Upload
doanbao
View
226
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Keluarga
1. Definisi
Dalam buku Keperawatan Keluarga yang ditulis Friedman (1998),
Burgess (1963) menyebutkan bahwa keluarga adalah orang-orang
yang disatukan oleh ikatan perkawinan, darah, dan ikatan adopsi. Para
anggota sebuah keluarga biasanya hidup bersama-sama dalam satu
rumah tangga, atau jika mereka hidup secara terpisah, mereka tetap
menganggap rumah tangga tersebut sebagai rumah mereka. Anggota
keluarga berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain dalam peran-
peran sosial keluarga seperti suami-istri, ayah dan ibu, anak laki-laki
dan anak perempuan, saudara dan saudari. Keluarga sama-sama
menggunakan kultur yang sama, yaitu kultur yang diambil dari
masyarakat dengan berbagai ciri unik tersendiri.
Whall (1986) dalam buku Keperawatan Keluarga (Friedman, 1998),
keluarga adalah kelompok yang mengidentifikasikan diri dengan
anggotanya terdiri dari dua individu atau lebih. Asosiasinya dicirikan
oleh istilah-istilah khusus, yang boleh jadi tidak diikat oleh hubungan
darah atau hukum, tapi yang berfungsi demikian macam sehingga
mereka menganggap diri mereka sebagai sebuah keluarga.
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa keluarga adalah dua
orang atau lebih yang disatukan oleh ikatan-ikatan kebersamaan dan
ikatan emosional dan yang mengidentifikasikan diri mereka sebagai
bagian dari keluarga.
8
9
2. Tujuan Dasar Keluarga
Tujuan utama keluarga adalah sebagai perantara yaitu menanggung
semua harapan-harapan dan kewajiban-kewajiban masyarakat serta
membentuk dan mengubahnya sampai taraf tertentu hingga dapat
memenuhi kebutuhan dan kepentingan setiap anggota individu dalam
keluarga (Frieman,1998).
3. Fungsi Keluarga
Friedman (1998) menyebutkan ada lima fungsi keluarga, yaitu:
a. Fungsi Afektif
Untuk stabilitas kepribadian kaum dewasa, memenuhi kebutuhan-
kebutuhan para anggota keluarga. Fungsi afektif merupakan suatu
basis sentral bagi pembentukan dan keberlangsungan unit keluarga
individu. Kemampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini
merupakan sebuah determinan kunci, apakah sebuah keluarga
tertentu akan bertahan atau bubar. Sebagaimana Duvall (1977)
katakan “Keluarga, kebahagiaan diukur dengan kekuatan cinta
keluarga.” Keluarga harus memenuhi kebutuhan-kebuthan
afeksi/kasih sayang dari anggotanya karena respons afektif dari
seorang anggota keluarga memberikan penghargaan terhadap
kehidupan keluarga.
b. Fungsi Sosialisasi dan Penempatan Sosial
Untuk sosialisasi primer anak-anak yang bertujuan untuk membuat
mereka menjadi anggota masyarakat yang produktif, dan juga
sebagai penganugerahan status anggota keluarga. Sosialisasi
anggota keluarga merupakan syarat fungsional silang budaya bagi
keberlangsungan masyarakat (Leslie dan Korman,1989). Fungsi ini
menyatakan begitu banyak pengalaman belajar yang ada dalam
keluarga dengan tujuan untuk mengajar anak-anak agar bagaimana
berfungsi dan menerima peran-peran sosial dewasa seperti suami-
10
ayah dan istri-ibu. Keluarga memiliki tanggungjawab utama untuk
mentransformasikan seorang bayi dalam beberapa tahun menjadi
seorang individu sosial, yang mampu berpartisipasi dalam
masyarakat.
c. Fungsi Reproduktif
Salah satu fungsi dasar dari keluarga adalah untuk menjamin
kontinuitas keluarga antar generasi dan masyarakat yaitu
menyediakan tenaga kerja (rekruit) bagi masyarakat (Lesie dan
Korman, 1989). Di masa lalu, perkawinan dan keluarga dirancang
untuk mengatur dan mengontrol perilaku seksual dan juga
reproduksi. Kedua aspek pengontrol terhadap perilaku seksual, dan
pengontrol kelahiran, merupakan fungsi yang kurang penting dari
keluarga dalam masyarakat sekarang tidak ada pembatasan
aktifitas seksual bagi mereka yang menikah memiliki anak daam
batas-batas keluarga tradisional.
d. Fungsi Ekonomis
Untuk mengadakan sumber-sumber ekonomi yang memadai dan
pengalokasian sumber-sumber tersebut secara efektif. Sumber-
sumber dari keluarga secara cukup finansial, ruang gerak dan
materi, serta pengalokasian sumber-sumber tersebut yang sesuai
melalui proses pengambilan keputusan.
Karena fungsi sulit sekali bagi kebanyakan keluarga miskin untuk
memenuhi secara memuaskan, perawat keluarga harus menerima
tanggung jawab untuk membantu keluarga agar dapat memperoleh
sumber-sumber dalam komunitas yang sesuai di mana mereka
dapat memperoleh informasi yang dierlukan, pekerjaan, konseling
pekerjaan dan bantuan finansial.
11
e. Fungsi Perawatan Kesehatan
Fungsi perawatan kesehatan keluarga tidak hanya merupakan
fungsi yang mendasar dan vital, melainkan fungsi yang memangku
suatu fokus sentral dalam keluarga-keluarga yang sehat dan
berfungsi dengan baik. Pratt (1976, 1982) menggarisbawahi
signifikansi dari fungsi yang efektif dalam bidang ini dengan
menyatakan “Semakin banyak keluarga menjalankan fungsi yang
vital kepada anggotanya secara sukses, semakin kuat sistem
keluarga tersebut”. Bagian ini berfokus pada bagaimana keluarga
memenuhi fungsi perawatan kesehatan dengan baik.
Dari persektif masyarakat, keluarga merupakan sistem dasar
dimana perilaku sehat dan perawatan kesehatan diatur
dilaksanakan, dan diamankan. Keluarga memberikan perawatan
kesehatan yang bersifat preventif dan secara bersama-sama
merawat anggota keluarga yang sakit. Lebih jauh, keluarga
mempunyai tanggung jawab utama untuk memulai dan
mengkoordinasikan pelayanan yang diberikan oleh para
profesional perawatan kesehatan (Pratt, 1977;1982; dalam
Friedman, 1998).
Ada sebuah asumsi yang pervasif, yaitu karena keluarga lebih
mengkhususkan diri pada fungsinya, fungsi perawatan kesehatan
keluarga telah hilang dipindahkan ke ruang praktik dokter dan
rumah sakit (Adams, 1971). Namun peran paling penting yang
dimainkan oleh keluarga dalam menyediakan perawatan kesehatan
kepada anggota keluarga merupakan bukti yang jelas bagi para
profesional perawatan kesehatan. Dengan pengakuan bahwa
perbaikan dan pemeliharaan kesehatan berlangsung terutama
melalui komitmen dan modifikasi lingkungan dan gaya hidup
pribadi, peran pokok keluarga dalam memangku tanggung jawab
12
terhadap kesehatan para anggotanya semakin diperkokoh
(Pratt,1982), oleh karena itu penyediaan perawatan kesehatan
sudah tentu merupakan fungsi keluarga yang vital dan mendasar.
Praktik-praktik kesehatan dan penggunaan pelayanan perawatan
kesehatan sangat bervariasi dari satu keluarga ke keluarga yang
lain. Keluarga berbeda pada konseptualisasi tentang apa yang
merupakan sehat dan sakit serta derajat motivasi yang diperlukan
untuk mencari pelayanan perawatan kesehatan dan meningkatkan
kesehatan yang merupakan alasan utama terhadap keanekaragaman
praktik perawatan kesehatan yang diamati (Friedman, 1998).
Konseptualisasi sehat dan sakit amat bervariasi dari satu budaya
dengan budaya lain, dari satu daerah dengan daerah lain, dan dari
satu keluarga dengan keluarga lain, dan juga diantara beberapa
kelas sosial dan karena hasil dari tingkat perkembangan teknologi
yang telah berlangsung di dalam komunitas keluarga.
Orang yang berasal dari latar belakang budaya yang sama dan atau
dari status sosioekonomi yang sama seringkali membagi sikap,
mitos, dan nilai-nilai yang dapat diperbandingkan dalam
hubungannya dengan kesehatan mereka. Beberapa masalah
kesehatan yang menjadi endemik di seluruh komunitas atau
kelompok boleh jadi dianggap sebagai persoalan biasa, bukan
dianggap sebagai penyakit. Kebiasaan dan norma dalam
masyarakat seringkali menentukan apakah perilaku tertentu
dianggap sakit atau sehat (Jahoda, 1958).
Oleh karena itu, orang mempunyai cara yang berbeda dalam
menentukan apakah mereka sehat atau sakit. Beberapa orang
merasa bahwa mereka sakit hanya bila mereka tidak dapat bekerja
13
lagi atau melakukan aktifitas dan peran yang biasa mereka lakukan,
beberapa orang lain sangat menyesuaikan diri terhadap fungsi
fisiologis mereka dan bahkan mengenal tanda atau gejala minor
yang menunjukkan penyakit dan sakit. Orientasi terhadap sakit
juga bahwa orang sakit bila mereka merasa tidak enak.
Pentingnya kepercayaan atau persepsi kesehatan dalam keluarga
membuat individu siap dan bermaksud mencari perawatan
kesehatan atau memperbaiki gaya hidupnya. Skema yang paling
komprehensif untuk menjelaskannya adalah dengan Model
Keyakinan Kesehatan yang telah mendapat pengujian dalam
berbagai bidang kesehatan preventif dan kuratif. Meskipun
dimodifikasi sejak awal, model ini diyakini menjadi alat yang
bermanfaat untuk menganalisis perilaku kesehatan pribadi secara
sistematis, memprediksi berbagai aktivitas seperti tindakan
kesehatan preventif, penggunaan perawatan medis, menunda
meminta bantuan, dan mematuhi regimen medis (Becker, 1974).
Dalam perawatan kesehatan, menurut Pratt (1976) setelah
mengkaji bagaimana keluarga dapat berfungsi dengan baik sebuah
sistem perawatan, menemukan keluarga kurang memiliki
keadekuatan dalam perawatan kesehatan. Penyimpangan-
penyimpangan penting sering terjadi dalam pola nutrisi keluarga,
latihan, istirahat, merokok, higiene gigi, dan komunikasi, serta
praktik perawatan diri. Masalah obat-batan merupakan masalah
yang sudah lumrah. Perawatan anggota keluarga yang tidak
mandiri, sakit atau cacat sering sulit atau dilakukan secara tidak
adekuat. Dan sejumlah besar keluarga gagal menggunakan
pelayanan keperawatan kesehatan atau menggunakan pelayanan
kesehatan secara tidak benar, seperti menggunakan ruang gawat
darurat sebagai layanan primer. Perawatan kesehatan preventif
14
kadang dilakukan dengan baik dan kadang dilakukan dengan
buruk, meskipun tngkat informasi kesehatannya sudah
berkembang, namun belum cukup untuk berfungsi sebagai suatu
dasar yag sehat pada kebanyakan keluarga.
Pratt (1976) mengatakan bahwa alasan ketidakefektifan keluarga
dalam menyediakan perawatan kesehatan bagi para anggota
keluarga terletak pada struktur sistem perawatan kesehatan, dan
struktur keluarga. Apabila keluarga memiliki asosiasi yang luas
dengan organisasi, teribat dalam dalam kegiatan-kegiatan yang
umum, dan menggunakan sumber-sumber dalam komunitas,
mereka akan menggunakan pelayanan perawatan kesehatan secara
lebih tepat.
Agar keluarga dapat menjadi sumber kesehatan yang efektif dan
utama, keluarga harus lebih terlibat dalam tim perawatan kesehatan
dan keseluruhan proses terapeutik. Ini memberi arti adanya suatu
hubungan yang adil dengan mereka yang memberikan perawatan
kesehatan, dimana kedua belah pihak tersebut dapat
menegosiasikan dan mengungkapkan kebutuhan-kebutuhan dan
kepentingan mereka secara terbuka.
Peran kemitraan semacam itu diperlukan, apakah untuk praktek
kesehatan preventif atau kuratif dan kebutuhan kesehatan
rehabilitatif masih dipertimbangkan. Orang harus diperlakukan
sebagai orang dewasa yang bertanggungjawab, bukan sebagai
anak-anak yang pasif, jika para profesional ingin mereka
memangku tanggung jawab terhadap diri sendiri.
Keluarga tidak hanya harus bermitra dengan mereka yang
memberikan perawatan kesehatan daam mengarahkan dan
15
mengimplementasikan perawatan kesehatan dirinya, tetapi klien
harus menjadi pengambil keputusan terakhir dan menjadi manajer
bagi masalah-masalah kesehatan yang mempengaruhi
kesejahteraan dan hidup mereka. Agar klien dapat ikut dalam
perawatan diri yang efektif, mereka harus memiliki pengetahuan
dan keterampilan yang diperlukan ntuk memberikan perawatan
kesehatan yang baik. Ini berarti bahwa keluarga perlu mengakses
sumber utama kesehatan. Dengan demikian para rofesional dalam
bidang kesehatan harus rela memperluas peran mereka untuk
memasukkan juga pendidikan kesehatan yang diarahkan pada
perawatan diri keluarga.
4. Peran Keluarga Selama Sehat dan Sakit
Ketika seorang anggota keluarga mengalami sakit yang menimbulkan
cacat dan dirawat di rumah, maka ada peran yang menjadi primer yaitu
menjadi perawat. Peran yang paling menonjol untuk melaksanakan
tugas tersebut adalah sosok seorang ibu, bahwa peran-peran penting
tertumpu pada ibu yaitu posisi sebagai istri, sebagai pemimpin, dan
pemberi asuhan kesehatan. Apapun kriteria yang telah digunakan
dalam penelitian untuk mengukur pembuatan keputusan tentang
bagaimana penyakit diatasi dan disembuhkan, penggunaan layanan
medis dan layanan kesehatan, peran sentral ibu sebagai pembuat
keputusan tentang kesehatan utama, pendidik, konselor, dan pemberi
asuhan dalam keluarga tetap menjadi temuan dalam penelitian tersebut
(Litman, 1974; dalam Friedman, 1998). Dalam peran ini, ibu
menentukan gejaa-gejala dan memutuskan pencarian sumber-sumber
yang penting. Ia juga mempunyai kontrol substansial terhadap
keputusan apakah anaknya akan mendapatkan layanan kuratif atau
preventif (Aday dan Eichhorn, 1972; Diosy, 1956; Rayner 1970), dan
bertindak sebagai sumber ketenangan dan bantuan pada masa-masa
sakit.
16
5. Keperawatan Keluarga
Definisi tentang keperawatan keluarga itu sendiri terdapat tiga tingkat
praktik keperawatan keluarga atau foci, yaitu keluarga sebagai konteks,
keluarga sebagai kumpulan dari anggota keluarga, dan keluarga
sebagai klien. Tingkat keperawatan keluarga yang dipraktikkan
tergantung pada bagaimana perawat keluarga mengkonseptualisasikan
keluarga dan bekerja dengannya. Tingkat keterpusatan pada keluarga
juga tergantung kepada filosofi dari sistem tempat perawat bekerja.
Lingkungan kerja (apa penghargaan dan penguatan negatif
kepemimpinan) merupakan penentu utama dari perilaku. Setiap tingkat
dari ketiga tingkat atau foci keperawatan keluarga merupakan
komponen keperawatan keluarga.
Proses keperawatan merupakan intisari dari keerawatan, proses ini
menjadi pusat bagi semua tindakan keperawatan, dapat diaplikasikan
dalam situasi apa saja, dalam kerangka referensi tertentu, konsep
tertentu, teori atau falsafah (Yura dan Walsh, 1978). Proses
keperawatan keluarga akan relatif berbeda pada siapa yang menjadi
fokus perawatan. Perbedaan fokus tersebut tergantung pada
konseptualisasi keluarga dari perawat tersebut dalam praktiknya. Jika
ia melihat keluarga sebagai latar belakang dari pasien individu, maka
anggota keluarga secara individu merupakan fokus dan proses
keperawatan yang berorietasi pada individu, akan tetap, perawat
mengkonseptualisasikan keluarga sebagai unit pelayanan, maka
meskipun proses itu sendiri tidak ada bedanya, keluarga sebagai
sebuah unit atau sistem merupakan fokusnya (Friedman, 1998).
Langkah-langkah dalam proses keperawatan keluarga adalah meliputi:
pengkajian terhadap keluarga, identifikasi masalah-masalah keluarga
(Diagnosa Keperawatan), rencana perawatan, intervensi, dan evaluasi
perawatan (Friedman, 1998).
17
a. Pengkajian Keluarga
Proses pengkajian keerawatan diwarnai dengan pengumpulan
informasi secara terus menerus terhadap arti yang melekat pada
informasi yang sedang dikumpulkan tersebut. Dengan kata lain,
data dikumpulkan dengan cara sistematis (dengan menggunakan
suatu alat pengkajian keluarga) diklasifikaskan dan dianalisa
artinya. Seringkali sekilas dikumpulkan pada setiap area utama.
Jika pengkaji menemukan kemudian menemukan kemungkinan
bermakna atau potensial masalah, maka ia menggali area tersebut
secara lebih mendalam.
Pengumpulan data tentang keluarga didapatkan dari berbagai
sumber, yaitu wawancara dengan klien dalam hubungannya dengan
kejadian-kejadian pada waktu lalu dan sekarang, temuan-temuan
yang objektif (misal observasi terhadap rumah dan fasilitas-
fasilitas yang ada didalamnya), informasi-informasi tertulis
maupun lisan dari rujukan, berbagai lembaga yang menangani
keluarga, dan anggota tim kesehatan lainnya.
Menciptakan suatu hubungan saling percaya dimana ada saling
keterbukaan dan saling menghormati, komunikasi berjalan
berbarengan dengan proses pengkajian dan tahap orientasi bekerja
dengan sebuah keluarga. Penjalinan kepercayaan dan hubungan
membentuk tempat dan dasar bagi perawatan keluarga yang
efektif.
b. Diagnosa Keperawatan Keluarga
Diagnosa – diagnosa keperawatan keluarga merupakan
perpanjangan dari diagnosa-diagnosa keperawatan terhadap sistem
keluarga dan merupakan hasil dari pengkajian terhadap perawatan.
Diagnosa-diagnosa keperawatan keluarga didalamnya termasuk
18
juga masalah-masalah kesehatan yang aktua dan potensial yang
mana karena pendidikan dan pengalaman, para perawat mampu dan
diizinkan untuk menanganinya (Gordon, 1978 dan 1982).
c. Perencanaan Keperawatan
Perencanaan meliuti perumusan tujuan yang berorientasi pada
klien. Penyusunan bersama tujuan tersebut terdiri atas
kemungkinan sumber-sumber, menggambarkan pendekatan-
pendekatan alternatif untuk memenuhi tujuan-tujuan, menyeleksi
intervensi-intervensi keperawatan yang spesifik, memobilisasi
sumber-sumber (termasuk pengerahan kemampuan perawatan diri),
dan mengoperasionalisasikan perencanaan (menyusun prioritas-
priritas dan menulis bagaimana perencanaan tersebut dilaksanakan
dalam fase-fase). Rencana asuhan keperawatan bertindak sebagai
rencana untuk bertindak.
d. Intervensi
Tahap intervensi diawali dengan penyelesaian perencanaan
keperawatan. Implementasi dapat dilakukan oleh banyak orang;
klien (individu atau keluarga), perawat, dan anggota tim perawatan
kesehatan yang lain, keluarga luas, dan orangorang lain dalam
jaringan kerja sosial keluarga.
e. Evaluasi
Evaluasi didasarkan pada bagaimana efektifnya intervensi-
intervensi yang dilakukan oleh keluarga, perawat, dan yang
lainnya. Keefektifan ditentukan dengan melihat respons keluarga
dan hasil (bagaimana keluarga memberikan respons), bukan
intervensi-intervensi yang diimlementasikan. Sekali lagi evaluasi
merupakan suatu upaya bersama antara perawat dan keluarga.
19
B. Tuberkulosis Paru
1. Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosae, sejenis kuman berbentuk batang dengan ukuran panjang
1-4.Um dan tebal 0,3-0,6/Um yang menyerang paru-paru
(Bahar,2001).
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang menyebar melalui batuk
dan dahak yang disebabkan oleh Basil tuberkel Mycobacterium
tuberculosis (Miller,2002).
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa Tuberkulosis adalah
penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosae,yang
menyerang paru-paru dan menyebar melalui batuk dan dahak.
2. Tanda dan gejala TB Paru
Menurut Bahar (2001), keluhan yang dirasakan pasien tuberkulosis
dapat bermacam-macam atau malah banyak pasien ditemukan Tb paru
tanpa keluhan sama sekali dalam pemeriksaan kesehatan. Keluhan
yang terbanyak adalah :
a) Demam
Serangan demam pertama dapat sembuh sebentar, tetapi kemudian
dapat timbul kembali. Kadang-kadang panas badan dapat mencapai
40-41ºC. keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh
pasien dan berat ringannya infeksi kuman TB yang masuk.
b) Batuk/Batuk darah
Gejala ini banyak ditemukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi
pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-
produk radang keluar. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non-
produktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif
20
(menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk
darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah.
c) Sesak napas
Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak
napas. Sesak napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah
lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru.
d) Nyeri dada
Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura
sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura
sewaktu pasien menarik/melepaskan napasnya.
e) Malaise
Penyakit tuberkulosis bersifat radang yang menahun. Gejala
malaise sering ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu makan,
badan makin kurus (berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri
otot, keringat malam. Gejala malaise ini makin lama makin berat
dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur.
Tuberkulosis Paru termasuk insidius. Sebagian besar pasien
menunjukkan demam tingkat rendah, keletihan, anoreksia, penurunan
berat badan, berkeringat malam, nyeri dada, dan batuk menetap. Batuk
pada awalnya mungkin nonproduktif, tetapi dapat berkembang ke arah
pembentukan sputum mukopurulen dengan hemoptisis (Smeltzer dan
Brenda, 2001).
3. Cara Penularan
Menurut Manaf (2006) cara penularan TB meliputi:
a) Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.
b) Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara
dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat
menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.
21
c) Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak
berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah
percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh
kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam
keadaan yang gelap dan lembab.
d) Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman
yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan
hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut.
e) Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB
ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya
menghirup udara tersebut.
4. Pemeriksaan laboratorium
Diagnosis pasti tuberkulosis ditegakkan terutama dengan dilakukan
pemeriksaan dahak. Seseorang dipastikan TB jika di dalam
pemeriksaan mikroskopis, dahaknya mengandung kuman TB. Kriteria
sputum BTA (+) adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan 3 batang
kuman BTA (+) pada satu sediaan. Bila hasil pemeriksaan dahak
kurang mendukung, sedangkan gejalanya mengarah ke TB, dokter
mungkin akan memerlukan pemeriksaan tambahan yaitu pemeriksaan
dengan sinar Rotgen (Ro). Pada pemeriksaan dengan sinar Rotgen
lokasi lesi tuberkulosis umumnya didaerah apeks paru (Bahar, 2001).
5. Pencegahan
Berperilaku hidup bersih dan sehat dapat mengurangi angka kejadian
TB (PPTI, 2010) yakni: makan makanan yang bergizi seimbang
sehingga daya tahan tubuh meningkat untuk membunuh kuman TB,
tidur dan istirahat yang cukup, tidak merokok, minum alkohol dan
menggunakan narkoba, lingkungan yang bersih baik tempat tinggal
22
dan disekitarnya, membuka jendela agar masuk sinar matahari di
semua ruangan rumah karena kuman TB akan mati bila terkena sinar
matahari, imunisasi BCG bagi balita, yang tujuannya untuk mencegah
agar kondisi balita tidak lebih parah bila terinfeksi TB.
Bagi pasien TB, yang harus dilakukan agar tidak menularkan kepada
orang lain yaitu seorang pasien TB sebaiknya sadar dan berupaya
tidak menularkan penyakitnya kepada orang lain, antara lain dengan
tidak meludah di sembarang tempat, menutup mulut saat batuk atau
bersin, berperilaku hidup bersih dan sehat, berobat sesuai aturan
sampai sembuh, memeriksakan balita yang tinggal serumah.
6. Komplikasi
Penyakit TB paru bila tidak ditangani dengan benar akan
menimbulkan komplikasi (Bahar, 2001). Komplikasi dibagi atas
komplikasi dini (pleuritis, efusi pleura, laryngitis, menjalar ke organ
lain seperti usus) dan komplikasi lanjut (kerusakan parenkim berat,
karsinoma paru).
Reaksi granulomatosa pada dasarnya adalah upaya untuk mengandung
infeksi tuberkulosis, granuloma, terutama ketika besar dan kavitas,
dapat menyebabkan komplikasi. erosi granuloma ke dalam arteri
pulmonalis dapat menyebabkan perdarahan yang signifikan dan
kadang-kadang fatal (aneurisma Rasmussen). erosi melalui pleura
dapat menyebabkan pembentukan fistula bronkopleural dan empiema
TB pleura. rongga dapat menjadi dijajah oleh aspergilli dan
mengembangkan bola jamur (aspergilloma). carsinomas parut jarang
berkembang dalam hubungan dengan bekas luka yang disebabkan
oleh infeksi tuberkulosis kronis. Amiloidosis adalah komplikasi lain
sangat jarang infeksi Cronic ( Dani S. Zander dan Carol F.
Farver,2008).
23
7. Pengobatan TB Paru
a. Tujuan Pengobatan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan
dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.
b. Jenis, Sifat , dan dosis OATJenis OAT Sifat Dosis yang direkomendasikan (mg/kg)
Harian 3xsemingguIsoniazid (H) Bakterisid 5 (4-6) 10 (8-12)Rifampicin (R) Bakterisid 10 (8-12) 10 (8-12)Pirazinamide (Z) Bakterisid 25 (20-30) 35 (30-40)Streptomycin (S) Bakterisid 15 (12-18) 15 (12-18)
c. Prinsip Pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai
berikut :
1) OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis
obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan
kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal
(monoterapi). Pemakaian OAT-kombinasi Dosis Tetap (OAT-
KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
2) Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan
pengawasan langsung (DOT) oleh seorang Pengawas Menelan
Obat (PMO).
3) Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif
dan lanjutan.
(a) Tahap awal (intensif)
(1) Pada tahap intensif pasien mendapat obat setiap hari
dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah
terjadinya resistensi obat.
(2) Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara
tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular
dalam kurun waktu 2 minggu.
24
(3) Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA
negatif (konfersi) dalam 2 bulan.
(b) Tahap lanjutan
(1) Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih
sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama
(2) Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman
persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
8. Program Pemberantasan TB Paru
a. Tujuan Program
Menurunkan angka kesakitan dan angka kematian TB,
memutuskan rantai penularan, serta mencegah terjadinya multidrug
resistance (MDR), sehingga TB tidak lagi merupakan masalah
kesehatan masyarakat Indonesia.
b. Target
Target program penanggulangan TB adalah tercapainya penemuan
pasien baru TB BTA positif paling sedikit 70% dari perkiraan dan
menyembuhkan 85% dari semua pasien tersebut serta
mempertahankannya. Target ini diharapkan dapat menurunkan
tingkat prevalensi dan kematian akibat TB hingga separuhnya pada
tahun 2010 dibanding tahun 1990, dan mencapai tujuan millenium
development goal (MDG) pada tahun 2015.
c. Strategi
1) Peningkatan komitmen politis yang berkesinambungan untuk
menjamin ketersediaan sumberdaya dan menjadikan
penanggulangan TB suatu prioritas
2) Pelaksanaan dan pengembangan strategi DOTS yang bermutu
dilaksanakan secara bertahap dan sistematis
25
3) Peningkatan kerjasama dan kemitraan dengan pihak terkait
melalui kegiatan advokasi, komunikasi dan mobilisasi sosial
4) Kerjasama dengan mitra internasional untuk mendapatkan
komitmen dan bantuan sumber daya.
5) Peningkatan kinerja program melalui kegiatan pelatihan dan
supervisi, pemantauan dan evaluasi yang berkesinambungan
9. Pengawasan Menelan Obat
Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka
pendek dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan
pengobatan diperlukan seorang PMO.
10. Tindakan Perawatan Terhadap Pasien Tuberkulosis Paru
Seseorang yang telah melakukan pemeriksaan dahak secara
mikroskopis selama 3 kali, yaitu pagi, sewaktu, dan pagi dinyatakan
positif terdapat M.Tuberculosis atau disebut BTA Positif maka
seseorang tersebut positif menderita penyakit Tuberkulosis dan harus
dilakukan tindakan perawatan. Tindakan perawatan tersebut dilakukan
supaya kondisi penderita tidak semakin parah dan tidak menularkan
ke orang lain disekitarnya.
Perawatan penderita Tuberkulosis Paru adalah meliputi pengkajian
terhadap manifestasi klinis seperti demam, anoreksia, penurunan berat
badan, berkeringat malam, keletihan, batuk, dan pembentukan sputum
mengharuskan pengkajian fungsi pernapasan yang lebih menyeluruh.
Paru-paru dikaji terhadap konsolidasi dengan mengevaluasi bunyi
napas (menghilang, bunyi bronkial, atau bronkovesikular, krekles),
fremitus, egofoni, dan hasil pemeriksaan perkusi (pekak). Pasien dapat
juga mengalami pembesaran nodus limfe yang terasa sangat nyeri.
Kesiapan emosional pasien untuk belajar, juga persepsi dan
pengertiannya tentang tuberkulosis dan pengobatannya juga dikaji.
26
Tindakan perawatan dilakukan juga dengan peningkatan bersihan
jalan napas, mendukung kepatuhan terhadap regimen pengobatan,
meningkatkan aktifitas dan nutrisi yang adekuat, penyuluhan pasien
dan pertimbangan perawatan dirumah (Smeltzer dan Brenda, 1997).
Tindakan perawatan tidak hanya dilakukan oleh perawat atau petugas
kesehatan lainnya, namun juga dilakukan oleh Keluarga Penderita
Tuberkulosis Paru yaitu dengan mengawasi dalam menelan dan
tersedianya obat sesuai aturan sampai sembuh (meminum obat selama
6 bulan dan melakukan pemeriksaan dahak) ,menyediakan tempat
meludah agar tidak meludah di sembarang tempat, menutup mulut
penderita dengan masker saat berkomunikasi dengan orang lain atau
batuk dan bersin, berperilaku hidup bersih dan sehat, memeriksakan
balita yang tinggal serumah agar segera diberikan pengobatan
pencegahan (PPTI, 2010).
Tindakan perawatan yang dilakukan terhadap pasien Tuberkulosis
paru (Murwani, 2008) adalah:
a. Isolasi dan pengelompokan pasien sejenis
1) Sediakan masker, jas besmet, dan sputum pot
2) Sediakan cuci tangan (larutan lisol 1-2%)
3) Sediakan tempat pakai kotor/plastik
4) Atur pengunjungan (cegah penularan)
b. Istirahat dan jaga ketenangan
1) Ketenangan pasien
2) Ketenangan ruangan
c. Mengurangi batuk
1) Ruangan segar dan bebas debu
2) Hindarkan makanan yang merangsang batuk
d. Mengeluarkan sputum
1) Posisi postural drainase dan membatukkan
27
2) Pemberian terapi Inhalasi
3) Pemberian Obat pengencer lendir
e. Merawat panas badan
1) Kompres di kepala dan lekukan tubuh
2) Batasi aktifitas
3) Memberikan obat penurun panas
f. Merawat sesak napas
g. Memberikan makanan Tinggi Kalori Tinggi Protein (TKTP) dan
banyak minum
h. Merawat perdarahan / hemoptu
i. Melaksanakan bimbingan mental
j. Melakukan penyuluhan kesehatan
1) Penyakit dan masalah
2) Terapi dan perawatan
3) Cara pencegah kambuh
C. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Upaya Perawatan Penderita
Tuberkulosis Paru
Faktor-faktor yang mempengaruhi seorang dalam perilaku kesehatan
dalam hal ini upaya perawatan penderita Tuberkulosis Paru dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal
(Notoatmodjo, 2005). Faktor internal meliputi perhatian, pengamatan,
persepsi, motivasi, fantasi, dan sugesti. Sedangkan faktor eksternal
meliputi lingkungan, baik lingkungan fisik, maupun non fisik dalam
bentuk sosial, budaya, ekonomi, dan politik.
1. Perhatian
Sesuatu stimulus yang menjadi perhatian orang banyak akan menarik
perhatian kita. Misalnya jika ada segerombol orang yang berkerumun
di rel kereta api, maka kita juga akan tertarik untuk melihat apa yang
dilihat oleh gerombolan orang tersebut.
2. Pengamatan
28
Seseorang memiliki indera penglihatan yang dapat melakukan
pengamatan terhadap suatu hal. Pengamatan tersebut akan diproses
untuk menghasilkan sebuah tindakan yang akan dilakukan.
Pengamatan terhadap suatu hal yang pernah dilakukan seseorang akan
dilakukan kembali oleh pengamat jika dianggapnya suatu hal yang
bermanfaat baginya.
3. Persepsi
Menurut Rosentock dalam teory Health Belief Model (HBM)
didasarkan pada pemahaman bahwa untuk dapat melakukan tindakan
kesehatan, seseorang merasa bahwa kondisi kesehatan negatif
(misalnya, Tuberkulosis) dapat dihindari, memiliki ekspekstasi yang
positif bahwa dengan mengambil tindakan yang di anjurkan ia akan
menghindari kesehatan yang negatif (misalnya, menggunakan masker
agar tidak menularkan kuman ke orang lain), percaya bahwa dia
berhasil dapat mengambil tindakan kesehatan yang direkomendasikan
(yaitu dia dapat menggunakan masker). Model Kepercayaan
Kesehatan (HBM) terbagi dalam empat konstruksi keyakinan inti yang
di dasarkan pada persepsi bahwa terhadap ancaman dan manfaat
bersih yang terdiri dari persepsi kerentanan, persepsi keparahan,
persepsi manfaat dan persepsi hambatan (Rosentock,1997).
4. Motivasi
Manusia bukanlah benda mati yang bergerak hanya bila ada daya dari
luar yang mendorongnya, melainkan makhluk yang mempunyai daya-
daya dalam dirinya sendiri untuk bergerak, yaitu motivasi. Oleh
karena itu, motivasi sering disebut penggerak perilaku (the energizer
of behaviour). Motivasi adalah penentu (determinant) perilaku yang
akan mempengaruhi perilaku seseorang, seorang yang ingin sembuh
dengan cepat dan dapat beraktifitas kembali akan meminum obat
secara teratur dan mau melakukan tindakan perawatan dengan baik.
5. Fantasi
29
Khayalan, angan-angan, gambaran yang bukan nyata tentang sesuatu
hal. Fantasi terhadap sesuatu akan membuat seseorang bertindak
sesuai fantasinya, atau bahkan tidak dapat merealisasikannya.
6. Sugesti
Pengaruh dari seseorang yang kita anggap hebat akan berpengaruh
juga terhadap tindakan kita. Seseorang yang memunyai sugesti bahwa
periksa di dokter Y pasti akan sembuh, maka dia akan periksa ke
dokter tersebut terus.
7. Lingkungan Fisik
Faktor lingkungan selain langsung mempengaruhi kesehatan juga
mempengaruhi lingkungan, dan perilaku sebaliknya juga
mempengaruhi pelayanan kesehatan. Intervensi terhadap lingkungan
fisik dalam bentuk perbaikan sanitasi lingkungan.
8. Sosial
Setiap individu sejak lahir berada di dalam suatu kelompok, terutama
kelompok keluarga. Kelompok ini akan membuka kemungkinan untuk
dipengaruhi dan mempengaruhi anggota-anggota lainnya. Kehidupan
sosial senantiasa berlaku aturan-aturan dan norma-norma sosial
tertentu, maka tindakan setiap individu anggota kelompok didalam
suatu jaingan normatif, demikian pula tindakan seseorang tersebut
terhadap masalah kesehatan.
9. Budaya
Setiap budaya mempunyai norma-norma atau nilai-nilai yang dianut
setiap anggotanya sebagai nilai-nilai yang baik atau buruk. Seseorang
dengan latar belakang budaya yang sama akan menginterpretasikan
orang-orang dalam kelompoknya secara berbeda, namun akan
mempersepsikan orang-orang diluar kelompoknya sebagai sama saja.
10. Ekonomi
Masalah ekonomi keluarga dapat mempengaruhi seseorang dalam
tindakan kesehatan dan mendapatkan pelayanan kesehatan secara
optimal.
30
11. Politik
Lingkungan politik dalam suatu negara yang aman, masyarakatnya
juga akan mendapatkan fasilitas kesehatan yang baik.
D. Persepsi
1. Definisi
Kita menangkap berbagai gejala dari luar diri kita melalui lima indera
yang kita miliki. Proses penerimaan rangsang ini disebut penginderaan
(sensation). Pengertian kita akan lingkungan atau dunia di sekitar kita
bukan sekadar hasil penginderaan itu. Ada unsur interpretasi terhadap
rangsang-rangsang yang diterima dan inilah yang menyebabkan kita
mempunyai suatu pengertian terhadap lingkungan. Proses diterimanya
rangsang (objek, kualitas, hubungan antar gejala, maupun peristiwa)
sampai rangsang itu disadari dan dimengerti disebut persepsi. Karena
persepsi bukan sekadar penginderaan, maka ada penulis yang
menyatakan persepsi sebagai the interpretation of experience
(Irwanto, 2002).
Persepsi (perception) yaitu sekumpulan tindakan mental yang
mengatur impuls-impuls sensorik menjadi suatu pola bermakna (Carol
Wade & Carol Tavris, 2007).
Persepsi diartikan sebagai daya mengenal sesuatu yang hadir dalam
sifatnya yang konkrit jasmaniah, bukan yang sifatnya batiniah, seperti
benda, barang, kualitas, atau perbedaan antara dua hal atau lebih yang
diperoleh melalui proses mengamati, mengetahui, dan mengartikan
setelah panca inderanya mendapat rangsang (Baihaki, 2007).
2. Proses Terjadinya Persepsi
Proses terjadinya persepsi pertama adalah karena adanya
obyek/stimulus yang merangsang untuk ditangkap oleh panca indra
(obyek tersebut menjadi perhatian panca indra), kemudian
31
stimulus/obyek perhatian tadi dibawa ke otak. Dari otak terjadi adanya
kesan atau jawaban (respon) adanya stimulus, berupa kesan atau
response dibalikkan ke indra kembali berupa tanggapan atau persepsi
atau hasil kerja indra berupa pengalaman hasil pengolahan otak.
Obyek/stimulus diterima oleh sensoris kemudian diproses indra (input)
yang sebelum menghasilkan output, stimulus diproses di otak (pusat
syaraf) sehingga menghasilkan berupa persepsi rangsangan
pengalaman/respon (widayatun,1999).
3. Macam-macam Persepsi
Model Kepercayaan Kesehatan (HBM) terbagi dalam empat
konstruksi keyakinan inti yang di dasarkan pada persepsi bahwa
terhadap ancaman dan manfaat bersih yang terdiri dari persepsi
kerentanan, persepsi keparahan, persepsi manfaat dan persepsi
hambatan, Rosentock (1982) dalam Notoatmodjo (2007).
a. Persepsi Kerentanan
Setiap individu memiliki persepsi sendiri dari adanya
kemungkinan mengalami kondisi yang buruk yang akan
mempengaruhi kesehatan seseorang. Setiap individu memiliki
persepsi yang bervariasi tentang kerentanan terhadap penyakit
atau suatu kondisi. Mereka yang memiliki persepsi yang rendah
akan menyangkal kemungkinan tertular penyakit yang
merugikan, namun individu-individu dengan kerentanan yang
sangat tinggi akan merasa ada bahaya nyata bahwa mereka akan
mengalami kondisi yang merugikan atau berpotensi tertular
penyakit tertentu.
b. Persepsi keparahan
Persepsi keparahan mengacu pada keyakinan seseorang
mengenai efek suatu penyakit tertentu. Efek ini dapat dirasakan
dari sudut pandang kesulitan-kesulitan yang menciptakan
timbulnya suatu penyakit. Misalnya, rasa sakit dan
32
ketidaknyamanan, kehilangan waktu kerja, beban keuangan,
kesulitan dengan keluarga, hubungan dan kerentanan terhadap
kondisi masa depan. Sangat penting untuk menyertakan beban
emosi dan keuangan ketika mempertimbangkan keseriusan
penyakit atau emosi.
c. Persepsi Manfaat mengambil Tindakan
Mengambil tindakan pencegahan terhadap penyakit adalah
langkah selanjutnya untuk mengharapkan setelah seseorang
telah menerima penyakit. Arah tindakan yang dipilih seseorang
akan di dipengaruhi oleh keyakinan tentang tindakan.
d. Persepsi Hambatan
Tindakan yang di ambil tentunya tidak semuanya langsung
efektif dan berdampak positif. Hal ini terjadi mugkin karena
hambatan hambatan berhubungan dengan karakteristik dari
pengobatan atau tindakan pencegahan yang mungkin tidak
nyaman, mahal, tidak menyenangkan, menyakitkan atau
mengganggu.
4. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap Persepsi
Karena persepsi lebih bersifat psikologis daripada merupakan proses
penginderaan saja, maka ada beberapa faktor yang mempengaruhi
menurut Irwanto (2002), yaitu
a. Perhatian yang selektif
Dalam kehidupan manusia setiap saat akan menerima banyak
sekali rangsang dari lingkungannya. Meskipun demikian ia tidak
harus menanggapi semua rangsang yang diterimanya. Untuk itu
individunya memusatkan perhatiannya pada rangsang-rangsang
tertentu saja. Dengan demikian, objek-objek atau gejala-gejala lain
tidak akan tampil ke muka sebagai objek pengamat.
33
b. Ciri-ciri rangsang
Rangsang yang bergerak diantara rangsang yang diam akan lebih
menarik perhatian. Demikian juga rangsang yang paling besar
diantara yang kecil; yang kontras dengan latarbelakangnya dan
yang intensitas rangsangnya paling kuat.
c. Nilai-nilai dan kebutuhan individu
Seorang seniman tentu punya pola dan cita rasa yang berbeda
dalam pengamatannya dibanding seorang bukan seniman.
Penelitian juga menunjukkan bahwa anak-anak dari golongan
ekonomi rendah melihat koin (mata uang logam) lebih besar
dibanding anak-anak orang kaya.
d. Pengalaman terdahulu
Pengalaman-pengalaman terdahulu sangat mempengaruhi
bagaimana seseorang mempersepsi dunianya.
5. Sifat Persepsi
Secara Umum, terdapat beberapa sifat persepsi menurut
Baihaqi(2007), antara lain:
a. Bahwa persepsi timbul secara spontan pada manusia, yaitu ketika
seseorang berhadapan dengan dunia yang penuh dengan rangsang.
Indra manusia menerima rangsang ± 3 milyar perdetik, dua milyar
diantaranya diterima oleh mata.
b. Persepsi merupakan sifat paling asli, merupakan titik tolak
perbuatan kesadaran manusia.
c. Dalam mempersepsikan tidak selalu dipersepsi secara keseluruhan,
mungkin hanya sebagian, yang lain cukup dibayangkan.
d. Persepsi tidak berdiri sendiri, tetapi dipengaruhi atau bergantung
pada konteks dan pengalaman. Konteks berarti ciri-ciri objek yang
dipersepsi, sedangkan pengalaman berarti pengalaman-pengalaman
yang dimiliki dalam kehidupan sebelumnya.
34
e. Manusia sering tidak teliti, sehingga ia sering keliru. Ini terjadi,
karena sering ada penipuan dalam bidang persepsi.
f. Persepsi, sebagian ada yang dipelajari dan sebagian ada yang
bawaan. Yang sifatnya dipelajari dibuktikan dengan kuatnya
pengaruh pengalaman terhadap persepsi.
g. Dalam persepsi, sifat benda yang dihayati biasanya bersifat
permanen dan stabil, tidak dipengaruhi oleh penerangan, posisi,
dan jarak (permanent shade).
h. Persepsi bersifat prospektif, artinya mengandung harapan.
i. Kesalahan persepsi bagi orang normal, ada cukup waktu untuk
mengoreksi, berbeda dengan yang terganggu jiwanya.
6. Persepsi Keluarga Terhadap Perawatan Penderita Tuberkulosis Paru
Fungsi perawatan kesehatan keluarga tidak hanya merupakan sebah
fungsi yang mendasar dan vital, melainkan fungsi yang memangku
suatu fokus sentral dalam keluarga-keluarga yang sehat dan berfungsi
dengan baik, terutama pada penderita Penyakit Tuberkulosis Paru yang
memerlukan perawatan dari keluarga. Pratt (1967) mengkaji
bagaimana keluarga dapat berfungsi dengan baik sebagai sebuah
sistem perawatan kesehatan pribadi, Ia menguji keadekuatan praktik
kesehatan dari keluarga dan perawatan di rumah untuk anggota
keluarga yang sakit, penggunaan pelayanan perawatan kesehatan
profesional, tingkat pengetahuan dalam bidang kesehatan, dan sikap
terhadap kesehatan yang baik. Pratt menemukan keluarga kurang
memiliki hal ini, misalnya terhadap pelanggaran serius antara apa yang
harus dilakukan untuk memelihara kesehatan anggota keluarga dan apa
yang biasanya terjadi.
Persepsi keluarga terhadap perawatan penderita Tuberkulosis paru
dapat menggunakan Model keyakinan Kesehatan, menurut Becker
(1974) model ini diyakini menjadi alat yang bermanfaat untuk
35
menganalisis perilaku kesehatan pribadi secara sistematis,
memprediksi berbagai aktifitas seperti penggunaan perawatan medis,
dan mematuhi regimen medis. Agar keluarga dapat melakukan tugas
perawatan kesehatan yang baik terhadap anggota keluarga penderita
Tuberkulosis harus memiliki persepsi yang baik bahwa pertama secara
pribadi ia rentan terhadap penyakit tuberkulosis, kedua keadaan sakit
minimal agak berat, sehingga konsekuensi mendapat penyakit akan
mengganggu kehidupan penderita secara signifikan, ketiga melakukan
tindakan tertent akan bermanfaat dalam mengurangi kerentanan
terhadap atau keparahan penyakit, dan yang keempat manfaatnya lebih
besar daripada rintangannya, seperti biaya, nyeri, malu.
Kerentanan dan keseriusan penyakit merupakan faktor yang bisa
dirasakan, bukan tergantung kepada fakta tetapi tergantung kepada
keyakinan pribadi orang, dalam hal ini anggota keluarga lain. Persepsi
individu ini menjadi faktor kesiapan yang menimbulkan ancaman
penyakit yang dirasakan. Dalam model ini terdapat faktor pengubah
(demografi, sosiopsikologis, dan struktral) yang dipostuasikan untuk
mengubah kerentanan yang dirasakan, keparahan manfaat yag
dirasakan versus biaya, dan isyarat untuk bertindak (Friedman, 1998).
36
E. Kerangka Teori
Skema 2.1 Kerangka Teori penelitian
Sumber : Fungsi Dasar Keluarga (Friedman, 1998), Health Belief Model
(Rosentock, 1982)
Fungsi Dasar Keluarga: FungsiAfektif, Reproduksi, Perawatan
Kesehatan, Ekonomis, Sosialisasidan Penempatan Sosial
Konseptualisasi : Pengetahuan danPersepsiMotivasi
SikapMitos
Nilai-nilaiBudaya
Kelas Sosial: status sosioekonomiPerkembangan Teknologi
Manfaat yangdilihat daripengambilantindakan dikurangiHambatan
Pendorong (cues) untukbertindak (kampanye
media massa, peringatandari dokter, pemegang
program TB)
PersepsiKerentanan
Ancaman yangdilihat mengenaigejala dan penyakit
Upaya Praktek PerawatanKeluarga PenderitaTuberkulosis Paru
37
F. KERANGKA KONSEP
Variabel Independen Variabel Dependent
Skema 2.2. Kerangka Konsep Penelitian
Sumber : Health Belief Model (HBM), Rosentock (1982)
G. Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini adalah variabel bebas dan terikat
1. Variabel Bebas (Independen) pada penelitian ini adalah persepsi
kerentanan, persepsi keparahan, persepsi manfaat, dan persepsi
hambatan keluarga terhadap Tuberkulosis Paru.
2. Variabel Terikat (dependen) pada penelitian ini adalah upaya
perawatan keluarga kepada penderita tuberkulosis paru.
H. Hipotesis
Berdasarkan teori yang telah diuraikan maka Hipotesa Nol (H0) pada
penelitian ini adalah Tidak ada hubungan antara persepsi keluarga
terhadap Tuberkulosis Paru dengan upaya perawatan keluarga kepada
penderita Tuberkulosis Paru di wilayah kerja Puskesmas Bangetayu Kota
Semarang.
Persepsi Kerentanan
Persepsi Keparahan
Upaya PraktekPerawatan Keluargakepada PenderitaTuberkulosis paru
Persepsi Manfaat
Persepsi Hambatan