22
II-1 BAB II. DASAR TEORI Bab dasar teori ini menguraikan mengenai beberapa pengetahuan dan hal mendasar yang melatarbelakangi watermarking pada citra digital. Dasar teori ini dibagi menjadi empat bagian utama, yaitu dasar teori mengenai citra digital, konsep DCT, dan watermarking. 2.1 CITRA DIGITAL Pada berkas digital, sebuah citra digital merupakan objek penampung yang paling sering digunakan dalam implementasi penyembunyian data, termasuk watermarking. Hal ini disebabkan karena pada citra digital terdapat karakteristik dan atribut yang sesuai untuk dimanfaatkan dalam penyembunyian data, yaitu kemampuan indera penglihatan yang terbatas untuk mengenali citra yang sedikit berubah. Citra dapat diartikan gambar dalam proyeksi dua dimensi. Menurut definisi umum, citra merupakan fungsi kontinu dari intensitas cahaya pada bidang dua dimensi. Citra sebagai keluaran dari suatu perekaman data dapat bersifat analog, optik, atau digital. Pada tugas akhir ini, digunakan citra digital untuk mengimplementasikan digital watermarking. Citra digital dapat didefinisikan secara matematis sebagai fungsi intensitas dalam dua variabel x dan y yang dapat dituliskan f(x,y), dimana (x,y) merepresentasikan koordinat spasial pada bidang dua dimensi dan f(x,y) merupakan intensitas cahaya pada koordinat tersebut. Cahaya merupakan energi, maka intensitas cahaya bernilai antara 0 sampai tak terhingga (0f(x,y)<) [MEL03]. Nilai f(x,y) merupakan hasil perkalian dari : 1. i(x,y) = jumlah cahaya yang berasal dari sumbernya (illumination) ;

BAB II. DASAR TEORI - Perpustakaan Digital ITB ... umum, citra merupakan fungsi kontinu dari intensitas cahaya pada bidang dua dimensi. Citra sebagai keluaran dari suatu perekaman

  • Upload
    trannhi

  • View
    220

  • Download
    2

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II. DASAR TEORI - Perpustakaan Digital ITB ... umum, citra merupakan fungsi kontinu dari intensitas cahaya pada bidang dua dimensi. Citra sebagai keluaran dari suatu perekaman

II-1

BAB II. DASAR TEORI

Bab dasar teori ini menguraikan mengenai beberapa pengetahuan dan hal

mendasar yang melatarbelakangi watermarking pada citra digital. Dasar teori ini

dibagi menjadi empat bagian utama, yaitu dasar teori mengenai citra digital,

konsep DCT, dan watermarking.

2.1 CITRA DIGITAL

Pada berkas digital, sebuah citra digital merupakan objek penampung yang

paling sering digunakan dalam implementasi penyembunyian data, termasuk

watermarking. Hal ini disebabkan karena pada citra digital terdapat karakteristik

dan atribut yang sesuai untuk dimanfaatkan dalam penyembunyian data, yaitu

kemampuan indera penglihatan yang terbatas untuk mengenali citra yang sedikit

berubah.

Citra dapat diartikan gambar dalam proyeksi dua dimensi. Menurut

definisi umum, citra merupakan fungsi kontinu dari intensitas cahaya pada bidang

dua dimensi. Citra sebagai keluaran dari suatu perekaman data dapat bersifat

analog, optik, atau digital. Pada tugas akhir ini, digunakan citra digital untuk

mengimplementasikan digital watermarking.

Citra digital dapat didefinisikan secara matematis sebagai fungsi intensitas

dalam dua variabel x dan y yang dapat dituliskan f(x,y), dimana (x,y)

merepresentasikan koordinat spasial pada bidang dua dimensi dan f(x,y)

merupakan intensitas cahaya pada koordinat tersebut.

Cahaya merupakan energi, maka intensitas cahaya bernilai antara 0 sampai

tak terhingga (0≤ f(x,y)<∞) [MEL03]. Nilai f(x,y) merupakan hasil perkalian dari :

1. i(x,y) = jumlah cahaya yang berasal dari sumbernya

(illumination) ;

Page 2: BAB II. DASAR TEORI - Perpustakaan Digital ITB ... umum, citra merupakan fungsi kontinu dari intensitas cahaya pada bidang dua dimensi. Citra sebagai keluaran dari suatu perekaman

II-2

2. r(x,y) = derajat kemampuan objek memantulkan cahaya

(reflection).

Jadi, f(x,y) = i(x,y) . r(x,y)

dengan 0 ≤ i(x,y)<∞

0 ≤ r(x,y)<1

sehingga 0 ≤ f(x,y)<∞.

Intensitas f dari gambar hitam putih pada titik (x,y) disebut derajat keabuan

(grey level) yang bergerak dari hitam ke putih sedangkan citranya disebut citra

skala-abu (grayscale image) atau citra monokrom (monochrome image).

Derajat keabuan memiliki rentang nilai dari lmin sampai lmax. Selang (lmin ,

lmax) disebut skala abu. Citra monokrom disebut juga citra satu kanal yang berarti

warna hanya ditentukan oleh satu fungsi intensitas saja. Berbeda dengan citra

monokrom, citra berwarna disebut juga citra spektral karena warna disusun oleh

tiga komponen warna, yaitu merah, hijau, dan biru (Red, Green, Blue - RGB).

Intensitas pada suatu titik merupakan kombinasi dari tiga intensitas warna tersebut,

yaitu (fmerah(x,y)), (fhijau(x,y)), dan (fbiru(x,y)). Nilai dari masing-masing komponen

warna RGB tersebut berkisar antara 0 sampai 255. Representasi nilai ini berupa

integer. Gambaran komponen warna RGB pada suatu piksel dalam citra digital

dapat dilihat dalam ilustrasi pada Gambar II-1.

Page 3: BAB II. DASAR TEORI - Perpustakaan Digital ITB ... umum, citra merupakan fungsi kontinu dari intensitas cahaya pada bidang dua dimensi. Citra sebagai keluaran dari suatu perekaman

II-3

Gambar II-1. Komponen warna RGB pada suatu piksel citra

Citra digital yang berukuran M × N dapat dinyatakan sebagai matriks

dengan M baris dan N kolom. Masing-masing elemen pada citra digital disebut

image element, picture element, atau piksel. Secara matematis, citra yang

berukuran M × N memiliki MN buah piksel.

Representasi citra dari fungsi malar menjadi nilai diskrit disebut

digitalisasi. Proses digitalisasi sendiri ada dua macam, yaitu proses digitalisasi

secara spasial dan digitalisasi intensitas [MEL03]. Kedua proses digitalisasi ini

dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Digitalisasi spasial (sampling)

Sebagai contoh sederhana untuk digitalisasi spasial ini, jika pada suatu

gambar berukuran 6 x 5 inci akan dilakukan proses sampling menjadi citra

digital berukuran 2 x 3, artinya 2 baris dan 3 kolom, maka setiap piksel

pada gambar akan mewakili area pada citra malar dengan lebar 2,5 inci

dan tinggi 2 inci. Nilai piksel merupakan rata-rata intensitas cahaya pada

area tersebut.

Page 4: BAB II. DASAR TEORI - Perpustakaan Digital ITB ... umum, citra merupakan fungsi kontinu dari intensitas cahaya pada bidang dua dimensi. Citra sebagai keluaran dari suatu perekaman

II-4

Untuk mempermudah implementasi, jumlah sampler umumnya

merupakan perpangkatan dari dua, N = 2n, dimana N adalah jumlah

sampling ada suatu baris atau kolom dan n adalah bilangan bulat positif.

2. Digitalisasi intensitas (kuantisasi)

Proses kuantisasi membagi skala keabuan (0,L) menjadi G buah level yang

dinyatakan dengan suatu bilangan bulat, biasanya G diambil dari bilangan

perpangkatan dua, G = 2m, dimana G adalah derajat keabuan dan m

merupakan bilangan bulat positif. Tabel II-1 menunjukkan beberapa skala

abu dan rentang nilai keabuannya.

Tabel II-1. Skala abu dan rentang nilai keabuan

Skala Abu Rentang Nilai Keabuan

21 (2 nilai) 1

22 (4 nilai) 0,1,2,…,7

24 (16 nilai) 0,1,2,…,15

28 (256 nilai) 0,1,2,…,255

Hitam dinyatakan sebagai derajat keabuan terendah sedangkan putih

dinyatakan sebagai nilai derajat keabuan tertinggi.

Berkas citra yang akan dijadikan objek penampung dalam implementasi

Tugas Akhir ini adalah berkas citra dengan format JPEG. Citra berformat JPEG

dipilih karena format ini paling umum digunakan sebagai format gambar dan

relatif lebih mudah dikompresi.

2.2 DISCRETE COSINE TRANSFORM (DCT)

Discrete Cosine Transform (DCT) adalah sebuah fungsi dua arah yang

memetakan himpunan N buah bilangan real menjadi himpunan N buah bilangan

real pula. Secara umum, DCT satu dimensi menyatakan sebuah sinyal diskrit satu

dimensi sebagai kombinasi linier dari beberapa fungsi basis berupa gelombang

kosinus dikrit dengan amplitudo tertentu. Masing-masing fungsi basis memiliki

Page 5: BAB II. DASAR TEORI - Perpustakaan Digital ITB ... umum, citra merupakan fungsi kontinu dari intensitas cahaya pada bidang dua dimensi. Citra sebagai keluaran dari suatu perekaman

II-5

frekuensi yang berbeda-beda, karena itu, transformasi DCT termasuk ke dalam

transformasi domain frekuensi.

Amplitudo fungsi basis dinyatakan sebagai koefisien dalam himpunan

hasil transformasi DCT. DCT satu dimensi didefinisikan pada persamaan berikut:

(2.1)

untuk .

C(u) menyatakan koefisien ke-u dari himpunan hasil transformasi DCT. f(x)

menyatakan anggota ke-x dari himpunan asal. N menyatakan banyaknya suku

himpunan asal dan himpunan hasil transformasi. α(u) dinyatakan oleh persamaan

berikut:

untuk u = 0;

untuk .

(2.2)

Transformasi balikan yang memetakan himpunan hasil transformasi DCT

ke himpunan bilangan semula disebut juga inverse DCT(IDCT). IDCT

didefinisikan oleh persamaan di bawah ini:

(2.3)

untuk .

DCT dua dimensi dapat dipandang sebagai komposisi dari DCT pada

masing-masing dimensi. Sebagai contoh, jika himpunan bilangan real disajikan

dalam array dua dimensi terhadap masing-masing baris dan kemudian melakukan

DCT satu dimensi terhadap masing-masing kolom dari hasil DCT tersebut. DCT

dua dimensi dapat dinyatakan sebagai berikut dengan persamaan:

!

0 " u " N #1

!

1" u " N #1

!

0 " u " N #1

!

C(u) ="(u) f (x)cos# (2x +1)u

2N

$

% & '

( ) x= 0

N*1

+

!

f (x) = "(u)C(u)cos# (2x +1)u

2N

$

% & '

( ) u= 0

N*1

+

Page 6: BAB II. DASAR TEORI - Perpustakaan Digital ITB ... umum, citra merupakan fungsi kontinu dari intensitas cahaya pada bidang dua dimensi. Citra sebagai keluaran dari suatu perekaman

II-6

C(u,v) =α(u)α(v) f (x,y)cos π (2x +1)u2M

cos π (2y +1)v

2N

y= 0

N−1

∑x= 0

M −1

∑ (2.4)

sedangkan transformasi balikannya (invers) dinyatakan dengan

(2.5)

Fungsi basis DCT satu dimensi untuk N=8 dapat dilihat pada Gambar II-2.

Koefisien DCT ke-n menyatakan amplitudo dari fungsi basis untuk u=n-1. Pada

DCT dua dimensi, fungsi basisnya adalah hasil perkalian antara fungsi basis yang

berorientasi horisontal dengan fungsi basis yang berorientasi vertikal, sehingga

koefisien-koefisien DCT dua dimensi biasa disajikan dalam bentuk matriks.

Gambar II-2. Fungsi basis DCT satu dimensi untuk N=8 [KHA03]

Koefisien pertama, yaitu C(0) pada DCT satu dimensi atau C(0,0) pada

DCT dua dimensi disebut koefisien DC. Koefisien lainnya disebut koefisien AC.

!

f (x,y) ="(u)"(v) C(u,v)cos# (2x +1)u

2M

$

% & '

( ) y= 0

N*1

+x= 0

M *1

+ cos# (2y +1)v

2N

$

% & '

( )

Page 7: BAB II. DASAR TEORI - Perpustakaan Digital ITB ... umum, citra merupakan fungsi kontinu dari intensitas cahaya pada bidang dua dimensi. Citra sebagai keluaran dari suatu perekaman

II-7

Dapat dilihat bahwa fungsi basis yang berkorespondensi dengan koefisien DC

memiliki nilai tetap, sedangkan koefiisen AC berkorespondensi dengan fungsi

basis yang berbentuk gelombang.

Transformasi DCT dapat dilakukan secara langsung maupun dengan

membagi menjadi blok-blok kecil terlebih dahulu. Transformasi kemudian

dilakukan secara terpisah untuk masing-masing blok. Pembagian ini dapat

memudahkan dalam melakukan komputasi.

Pada transformasi DCT, dikenal juga istilah koefisien frekuensi rendah,

frekuensi menengah, dan frekuensi tinggi. Hal ini berkaitan dengan frekuensi

gelombang pada fungsi basis DCT. Jika frekuensi fungsi basisnya kecil, maka

koefisien yang berkorespondensi disebut koefisien frekuensi rendah. Contoh

pembagian koefisien menurut frekuensinya pada DCT dua dimensi dengan ukuran

blok 8 × 8 ditunjukkan pada Gambar II-3.

Gambar II-3. Pembagian frekuensi koefisien DCT untuk ukuran blok 8 x 8

Transformasi DCT dua dimensi sering digunakan dalam pemrosesan citra

digital. Ukuran blok yang banyak digunakan pada pemrosesan citra adalah ukuran

Page 8: BAB II. DASAR TEORI - Perpustakaan Digital ITB ... umum, citra merupakan fungsi kontinu dari intensitas cahaya pada bidang dua dimensi. Citra sebagai keluaran dari suatu perekaman

II-8

blok kecil, misalnya 8 × 8 seperti pada kompresi JPEG. Untuk citra digital, fungsi

basis dari DCT adalah sekumpulan citra yang disebut citra basis.

Citra basis diumpamakan sebagai gabungan dari dua buah gelombang

kosinus pada sumbu tegak lurus di bidang dua dimensi dengan frekuensi yang

menyatakan frekuensi perubahan derajat keabuan antara gelap dan terang. Pada

citra berwarna, DCT dilakukan terhadap setiap kanal warna. Dalam hal ini,

masing-masing kanal dapat dipandang sebagai sebuah citra grayscale.

Jika ukuran panjang atau lebar citra tidak habis dibagi oleh ukuran panjang

atau lebar blok, maka dilakukan padding dengan cara melakukan penambahan

piksel pada dimensi panjang dan lebar citra. Setelah dilakukan transformasi

balikan, hasil padding tersebut dibuang.

2.3 WATERMARKING

Dengan teknologi yang semakin maju, data dan informasi disajikan dalam

bentuk format digital, baik berupa teks, citra, audio, dan video. Penyebaran data

digital ini semakin meningkat dengan persentase yang signifikan. Hal ini

disebabkan internet merupakan sebuah sistem distribusi yang cepat, murah, dan

mudah untuk data digital tersebut.

Permasalahan yang muncul adalah jika produk digital yang disebarkan

tersebut merupakan karya yang perlu dilindungi, misalnya karya fotografi, musik

mp3, video peristiwa penting, dan sebagainya. Dengan kata lain, terdapat

penyalahgunaan kemudahan tersebut. Oleh karena itu, perlu adanya perlindungan

hak cipta terhadap produk digital tersebut agar meminimalisasi tindakan-tindakan

ilegal yang dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.

Contoh permasalahan yang muncul adalah :

1. Masalah kepemilikan.

Kepemilikan atas suatu produk digital kerap kali dipalsukan untuk

mendapatkan hak milik atas produk tersebut sehingga orang yang

Page 9: BAB II. DASAR TEORI - Perpustakaan Digital ITB ... umum, citra merupakan fungsi kontinu dari intensitas cahaya pada bidang dua dimensi. Citra sebagai keluaran dari suatu perekaman

II-9

memalsukan akan mendapatkan pujian atau penghargaan atas sebuah

karya.

Salah satu contoh kasus misalnya ditemukan pada sebuah karya

fotografi yang berupa foto digital. Apabila tidak ada informasi atau

label yang mengindikasikan identitas pemilik yang melekat pada foto

tersebut, maka potensi klaim dari pihak lain semakin tinggi. Jika hal ini

terjadi, maka pemilik foto tersebut tidak dapat memberikan bantahan

karena memang ia tidak memiliki bukti yang cukup otentik yang

menandakan kepemilikan atas foto tersebut.

2. Pelanggaran hak cipta.

Penggandaan ilegal terhadap suatu produk digital sangat merugikan

pemilik atau pemegang hak cipta produk tersebut. Hal ini disebabkan

pemegang hak cipta tersebut dapat tidak mendapatkan apa-apa dengan

hasil karya yang dimilikinya. Hasil karyanya telah diklaim oleh orang

lain dan pemegang hak cipta pun tak dapat berbuat banyak karena tidak

ada bukti yang mendukung bahwa produk digital tersebut memang

miliknya.

3. Masalah keaslian.

Salah satu kelemahan suatu produk digital adalah sifatnya yang relatif

mudah untuk dilakukan perubahan. Perubahan tersebut dapat berupa

rekayasa terhadap produk yang asli. Perubahan ini dapat menyebabkan

informasi yang penting dalam citra hilang dan tentunya citra tersebut

tidak lagi sama dengan aslinya.

Terdapat beberapa cara yang telah ditempuh untuk mengatasi masalah ini

atau dengan kata lain, memproteksi data digital, seperti enkripsi, proteksi

penyalinan, visible marking, header marking, dan sebagainya. Akan tetapi, semua

cara tersebut memiliki kelemahan dan terkesan kurang optimal dalam melindungi

data digital.

Page 10: BAB II. DASAR TEORI - Perpustakaan Digital ITB ... umum, citra merupakan fungsi kontinu dari intensitas cahaya pada bidang dua dimensi. Citra sebagai keluaran dari suatu perekaman

II-10

Oleh karena itu, diperkenalkan teknik digital watermarking. Digital

watermarking adalah teknik untuk menyisipkan informasi tertentu ke dalam data

digital yang disebut watermark [MUN06]. Watermark dapat berupa teks, gambar

yang berupa logo, data audio, atau rangkaian bit yang acak.

Penyisipan watermark ke dalam citra dilakukan sedemikian rupa sehingga

watermark tidak dapat dipersepsi oleh panca indera dan tidak merusak data digital

yang diproteksi. Watermark yang telah disisipkan tidak dapat dihapus dari dalam

data digital, sehingga jika terjadi penggandaan, maka watermark tersebut akan

terbawa. Watermark dalam sebuah data digital dapat dideteksi oleh komputer

dengan menggunakan kunci yang benar dan juga dapat diekstraksi kembali.

Gambar II-4 menunjukkan sebuah citra yang telah disisipi logo biner sebagai

berkas informasi watermark sehingga menghasilkan sebuah citra yang

mengandung watermark.

+

=

Gambar II-4. Penyisipan watermark pada sebuah citra digital

2.3.1 SEJARAH WATERMARKING

Keberadaan watermarking telah diketahui sejak kira-kira 700 tahun yang

lalu. Pada akhir abad ke 13, pabrik kertas di Italia membuat kertas yang diberi

watermark atau tanda air dengan cara menekan bentuk cetakan gambar atau

tulisan pada kertas yang baru setengah jadi. Setelah kertas dikeringkan, maka

kertas ber-watermark pun terbentuk. Kertas yang sudah dibubuhi tanda air

tersebut sekaligus dijadikan identifikasi bahwa karya seni di atasnya adalah milik

mereka [HEN03].

Page 11: BAB II. DASAR TEORI - Perpustakaan Digital ITB ... umum, citra merupakan fungsi kontinu dari intensitas cahaya pada bidang dua dimensi. Citra sebagai keluaran dari suatu perekaman

II-11

Kemunculan ide untuk menggunakan watermarking pada suatu data digital

yang selanjutnya diistilahkan dengan digital watermarking, dikembangkan di

Jepang dan Swiss pada awal tahun 90-an. Perkembangan digital watermarking

semakin cepat seiring penggunan internet yang makin meluas sebagai suatu sistem

distribusi untuk produk digital.

2.3.2 PERBEDAAN WATERMARKING DAN STEGANOGRAFI

Watermarking merupakan aplikasi dari steganografi, namun ada perbedaan

di antara keduanya. Pada steganografi, media penampung pesan rahasia hanya

sebagai pembawa atau dengan kata lain, tidak berarti apa-apa. Hal ini jauh

berbeda dengan watermarking karena pada watermarking, justru media

penampung tersebut dilindungi kepemilikannya dengan memberikan label hak

cipta [MUN06].

Lebih dari itu, kekokohan pada data tidak terlalu penting pada steganografi.

Lain halnya dengan watermaking dimana kekokohan watermark menjadi elemen

yang signifikan sebab watermark tidak boleh hilang atau rusak meskipun media

penampung dimanipulasi.

2.3.3 DIGITAL WATERMARKING

Teknik digital watermarking pada prinsipnya memiliki prinsip yang sama

dengan watermarking pada media selain citra. Secara umum, watermarking terdiri

dari dua tahapan, yaitu penyisipan watermark dan ekstraksi atau pendeteksian

watermark [MUN06].

Pengekstraksian dan pendeteksian sebuah watermark sebenarnya

tergantung pada algoritma yang digunakan untuk watermarking. Pada beberapa

algoritma watermarking, watermark dapat diekstraksi dalam bentuk yang eksak,

sedangkan pada algoritma yang lain, hanya dapat dilakukan pendeteksian

watermark pada citra.

Mutu dari digital watermarking meliputi beberapa parameter utama, yaitu :

Page 12: BAB II. DASAR TEORI - Perpustakaan Digital ITB ... umum, citra merupakan fungsi kontinu dari intensitas cahaya pada bidang dua dimensi. Citra sebagai keluaran dari suatu perekaman

II-12

a. Fidelity

Penyisipan suatu watermark pada citra seharusnya tidak mempengaruhi

nilai citra tersebut. Watermark pada citra idealnya tidak dapat

dipersepsi oleh indera dan tidak dapat dibedakan dengan citra yang asli.

b. Robustness

Watermark dalam citra digital harus memiliki ketahanan yang cukup

terhadap pemrosesan digital yang umum.

c. Security

Watermarking memiliki daya tahan terhadap usaha sengaja untuk

memindahkan watermark dari suatu citra ke citra yang lain.

Dari ketiga kriteria mutu digital watermarking di atas, fidelity merupakan

kriteria yang menjadi prioritas.

Pada pengaplikasian watermarking, terkadang harus ada yang dikorbankan

antara dua parameter utama penyisipan watermark, yaitu fidelity dan robustness.

Jika robustness dari suatu watermark tinggi maka biasanya memiliki fidelity yang

relatif rendah. Begitu pula sebaliknya, jika fidelity dari watermark tinggi maka

watermark tersebut tidak memiliki robustness yang cukup baik.

Sebuah teknik watermarking yang bagus dalam memproteksi sebuah citra

digital harus memenuhi persyaratan berikut:

a. Imperceptibility

Keberadaan watermark tidak dapat dipersepsi oleh indera visual. Hal

ini bertujuan untuk menghindari gangguan pengamatan visual.

b. Key uniqueness

Sebuah kunci harus identik terhadap sebuah watermark. Hal ini berarti

kunci yang berbeda seharusnya menghasilkan watermark yang berbeda.

Penggunaan kunci yang salah dapat mengakibatkan hasil

ekstraksi/deteksi watermark yang salah pula

c. Non Invertibility

Pendeteksian watermark akan sangat sulit secara komputasi jika hanya

diketahui sebuah citra ber-watermark.

d. Image dependency

Page 13: BAB II. DASAR TEORI - Perpustakaan Digital ITB ... umum, citra merupakan fungsi kontinu dari intensitas cahaya pada bidang dua dimensi. Citra sebagai keluaran dari suatu perekaman

II-13

Sebuah kunci menghasilkan sebuah watermark tunggal. Watermark

bergantung pada isi citra.

e. Robustness

Watermark seharusnya tetap kokoh terhadap berbagai serangan yang

dilakukan pada citra ber-watermark. Manipulasi terhadap citra ber-

watermark tidak akan merusak watermark dalam citra tersebut.

2.3.4 JENIS DIGITAL WATERMARKING

Digitalwatermarking dapat dibedakan menjadi beberapa kategori, yaitu :

1. Persepsi Manusia.

Berdasarkan persepsi manusia, image watermarking dibedakan menjadi

visiblewatermarking dan invisiblewatermarking. Invisible

watermarking pada citra membuat watermark yang disisipkan tidak

dapat dipersepsi oleh indera visual. Visible watermarking

memungkinkan watermark untuk tampak dan indera visual untuk

mempersepsi watermark yang ada pada citra.

2. Tingkat Kekokohan Watermark.

Berdasarkan tingkat kekokohan watermark, image watermarking

dibedakan menjadi secure watermarking, robust watermarking, dan

fragile watermarking. Secure watermarking menjadikan watermark

yang tetap bertahan terhadap non-malicious attack, yaitu manipulasi

yang normal terjadi dalam penggunaan citra, dan malicious attack, yaitu

serangan yang ditujukan untuk merusak atau menghancurkan

watermark pada citra [MUN06]. Jika sebuah watermark bertahan

terhadap non malicious attack, maka dapat dikatakan bahwa watermark

tersebut memiliki kekokohan yang baik.

Robust watermarking mengharuskan watermark bertahan terhadap non

malicious attack.Pada fragile watermarking, watermark mudah rusak

jika citra dimodifikasi. Jenis watermarking ini biasanya ditujukan pada

aplikasi untuk memverifikasi isi citra dan bukti kepemilikan citra,

Page 14: BAB II. DASAR TEORI - Perpustakaan Digital ITB ... umum, citra merupakan fungsi kontinu dari intensitas cahaya pada bidang dua dimensi. Citra sebagai keluaran dari suatu perekaman

II-14

dimana watermark yang hilang atau berubah adalah pertanda bahwa

citra sudah dirusak.

2.3.5 APLIKASI DIGITAL WATERMARKING

Penggunaan digital watermarking yang umum di antaranya :

a. Memberikan label kepemilikan (copyright) kepada citra digital.

Watermark menyatakan sebuah informasi yang dapat menyatakan

kepemilikan suatu citra. Informasi tersebut bisa berupa teks atau

gambar yang mencerminkan karakteristik pemilik. Klaim dari pihak

lain dapat dipertentangkan dengan membandingkan watermark yang

diekstrak dengan watermark pemilik citra. Untuk pemberian copyright,

watermark yang digunakan harus tak tampak (invisible) dan kokoh

(robust).

b. Otentikasi atau tamper proofing.

Salah satu tujuan pemilik citra menyisipkan watermark ke dalam citra

adalah untuk membuktikan apakah citra tersebut masih asli ataupun

sudah mengalami pengubahan. Jika watermark yang diekstraksi tidak

sama dengan watermark asli, maka dapat disimpulkan bahwa telah

terjadi manipulasi atau pengubahan pada citra tersebut. Watermark

yang ditujukan membuktikan otentikasi harus tak tampak dan fragile.

c. Fingerprinting (traitor-tracing).

Sebuah citra yang identik dapat didistribusikan ke beberapa distributor.

Sebelum pendistribusian dilakukan, disisipkan watermark yang berbeda

untuk setiap distributor pada citra tersebut. Jika terjadi penggandaan

ilegal oleh distributor tertentu, maka sang pemilik citra hanya tinggal

mengekstraksi watermark pada citra tersebut untuk menemukan

distributor yang curang ini untuk selanjutnya dituntut berdasarkan

hukum yang berlaku. Persyaratan yang dibutuhkan untuk aplikasi

semacam ini adalah watermark yang tak tampak dan kokoh.

Page 15: BAB II. DASAR TEORI - Perpustakaan Digital ITB ... umum, citra merupakan fungsi kontinu dari intensitas cahaya pada bidang dua dimensi. Citra sebagai keluaran dari suatu perekaman

II-15

d. Aplikasi medis.

Citra medis seperti foto rontgen dapat diberi watermark yang berupa ID

pasien atau hasil diagnosis penyakit dengan tujuan untuk memudahkan

identifikasi pasien dan pengobatan selanjutnya. Watermark yang

diperlukan untuk citra medis seperti ini bersifat tak tampak dan fragile.

e. Covert communication.

Watermarking dapat juga digunakan untuk menyisipkan pesan rahasia

dalam sistem komunikasi. Pada prinsipnya, aplikasi semacam ini tidak

jauh berbeda dengan steganografi yaitu penyisipan pesan rahasia pada

citra yang dikirimkan untuk selanjutnya diekstraksi pesan tersebut oleh

pihak penerima.

f. Piracy protection

Salah satu kegunaan watermark dalam citra adalah mencegah

penggandaan ilegal. Hal ini membutuhkan sebuah sistem terstruktur

yang memanfaatkan perangkat keras.

2.3.6 METODE DIGITAL WATERMARKING

Banyak metode watermarking untuk citra digital yang dapat diteliti oleh

para ahli untuk kemudian dikembangkan. Pada dasarnya, metode digital

watermarking ini dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu teknik domain

spasial dan teknik domain frekuensi. Gambar II-5 menunjukkan skema penyisipan

watermark secara umum dalam sebuah proses digital watermarking.

Gambar II-5. Proses penyisipan watermark pada digital watermarking [SIR04]

Page 16: BAB II. DASAR TEORI - Perpustakaan Digital ITB ... umum, citra merupakan fungsi kontinu dari intensitas cahaya pada bidang dua dimensi. Citra sebagai keluaran dari suatu perekaman

II-16

Pada domain spasial, watermark disisipkan dengan sedikit mengubah nilai

piksel-piksel tertentu sedangkan dalam domain frekuensi, sebuah citra diubah

terlebih dahulu ke dalam domain transformasi.

Beberapa metode digital watermarking dijelaskan sebagai berikut :

1. LSB (Least Significant Bit)

Metode ini merupakan metode yang paling sederhana. Dalam

implementasi, metode ini menggunakan domain spasial. Penyisipan

watermark dalam metode ini dilakukan dengan mengubah bit-bit LSB

pada suatu citra dengan bit-bit label watermark yang akan

disembunyikan. Skema proses watermarking dengan memanfaatkan

metode LSB digambarkan pada Gambar II-6.

Gambar II-6. Proses penyisipan dan ekstraksi watermark pada satu citra digital dengan LSB[SIR04]

Walaupun dengan metode ini akan dihasilkan citra yang sangat mirip

dengan aslinya namun watermark yang disisipkan tersebut tidak kokoh

terhadap perubahan pada citra. Jika dilakukan manipulasi terhadap citra

ber-watermark, maka bit LSB akan berubah yang pada akhirnya

mengakibatkan watermark yang diekstraksi juga rusak. Karena metode

ini paling mudah diserang, metode LSB tidak cocok untuk aplikasi

robust watermarking melainkan fragile watermarking.

Page 17: BAB II. DASAR TEORI - Perpustakaan Digital ITB ... umum, citra merupakan fungsi kontinu dari intensitas cahaya pada bidang dua dimensi. Citra sebagai keluaran dari suatu perekaman

II-17

2. Spread spectrum

Metode ini diperkenalkan oleh Ingemar J. Cox dan kawan kawan.

Metode spread spectrum ini memanfaatkan domain frekuensi dari suatu

citra digital. Langkah yang pertama kali dilakukan dalam watermarking

dengan metode spread spectrum ini adalah mentransformasikan citra ke

domain frekuensi. Selanjutnya, bit watermark disipkan pada koefisien

transformasi (misalnya koefisien DCT, FFT, atau DWT).

Gambar II-7 menunjukkan tahap-tahap yang harus dilalui dalam proses

digital watermarking dengan metode spread spectrum yang

diperkenalkan oleh Cox. Pada gambar sebelah kiri terdapat tahapan

proses untuk menyisipkan berkas watermark sedangkan pada gambar

sebelah kanan ditunjukkan proses ekstraksi watermark dari sebuah citra

ber-watermark.

Gambar II-7. Teknik watermarking dengan metode spread spectrum [COX97]

Teknik watermarking dengan metode spread spectrum ini dapat

dianalogikan dengan komunikasi spread spectrum, yaitu watermark

disebar di antara banyak komponen frekuensi. Secara umum,

watermarking dengan metode spread spectrum ini menghasilkan

Page 18: BAB II. DASAR TEORI - Perpustakaan Digital ITB ... umum, citra merupakan fungsi kontinu dari intensitas cahaya pada bidang dua dimensi. Citra sebagai keluaran dari suatu perekaman

II-18

watermark yang lebih kokoh terhadap serangan, seperti kompresi,

cropping, dan teknik editing umum lainnya.

3. Patchwork

Metode patchwork ini didasarkan dengan pendekatan pseudorandom

statistik yang diperkenalkan oleh Bender et al. Metode ini menanamkan

label 1 bit pada citra digital dengan menggunakan pendekatan statistik.

Sebanyak n pasang titik (ai, bi) dipilih secara acak pada sebuah citra

untuk selanjutnya derajat terang (brightness) dari ai dinaikkan satu

sedangkan pasangannya, bi, diturunkan satu derajat. Jumlah perbedaan

n pasang titik tersebut yang diharapkan adalah 2n.

Ilustrasi proses patchwork digambarkan pada Gambar II-8. Dua patch

pada citra tersebut dipilih secara pseudorandom. Patch pertama adalah

bagian A dan yang kedua adalah bagian B. Data pada patch A

dinaikkan derajat terangnya sedangkan data pada patch B diturunkan

derajat terangnya.

Gambar II-8. Ilustrasi proses patchwork [SIR04]

2.3.7 WATERMARKING PADA BERKAS CITRA

Teknik penyisipan watermark ke dalam sebuah citra dapat dibedakan

berdasarkan ranah penyisipannya, yaitu :

1. Domain spasial

Page 19: BAB II. DASAR TEORI - Perpustakaan Digital ITB ... umum, citra merupakan fungsi kontinu dari intensitas cahaya pada bidang dua dimensi. Citra sebagai keluaran dari suatu perekaman

II-19

Penyisipan watermark dilakukan dengan melakukan pengubahan bit-bit

data secara langsung pada data spasial citra penampungnya. Contohnya

adalah penyisipan watermark pada LSB (Least Significant Bit) dan

metode adaptif.

2. Domain frekuensi

Penyisipan watermark dilakukan dengan cara melakukan transformasi

pada data penampung, kemudian perubahan dilakukan terhadap

koefisien transformasinya. Contohnya adalah penyisipan watermark di

ranah frekuensi dengan terlebih dahulu melakukan transformasi DCT

(Discrete Cosine Transform).

3. Domain feature

Penyisipan watermark dilakukan dengan menggunakan feature point

extraction untuk menentukan daerah yang akan disisipi watermark.

Metode ini termasuk metode baru di bidang watermarking. Namun,

penyisipan watermark tetap dilakukan pada ranah spasial dan ranah

frekuensi.

Pada sub bab kali ini, akan dijelaskan secara garis besar watermarking

dalam domain frekuensi dengan menggunakan metode yang diperkenalkan oleh

Cox et al dengan memanfaatkan DCT (Discrete Cosine Transform).

2.3.7.1 Penggunaan DCT dalam Domain Frekuensi 

Selain domain spasial, metode lain yang digunakan untuk menyisipkan

watermark pada berkas citra adalah metode domain frekuensi. Pada metode

domain frekuensi ini, watermark tidak langsung disisipkan pada piksel-piksel

tertentu. Berkas citra terlebih dahulu harus ditrasformasikan menjadi salah satu

bentuk transform (berbentuk seperti matriks frekuensi) sebelum disisipkan bit-bit

watermark.

Seperti yang telah disebutkan di atas, penyisipan watermark pada citra di

ranah DCT dilakukan dengan cara terlebih dahulu melakukan transformasi DCT

Page 20: BAB II. DASAR TEORI - Perpustakaan Digital ITB ... umum, citra merupakan fungsi kontinu dari intensitas cahaya pada bidang dua dimensi. Citra sebagai keluaran dari suatu perekaman

II-20

terhadap citra yang akan disisipi watermark. Setelah dilakukan transformasi,

kemudian dilakukan modifikasi terhadap koefisien-koefisien DCT sesuai dengan

bit watermark yang akan disisipkan. Setelah dilakukan modifikasi, dilakukan

inverse DCT untuk mengembalikan data citra ke ranah spasial. Skema proses

watermarking di ranah DCT dapat dilihat pada Gambar II-9.

Gambar II-9. Skema watermarking citra di ranah DCT

f melambangkan matriks nilai piksel citra asal, C melambangkan matriks

koefisien DCT citra asal, W melambangkan data watermark yang disisipkan, C’

melambangkan matriks koefisien DCT yang sudah dimodifikasi, dan f’

melambangkan matriks nilai piksel sesudah penyisipan watermark.

Proses penyisipan watermark pada pelaksanaan Tugas Akhir ini mengacu

pada metode yang dikembangkan oleh Cox et al. Watermark yang disisipkan

terdiri dari deretan bilangan real W = w1,...,wn. Watermark tersebut diacak

sehingga setiap bilangan real wi bersifat independen terhadap bilangan real yang

lain. Koefisien DCT dimodifikasi menurut persamaan:

(2.6)

dimana adalah koefisien DCT setelah dimodifikasi, merupakan koefisien

DCT sebelum dimodifikasi, dan adalah nilai bit watermark yang disisipkan.

Dalam implementasi metode ini, nilai bilangan real acak yang dihasilkan berada

antara 0 dan 1 agar tidak terlalu jauh mengubah citra asli namun tetap kokoh

terhadap pengolahan atau manipulasi.

!

ci'= c

i(1+"w

i)

Page 21: BAB II. DASAR TEORI - Perpustakaan Digital ITB ... umum, citra merupakan fungsi kontinu dari intensitas cahaya pada bidang dua dimensi. Citra sebagai keluaran dari suatu perekaman

II-21

Nilai α dapat bernilai bilangan bulat positif berapa pun. Namun, yang

perlu diperhatikan adalah penggunaan nilai α yang besar dapat membuat citra

lebih rapuh terhadap pengolahan lanjutan dibandingkan penggunaan nilai α yang

kecil. Lebih dari itu, nilai α yang besar dapat mengakibatkan terjadinya perubahan

yang siginifikan atau terlihat pada citra.

Pada gambar D yang akan disisipi watermark, diambil koefisien-koefisien

C = c1,...,cn dimana watermark W = w1,...,wn akan disisipkan yang nantinya akan

menghasilkan koefisien-koefisien termodifikasi C’ = c1’,...,cn’. C’ akan

dimasukkan kembali ke lokasi yang bersesuaian untuk menghasilkan gambar ber-

watermark D’.

Panjang n menunjukkan sejauh mana watermark akan disebar kepada

komponen koefisien yang relevan dari sebuah gambar. Pada beberapa kasus

tertentu, panjang n disesuaikan dengan banyaknya bit dari sebuah berkas

watermark yang akan disisipkan, misalnya teks atau logo.

Ada beberapa cara dalam menentukan lokasi penyisipan watermark. Yang

perlu diperhatikan adalah pemilihan posisi penyisipan watermark dapat

berpengaruh terhadap fidelity dan robustness. Penyisipan pada koefisien yang

bernilai tinggi (biasanya koefisien yang berasosiasi dengan frekuensi rendah)

lebih kokoh terhadap modifikasi citra, tetapi relatif lebih mudah mengakibatkan

perubahan yang dapat dilihat. Sebaliknya, penyisipan pada koefisien bernilai kecil

(frekuensi tinggi) tidak mengakibatkan perubahan yang terlalu besar, tetapi

kurang kokoh terhadap modifikasi citra. Oleh karena itu, untuk menunjang

karakteristik fidelity dan robustness, watermark akan disisipkan ke dalam

koefisien-koefisien tertinggi dari matriks transformasi namun tidak termasuk

komponen DC.

Ekstraksi watermark dapat dilakukan dengan cara membandingkan

koefisien DCT citra ber-watermark dengan koefisien DCT citra yang asli.

Perubahan koefisien akan terjadi pada matriks transformasi dari sebuah citra ber-

watermark tersebut. Oleh karena itu, perbandingan antara kedua matriks koefisien

Page 22: BAB II. DASAR TEORI - Perpustakaan Digital ITB ... umum, citra merupakan fungsi kontinu dari intensitas cahaya pada bidang dua dimensi. Citra sebagai keluaran dari suatu perekaman

II-22

DCT tersebut akan menunjukkan koefisien mana yang berubah dan mana yang

tidak. Koefisien DCT citra ber-watermark yang berbeda dari koefisien citra asli

menunjukkan adanya modifikasi dari koefisien tersebut sehingga pelacakan bit

watermark dapat dilakukan terhadap koefisien tersebut.

Data watermark yang diekstraksi tersebut kemudian dibandingkan dengan

data watermark asli.Salah satu cara untuk melakukan perbandingan watermark

adalah dengan menghitung bit error rate (BER), yaitu perbandingan antara bit

yang salah dengan banyaknya bit secara keseluruhan. Persamaan BER dijabarkan

sebagai berikut:

(2.7)

w adalah watermark asli dan w’ adalah watermark yang diekstraksi. N adalah

banyaknya bit dan nilai pi didefinisikan sebagai berkut:

untuk wi≠ wi’

untuk wi = wi’ (2.8)

Cara lain untuk melakukan perbandingan watermark adalah dengan

menghitung koefisien korelasi. Koefisien korelasi dihitung dengan persamaan

berikut ini:

(2.9)

Untuk menentukan kemiripan watermark, koefisien korelasi dibandingkan

dengan nilai batas tertentu. Jika koefisien korelasi lebih besar dari nilai batas

tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa watermark yang diekstraksi dari citra

yang diuji memiliki kemiripan dengan watermark asli.

!

BER(W ,W ') =pi"N

!

C(W ,W ') =wiwi'"

wi

2" wi'2"