apa analisis Filsafat Pancasila Notonagoro terhadap konsep nasionalisme
Yudi Latif?
3. Keaslian Penelitian
Peneliti melakukan penelusuran terhadap penelitian yang berkaitan dengan
konsep nasionalisme dalam pemikiran Yudi Latif. Terkait penelitian dengan konsep
nasionalisme, peneliti menemukan beberapa judul :
a. Y. Haris Nusarastriya, 1986, Konsepsi Mohammad Hatta tentang Nasionalisme
Indonesia, Fakultas Filsafat UGM. Skripsi ini membahas pandangan Hatta
tentang nasionalisme di Indonesia secara umum. Nasionalisme menurut Hatta
merupakan gabungan antara teori objektif dan subjektif. Kondisi objektif
menurut Hatta dapat menimbulkan kondisi subjektif.
b. Sri Wahyuni, 1988, Nasionalisme Menurut Ir. Soekarno, Fakultas Filsafat
UGM. Skripsi ini mengupas pemikiran Soekarno tentang nasionalisme
khususnya yang terjadi di Indonesia. Nasionalisme di Indonesia menurut
9
Soekarno terbentuk atas kesepakatan bersama ditambah dengan faktor
geopolitik di Indonesia. Skripsi ini juga membahas Pancasila sebagai bentuk
nasionalisme Soekarno yang menjadi dasar bangsa Indonesia.
c. Decky Hermawan, 2003, Akar Nasionalisme dalam Kajian Benedict Anderson
(Telaah Kritis terhadap Buku Imagined Comunities: Komunitas-komunitas
Terbayang), Fakultas Filsafat UGM. Skripsi ini berisi telaah buku Benedict
Anderson yang berjudul Imagined Comunities: Komunitas-komunitas
Terbayang yang menghasilkan analisis perkembangan nasionalisme sekaligus
meninjau secara historis tahapan-tahapan menjadi sebuah bangsa.
d. Hermawan Susanto, 2009, Konsep Nasionalisme Menurut Mohandas
Karamchand Gandhi, Fakultas Filsafat UGM. Skripsi ini berisi pembedaan
antara nasionalisme Gandhi yang terbentuk dari faktor objektif dan subjektif,
kemudian konsep nasionalisme Gandhi terkait tentang kemanusiaan sebagai roh
bangsa yang dimimpikannya, seperti pembebasan manusia dari penjajahan dan
berusaha keras melakukan pembaharuan dalam stigma masyarakat.
Sementara itu peneliti sejauh ini belum menemukan penelitian yang
mendalam terkait pemikiran Yudi Latif, ataupun yang lebih rinci penelitian yang
membahas tentang konsep nasionalisme dalam pemikiran Yudi Latif dengan
menggunakan perspektif Filsafat Pancasila Notonagoro sebagai objek formalnya.
4. Manfaat Penelitian
10
Setiap peneliti berharap apa yang ditelitinya dapat menghasilkan manfaat
bagi orang lain dan lingkungannya, terutama bagi perkembangan ilmu pengetahuan
yang semakin pesat. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
a. Bagi Ilmu Pengetahuan
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan pengetahuan tambahan
mengenai bagaimana konsep nasionalisme dalam pemikiran Yudi Latif. Hal
tersebut baik terkait dengan teori maupun perkembangannya. Selanjutnya
konsep tersebut dapat dijadikan sebagai acuan dalam memahami dan
melaksanakan nasionalisme dalam kehidupan berbangsa di Indonesia.
b. Bagi Perkembangan Ilmu Filsafat
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wacana dalam dunia dan
literatur kefilsafatan secara umum yang termasuk dalam bidang ilmu Filsafat
Pancasila serta Nasionalisme. Hal tersebut diharapkan mampu menjadi sarana
untuk menerapkan pemikiran filosofis di Indonesia. Lebih khusus lagi untuk
memahami nasionalisme dan dasar negara Indonesia, yaitu Pancasila.
c. Bagi Pembaca dan Bangsa Indonesia
Penelitian ini diharapkan dapat menumbuhkan pemahaman dan
pengertian bagi pembaca terkait permasalahan yang berhubungan dengan
konsep nasionalisme dalam pemikiran Yudi Latif. Permasalahan-permasalahan
yang juga berkaitan dengan persoalan kebangsaan. Hal ini kemudian ke
depannya dapat berguna sebagai masukan bagi penelitian selanjutnya yang
lebih lengkap dan terperinci.
B. Tujuan Penelitian
11
Tujuan dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui konsep nasionalisme dalam pemikiran Yudi Latif.
2. Untuk mengetahui tinjauan Filsafat Pancasila Notonagoro terhadap konsep
nasionalisme dalam pemikiran Yudi Latif.
C. Tinjauan Pustaka
Nation berasal dari bahasa Latin nation, yang dikembangkan dari kata
nascor (saya dilahirkan), maka pada awalnya nation (bangsa) dimaknai sebagai
“sekelompok orang yang dilahirkan di suatu daerah yang sama” (group of people
born in the same place) (Ritter, 1986: 286). Snyder menyatakan bahwa
nasionalisme merupakan emosi yang kuat yang telah mendominasi pikiran dan
tindakan politik kebanyakan rakyat sejak revolusi Prancis. Nasionalisme tidak
bersifat alamiah, melainkan merupakan satu gejala sejarah, yang timbul sebagai
tanggapan terhadap kondisi politik, ekonomi, dan sosial tertentu (Snyder, 1964: 23).
Nasionalisme merupakan multimakna, hal tersebut tergantung pada kondisi
objektif dan subjektif dari setiap bangsa. Nasionalisme dapat bermakna sebagai
berikut:
1. Nasionalisme adalah rasa cinta pada tanah air, ras, bahasa atau budaya yang
sama, maka dalam hal ini nasionalisme sama dengan patriotisme.
2. Nasionalisme adalah suatu keinginan akan kemerdekaan politik, keselamatan
dan prestise bangsa.
12
3. Nasionalisme adalah suatu kebaktian mistis terhadap organisme sosial yang
kabur, kadang-kadang bahkan adikodrati yang disebut sebagai bangsa atau volk
yang kesatuannya lebih unggul daripada bagian-bagiannya.
4. Nasionalisme adalah dogma yang mengajarkan bahwa individu hanya hidup
untuk bangsa dan demi bangsa itu sendiri.
5. Nasionalisme adalah doktrin yang menyatakan bahwa bangsanya sendiri harus
dominan atau tertinggi di antara bangsa-bangsa lain dan harus bertindak agresif
(Boyd Shafer, 1955: 6).
Nasionalisme merupakan ideologi negara dan satu bentuk tingkah laku dari
suatu bangsa. Nasionalisme sebagai ideologi dibentuk berdasarkan gagasan bangsa
dan membuatnya untuk memberi fondasi kokoh bagi negara. Nasionalisme sebagai
ideologi dapat memainkan tiga fungsi, yaitu mengikat semua kelas warga bangsa,
menyatukan mentalitas warga bangsa, dan membangun atau memperkokoh
pengaruh warga bangsa terhadap kebijakan yang diambil oleh negara. Nasionalisme
merupakan alat perekat kohesi sosial untuk mempertahankan eksistensi negara dan
bangsa. Semua negara dan bangsa membutuhkan nasionalisme sebagai faktor
integratif (Hertz, 1996: 47). Ungkapan senada juga disampaikan Smith,
nasionalisme merupakan gerakan ideologis untuk meraih dan memelihara otonomi,
kohesi, dan individualitas bagi satu kelompok sosial tertentu yang diakui oleh
beberapa anggotanya untuk membentuk atau menentukan satu bangsa yang
sesungguhnya atau yang berupa potensi saja (Smith, 1979: 1).
Benedict Anderson (1996: 2) menyatakan bahwa nasionalisme adalah
suatu komunitas politik yang berbayang, yang dibayangkan sebagai kesatuan yang
13
terpisah dan berdaulat. Benedict Anderson (2001: 215) juga menekankan
pentingnya nasionalisme bagi bangsa Indonesia, dalam pengertian tradisional.
Salah satu yang mendesak di Indonesia dewasa ini adalah adanya apa yang disebut
sebagai “defisit nasionalisme”, yakni semakin berkurangnya semangat nasional,
lebih-lebih di kalangan yang kaya dan berpendidikan.
Nasionalisme merupakan gejala sosio-politik yang berkembang secara
dialektik, berakar di masa silam serta tumbuh dan berkembang yang akhirnya
terwujud semangat persatuan dengan dasar cita-cita hidup bersama dalam suatu
negara nasional. Hal ini dengan demikian, nasionalisme yang merupakan paham
kebangsaan ini memiliki dua hal pokok sebagai perwujudannya, yaitu kenangan
masa lampau dalam hidup berbangsa dan kehendak untuk bersatu dalam bernegara.
Dua dasar tersebut nasionalisme sebagai gejala sosio-politik berhubungan erat
dengan organisasi negara, sebagai organisasi politik, kekuasaan serta alat
perjuangan (Noor M.Bakry, 1994: 172).
Nasionalisme merupakan salah satu unsur dalam pembinaan kebangsaan
atau nation-building. Hal tersebut dengan proses pembinaan kebangsaan semua
anggota masyarakat bangsa dibentuk agar berwawasan kebangsaan serta berpola
tata-laku yang mencerminkan budaya maupun ideologi. Kemudian untuk
masyarakat yang heterogen lebih mengedepankan wawasan kebangsaan yang
unsur-unsurnya adalah rasa kebangsaan, paham kebangsaan, dan semangat
kebangsaan atau nasionalisme. Rasa kebangsaan merupakan perekat paling dasar
dari setiap anggota masyarakat bangsa yang karena sejarah dan budayanya
memiliki dorongan untuk menjadi satu dan bersatu tanpa pamrih di dalam satu
14
wadah negara bangsa (nation-state) (Ichlasul Amal dan Armaidy Armawi, 1998:
12).
Terkait beberapa defenisi tentang nasionalisme di atas, dapat disimpulkan
bahwa nasionalisme merupakan suatu paham kebangsaan yang mengajarkan
tentang bagaimana memahami makna kebersamaan dan persatuan. Hal tersebut
yang menjadi pedoman kehidupan bersama dalam mewujudkan cita-cita
kebangsaan secara bersama-bersama dalam suatu negara kebangsaan. Kemudian
tujuan akhir yang ingin dicapai dalam nasionalisme adalah membangun solidaritas
dan sikap mental yang mencintai tanah air secara penuh. Dilakukan dengan
membuktikan diri bahwa seseorang atau kelompok mampu berpartisipasi bagi
perkembangan bangsanya sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
Perkembangan nasionalisme di beberapa tempat di dunia, dihubungkan
dengan meningkatnya peristiwa perang saudara, bukan perang di antara negara
bangsa. Ada pula perubahan-perubahan besar pada komposisi sosial. Di masa lalu,
nasionalisme adalah ideologi kaum elite yang bersaing memperebutkan dukungan
rakyat; dalam kesempatan lain, nasionalisme adalah ideologi yang dipaksakan dari
atas oleh negara kepada masyarakat. Kini nasionalisme pada umumnya berasal dari
‘bawah’ dan antistatis. Kompenen antistatis dalam nasionalisme baru ini
dicontohkan Northern League, yang berpendapat negara Italia tidak bisa dipercaya,
dan dalam kasus ekstrem, kalangan milisi Amerika, yang berpendapat pemerintah
federal menghianati bangsa Amerika (George Ritzer, 2012: 960).
Sidney Hook menyatakan bahwa nasionalisme harus dibedakan dari apa
yang dinamakan patriotisme. Hal tersebut sesuai dengan kata-kata George
15
Santayana, yaitu bahwa ia suatu penyembahan terhadap sumber, terhadap asal mula
dari kehidupan. Seorang patriot adalah seorang yang cinta pada negara di mana ia
lahir, bahasa yang mendidik, lambang-lambang dari kepercayaannya. Hal itu adalah
penyembahan terhadap asal mulanya. Tetapi nasionalisme adalah lebih luas
daripada patriotisme, karena ia mengharapkan rakyat ikut menjadi bagian dari
bangsanya, juga dari hal yang tidak membedakan penyembahan lokal
diharapkannya menerima suatu pandangan nasional. Oleh karena itu, maka di satu
pihak harus dibedakan nasionalisme dari patriotisme dan di lain pihak dari
chauvinisme yang merupakan suatu nasionalisme yang agresif terhadap negara lain
(Harsja W. Bachtiar, 1986: 59).
Di Eropa, nasionalisme menjalankan peranan yang progresif karena ia
menghancurkan feodalisme dan menghancurkan konsep universalitas dari gereja,
karena gereja sangat bertalian dengan feodalisme. Tetapi peranan progresif itu
berakhir dikala nasionalisme mengambil bentuk chauvinisme dan kolonialisme.
Hal tersebut dengan didorongnya kolonialisme negara-negara Barat oleh penelitian-
penelitian nasionalisme serta sumber nasionalisme bangsa-bangsa jajahan, dan
dengan lebih interdependen dunia, istimewa dunia Barat secara komersil dan dalam
hal komunikasi. Oleh karena akibat-akibat perang menjadi lebih hebat, maka
menarik sekali bahwa gerakan-gerakan di negara-negara Barat seolah-olah
berpaling dari nasionalisme. Gerakan-gerakan itu melemparkan pengertian negara
kebangsaan sebagai suatu kesatuan tertinggi, dan menerima pengertian negara
super-nasional, sekalipun tidak universal, tetapi secara regional (Harsja W.
Bachtiar, 1986: 60). Sidney Hook juga menambahkan bahwa yang dikatakan
16
dengan nasionalisme itu adalah ketika seseorang atau kelompok telah
meninggalkan makna regional menuju pada kata nasional. Sebagai contoh, orang
Sumatera tidak lagi menggolongkan dirinya sebagai Sumatera, orang Yogyakarta
tidak lagi menggolongkan dirinya Yogyakarta, melainkan satu kata, bahwa ia
adalah orang “Indonesia” dan ini merupakan salah satu konsep kebangsaan.
Di Indonesia menurut Mestika Zed, gagasan kebangsaan pada mulanya
merupakan suatu entitas yang abstrak dan belum pernah ada sebelumnya. Ketika
itu yang ada adalah ‘negara kolonial’ (colonial state) Hindia-Belanda, hasil
konstruksi para sarjana Eropa yang diterapkan oleh penguasa kolonial di negeri
jajahan. Berkaitan dengan iklim dan watak kolonial itulah kaum nasionalis
memperjuangkan kemerdekaan sebuah negara bangsa yang dicita-citakan.
Rintangan utama pada masa itu, selain harus berhadapan dengan sistem kolonial
Belanda yang keras dan wataknya yang sangat konservatif (berbeda dengan jajahan
Inggris), kaum nasionalis juga harus berurusan dengan kondisi rakyat jajahan yang
beraneka ragam, dan terpecah-pecah ke dalam sentimen lokal yang kuat (Tim
Penyusun Buku Proceeding Kongres Pancasila, 2009: 137-138). Perjuangan para
nasionalis tersebut akhirnya membuahkan hasil dengan kerja keras yang telah
dilakukan. Kunci utamanya adalah mengedepankan intelektualitas dan gagasan
yang dimiliki oleh founding fathers Indonesia.
D. Landasan Teori
17
Filsafat Pancasila dapat didefinisikan secara ringkas sebagai refleksi kritis
dan rasional tentang Pancasila sebagai dasar negara dan kenyataan budaya bangsa.
Tujuannya untuk mendapatkan pokok-pokok pengertiannya yang mendasar dan
menyeluruh. Pancasila dikatakan sebagai filsafat, karena Pancasila merupakan hasil
perenungan jiwa yang mendalam yang dilakukan oleh the founding fathers bangsa
Indonesia yang dituangkan dalam suatu sistem. Filsafat Pancasila memberi
pengetahuan dan pengertian ilmiah yaitu tentang hakikat dari Pancasila
(Notonagoro, 1975: 2).
Pembahasan filsafat dapat dilakukan secara deduktif dengan mencari
hakikat Pancasila serta menganalisa dan menyusunnya secara sistematis menjadi
keutuhan pandangan yang komprehensif. Hal yang lain dapat juga dilakukan secara
induktif dengan mengamati gejala-gejala sosial dan budaya masyarakat,
merefleksikannya dan menarik arti dan makna yang hakiki dari gejala-gejala
tersebut. Selanjutnya dengan menyajikannya sebagai bahan-bahan yang sangat
penting bagi penjabaran ideologi Pancasila (Soerjanto Poespowardojo, 1991: 12-
13). Profesor Koento Wibisono menyatakan bahwa Filsafat Pancasila berbeda dari
Sosialisme maupun Marxisme. Filsafat Pancasila adalah pencerminan suatu
masyarakat yang das Sollen hendak diwujudkan, sebagai ganti dari masyarakat
yang secara de facto dengan berbagai kondisinya setelah sekian lamanya
mengalami sistem penjajahan harus dirombak (Soeroso, Anton Bakker, Slamet
Sutrisno, 1987: 39).
Mohammad Noor Syam menyatakan bahwa nilai Filsafat Pancasila
berkembang dalam budaya dan peradaban Indonesia—terutama sebagai jiwa dan
18
asas kerohanian bangsa— dalam perjuangan kemerdekaan dari kolonialisme-
imperialisme 1596-1945. Nilai filsafat Pancasila baik sebagai pandangan hidup
(filsafat hidup, Weltanschauung) bangsa, sekaligus sebagai jiwa bangsa
(Volksgeist, jati diri nasional) memberikan identitas dan integritas serta martabat
(kepribadian) bangsa dalam budaya dan peradaban dunia modern. Hal tersebut juga
sebagai sumber motivasi dan spirit perjuangan bangsa Indonesia (Tim Penyusun
Buku Proceeding Kongres Pancasila, 2009: 79).
Ruslan Abdulgani menyatakan bahwa Pancasila adalah filsafat negara yang
lahir sebagai collective-ideologie dari seluruh bangsa Indonesia. Filsafat Pancasila
pada hakikatnya merupakan suatu realiteit dan pula suatu noodzakelijkheid bagi
keutuhan persatuan Bangsa Indonesia sebagaimana tiap-tiap filsafat adalah
hakikatnya suatu noodzakelijkheid pula. Di dalam kajian-kajiannya dari dalam,
Pancasila masih mengandung ruang yang luas untuk berkembangnya penegasan-
penegasan lebih lanjut. Di dalam fungsinya sebagai fundamen negara, ia telah
bertahan terhadap segala ujian, baik yang datang dari kekuatan contra-revolusioner,
maupun yang datang dari kekuatan extreme (Sunoto, 1985: 51).
Mengenai pembahasan filsafat Pancasila, pertama yang perlu dibicarakan
adalah dasar-dasar kefilsafatan Pancasila merupakan suatu sistem filsafat dengan
menunjukkan ciri-ciri dan dasar kefilsafatannya. Hal tersebut juga disertakan sarana
apa yang untuk mengembangkan filsafat Pancasila, dan juga membahas Pancasila
sebagai suatu ideologi dikembangkan menjadi ideologi dinamik atau terbuka
dengan menunjukkan ciri-ciri kekhususannya. Setelah itu dibuktikan juga bahwa
landasan yang untuk merumuskan Pancasila adalah ada dalam diri setiap manusia,
19
sehingga merupakan sifat hakikat manusia yang bersifat abstrak umum universal,
dan juga diuraikan landasan Pancasila tersebut dalam perkembangan masyarakat,
serta apa hakikat inti sila-sila Pancasila itu sebagai dasar negara (Noor Ms. Bakry,
2001: 11).
Sila-sila yang ada di dalam Pancasila sebenarnya memiliki kesatuan antara
satu dengan yang lainnya. Kesatuan sila-sila Pancasila pada hakikatnya bukanlah
hanya merupakan kesatuan yang bersifat formal logis saja, namun juga meliputi
kesatuan dasar ontologis, dasar epistemologis serta dasar aksiologis dari sila
Pancasila. Sebagaimana dijelaskan bahwa kesatuan sila-sila Pancasila adalah
bersifat hierarkis dan mempunyai bentuk piramidal, digunakan untuk
menggambarkan hubungan hierarkis sila-sila dalam Pancasila dalam urut-urutan
luas (kuantitas) dan dalam pengertian inilah hubungan kesatuan sila-sila Pancasila
itu dalam arti formal logis. Selain kesatuan sila-sila Pancasila itu hierarkis dalam
hal kuantitas juga dalam hal isi sifatnya yaitu menyangkut makna serta hakikat sila-
sila Pancasila. Kesatuan yang demikian ini meliputi kesatuan dalam hal dasar
ontologis, dasar epistemologis serta dasar aksiologis dari sila-sila Pancasila
(Notonagoro, 1984: 61 dan 1975: 52,57). Secara filosofis Pancasila sebagai suatu
kesatuan sistem filsafat memiliki, dasar ontolgis, dasar epistemologis, dan dasar
aksiologis sendiri yang berbeda dengan sistem filsafat yang lainnya. Misalnya
materialisme, liberalisme, pragmatisme, komunisme, idealisme, dan paham filsafat
lainnya di seluruh dunia. Sila-sila Pancasila juga memiliki kesatuan dasar makna
isinya yang hakikat, yaitu landasan-landasan ontologis, epistemologis, dan
aksiologis. Landasan epistemologis dan aksiologis Pancasila pada hakikatnya tidak
20
dapat dipisahkan dengan landasan ontologisnya yang bersumber pada pengertian
tentang hakikat manusia (Kaelan, 2002: 72, 159).
Pancasila sebagai dasar negara merupakan satu kesatuan dalam arti lahiriah
yang oleh Notonagoro disebut kesatuan organis. Kesatuan organis adalah kesatuan
sila-sila Pancasila sebagai sistem. Pancasila terdiri atas bagian-bagian (sila-sila)
yang tidak terpisahkan. Sila-sila Pancasila dalam kesatuan organis tersebut masing-
masing mempunyai kedudukan dan fungsi-fungsi sendiri-sendiri. Meskipun
masing-masing sila mempunyai kedudukan dan fungsi-fungsi tersendiri, tetapi
saling melengkapi dan tidak saling bertentangan (Sri Soeprapto, 2014: 77).
Pancasila sebagai dasar filsafat negara mempunyai isi arti yang abstrak,
umum, universal. Dikatakan abstrak karena setiap pokok dalam sila Pancasila
seperti Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil dengan ditambahkan imbuhan awalan
dan akhiran membuat kata tersebut menjadi abstrak, tidak maujud atau lebih tidak
maujud daripada kata pokoknya. Kata Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil
merupakan kata-kata umum, kemudian dari kata-kata umum itu meliputi jumlah hal
yang tidak terbatas atau umum universal (Notonagoro, 1987: 33).
Hal-hal yang berkaitan dengan penjabaran sila-sila Pancasila yang abstrak
umum universal, yang terdiri dari kata Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil, yang
kemudian menurut Notonagoro dapat dijabarkan dengan rinci. Pertama, pengertian
substansial sila pertama Pancasila adalah hakikat Tuhan sebagai sebab yang
pertama dari segala sesuatu atau Causa Prima. Pengertian substansial sila kedua
Pancasila adalah hakikat manusia yang bersusun terdiri dari unsur-unsur jiwa dan
tubuh, akal-rasa-kehendak dalam kesatuan ketunggalan, serta kedudukan kodrat
21
pribadi berdiri sendiri dan makhluk Tuhan dalam kesatuan ketunggalan. Pengertian
substansial sila ketiga Pancasila adalah hakikat satu, yaitu mutlak utuh tidak terbagi
dan mutlak terpisah dari segala sesuatu hal lainnya. Pengertian substansial sila ke-
empat Pancasila adalah hakikat rakyat, yaitu keseluruhan penjumlahan semua orang
warga dalam lingkungan daerah atau negara tertentu. Pengertian substansial sila
kelima Pancasila adalah hakikat adil, yaitu dipenuhinya segala wajib segala sesuatu
hak di dalam hubungan hidup. Kewajiban untuk memenuhi lebih diutamakan
daripada penuntutan hak (Notonagoro, 1980: 76, 90, 103, 120, 155).
Hakikat kodrat manusia sebagai dasar Filsafat Pancasila, menurut
Notonagoro adalah monopluralis, yaitu terdiri atas beberapa unsur menjadi satu
kesatuan. Hakikat kodrat manusia monopluralis dikelompokkan menjadi tiga
kelompok :
1. Susunan kodrat manusia monodualis. Manusia hakikatnya tersusun atas jiwa
dan raga. Dua unsur susunan kodrat ini mempengaruhi pola hidup manusia. Jika
manusia dalam kehidupannya selalu mementingkan segi kejiwaannya termasuk
juga kerohaniannya, tanpa memperhatikan raganya, maka akan sulit untuk
mencapai kebahagiaan jasmani atau juga kebahagiaan duniawi. Demikian juga
sebaliknya, jika manusia hanya memperhatikan aspek raga tanpa
memperhatikan jiwanya, kebahagiaan juga akan sulit tercipta. Pola hidup
manusiawi seperti ini adalah menyeimbangkan antara kepentingan rohani dan
jasmani yang selaras. Keseimbangan dua unsur ini merupakan salah satu dasar
filsafat Pancasila. Demikian maka tujuan negara yang berdasarkan Pancasila
22
adalah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur sejahtera lahir dan
batin, hal ini berdasarkan pada kesatuan unsur jiwa dan raga.
2. Sifat kodrat manusia monodualis. Manusia hakikatnya adalah bersifat
individual dan juga sosial. Dua unsur sifat kodrat ini juga mempengaruhi pola
hidup manusia. Jika manusia atau suatu masyarakat dalam kehidupannya selalu
menonjolkan sifat individualis atau liberalis, hanya mementingkan hak individu
tidak memperhatikan kepentingan bersama, sehingga ada individu yang
menguasai hajat hidup orang banyak. Begitu juga sebaliknya, jika manusia
hanya memperhatikan aspek sosial atau kolektifnya, yang ada hanyalah hak
kolektif dengan menihilkan hak individu. Pola hidup yang manusiawi adalah
keselarasan kepentingan individu dan kolektif (sosial), dan kedua sifat kodrat
ini menjadi landasan dasar filsafat Pancasila. Masyarakat yang diinginkan
dalam Pancasila adalah masyarakat yang penuh kebahagiaan yang didasarkan
atas hubungan manusia dengan masyarakatnya yang seimbang, masyarakat
yang bukan liberalis dan juga penganut sosialis, melainkan seimbang,
masyarakat yang berpaham kebersamaan dan kekeluargaan.
3. Kedudukan kodrat manusia yang monodualis. Manusia hakikatnya adalah
berkedudukan sebagai pribadi mandiri dan juga sebagai makhluk Tuhan. Dua
unsur ini terbukti bahwa manusia adalah pribadi berdiri sendiri dapat berkreasi
dan bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri dan juga menyadari sebagai
makhluk Tuhan. Dua hal ini tidak dapat diingkari oleh manusia yang harus
bertanggung jawab atas dirinya dan juga kepada Tuhan. Implementasinya bagi
kehidupan berbegara adalah adanya keselarasan antara kebebasan manusia
23
sebagai makhluk individu dan juga menjaga kepercayaan yang melandasi
perbuatan atas ajaran Tuhan Yang Maha Esa. Negara yang melandaskan hakikat
kodrat monopluralis penyelenggaraannya berdasarkan keseimbangan antara
segi jiwa dan raga, kebutuhan pribadi dan sosial, dan juga manusia sebagai
pribadi mandiri dan juga sebagai makhluk Tuhan dalam bermasyarakat dan
bernegara (Noor Ms. Bakry, 2001: 16-18, 21).
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Peneliti memerlukan metode penelitian yang sesuai dengan konsep yang
diteliti supaya mendapatkan hasil yang baik. Penelitian ini termasuk ke dalam jenis
penelitian kualitatif dengan model historis-faktual tokoh. Adapun metode yang
dipilih untuk melakukan penelitian ini adalah metode studi pustaka. Karena konsep
persoalan yang peneliti angkat berkaitan dengan pemikiran yang harus membedah
beberapa buku pokok, dan persoalan objek kajiannya begitu mendalam terkait
nasionalisme dalam pemikiran Yudi Latif. Kemudian akan ditinjau dengan
menggunakan kacamata Filsafat Pancasila Notonagoro.
2. Bahan Penelitian
Bahan penelitian adalah seluruh data yang diperlukan oleh peneliti sebagai
sumber acuan, meliputi unsur-unsur yang berkaitan dengan obek material dan juga
objek formal.
a. Pustaka Primer
24
Pustaka primer adalah data-data utama yang dipergunakan dalam proses
penelitian. Pustaka primer berisi buku-buku yang berkaitan langsung dengan
objek material dan objek formal. Adapun pustaka primer yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah :
1. Latif, Yudi. 2011. Negara Paripurna Historisitas, Rasionalitas, dan
Aktualitas Pancasila. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
2. Latif, Yudi. 2014. Air Mata Keteladanan Pancasila dalam Perbuatan.
Mizan, Jakarta.
3. Latif, Yudi. 2015. Revolusi Pancasila. Mizan, Bandung.
4. Notonagoro. 1972. Beberapa Hal Mengenai Pancasila, cetakan ke-4.
Pantjuran Tudjuh, Jakarta.
5. Notonagoro. 1974. Pancasila Dasar Falsafah Negara (Kumpulan tiga
uraian dan pokok persoalan tentang Pancasila). Pantjuran Tudjuh,
Jakarta.
6. Notonagoro. 1980. Pancasila Secara Ilmiah Populer. Pantjuran
Tudjuh, Jakarta.
b. Pustaka Sekunder
Pustaka sekunder adalah referensi yang dipakai sebagai pendukung
pustaka primer. Pustaka sekunder dalam penelitian terdiri atas:
1. Abdulgani. 1995. Problem Nasionalisme, Regionalisme dan Keamanan
di Asia Tenggara. Duta Wacana University Press, Yogyakarta.
2. Adams, Ian. 2004. Ideologi Politik Mutakhir. Terjemahan Ali
Noerzaman. Qalam, Yogyakarta.
25
3. Anderson, Benedict. 1996. Imagined Communities. Verso, Seventh
Impression, London dan New York.
4. Bakry, M. Noor. 1994. Orientasi Filsafat Pancasila. Liberty,
Yogyakarta.
5. Gellner, Ernest. 1983. Nations and Nationalism. Oxford University
Press, Oxford.
6. Heywood, Andrew. 2014. Politik (terjemahan Ahmad Lintang). Pustaka
Pelajar, Yogyakarta.
7. Kaelan. 1996. Filsafat Pancasila. Yogyakarta: Paradigma
8. Kohn, Hans. 1971. Nasionalisme Arti dan Sejarahnya (terjemahan
Sumantri Mertodipura). Pustaka Sardjana, Jakarta.
9. Kartodirjo, Sartono. 1994. Pembangunan Bangsa. Aditya Media,
Yogyakarta.
10. Ritzer, George, dan Smart, Barry. 2012. Handbook Teori Sosial (terj:
Imam Muttaqien). Nusa Media, Bandung.
11. Smith, Antony. 2003. Nasionalisme: Teori, Ideologi dan Sejarah.
Erlangga, Jakarta.
12. Soekarno. 1963, Di Bawah Bendera Revolusi, Djilid Pertama, Tjetakan,
Kedua, Panitia Penerbit di bawah Bendera Revolusi. PT. Jambatan,
Jakarta.
13. Soeprapto, Sri. 2014. Konsep Inventif Etika Pancasila Berdasarkan
Filsafat Pancasila Notonagoro (cet-kedua). UNY Press, Yogyakarta.
26
3. Jalan Penelitian
Adapun langkah-langkah yang dilakukan oleh peneliti dalam
menjalankan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Inventarisasi data, pada tahapan pertama, dilakukan pengumpulan data
kepustakaan dan penunjang lainnya yang bersangkutan dengan objek
material dan objek formal penelitian. Studi pustaka dilakukan dalam upaya
untuk memperoleh data yang sesuai dan mencukupi tentang konsep
nasionalisme dalam pemikiran Yudi Latif dan Filsafat Pancasila.
b. Klasifikasi data, pada tahapan ini akan dilakukan klasifikasi terhadap data
yang sudah dikumpulkan. Pengklasifikasian bertujuan untuk membedakan
data objek material dan data objek formal yang selanjutnya akan menjadi
data yang diolah.
c. Melakukan analisis hasil dari data primer dan sekunder serta data penunjang
lainnya yang sudah diklasifikasi, sehingga diperoleh pemahaman dalam
menentukan arah penelitian.
d. Penyusunan penelitian, berupa laporan sistematis dan objektif. Pada tahapan
ini peneliti melakukan refleksi kritis atas konsep nasionalisme dalam
pemikiran Yudi Latif dengan menggunakan pisau analisis Filsafat Pancasila
Notonagoro.
4. Analisis Hasil Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian historis-faktual tokoh. Oleh karena itu,
objek formal dalam penelitian ini akan bersifat filosofis. Tokoh itu sendiri, dengan
27
berpikir secara filosofis, sudah mempergunakan segala metodis umum yang berlaku
bagi pemikiran filsafat, dengan gayanya pribadi. Peneliti hanya ikut-serta dalam
pemikiran tokoh yang bersangkutan (Bakker dan Achmad, 1990: 63).
a. Interpretasi: Proses analisis dilakukan dengan menerangkan,
mengungkapkan dan menafsirkan teks-teks nasionalisme karya Yudi Latif
dan filsafat Pancasila Notonagoro yang menyusun konsep-konsep dalam
pemikirannya.
b. Deskriptif: Berusaha menguraikan pemahaman secara sistematis konsep
nasionalisme Yudi Latif dan filsafat Pancasila Notonagoro sehingga dapat
memperoleh hasil yang diinginkan.
c. Koherensi: Berusaha mencari pokok-pokok pemikiran filsafat Pancasila
Notonagoro sebagai landasan berpikir kemudian dihubungkan dengan
konsep nasionalisme dalam pemikiran Yudi Latif.
d. Heuristik: Berusaha menemukan visi baru dalam menganalisis konsep
nasionalisme Yudi Latif melalui perspektif filsafat Pancasila Notonagoro
secara runtut dan sistematis sehingga peneliti dapat menghasilkan wawasan
baru.
e. Refleksi peneliti pribadi: Setelah melakukan beberapa tahap di atas, peneliti
akan melakukan refleksi kritis terhadap hasil-hasil yang telah diperoleh,
yang kemudian hasil-hasil tersebut akan digunakan untuk mendapatkan
pemahaman mendasar dan refleksi kritis terhadap konsep nasionalisme
dalam pemikiran Yudi Latif.
28
F. Hasil yang Telah Dicapai
Adapun beberapa hasil yang ingin dicapai oleh peneliti dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1. Memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang konsep
nasionalisme dalam pemikiran Yudi Latif.
2. Memperoleh pemahaman yang mendalam tentang analisis Filsafat Pancasila
Notonagoro terhadap konsep nasionalisme dalam pemikiran Yudi Latif.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan penelitian ini terdiri dari lima bab yang disusun dengan
sistematika berikut :
Bab I : Berisi pendahuluan yang terdiri atas latar belakang masalah, rumusan
masalah, keaslian penelitian, manfaat penelitian, tujuan penelitian,
tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan daftar isi.
Bab II : Berisi tentang uraian objek formal penelitian mengenai pembahasan yang
mendalam tentang Filsafat Pancasila Notonagoro, pengertian Filsafat
Pancasila, dan tentang isi arti Pancasila.
Bab III : Berisi tentang uraian objek material. Berisikan pembahasan yang
mendalam mengenai konsep nasionalisme dalam pemikiran Yudi Latif;
riwayat hidup Yudi Latif, historisitas nasionalisme menurut Yudi Latif,
dan kepribadian nasionalisme dalam pandangan Yudi Latif.
29
Bab IV : Berisi mengenai uraian analisis kritis terhadap konsep nasionalisme dalam
pemikiran Yudi Latif dengan pisau analisisnya adalah Filsafat Pancasila
Notonagoro.
Bab V : Berisikan penutup yang di dalamnya memuat tentang kesimpulan dari
serangkaian penulisan hasil penelitian serta saran yang diajukan kepada
subjek dan objek penelitian.