28
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan Taman Nasional Karimunjawa merupakan gugusan kepulauan berjumlah 22 pulau yang terletak di Laut Jawa, mempunyai luas 111.625 Ha (SK Menhut No. 78/Kpts-II/1999 tanggal 22 Februari 1999). Sebagai kawasan yang dilindungi tentu memiliki kelebihan potensi dibandingkan dengan daerah lain. Potensi yang paling menonjol adalah sumberdaya alam laut terutama sektor perikanan di mana kelimpahan ikannya masih banyak. Kawasan perairan laut yang terjaga menjadikan lingkungan laut di kawasan Taman Nasional Karimunjawa memiliki kelebihan di banding kawasan perairan laut di lokasi lain, khususnya di perairan laut Pantai Utara Jawa. Kondisi terumbu karang yang masih baik menyebabkan ikan bisa berkembang biak dengan baik karena habitatnya masih terjaga. Kapal- kapal yang berasal dari luar Karimunjawa dapat melakukan aktifitas penangkapan ikan di sekitar perairan kepulauan Karimunjawa. Hal tersebut disebabkan mudahnya mendapatkan hasil yang melimpah di bandingakan melakukan aktivitas penangkapan ikan di lokasi yang lain. Apalagi bila kegiatan penangkapan ikan dilakukan zona terlarang yaitu zona inti dan zona perlindungan Taman Nasional Karimunjawa.

BAB I PENDAHULUAN Kawasan Taman Nasional …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/80704/potongan/S2-2015... · kelebihan di banding kawasan perairan laut di lokasi lain, ... Kondisi

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kawasan Taman Nasional Karimunjawa merupakan gugusan

kepulauan berjumlah 22 pulau yang terletak di Laut Jawa, mempunyai luas

111.625 Ha (SK Menhut No. 78/Kpts-II/1999 tanggal 22 Februari 1999).

Sebagai kawasan yang dilindungi tentu memiliki kelebihan potensi

dibandingkan dengan daerah lain. Potensi yang paling menonjol adalah

sumberdaya alam laut terutama sektor perikanan di mana kelimpahan

ikannya masih banyak. Kawasan perairan laut yang terjaga menjadikan

lingkungan laut di kawasan Taman Nasional Karimunjawa memiliki

kelebihan di banding kawasan perairan laut di lokasi lain, khususnya di

perairan laut Pantai Utara Jawa.

Kondisi terumbu karang yang masih baik menyebabkan ikan bisa

berkembang biak dengan baik karena habitatnya masih terjaga. Kapal-

kapal yang berasal dari luar Karimunjawa dapat melakukan aktifitas

penangkapan ikan di sekitar perairan kepulauan Karimunjawa. Hal

tersebut disebabkan mudahnya mendapatkan hasil yang melimpah di

bandingakan melakukan aktivitas penangkapan ikan di lokasi yang lain.

Apalagi bila kegiatan penangkapan ikan dilakukan zona terlarang yaitu

zona inti dan zona perlindungan Taman Nasional Karimunjawa.

2

Penduduk Kepulauan Karimunjawa yang mayoritas bermata

pencaharian sebagai nelayan, sangat menggantungkan hidupnya dari

sumberdaya alam laut terutama perikanan yang ada di sekitar perairan

kepulauan Karimunjawa. Hal ini terkadang membuat nelayan

Karimunjawa melanggar fungsi zonasi apabila terdesak oleh kebutuhan

hidup atau kondisi cuaca yang membatasi mereka dalam mencari ikan.

Pelanggaran zonasi dapat terjadi ketika masyarakat yang memiliki

berbagai sudut pandang berbeda, kemudian memetakan situasi mereka

secara bersama berdasarkan hasil pembelajaran dari pengalaman dan

pandangan masing-masing. Di sini akan terjadi cara pandang yang beda

antar pihak karena sudut pandang nelayan akan berbeda dengan Balai

Taman Nasional Karimunjawa yang lebih memprioritaskan konservasi

dari pada eksploitasi sumberdaya alam. Tapi keberadaan masyarakat yang

lebih dulu ada di banding Taman Nasional Karimunjawa di wilayah

kepulauan Karimunjawa harus diakui dan diperhatikan dalam membuat

suatu kebijakan pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa.

Inti persoalan dari konflik yang terjadi adalah masalah kesejahteraan

(ekonomi) dan konservasi. Di satu pihak ada yang ingin mengeksploitasi

sumberdaya alam perairan laut Karimunjawa sedangkan di pihak lain ada

yang ingin menjaga kelestariaannya agar dapat mendatangkan manfaat

dalam jangka panjang bagi masyarakat meskipun tidak disadari atau

kadang tidak dirasakan secara langsung. Konflik antara nelayan dengan

Balai Taman Nasional Karimunjawa sudah lama terjadi dan tidak ada

3

solusi jelas atau inkonsistensi dalam penegakan aturan. Balai Taman

Nasional Karimunjawa telah melakukan beberapa intervensi guna

menyelesaikan konflik yang terjadi, diantaranya revisi zonasi yang

melibatkan masyarakat, meningkatkan peran serta masyarakat dalam

mengamankan kawasan, dan kolaborasi pemanfaatan sumberdaya alam

laut untuk kegiatan ekowisata. Namun konflik antara nelayan dengan Balai

Taman Nasional Karimunjawa masih tetap terjadi.

Penelitian tentang konflik nelayan di Taman Nasional Karimunjawa

selama ini telah dilakukan tapi yang lebih banyak dibahas adalah aspek

dari segi hukumnya dan konsep pengelolaan Taman Nasional

Karimunjawa. Namun belum ada perhatian terhadap apa yang menjadi

masalah dari konflik itu sendiri serta bagaimana resolusi konfliknya untuk

mencari solusi dari konflik yang terjadi di Taman Nasional Karimunjawa.

1.2. Rumusan Masalah

Semakin tingginya kebutuhan hidup masyarakat Karimunjawa akan

berdampak pada eksploitasi sumberdaya lautnya semakin tinggi. Situasi

seperti ini sulit dihindari karena ketergantungan masyarakat kepada

sumberdaya laut masih sangat besar dan selama ini belum ada alternatif lain

sebagai penganti mata pencaharian selain mengandalkan sumberdaya laut

yang dimiliki Karimunjawa. Padahal sebagai kawasan yang telah ditetapkan

sebagai daerah konservasi alam oleh Menteri Kehutanan,sumber daya alam

Karimunjawa harus dijaga dan dilestarikan.

4

Melihat adanya dua kepentingan yang berbeda antara kesejahteraan

dengan konservasi maka konflik kepentingan akan selalu terjadi di kawasan

Taman Nasional Karimunjawa. Nelayan dengan sudut pandangnya tentu

berpikir bahwa mereka dapat hidup dengan layak dengan mengandalkan

sumberdaya alam laut yang dimiliki oleh perairan kepulauan Karimunjawa

yang selama ini menjadi sumber nafkah hidup mereka. Di pihak lain, Balai

Taman Nasional Karimunjawa selaku pemangku kawasan berkewajiban untuk

menjaga sumberdaya alam yang dimiliki Taman Nasional Karimunjawa agar

tetap lestari.

Dari uraian singkat di atas, bisa kita tarik pertanyaan penelitian sebagai

berikut :

1. Mengapa terjadi konflik antara nelayan dan Balai Taman Nasional

Karimunjawa dalam pengelolaan sumberdaya alam laut di Taman

Nasional Karimunjawa?

2. Bagaimana proses resolusi konflik yang bisa diterima oleh kedua pihak

secara menyeluruh?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui akar konflik antara nelayan dengan Balai Taman

Nasional Karimunjawa.

2. Untuk mengetahui efektivitas intervensi yang telah dilakukan guna

penyelesaian konflik dan merumuskan resolusi konflik guna membantu

5

memecahkan persoalan konflik yang terjadi di Taman Nasional

Karimunjawa.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat positif bagi

berbagai pihak, dan secara garis besar bisa dikategorikan dalam dua hal:

1. Manfaat Teoritis

Dapat menjadi suatu sumber informasi untuk pengembangan

ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang pengelolaan konflik

sumberdaya alam laut yang sering terjadi di berbagai kawasan

konservasi di Indonesia sebagai negara marirtim.

2. Manfaat Praktis

Bagi Kementerian Kehutanan khususnya Balai Taman Nasional

Karimunjawa, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Pemerintah

Propinsi Jawa Tengah, Pemkab Jepara, Dinas Kelautan dan Perikanan,

LSM, Masyarakat dan Swasta, bisa digunakan sebagai bahan

pertimbangan atau acuan dalam menyusun rancangan dan kebijakan

guna menemukan solusi yang bisa diterima semua pihak atas konflik

yang sedang dihadapi saat ini maupun di masa mendatang.

1.5 Kajian Pustaka

1.5.1. Penelitian Terdahulu

6

Ada beberapa kajian/penelitian terdahulu menyangkut tentang

pengelolaan kawasan dan konflikdi kawasan Taman Nasional

Karimunjawa, yang sedikit-banyak terkait dengan topik penelitian yang

akan dilakukan.

Rofian Dedi Susanto pada penelitian dengan judul Partisipasi

Masyarakat dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut di Taman

Nasional Karimunjawa berbicara mengenai partisipasi, kompatibilitas

aturan dan menganalisa konflik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

potensi keanekaragaman hayati semakin menurun dan tingkat pemanfaatan

sumberdaya TNKJ yang kurang terkontrol sehingga dapat mengancam

status TNKJ. Dari sisi kajian kebijakan dan kelembagaan menunjukkan

bahwa peraturan pengelolaan kawasan konservasi lebih

mengkonsentrasikan pada kewenangan pemerintah.Selain itu terdapat

disharmonisasi peraturan dalam hal kewenangan pengelolaan antara

Kementerian Kehutanan, Kementerian kelautan dan Perikanan, dan

Pemerintah Daerah sehingga cenderung menimbulkan konflik institusional

karena peraturan sulit diterapkan lintas sektor. Sementara pengaturan

kolaborasi dalam Permenhut juga sulit dilaksanakan karena belum ada

kesepakatan dan kesepahaman tertulis antar stakeholders. Untuk itu perlu

ada kemauan politik atau komitmen dari BTNKJ dan Pemda untuk

pengaturan kewenangan dalam pengelolaan dan pemanfaatan SDAHE

TNKJ. Pengelolaan TNKJ masih belum efektif karena keterbatasan sarana

dan prasarana. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya pelanggaran yang

7

terjadi karena lemahnya penegakan hukum. Selain itu alokasi penggunaan

anggaran juga kurang mendukung kegiatan perlindungan dan pengamanan

kawasan.Dari tulisan ini penulis menyimpulkan bahwa untuk mencegah

terjadinya konflik yang berkelanjutan perlu adanya tindakan riil dalam

pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa berupa pengelolaan yang

berbasis pengelolaan bersama.

Prasetia, R., T. Kartawijaya, Ripanto dalam penelitian berjudul

Monitoring. Kajian Tingkat Kepatuhan (Compliance) Nelayan Terhadap

Zonasi di Taman Nasional Karimunjawa penelitian ini bertujuan untuk

mengukur ketaatan nelayan terhadap zonasi yang ada di Karimunjawa.

Studi inimembahas tingkatkepatuhannelayanyangberoperasi di kawasan

Taman Nasional Karimun jawa selama tiga tahun pengamatan (2009-

2011). Sistem zonasi yang digunakan dalam menentukan tingkat

kepatuhan nelayan adalah berdasarkan Surat Keputusan Dirjen PHKA

No.SK79/IV/Set-3/2005 Tentang Mintakat/Zonasi di Taman Nasional

Karimunjawa. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kepatuhan

nelayan di Karimunjawa masih rendah terhadap larangan beraktifitas di

zona inti dan perlindungan, yang merupakan daerah terlarang bagi

kegiatan penangkapan ikan. Dari tulisan yang ada saya menyimpulkan

bahwa masih sering terjadi konflik antara Balai Taman Nasional

Karimunjawa dengan nelayan di kepulauan Karimunjawa. Hal ini bisa

dilihat dari tingkat pelanggaran yang masih di jumpai di kawasan Taman

Nasional Karimunjawa. Akibat yang timbul dari pelanggaran terhadap

8

zonasi tentu akan memicu terjadinya konflik antara nelayan dengan Balai

Taman Nasional Karimunjawa.

Marnane, M., R.L. Ardiwijaya, J.T. Wibowo, S.TS.T. Pardede A.

Mukminin,Y. Herdiana pada akhir tahun 2002, melakukan penelitian studi

kegiatan perikanan Muro-ami di Kepulauan Karimunjawa adanya surat

edaran Pemerintah Kabupaten Jepara No. 523/2813 tanggal 28 Juni 2002

tentang hal yang mengindikasikan diperbolehkannya Muro-ami beroperasi

di wilayah Kepulauan Karimunjawa. Tujuan dari studi ini adalah untuk

mendapatkan gambaran dan informasi yang lebih jelas mengenai aktivitas

penangkapan jaring Muro-ami dari aspek sosial ekonomi dan ekologi.Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa Perikanan Muro-ami diidentifikasi

merupakan salah satu ancaman bagi ekosistem terumbu karang di kawasan

Taman Nasional Karimunjawa. Kondisi alam yang berbeda-beda dan

terintegrasi dalam studi ini membuat kita dapat mengukur ancaman-

ancaman dari alat tangkap ini pada tipe habitat yang berbeda-beda, serta

dampak yang dihasilkan perikanan Muro-ami dibandingkan metode

penangkapan lainnya terhadap terumbu karang.Menurut penulis surat

edaran ini menjadi akar pemicu koflik antar nelayan lokal di di

Karimunjawa karena terjadi perebutan sumberdaya laut antar nelayan.

Bahkan memicu terjadinya konflik antara nelayan jaring Muro-ami dengan

pihak Taman Nasional karimunjawa. Konflik antara Balai Taman Nasional

Karimunjawa dengan Nelayan Muro-ami disebabkan oleh alat tangkapyang

9

digunakan nelayan tidak ramah lingkungan dan bisa merusak ekosistem

terumbu karang.

1.5.2 Keaslian Penelitian

Penelitian ini merupakan kajian terhadap situasi konflik dalam

pemafaatan potensi sumberdaya alam yang dimiliki oleh perairan laut

Taman Nasional Karimunjawa, yang saat ini tengah berlangsung. Dalam

persoalan konflik ini yang paling sering terjadi adalah persoalan antara

nelayan dengan Balai Taman Nasional Karimunjawa yang menyangkut

kesejahteraan dengan konservasi. Penelitian ini dititik beratkan pada

faktor-faktor penyebab terjadinya konflik, pihak-pihak yang terlibat

konflik, dan teknik resolusi konflik seperti apa yang bisa dijalankan.

Sampai saat ini, sepengetahuan penulis, belum ada kajian terhadap konflik

yang terjadi di tempat tersebut.

1.5.3 Kebaharuan Penelitian

Penelitian terhadap berbagai situasi konflik di kawasan konservasi, di

berbagai tempat telah banyak dilakukan dan menghasilkan banyak resolusi

konflik. Tetapi belum banyak penelitian yang terkait wilayah konservasi

perairan yang melibatkan antara nelayan dengan pengelola kawasan

konservasi. Persoalan benturan kepentingan antara cara pandang

konservasi berhadapan dengan cara pandang ekonomi dan kesejahteraan

dengan mengambil setting pada kawasan konservasi. Dan mengingat

10

bahwa setiap situasi konflik memiliki kekhasannya sendiri, faktor-faktor

penyebab konflik di suatu tempat belum tentu menjadi penyebab konflik

yang sama di tempat lain, maka penelitian ini menghasilkan sesuatu yang

baru dalam studi konflik.

Dengan penelitian ini kita akan mengetahui kesuaian berbagai konsep

di atas dengan konteks konflik di Taman Nasional Karimunjawa. Dengan

kata lain kita akan mengetahui sejauh mana konsep-konsep di atas bisa

diterapkan di dalam pengelolaan konflik ini. Setiap konflik memiliki

konteks dan faktor-faktornya sendiri, yang tidak sama satu-sama lain.

Suatu faktor penyebab konflik di tempat yang satu belum tentu menjadi

penyebab konflik di tempat yang lain.

1.6. Rumusan Penelitian

1.6.1. Landasan Teori

Konflik kenelayanan (terkait pemanfaatan sumberdaya laut)

bernuansa kekerasan (Adhuri etal.2005). Akar konflik dalam

pengeksploitasian sumberdaya laut atau yang dikenal dengan istilah

kenelayanan adalah kenyataan bahwa laut tergolong sumberdaya milik

umum (public property resource) sehingga untuk mengatasinya dilakukan

dengan penciptaan keputusan yang disetujui bersama yang bisa memaksa

setiap orang untuk tunduk padanya (Hardin 1968 dalam Adhuri

etal.2005).

11

Konflik adalah suatu kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan

sering bersifat kreatif. Konflik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak

sejalan.Dari tingkatan terkecil, antar perorangan hingga kelompok,

organisasi, masyarakat dan negara. Konflik tumbuh disebabkan tidak ada

keseimbagan antara hubungan-hubungan itu. Dalam buku mengelola

konflik-ketrampilan dan strategi untuk bertindak, Simon Fisher dan

kawan-kawan menyebutkan bahwa Konflik adalah “ Hubungan antara

dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau merasa

memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan”.

a. Boundary Model (Model Batas) Dalam Analisis Konflik

Mengikuti salah satu model analisis konflik dari Furlong (2005),

konflik disebabkan karena batas (aturan) dan norma-norma yang telah ada

ditentang, terancam atau dielakkan/diabaikan oleh masyarakat yang

berkonflik. Dengan demikian diperlukan solusi konflik yang

membutuhkan intervensi dari lembaga atau orang yang memiliki

kewenangan sesuai yurisdiksi.

Dalam model ini,terjadinya konflik dapat disebabkan oleh 4

(empat) hal, yaitu:

1) Kurangnya kejelasan mengenai batas (aturan) tersebut;

2) Ketidakmampuan lembaga yang memiliki wewenang untuk

menegakkan batas (aturan);

12

3) Tidak bisa menerima jurisdiksi atau legitimasi atas aturan/batas

tersebut;

4) Suatu pelanggaran terhadap batas aturan yang menjadi kebiasaan atau

telah dibiarkan terus berlangsung.

Model Batas dipakai sebagai alat bantu analisis dalam kasus

konflik antara Balai Taman Nasional Karimunjawa dengan nelayan

dengan pertimbangan sebagai berikut :

1) Dalam hal diagnosis permasalahan, model ini dapat membantu

mendiagnosis penyebab potensial dari konflik dalam suatu keadaan

tertentu. Namun begitu, Model ini juga membatasi diagnosisnya pada

isu-isu terkait batas, yang berarti bahwa model ini terbatas dalam

jangkauan diagnosisnya.

2) Dalam hal strategi pemecahan masalah, model ini menawarkan ide-ide

yang jelas bagi dilakukannya tindakan intervensi, seiring dengan

tujuan kunci dilakukannya intervensi, yang dapat membantu bagi para

praktisi dibidang manajemen penyelesaian konflik.

3) Model ini memiliki kegunaan yang sangat tinggi dalam hal konflik

yang bersifat relasional, konflik dimana para pihak yang terlibat akan

terus berinteraksi setelah sengketa yang terjadi dipecahkan.

13

b. Biografi Konflik

1. Sumber Konflik

Kondisi-kondisi laten dan aktual yang memproduksi keyakinan atau

kepercayaan tentang adanya tujuan-tujuan yang tak selaras

Konstruksi teoretik atau asumsi dasar tentang sifat manusia dan

proses sosial: internal (eg. instink agresif, frustasi) & interaksional

(eg. disintegrasi sistem atau proses sosial)

2. Kemunculan konflik

Rasa atau kesadaran kolektif

Ketidakpuasan relatif terhadap pihak (atau pihak-pihak) lain

Tujuan-tujuan yang saling berlawanan

Gambar 1. Bagan Biografi Konflik Kriesberg

14

Seiring dengan perkembangan kegiatan penangkapan ikan yang

ada di kawasan Taman Nasional Karimunjawa, mulai muncul pula

kelompok orang-orang yang bekerja sebagai nelayan yang

mengambil ikan di zona perlindungan dan inti.

3. Pemicu Awal Konflik

Provokasi para pihak yang terlibat

Provokasi bisa berupa persuasi (P), koersi (coercion), & balas jasa

(reward) atau iming-iming (material/non-material)

Provokasi bisa berupa gabungan dari ketiganya

4. Tahap Eskalasi Konflik

Perubahan dalam unit konflik: sosio-psikologis (loyalitas dan

komitmen pada tujuan/posisi yang telah ditetapkan, sense of crisis

terhadapnya) dan organisasional (komposisi kelompok, kompetisi

dalam kepemimpinan).

Perubahan dalam hubungan-hubungan antar-pihak yang bertikai

(aksi sepihak atau bersama-sama yang saling menyakiti).

5. Tahap Deeskalasi

Perubahan dalam unit konflik: sosio-psikologis (menimbang kembali

ongkos atau biaya untuk mempertahankan tujuan/posisi, devaluasi

tujuan/posisi) dan organisasional (aksi-aksi kelompok moderat,

heterogenitas dalam kelompok)

Perubahan dalam hubungan-hubungan antar-pihak yang bertikai:

o Emerging ties (hubungan terbentuk secara baru)

15

o Kontraksi tujuan/posisi (kapasitas untuk mempertahankannya

berkurang atau hilang sama sekali)

o Intervensi (aturan atau norma baru, mediasi, konteks sosial)

6. Terminasi Konflik

Prosesnya: implisit, eksplisit (e.g. melalui negosiasi), tercapainya

kesepakatan atau penyelesaian

Untuk menentukan sebuah konflik berhenti:

a. sejumlah orang menyepakati bahwa ia selesai (baik pihak yang

terlibat maupun bahkan para pengamatnya)

b. secara arbitrer, e.g. dengan periodisasi menurut waktunya.

Bisa merupakan awal dari konflik atau pertikaian baru.

Setiap konflik perlu suatu pengelolaan sehingga tidak terus

mengalami eskalasi yang bisa mengarah pada tindak kekerasan. Pada

tahap tertentu suatu peristiwa konflik memerlukan intervensi agar bisa

masuk dalam suatu tahapan de-eskalasi konflik. Jika hubungan dan

konunikasi yang dikembangkan para pihak bisa terus berlanjut, konflik

yang ada bisa memasuki fase terminasi konflik, yaitu suatu tahap

tercapainya suatu kesepakatan atau penyelesaian. Apa yang perlu

diperhatikan dalam proses mengelola konflik adalah bahwa akhir suatu

konflik bisa menjadi awal bagi munculnya suatu konflik baru (Kriesberg

1982).

Sumber konflik yang terjadi adalah kondisi-kondisi laten dan aktual

yang kemudian memproduksi keyakinan atau kepercayaan tentang adanya

16

tujuan-tujuan yang tak selaras antara kesejahteraan dengan konservasi

(Kriesberg 1982:17,18). Konflik adalah sebuah ‘situasi persaingan’ antar-

pihak yang menyadari bahwa mereka memiliki potensi untuk tak selaras

dalam posisi masing-masing di masa depan, dan masing-masing

menginginkan untuk menguasai atau merebut posisi yang tak selaras

dengan keinginan pihak lain (Boulding, 1962). Konflik adalah persepsi

mengenai ketidakselarasan kepentingan, atau keyakinan bahwa aspirasi

para pihak yang ada saat itu tidak bisa dicapai secara bersamaan (Pruitt &

Rubin, 1986).

Kriesberg (1982) mengungkapkan, bahwa ada dalam suatu konflik

terdapat suatu tahapan yang dia sebut dengan ‘biografi konflik’. Dalam

biografi konflik tersebut, secara berurutan tahapan dimulai dari sumber

konflik, kemunculan konflik, pemicu awal konflik, eskalasi konflik,

deeskalasi konflik, terminasi konflik, hasil (outcome) konflik, dan

konsekwensi konflik. Resolusi pada dasarnya adalah setiap upaya

intervensi (untuk mencegah aktualisasi, mendeeskalasi, menghentikan dan

menyelesaikan konflik) dalam salah satu (atau lebih) tahap konflik

tersebut. Dalam teorinya mengelola konflik berupa pemetaan konflik yang

dijelaskan secara detil oleh Simon Fisher dkk (2000) dapat membantu

untuk menganalisa intervensi yang akan dilakukan. Dalam pandangannya

Simon Fisher dkk menganggap penting untuk melakukan analisa konflik

dengan memahami latar belakang, sejarah dan perkembangan terbaru. Dan

17

yang paling utama bisa melakukan evaluasi terhadap kegagalan yang

pernah terjadi.

Salah satu alternatif yang bisa ditempuh dalam suatu konflik /

sengketa publik adalah Governance, yaitu suatu mekanisme praktek dan

tata cara pemerintah dan warga mengatur sumberdaya dan memecahkan

masalah-masalah publik. Dalam hal ini William Zartman berpendapat

bahwa “governing as conflict managemen” yaitu governance adalah

pengelolaan konflik(Zartman, 1997).

Proses pengelolaan konflik atau sengketa publik akan sangat

dipengaruhi oleh mekanisme, kearifan, dan inisiatif yang dikembangkan

oleh 3 (tiga) governance stakeholders utama(Carpenter & Kennedy 1988):

Peran negara/pemerintah yang fasilitatif, untuk mendukung usaha-

usaha resolusi konflik.

Peran komunitas dan peran advokasi dari lembaga non-negara untuk

mengembangkan inisatif dalam resolusi konflik.

Peran suportif para pelaku dunia usaha dan/atau pemilik modal dalam

usaha-usaha resolusi konflik.

Governance yang efektif sangat tergantung pada kemapanan akan

suatu konsensus dalam norma-noma yang ada, penegakan norma aturan

dan nilai sebagai sumber legitimasi, dan pembangunan suatu prinsip dan

18

institusi yang baru jika nilai-nilai dan institusi yang lama terbukti tidak

cocok lagi (Zartman, 1997).

Bagaimana mengembangkan peran governance stakeholders dalam

setiap dimensi konflik, adalah hal utama bagi efektivitas proses

pengelolaan konflik. Bagaimana mengembangkan kerjasama, sinergi,

kolaborasi, koordinasi, dan lain-lain di antara mereka dalam mencegah dan

mengelola sikap-sikap, perilaku dan situasi yang mengarah pada terjadinya

konflik yang terbuka. Dengan kata lain, langkah penting yang harus

diambil adalah bagaimana membangun suatu kolaborasi diantara para

pihak, bagaimana semua pihak bekerja-sama dalam membangun

alternative untuk memecahkan masalah. Dengan kata lain akan terjadi

suatu proses negosiasi (kepentingan) di antara para pihak tersebut.

Kolaborasi antar para pihak yang berkepentingan, bisa juga hadir

dalam bentuk collaborative management. Co-management atau

collaborative management, sering disebut juga participatory management,

joint management, shared-management, multi stakeholder management

atau round-table agreement adalah bentuk pengelolaan yang

mengakomodasi kepentingan semua pihak dengan mekanisme kerjasama,

yang didorong oleh pengakuan hak yang melekat pada setiap pihak, dalam

rangka mencapai tujuan bersama, sehingga dimungkinkan semua pihak

dapat ikut berpartisipasi untuk berbagi wewenang, tanggung jawab dan

keuntungan dalam proses pengelolaan (Borrini-Feyerabend, 1996;

NRTEE,1999). Perlu dikembangkan konsep pengelolaan yang dapat

19

menyatukan berbagai aspirasi dan kepentingan stakeholder dalam

pemanfaatan sumberdaya alam dan mensinergikan kegiatan mereka

dengan mengikuti prinsip co-management yang semestinya, yaitu adanya

kerelaan, kesetaraan peran dan saling kepercayaan, partisipasi aktif,

komitmen untuk berbagi disertai adanya dukungan kelembagaan (Wiratno

et al, 2004).

Setiap konflik perlu suatu pengelolaan sehingga tidak terus

mengalami eskalasi yang bisa mengarah pada tindak kekerasan. Pada

tahap tertentu suatu peristiwa konflik memerlukan intervensi agar bisa

masuk dalam suatu tahapan de-eskalasi konflik. Jika hubungan dan

konunikasi yang dikembangkan para pihak bisa terus berlanjut, konflik

yang ada bisa memasuki fase terminasi konflik, yaitu suatu tahap

tercapainya suatu kesepakatan atau penyelesaian. Apa yang perlu

diperhatikan dalam proses mengelola konflik adalah bahwa akhir suatu

konflik bisa menjadi awal bagi munculnya suatu konflik baru (Kriesberg

1982).

c. Common Pool Resources

Konflik dalam mengelola sumberdaya alam laut perairan

merupakan konflik Common Pool Resources yang rumit dan dilematis

disebabkan adanya relasi antara pihak satu dengan pihak lainnya dalam

pengelolaan sumberdayanya. Pada persoalan ini sumberdaya yang

dimaksud bukan dalam arti materinya tetapi interaksinya yang dapat

menimbulkan konflik antara pihak satu dengan lainya. Bentuk sifat dari

20

barang perlu dilihat karena dalam kapasitas interaksi antar pihak-pihak

dapat menyebabkan konflik dan kemudian bisa di kategorikan sebagai hal

yang menimbulkan masalah (Ostrim, Gardner, dan Walker. 1996), karena:

Subtractability

- Barang atau benda ini menjadi konflik karena sifat barangnya yang bisa

habis disebabkan mempunyai sifat kemampuan kecepatan berkurang

jika di pakai.

- Memiliki unsur kelangkaan pada waktu dibutuhkan dalam benda/barang

ini.

Exclusion

- To exclude mengeluarkan dalam arti pagar. Artinya bahwa barang ini

tidak bisa di pagari .

- Seandainya bisa karena sifat barangnya ini memang sulit untuk

dipagari. Contoh dari barang/benda yang sulit dipagari adalah hutan,

sumberdaya laut terutama perikanan, tambang, minyak dan lainnya.

Tapi poin penting dari yang disebut di atas adalah dalam Common Pool

Resources adalah:

- Adanya ketegangan antara relasi individu dan kelompok; dan

- Perolehan hasil tergantung dari perilaku yang dilakukan.

Dengan demikian konflik yang berbasis Common Pool Resources

ditandai adanya persaingan atau rivalitas antar individu atau kelompok

yang berkepentingan terhadap sumberdaya tersebut. Konflik Common

Pool Resource ini terjadi menyangkut para pihak dalam membagi dan

21

upaya terhadap barang tersebut supaya tidak cepat berkurang. Cara

membagi di sini adalah bagaimana setiap individu atau komunitas tetap

mampu mendapatkan sumberdaya yang menjadi kebutuhannya. Persoalan

yang terjadi bila terjadi krisis maka kemungkinan besar individu atau

komunitas bisa dipastikan akan melakukan hal-hal yang sifatnya memaksa

karena berurusan dengan masalah kesejahteraan hidup atau ekonomi.

Dari uraian di atas dapat diindikasikan bahwa masalah yang

menyebabkan terjadinya konflik disebabkan oleh adanya keterbatasan

sumberdaya alam laut. Hal ini terjadi karena adanya perilaku dari pihak-

pihak yang terlibat konflik yang berbeda pandangan pada pemanfaatan

sumberdaya alam yang sama yaitu sumberdaya yang dimiliki oleh perairan

laut. Permasalahan yang di terjadi bisa di bagi menjadi dua (Ostrim,

Gardner, dan Walker. 1996), yaitu:

1. Demand Side

Adalah berhubungan dengan perilaku orang yang cenderung untuk

mengeksploitasi barang untuk mendapatkan keuntungan barang secara

ekonomi (eksplotasi). Sementara kebutuhan pihak lain menjadi terancam

disebabkan barang yang dieksploitasi tersebut merupakan kebutuhan yang

mempunyai fungsi yang lain (konservasi).

2. Supply Side

Hal ini merupakan ketersediaan sumberdaya yang akan menimbulkan

persoalan jika perilaku masyarakat cenderung tidak ada upaya untuk

melestarikan sumberdaya tersebut. Hal ini disebabkan sumberdaya yang

22

ada suatu waktu bisa berkurang atau habis jika tidak ada upaya pelestarian

yang berkelanjutan terhadap sumberdaya alam tersebut.

d. Rule In Use

Instittusional Analyssis and Development adalah merupakan suatu

komponen penting dalam Rule In Use (Ostrim, Gardner, dan Walker.

1996). Rule InUse sendirimerupakan suatu formula yang mendifinisikan

tindakan apa yang diijinkan/dilarang dan sanksi yang diberikan jika tidak

dituruti. Rule In Use terdiri dari tujuh komponen yaitu :

1. Position Rule adalah menjelaskan adanya kesepakatan yang

kontekstual, preskriptif dan Followable tentang posisi masing-masing

aktor.

2. Boundary Rule adalah menjelaskan adanya kesepakatan yang

kontekstual, preskriptif dan Followable tentang bagaimana cara

menentukan batas siapa yang di anggap stakeholder dan yang tidak.

3. Authority Rule adalah menjelaskan adanya kesepakatan yang

kontekstual, preskriptif dan Followable tentang otoritas masing-

masing aktor/stakeholder berdasarkan posisi masing-masing.

4. Aggregation Rule adalah menjelaskan adanya kesepakatan yang

kontekstual, preskriptif dan Followable tentang cara mengubah aturan

main yang telah ada, agar sesuai dengan perubahan konteks.

5. Scope Rule adalah menjelaskan adanya kesepakatan yang kontekstual,

preskriptif dan Followable tentang tujuan-tujuan yang akan dicapai

bersama dalam jangka pendek, menengah dan panjang.

23

6. Information Rule adalah menjelaskan tentang informasi apa dan

bagaimana memperolehnya.

7. Payoff Rule , Menjelaskan adanya kesepakatan yang kontekstual,

preskriptif, followable tentang bagaimana keuntungan dan biaya yang

akan ditanggung, yang diperbolehkan serta dilarang.

Pada saat melakukan penelitian ini saya akan mengacu pada

beberapa teori dan konsep tersebut diatas dalam melakukan analisa

penyelesaiaan konflik. Perbedaan pandangan antara Balai Taman

Nasional Karimunjawa dengan nelayan antara konservasi

berlawanan dengan kesejahteraan harus ditemukan resolusi konflik

yang tepat dan bisa di terima kedua pihak yang berkonflik. Dengan

adanya konsep yang ditawarkan penulis yakin akan memberikan

gambaran dalam penyelesaian konflik selanjutnya. Dan penulis

menganggap bahwa konservasi tidak selamanya selalu menghambat

kesejahteraan masyarakat yang permasalahan ini akan dibahas lebih

mendalam dalam penelitian ini.

1.6.2 Hipotesis

Perbedaan cara pandang terhadap pemanfaatan sumberdaya alam

yang dimiliki oleh perairan laut kepulauan Karimunjawa membuat konflik

pemanfaatan kawasan ini terus berlarut-larut dan belum mencapai titik

temu. Perbedaan cara pandang berpengaruh terhadap tingkat pemahaman

terhadap suatu peraturan. Nelayan dalam memahami peraturan dilandasi

24

pada pengalaman dalam memanfaatkan sumberdaya alam laut, sedangkan

pihak Balai Taman Nasional memiliki tingkat pemahaman yang konsisten

terhadap peraturan walaupun dalam implementasinya terkadang

membutuhkan kajian ilmiah yang tidak dijalankan. Dengan analisa

Boundary Model dapat diketahui hal-hal yang menjadi akar konflik

tersebut.

Hingga saat ini konflik antara nelayan dengan Balai Taman

Nasional Karimunjawa masih tetap terjadi. Hal ini dapat didasarkan pada

hasil analisa dari teori Fisher dkk (2000) bahwa pendekatan melalui isu

konservasi terhadap kejadian suatu konflik memungkinkan alternatif

resolusi konflik justru berasal dari konflik itu sendiri. Tehnik yang

digunakan dengan mendorong isu konsevasi kearah yang produktif menuju

penyelesaian konflik yang lebih arif dan mudah dipahami oleh para pihak

yang terlibat dalam konflik.. Tentunya lebih diprioritaskan terhadap pihak-

pihak yang terlibat secara langsung pada konflik yang terjadi.

Permasalahan antara kesejahteraan dan konservasi yang selama ini

terjadi dapat diselesaikan melalui penegakan batas (Boundary model) dan

pengelolaan bersama (collaborative governance) . Hal ini bisa tercapai

apabila terjadi kesepahaman antara pihak-pihak yang terlibat konflik

dalam pengelolaan sumberdaya alam laut yang dimiliki oleh perairan

Karimunjawa. Artinya dalam pengelolaan yang berbasis konservasi tetap

harus memperhatikan aspek sosial budaya yaitu kesejahteraan masyarakat

sekitar kawasan Taman Nasional Karimunjawa. Tentu saja kebijakan yang

25

di ambil tetap berdasarkan kelestarian lingkungan laut yang dimiliki

Taman Nasional Karimunjawa.

1.7 Metode dan Teknik Penelitian

1.7.1 Jenis Penelitian

Penelitian yang dilakukan menggunakan metode kualitatif, yang

sifatnya deskriptif dalam upaya menginterpretasikan gejala-gejala yang

terjadi dalam konteks sosial. Dengan metode seperti ini diharapkan bisa

didapat berbagai data pada situasi yang tengah dipelajari (diteliti).

1.7.2 Sumber Data

1. Data Primer

Adalah data yang di dapat melalui sumber pertama melalui

prosedur dan tehnik pengambilan data berupa wawancara dan

observasi. Respoden merupakan para pihak yang terkait dengan topik

penelitian ini yang diharapkan dapat memberikan gambaran peristiwa

yang terjadi dengan melibatkan subyek secara aktif. Diantara para

responden yang diambil kali ini diantaranya adalah Kepala Balai

Taman Nasional Karimunjawa, Camat Karimunjawa, Kepala Desa

Karimunjawa, dan Nelayan Karimun Jawa.

Data primer lain yaitu berupa produk hukum konservasi dan yang

berkaitan dengan itu seperti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah

Peraturan Menteri, Peraturan Daerah dan sejenisnya, media massa ,

website dan lain-lain.

26

2. Data Sekunder

Adalah data yang diperoleh dari sumber tidak langsung yang

berbentuk dokumentasi, arsip, studi literatur penelitian terdahulu, LSM

dan Pemerintah daerah. Data ini diharapkan sebagai pendukung

terhadap data primer yang telah diperoleh sehingga bisa melengkapi

data penelitian ini

1.7.3. Metode Analisis Data

Data-data yang berhasil dikumpulkan natinya akan dikelompokkan

menurut kategori atau polanya tersendiri, kemudian diorganisasikan dalam

tema-tema tertentu. Tema-tema tersebut nantinya akan dianalisis

menggunakan alur kerangka pemikiran dan metode penelitian sosial, serta

landasan teori yang relevan, sehingga bisa menuntun pada ditemukannya

suatu kesimpulan. Penelitian dengan ini menekankan analisisnya pada

proses penyimpulan deduktif dan induktif serta analisis terhadap

dinamika yang terjadi. Penelitian ini berusaha untuk memberikan

gambaran mengenai suatu konflik, menganalisa, dan membuat upaya

pengelolaan konflik.

1.8. Sistematika Penulisan

Guna menjawab persoalan penelitian yang diusulkan ini, berbagai

data yang berhasil dikumpulkan akan disusun dalam berdasarkan

sistematika penulisan sebagai berikut :

27

Bab satu merupakan pendahuluan, yang Memuat : Latar belakang

permasalahan, rumusan masalah, manfaat penulisan, tinjauan pustaka,

kerangka teori, argumen utama, metode penelitian dan sistematika

penulisan.

Bab dua berisi tentang kondisi umum dan sejarah pengelolaan

Taman Nasional Karimunjawa. Di sini akan memuat penjelasan mengenai

kondisi Taman Nasional Karimunjawa secara umum baik itu mengenai

letak geografis, pengelolaan kawasan dan sosial ekonomi masyarakatnya.

Dan secara khusus akan membahas permasalah antara pihak-pihak yang

terlibat dalam konflik yang terjadi. Baik itu yang terlibat langsung

ataupun para pihak yang bisa mempengaruhi konflik yang terjadi di

Taman Nasional Karimunjawa.

Pada Bab tiga akan disampaikan telaah atas Konflik Balai Taman

Nasional Karimunjawa Dan Nelayan. Sejarah terjadinya konflik dan hal-

hal yang melatarbelakangi terjadinya konflik di kawasan laut Taman

Nasional Karimunjawa. Pada bab ini akan di bahas awal mulanya

terjadinya konflik dikawasan dari mulai penetapan oleh Menteri

Kehutanan sampai saat ini. Di mana telah mengalami beberapa kali revisi

zonasi untuk mengakomodir kepentingan nelayan di mana untuk

menentukan zonasi melibatkan para masyarakat.

Bab empat akan menyajikan skema pilihan alternatif

penyelesaian masalah atau resolusi konflik. Teori yang dipakai untuk

membantu menyelesaiakan konflik yang terjadi Mengikuti salah satu

28

model analisis konflik dari Furlong (2005), yaitu Boundary Model (Batas),

maka kita bisa mendifisikan penyebab terjadinya konflik sumberdaya alam

laut di perairan Taman Nasional Karimunjawa disebabkan karena batas

(aturan) dan norma-norma yang telah ada ditentang, terancam atau

dielakkan/diabaikan. Konflik membutuhkan intervensi untuk

mengatasinya (lembaga atau orang yang memiliki kewenangan sesuai

yurisdiksi). Salah satu alternatif yang bisa ditempuh dalam suatu konflik

/sengketa publik adalah Governance, yaitu suatu mekanisme praktek dan

tata cara pemerintah dan warga mengatur sumberdaya dan memecahkan

masalah-masalah publik. Dalam hal ini William Zartman berpendapat

bahwa “governing as conflict managemen” yaitu governance adalah

pengelolaan konflik (Zartman, 1997).

Bab lima merupakan kesimpulan. Menyimpulkan seluruh hasil

kajian penelitian dan teori yang dipakai dalam melakukan penulisan. Pada

bab ini menghasilkan beberapa kesimpulan dan saran yang diharapkan

dapat membantu menyelesaiakan konflik yang terjadi di kawasan Taman

Nasional Karimunjawa.