Upload
lydan
View
235
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebudayaan yang terbentuk dari pengalaman-pengalaman masa lalu dapat
menjadi penentu utama kebijaksanaan, baik untuk pribadi maupun untuk
kepentingan bangsa atau negara. Hal ini sangat diperlukannya pemahaman
kebudayaan, sesuai dengan pendapat Bani Sudardi (2003) yaitu untuk memahami
kebudayaan suatu bangsa dengan baik, informasi-informasi dari masa lalu sangat
mutlak diperlukan. Informasi-informasi tersebut dapat diperoleh melalui
peninggalan suatu warisan / tradisi dari nenek moyang.
Peninggalan warisan atau tradisi dari nenek moyang salah satunya
berwujud artefak yang berbentuk material seperti bangunan bersejarah, candi,
masjid, istana raja dan lain-lain. Begitu pula dengan tradisi literasinya yang dapat
ditemui dalam peninggalan tertulis berupa prasasti dan naskah-naskah kuna.
Sebagai salah satu peninggalan tertulis, naskah kuna banyak menyimpan
informasi dari masa lampau. Dibanding dengan prasasti yang mengandung
informasi penting saja, naskah kuna dapat disebut dokumen bangsa yang dapat
memberi informasi sangat luas dibanding dengan peninggalan budaya yang lain
(Siti Baroroh Baried, 1983: 132).
Naskah kuna banyak tersimpan diberbagai museum, perpustakaan,
instansi-instansi swasta, dan tidak menutup kemungkinan merupakan koleksi
pribadi. Penyimpanan naskah dan cara penyimpanan disetiap tempat berbeda-beda
menjadikan kondisi fisik pada naskah rata-rata mengalami kerusakan. Kerusakan-
kerusakan yang demikianlah perlu adanya penanganan. Penanganan naskah harus
2
dilakukan dengan segera dan berdasarkan metode yang tepat, sesuai dengan
pendapat Darusuprapta (1984: 143), dibutuhkan suatu upaya penanganan naskah
meliputi, penyelamatan, pelestarian, penelitian, pendayagunaan, dan
penyebarluasan.
Penanganan naskah tersebut harus dilakukan secara bertahap guna untuk
mendapatkan hasil yang ideal atau sempurna. Dalam Bani Sudardi (2003:1) yang
pertama-tama perlu diperhatikan mengenai alas naskah atau bahan tempat naskah
ditulis. Dari alas naskah tersebut dapat dilacak berbagai informasi mengenai asal
naskah, saat penulisan, tempat penulisan, umur naskah, teknologi pembuatan
naskah, sampai pada cara pengawetan naskah. Ilmu yang mempelajari ataupun
mengupas tuntas mengenai bahan naskah yangtersebut disebut sebagai
kodikologi, yang fokus ilmu pembahasan sebatas fisik pada naskah. Kemudian,
penelitian ini akan ditekankan pada pembahasan mengenai teks pada naskah
sebagaimana untuk mengetahui pikiran yang dituang penulis pada naskah yang
berupa teks-teks tersebut, bidang ilmu yang tepat adalah ilmu filologi.
Menurut Edwar Djamaris (2002:7) tugas utama dari seorang filolog yaitu
mendapatkan kembali naskah yang bersih dari kesalahan, memberikan pengertian
yang sebaik-baiknya dan bisa dipertanggungjawabkan, sehingga dapat mengetahui
naskah yang paling dekat aslinya karena naskah itu sebelumnya mengalami
penyalinan untuk kesekian kalinya, serta cocok dengan kebudayaan yang
melahirkannya. Jadi, perlu dibersihkan dari tambahan yang diterapkan saat
penyalinan.
Langkah awal untuk penelitian filologi adalah melakukan inventarisasi
naskah yang melalui berbagai katalog mengenai naskah Jawa, yaitu; (Girardet-
3
Sutanto, 1983; Nancy K. Florida, 1996; T.E. Behrend, 1990; Lindstay, Jennifer,
1994)
1. Descriptive Catalogus of the Javanese Manuscripts and Printed Book
in the Main Libraries of Surakarta and Yogyakarta
2. Javanese Language Manuscripts of Surakarta Central Java A
Preliminary Descriptive Catalogus Level I, II, and III
3. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid I Museum Sanabudaya
Yogyakarta
4. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 3B (Fakultas Sastra
Universitas Indonesia, 1998)
5. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 4 Perpustakaan
Nasional Republik Indonesia
6. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 2 Keraton Yogyakarta
7. Daftar Naskah Perpustakaan Museum Radyapustaka Surakarta
8. Katalog Naskah Lokal Perpustakaan Reksa Pustaka Pura
Mangkunegaran Surakarta.
Hasil pembacaan melalui katalog-katalog tersebut peneliti tertarik pada
satu judul naskah dan hanya ada satu naskah yang akan diteliti yaitu naskah Jawa
berjudul Bab Dodotan. Bab dodotan membahas mengenai pakaian adat Jawa yang
berada di keraton Surakarta. Ditemukan pula naskah yang sejenis dengan dodotan
yang merupakan koleksi Sasana Pustaka Keraton Surakarta dengan judul
Katrangan Bab Kampuhan, naskah yang berada di Sasana Pustaka secara isi sama
yaitu membahas mengenai kampuh atau dodot, akan tetepi secara tulisan sangat
berbeda. Maka, naskah bab dodotan bukan merupakan naskah jamak. Naskah Bab
4
Dodotan menjadi koleksi Perpustakaan Museum Sonobudaya, Yogyakarta. Dalam
katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 1 Museum Sonobudaya karya T.E
behrend (1990) Bab Dodotan bernomor katalog F2 sedangkan pada katalog lokal
Museum Sonobudaya bernomor PBC 113. Berikut gambar 1 menampilkan nomor
katalog lokal Museum Sonobudaya yang terdapat ada cover naskah.
Gambar 1: Nomor katalog lokal Museum Sonobudaya
“PBC 113”
Judul naskah berada di sampul depan naskah yang ditulis menggunakan huruf
jawa, beserta tarikh tahun pembuatan naskah.
Gambar 2: Judul Naskah
“Bab Dodotan 1855; 1924”
5
Beragamnya macam naskah kuna dengan jenis isi yang berbeda-beda
menjadikan Gerardet-Sutanto (1983: v–vi) mengklasifikasi naskah Jawa menjadi
beberapa bagian, yakni:
a. Kronik, Legenda dan Mite. Di dalamnya termasuk naskah-naskah
babad, pakem, wayang purwa, panji, pustakaraja dan silsilah
b. Agama, Filsafat dan Etika. Di dalamnya termasuk naskah-naskah yang
mengandung unsur-unsur: Hinduisme, Budhisme, Islam, mistik Jawa,
Kristen, magic dan ramalan, sastra wulang
c. Peristiwa kraton, hukum, peraturan-peraturan
d. Buku teks dan penuntun, kamus ensiklopesdi tentang linguistik, obat-
obatan, pertanian, antropologi, geografi, perjalanan, perdagangan,
masak-memasak dan sebagainya
e. Seni dan pertunjukan seni. Di dalamnya termasuk tari Jawa, gamelan,
tembang Jawa, buku seni, crita, fabel dan legenda, ikhtisar,
periodisasi, bunga rampai.
Berdasarkan klasifikasi di atas naskah Bab Dodotan termasuk dalam jenis
teks buku Adat Istiadat yang tergolong pada kelas (d). Hal ini sesuai dengan
deskripsi dalamkatalog Induk Naskah Jilid 1 Museum Sonobudaya. Sedangkan
untuk kandungan isi naskah Bab Dodotan yaitu membahas mengenai cara
pemakaian dodot, macam nama dodot dan pemakainya.
Naskah Bab Dodotan merupakan naskah tunggal dan tulisan tangan
(manuscript) oleh Purbadipura Bupati Surakarta pada tahun jawa 1855 atau
1924M. Naskah ini berbentuk prosa berbahasa jawa baru ragam krama dan ngoko
serta terdapat bahasa Indonesia yang digunakan. Naskah ini dulunya milik Panti
6
Budaya, yang dibuktikan dengan cap merah bertulisakan “Panti Budaya”. Seperti
berikut cap merah yang terdapat pada halaman awal naskah.
Gambar 3: Cap Panti Budaya
Kondisi fisik naskah Bab dodotan sudah rapuh / rusak. Sehingga di dalam
naskah terdapat teks-teks tulisan yang hilang atau sering disebut naskah korup, hal
ini dikarenakan kertas sudah tua. Berikut contoh teks-teks yang hilang / korup
pada naskah.
Gambar 4: Naskah korup
(Sumber: Bab Dodotan, hlmn 2)
“(1) balênggi iku wus nganggo...”
Terjemahan : “balênggi itu sudah memakai...”
7
Selain kondisi fisik naskah yang korup, terdapat juga kertas dan teks yang
lepas dari bendel naskah yang kemudian diselipkan di bagian belakang lembaran-
lembaran kertas kosong pada naskah. Teks pada kertas tersebut ditulis
menggunakan pensil dan terdapat gambar ilustrasi yang penggambarannya juga
menggunakan pensil.
Kondisi naskah seperti di atas memberi dorongan kepada peneliti untuk
menindaklanjuti penanganan naskah dan teks yang berwujud penelitian. Penelitian
yang akan dilakukan terhadap naskah teks Bab Dodotan mendasari dua alasan
yaitu: pertama, penelitian secara filologis karena belum pernah dilakukan
penelitian secara filologis kepada naskah Bab Dodotan yang di dalamnya
ditemukan masalah-masalah filologis pada teks, seperti berikut:
1. Lakuna adalah bagian yang terlampaui /kelewatan, baik suku kata,
kata, kelompok kata ataupun kalimat
Gambar 6: Lakuna
(sumber: Bab Dodotan hlmn 1)
“...Rabinguawal..”
Kekurangan huruf “L” pada Rabiu mengalami pembetulan berdasarkan
pertimbangan lingusitik menjadi “...Rabingulawal...”
8
2. Adisi adalah bagian yang kelebihan atau terdapat penambahan baik
suku kata, kata, kelompok kata maupun kalimat. Berikut contoh yang
termasuk adisi:
Gambar 7: Adisi
(sumber: Bab Dodotan hlmn 3)
“...palipitdan...”
Terjemahan : “”...lipatan...”
Penambahan suku kata pada palipitdan, mengalami pembetulan
menjadi palipidan sesuai dengan pertimbangan lingusitik dan persepsi
peneliti.
3. Hiperkorek yaitu perubahan ejaan karena perubahan lafal
Gambar 8: hiperkorek
(smbr: Bab Dodotan hlmn 5)
“...bisa kalangsrah ing lemah...”
Terjemahan : “...bisa menjutai ke tanah...”
kata kalangrah mengalami pembetulan berdasarkan pertimbangan linguistik
dan konsistenan tulisan menjadi “...kêlangsrah...”
9
4. Korup atau cacat; teks mengalami kerusakan.
Gambar 9: Teks korup
“{1} balênggi iku wus nganggo papan...”
Terjemahan : “...balênggi itu sudah memakai tempat...”
Korup yang terjadi pada gambar 9 dikarenakan naskah yang sudah tua
sehingga naskah tersebut sangat rentan. Adapun penyelesaian teks
korup akan dibahas pada Bab II Pembahasan kritik teks.
5. Interpolasi adalah penyisipan kata atau kalimat
10
Gambar 10: Interpolasi
(sumber: Bab Dodotan hlmn 1)
“mênawa dodoté cilik têgêsè mung pitung kacu...”
Terjemahan : “jika dodotnya kecil maksudnya hanya tujuh lebar kain...”
Pada gambar 10 terdapat interpolasi di halaman 1 menggunakan
pensil. Penambahan tersebut untuk memberi pemahaman kepada
pembaca mengenai kalimat sebelumnya.
6. Digtografi adalah penulisan ganda
Digtografi terjadi pada halaman pertama, yang ditulis ulang pada
kertas yang berbeda. Terjadi juga pada halaman 6 (nomor halaman
yang menggunakan huruf Jawa) atau halaman 11 (penulisan halaman
yang menggunakan pensil), digtografinya ditulis pada kertas yang
berbeda dan berbeda halaman. Kertas tersebut berada di dalam naskah
bagian belakang tepat di tengah-tengah halaman naskah yang tidak
ada teks atau tulisannya. Digtografi yang ditulis menggunakan pensil
di halaman yang berbeda merupakan sebuah pembetulan dari penulis
11
yang dilakukan penulis setelah menulis keseluruhan teks. Seperti pada
gambar di bawah ini adalah tarikh dari pembetulan penulis
Gambar 11: interpolasi
“Jumungah tanggal kaping 5 Mulud Dal 1855, 5/10/24 patrap lan jênênge
wong Dodotan...”
Terjemahan : “Jumat tanggal 5 Mulud Dal 1855, 5/10/24 cara dan namanya
orang dodotan...”
(sumber: diluar teks pada bagian belakang naskah)
7. Tidak Konsisten Tulisan
(1) Penggunaan huruf „ny‟ dan „na‟ dalam menulis kata banjur
(a)
“Banjur tekuken munggah”
Terjemahan : “kemudian, lipatlah ke atas”
12
(b)
“banyjur talenana”
Terjemahan : “kemudian, ikatlah”
Gambar 12: Ketidakkonsistenan dalam penulisan
(smbr: Bab Dodotan, hlmn 9)
Kata “banjur” dalam penulisan Jawa dapat menggunkan huruf „nya‟
yang kemudian diberi pasangan „ja‟ kemudian juga dapat
menggunakan huruf „na‟ yang diberi pasangan „ja‟, dalam pengucapan
tetap „banjur‟. Tetapi dalam naskah penulisan kata „banjur‟ tidak
konsisten, lebih banyak menulis menggunakan na kemudian diberi
pasangan ja.
(2) Penggunaan huruf Jawa murda pada kata Ratu
(a)
“...panjenengan dalem Ratu”
Terjemahan : “...kamu adalah Ratu/Raja”
13
(b)
”...ngarsaning ratu”
Terjemahan: “...rumahnya ratu/raja”
Gambar 13: Ketidakkonsistenan penggunaan aksara murda.
(Smbr: Bab dodotan hlmn 11 dan 12)
Ketidakkonsistenan penulis dalam menggunakan aksara murda pada
kata ratu. Karena Ratu adalah nama orang ataupun jabatan / tahta,
penulisan aksara murda yang benar pada kata Ratu yaitu huruf ta
menggunakan aksara murda.
8. Gaya tulisan penulis
1) jika mengalami kesalahan dalam penulisan
Gambar 14: Pembetulan dengan pemberian dua sandhangan
(Smbr: Bab Dodotan hlmn 1)
“banjur digandhèng ... mujur adu sèrèt”
Terjemahan: kemudian disambungkan/dijadikan satu panjangnya adu sèrèt
14
Penggunaan dua sandhangan dalam satu huruf yang tidak memiliki
makna. Setelah mengalami pembetulan menjadi “banjur digandhéng
mujur adu sérét” pada huruf ha dan da tidak perlu dibaca.
2) Penggunaan kode dalam teks
Gambar 15: Kode angka arab (1)
(smbr: Bab Dodotan hlmn 1)
“...dibalênggi(1)...”
Terjemahan : “...dibalênggi (1)...”
Kode angka arab (1) dengan kata sebelumnya dibalênggi, kode tersebut
bermaksud untuk menjelaskan dibalênggi yang penjelasannya ditulis
pada halaman berikutnya.
Gambar 16: Maksud dari kata yang diberi kode (1)
(smbr: Bab Dodotan bagian verso)
15
“(1) balênggi iku wus nganggo...”
Terjemahan : “(1) balênggi itu sudah memakai…”
Terdapat penjelasan mengenai kata balênggi pada halaman setelah kode
angka arab (1)
9. Terdapat cap penanda bagian oleh pihak kolektor
Pada teks terdapat cap huruf A dan B. Cap tersebut berwarna merah
sama seperti pada cap kepemilikan naskah „panti budaya‟. Cap
diberikan sebelum naskah diterbitkan, maksudnya sebelum naskah
menjadi bahan bacaan umum pada saat itu, naskah diteliti terlebih
dahulu oleh pihak kolektor. Dari cap tersebut dapat disimpulkan
bahwa cap merah huruf A dan B merupakan sebuah penanda bagian
isi teks untuk membedakan pembahasan pada isinya, berikut tampilan
cap huruf A dan B:
Gambar 17: Cap penanda bagian
Isi teks dibagi menjadi 2, untuk cap penanda bagian huruf A meliputi
bagian dari teks yang membahas pengertian dan cara memakai dodot.
16
Sedangkan untuk cap merah huruf B adalah mendandakan bahwa
bagian tersebut yang menjelaskan nama-nama dodot.
10. Perlunya diadakan rekontruksi teks
Masalah filologi tidak hanya sekedar menyelesaikan masalah-masalah
mengenai kesalahan si penulis di dalam teks, akan tetapi juga perlu
mencari kebenaran yang sesungguhnya. Maksudnya seperti yang
terdapat dalam naskah Bab Dodotan, naskah ini memiliki keunikan
dalam urutan penulisan. Keunikan itu dibantu dengan adanya
interpolasi kalimat dan juga terdapat cap huruf dari pihak kolektor.
Hal ini yang menjadikan peneliti untuk melakukan rekontruksi teks
yaitu pengembalian seperti semula atau penyusunan kembali (KBBI).
Penyusunan kembali teks naskah Bab Dodotan dilakukan dengan
melihat urutan halaman teks yang tidak sesuai, disertai dengan adanya
penambahan cap huruf A dan B oleh pihak kolektor. Rekontruksi teks
tersebut dilakukan pada analisis data bagian terjemahan.
Contoh di atas adalah sedikit masalah-masalah yang terdapat dalam
naskah teks Bab Dodotan. Berdasarkan kesalahan dan kekurangan tulis yang
ditemukan, maka perlu adanya suntingan teks untuk mencapai kesempurnaan
dalam penelitian dengan menuangkan persepsi peneliti secara ilmiah dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Kedua, berdasarkan segi isi. Pada naskah Bab Dodotan memberikan
informasi mengenai pakaian adat Jawa yang berupa dodot. Dalam teks naskah
tersebut memberikan pengertian dari dodotan, cara memakai dan nama jenis
pemakai dodot. Dodot adalah busana adat Jawa yang terbuat dari kain batik yang
17
panjang. Seperti dalam Naskah Bab Dodotan; “Dodot iku jarik bathik kang
dawané sathithik-sathithiké pitung kacu, akèh-akèhé sangang kacu mori amba”,
yaitu Dodot adalah kain bathik yang panjangnya sedikit-dikitnya 7 kacu (ukuran),
banyak-banyaknya dengan lebar 9 kacu mori (kain putih polos). Busana dodot
merupakan busana kebesaran yang digunakan oleh kawasan keraton yang
pemakaiannya tidak sembarang acara. Adapun acara-acara yang mengharuskan
memakai dodot seperti grebegan, pasowanan dan pernikahan.
Acara besar tersebut mewajibkan untuk memakai dodot. Dodot juga sering
di sebut kampuh. Kampuh atau dodot memiliki fungsi maupun peranan strata
sosial. Hal ini dibuktikan dari jenis bahan dasar dan gambar / corak yang terdapat
pada kain dodot dan cara pemakaiannya. Maka dari itu, tidak boleh sembarang
orang yang dapat mengenakannya dan tidak sembarang waktu digunakan.
Dodot maupun kampuh juga memiliki makna simbolis yang sesuai dengan
prinsip orang jawa yaitu bergotong-royong karena memakai dodot tidak dapat
dilakukan sendiri, perlunya bantuan orang yang paham mengenai cara memakai
jarik panjang tersebut.
Memakai dodot memerlukan dua orang karena kain yang digunakan begitu
panjang. Sebelum memakaikan dodot di badan pemakai harus menggunakan
celana terlebih dahulu celana tersebut terbuat dari bahan cindhe, seperti dalam
teks naskah Bab Dodotan “orang yang mau mengenakan dodot harus
menggunakan saruwal/celana terlebih dahulu, setelah itu baru mengenakan dodot
di badan”. Kemudian dilanjutkan melilitkan jarik yang panjang tadi ke badan
orang yang akan memakai yang kemudian disampirkan ke bahu pengguna, seperti
18
teks naskah Bab Dodotan: Pojoking dodot kang balenggén diwiru tumeka
pojoking dodot kang sisih (ngencong) banjur disampiraké pundhak tengen.
Cara memakai dodot dalam setiap acara besar setiap pangkat atau jabatan
dalam kraton sama saja, akan tetapi yang membedakan adalah cincingan dan
klèmbrèhan. Tidak hanya itu, motif pada kain kampuh yang dikenakan pria dapat
membedakan strata sosial yang lebih menekankan jabatan si pengguna. Hal
tersebut akan membedakan apakah dia Raja, Putra mahkota, Pangeran, dan
Bupati. Adapun nama-nama dodot yaitu: (1) dodot bathik latar hitam dan putih
(kampuh balênggèn) yang dipakai oleh raja, putra mahkota, para pangeran putra
sentana dan pepatih dalem. (2) dodot Gadhung Mlati, yaitu ketika pengantin
bertemu. (3) kampuh bangun tulak bermotif alas-alasan, dipakai ketika upacara
nikahan. Walaupun dalam naskah Bab Dodotan tidak disertai gambar yang
lengkap, akan tetapi dari teks tersebut memberikan informasi yang terperinci, dan
cara-cara pemakaian dodot dengan jelas. Dodot bukan sekedar kain, tetapi juga
pelengkap dalam berbusana Jawa Lengkap, biasanya untuk upacara resmi seperti
pasowanan, grebeg, menerima tamu agung, pernikahan.
Dodot sebagai Busana adat Jawa yang perlu diketahui dan dikembangkan.
Telah jarang masyarakat umum yang memahaminya. Apalagi mengetahui cara
penggunaan dan siapa saja yang boleh memakai dodot. Dalam dunia akademik
khususnya pada bidang atau jurusan Tata Rias, cara memakai dodot menjadi
komponen yang pokok dalam pembahasan materi mereka karena dodot adalah
salah satu pakaian Pengantin Adat Jawa (Solo-Jogja) yang dalam upacaranya
sering disebut Basahan. Basahan antara solo dengan jogja berbeda. Sesuai dengan
naskah Bab dodotan yang ditulis oleh R.T Purbadipura seorang Bupati Anom di
19
Surakarta pada masa PB X, pembahasan dalam kajian isi lebih menekankan pada
gagrak Solo (gaya Solo/Surakarta) dan dalam lingkup keraton Surakarta.
Keraton Surakarta yang identik dengan kebudayaannya yang masih kental
dan masih dilestarikan hingga sekarang. Khususnya pada penggunaan busana adat
jawa, inilah yang mendorong peneliti untuk mengangkat dan meneliti naskah Bab
Dodotan dari segi kajian isi sebagai bahan penelitian. Penunjang dari penelitian
naskah Bab Dodotan adalah buku karya; Mooryati Soedibyo tahun 2003 dengan
judul “Busana Keraton Surakarta Hadiningrat”, dan penelitian berupa skripsi oleh
Rus Hendra tahun 2002 dengan judul “katrangan Bab Kampuhan (suatu tinjauan
filologis)”, dilengkapi dengan wawancara kepada narasumber yang berkaitan
mengenai busana kraton maupun kebudayaannya yaitu K.G.P.H Puger selaku
Pengageng Sasana Pustaka dan K.R.A.A Budayaningrat (bp Yusdianto) selaku
pengampu Pawiyatan (lembaga kebudayaan) di Surakarta. Maka, sangat
disayangkan mengingat busana dodot berperan penting dalam kehidupan sekarang
dan merupakan warisan budaya yang juga perlu dilestarikan akan hilang dan
punah begitu saja.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian naskah Bab Dodotan, sebagai berikut :
1. Bagaimana suntingan teks naskah dengan judul Bab Dodotan yang bersih dari
kesalahan sesuai dengan cara kerja filologi?
2. Bagaimana kandungan isi naskah Bab Dodotan tentang nama jenis dodot dan
penggunanya, cara pemakaian serta ketepatan pemakaian dodot dan makna
simboliknya?
20
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Menyajikan suntingan teks naskah Bab Dodotan yang bersih dari kesalahan
sesuai dengan cara kerja filologi.
2. Mendeskripsikan isi naskah Bab Dodotan tentang nama jenis dodot dan
penggunanya, cara pemakaian serta ketepatan pemakaian dodot dan makna
simboliknya.
D. Batasan Masalah
Bab dodotan adalah naskah tunggal yang perlu diteliti dari berbagai sudut
pandang, karena di dalamnya terdapat permasalahan-permasalahan seperti lakuna,
adisi, teks korup, dan juga dalam penyampaian isi yang terkandung di dalamnya.
Adanya berbagai bentuk permasalahan yang terdapat dalam naskah Bab Dodotan,
maka diperlukan penegasan dan pemberian batasan masalah sehingga tidak akan
terjadi perlebaran permasalahan. Batasan masalah tersebut ditekankan pada dua
kajian utama, yaitu kajian filologis dan kajian isi.
E. Landasan Teori
1. Pengertian Filologi
Dalam Kamus Istilah-istilah Filologi (1977:16) filologi adalah ilmu yang
menyelidiki perkembangan kerohanian suatu bangsa dan kekhususannya atau
yang menyelidiki kebudayaan berdasarkan bahasa dan kasustraannya. Secara
etimologis berasal dari bahasa Yunani philologia yang berupa gabungan kata
dari philos yang berarti cinta dan logos yang berarti kata. Jadi, dapat diartikan
21
sebagai cinta kata atau senang bertutur, yang berkembang menjadi senang
belajar, senang ilmu, dan senang kesastraan atau senang kebudayaan (Siti
Baroroh Baried, et al., 1994;2).
Dalam arti luas filologi adalah ilmu yang mempelajari segala segi
kehidupan dimasa lalu seperti yang ditemukan dalam tulisan. Di dalamnya
tercakup bahasa, sastra, adat istiadat, hukum, dan lain sebagainya, menurut
Achadiati Ikram (1997:1). Dan, Edwar Djamaris (2002:3) dalam sejarah
pekembangannya menyebutkan bahwa filologi merupakan suatu ilmu yang
objek penelitiannya naskah-naskah lama. Jadi, secara umum filologi adalah
ilmu yang mempelajari kehidupan masalalu dengan objek kajian adalah
naskah-naskah lama yang di dalamnya mencakup berbagai pengetahuan.
2. Objek Filologi
Objek penelitian filologi adalah naskah dan teks, teks menunjukkan
pengertian sesuatu yang abstrak, sedangkan naskah merupakan suatu yang
konkret (Siti Baroroh Baried, 1983:5). Naskah tulisan tangan disebut
manuscript dalam bahasa inggris, dan dalam bahasa belanda handscript.
naskah tulisan tangan menjadi objek utama penelitian filologi.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002), naskah adalah karangan
yang masih ditulis dengan tangan. Maka, hal ini sesuai dengan kalimat Bani
Sudardi dalam buku penggarapan naskah (2003:10), naskah adalah tempat
teks-teks ditulis. Naskah wujudnya konkret, nyata, dapat dipegang dan diraba.
Kaitannya dengan penelitian yang menjadi objek penelitian filologi kali ini
adalah naskah tulisan tangan wujudnya konkret, nyata berjudul Bab Dodotan.
22
3. Langkah Kerja Penelitian Filologi
Langkah kerja penelitian filologi menurut Edwar Djamaris (2002:10),
meliputi inventarisasi naskah, deskripsi naskah, pertimbangan dan
pengguguran naskah, dasar-dasar penentuan naskah yang asli atau naskah yang
berwibawa, transliterasi naskah, dan suntingan teks. Pada khasus naskah yang
berjudul Bab Dodotan menggunakan tahapan atau langkah kerja penelitian
filologi menurut Edwar Djamaris tahun 2002. Mengingat bahwa naskah ini
merupakan naskah tunggal, tidak diperlukannya perbandingan naskah di dalam
penggarapan.
Secara terperinci, langkah kerja penelitian filologi adalah sebagai berikut:
a. Penentuan Sasaran Penelitian
Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah menentukan sasaran
penelitian karena banyaknya ragam yang perlu dipertimbangkan, baik dari
segi tulisan, bahan, bentuk, maupun isinya. Ragam naskah tersebut cara
penulisannya berbeda-beda, sepertiditulis menggunakan huruf Arab, Jawa,
Bali, Sasak dan Batak. Adapula penulisannya pada kertas, daun lontar,
kulit kayu, atau rotan. Kemudian, naskah juga memiliki bentuk tulisan
yaitu puisi dan prosa. Naskah juga memiliki isi yang beragam, di
antaranya sejarah atau babad, kesusastraan, cerita wayang, kesenian,
cerita dongeng, primbon, adat istiadat, ajaran atau piwulang, agama, dan
sebagainya.
Berdasarkan hal tersebut, sasaran yang ingin diteliti telah
ditentukan yaitu naskah bertuliskan Jawa carik yang ditulis pada kertas
berbentuk prosa yang termasuk dalam buku teks adat istiadat. Sasaran
23
penelitian ini tertuju pada naskah yang berjudul Bab Dodotan, naskah ini
memberikan informasi mengenai dodotan, cara pemakaiannya, macam
nama dodot dan pemakainya.
b. Inventarisasi Naskah
Inventarisasi naskah dilakukan dengan mendata dan
mengumpulkan naskah yang judulnya sama dan sejenis untuk dijadikan
objek penelitian. Menurut Edi S. Ekajati (1980), bila hendak melakukan
penelitian filologi, pertama-tama harus mencari dan memilih naskah yang
akan dijadikan pokok penelitian, dengan mendatangi tempat-tempat
koleksi naskah atau mencarinya melalui katalog. Langkah ini dilakukan
untuk mengetahui jumlah naskah, dimana tempat penyimpanannya, dan
penjelasan lain tentang keadaan naskah. Naskah Bab Dodotan hanya
ditemukan satu judul naskah dan telah dilakukan pengecekkan di tempat
penyimpanan yaitu Museum Sonobudaya, jadi naskah Bab Dodotan
merupakan naskah tunggal.
c. Deskripsi Naskah
Deskripsi naskah merupakan uraian singkat atau ringkasan pada
naskah secara terperinci. Deskripsi naskah penting dilakukan karena untuk
mengetahui kondisi naskah dan sejauh mana isi mengenai naskah yang
diteliti. Emuch Herman Sumantri (1986:2) menguraikan bahwa deskripsi
naskah merupakan sarana untuk memberikan informasi atau data
mengenai: judul naskah, nomor naskah, tempat penyimpanan naskah, asal
naskah, keadaan naskah, ukuran naskah, tebal naskah, jumlah baris setiap
halaman, huruf, aksara, tulisan, cara penulisan, bahan naskah, bahasa
24
naskah, bentuk teks, umur naskah, pengarang atau penyalin, asal-usul
naskah, fungsi sosial naskah, serta ikhtisar teks atau cerita.
d. Transliterasi
Transliterasi adalah penggantian jenis tulisan, huruf demi huruf,
dari abjad yang satu ke abjad yang lain (Siti Baroroh Baried, 1985:65).
Transliterasi penting dilakukan karena menyangkut objek dari penelitian
adalah naskah Jawa yang penulisannya menggunakan huruf Jawa.
Semakin modernisasi zaman, banyak yang menesampingkan kasustraan
klasik dan semakin banyak masyarakat yang tidak begitu mengenal lagi
aksara Jawa. Dalam tahap transliterasi terhadap naskah Bab Dodotan yang
merupakan naskah tunggal, maka peneliti memilih untuk menggunakan
transliterasi standar. Transliterasi standar yaitu transliterasi yang
disesuaikan dengan ejaan yang berlaku. Dalam transliterasi ini diperlukan
beberapa kamus untuk menyesuaikan ejaan yang berlaku adapun macam
kamusnya yakni Bausastra karangan W.J.S Poerwadarminta tahun 1939
dan kamus Basa Jawa (Bausastra Jawa) karangan Tim penyusun Balai
Bahasa Yogyakarta tahun 2001.
e. Kritik Teks
Pengertian kritik teks menurut Paul Mass dalam Darusuprapta
(1984:1) adalah menempatkan teks pada tempat yang sewajarnya,
memberi evaluasi terhadap teks, meneliti atau mengkaji lembaran naskah
dan lembaran bacaan yang mengandung kalimat-kalimat atau rangkaian
kata-kata tertentu.
25
f. Suntingan Teks dan Aparat Kritik
Suntingan teks adalah hasil dari pembetulan-pembetulan dan
perubahan-perubahan sehingga dianggap bersih dari segala kekeliruan
(Darusuprapta, 1984:5). Dalam membuat suntingan, kesalahan-kesalahan
yang ditemukan dicatat dalam suatu wadah khusus yang disebut aparat
kritik. Sesuai dengan ciri khas suatu suntingan filologis adalah adanya
pertanggungjawaban yang berupa aparat kritik tersebut (Bani Sudardi,
2003:58).
Aparat kritik merupakan pertanggungjawaban ilmiah dari kritik
teks yang berisi kelainan bacaan yang ada dalam suntingan teks atau
penyajian teks yang sudah bersih dari korup (Mulyani, 2005:26).
g. Terjemahan
Terjemahan sebenarnya bukan merupakan kegiatan filologi.
Namun, karena bahasa teks-teks merupakan bahasa daerah atau bahasa
klasik, maka teks-teks perlu di terjemahkan agar dapat dikenal oleh
khalayak-khalayak secara meluas (Bani Sudardi, 2003:67). Jadi,
penerjemahan teks merupakan hal yang penting untuk disajikan dan
memiliki tujuan praktis. Menurut Mulyani (2009:28) terjemahan adalah
suatu langkah dalam kajian filologi yang berupa penggantian bahasa
naskah ke dalam bahasa lain, misal dari bahasa Jawa ke dalam Bahasa
Indonesia. Hal itu dimaksudkan agar lebih mudah dipahami masyarakat
secara umum.
Dalam penelitian ini, menggunakan metode penerjemahan isi atau
makna, sehingga lebih mudah dalam penyampaiannya. Terjemahan isi atau
26
makna adalah kata-kata yang diungkapkan dalam bahasa sumber
diimbangi salinannya dengan kata-kata bahasa sasaran yang sepadan
(Darusuprapta, 1984:9).
4. Pengertian Busana dan Dodotan
Menurut Moeryati Soedibyo (2003:24), busana dapat dijadikan sebagai
alat untuk berkomunikasi dengan baik. Dengan busana yang dikenakan,
seseorang akan bersikap tepat dan berkomunikasi dengan efektif sesuai dengan
norma yang berlaku. Dari busana yang dikenakan juga akan diketahui derajat,
pangkat, serta kedudukan seseorang dalam hierarki.
Mooryati Soedibyo (2003:24) juga menekankan bahwa busana khas
keraton adalah hasil budi daya dan olah cipta kreatif para nenek moyang
dengan pemahaman akan seni dan budaya dalam kaitannya dengan estetika dan
etika.
Busana khas keraton yang merupakan hasil budidaya olah cipta ini salah
satunya berupa dodot. Menurut KBBI (2002) Dodot adalah pakaian adat Jawa
dari kain batik atau cindai panjang dan lebar, dipakai pada upacara resmi (oleh
pengantin dan sebagainya). Dodot adalah nama lain dari kampuh, karena
biasanya kampuh dipakai oleh orang yang berpangkat Bupati ke atas.
5. Macam dodot dan makna simbolik
Budaya sebagai hasil dari tingkah laku atau hasil kreasi manusia
memerlukan bahan, material atau alat penghantar untuk menyampaikan
maksud atau pengertian yang terkandung di dalamnya (Budiono, 2008:137).
27
Kampuh atau dodot adalah hasil kreasi manusia sebagai penghantar berupa
simbol memberi maksud dan memiliki makna sesuai pemakainya. Adapun
beberapa nama dodot sesuai pemakainya. Adapun nama-nama kampuh dan
yang berhak memakainya: 1) kampuh balênggèn batik yang tengahnya
memakai blumbangan untuk raja, putra mahkota, para pangeran putra sentana,
dan pepatih dalem. Kampuh balenggen batik latar putih ler ageng untuk bupati
dan bupati anom. Kampuh balenggen batik rejeng latar putih untuk abdi dalem
mayor dan bupati anom gandhek. 2) dodot gadhung mlathi digunakan oleh
pengantin, dengan warna hijau. 3) dodot Bangun Tulak digunakan ketika
penganten bertemu pasangannya. Dari nama dodot di atas untuk membedakan
strata kepangkatan di lingkungan Keraton Surakarta yang memiliki nilai
filosofi adalah perbedaan motif-motif dari kain dodot tersebut. Moeryati (1984)
juga mengatakan untuk pengantin pria dan wanita biasanya dipilih kain dengan
corak sidomukti, sidoasih, sidomulyo, sidoluhur dan lain-lain yang
mengandung makna bak bagi suami istri yang akan menghadapi hidup baru.
Keanekaragaman nama kampuh dan pemakainya termasuk dalam fungsi dodot
yang mencerminkan adanya berbagai golongan sosial.
Fungsi secara etimologi adalah jabatan, kedudukan, peranan, guna,
kegunaan, manfaat. Kaitannya dengan penelitian ini, Dodot memiliki fungsi
sosial dalam masyarakat karena tidak sembarangan orang yang dapat memakai
dodot. Pemakaian dodot juga memiliki fungsi lain yaitu menjadi ciri khas
masyarakat Jawa sering disebut gotong royong (team work) karena dalam
memakainya tidak dapat dilakukan secara sendiri. Masyarakat yang berada
dalam lingkungan keraton paham benar fungsi dari dodot. Dodot yang
28
memiliki strata sosial pemakainya, biasanya yang memakai kampuh atau dodot
adalah orang yang berkedudukan tinggi/berpangkat. Tetapi untuk masyarakat
pada umumnya dodot dapat digunakan saat melaksanakan pernikahan/kawin
yang merupakan pelengkap dari pakaian adat Jawa.
Sebagai sarana pembelajaran dalam bidang Tata Rias, dodot memiliki
peranan penting dalam keberhasilan seorang Perias Pengantin kususnya daerah
Jawa. Karena, memakai / mengenakan dodot tidak dapat dilakukan sendiri dan
membutuhkan waktu yang lama untuk mempelajarinya. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (2002) tata cara berarti aturan (cara) sesuai adat kebiasaan.
Tata cara busana dalam KBBI (2002) juga diartikan cara-cara (aturan-aturan)
berpakaian dan berias. Hal tersebut sesuai dengan isi naskah yang membahas
langkah-langkah atau cara atau urutan memakai dodot.
Dalam naskah Bab Dodotan menguraikan mengenai cara memakai dodot.
Hal ini akan menjadikan satu landasan atau pedoman dalam pengembangan
Tata Rias Pengantin Jawa. Tidak hanya itu, langkah-langkah memakai dodot
dalam naskah ini akan mengajak kepada khalayak kembali pada masa kerajaan,
dimana gotong royong sangat dibutuhkan pada saat itu.
F. Data dan Sumber Data
Data adalah yang dihasilkan dari sumber data. Data dalam penelitian ini
dibedakan menjadi 2 yaitu, primer dan sekunder. Untuk data primer dalam
penelitian ini adalah naskah dan teks Bab Dodotan dengan nomor katalog lokal
Museum Sonobudaya PB.113. Kemudian, untuk data sekunder yang digunakan
dalam penelitian ini adalah naskah teks Bab Dodotan yang bersih dari keslahan
29
dan juga telah dialihbahasakan. Data sekunder juga merupakan data penunjang
dari penelitian yang berupa buku-buku mengenai busana Jawa keraton. Selain
data penunjang berupa buku, peneliti juga mamasukkan data berupa hasil
wawancara terhadap narasumber yang bersangkutan mengenai pakaian adat Jawa
(dodot), menjadi data sekunder dari penelitian.
Sumber data adalah segala sesuatu yang mampu menghasilkan data dan
merujuk pada suatu tempat. Sumber data dari penelitian ini adalah naskah dan
teks Bab Dodotan yang tersimpan di Perpustakaan Museum Sonobudoyo,
Yogyakarta. Data naskah Bab Dodotan yang telah bersih dari kesalahan sesuai
kerja filologi.
G. Metode dan Teknik
1. Bentuk dan Jenis Penelitian
Bentuk penelitian terhadap naskah dan teks Bab Dodotan adalah
penelitian filologi, yang objek kajiannya adalah manuscript (naskah tulisan
tangan). Penelitian ini bersifat kualitatif deskriptif, yang berarti data yang
ditemukan, dikumpulkan, diteliti, digambarkan, ditulis, dilaporkan, dianalisis,
ditelaah sesuai dengan apa yang telah di peroleh atau sesuai dengan bentuk
data asli (Moleong, 2010: 11). Bogdan R.C dan S.K. Bikelndalam M. Attar
Semi (1993) bahwa pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif ini
berpandangan bahwa semua penting dan semuanya mempunyai pengaruh.
Dengan mendeskripsikan segala macam bentuk tanda (semiotic) akan
membentuk dan memberikan suatu pemahaman yang lebih komprehensif
mengenai apa yang sedang dikaji.
30
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian pustaka atau library
research yaitu penelitian yang menggunakan sumber-sumber tertulis untuk
memperoleh data (Edi Subroto,1992:42).
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data adalah cara yang dilakukan untuk
mengumpulkan data penelitian. Teknik yang digunakan adalah content
analysis. Sutopo (2002:58) menjelaskan bahwa ada dua cara dalam
melakukan teknik pengumpulan data, yaitu: teknik pengumpulan data
interaktif dan non interaktif. Dalam penelitian ini content analysis tergolong
dalam teknik pengumpulan data non interaktif. Non interaktif yang
dimaksudkan adalah pengumpulan data yang sebatas pada penelitian ini yaitu
naskah Bab dodotan.
Langkah awal pengumpulan data penelitian ini yaitu dengan : (1)
inventarisasi naskah. Kemudian, (2) melakukan observasi untuk meninjau
langsung tempat penyimpanan naskah Bab Dodotan. (3) mencetak, naskah
yang telah didigitalisasi oleh pihak museum dicetak dengan cara print. (4)
setelah mendapat bentuk printout dari naskah kemudian di scan guna
mempermudah dalam melakukan penelitian dan pembuktian.
Inventarisasi naskah, peneliti hanya menemukan satu naskah Bab
Dodotan. Pengecekan dan pelacakan sudah dilakukan terhadap naskah-
naskah sejenis, tetapi hanya menemukan satu buah naskah Bab Dodotan.
Setelah melakukan inventaris naskah dilanjutkan pengumpulan data yaitu
mencetak naskah yang telah didigitalisasi oleh Museum Sonobudoyo, karena
naskah adalah barang lindung negara, sehingga tidak mudah untuk melihat
31
secara langsung naskah aslinya. Setelah melakukan cetak naskah kemudian
hasil cetakan di scan guna memudahkan dalam pembuktian adanya naskah
yang diteliti.
Langkah selanjutnya yaitu membuat deskripsi naskah. Hal ini untuk
mendapat gambaran asli dari naskah Bab Dodotan. Deskripsi naskah yang
memperinci bentuk fisik dari naskah hanya dilakukan di tempat penyimpanan
naskah tersebut yaitu di Museum Sonobudaya, karena peraturan dari pihak
Museum yang melarang keras naskah dibawa pulang/keluar dari area
Museum. Setelah seluruh data dapat terkumpul dilanjutkan dengan analisis
data secara filologi maupun kajian isi.
Analisis kajian isi menggunakan beberapa teori yang telah ada
kemudian didukung dengan wawancara terhadap narasumber, dalam hal ini
narasumber yang berkaitan adalah Pengageng Sasana Pustaka Keraton
Surakarta yang juga selaku PLT PB XIII yaitu K.G.P.H Puger, dan Bp
Yusdianto selaku pengampu pawiyatan Keraton Surakarta. Peneliti
mengambil informan yang memiliki potensi di bidang Adat Jawa khusunya
gagrak Surakarta karena akan menggali informasi mengenai Dodot, nama-
nama dodot, cara pemakaian dodot, serta makna simboliknya.
3. Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode penyuntingan
naskah tunggal dengan edisi standar. Analisis data akan diolah sesuai dengan
teori tahapan/langkah kerja penelitian filologi. Langkah kerja penelitian
filologi menurut Edwar Djamaris yakni mulai dari penentuan sasaran
penelitian, inventarisasi naskah, observasi pendahuluan dan deskripsi naskah,
32
transliterasi naskah, kritik teks, suntingan teks dan aparat kritik, dan
terjemahan. Pada naskah tunggal langkah kerja perbandingan naskah dan
dasar-dasar penentuan naskah yang akan ditransliterasi tidak diperlukan.
Sedangkan yang dimaksud edisi standar (biasa) adalah penyunting
mengidentifikasi sendiri bagian dalam teks yang terdapat permasalahan dan
menawarkan jalan keluar.
Robson (1994: 25) menyebutkan jalan keluar dalam metode standar,
antara lain: 1) Apabila penyunting merasa bahwa ada kesalahan dalam teks,
peneliti dapat memberikan tanda yang mengacu pada aparatus kritik dan
menyarankan bacaan yang lebih baik, 2) Jika terdapat teks yang salah,
penyunting dapat memasukkan koreksi ke dalam teks tersebut dengan tanda
yang jelas yang mengacu pada aparatus kritik dan bacaan asli akan didaftar
dan ditandai sebagai “naskah”.
Metode standar digunakan karena isi naskah dianggap sebagai cerita
biasa, bukan cerita yang dianggap suci atau penting dari sudut pandang
agama atau bahasa, sehingga tidak perlu diperlakukan secara khusus atau
istimewa. Menurut Edwar Djamaris (2002: 24), hal-hal yang perlu dilakukan
dalam edisi standar, yaitu mentransliterasi teks, membetulkan kesalahan
dalam teks, membuat catatan perbaikan atau perubahan, memberi komentar
atau tafsiran, membagi teks dalam beberapa bagian dan menyusun daftar kata
sukar.
Tahap akhir dari analisis data dengan mengungkapkan isi yang
terkandung dalam teks naskah Bab Dodotan, kandungan isi dalam Bab
Dodotan lebih menekankan pada pengertian busana dan cara pemakaian
33
dodotserta macam dan fungsi. Didukung dengan data penunjang, yakni buku-
buku, artikel-artikel, majalah-majalah, makalah-makalah, akses internet dan
lain-lain.
34
H. Sistematika Penulisan
Bab I
Pendahuluan
Bab ini merupakan uraian tentang latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian,kajian pustaka, landasan teori, metode
penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II
Analisis Data
Analisis Data merupakan bagian dari pemaparan hasil analisis dari permasalahan
yang dibahas dalam penelitian, yaitu mengenai Kajian Filologi,
mencakup;Inventarisasi Naskah, Deskripsi Naskah, Alih aksara, Terjemahan,
Kritik Teks, Suntingan teks dan Aparat Kritik. Dan Kajian Isi membahas
mengenai isi dari Naskah Bab Dodotan yang disertai dengan data wawancara.
Bab III
Penutup
Berisi kesimpulan dan saran, pada bagian akhir dicantumkan daftar
pustaka, lampiran-lampiran dan daftar istilah dalam naskah Bab Dodotan