Upload
duongkhanh
View
225
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
1. Permasalahan
Kearifan lokal dalam suatu komunitas masyarakat memegang peranan penting
untuk pengendalian dan memberikan arah terhadap perkembangan kebudayaan
masyarakat tersebut. Karena kebudayaan menurut Poespowardojo (1986; 33) dapat
diartikan sebagai seluruh usaha dan hasil usaha manusia dan masyarakat untuk
mencukupi segala kebutuhan serta hasratnya untuk memperbaiki nasib hidupnya. Dalam
kebudayaan inilah teridentifikasi dan termanifestasi kepribadian suatu masyarakat yang
tercermin dalam orientasi yang menunjukkan pandangan hidup serta sistem nilai dalam
persepsi untuk melihat dan menanggapi dunia luarnya, sehingga pola serta sikap hidup
yang diwujudkan dalam tingkah-laku sehari-hari melalui gaya hidup yang mewarnai
kehidupannya.
Local genius menunjukkan ciri dan inti kehidupan budaya masyarakatnya
sebagai ekspresi diri dalam perwujudan kepribadian masyarakat. Kedudukan local
genius ini sentral, karena merupakan kekuatan yang mampu bertahan terhadap unsur-
unsur budaya yang datang dari luar dan mampu berkembang untuk masa-masa
mendatang. Karena itu adalah penting sekali adanya usaha pemupukan dan
pengembangan local genius tersebut yang berfungsi dalam kehidupan masyarakat, baik
dalam gaya hidup masyarakat, dalam pola dan sikap hidup, persepsi, maupun dalam
2
orientasi masyarakat (Poespowardojo, 1986; 33). Begitu banyak suku bangsa di
Nusantara yang memiliki kekayaan budaya di dalamnya terdapat local genius yang
harus digali dan dikembangkan dalam perspektif kontemporer untuk memberikan
manfaat bagi kehidupan masyarakat.
Keberadaan local genius dalam komunitas masyarakat relatif beragam pada
setiap suku-bangsa, yang merupakan mutiara kekayaan Nusantara. Salah satu komunitas
suku-bangsa yang mendiami bumi tatar Sunda yang secara geografis berada dalam
wilayah Provinsi Jawa Barat dan Banten adalah masyarakat Suku Sunda dengan
memiliki kearifan budaya dalam kehidupan masyarakatnya. Esensi kearifan budaya
dalam kehidupan masyarakat mengandung nilai-nilai moral menjadikan pedoman dalam
interaksi sosial masyarakatnya. Karena kearifan lokal merupakan kebenaran yang
mentradisi dalam suatu komunitas masyarakat sebagai perpaduan antara nilai-nilai suci
firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada dalam kehidupannya (Sartini, 2009; 9).
Kearifan lokal sebagai suatu nilai budaya, maka selalu dihubungkan dengan nilai baik
yang dipertahankan masyarakatnya merupakan identitas kultural dalam bentuk norma,
etika, kepercayaan, adat-istiadat dan aturan khusus, sehingga dapat bertahan secara
terus-menerus.
Kearifan lokal yang terdapat dalam kehidupan masyarakat Sunda adalah
meletakkan pentingnya keharmonisan hubungan antar manusia dan masyarakat yang
saling ketergantungan (interdependency) dengan tidak melupakan jati diri dan
habitatnya masing-masing, merupakan kesadaran yang harus dibangun bagi para
anggota masyarakatnya (Suryalaga, 2010; 126). Untuk membangun kesadaran tersebut,
maka salah satu kearifan budaya yang menjadi landasannya mengacu kepada yargon:
3
silih asih, silih asah, silih asuh dalam kehidupan masyarakatnya. Yargon tersebut sangat
dikenal dalam kehidupan masyarakat Sunda yang perlu ditelusuri konsep dasarnya,
mengapa dijadikan landasan nilai dalam membangun kebersamaan kehidupan
masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidupnya.
Makna yang terkandung dalam yargon tersebut mengandung nilai-nilai
kebersamaan yang saling ketergantungan dalam kehidupan komunitas masyarakat, yang
secara tradisi telah tertanam melalui kebudayaannya. Silih asih dimaknai sebagai saling
mengasihi dengan segenap kebeningan hati. Silih asah bermakna saling mencerdaskan
kualitas kemanusiaan. Silih asuh tak pelak lagi dimaknai kehidupan yang penuh
harmoni (Suryalaga, 2010; 106). Orientasi dari konsep nilai yang terkandung di
dalamnya ternyata dapat dimaknai sebagai proses pemberdayaan masyarakat dalam
menumbuhkan keberdayaan individu dalam kehidupan bermasyarakat, untuk mencapai
kualitas kemanusian agar berharkat dan bermartabat.
Pemberdayaan masyarakat dalam perspektif epistemologis ilmu-ilmu sosial
menampilkan peran-peran aktif dan kolaboratif antara masyarakat dan mitranya,
sehingga secara paternalistik melimpahkan kekuatan (power) kepada orang lain, yang
dapat diartikan memberdayakan masyarakat yang mengalami kekurangberdayaan
seperti yang dialami masyarakat miskin. Konsep pemberdayaan ini tidak hanya secara
individual, tetapi juga secara kolektif (individual self empowerment maupun collective
self empowerment), dan semua itu harus menjadi bagian dari aktualisasi diri dan
koaktualisasi eksistensi manusia dan kemanusiaan sebagai hasil dari proses
pemberdayaan. Dengan kata lain, manusia dan kemanusianlah yang menjadi tolok ukur
normatif, struktural dan substansial (Pranarka dan Vidhyandika, 1996; 55-56). Karena
4
itu, esensi pemberdayaan manusia miskin pada hakikatnya adalah menumbuhkan daya
dalam diri manusia yang bersumber dari susunan hakikat kodratnya berupa unsur jiwa
yang terdiri akal, rasa, dan karsa dalam kesatuan raganya melalui stimulasi orang lain.
Manusia dan masyarakat miskin akibat mengalami kekurangberdayaan secara
berkesinambungan, dalam perspektif filsafat nilai diidentifikasi mengadopsi nilai-nilai
yang bersifat negatif, seperti malas, kurang menghargai waktu yang bersifat
produktivitas, rendah diri menghadapi strata sosial yang lebih tinggi, dan sifat-sifat
negatif lainnya, sehingga menyebabkan menjadi miskin. Pemberdayaan masyarakat
miskin bertujuan untuk mengubah nilai-nilai yang bersifat negatif yang dimilikinya,
sehingga berubah menjadikan nilai-nilai positif sebagaimana manusia yang memiliki
keberdayaan melalui transformasi nilai-nilai positif seperti; rajin bekerja, menghargai
waktu, percaya diri, kreatif, dan sifat-sifat positif lainnya. Menumbuhkembangkan nilai-
nilai positif dalam diri manusia miskin membutuhkan pemberdayaan melalui proses
penyadaran, pengkapasitasan, dan pendayaan untuk dapat menjadikan manusia berdaya
dan mandiri.
Hakikat kemiskinan dipahami tidak sekedar melihat realitas pertumbuhan angka
kemiskinan yang bersifat kuantitatif sebagai dasar penyusunan suatu program yang
lebih berorientasi sebagai objek pembangunan semata, tetapi harus memahami hakikat
kebudayaan kemiskinan masyarakat dari nilai-nilai budayanya, karakteristik dan
keyakinan-keyakinannya, serta filosofi hidupnya untuk memberdayakannya. Pada posisi
inilah kajian dari aspek filsafat yang membahas tentang orientasi nilai-nilai kearifan
budaya dalam memberdayakan masyarakat miskin merupakan substansi yang paling
mendasar. Karena itu, manusia pada hakikatnya adalah sebagai subjek pembangunan
5
yang seharusnya menempatkan masyarakat miskin tidak semata-mata menjadikan objek
pembangunan, sehingga orientasi pemberdayaan masyarakat miskin dilakukan dengan
memahami dan menghargai nilai-nilai budayanya untuk meningkatkan harkat dan
martabatnya.
Hal tersebut sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Saifuddin, pada
pidato pengukuhan Guru Besar Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di
Universitas Indonesia (24-1-2007) dengan judul: “Kemiskinan di Indonesia: Realita di
Balik Angka”. Saifuddin (2007; 2) mengetengahkan hal tersebut karena dua alasan.
Pertama, kemiskinan adalah pusat segala permasalahan kehidupan masyarakat, baik
lokal maupun nasional. Berbagai kebijakan dan program dari berbagai bidang tidak
akan berjalan dengan baik, apabila masalah kemiskinan belum dapat diselesaikan secara
tuntas. Kedua, kajian mengenai kemiskinan sudah banyak dilakukan oleh pemerintah,
perguruan tinggi maupun lembaga-lembaga non-pemerintah yang sebagian besar kajian
tersebut berorientasi pada angka-angka untuk memaparkan kondisi-kondisi kemiskinan.
Suatu cara pandang mengenai kemiskinan dari sudut manusia sebagai subjek belum
memperoleh kedudukan yang memadai dalam kajian-kajian mengenai kemiskinan di
Indonesia. Atas dasar kedua alasan tersebut sangat penting memusatkan perhatian pada
aspek sosial budaya kemiskinan, suatu aspek yang menyangkut langsung manusia dan
pengetahuan, nilai-nilai, keyakinan-keyakinan yang dimiliki dan digunakan untuk
menghadapi lingkungannya.
Pentingnya kajian kemiskinan di perkotaan pada masa sekarang melihat
fenomena perkembangan masyarakat miskin di berbagai perkotaan di negara-negara
dunia ketiga mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Presiden Bank Dunia,
6
Namara (1976), minta perhatian terhadap nasib golongan yang paling miskin di kota-
kota dunia ketiga, yang disebutnya the absolute poor. Komunitas masyarakat tersebut
terikat pada lingkaran setan, berupa; kekurangan gizi, buta huruf, penyakit
underemployment, angka kematian anak tinggi, penghargaan masa hidup yang pendek
dan produktivitas yang rendah, yang menyebabkan kelompok ini tidak dapat keluar dari
cengkeraman kemelaratan. Jikalau kota-kota tidak menangani kemiskinan secara lebih
konstruktif, maka kemiskinan itu mungkin sekali akan melanda kota-kota secara
destruktif (Sudjatmoko, 1984; 90).
Permasalahan kemiskinan di Indonesia sudah sangat mendesak untuk
ditanggulangi, khususnya di wilayah perkotaan karena kecenderungan peningkatan
pertambahan jumlah penduduk jauh lebih besar dari pada di perdesaan. Akibatnya,
beberapa kota besar di Indonesia, seperti Kota Bandung memiliki tingkat kepadatan
penduduk yang begitu tinggi selalu diikuti dengan pertambahan jumlah penduduk
miskin. Salah satu ciri umum dari kondisi fisik lingkungan masyarakat miskin di
perkotaan menurut Pedoman Umum Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan
(P2KP)-3, adalah tidak memiliki akses ke prasarana dan sarana dasar lingkungan yang
memadai dengan kualitas perumahan dan permukiman yang jauh dibawah standar
kelayakan serta mata pencaharian yang tidak menentu. Disadari bahwa selama ini
banyak pihak melihat persoalan kemiskinan hanya pada tataran gejala-gejala yang
tampak terlihat dari luar atau tataran permukaan saja, baik dimensi politik, sosial,
ekonomi, aset dan lain-lain. Orientasi berbagai penanggulangan kemiskinan yang telah
dilakukan hanya menitikberatkan pada salah satu dimensi dari gejala-gejala kemiskinan
tersebut, yang pada dasarnya mencerminkan pendekatan program bersifat parsial,
7
sektoral, charity serta tidak menyentuh akar penyebab kemiskinan itu sendiri.
Akibatnya, program-program dimaksud tidak mampu menumbuhkan kemandirian
masyarakat, yang pada akhirnya tidak dapat mewujudkan aspek keberlanjutan
(sustainability) dari program-program penanggulangan kemiskinan tersebut (Sutjiono
dkk., 2005; 1).
Masyarakat miskin yang menjadi penduduk di suatu daerah pada hakikatnya
disebabkan terjadinya kesenjangan pendapatan yang begitu tajam, sehingga terlihat
secara nyata perbedaan perilaku hidup suatu komunitas masyarakat dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya. Mungkin saja yang bersangkutan menganggap tidak ada
permasalahan mengenai keadaan kemiskinan dirinya, tetapi dalam kehidupan sosial di
masyarakat terjadi berbagai fenomena berupa ekses negatif dalam berbagai bentuk
perilaku, seperti gelandangan dan pengemis yang banyak berada di pinggiran dan
persimpangan jalan raya serta pengangguran yang menempati lingkungan perumahan
kumuh di wilayah yang tidak sesuai dengan tata ruang perkotaan. Kemiskinan yang
terjadi di perkotaan diidentifikasi memiliki keterkaitan dengan terjadinya kemiskinan di
perdesaan, sehingga melakukan urbanisasi ke perkotaan dengan harapan dapat
mengubah taraf hidupnya agar lebih baik.
Padatnya penduduk dalam masyarakat perkotaan disebabkan terjadinya
urbanisasi dan migrasi serta pertumbuhan penduduk secara alami yang tidak terbendung
dengan tidak diimbangi penyediaan sarana dan prasarana wilayah yang layak serta
memadai, sehingga menyebabkan permasalahan sosial masyarakat di perkotaan
semakin kompleks termasuk bertambahnya masyarakat miskin. Keberadaan masyarakat
miskin di perkotaan yang pada umumnya kurang berdaya menghadapi persaingan hidup
8
dengan berbagai perilaku budaya yang tidak sesuai dengan etika umum, sehingga
dianggap menjadi beban sosial masyarakat. Masyarakat miskin di perkotaan akibat dari
urbanisasi diidentifikasi berasal dari stratifikasi masyarakat miskin di perdesaan, karena
ketidakberdayaan dirinya dan tidak memiliki bekal keterampilan serta pendidikan yang
memadai sehingga tidak mampu bersaing dalam kehidupan masyarakat perkotaan.
Fenomena ketidakberdayaan manusia terjadi dalam kehidupan masyarakat
Sunda di perkotaan maupun perdesaan, terutama yang dialami oleh manusia miskin
yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak. Ketidakberdayaan pada
diri manusia miskin adalah ketidakmampuan mengoptimalkan fungsi susunan hakikat
kodratnya yang menurut Notonagoro (1995; 97-98), bahwa ketiga unsur dalam jiwa
manusia harus selalu ada kemampuan untuk menyelenggarakan kerjasama akal, rasa,
dan kehendak itu dalam satu-kesatuan. Ketiga unsur dalam jiwa ini bersatu dalam raga
(badan)nya bekerjasama untuk terjadinya proses pemberdayaan masyarakat dalam diri
manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial secara seimbang.
Pemberdayaan pada diri manusia miskin menurut hakikat kodratnya bersifat
monopluralis bertumpu pada daya yang menjadi esensi dan perlu dipertanyakan dalam
kehidupan masyarakat. Karena menurut Notonagoro (1995; 93), bahwa bawaan hakikat
manusia yang merupakan keharusan yang mutlak untuk memenuhi kebutuhan, baik
yang berketubuhan maupun yang kejiwaan, baik dari diri sendiri maupun dari orang
lain. Pada manusia harus selalu ada kemampuan untuk memberikan kepada diri sendiri
dan kepada orang lain apa yang semestinya, apa yang menjadi haknya. Kemampuan
yang selalu demikian dalam melakukan proses pemberdayaan diri dan orang lain sesuai
9
dengan hak dan kewajiban mengikuti konsep keadilan yang menjelma dalam tingkah
laku adil dan perbuatan adil.
Proses pemberdayaan masyarakat mengacu kepada Pedoman Umum P2KP-3
sebagai salah satu instrumen penting dalam program penanggulangan kemiskinan, yaitu
mencapai tujuan kemandirian masyarakat berlandaskan nilai-nilai universal
kemanusiaan yang harus dijunjung tinggi, ditumbuhkembangkan, dan dilestarikan
berupa nilai: jujur, dapat dipercaya, ikhlas/kerelawanan, adil, kesetaraan, dan kesatuan
dalam keberagaman (Sutjiono dkk., 2005; 7). Nilai-nilai universal kemanusiaan ini
dijadikan sebagai landasan sikap dan perilaku bagi para pelaku pemberdayaan, baik
masyarakat miskin yang diberdayakan maupun masyarakat dan semua pihak yang
terlibat dalam program pemberdayaan ini. Nilai-nilai universal kemanusiaan yang
diadopsi masyarakat lokal disesuaikan dengan nilai-nilai kearifan lokal budaya yang
telah diimplementasikan dalam kehidupannya.
Program penanggulangan kemiskinan di Indonesia telah digulirkan pemerintah
pusat melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri untuk di
perkotaan berbentuk Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP), dan di
perdesaan berbentuk Program Pengembangan Kecamatan (PPK). Program tersebut
merupakan program pemerintah pusat atas bantuan pendanaan Bank Dunia yang
dimulai sejak tahun 1999 dengan digulirkannya P2KP di berbagai perkotaan, dan
setahun kemudian PPK digulirkan di berbagai perdesaan di Indonesia. Tujuan program
tersebut pada awalnya sebagai upaya mengatasi bertambahnya jumlah penduduk miskin
dan pengangguran, akibat terjadinya krisis ekonomi dan moneter yang terjadi sejak
10
pertengahan tahun 1997, tetapi program tersebut hingga kini masih terus berjalan dan
mengalami berbagai perbaikan program.
Orientasi dari program tersebut di atas, mengacu kepada Pedoman Umum
P2KP-3, ingin memperbaiki cara pandang masyarakat dan perilaku yang senantiasa
berlandaskan nilai-nilai universal kemanusiaan (moral), prinsip-prinsip kemasyarakatan,
dan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Karena
perilaku dan cara pandang masyarakat merupakan pondasi yang kokoh bagi
terbangunnya lembaga masyarakat yang mandiri melalui pemberdayaan para pelaku-
pelakunya agar mampu bertindak sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai
manusia luhur yang mampu menerapkan nilai-nilai luhur dalam kehidupan masyarakat
sehari-hari. Kemandirian lembaga masyarakat ini dibutuhkan dalam rangka membangun
lembaga masyarakat yang benar-benar mampu menjadi wadah perjuangan kaum miskin
yang mandiri dan berkelanjutan dalam menyuarakan aspirasi serta kebutuhannya.
Keberadaan lembaga tersebut juga diharapkan mampu memengaruhi proses
pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kebijakan publik di tingkat lokal agar
lebih berorientasi keberpihakan kepada masyarakat miskin (propoor) dan mewujudkan
tata pemerintahan yang baik (good governance), baik ditinjau dari aspek ekonomi,
lingkungan termasuk perumahan dan permukiman maupun sosial (Sutjiono dkk., 2005;
1, 5).
Program penanggulangan kemiskinan ini meletakkan nilai-nilai universal
kemanusiaan yang senantiasa menjadi landasan program yang didesain oleh pemerintah
pusat, ternyata dalam tataran implementasi membutuhkan kebijakan publik pada tingkat
lokal untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat. Kondisi yang demikian perlu
11
ditumbuhkembangkan kearifan lokal (local wisdom) dalam lingkup budaya yang telah
berkembang dalam masyarakat, baik yang bersumber pada nilai-nilai budaya maupun
agama yang dianut sebagian besar masyarakatnya. Perpaduan nilai-nilai universal
kemanusiaan yang menjadi landasan program penanggulangan kemiskinan akan sangat
tergantung kepada tanggapan masyarakat untuk menerima atau menolaknya, karena
komunitas masyarakat telah memiliki nilai-nilai kearifan lokal dalam kehidupan sehari-
hari.
Kearifan lokal mengandung nilai moral kebaikan yang dalam kehidupan
masyarakat Sunda terdapat pada suatu yargon: silih asih, silih asah, silih asuh sebagai
suatu konsep yang diimplementasikan dengan tujuan membangun kebersamaan untuk
meningkatkan kualitas sumberdaya sebagai esensi nilai pemberdayaan manusia. Konsep
tersebut digunakan sebagai landasan nilai pelaksanaan PNPM-Mandiri, baik di
perkotaan maupun perdesaan yang memiliki perbedaan karakteristik masyarakatnya.
Keberadaan nilai kearifan lokal ini diadopsi dalam program tersebut, mampukah
bertahan di tengah-tengah gencar masuknya budaya luar yang cenderung bersifat
individualistik dan kapitalistik dalam budaya global melalui proses akulturasi dan
inkulturasi budaya masyarakatnya.
Fenomena tersebut di atas perlu dipertanyakan kembali terhadap eksistensi
konsep silih asih, silih asah, silih asuh sebagai suatu nilai kearifan budaya Sunda
relevansinya bagi program pemberdayaan masyarakat miskin. Makna yang terkandung
dalam konsep nilai tersebut masihkah relevan dalam kehidupan masyarakat Sunda yang
memiliki kecenderungan berkembang ke arah individualistik dan berorientasi
materialistik. Sebaliknya, nilai-nilai sosial dalam membangun kebersamaan untuk
12
kehidupan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik disinyalir mengalami degradasi,
karena lebih mengedepankan nilai-nilai individualistik.
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka diperlukan kajian filsafat nilai
terhadap makna silih asih, silih asah, silih asuh menurut kearifan budaya Sunda
relevansinya bagi pemberdayaan masyarakat miskin. Mengingat kearifan budaya
tersebut secara praksis terdapat pada komunitas masyarakat Sunda dan memiliki
karakteristik yang berbeda dalam kehidupan masyarakat, sehingga dilakukan studi kasus
untuk memberikan gambaran dalam masyarakat perkotaan maupun perdesaan.
2. Rumusan Masalah
Penelitian ini mengambil tema: ”Makna Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh
Menurut Kearifan Budaya Sunda Dalam Perspektif Filsafat Nilai: Relevasinya Bagi
Pemberdayaan Masyarakat Miskin” merupakan studi kasus di Kota Bandung dan
Kabupaten Sumedang dengan berobjek material berupa makna silih asih, silih asah, silih
asuh dengan objek formal berupa filsafat nilai. Berdasarkan latar belakang di atas,
maka rumusan masalah adalah sebagai berikut;
1. Apa esensi kearifan budaya Sunda dalam perspektif filsafat nilai?.
2. Bagaimana konsep dasar pemahaman makna nilai silih asih, silih asah, silih asuh
dalam kearifan budaya Sunda?.
3. Apa esensi kemiskinan menurut kajian filsafat nilai dalam masyarakat Sunda?.
4. Apa esensi nilai pemberdayaan masyarakat miskin menurut filsafat manusia?.
5. Bagaimana esensi makna nilai silih asih, silih asah, silih asuh menurut kearifan
budaya Sunda relevansinya bagi pemberdayaan masyarakat miskin?.
13
3. Keaslian Penelitian
Penelitian yang secara khusus membahas tentang makna silih asih, silih asah,
dan silih asuh menurut kearifan budaya Sunda dalam perspektif filsafat nilai
relevansinya bagi pemberdayaan masyarakat miskin belum pernah dilakukan para
peneliti lain, tetapi sebagai bagian dari pokok bahasan suatu kajian yang terdapat dalam
berbagai tulisan berbentuk makalah atau satu buku. Herlina Lubis dalam makalahnya
yang termuat dalam Prosiding Konferensi Internasional Budaya Sunda tahun 2006
dengan judul Kearifan Tradisional: Warisan Sejarah Sunda, menyimpulkan bahwa,
konsep silih asih, silih asah, silih asuh merupakan konsep tradisional yang penting
dalam membina hubungan antar masyarakat, sekaligus mencegah terjadinya konflik
(Rosidi dkk., 2006; 273-274).
Selanjutnya, dalam buku yang ditulis oleh Garna, dengan judul Budaya Sunda:
Melintasi Waktu Menantang Masa Depan, pada tahun 2008 menyimpulkan bahwa
hubungan antara sesama yang mengandung nilai-nilai dasar yang manusiawi memiliki
berbagai sisi dalam menghargai orang lain seperti diungkapkan oleh ’silih asih, silih
asah, silih asuh’. Ungkapan itu juga mengandung makna kesetaraan dan mendidik serta
menghendaki diri sendiri, orang lain, dan siapapun manusia untuk saling mengasihi,
saling mengasah (membina) dan saling mengasuh dalam menciptakan masyarakat yang
teratur, tenteram dan kewibawaan setiap orang yang saling berhubungan itu dalam
mewujudkan masyarakat adil dan makmur (Garna, 2008; 140).
Penelitian yang dilakukan oleh Warnaen dkk., berjudul Pandangan Hidup
Orang Sunda: Seperti Tercermin Dalam Tradisi Lisan dan Sastra Sunda, pada tahun
1987 menyimpulkan bahwa pada dasarnya hubungan antara manusia dengan sesama
14
manusia itu harus dilandasi oleh sikap silih asih, silih asah, dan silih asuh. Artinya,
saling mengasihi, saling mengasah, dan saling mengasuh sehingga tercipta suasana
kehidupan masyarakat yang diwarnai keakraban, kerukunan, kedamaian, ketentraman,
dan kekeluargaan, tetapi tidak boleh sekedar terbawa-bawa (Warnaen, dkk., 1987; 19).
Sumardjo dalam hasil penelitiannya, yang ditulis dalam buku dengan judul
”Simbol-Simbol Artefak Budaya Sunda: tafsir-tafsir pantun sunda” pada tahun 2009, di
dalamnya membahas tentang Silih Asah Silih Asih Silih Asuh sebagai salah satu pokok
bahasan. Pembahasan dalam buku tersebut menyimpulkan bahwa hetrogenitas dalam
homogenitas, sebuah paradoks. Justru kelestarian budaya Sunda akibat dari penciptaan
paradoks ini. Hetrogenitas ditunjukkan secara ringkas dalam Trias Politika Sunda yang
terdiri dari Cikeusik (silih asah), Cikertawana (silih asih), dan Cibeo (silih asuh).
Dalam pengertian modern, memang seharusnya setiap orang Sunda bersilih asah,
bersilih asih, bersilih asuh, tetapi tidak setiap orang mampu mengasah, mengasih,
mengasuh. Kenyataan bineka diakui oleh budaya Sunda, bahwa setiap manusia itu
berbeda-beda, yang pandai mengasah yang kurang pandai, yang kaya mengasihi yang
miskin, yang kuat mengasuh yang lemah. Perbedaan-perbedaan itu harus disatukan
dengan pembagian peran yang saling melengkapi satu dengan yang lain. Itulah gunanya
ika, esa, kesatuan, yang ketiganya berbeda namun saling melengkapi satu sama lain,
sehingga terjadi homogenisasi yang tetap mempertahankan aslinya (Sumardjo, 2009;
338, 342) yang dimaknai sebagai homogenitas.
Penelitian Hilmiana dalam disertasinya berjudul Pengaruh Perilaku Budaya
Sunda dan Kepemimpinan serta Orientasi Gender terhadap Etos Kerja di Lingkungan
Bisnis Perbankan di Kotamadya Bandung, pada Program Doktor Ilmu Ekonomi
15
Program Pascasarjana Universitas Katholik Parahyangan Bandung pada tahun 2009.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa, bagi orang yang bekerja di tatar Sunda, pengaruh
dari perilaku budaya silih asih, silih asah, silih asuh jelas signifikan pada pengembangan
semangat kerja. Hal ini tentunya perlu diperhatikan oleh para pelaku bisnis di wilayah
ini. Artikulasi budaya Sunda seringkali dilakukan secara kurang cermat. Misalnya
dalam mengartikulasikan perilaku budaya silih asih, silih asah, silih asuh, orang sering
mengabaikan mutualitasnya. Banyak orang pada waktu ditanya apa makna dan perilaku
Budaya itu, sering menyatakan perilaku tersebut sebagai perilaku Asih, Asah, dan Asuh,
serta mengabaikan aspek Silih-nya. Pengabaian aspek mutualitas ini dapat menimbulkan
bias yang besar dan dapat mengurangi nilai dari suatu penelitian dengan perilaku ketiga
budaya ini. Praktek kepemimpinan di lingkungan Bank yang beroperasi di tatar Sunda,
diperkirakan masih kuat dipengaruhi oleh Budaya Sunda, khususnya yang
dipresentasikan oleh perilaku budaya Silih Asih, Silih Asah, dan Silih Asuh. Hal ini
perlu diperhatikan oleh para manajer dan pemimpin yang berasal dari luar tatar Sunda,
karena perlu beradaptasi secara kultural, apabila ingin menjadi pemimpin yang efektif
(Hilmiana, 2009; 202-204).
Selanjutnya Hilmiana (2009; 205) merekomendasikan dalam penelitian tersebut,
bahwa apabila dikaji secara mendalam, maka dapat disimpulkan bahwa perilaku Budaya
Silih Asih, Silih Asah, dan Silih Asuh secara bersama-sama merupakan tonggak bagi
tumbuhnya budaya belajar yang kini mulai banyak dikembangkan di lingkungan
organisasi di seluruh dunia. Karena itu, di sini disarankan agar di masa depan, konsep
Budaya Sunda ini diartikulasikan dalam konteks belajar organizational. Dengan cara ini
konsep budaya Sunda dapat memiliki daya tarik untuk diterapkan secara universal.
16
Penelitian ini merupakan penelitian awal. Penulis berharap di masa depan akan ada
penelitian lebih lanjut tentang tata nilai Sunda dalam konteks yang berbeda atau dikaji
dari sudut pandang yang lain.
Penelitian yang dilakukan Suryalaga dengan judul Silih Asih, Silih Asah, Silih
Asuh: Kearifan Budaya Sunda dalam Proses Menata Lingkungan Hidup yang
Harmonis. Judul penelitian tersebut merupakan salah satu pokok bahasan dalam buku
yang berjudul Kasundaan Rawayan Jati telah diterbitkan 3 edisi, dan edisi terakhir
diterbitkan tahun 2010. Dalam tulisan tersebut disimpulkan bahwa, bila disimak dengan
cermat, ternyata nilai-nilai pandangan hidup yang terkandung dalam Silih Asih, Silih
Asah, dan Silih Asuh sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Seandainya
dapat diterapkan dalam proses komunikasi keseharian, insya-Allah akan mewujudkan
masyarakat tatar Sunda yang tata tengtrem karta raharja. Pada gilirannya semoga
menjadi kontribusi orang Sunda pada negara dan bangsa Indonesia serta kemanusiaan
yang universal untuk mewujudkan kehidupan Madani Mardhotillah di Buana Panca
Tengah ini (Suryalaga, 2010; 144).
Uraian mengenai hasil-hasil penelitian dan tulisan ilmiah dalam bentuk makalah
dan buku yang telah diungkapkan di atas, menunjukkan bahwa penelitian yang berjudul
Makna Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh Menurut Kearifan Budaya Sunda Dalam
Perspektif Filsafat Nilai: Relevansinya Bagi Pemberdayaan Masyarakat Miskin (Studi
Kasus di Kota Bandung dan Kabupaten Sumedang) ini merupakan kajian baru. Bentuk
kebaruan yang diidentifikasi dalam penelitian ini terletak pada kajian filsafat nilai
terhadap makna silih asih, silih asah, silih asuh sebagai tinjauan aksiologis.
17
Sebagai kajian ilmu filsafat yang membahas makna nilai yang terkandung dalam
ungkapan silih asih, silih asah, silih asuh menurut kearifan budaya Sunda, maka
diharapkan dapat memberikan manfaat dalam konteks praksis dan akademis, sehingga
dilakukan relevansi bagi pemberdayaan masyarakat miskin dengan mengambil kasus di
Kota Bandung dan Kabupaten Sumedang. Makna silih asih, silih asah, silih asuh telah
diakui sebagai kearifan makna kata yang digali dari kebudayaan masyarakat Sunda
masa lalu dan diteliti pada perspektif perkembangan masyarakat Sunda masa kini,
sehingga peneliti menggunakan metode analisis yang bersifat filosofis. Hasil penelitian
yang bersifat filosofis ini memberikan pemahaman yang fundamental, komprehensif,
dan integral mengenai makna silih asih, silih asah, silih asuh menurut kearifan budaya
Sunda dalam perspektif filsafat nilai relevansinya bagi pemberdayaan masyarakat
miskin.
4. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai, maka penelitian ini memiliki manfaat
antara lain;
1. Dalam bidang pengembangan ilmu filsafat untuk menambah khazanah dan
pengembangan disiplin kefilsafatan, spesifik pada bidang filsafat nilai yang terkait
dengan pemahaman makna silih asih, silih asah, silih asuh menurut kearifan budaya
Sunda sehingga dapat sesuai dengan nilai pemberdayaan masyarakat miskin dalam
kehidupan masyarakat perkotaan maupun perdesaan.
2. Dalam bidang pembangunan bangsa berguna bagi penanggulangan kemiskinan
melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri, baik di
18
lingkungan Pemerintah Kota Bandung dan Kabupaten Sumedang maupun
Pemerintah Provinsi Jawa Barat serta Pemerintah Pusat dalam memberikan
masukan terhadap kebijakan program pembangunan nasional dan daerah yang
berorientasi pada pemberdayaan masyarakat miskin yang digali serta
direaktualisasikan dari kearifan budaya Sunda yang terkandung dalam makna nilai
silih asih, silih asah, silih asuh.
3. Dalam penelitian berikutnya berguna memberikan pemahaman lebih komprehensif
dan mendalam melalui pemaknaan silih asih, silih asah, silih asuh menurut kearifan
budaya Sunda dalam perspektif filsafat nilai relevansinya bagi pemberdayaan
masyarakat miskin di perkotaan maupun perdesaan.
B. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian masalah dalam perumusan masalah di atas, maka penelitian
ini mengandung lima macam tujuan, yaitu;
1. Menggali dan menemukan kearifan budaya Sunda pada dimensi masa lalu dan masa
kini menurut perspektif filsafat nilai.
2. Menemukan dan mengungkap makna nilai yang terkandung dalam silih asih, silih
asah, silih asuh menurut kearifan budaya Sunda.
3. Menjelaskan konsep dasar tentang filosofi kemiskinan dan nilai pemberdayaan
masyarakat miskin dalam kehidupan masyarakat Sunda.
4. Menemukan esensi nilai pemberdayaan masyarakat miskin dalam perspektif filsafat
manusia.
19
5. Menemukan esensi makna nilai yang terkandung dalam silih asih, silih asah, silih
asuh menurut kearifan budaya Sunda relevansinya bagi pemberdayaan masyarakat
miskin.
C. Tinjauan Pustaka
Studi tentang silih asih, silih asah, silih asuh dalam kearifan budaya Sunda telah
dilakukan berbagai peneliti dari tinjauan berbagai disiplin ilmu, tetapi kajian aksiologi
yang khusus membahas tentang nilai dalam penelitian ilmu filsafat belum pernah
dilakukan para peneliti lain. Penelitian ini menggali dan menemukan kearifan budaya
Sunda yang terkandung dalam makna silih asih, silih asah, silih asuh dalam perspektif
filsafat nilai relevansinya bagi pemberdayaan masyarakat miskin. Sebagai suatu nilai
yang diidentifikasi memiliki interpretasi makna untuk membangun kebersamaan dalam
kehidupan masyarakat Sunda, maka di dalamnya mengandung nilai pemberdayaan
masyarakat. Pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu metode pembangunan
yang digunakan dalam menanggulangi kemiskinan di Indonesia, termasuk di tatar
Pasundan. Karena itu, pembangunan perlu menjadikan pemberdayaan sebagai nilai dan
pilihan kebijakan, sekaligus sebagai pembelajaran sosial, dalam arti selalu belajar
bagaimana melakukan pemberdayaan yang semakin hari semakin baik (Wrihartonolo &
Dwidjowijoto, 2007; 11).
Kemiskinan merupakan fenomena masalah kehidupan masyarakat yang paling
lama melanda dunia sampai saat ini, yang selalu muncul dan berkembang di berbagai
negara di belahan dunia. Berbagai penelitian yang membahas kemiskinan dari berbagai
disiplin ilmu telah banyak dilakukan, karena dianggap sebagai esensi penyebab
20
permasalahan krusial yang membutuhkan penanggulangan secara integral dan
komprehensif. Menurut Saifuddin (2007; 2-3), bahwa sebagian besar kajian kemiskinan
di Indonesia lebih berorientasi pada angka-angka untuk memaparkan kondisi-kondisi
kemiskinan. Suatu cara pandang mengenai kemiskinan dari sudut manusia sebagai
subjek belum memperoleh kedudukan yang memadai dalam kehidupan sosial
budayanya. Aspek sosial budaya kemiskinan, suatu aspek yang menyangkut langsung
manusia dan pengetahuan, nilai-nilai, keyakinan-keyakinan yang dimilikinya, yang
digunakan untuk menghadapi lingkungannya.
Mengkaji pemberdayaan masyarakat miskin dalam perspektif filsafat nilai
terhadap makna yang terkandung pada makna silih asih, silih asah, silih asuh menurut
kearifan budaya Sunda difokuskan kepada manusia dan masyarakat sebagai subjek
pembangunan, yang dipahami dari filosofi dan nilai-nilai budaya dalam kehidupannya.
Suatu kajian nilai terhadap manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial
dalam filosofi kehidupan masyarakat miskin, ternyata memiliki sistem nilai budaya
yang dijadikan sebagai pedoman hidup atas perilaku kehidupan dalam masyarakatnya.
Sistem nilai budaya ini meresap dan berakar dalam jiwanya, sehingga tidak mudah
diubah dalam waktu yang relatif singkat. Sistem budaya dalam masyarakat menyangkut
masalah-masalah pokok bagi kehidupan manusia yang merupakan abstaksi yang tidak
mungkin ditemukan seratus persen dihayati atau menjiwai nilai-nilai dominan yang
persis sama dengan apa yang ada di dalam masyarakat tertentu. Karena itu, mungkin
saja nilai-nilai inti tertentu dapat berbeda atau bertentangan dengan nilai-nilai yang lain
(Soelaiman, 2007; 42).
21
Perbedaan nilai-nilai budaya masyarakat miskin dalam suatu sistem nilai sosial
masyarakat tidak dapat langsung diidentifikasi secara inderawi, tetapi perbedaan
perilaku dan gaya hidup akan tampak dari budaya kehidupan manusia dalam pranata
sosial keseharian. Untuk mengungkap nilai-nilai suatu kebudayaan yang berakar dari
kebutuhan dasariah manusia, maka menurut Kluckohn (1962; 317-318) dapat dilihat
dari perilaku-perilaku berdasarkan sudut budaya yang sangat khas pada kebutuhan-
kebutuhan biologis yang sama. Schawartz dan Bilsky berpendapat, bahwa ada suatu
kandungan dan struktur universal pada nilai-nilai manusia berasal dari tiga persyaratan
universal yang mendasari semua kebudayaan insani; (1) kebutuhan-kebutuhan orang-
seorang sebagai organisme biologis, (2) kebutuhan-kebutuhan interaksi sosial yang
terkoordinasi, dan (3) kebutuhan-kebutuhan kesejahteraan dan ketahanan hidup
kelompok (Adeney, 2000; 160-161).
Kebudayaan manusia akan berkembang sejalan dengan perilaku dari kehidupan
masyarakatnya berpedoman kepada sistem nilai-nilai budaya yang berlaku dalam
komunitas masyarakat sesuai dimensi ruang dan waktunya. Sistem nilai budaya menurut
Koentjaraningrat (1990; 190-191), merupakan tingkat yang paling tinggi dan paling
abstrak dari adat-istiadat. Hal itu disebabkan karena nilai-nilai budaya merupakan
konsep-konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga
sesuatu masyarakat mengenai apa yang dianggap bernilai, berharga, dan penting dalam
hidup, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan
orientasi kepada kehidupan para warga masyarakat tadi. Setiap sistem nilai budaya
dalam setiap kebudayaan itu terdapat mengenai lima masalah dasar dalam kehidupan
manusia yang dapat digunakan mengembangkan suatu kerangka yang dapat dipakai
22
oleh para ahli antropologi untuk menganalisa secara universal tiap variasi dalam sistem
nilai budaya dari semua macam kebudayaan yang terdapat di dunia. Kelima masalah
dasar dalam kehidupan manusia yang menjadi landasan bagi kerangka variasi sistem
nilai budaya menurut buku yang ditulis Kluckhohn berjudul: ”Variational in Value
Orientation” (1961), antara lain:
1. Masalah mengenai hakikat dari hidup manusia (selanjutnya disingkat MH).
2. Masalah mengenai hakikat dari karya manusia (selanjutnya disingkat MK).
3. Masalah mengenai hakikat dari kedudukan manusia dalam ruang dan waktu
(selanjutnya disingkat MW).
4. Masalah mengenai hakikat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya
(selanjutnya disingkat MA).
5. Masalah mengenai hakikat dari hubungan manusia dengan sesamanya (selanjutnya
disingkat MM).
Variasi sistem nilai budaya tersebut di atas selalu berkaitan dengan suatu
kebudayaan yang secara antropologis sebagai suatu fakta di dalamnya mengandung
nilai-nilai yang dijadikan pedoman oleh komunitas masyarakatnya. Dalam kebudayaan
manusia yang hidup dan berinteraksi di tengah-tengah masyarakat, tentunya akan
memiliki nilai-nilai yang menjadi pedoman hidup, baik sebagai makhluk individu
maupun makhluk sosial dalam sistem nilai budayanya. Jika nilai-nilai tersebut mengacu
kepada etika yang berasal dari agama maupun filsafat tertentu, maka akan selalu
menghasilkan dua jenis kelompok nilai, yaitu berupa nilai baik dan nilai buruk. Hal ini
dikemukakan oleh tokoh filsafat nilai, Scheler dalam bukunya yang berjudul
”Formalism in Ethics and Non-Formal Ethics of Value” (1973). Buku tersebut menurut
23
Wahana (2004; 55) menjelaskan bahwa semua nilai (baik etika, estetika, dan lain-
lainnya) berada dalam dua kelompok, yaitu: yang positif dan yang negatif. Fakta ini
terdapat dalam inti dari nilai itu sendiri. Hal ini tidak tergantung pada kemampuan untuk
merasakan adanya saling berlawanan dari nilai-nilai bersangkutan, misalnya indah-
jelek, baik-jahat dan lain sebagainya. Juga penting menunjuk adanya keterjalinan hakiki
antara nilai dan kewajiban ideal. Terdapat dalil bahwa semua kewajiban harus memiliki
dasarnya nilai, yaitu bahwa nilai harus ada atau tidak ada; nilai positif merupakan suatu
yang harus ada dan terwujud dalam realitas kehidupan, sedangkan nilai negatif harus
tidak ada dan tidak terwujud dalam realitas kehidupan.
Kajian terhadap suatu makna nilai yang terkandung dalam kearifan budaya dari
komunitas masyarakat, maka harus mengacu kepada pertimbangan nilai-nilai etika
dalam praktek sosial dalam suatu sistem budaya masyarakat sebagai faktanya.
Berdasarkan fakta inilah, maka nilai-nilai budaya dapat dimaknai dalam konteks
kebudayaan masyarakatnya. Salah satu kearifan budaya yang terdapat dalam kehidupan
masyarakat Sunda di antaranya menempatkan konsep silih asih, silih asah, silih asuh
sebagai suatu nilai kebersamaan dalam kehidupan komunitasnya untuk meningkatkan
kualitas kemanusian yang lebih baik. Menurut Suryalaga (2010; 123-145) dalam
tulisannya yang berjudul ”Silih Asuh – Silih Asah – Silih Asih (Kearifan Budaya Sunda
Dalam Proses Menata Lingkungan Hidup Yang Harmonis)” terdapat dalam bukunya
yang berjudul Kasundaan Rawayan Jati (2010), bahwa konsep tersebut merupakan
yargon yang sangat akrab bagi masyarakat Sunda dan sudah digunakan dalam
idiomatika nasional.
24
Seuntai yargon perlu dijelaskan atau dijabarkan arti harfiah serta pemaknaan
filosofinya, agar masyarakat mampu mencerna dan mengaplikasikan maksud
kandungan yargon tersebut dalam perilaku kehidupannya. Karuhun Sunda, para local
genius telah lebih awal membuat semacam tarekah, atau konsep-konsep bermasyarakat
agar anak-cucu serta alam lingkungan, baik mikro maupun makro selalu dalam tatanan
lingkungan hidup yang penuh harmoni. Hidup yang harmonis pada intinya adalah
kesadaran akan adanya saling ketergantungan dengan tidak melupakan jati diri dan
habitatnya masing-masing. Proses mewujudkan kehidupan yang harmonis secara
holistik ini merupakan hasil optimal dari sistem berkomunikasi ”Silih Asih, Silih Asah,
dan Silih Asuh”. Konsep ini adalah proses berkehidupan yang Silih Asih, Silih Asah,
dan Silih Asuh dikenal dengan akronim Silas atau 3 SA. Yargon atau motto tersebut
sangat dikenal di masyarakat Sunda (Suryalaga, 2010; 127).
Pemikiran Sumardjo mengemukaan konsep Silih Asah, Silih Asih, Silih Asuh
dalam urutan yang berbeda yang ditulis dalam bukunya yang berjudul Simbol-Simbol
Artefak Budaya Sunda: tafsir-tafsir pantun Sunda (2009), di dalamnya membahas
tentang Silih Asah Silih Asih Silih Asuh. Ungkapan itu berasal dari masa lampau Sunda,
dan dengan demikian harus diletakkan dalam ekologi budaya Sunda masa lampau juga.
Meskipun demikian, karena ini merupakan produk berpikir manusia Sunda, maka
ungkapan ini tetap relevan bagi masyarakat Sunda sekarang. Diakronik sejarah Sunda
pada awalnya mengenal tritangtu, yang dalam pengertian sosiobudayanya terdiri dari
kesatuan tiga kampung utama Baduy, yakni Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo.
Kampung paling tua (indung) adalah Cikeusik, yang berperan sebagai pemegang atau
25
pewaris norma-norma adat dari Karuhun. Cikeusik adalah pemilik mandat kekuasaan
(Sumardjo, 2009; 337,342).
Filosofi tritangtu ini berasal dari masa Sunda Kuna yang digunakan komunitas
Baduy menjadikan landasan mengatur pembagian kekuasaan yang dikenal Trias Politika
Sunda yang terdiri dari; resi, ratu, rama, yang dijadikan rujukan urutan silih asah, silih
asih, dan silih asuh. Secara ringkas Trias Politika Sunda terdiri dari Cikeusik (silih
asah), Cikertawana (silih asih), Cibeo (silih asuh). Resi adalah pendeta penguasa ilmu
dan pengetahuan agama, serta pemimpin dalam upacara-upacara keagamaan. Resi
adalah pemegang silih asahnya. Ratu adalah penguasa atau yang melaksanakan
kekuasaan praksis. Jadi, ratu atau raja daerah adalah pemegang silih asihnya, sedangkan
daerah-daerah paling luar dari Trias Politika itu adalah pemegang silih asuhnya.
Mengapa disebut rama?. Rama adalah kepala desa atau pemimpin-pemimpin lokal.
Kepala desa itu benar-benar bagian dari rakyat Sunda. Kesatuan resi, ratu, rama adalah
kesatuan golongan pendeta, raja, dan rakyat. Pendeta yang mengasah atau menggarami
raja dan rakyat dengan norma-norma kasundaan zaman itu, raja-raja yang menjalankan
dan mengawasi dilaksanakannya norma-norma itu, dan rakyat di desa-desa
mengamankan berjalannya kedua peran di atas (Sumardjo, 2009; 339).
Buku Pandangan Hidup Orang Sunda: Seperti Tercermin Dalam Tradisi Lisan
dan Sasta Sunda (1987), yang merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Warnaen dkk., (1987; 13,169), bahwa orang Sunda yakin pada kekuasaan Tuhan yang
merupakan dasar utama dari padangan hidup orang Sunda. Pada dasarnya hubungan
manusia dengan sesama manusia itu ”kudu silih asih silih asah jeung silih asuh,
terjemahannya harus saling mengasih, saling mengasah, dan saling mengasuh yang
26
dimaknai bahwa di antara sesama manusia harus saling mengasihi, saling mengasah,
dan saling mengasuh.
Konsep silih asih, silih asah, silih asuh (3 SA.) sebagai kearifan budaya Sunda
mengandung makna nilai membangun harmoni hubungan antar manusia yang saling
ketergantungan untuk membangun keberdayaan manusia dan keluarga dalam kehidupan
bermasyarakat yang berkualitas. Setiap manusia yang memiliki keberdayaan diri pada
hakikatnya membutuhkan keseimbangan dalam kesatuan antara jiwa dan raganya serta
asset yang dimilikinya berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab, sehingga
kekuatan tersebut dibutuhkan orang lain agar ditransformasikan kepada manusia yang
kurang memiliki keberdayaan sebagaimana mestinya. Karena itu, dalam membangun
kebersamaan kehidupan dalam masyarakat yang harmonis selalu berorientasi kepada
kedamaian dan kesejahteraan, sehingga membutuhkan landasan dalam melakukan
transformasi nilai melalui konsep 3 SA. antar manusia dalam komunitas masyarakatnya
antara manusia yang memiliki keberdayaan dengan yang kurang memiliki keberdayaan
dalam sistem pranata sosial masyarakatnya.
Konsep 3 SA. sebagai kearifan budaya Sunda adalah bertujuan membangun nilai
kebersamaan untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat yang memiliki
persamaan dengan konsep ’gotong-royong’ sebagai suatu nilai. Pengertian gotong-
royong yang mengandung nilai, di situ tentu ada hal-hal yang dipandang luhur, sebagai
contoh misalnya di dalam gotong-royong itu terdapat unsur keikhlasan menyumbang
tenaga, ketulusan dalam menolong, tanpa pamrih dan sebagainya. Menurut Mubarok
(1983; 24) dalam tulisannya berjudul Gotong Royong Sebagai Nilai dan Kemungkinan-
Kemungkinan Erosinya dalam buku Perubahan Nilai-Nilai di Indonesia (1983), bahwa
27
sebagai bagian dari budaya, nilai gotong royong pastilah juga tidak bebas dari
pengaruh-pengaruh elemen-elemen baru masuk dari budaya luar, yang secara potensial
dapat berpengaruh terhadap perubahan nilai tersebut. Persamaan kedua konsep nilai
tersebut terdapat pada sifat hakikat kodrat manusia, bahwa manusia sebagai makhluk
sosial pada hakikatnya saling membutuhkan dalam membangun kebersamaan.
Perbedaan konsep gotong-royong dengan silih asih, silih asah, silih asuh (3
SA.) adalah memiliki orientasi dalam kehidupan masyarakat yang berbeda. Konsep
gotong-royong lebih difokuskan untuk kepentingan sosial masyarakat yang melibatkan
partisipasi seluruh masyarakat, seperti perbaikan jalan, saluran, dan fasilitas umum,
tetapi terdapat kebiasaan komunitas masyarakat desa tertentu membangun rumah
dengan cara gotong-royong. Konsep 3 SA. berorientasi untuk meningkatkan kualitas
sumberdaya manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang dibangun
dari nilai kebersamaan dalam kehidupan keluarga dan masyarakat, sehingga terjadi
pemberdayaan manusia dalam kehidupan sosial keluarga maupun masyarakatnya.
Pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu dari strategi kebudayaan yang
bertujuan untuk mengangkat harkat martabat manusia agar fungsi dan kedudukannya
lebih baik dalam tatanan kehidupan sosialnya, sehingga ketidakberdayaan manusia
dalam kehidupannya didorong untuk mampu berkarya agar bermanfaat bagi diri dan
orang lain di lingkungan dunianya. Karena itu, konsep gerakan pemberdayaan
masyarakat mengutamakan inisiatif dan kreasi masyarakat dengan strategi pokok
adalah memberi kekuatan (power) kepada masyarakat yang kurang memiliki
keberdayaan. Memberikan kekuatan akan menghasilkan hirarki kekuatan dan ketiadaan
kekuatan, seperti yang dikemukakan oleh Simon dalam tulisan bukunya yang berjudul
28
Rethinking Empowerment (1990), dalam buku tersebut menurut Hikmat (2001; 144),
bahwa pemberdayaan adalah suatu aktifitas refleksif, suatu proses yang mampu
diinisiasikan dan dipertahankan hanya oleh agen atau subjek yang mencari kekuatan
atau penentuan diri sendiri (self-determination). Sementara proses lainnya hanya dengan
memberi iklim, hubungan, sumber-sumber dan alat-alat prosedural yang melaluinya,
sehingga masyarakat dapat meningkatkan kehidupannya.
Ide yang menempatkan pemberdayaan dari sekedar subjek dari dunianya sendiri
mendasari dibakukannya konsep pemberdayaan tersebut, yang menurut Hikmat (2001;
43-44) dalam bukunya yang berjudul ”Strategi Pemberdayaan Masyarakat” (2001),
bahwa proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan. Pertama, proses
pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian
kekuasaan, kekuatan, atau kemampuan kepada masyarakat agar individu yang
bersangkutan menjadi lebih berdaya (survival of the fittest). Proses ini mengacu kepada
pendapat Oakley dan Marsden (1984) dapat dilengkapi dengan upaya membangun aset
material guna mendukung pembangunan kemandiriannya melalui organisasi.
Kecenderungan atau proses yang pertama disebut sebagai kecenderungan primer dari
makna pemberdayaan. Kedua, atau kecenderungan sekunder yang mengacu kepada
pendapat Pranarka dan Vidhyandika (1996), menekankan pada proses menstimulasi,
mendorong, atau memotivasi agar individu mempunyai kemampuan atau keberdayaan
untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui dialog. Sesungguhnya di
antara kedua proses tersebut saling terkait, sehingga agar kecenderungan primer dapat
terwujud, seringkali harus melalui kecenderungan sekunder terlebih dahulu.
29
Ketidakberdayaan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup dari aspek
ekonomi, sosial, dan politik menyebabkan manusia menjadi miskin. Karena kemiskinan
muncul bukan sebagai sebab, tetapi lebih sebagai akibat dari adanya situasi
ketidakadilan, ketimpangan serta ketergantungan dalam struktur masyarakat akibat
ketidakberdayaannya. Menurut Chambers (1987; 145) dalam bukunya berjudul Rural
development putting the last first, bahwa inti dari masalah kemiskinan sebenarnya
terletak pada apa yang disebut deprivation trap atau ”perangkap kemiskinan” yang
terdiri dari lima unsur, yaitu: (1) kemiskinan itu sendiri, (2) kelemahan fisik, (3)
keterasingan atau kadar isolasi, (4) kerentanan, dan (5) ketidakberdayaan. Kelima unsur
ini seringkali saling berkait satu dengan yang lain dalam suatu jalinan interaksi timbal
balik, sehingga merupakan perangkap kemiskinan yang benar-benar berbahaya dan
mematikan peluang hidup masyarakat atau keluarga miskin.
Pendekatan struktural dalam mengungkap akar penyebab kemiskinan
masyarakat dapat terjadi di perkotaan maupun perdesaan, yang disebabkan terjadinya
perubahan sosial dan ekonomi yang terkait dengan disparitas geografis. Menurut Gilbert
dan Gugler (1996; 24) dalam buku “Urbanisasi dan kemiskinan di dunia ketiga” (1996),
bahwa faktor penyebab kemiskinan di dunia ketiga disebabkan oleh adanya perubahan
sosial dan ekonomi yang dikaitkan dengan munculnya disparitas geografis. Disparitas
ini terkait dengan karakter model ekonomi yang menopang pembangunan di dunia
ketiga dan disparitas pendapatan personal yang muncul. Ada tiga pola konsentrasi
spasial dan ketimpangannya berupa; disparitas sosial ekonomi antar wilayah perkotaan
dan perdesaan, disparitas sosial ekonomi antar negara, dan tingkat dominasi sebuah kota
terhadap struktur perkotaan (“keunggulan” perkotaan). Lebih lanjut pendapat Soemarjan
30
(1980; 5) yang menyoroti kemiskinan struktural, bahwa kemiskinan yang diderita oleh
suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat ikut
menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi masyarakat
miskin.
Kemiskinan di Indonesia dikaji dari aspek ekonomi yang dibahas oleh Soemitro
dan Tjiptoharjanto dalam bukunya yang berjudul “Kemiskinan dan Ketidakmerataan di
Indonesia” (2002), mengatakan bahwa sebab kemiskinan di Indonesia, baik yang terjadi
di perdesaan maupun di perkotaan pada tahun 1997 sampai akhir tahun 1998 mengalami
peningkatan yang dipicu karena adanya krisis moneter yang berkepanjangan. Untuk
penduduk perkotaan menderita lebih dasyat dibandingkan rekannya di perdesaan.
Pandangan tersebut diperkuat oleh pendapat Thorbecke (1999), terdapat dua
kemungkinan penjelasan untuk pertambahan yang lebih cepat dalam jumlah kaum
miskin perkotaan. Pertama, krisis cenderung memberi pengaruh terburuk kepada
beberapa sektor ekonomi utama di wilayah perkotaan seperti kontruksi, perdagangan
dan perbankan yang membawa dampak negatif terhadap pengangguran di perkotaan;
Kedua, sementara penduduk perdesaan dapat memenuhi tingkat subsistensi dari
produksi mereka sendiri, pertambahan harga bahan makanan mempengaruhi secara
negatif pembeli pada umumnya lebih banyak dibanding pengaruhnya pada produsen
makanan, yang mendatangkan penderitaan lebih banyak di antara rumah tangga
perkotaan dibandingkan perdesaan (Soemitro dan Tjiptoharjanto, 2002; 7).
Buku “Kemiskinan di Perkotaan” (1993), yang ditulis Suparlan, bahwa
kebudayaan kemiskinan yang terjadi karena adanya konteks sejarah. Namun lebih
cenderung untuk tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat-masyarakat yang
31
mempunyai seperangkat kondisi-kondisi sebagai berikut: 1) sistem ekonomi uang,
buruh upahan, dan sistem produksi untuk keuntungan, 2) tetap tingginya tingkat
pengangguran dan setengah pengangguran bagi tenaga tak terampil, 3) rendahnya upah
buruh, 4) tak berhasilnya golongan berpenghasilan rendah meningkatkan organisasi
sosial, ekonomi, dan politik secara sukarela maupun atas prakarsa pemerintah, 5) sistem
keluarga bilateral lebih menonjol dari pada sistem unilateral, dan 6) kuatnya
seperangkat nilai-nilai pada kelas yang berkuasa yang menekan penumpukan harta
kekayaan dan adanya kemungkinan mobilitas vertikal dan sikap hemat, serta ada
anggapan bahwa rendahnya status ekonomi sebagai hasil ketidaksanggupan pribadi atau
memang pada dasarnya sudah rendah kedudukannya (Suparlan, 1993; 5).
Beberapa penelitian yang terkait dengan tema penelitian di atas merupakan studi
yang bersifat parsial, karena masing-masing mengkaji dari dimensi dan perspektif yang
berbeda. Tulisan-tulisan tersebut telah memberikan informasi yang cukup mengenai
akar penyebab kemiskinan yang dapat disimpulkan bahwa, kemiskinan di perkotaan
maupun di perdesaan akibat terjadinya perubahan sosial ekonomi dalam disparitas
geografis dan struktur sosial masyarakat yang tidak dapat ikut menggunakan sumber-
sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi manusia dan masyarakat miskin yang
disebabkan karena nilai-nilai budaya yang dimilikinya mendorong kepada ketidak-
berdayaan diri dan ketergantungan kepada pihak lain. Karena itu, pemberdayaan
masyarakat miskin berlandaskan konsep 3 SA. menurut kearifan budaya Sunda
merupakan salah satu solusi dalam menanggulangi kemiskinan yang harus diungkap
secara esensial dari aspek kajian filsafat nilai.
32
Gambar 1:
Alur Kajian Makna 3 SA. Menurut Kearifan Budaya Sunda Dalam
Perspektif Filsafat Nilai: Relevansinya bagi Pemberdayaan Masyarakat Miskin
Makhluk Individu
Hakikat Sifat Kodrat Manusia (Monodualis)
Makhluk Sosial
Makna Nilai 3 SA. Menurut Kearifan Budaya Sunda:
Kajian Filsafat Nilai
ASPEK FORMAL
(1) Silih Asih
(2) Silih Asah
(3) Silih Asuh ASPEK MATERIAL
Nilai “Asih”
Nilai “Asah”
Nil Nilai “Asuh”
Nilai Ontologis
Nilai Epistemoligis
Nilai Aksiologis
HASIL PROSES “3 SA.”
FILOSOFI MASYARAKAT SUNDA
“SIRNA NING HURIP”
SILIH “WANGI”
(4)
Makhluk Individu Nilai “Wangi” :
Manusia berkualitas sebagai makhluk individu
Makhluk Sosial
Manusia Sunda
Nu Nyunda
dan makhluk sosial yang seimbang Masyarakat Sunda
Tata Tengtrem Kartaraharja
Salapan Rawayan
Manusia Utama
(9 Ciri Manusia Utama)
Masyarakat Sunda
Aman dan Sejahtera
RELEVANSINYA
BAGI :
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)
Mandiri di Perkotaan dan Perdesaan
Studi Kasus di Kota Bandung dan Kabupaten Sumedang
33
D. Landasan Teori.
Nilai merupakan kajian aksiologi dari cabang filsafat yang mulai muncul pada
akhir pertengahan abad 19, tetapi telah lama memegang peranan penting dalam kajian
ilmu filsafat sejak zaman Plato. Perkembangan filsafat nilai sejalan dengan
perkembangan fakta dalam kehidupan manusia, karena untuk menjelaskan suatu nilai
akan selalu diperbadingkan dengan fakta sebagai salah satu cara yang digunakan untuk
menjelaskannya (Peursen, 1990; 32). Karena itu, nilai dan fakta akan berkembang
sejalan dengan realitas kehidupan dari kebudayaan manusia dan masyarakat dalam
dimensi ruang dan waktunya. Mengungkap makna suatu nilai yang terkandung dalam
kearifan lokal masyarakat dilakukan melalui fakta yang terdapat dalam interaksi sosial
masyarakatnya, sehingga keberadaan nilai akan selalu berdasarkan fakta dari suatu
kebudayaan manusia dan masyarakatnya.
Teori nilai menurut Alisjahbana (1988; 153) menyelidiki proses dan isi
penilaian, yaitu proses-proses yang mendahului, menggiringkan, dan malahan
menentukan semua kelakuan manusia. Karena itu, teori nilai menghadapi manusia
sebagai makhluk yang berkelakuan yang menjadi objeknya. Umumnya kalau dalam
filsafat dalam membicarakan teori nilai, maka yang dimaksud ialah etik. Etik memang
merupakan bagian dari agama yang teintegrasi. Etik sebagai teori nilai, mencoba
menjelaskan nilai tertinggi atau nilai etik yang disebut kebaikan; dari padanya
dikembangkan norma-norma kelakuan baik dan buruk dalam hubungan keseluruhan
hidup. Karena tiap-tiap sistem etik itu dihubungkan dengan agama atau filsafat tertentu,
maka nilai kebaikan tetap tinggal relatif. Nilai kebaikan itu hanya berlaku dalam agama
atau filsafat tertentu, artinya dalam suatu sistem nilai tertentu.
34
Pendekatan aksiologis dalam mengungkap hakikat nilai menurut Kattsoff (1987;
331) dapat dijawab dengan tiga macam cara, orang dapat mengatakan bahwa: (1) nilai
sepenuhnya berhakikat subjektif. Ditinjau dari sudut pandangan ini, nilai-nilai
merupakan reaksi-reaksi yang diberikan oleh manusia sebagai pelaku dan
keberadaannya tergantung kepada pengalaman-pengalaman yang dinamakan
”subjektivitas”. Orang dapat mengatakan (2) nilai-nilai merupakan kenyataan-kenyataan
ditinjau dari segi ontologi, namun tidak terdapat dalam ruang dan waktu. Nilai-nilai
tersebut merupakan esensi-esensi logis dan dapat diketahui melalui akal. Pendirian ini
dinamakan ”objektivisme logis”. Akhirnya orang dapat mengatakan bahwa (3) nilai-
nilai merupakan unsur-unsur objektif yang menyusun kenyataan, yang disebut
”objektivitas metafisik”.
Mengungkap esensi makna nilai yang terdapat dalam kearifan budaya suatu
masyarakat harus menelusuri pandangan hidup dari komunitas bangsa tersebut, karena
dalam pandangan hidup terkandung konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-
citakan oleh suatu bangsa. Di dalamnya terkandung pikiran-pikiran yang terdalam dan
gagasan sesuatu bangsa mengenai wujud kehidupan yang dianggap baik. Pada akhirnya,
pandangan hidup sesuatu bangsa adalah suatu kristalisasi dari nilai-nilai yang dimiliki
oleh bangsa itu sendiri, yang diyakini kebenarannya dan menimbulkan tekad pada
bangsa itu untuk mewujudkannya. Dengan pandangan hidup yang jelas, sesuatu bangsa
akan memiliki pegangan dan pedoman bagaimana memecahkan masalah-masalah
politik, ekonomi, sosial dan budaya yang timbul dalam gerak masyarakat (Warnaen
dkk., 1987; 2).
35
Kristalisasi nilai-nilai yang terdapat dalam sesuatu bangsa inilah yang dapat
diungkap dalam pandangan hidup dari orientasi nilai yang terkandung pada kearifan
budaya masyarakat suatu suku bangsa, baik hakikat manusia sebagai pribadi, hubungan
manusia sesama manusia dan alam lingkungannya maupun dengan Tuhannya. Untuk
mengungkap orientasi nilai budaya, maka Kluckhohn dan Florence beranggapan bahwa,
dalam rangka sistem budaya dari tiap kebudayaan ada serangkaian konsep-konsep yang
abstrak dan luas ruang lingkupnya, yang hidup dalam alam pikiran dari sebagian besar
warga masyarakat, mengenai apa yang harus dianggap penting dan bernilai dalam
hidup. Sistem nilai budaya itu juga berfungsi sebagai suatu pedoman orientasi bagi
segala tindakan manusia dalam hidupnya. Suatu sistem nilai budaya merupakan sistem
tata tindakan yang lebih tinggi daripada sistem-sistem tata tindakan yang lain, seperti
sistem norma, hukum, hukum adat, aturan etika, aturan moral, aturan sopan santun, dan
sebagainya (Koentjaraningrat, 1990; 77).
Konsepsi mengenai isi dari sistem nilai budaya yang secara universal ada dalam
tiap kebudayaan di dunia, dikembangkan secara berangsur oleh Kluckhohn dan
Strodtbeck yang dibahas secara mendalam dalam bukunya berjudul: Variations in Value
Orientation (1961). Menurutnya, soal-soal yang paling tinggi nilainya dalam hidup
manusia dan yang ada dalam tiap kebudayaan di dunia, menyangkut paling sedikit lima
hal (Koentjaraningrat, 1990; 78). Salah satu dari kelima hal tersebut di antaranya adalah
masalah hakikat hubungan manusia dengan sesamanya disingkat MM, seperti tabel
berikut ini.
36
Tabel 1
Kerangka Kluckhohn Mengenai Lima Dasar Dalam Hidup Yang
Menentukan Orientasi Nilai-Nilai Budaya Manusia
MASALAH DASAR
DALAM HIDUP
ORIENTASI NILAI BUDAYA
Hakikat Hidup (MH)
Hidup itu Buruk
Hidup itu Baik
Hidup itu buruk, tetapi
manusia wajib berikhtiar
supaya hidup itu
menjadi baik
Hakikat Karya (MK)
Hidup itu untuk
Nafkah Hidup
Karya itu untuk
Kedudukan,
Kehormatan, dsb.
Karya itu untuk
menambah Karya
Persepsi Manusia
tentang Waktu (MW)
Orientasi
ke Masa Kini
Orientasi
ke Masa Lalu
Orientasi
ke Masa Depan
Pandangan Manusia
terhadap Alam (MA)
Manusia tunduk
kepada Alam
yang dasyat
Manusia berusaha
menjaga keselarasan
dengan Alam
Manusia berhasrat
menguasai Alam
Hakikat hubungan
Manusia dengan
Sesamanya (MM)
Orientasi Kolateral
(Horizontal, rasa
ketergantungan pada
Sesamanya (Berjiwa
Gotong Royong)
Orientasi Vertikal,
rasa ketergantungan
kepada Tokoh-
tokoh Atasan
dan berpangkat
Individualisme menilai
tinggi usaha atas
kekuatan sendiri
Sumber : Dikutip dari Koentjaraningrat (1990; 194).
Banyak kebudayaan sejak awal mengajarkan kepada warganya agar senantiasa
hidup bergotong-royong agar selalu ”duduk sama rendah berdiri sama tinggi”.
Kebudayaan-kebudayaan dengan variasi orientasi nilai budaya seperti ini, biasanya
mementingkan konsensus untuk kerjasama. Namun biasanya dalam kebudayaan yang
seperti itu, ada juga orang-orang yang selain mementingkan gotong-royong dengan
sesamanya (collaterality), juga selalu mengacu ke warga masyarakat yang senior,
berpangkat tinggi atau yang berasal dari golongan-golongan sosial yang tinggi. Warga-
warga masyarakat semacam itu, biasanya menjadi acuan restu dan contoh bertindak bagi
37
sebagian besar warga kebudayaan bersangkutan. Sebaliknya, banyak kebudayaan
menekankan pada hak asasi dari setiap individu menjadi warganya yang tidak boleh
diganggu gugat oleh siapapun. Dalam kebudayaan semacam ini, warga biasanya sejak
dini sudah diajarkan agar bersikap mandiri, karena keberhasilannya dalam hidup harus
diperoleh dengan upayanya sendiri tanpa campur tangan orang lain (individuality).
Dalam kebudayaan semacam itu berkembang berbagai aliran berpikir individualisme,
dan dalam kebudayaan yang mempunyai orientasi nilai budaya seperti kedudukan orang
dalam masyarakat didasarkan atas mutu dari hasil karyanya dan tidak atas senioritasnya,
pangkatnya, atau golongan sosialnya (Koentjaraningrat, 1990; 81- 82).
Hubungan manusia dengan sesama manusia selalu terdapat dalam kehidupan
masyarakat yang sifat hakikat kodratnya bahwa manusia bersifat monodualis. Artinya,
pada diri setiap manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial sebagai
satu-kesatuan tidak dapat dipisahkan, yang menurut Notonagoro (1995; 95) bahwa
hakikat manusia sebagai diri bersifat pribadi perseorangan atau individu dan juga
bersifat pribadi hidup bersama, pribadi bermasyarakat atau makhluk sosial. Sifat hakikat
kodrat manusia merupakan bagian dari uraian tentang hakikat kodrat manusia yang
diungkapkan oleh Notonagoro sebagai berikut: berhubung dengan hakikat manusia
merupakan keutuhan, keseluruhan, diri, dengan susunannya atas raga dan jiwa dalam
kedua-tunggalan, maka dengan sendirinya sebagai bawaannya yang semestinya ialah
bahwa baik sumber-sumber kemampuan jiwanya akal-rasa-kehendak maupun sifat-sifat
hakikatnya sebagai individu dan pribadi bermasyarakat atau makhluk sosial serta
kedudukan hakikatnya pribadi berdiri-sendiri dan makhluk Tuhan masing-masing, satu
sama lainnya, mewujudkan ketunggalan yang mutlak. Pemikiran tentang hakikat kodrat
38
Sifat
Kodrat
Kedudukan
Kodrat
manusia dalam perspektif pemikiran Notonagoro ini dapat diuraikan dalam bentuk
skema, yang dapat diperinci menurut Kaelan (2003; 163) sebagai berikut.
Unsur Benda Mati
Tubuh Unsur Tumbuhan (Vegetatif) (Raga) Unsur Binatang (Animal)
Susunan
Kodrat Monodualis
Akal
Jiwa Rasa
Kehendak
Hakikat Makhluk Individu
Kodrat Monodulis
Manusia Makhluk Sosial
Makhluk Berdiri Sendiri
Monodualis
Makhluk Tuhan
Sepuluh unsur manusia tersebut di atas tentu saja saling melengkapi satu dengan
yang lain dan merupakan satu kesatuan yang bulat. Kalau salah satu dari padanya tidak
ada, maka manusia tadi sudah bukan manusia lagi. Karena itulah, maka manusia
mempunyai unsur yang dikatakan monopluralis, terdiri dari banyak unsur yang
merupakan satu-kesatuan (Asdi, 2003; 12). Orientasi keterkaitan pemberdayaan
manusia dilakukan melalui susunan hakikat kodratnya, terdiri dari jiwa yang memiliki
unsur; akal, rasa, karsa yang bersatu dengan raganya yang terdiri dari unsur; benda mati,
tumbuhan, binatang sebagai satu-kesatuan, sehingga dalam kehidupannya harus mampu
berperan sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial sebagai satu-kesatuan yang
dilakukan secara dinamis dan seimbang menurut sifat hakikat kodratnya. Dalam
menjalankan kehidupan, maka manusia harus memahami kedudukan kodratnya sebagai
M
O
N
O
P
L
U
R
A
L
I
S
39
makhluk berdiri sendiri yang diberi kewenangan oleh Tuhan untuk menjalankan
kehidupannya, tetapi juga sebagai makhluk Tuhan yang memiliki konsekwensi wajib
patuh dan taat menjalankan perintahNya serta menjauhi segala laranganNya sebagai
satu-kesatuan yang seimbang dan bersifat normatif.
Ketidakberdayaan manusia yang telah dewasa, dalam arti belum mampu
memenuhi kebutuhan hidup secara layak berbentuk materi dan non-materi menurut
perspektif ekonomi disebut manusia miskin, yang pada hakikatnya kemiskinan adalah
ketidakmampuan diri mengotimalkan fungsi dari susunan hakikat kodratnya yang terdiri
dari jiwa dan raganya untuk mengelola sumber-sumber potensi ekonomi. Karena itu,
penguatan unsur jiwa yang terdiri dari kesatuan akal, rasa, dan karsa berada dalam
raganya harus dilakukan secara sinergis agar dapat mendorong keberdayaan diri sebagai
makhluk individu dan juga makhluk sosial dalam kehidupan keluarga dan masyarakat
secara seimbang. Kemampuan mendorong dan menyinergikan potensi pada susunan
hakikat kodrat ini akan menjadikan manusia berdaya, sehingga dapat memfungsikan
susunan hakikat kodrat pada dirinya secara optimal menjadikan manusia yang
bermartabat dalam kehidupan sosial masyarakatnya. Kemiskinan yang dialami manusia
pada hakikatnya akibat ketidakberdayaan melakukan penguatan kesatuan unsur jiwa dan
raganya, sehingga berpengaruh terhadap ketidakmampuan sebagai makhluk individu
dalam memenuhi kebutuhan hidup atas diri dan keluarganya melalui kehidupan bersama
sebagai makhluk sosial.
Posisi manusia sebagai makhluk individu membutuhkan nilai-nilai keberdayaan
diri yang ditumbuhkembangkan melalui proses tolong-menolong dalam kehidupan
bersama sebagai makhluk sosial, sehingga kehidupan bersama mempunyai arti yang
40
sangat penting menjadikan falsafah yang bernilai dalam kehidupan masyarakat untuk
memberdayakan manusia lainnya dalam komunitasnya. Pada hakikatnya dalam
kehidupan manusia satu dengan manusia lainnya selalu saling berhubungan dan saling
ketergantungan serta saling membutuhkan untuk pemberdayaan diri dalam kehidupan
sosial di lingkungan keluarga dan masyarakatnya. Pola-pola kebersamaan dalam
membangun kehidupan yang baik selalu dimiliki oleh setiap manusia dan masyarakat
dalam bentuk persamaan maupun perbedaan, yang secara psikologis sesuai dengan
karakteristik manusia maupun komunitas masyarakat yang muncul dalam bentuk
kearifan lokal dalam kebudayaannya.
Keputusan manusia dalam memilih suatu nilai menjadikan sikap dan perilaku
atas aktivitasnya akan selalu berkaitan dengan unsur-unsur yang ada pada diri manusia,
seperti jasmani, cipta, rasa, karsa dan keyakinan yang dimilikinya. Sesuatu dipandang
bernilai karena berguna, maka disebut nilai kegunaan, bila benar dipandang bernilai
disebut nilai kebenaran. Bila sesuatu yang baik dipandang bernilai, maka disebut nilai
kebaikan atau nilai moral yang mengandung nilai etis, dan sesuatu yang indah
dipandang bernilai disebut nilai keindahan (estetis). Karena itu, di dalam suatu nilai
mengandung makna kualitas yang menampilkan polaritas dari aspek positif maupun
aspek negatif yang berlawanan.
Nilai dalam kehidupan masyarakat Sunda merupakan suatu yang penting untuk
membangun kebersamaan hidup manusia dalam keluarga dan komunitas masyarakatnya
mengacu kepada konsep silih asih, silih asah, dan silih asuh (3 SA.). Konsep tersebut
merupakan kearifan lokal (local wisdom) budaya Sunda dalam bermasyarakat agar
hidup harmonis dan saling tolong-menolong antara manusia yang memiliki keberdayaan
41
dengan manusia yang mengalami ketidakberdayaan memenuhi kebutuhan hidupnya
untuk mencapai keseimbangan hidup lahir batin manjadikan kehidupan keluarga dan
masyarakat yang berkualitas. Konsep tersebut dipraktekkan dalam kehidupan
masyarakat melalui interaksi sosial dalam keluarga dan komunitas masyarakatnya. Silih
asih, silih asah, dan silih asuh sebagai suatu konsep yang dipratekkan dalam kehidupan
bermasyarakat yang terdapat pada kearifan budayanya, ternyata mengandung nilai-nilai
menjadikan suatu pedoman dalam kehidupan bermasyarakat. Karena itu, untuk
memahami maknanya harus diungkap dalam perspektif filsafat nilai yang terkadung di
dalam kearifan budayanya.
Kearifan lokal memuat konsep-konsep dan sistem pengetahuan masyarakat
merupakan objek kajian. Dalam hal ini kearifan lokal sebagai pandangan hidup dapat
dikaji secara ilmiah dengan tata-cara filsafat (Sartini, 2009; 25). Ducasse berpendirian,
filsafat adalah suatu usaha mencari pengetahuan, dan bahwa pengetahuan yang
dicarinya ialah mengenai fakta-fakta yang dinamakan ”penilaian”. Penilaian terjadi jika
menggunakan kata-kata sifat seperti, baik dan buruk, susila dan tidak susila, sehat dan
khilaf, dapat dipercaya dan mengkhayal, sah dan salah, dan sebagainya. Dengan
perkataan lain, Ducasse memandang filsafat sebagai suatu usaha mencari makna yang
diberikan bila membuat penilaian-penilaian tersebut (Kattsoff, 1987; 68). Mengungkap
makna kata sifat yang terdapat dalam kearifan lokal dan mengandung suatu nilai, maka
dibutuhkan kajian filsafat nilai mengikuti prinsip kerja hermeneutika, yang menurut
Schleiermacher (1977; 22) adalah untuk menangkap objek geist, yang terkandung dalam
objek penelitian. Objek geist dapat diartikan makna yang terdalam, hakikat nilai yang
terkandung dalam objek penelitian.
42
Penilaian yang terdapat dalam fakta-fakta untuk mengungkap makna silih asih,
silih asah, dan silih asuh dalam kearifan budaya Sunda bertujuan untuk membangun
hubungan manusia dengan sesamanya dan terjadi dalam satu lapangan kehidupan, yang
memiliki variasi orientasi nilai budaya dalam sistem nilai budayanya. Kluckhohn dan
Strodtbeck membedakan adanya paling sedikit 4 (empat) lapangan hidup, yaitu: (1)
lapangan hidup keluarga, (2) lapangan hidup sosial, (3) lapangan hidup pekerjaan dan
profesi, dan (4) lapangan hidup agama. Manusia sering berinteraksi dalam berbagai
lapangan hidup, yang masing-masing terdiri dari jaringan manusia yang berbeda-beda.
Kaitan dengan masalah hubungan manusia sesama manusia dalam lapangan hidup
keluarga, misalnya, orang yang berinteraksi ke nilai budaya collateral dan gotong-
royong (Koentjaraningrat, 1990; 81-82). Penilaian terhadap makna silih asih, silih asah,
dan silih asuh menurut kearifan budaya Sunda dalam lapangan kehidupan tersebut akan
berbeda-beda menurut karakteristik manusia dan masyarakatnya pada dimensi ruang
dan waktunya sesuai dengan sistem nilai budayanya. Karena itu, orientasi nilai budaya
tersebut dalam masyarakat Sunda memiliki perberdaan antara karakteristik masyarakat
yang tinggal di perkotaan dan perdesaan.
Silih asih, silih asah, dan silih asuh dalam kearifan budaya Sunda diidentifikasi
sebagai nilai budaya yang berorientasi collateral. Mengacu kepada pemikiran
Koentjaraningrat, bahwa pola-pola collateral dan gotong-royong terdapat dalam
komunitas masyarakat pada setiap suku bangsa yang memiliki nilai budaya yang
berbeda mengacu kepada orientasi hakikat hidup, hakikat karya, persepsi terhadap
waktu, dan pandangannya terhadap alam. Menurut Mubarok (1983; 28), bahwa dalam
pengertian gotong-royong yang mengandung suatu nilai, maka di situ tentu ada hal-hal
43
yang dipandang luhur. Contoh misalnya di dalam gotong-royong itu antara lain terdapat
unsur keikhlasan menyumbang tenaga, ketulusan dalam menolong tanpa pamrih dan
sebagainya. Itulah yang dipandang luhur. Di situ pulalah terkandung nilai gotong-
royong. Perhitungan yang sifatanya material diletakkan di bagian akhir. Faktor imbalan
materi tidak menjadi persoalan di dalam pengertian gotong-royong sebagai nilai.
Sepanjang menyangkut nilai gotong-royong dalam artian di atas itu terangkum di dalam
kebudayaan.
Kedudukan local genius itu sentral menurut Poespowardojo (1986; 33), karena
merupakan kekuatan yang mampu bertahan terhadap unsur-unsur yang datang dari luar
dan yang mampu pula berkembang untuk masa-masa mendatang. Hilangnya atau
musnahnya local genius berarti pula memudarnya kepribadian suatu masyarakat,
sedangkan kuatnya local genius untuk bertahan dan berkembang menunjukkan pula
kepribadian masyarakat itu. Pendapat Poespowardojo tersebut menurut Mundardjito
(1986; 41) mengutip perumusan local genius dari Quaritch Wales dengan memperluas
pengertian cultural characteristic yang sifatnya fenomenologis kepada yang bersifat
kognitif, yaitu: (1) orientasi, yang menunjukkan pandangan hidup dan sistem nilai dari
masyarakat, (2) persepsi, yang menggambarkan tanggapan masyarakat terhadap dunia
luar, (3) pola dan sikap hidup, yang mewujudkan tingkah laku masyarakat sehari-hari,
dan (4) gaya hidup, yang mewarisi peri kehidupan masyarakat. Berusaha
mengidentifikasi local genius dari kebudayaan Indonesia masa lalu dalam tingkat-
tingkat: (1) sampai (4) tersebut tentu tidaklah semudah menyelusuri kebudayaan
kontemporer yang sekarang masih hidup. Karena itu agaknya perlu menengok sejenak
ke belakang untuk memahami apa sebenarnya hakikat data arkeologi. Redaksi
44
fenemonologis itu sudah tentu berakibat pada cara-cara penelitian yang akan
diselenggarakan, yang di Amerika Serikat dianggap yang berkecimpung dalam lapangan
studi cognitive archeology.
Kesulitan yang akan dihadapi dalam mengungkap penelitian local genius adalah
ketersediaan data-data sejarah kebudayaan Sunda pada masa lalu yang bersifat tertulis
yang mengandung kearifan lokal, untuk dapat diungkapkan pada masa kini sangatlah
minim. Karena menurut Rosidi (2010; 54), bahwa dalam falsafah Sunda tidak akan
banyak menemukan hasil pemikiran orang Sunda yang tertulis, sehingga tradisi lisanlah
yang digunakan dalam menurunkan pemikiran nenek-moyang kepada anak-cucunya
dengan berbagai cara termasuk dalam menyampaikan kearifan hidupnya. Ungkapan
silih asih, silih asah, dan silih asuh yang mengandung makna nilai kearifan budaya yang
ditelusuri dan diidentifikasi sebagai local genius pada masyarakat Sunda pada masa
lalu, maka akan menghadapi kesulitan data arkeologi yang bersifat terbatas.
Penelusuran dalam memahami suatu makna kata yang mengandung nilai budaya
dapat menggunakan pendekatan hermeneutika dalam lingkup penelitian filsafat dengan
melakukan dekonstruksi terhadap makna kata yang dihubungkan secara fenomenologis
terhadap realitas sosial yang terjadi pada konteks kekinian. Tentunya, orientasi nilai
budaya tersebut dalam perspektif masa kini akan mengalami perubahan menghadapi
perkembangan kebudayaan masyarakat Sunda yang dipengaruhi modernisasi dalam
proses akulturasi yang tidak dapat dihindari. Dalam perubahan nilai budaya tersebut
dapat saja terjadi pendangkalan, akibat dominasi nilai budaya asing, atau sebaliknya
dapat juga mengalami penguatan dari aspek-aspek tertentu dalam kebudayaannya,
45
akibat terjadi integrasi budaya masyarakat yang mampu menyerap unsur kebudayaan
asing dalam memperkokoh kebudayaan setempat.
Penelusuran makna kata, menurut Haidegger bahwa; ”penelusuran etimologis
terhadap setiap kata pasti akan berujung pada makna yang dikandungnya dan akan
sampai kepada hakikat benda(nya)”. Untuk mengkaji makna suatu kata atau kalimat
dalam ilmu sastra dikenal semiotika dan hermeneutika yang dalam sastra Sunda dikenal
dengan Pancacuriga, yaitu kemampuan untuk memaknai sesuatu secara: (a) Silib, yaitu
sesuatu yang dikatakan secara tidak langsung tetapi dikiaskan pada hal lain (Bahasa
Inggris, allude), (b) Sindir, sesuatu yang dikatakan secara tidak langsung tetapi
menggunakan susunan kalimat yang berbeda (Bahasa Inggris, allusion), (c) Simbul,
menyampaikan suatu maksud dalam bentuk lambang (Bahasa Inggris, symbol, icon), (d)
Suluk-Siloka, menyampaikan sesuatu maksud dalam bentuk pengandaian (Bahasa
Inggris, aphorism), (e) Sasmita, pemaknaan yang berkaitan dengan perasaan hati
(Bahasa Inggris, deep aphorism). Di lingkungan komunitas Sunda ada kebiasaan
memaknai kata berdasarkan kaidah memet (penggalan suku kata, silabik), dan kirata-
basa (dikira-kira supaya nyata), yaitu kemampuan memaknai secara acak tetapi
dianggap mengandung makna yang benar (Suryalaga, 2010; 80, 111).
Mengkaji makna nilai 3 SA. sebagai kearifan budaya Sunda pada fenomenologi
dimensi masa lalu dalam perkembangan hingga masa kini, maka dapat ditelusuri
melalui dekonstruksi pemikiran terhadap makna kearifan budaya dalam kata yang
terkandung di dalamnya. Metode dekonstruksi ini telah diperkenalkan oleh Derrida
yang merupakan seorang filsuf pada masa ‘postmodernisme’, yang berorientasi pada
filsafat bahasa dengan menempatkan bahasa tulis sebagai prioritas utama. Menurut
46
pemikiran Derrida yang menjadi asal mula adalah gagasan yang didasarkan atas jejak,
dan bukan sebaliknya. Hal ini yang diistilahkan dengan ‘pro writing’, yang mulai
bekerja dan merupakan asal-usul arti. Karena bersifat sementara di alam ini, arti tidak
pernah tampil begitu saja tetapi selalu dalam keadaan terbawa dalam ‘gerakan’ jejak,
yaitu yang dimaksudkan sebagai pemberi arti. Tulisan akan menghilang ketika ucapan
mencapai suatu kesempurnaannya,dan akan sepenuhnya ditampilkan dalam pemindahan
sistem penulisannya, dan segera hadir pada subjek yang mengucapkannya, dan pada
ucapan itu tulisan memperoleh arti, isi serta nilainya (Derrida, 1981; 36-37). Makna
tulisan seakan-akan keluar atau diturunkan dari tulisan. Gagasan ini diistilahkan dengan
archi writing, yang berarti ‘waktu’ sebelum waktu, bahasa sebelum bahasa yang dipakai
saat ini (Kaelan, 2009; 316).
Makna nilai 3 SA. mengandung satu unsur kata yang sama berupa silih artinya
saling, yang menurut Suryalaga (2010; 107-122) dengan penggunaan kata saling sudah
menunjukkan adanya gerak aktif dari pihak-pihak yang bersangkutan, suatu kegiatan
yang bersifat resiprokal, saling memberi respon dengan penuh kesantunan. Substansi
silih asih lebih cenderung kepada kualitas intrinsik yang berada dalam batiniah
seseorang. Bila rasa asih telah bersemayam dalam batiniah setiap insan, maka hubungan
sosialpun akan selalu dilandasi dengan getaran-getaran keindahan nilai manusiawi yang
harmoni, yang berakhir pada kebahagiaan bersama. Selanjutnya, konsep dasar silih asah
adalah saling mencerdaskan, saling menambah ilmu pengetahuan, memperluas wawasan
dan pengalaman lahir batin. Capaian akhirnya adalah peningkatan kualitas kemanusiaan
dalam segala aspeknya, baik pada tataran kognisi, afeksi, spritual maupun psikomotorik.
Silih asuh berasal dari kata asuh mengandung makna membimbing, menjaga,
47
mengayomi, memperhatikan, mengarahkan, membina secara seksama dengan harapan
agar selamat lahir batin dan bahagia dunia akhirat. Orientasi nilai budaya tersebut
bertujuan untuk mewujudkan masyarakat tatar Sunda yang tata tentrem karta rahaja
(hidup tentram dan sejahtera).
Berdasarkan uraian makna nilai silih asih, silih asah, dan silih asuh sebagai suatu
kearifan budaya Sunda, menurut Suryalaga (2010; 144) sarat dengan nilai-nilai
kemanusiaan yang universal. Bila makna nilai tersebut disimpulkan adalah bertujuan
untuk membangun harmonisasi kehidupan keluarga dan masyarakat yang bertumpu
pada orientasi ”pemberdayaan” manusia yang bersifat monodualis sebagai makhluk
individu dan makhluk sosial sebagai satu-kesatuan. Karena dalam pemberdayaan
menurut Wrihartonolo dan Dwijowiyoto (2007; 2), adalah sebuah ”proses menjadi”,
bukan sebuah ”proses instan”. Sebagai suatu proses, maka pemberdayaan mempunyai
tiga tahapan: penyadaran, pengkapasitasan, dan pendayaan.
Tahap pertama adalah penyadaran. Pada tahap ini target yang hendak
diberdayakan diberikan ”pencerahan” dalam bentuk pemberian penyadaran, bahwa
memiliki hak untuk mempunyai ”sesuatu”. Misalnya, target adalah kelompok
masyarakat miskin diberikan pemahaman bahwa keberadaannya dapat menjadi berada,
dan itu dapat dilakukan jika mempunyai kapasitas untuk keluar dari kemiskinannya.
Setelah menyadari, tahap kedua adalah pengkapasitasan. Inilah yang sering disebut
”capacity building” atau bahasa yang lebih sederhana memampukan atau enabling.
Proses capacity building terdiri atas tiga jenis, yaitu manusia, organisasi, dan nilai.
Pengkapasitasan manusia dalam arti memampukan manusia, baik konteks individu
maupun kelompok. Pengkapasitasan organisasi dilakukan dalam bentuk restrukturisasi
48
organisasi yang hendak menerima daya atau kapasitas tersebut. Pengkapasitasan ketiga
adalah sistem nilai. Setelah orang dan wadahnya dikapasitaskan, maka sistem nilaipun
demikian. Tahap ketiga dalam pemberian daya itu sendiri atau ”empowerment” dalam
makna sempit. Pada tahap ini, kepada target diberikan daya, kekuasaan, otoritas atau
peluang (Wrihartono & Dwidjowijoto, 2007 ; 3-7).
Berdasarkan uraian di atas, menunjukkan bahwa pemberdayaan masyarakat
membutuhkan tahapan yang merupakan suatu proses yang berurutan dan tersistem
secara komprehensif dengan memiliki tujuan adalah meningkatkan keberdayaan
masyarakat. Pemberdayaan masyarakat sebagai suatu proses mengacu kepada ciri-ciri
berpikir kefilsafatan harus bersifat universal, konseptual, koheren, dan sistematis.
Berpikir secara universal adalah berpikir tentang hal-hal dan proses-proses yang bersifat
umum dari umat manusia (common experience of mankind). Berpikir konseptual adalah
berpikir dari hasil generalisasi (perumusan) dan abstraksi dari pengalaman tentang hal-
hal dan proses-proses individual. Berpikir koheren adalah berpikir menaati kaidah-
kaidah berpikir logis, atau berpikir yang berhubungan dengan sesuatu gagasan umum,
asas umum, atau tatanan umum. Berpikir sistematis adalah berpikir yang terdiri dari
unsur-unsur yang saling berhubungan secara teratur mempunyai tujuan tertentu
(Mudhofir, 2001; 278-279). Mengkaji relevansi makna nilai silih asih, silih asah, silih
asuh dalam kearifan budaya Sunda bagi pemberdayaan masyarakat miskin sebagai
metode pemberdayaan masyarakat mengacu pada ciri-ciri berpikir kefilsafatan tersebut.
Pengungkapan makna nilai yang terkandung di dalamnya merupakan kajian filsafat nilai
terhadap implementasi program yang bersifat praksis menjadi fakta yang di dalamnya
mengandung nilai-nilai budaya yang diungkap dalam penelitian ini.
49
Gambar 2:
Kajian Makna Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh Menurut Kearifan Budaya Sunda
Dalam Perspektif Filsafat Nilai: Relevansinya Bagi Pemberdayaan Masyarakat Miskin
MASYARAKAT Makhluk Hakikat Makhluk MASYARAKAT
TIDAK MISKIN Individu Sifat Kodrat Sosial MISKIN
Manusia
(Monodualis)
Program Pemberdayaan
Masyarakat Miskin:
ASPEK FORMAL
Kajian
Aksiologis
Nilai Kearifan Lokal
Budaya Sunda
Metode Pemberdayaan
Masyarakat Berorientasi
Nilai “3 SA.” A
S
1 P
Silah “Asih” E
K
2
Silih “Asah” M
3 A
T
Silih “Asuh” E
4 R
I
Silih “Wangi” A
L
Hasil Pemberdayaan
Masayarakat
Manusia Sunda Nu Nyunda
(Salapan Rawayan
Manusia Utama)
Masyarakat Tata
Tengtrem Kartaraharja
(Tentram dan Sejahtera)
Program Nasional Pem-
berdayaan Masyarakat
(PNPM) Mandiri
Tahapan Program
Pemberdayaan Masyarakat
Tahap Persiapan & Perencanaan
Tahap Pelaksanaan
Tahap Monitoring
Tahap Penyiapan Keberlanjutan
Hasil Program Pemberdayaan
Masyarakat
Masyarakat Berdaya,
Masyarakat Mandiri,
Masyarakat Madani
Nilai-nilai Universal Kema-
nusiaan Dalam Program
Pemberdayaan Masyarakat
Miskin: Dapat Dipercaya, Ikhlas,
Kejujuran, Keadilan, Kesetaraan,
Kebersamaan dalam Keragaman
Prinsip Universal
Kemasyarakatan:
(1) Demokrasi, (2) Partisipasi,
(3) Transparansi & Akuntabilitas,
(4) Desentralisasi
Prinsip Universal
Pembangunan Keberlanjutan
(1) Perlindungan Lingkungan, (2) Pengembangan Masyarakat (3) Pengembangan Ekonomi
50
E. Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif bidang filsafat dengan berobjek formal
filsafat nilai, sedangkan objek materialnya adalah makna silih asih, silih asah, silih asuh
menurut kearifan budaya Sunda. Metode penelitian meliputi; materi/bahan penelitian
yang diperoleh dari sumber data primer dan sekunder, cara penelitian merupakan teknik
pengumpulan data primer dan sekunder, jalan penelitian adalah merupakan prosedur
pengumpulan data, pengolahan data, dan analisis data.
1. Materi/bahan Penelitian.
Materi/bahan penelitian diperoleh dari dua jenis sumber data, yaitu sumber data
primer dan data sekunder.
(a) Data Primer.
Sumber data primer diambil dari literatur yang diperoleh dari buku, jurnal,
makalah, naskah, berbagai tulisan lain yang dapat dipertanggungjawabkan validitasnya
berkaitan dengan makna silih asih, silih asah, silih asuh dan kearifan budaya Sunda
berkaitan dengan filsafat nilai. Buku yang berkaitan dengan filsafat nilai sebagai bahan
acuan menggunakan tulisan Frondizi, Risieri; What is Value? An Introduction to
Axiology (1963), Illinois/La Salle, Open Court Publishing Company dan tulisan Scheler,
Max, Formalism in Ethics and Non-formal Ethics of Values (1973) diterjemahkan oleh
Manfred S. Frings & Roger C. Funk, Evanston; Nortwestern University Press serta
ditunjang teori filsafat nilai lainnya yang tercantum daftar pustaka. Buku dan Jurnal
yang berkaitan dengan makna silih asih, silih asah, silih asuh dalam perspektif kearifan
budaya Sunda antara lain sebagai berikut;
51
a. Kenang-Kenangan P.A.A. Djajadiningrat (1936), Djokja, Koff-Buning.
b. The Making of Greater India: A Study of South East Asian Culture Change (1948),
dalam Journal of Royal Asiatic Society.
c. Local Genius end Oud Javanse Kunst (1952), dalam Mededeelingen der Koninklijke
Academie voor Wetenschappen.
d. Universal Categoies of Culture (1953), Chicago, University Press.
e. Sadjarah Sunda (1960), Bandung, Ganaco.
f. Adat Istiadat Oerang Soenda (1965), Bandung, PT. Alumni.
g. Lain Eta (1965), Bandung, Pustaka Sunda.
h. Tjarita Parahyangan (1968), Bandung, Yayasan Kebudayaan Nusalarang.
i. The Interpretation of Culture (1973), New York, Basic Book, Inc., Publisher.
j. Culture Behavior and Personality (1973), London, Hiuchkinson.
k. Tarumanagara: Jawa Barat dari Prasejarah hingga Penyebaran Agama Islam
(1975), Bandung, Pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi Jawa Barat.
l. Strategi Kebudayaan (1976), Kanisius, Yogyakarta.
m. Sanghyang Siksakandang Karesian (1981), Bandung, Proyek Pengembangan
Permuseuman.
n. Sasakala Maribaya (1981), Bandung, Tarate.
o. Amanat Dari Galunggung (1981), Bandung, LKUP.
p. Uga Kawesan (1981), Bandung, Kujang.
q. Bujangga Manik’s Journeys Through Java (1982), Bandung, BKI.
r. Prabu Siliwangi atau Ratu Purana Prebu Guru Dewataprana Sri Baduga Maharaja
Taru Haji Di Pakwan Pajajaran 1474-1513 (1984), Jakarta, PT.Dunia Pustaka Jaya.
52
s. Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya (1984), Bandung, Girimukti Pusaka.
t. Filsafat Kebudayaan: Sebuah Pengantar (1984), Yogyakarta, Cetakan Pertama,
Kanisius.
u. Refleksi Budaya Sunda dari Pengamatan Temuan Arkeologi (1986), Bandung,
Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara, Bagian Proyek Penelitian
dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi), Depdikbud.
v. Nagarakretabumi (1986), Bandung, Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian
Kebudayaan Sunda, Depdiknas.
w. Lebe Kabayan (1986), Bandung, Rahmad Cijulang.
x. Pengertian Local Genius dan Relevansinya dalam Modernisasi (1986), Jakarta, PT.
Dunia Pustaka Jaya.
y. Peranan Local Genius dalam Kebudayaan (Ikhtisar Tanggapan) (1986), Jakarta,
PT. Dunia Pustaka Jaya,
z. Pandangan Hidup Orang Sunda: Seperti Tercermin dalam Tradisi Lisan dan Sastra
Sunda (Laporan Penelitian I,II,III) (1987-1988), Bandung, Bagian Proyek Penelitian
dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Direktorat Jenderal Kebudayaan,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
aa. Identifikasi Bahasa yang Hidup Pada Masa Pakuan Pajajaran (1991), Bogor,
Makalah Seminar Nasional Sastra dan Sejarah Pakuan Pajajaran.
bb. Filsafat Moral: Kesusilaaan Dalam Teori dan Praktek (1999), Bandung, Penerbit
CV. Pustaka Grafika.
cc. The University Mission in The Realization of The “Silih Asih, Silih Asah, Silih
Asuh” Academic Life (1994).
53
dd. Post Modernisme – Tantangan bagi Filsafat (1996), Yogyakarta, Cetakan Kelima,
Kanisius.
ee. Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawarsa) (1997), Bandung, Cetakan Kedua,
CV. Geger Sunten.
ff. Etika (2002), Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama.
gg. Naskah Sunda: Sumber Pengetahuan Budaya Sunda (2006), Bandung, Yayasan
Kebudayaan Rancage bekerjasama dengan PT. Dunia Pustaka Jaya,
hh. Sunda dan Kasundaan: Sebagai Penanda Entitas Etnis Lokal di Wilayah Jawa
Barat dalam Lingkungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (2006), Bandung,
Badan Pembina Citra (BPC) Siliwangi.
ii. Kearifan Tradisional: Warisan Sejarah Sunda, (2006), Bandung, Yayasan
Kebudayaan Rancage bekerjasama dengan PT. Dunia Pustaka Jaya.
jj. Filsafat Sunda: Sekilas Interpretasi Folklor Sunda (2009), Bandung, Yayasan Nur
Hidayah.
kk. Simbol-Simbol Artefak Budaya Sunda: tasir-tafsir pantun Sunda (2009), Bandung,
Cetakan Pertama, Penerbit Kelir.
ll. Pengaruh Perilaku Budaya Sunda Dan Kepemimpinan Serta Orientasi Gender
Terhadap Etos Kerja Di Lingkungan Bisnis Perbankan Di Kotamadya Bandung
(2009), Bandung, Program Doktor Ilmu Ekonomi, Program Pascasarjana,
Universitas Katolik Parahyangan.
mm. Kesundaan Rawayan Jati (2010), Bandung, Yayasan Nur Hidayah.
nn. Mancari Sosok Manusia Sunda: Sekumpulan Gagasan dan Pikiran (2010), Jakarta,
Cetakan Pertama, PT. Dunia Pustaka Jaya.
54
oo. Masyarakat Adat: Ada, tetapi Ditiadakan (2010), Bandung, dalam Selisik Harian
Umum Pikiran Rakyat, 2 Agustus 2010, Hal. 27-29,
pp. Nilai-Nilai Budaya Sunda Sebagai Produk Sejarah (2011), Bandung, Faculty of
Letters Universitas Padjadjaran, Part Two.
qq. Dulur Jeung Batur Salembur” sebagai Falsafat Profesi Turun-Temurun (2011),
Bandung, Faculty of Letters Universitas Padjadjaran.
rr. Kontribusi Nilai-Nilai Budaya Sunda Terhadap Pembentukan Karakter Anak Di
DalamKeluarga (2011), Bandung, Faculty of Letters Universitas Padjadjaran.
ss. Filsafat Moral: Kesusilaan Dalam Teori dan Praktek (1999), Bandung, CV.Pustaka
Grafika.
tt. Agama Islam dan Budaya Sunda (2006), Bandung, Penerbit Yayasan Kebudayaan
Rancage bekerjasama dengan PT. Dunia Pustaka Jaya.
uu. Kebudayaan Sunda Konservasi, Rekonstruksi, Dan Tarsformasi (2006), Bandung,
Yayasan Kebudayaan Rancage bekerjasama dengan PT. Dunia Pustaka Jaya.
vv. Filsafat Sunda Vs Pengetahuan Barat (2007), Jakarta, Harian Umum Kompas (18-
8-2007).
ww.Budaya Sunda: Melintasi Waktu Menantang Masa Depan (2008), Bandung,
Lembaga Penelitian UNPAD dan Judistira Garna Foundation.
xx. Kebudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah (2009), Jakarta, PT. Dunia Pustaka
Jaya.
yy. Kearifan Lokal Dalam Perspektif Budaya Sunda (2011), Bandung, Cetakan
Pertama, PT. Kiblat Buku Utama.
zz. Ragam Pesona Budaya Sunda (2011), Jakarta, Cetakan Pertama, Ghalia Indonesia.
55
Materi/bahan penelitian tersebut di atas juga didukung oleh litertur Filsafat
Manusia, Filsafat Pancasila, Filsafat sosial, Filsafat Ekonomi dan literatur lainnya yang
berkaitan dengan relevansi pemberdayaan masyarakat miskin yang tercantum dalam
daftar pustaka.
(b). Data Sekunder
Studi observasi lapangan dilakukan dengan cara penelitian lapangan terhadap
objek penelitian (field research), yaitu jenis data sekunder yang diperoleh dari
wawancara kepada informan untuk mengungkap pemikirannya berkaitan dengan
perumusan masalah penelitian yang telah ditentukan berupa angket dalam bentuk
pertanyaan terbuka (Lampiran 4). Jenis pertanyaan ditujukan kepada dua kelompok
untuk orang miskin dan orang yang tidak miskin yang memiliki keterkaitan dalam
program pemberdayaan masyarakat.
2. Cara Penelitian.
Pengumpulan data dalam riset kepustakaan yang merupakan data primer
dilakukan dengan cara mengelompokkan data yang sejenis, yaitu jenis data yang terkait
dengan makna 3 SA., kearifan budaya Sunda, filsafat nilai, pemberdayaan masyarakat
dan kemiskinan. Data tersebut kemudian dipilah dengan menggunakan kode-kode
tertentu disesuaikan dengan hubungan data yang bersifat teoritis maupun praksis dan
dikumpulkan melalui hasil wawancara dengan informan menggunakan angket dalam
bentuk pertanyaan terbuka sebagai data sekunder dengan mengacu kepada rumusan
permasalahan penelitian.
Kedua jenis data primer dan sekunder di atas dikumpulkan dengan
menggunakan teknik pengumpulan data, sehingga jenis data secara kualitatif memiliki
56
validitas yang dapat dipertanggungjawabkan objektivitas kebenarannya sesuai dengan
kenyataan. Untuk mengantisipasi subjektivitas tingkat kebenarannya, maka cara-cara
memperoleh tingkat kepercayaan hasil penelitian yang menurut Nasution (1996; 114)
harus memenuhi kriteria: kredibilitas (validitas internal), transferabilitas (validitas
eksternal), dependabilitas (reliabilitas), dan konfirmabilitas (objektivitas).
3. Jalan Penelitian
Berdasarkan cara penelitian yang telah dilakukan di atas, maka prosedur
penelitian melalui tahapan kegiatan sebagai berikut;
a. Pengumpulan Data
Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data
primer, yaitu data yang diperoleh dari objek material penelitian secara langsung dalam
bentuk data dan informasi dari instansi terkait serta data pustaka (library research).
Data sekunder, yaitu diperoleh secara tidak langsung dari objek material penelitian di
lapangan (field research) melalui pertanyaan terbuka berupa angket kepada informan
yang telah ditentukan dengan cara wawancara (interview method) secara mendalam.
Data sekunder ini dikumpulkan dari lokasi penelitian dengan studi kasus di Kota
Bandung dan Kabupaten Sumedang dengan alasan dipilihnya sebagai lokasi penelitian
dengan pertimbangan bahwa:
(a) Kedua daerah tersebut termasuk dalam wilayah Parahyangan, Periangan, atau
Priangan yang dianggap pula wilayah Sunda yang memiliki ’tingkat budaya’ tinggi
dan halus yang merupakan orientasi utama bagi daerah Sunda lainnya (Garna, 2008;
184). Berkaitan dengan kemanfaatan penelitian secara praksis, maka kedua daerah
tersebut dilaksanakan dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)
57
Mandiri Perkotaan dan Perdesaan sebagai studi kasus dalam mengkaji
pemberdayaan masyarakat miskin. Kedua daerah tersebut memiliki karakteristik
masyarakat yang berbeda antara komunitas masyarakat perkotaan dan perdesaan.
(b) Karakteristik Kota Bandung sebagai ibukota Provinsi Jawa Barat dengan jumlah
penduduk yang relatif padat dengan masyarakat Sunda yang dominan dan pluralistik
dengan banyaknya suku bangsa yang berasal dari daerah lain dalam akulturasi
budaya masyarakat perkotaan. Kota tersebut menjadikan tujuan urbanisasi dan
migrasi masyarakat dari berbagai daerah lain, sehingga tingkat kepadatan penduduk
relatif tinggi yang di dalamnya terdapat penduduk miskin dan hunian kumuh. Salah
satu kelurahan yang sesuai dengan karakteristik perkotaan adalah Kelurahan
Pungkur Kecamatan Regol yang berhasil mengembangkan program PNPM-Mandiri
Perkotaan.
(c) Karakteristik Kabupaten Sumedang merupakan daerah kabupaten yang ditetapkan
sebagai ’puser’ (pusat) budaya Sunda melalui Keputusan Bupati Sumedang,
sehingga memberikan gambaran karakteristik masyarakat Sunda pada masyarakat
perdesaan. Kabupaten ini dipilih sebagai lokasi penelitian diharapkan dapat
mengungkap kearifan lokal budaya Sunda dalam perspektif perdesaan yang masih
terdapat masyarakat miskin dalam kehidupan masyarakatnya. Program
pemberdayaan masyarakat miskin dilakukan melalui PNPM-Mandiri Perdesaan
yang salah satu kecamatan terpilih menggulirkan program Sauyunan sebagai
pemberdayaan berbasiskan budaya Sunda adalah Kecamatan Rancakalong.
Pengumpulan data sekunder melalui angket berbentuk pertanyaan terbuka
sebagai pedoman peneliti dalam melakukan wawancara yang tidak terstruktur, artinya
58
informan yang diwawancarai mendapat kebebasan mengeluarkan pemikiran dan
pandangannya serta perasaannya tanpa diatur ketat oleh peneliti. Angket dalam bentuk
pertanyaan terbuka berisi tentang pertanyaan yang berkaitan dengan objek formal dan
objek material dari penelitian. Informan yang diwawancarai adalah orang yang dipilih
memiliki sumber data dan informasi berkaitan objek penelitian, terutama di lokasi
penelitian Kota Bandung dan Kabupaten Sumedang.
b. Pengolahan Data
Peneliti menempuh tiga tahap dalam mengolah data, yaitu: Pertama, reduksi
data, berupa tahap penyeleksian dan pengurangan uraian panjang dari data verbal tanpa
mengurangi substansi makna yang dikandung dalam setiap kelompok data, baik data
primer maupun sekunder. Kedua, display data, yaitu tahap pengelompokan data primer
maupun data sekunder yang sesuai dengan konteks tinjauan aksiologis sebagai objek
formal dalam kaitannya dengan makna 3 SA. menurut kearifan budaya Sunda sebagai
objek materialnya. Ketiga, pengorganisasian data, yaitu penataan atau pengaturan data
primer dan data sekunder yang disesuaikan dengan skema penelitian sebagaimana telah
ditentukan sebelumnya.
c. Analisis Data
Teknik analisis data terhadap data primer dilakukan pengolahan dengan
menggunakan tabulasi untuk dilakukan pengelompokan jenis data berdasarkan
kepentingan analisis, sedangkan data sekunder yang diperoleh dari hasil wawancara
dikelompokkan berdasarkan kepentingan analisis penelitian. Kedua data primer dan data
sekunder tersebut dilakukan analisis keterkaitan berdasarkan objek formal maupun
59
objek material penelitian. Analisis keseluruhan data berdasarkan kebutuhan kajian
menggunakan metode analisis yang meliputi;
a. Metode Historis: metode ini digunakan untuk menunjukkan bagaimana suatu fakta
yang berkaitan dengan makna 3 SA. menurut kearifan budaya Sunda dalam
perspektif filsafat nilai dengan melakukan relevansi terhadap pemberdayaan
masyarakat miskin, baik bersumber dari data primer dan data sekunder yang bisa
dihayati di masa lampau dan masa kini sesuai perkembangan zaman. Metode ini
digunakan dengan tujuan agar penentuan periodenisasi secara historis terjamin
konsistensinya dalam analisis yang dilakukan (Kaelan, 2005; 42).
b. Metode Hermeneutika: metode ini digunakan untuk menelaah keseluruhan data yang
dihimpun dari sudut makna nilai yang terkandung 3 SA. menurut kearifan budaya
Sunda dalam kaitannya dengan pemberdayaan masyarakat miskin, pada studi kasus
masyarakat perkotaan dan perdesaan yang kemudian direfleksikan dalam kerangka
pemikiran masa kini dengan tetap memperhatikan kerangka pemikiran masa telah
berjalan.
c. Metode Heuristika: metode ini merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan
dengan metode hermeneutika. Metode ini digunakan untuk menangkap arti melalui
vestehen (pemahaman) atas inti fenomena atau realitas objektif dari makna 3 SA.
yang terkandung dalam kearifan budaya Sunda menurut perspektif filsafat nilai
relevansinya bagi pemberdayaan masyarakat miskin.
d. Metode Interpretasi: metode ini digunakan untuk menginterpretasikan makna 3 SA.
menurut kearifan budaya Sunda dalam perspektif filsafat nilai dalam kaitannya
dengan pemberdayaan masyarakat miskin pada konteks pranata sosial masyarakat
60
perkotaan maupun perdesaan yang diinterpretasikan menurut dimensi ruang dan
waktu untuk menjelaskan bagaimana perubahan itu terjadi.
e. Metode Deskripsi: metode ini digunakan mengungkapkan objek materi yang dikaji,
agar dapat diperoleh gambaran secara jelas adanya peristiwa yang dinilai akurat
berhubungan dengan karakteristik budaya masyarakat Sunda di lingkungan filsafat
nilai sebagai objek formal penelitian dengan ditunjang buku masyarakat perkotaan
dan perdesaan berkaitan dengan keberadaan kemiskinan masyarakat.
F. Sistematika Penulisan
Hasil penelitian dalam bentuk penulisan disertasi terdiri atas enam bab disusun
dalam rangkaian yang terstruktur dan sistematis, sehingga setiap bab merupakan satu-
kesatuan yang terkait. Adapun daftar isi penulisan yang dimaksud adalah sebagai
berikut.
Bab I berisi tentang pendahuluan yang berisi tentang; latar belakang masalah,
rumusan masalah, keaslian penelitian, manfaat penelitian dan tujuan penelitian. Dalam
bab pendahuluan ini juga diuraikan tinjauan pustaka dan landasan teori. Pada akhir bab
pendahuluan diuraikan secara terperinci mengenai metode penelitian yang meliputi;
materi/bahan penelitian, cara penelitian, jalan penelitian yang berisi tentang
pengumpulan data, pengolahan data, analisis data, dan uraian mengenai sistematika
penulisan.
Bab II berisi tentang kearifan budaya Sunda dalam perspektif filsafat nilai.
Mengawali bab ini, peneliti memaparkan uraian tentang filsafat nilai. Selanjutnya dalam
bab ini membahas tentang kearifan budaya Sunda dalam kehidupan masyarakat, sumber
61
kearifan budaya Sunda masa lalu dan masa kini, dan nilai-nilai moral dalam kearifan
budaya Sunda.
Bab III berisi uraian tentang makna nilai silih asih, silih asah, silih asuh dalam
kearifan budaya Sunda. Mengawali bab ini mambahas makna yang terkandung dalam 3
SA. sebagai kearifan lokal masyarakat Sunda. Selanjutnya dalam bab ini membahas
kajian filsafat terhadap nilai 3 SA. menurut kearifan budaya Sunda. Pada akhir bab ini
diuraikan tentang orientasi nilai 3 SA.dalam realitas kehidupan sosial masyarakat Sunda,
dan refleksi ktitis terhadap nilai 3 SA. menurut kearifan budaya Sunda serta orientasi
nilai 3 SA. dalam meningkatkan kualitas sumberdaya manusia.
Bab IV berisi uraian tentang hakikat kodrat manusia dalam nilai pemberdayaan
masyarakat miskin pada masyarakat perkotaan dan perdesaan. Uraian bab ini membahas
dasar filosofis tentang kemiskinan, dasar filosofis tentang pemberdayaan masyarakat.
Selanjutnya, bab ini menguraikan orientasi nilai pemberdayaan masyarakat bertumpu
pada hakikat kodrat manusia. Pada akhir bab ini menguraikan tentang nilai-nilai
pemberdayaan masyarakat masyarakat dalam program penanggulangan kemiskinan di
perkotaan dan perdesaan.
Bab V berisi uraian tentang relevansi makna nilai silih asih, silih asah, silih asuh
dalam kearifan budaya Sunda bagi pemberdayaan masyarakat miskin di perkotaan dan
perdesaan. Mengawali bab ini menguraikan tentang makna nilai 3 SA. dalam
pemberdayaan masyarakat miskin menurut hakikat kodrat manusia, dan makna nilai 3
SA. relevansinya bagi pemberdayaan masyarakat miskin menurut ciri-ciri berpikir
kefilsafatan. Selanjutnya, bab ini membahas relevansi makna nilai 3 SA. terhadap nilai-
nilai universal kemanusiaan dan Pancasila dalam pemberdayaan masyarakat miskin.
62
Pada akhir bab ini membahas kendala menginternalisasikan makna nilai 3 SA. dalam
program pemberdayaan masyarakat miskin.
Bab VI berisi tentang Penutup, yang terdiri atas Kesimpulan dan Saran.