15
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengembangan Sumber Daya Manusia merupakan suatu proses peningkatan kemampuan agar manusia mampu melakukan pilihan-pilahan. Proses pengembangan SDM tersebut harus menyentuh berbagai bidang kehidupan yang tercermin dalam pribadi pimpinan, termasuk pemimpin pendidikan seperti kepala sekolah. Kepala sekolah merupakan salah satu komponen yang paling berperan dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Kepala sekolah merupakan seorang pejabat yang diberi tugas tambahan dalam organisasi sekolah dan bertugas mengatur semua sumber organisasi serta bekerjasama dengan guru-guru dalam mendidik siswa untuk mencapai tujuan pendidikan. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 28 Tahun 2010 tentang Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah/Madrasah pada Bab I pasal 1 bahwa yang dimaksud dengan kepala Sekolah/Madrasah adalah guru yang diberi tugas tambahan untuk memimpin Taman Kanak-Kanak/Raudhotul Athfal (TK/RA),

BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8511/1/T2_942011004_BAB I.pdf · bekerjasama dengan guru-guru dalam mendidik siswa untuk mencapai tujuan

  • Upload
    phamnga

  • View
    218

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8511/1/T2_942011004_BAB I.pdf · bekerjasama dengan guru-guru dalam mendidik siswa untuk mencapai tujuan

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pengembangan Sumber Daya Manusia

merupakan suatu proses peningkatan kemampuan agar

manusia mampu melakukan pilihan-pilahan. Proses

pengembangan SDM tersebut harus menyentuh

berbagai bidang kehidupan yang tercermin dalam

pribadi pimpinan, termasuk pemimpin pendidikan

seperti kepala sekolah.

Kepala sekolah merupakan salah satu komponen

yang paling berperan dalam meningkatkan kualitas

pendidikan. Kepala sekolah merupakan seorang pejabat

yang diberi tugas tambahan dalam organisasi sekolah

dan bertugas mengatur semua sumber organisasi serta

bekerjasama dengan guru-guru dalam mendidik siswa

untuk mencapai tujuan pendidikan.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 28

Tahun 2010 tentang Penugasan Guru sebagai Kepala

Sekolah/Madrasah pada Bab I pasal 1 bahwa yang

dimaksud dengan kepala Sekolah/Madrasah adalah

guru yang diberi tugas tambahan untuk memimpin

Taman Kanak-Kanak/Raudhotul Athfal (TK/RA),

Page 2: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8511/1/T2_942011004_BAB I.pdf · bekerjasama dengan guru-guru dalam mendidik siswa untuk mencapai tujuan

2

Taman Kanak-Kanak Luar Biasa (TKLB), Sekolah

Dasar Luar Biasa (SDLB), Sekolah Menengah

Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), Sekolah

Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB), Sekolah

Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA), Sekolah

Menengah Kejuruan/Madrasah Aliyah Kejuruan

(SMK/MAK), atau Sekolah Menengah Atas Luar Biasa

(SMALB) yang bukan sekolah bertaraf internasional

(SBI) atau yang tidak dikembangkan menjadi sekolah

bertaraf internasional (SBI).

Seorang kepala sekolah bertanggungjawab

terhadap seluruh kegiatan-kegiatan sekolah dan

memiliki wewenang penuh untuk menyelenggarakan

seluruh kegiatan pendidikan dalam lingkungan sekolah

yang dipimpinnya. Selain itu, seorang kepala sekolah

tidak hanya bertanggungjawab atas kelancaran

jalannya sekolah secara teknis akademis saja, akan

tetapi segala kegiatan, keadaan lingkungan sekolah

dengan kondisi termasuk berelasi dengan masyarakat

sekitarnya. Menurut (Daryanto, 2008) seorang kepala

sekolah harus memiliki inisiatif dan kreatif untuk dapat

memajukan sekolah dan dapat menanggulangi

kesulitan yang dialami sekolah baik yang bersifat

material, dan yang berhubungan dengan pendidikan

anak-anak, selain itu kepala sekolah juga tidak bisa

bekerja sendiri. Kepala sekolah harus dapat bekerja

Page 3: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8511/1/T2_942011004_BAB I.pdf · bekerjasama dengan guru-guru dalam mendidik siswa untuk mencapai tujuan

3

sama dengan para guru, orang tua murid dan pihak

pemerintah.

Kepala sekolah sebagai seorang pemimpin harus

menunjukkan eksistensinya dalam memimpin lembaga

pendidikan. Menurut (Gardner, 1990) seorang

pemimpin harus mampu memimpin dan mengelolah

suatu organisasi. Pendapat Gardner tersebut jika

dihubungkan dengan kepemimpinan pendidikan maka,

para pemimpin pendidikan dalam melaksanakan tugas

harus dapat mengalokasikan dan mengelola berbagai

sumber yang dimiliki, mempergunakan dengan baik

anggaran yang diperoleh dari pemerintah, dan berani

memulai usaha baru agar warga sekolah dimampukan

untuk bergerak menuju visi yang telah ditentukan.

Lebih lanjut (Gardner, 1990) juga menyarankan, agar

para pemimpin pendidikan memiliki keterampilan

manajerial untuk mengatasi masalah konkrit sehari-

hari dalam kehidupan organisasi agar visi organisasi

dapat tercapai. Ungkapan yang dipaparkan tersebut,

menyimpulkan bahwa kepala sekolah seharusnya

berperan dan sekaligus memiliki keterampilan sebagai

manajer dan pemimpin.

Berbicara mengenai kepemimpinan dalam

hubungannya dengan perspektif gender, Cucchiari,

1981 (dalam Sherry B, at all 1981) mengungkapkan

bahwa fenomena gender merupakan realitas universal,

Page 4: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8511/1/T2_942011004_BAB I.pdf · bekerjasama dengan guru-guru dalam mendidik siswa untuk mencapai tujuan

4

terjadi di semua budaya baik pada masa lampau dan

berkesinambungan sampai saat ini. Selanjutnya,

diungkapkan bahwa fenomena gender adalah

dikonstruksi, merupakan ciri-ciri budaya, dan

didukung oleh agen pembuatnya, yang tidak lain

adalah manusia itu sendiri.

“a gender system is symbolic or meaning system that

consist of two complementary yet mutually exlusive

categories into which all human being are placed…

associated with each category is a wide range of activities,

attitudes, values, objects, symbols, and expectation.

Although the categories-man and woman are universal, the

content categories varies from culture to culture, and the

variation is truly impressive”.

Mengacu pada pendapat Cucchiari itu, maka

dapat dikatakan bahwa fenomena gender merupakan

sistem bermakna yang ditemukan pada realitas lintas

budaya berkaitan dengan berbagai aktivitas, nilai,

objek, simbol, dan berbagai harapan, yang selama ini

diasumsikan atau dianggap wajar. Realita tersebut

mulai dipertanyakan kebenarannya karena

diidentifikasi ada perbedaan penafsiran terhadap

penerapan kategori antara laki-laki dan perempuan.

Fenomena kurang terwakilinya kepala sekolah

perempuan sebagai pemimpin memang mulai disoroti,

meskipun demikian belum banyak orang yang tertarik

mengkaji secara serius. Sebetulnya kesenjangan dalam

representasi atau ketidaknampakan perempuan

Page 5: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8511/1/T2_942011004_BAB I.pdf · bekerjasama dengan guru-guru dalam mendidik siswa untuk mencapai tujuan

5

dibidang pendidikan, terutama dalam aras sekolah

memang sudah selalu dijumpai di mana saja. Banyak

orang berpikir, memang sudah seharusnya demikian,

tidak ada yang salah atau tidak perlu mempertanyakan

fenomena yang telah terjadi selama ini. Namun, salah

satu penelitian untuk sekolah setingkat dengan sekolah

dasar yaitu Madrasah Ibtidaiyah yang dilakukan oleh

(Ulfatin, 2000) di Kabupaten Malang mengungkapkan

bahwa jumlah kepala sekolah perempuan sangat

sedikit dibanding dengan kepala sekolah laki-laki

karena pengaruh dari praktik manajemen sekolah

swasta yang berciri Islam. Di sisi lain, ada pengaruh

sosio-kultural budaya yang kental. Penelitian lain yang

juga dilakukan (Sumiyatiningsing, 2010) di kota

Salatiga, Jawa Tengah tentang Kepemimpinan

Pendidikan dalam prespektif gender mengungkapkan

bahwa kesenjangan dalam bidang pendidikan

diakibatkan oleh adanya dinamika kesesuaian antara

peran gender dan peran sebagai pemimpin pendidikan.

Sebuah penelitian yang dilakukan untuk kepala

sekolah perempuan pada jenjang dasar dan menengah

di inggris oleh Jirasinghe dan Lyons (dalam Bush dan

Coleman, 2006) mengemukakan bahwa kepala-kepala

sekolah perempuan (sekolah dasar dan menengah)

mendeskripsikan dirinya sebagai sosok yang lebih

supel, demokratis, perhatian, artistik, bersikap baik,

Page 6: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8511/1/T2_942011004_BAB I.pdf · bekerjasama dengan guru-guru dalam mendidik siswa untuk mencapai tujuan

6

cermat dan teliti, serta berperasaan dan berhati-hati.

Para kepala sekolah perempuan memiliki model

kepemimpinan yang berdasarkan pada keputusan

bersama, melibatkan semua orang yang ada dalam

suatu kegiatan, dengan demikian hal itu bisa menjadi

komitmen dan motivasi, dan berperilaku sebagai

pemimpin yang hangat dan bersahabat. Penelitian yang

dilakukan oleh Jirasinghe dan Lyons di Inggris (dalam

Bush dan Coleman, 2006), yang melakukan berbagai

tes kepribadian, termasuk di sini pemakaian kuesioner

model kepemimpinan mengungkapkan hasil yang

positif berkaitan dengan kepemimpinan perempuan.

Hasil kuesioner kepribadian yang berkaitan dengan

pekerjaan terungkap, bahwa para kepala sekolah

perempuan sekolah dasar dan menengah menyatakan

dirinya sebagai pemimpin yang suka bergaul,

demokratis, suka menolong, artistik, antisipatif serta

mempertimbangkan perasaan. Sementara hasil

kuesioner menurut tim Belbin yang berkaitan dengan

peran dalam tim, para kepala sekolah perempuan

tersebut cenderung memilih bekerja dalam tim serta

berperan sebagai penyempurna atau pelengkap kerja

tim. Mereka juga mengidentifikasi diri sebagai

pemimpin yang berpartisipatif dan konsultatif.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh (Claudette,

2008) untuk mengukur apakah ada tingkat perbedaan

Page 7: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8511/1/T2_942011004_BAB I.pdf · bekerjasama dengan guru-guru dalam mendidik siswa untuk mencapai tujuan

7

yang signifikan antara gaya manajemen pemimpin

pendidikan laki-laki dan perempuan dan apakah ada

ciri khas kepala sekolah laki-laki dan perempuan, dari

penelitian tersebut menunjukkan bahwa nilai-nilai

perbedaan gender yang terlihat dari gaya manajemen

dan pola pendekatan yang dilakukan oleh kepala

sekolah laki-laki dan perempuan sangatlah berbeda.

Penelitian lain yang cukup menarik juga

dilakukan di Yogyakarta oleh (Sahrah, 2004) mengenai

presepsi kepemimpinan perempuan, yang terlibat

dalam penelitian sejumlah 104 orang guru SMA dan

mahasiswa dengan usia 20-40 tahun. Hasil penelitianya

mengungkapkan bahwa ada perbedaan presepsi antara

laki-laki dan perempuan mengenai kepemimpinan

perempuan. Laki-laki cenderung lebih berpersepsi

negatif terhadap kepemimpinan perempuan. Dengan

kata lain, hal ini jelas memperkokoh pandangan

budaya bahwa laki-laki selalu di tempatkan di tempat

teratas dalam segala aspek kehidupan, sehingga

menganggap diri mereka lebih layak menjadi pemimpin

dibandingkan dengan perempuan. Sementara dilihat

dari pihak perempuan, ternyata mereka lebih positif

atau dapat menghargai kepemimpinan perempuan. Hal

ini menunjukkan bahwa perempuan mampu menerima

dirinya sendiri sebagai seorang pemimpin di bidang

pendidikan.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8511/1/T2_942011004_BAB I.pdf · bekerjasama dengan guru-guru dalam mendidik siswa untuk mencapai tujuan

8

Apabila kita mencermati keadaan pada saat ini,

rupanya masalah kesenjangan gender dalam

kepemimpinan pendidikan akan terus berlanjut.

Ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender pun rupanya

masih akan tetap menjadi masalah diberbagai aspek

pendidikan. Beberapa penelitian yang sudah dilakukan

memberi peluang untuk sebanyak-banyaknya

menemukan informasi yang kita butuhkan untuk

memperjelas penyebab kesenjangan yang ada.

Dengan mengacu kepada apa yang diungkapkan

diatas, maka data yang diolah dari Dinas Pendidikan

Kota Ambon di bawah ini kiranya dapat merefleksikan

realita kesenjangan keberadaan perempuan sebagai

kepala sekolah.

Tabel 1.1.

Perbedaan Jumlah Guru Dan Jumlah Kepala Sekolah (Laki-Laki

Dan Perempuan) Sekolah Menengah Pertama Di Kota Ambon

Jabatan Laki-Laki % Perempuan % Jumlah

Guru 484 25,14 1441 74,86 1925

Kepala

Sekolah

34 62.96 20 37,04 54

Sumber Data : Diknas Kota Ambon Tahun 2011

Berdasarkan data yang terungkap pada tabel

1.1, jelas terlihat adanya dominasi guru perempuan.

Secara keseluruhan guru perempuan berjumlah 1441

(74,86%) sedangkan guru laki-laki 484 orang (25,14%).

Page 9: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8511/1/T2_942011004_BAB I.pdf · bekerjasama dengan guru-guru dalam mendidik siswa untuk mencapai tujuan

9

Meskipun jumlah guru perempuan presentasenya

sangat tinggi, tetapi yang berhasil menjadi kapala

sekolah ternyata presentasenya sangat rendah.

Perempuan yang menjadi kepala sekolah hanya 20

orang atau hanya 37,04% dari keseluruhan jumlah

guru, sedangkan laki-laki 34 orang atau 62,96% dari

jumlah keseluruhan kepala sekolah laki-laki.

Kepala sekolah adalah suatu jabatan struktural

bagi para guru yang berpeluang memperoleh promosi di

dalam kariernya. Peraturan maupun perundang-

undangan yang mengatur pengangkatan guru menjadi

kepala sekolah secara formal tidak dibedakan, dalam

artian tidak ada perbedaan terhadap hak yang

berkaitan dengan akses, proses dan dalam menikmati

manfaat hasil pengembangan pendidikan, termasuk

kepemimpinan pendidikan antara laki-laki dan

perempuan.

Data di lapangan menunjukkan bahwa

kesempatan guru laki-laki untuk menjadi kepala

sekolah lebih terbuka dibandingkan dengan guru

perempuan. Dari hasil pengamatan awal yang

dilakukan oleh peneliti, kesenjangan yang terjadi dalam

kepemimpinan kepala sekolah pada satuan pendidikan

menengah pertama di kota Ambon diakibatkan oleh

beberapa hal: Pertama, faktor budaya yang masih

melekat pada sebagian besar guru-guru perempuan

SMP di kota Ambon. Penyebab tersebut diperjelas

Page 10: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8511/1/T2_942011004_BAB I.pdf · bekerjasama dengan guru-guru dalam mendidik siswa untuk mencapai tujuan

10

dengan pernyataan beberapa guru perempuan yang

menganggap bahwa guru laki-laki lebih layak untuk

menjadi kepala sekolah, pernyataan tersebut kemudian

memberi kesan bahwa guru perempuan masih

menganggap bahwa mereka adalah kaum “kelas dua”

sesudah laki-laki. Kedua, adanya ketakutan akan

beratnya tanggungjawab sebagai kepala sekolah,

mereka merasa akan terbebani dengan tanggungjawab

ganda sebagai seorang kepala sekolah.

Penyebab kesenjangan ini jika tidak di

tindaklanjuti maka perempuan akan tetap ada dalam

pola pemikiran yang salah dan akan menjadi orang-

orang yang keterbelakangan dan tidak akan pernah

menjadi seorang pemimpin. Sekarang ini adalah masa

dimana perempuan juga memiliki kesempatan untuk

mengembangkan diri dan karirnya, masa dimana

perempuan bisa lebih berkembang dari laki-laki.

Hasil penelitian sebelumnya dan juga dari data

yang ada maka, penulis mencoba untuk menggali apa

yang menyebabkan terjadinya kesenjangan keberadaan

kepala sekolah perempuan SMP di kota Ambon.

Memang penelitian yang dilakukan di sini hanya dalam

lingkup kecil tetapi kiranya dapat sedikit memberikan

gambaran tentang Kesenjangan Keberadaan Perempuan

Dalam Kepemimpinan Kepala Sekolah SMP di Kota

Ambon.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8511/1/T2_942011004_BAB I.pdf · bekerjasama dengan guru-guru dalam mendidik siswa untuk mencapai tujuan

11

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang dari konteks

penelitian yang diungkapkan di atas maka fokus

penelitian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Bagaimana Kesenjangan keberadaan Perempuan

dalam Kepemimpinan Kepala Sekolah?

b. Bagaimana Kesenjangan dalam proses pemilihan

kepala sekolah?

c. Bagaimana kesenjangan Kompetensi Seorang

Kepala Sekolah?

d. Bagaimana kesenjangan keberadaan

kepemimpinan perempuan sebagai kepala

sekolah berkaitan dengan budaya patriakhi?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan yang hendak

dicapai yaitu:

a. Mendiskripsikan kesenjangan keberadaan

Perempuan dalam Kepemimpinan Kepala

Sekolah.

b. Mendiskripsikan kesenjangan dalam proses

pemilihan kepala sekolah.

c. Mendiskripsikan kesenjangan Kompetensi

Seorang Kepala Sekolah.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8511/1/T2_942011004_BAB I.pdf · bekerjasama dengan guru-guru dalam mendidik siswa untuk mencapai tujuan

12

d. Mendiskripsikan kesenjangan keberadaan

kepemimpinan perempuan sebagai kepala

sekolah berkaitan dengan budaya patriakhi.

1.4. Manfaat Penelitian

Diharapkan hasil penelitian ini bisa

memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun

praktis sebagai berikut:

1.4.1 Manfaat Teoretis

a. Secara teoretis hasil penelitian ini diharapkan

dapat mengembangkan dan memberikan

wawasan dan pengetahuan tentang penyebab

kesenjangan keberadaan perempuan dalam

kepemimpinan kepala sekolah.

b. Dengan melaksanakan penelitian ini, kiranya

aspek-aspek penting lainnya dari pendidikan

juga dapat diteliti dan dikoreksi dengan

perspektif yang sama. Upaya ini diharapkan

dapat semakin memperbaiki sekaligus

mengembangkan bidang pendidikan.

1.4.2. Manfaat Praktis

a. Bagi para kepala sekolah agar dapat

memberikan kesempatan kepada para guru

untuk meningkatkan kompetensi sebagai

seorang guru serta memberikan peluang

Page 13: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8511/1/T2_942011004_BAB I.pdf · bekerjasama dengan guru-guru dalam mendidik siswa untuk mencapai tujuan

13

untuk para guru perempuan dapat memiliki

akses menjadi kepala sekolah.

b. Bagi para pengambil kebijakan (pemerintah)

agar dapat mengambil keputusan untuk

menentukan arah pembangunan bagi

peningkatan mutu pendidikan, sekaligus

mampu mewujudnyatakan keadilan dan

kesetaraan dalam kepemimpinan pendidikan.

c. Bagi para guru sekolah. sebagai masukan

agar dapat mengembangkan dan

melaksanakan proses pengkaderan bagi guru-

guru, secara khusus guru perempuan. Hal ini

perlu dilakukan agar dapat mengembangkan

kualitas, supaya pada gilirannya dapat

memanfaatkan akses dan memiliki peluang

yang setara dengan laki-laki dalam

kepemimpinan pendidikan.

1.5. Sistematika Penulisan

Sistematika Penulisan tesis ini sebagai berikut:

BAB I : Berisi tentang latar belakang masalah,

rumusan masalah, tujuan penelitian,

manfaat penelitian, serta sistematika

penulisan.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8511/1/T2_942011004_BAB I.pdf · bekerjasama dengan guru-guru dalam mendidik siswa untuk mencapai tujuan

14

BAB II :Kajian Pustaka berisi kajian tentang (1)

Kepemimpinan (2). Manajemen Pendidikan

kaitannya dengan kesenjangan gender

(3).Teori Pembagian kerja berbasis gender

dan (4) Model-model kesenjangan gender

dan dampaknya.

BAB III : Metode penelitian meliputi: Jenis penelitian,

Tempat penelitian, Sumber data, Teknik

pengumpulan data, Teknik analisis data dan

Validitas Data/Keabsahan Data.

BAB IV : Hasil Penelitian dan pembahasan berisi: Profil

Pendidikan di Ambon, Kesenjangan

Keberadaan Guru Perempuan Dalam

Kepemimpinan Sebagai Kepala Sekolah,

Kesenjangan Keberadaan Kepala Sekolah

Perempuan Dalam Proses Pemilihan Kepala

Sekolah, Kesenjangan Keberadaan Kepala

Sekolah Perempuan Dalam Kompetensi

Kepala Sekolah, dan Kesenjangan

Keberadaan Kepala Sekolah Perempuan

yang Disebabkan Oleh Budaya Patriakhal.

BAB V : Kesimpulan dan Saran: memaparkan tentang

hasil penelitian dan saran.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8511/1/T2_942011004_BAB I.pdf · bekerjasama dengan guru-guru dalam mendidik siswa untuk mencapai tujuan

15