Upload
trannhi
View
220
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
II-1
BAB II. DASAR TEORI
Bab dasar teori ini menguraikan mengenai beberapa pengetahuan dan hal
mendasar yang melatarbelakangi watermarking pada citra digital. Dasar teori ini
dibagi menjadi empat bagian utama, yaitu dasar teori mengenai citra digital,
konsep DCT, dan watermarking.
2.1 CITRA DIGITAL
Pada berkas digital, sebuah citra digital merupakan objek penampung yang
paling sering digunakan dalam implementasi penyembunyian data, termasuk
watermarking. Hal ini disebabkan karena pada citra digital terdapat karakteristik
dan atribut yang sesuai untuk dimanfaatkan dalam penyembunyian data, yaitu
kemampuan indera penglihatan yang terbatas untuk mengenali citra yang sedikit
berubah.
Citra dapat diartikan gambar dalam proyeksi dua dimensi. Menurut
definisi umum, citra merupakan fungsi kontinu dari intensitas cahaya pada bidang
dua dimensi. Citra sebagai keluaran dari suatu perekaman data dapat bersifat
analog, optik, atau digital. Pada tugas akhir ini, digunakan citra digital untuk
mengimplementasikan digital watermarking.
Citra digital dapat didefinisikan secara matematis sebagai fungsi intensitas
dalam dua variabel x dan y yang dapat dituliskan f(x,y), dimana (x,y)
merepresentasikan koordinat spasial pada bidang dua dimensi dan f(x,y)
merupakan intensitas cahaya pada koordinat tersebut.
Cahaya merupakan energi, maka intensitas cahaya bernilai antara 0 sampai
tak terhingga (0≤ f(x,y)<∞) [MEL03]. Nilai f(x,y) merupakan hasil perkalian dari :
1. i(x,y) = jumlah cahaya yang berasal dari sumbernya
(illumination) ;
II-2
2. r(x,y) = derajat kemampuan objek memantulkan cahaya
(reflection).
Jadi, f(x,y) = i(x,y) . r(x,y)
dengan 0 ≤ i(x,y)<∞
0 ≤ r(x,y)<1
sehingga 0 ≤ f(x,y)<∞.
Intensitas f dari gambar hitam putih pada titik (x,y) disebut derajat keabuan
(grey level) yang bergerak dari hitam ke putih sedangkan citranya disebut citra
skala-abu (grayscale image) atau citra monokrom (monochrome image).
Derajat keabuan memiliki rentang nilai dari lmin sampai lmax. Selang (lmin ,
lmax) disebut skala abu. Citra monokrom disebut juga citra satu kanal yang berarti
warna hanya ditentukan oleh satu fungsi intensitas saja. Berbeda dengan citra
monokrom, citra berwarna disebut juga citra spektral karena warna disusun oleh
tiga komponen warna, yaitu merah, hijau, dan biru (Red, Green, Blue - RGB).
Intensitas pada suatu titik merupakan kombinasi dari tiga intensitas warna tersebut,
yaitu (fmerah(x,y)), (fhijau(x,y)), dan (fbiru(x,y)). Nilai dari masing-masing komponen
warna RGB tersebut berkisar antara 0 sampai 255. Representasi nilai ini berupa
integer. Gambaran komponen warna RGB pada suatu piksel dalam citra digital
dapat dilihat dalam ilustrasi pada Gambar II-1.
II-3
Gambar II-1. Komponen warna RGB pada suatu piksel citra
Citra digital yang berukuran M × N dapat dinyatakan sebagai matriks
dengan M baris dan N kolom. Masing-masing elemen pada citra digital disebut
image element, picture element, atau piksel. Secara matematis, citra yang
berukuran M × N memiliki MN buah piksel.
Representasi citra dari fungsi malar menjadi nilai diskrit disebut
digitalisasi. Proses digitalisasi sendiri ada dua macam, yaitu proses digitalisasi
secara spasial dan digitalisasi intensitas [MEL03]. Kedua proses digitalisasi ini
dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Digitalisasi spasial (sampling)
Sebagai contoh sederhana untuk digitalisasi spasial ini, jika pada suatu
gambar berukuran 6 x 5 inci akan dilakukan proses sampling menjadi citra
digital berukuran 2 x 3, artinya 2 baris dan 3 kolom, maka setiap piksel
pada gambar akan mewakili area pada citra malar dengan lebar 2,5 inci
dan tinggi 2 inci. Nilai piksel merupakan rata-rata intensitas cahaya pada
area tersebut.
II-4
Untuk mempermudah implementasi, jumlah sampler umumnya
merupakan perpangkatan dari dua, N = 2n, dimana N adalah jumlah
sampling ada suatu baris atau kolom dan n adalah bilangan bulat positif.
2. Digitalisasi intensitas (kuantisasi)
Proses kuantisasi membagi skala keabuan (0,L) menjadi G buah level yang
dinyatakan dengan suatu bilangan bulat, biasanya G diambil dari bilangan
perpangkatan dua, G = 2m, dimana G adalah derajat keabuan dan m
merupakan bilangan bulat positif. Tabel II-1 menunjukkan beberapa skala
abu dan rentang nilai keabuannya.
Tabel II-1. Skala abu dan rentang nilai keabuan
Skala Abu Rentang Nilai Keabuan
21 (2 nilai) 1
22 (4 nilai) 0,1,2,…,7
24 (16 nilai) 0,1,2,…,15
28 (256 nilai) 0,1,2,…,255
Hitam dinyatakan sebagai derajat keabuan terendah sedangkan putih
dinyatakan sebagai nilai derajat keabuan tertinggi.
Berkas citra yang akan dijadikan objek penampung dalam implementasi
Tugas Akhir ini adalah berkas citra dengan format JPEG. Citra berformat JPEG
dipilih karena format ini paling umum digunakan sebagai format gambar dan
relatif lebih mudah dikompresi.
2.2 DISCRETE COSINE TRANSFORM (DCT)
Discrete Cosine Transform (DCT) adalah sebuah fungsi dua arah yang
memetakan himpunan N buah bilangan real menjadi himpunan N buah bilangan
real pula. Secara umum, DCT satu dimensi menyatakan sebuah sinyal diskrit satu
dimensi sebagai kombinasi linier dari beberapa fungsi basis berupa gelombang
kosinus dikrit dengan amplitudo tertentu. Masing-masing fungsi basis memiliki
II-5
frekuensi yang berbeda-beda, karena itu, transformasi DCT termasuk ke dalam
transformasi domain frekuensi.
Amplitudo fungsi basis dinyatakan sebagai koefisien dalam himpunan
hasil transformasi DCT. DCT satu dimensi didefinisikan pada persamaan berikut:
(2.1)
untuk .
C(u) menyatakan koefisien ke-u dari himpunan hasil transformasi DCT. f(x)
menyatakan anggota ke-x dari himpunan asal. N menyatakan banyaknya suku
himpunan asal dan himpunan hasil transformasi. α(u) dinyatakan oleh persamaan
berikut:
untuk u = 0;
untuk .
(2.2)
Transformasi balikan yang memetakan himpunan hasil transformasi DCT
ke himpunan bilangan semula disebut juga inverse DCT(IDCT). IDCT
didefinisikan oleh persamaan di bawah ini:
(2.3)
untuk .
DCT dua dimensi dapat dipandang sebagai komposisi dari DCT pada
masing-masing dimensi. Sebagai contoh, jika himpunan bilangan real disajikan
dalam array dua dimensi terhadap masing-masing baris dan kemudian melakukan
DCT satu dimensi terhadap masing-masing kolom dari hasil DCT tersebut. DCT
dua dimensi dapat dinyatakan sebagai berikut dengan persamaan:
!
0 " u " N #1
!
1" u " N #1
!
0 " u " N #1
!
C(u) ="(u) f (x)cos# (2x +1)u
2N
$
% & '
( ) x= 0
N*1
+
!
f (x) = "(u)C(u)cos# (2x +1)u
2N
$
% & '
( ) u= 0
N*1
+
II-6
€
C(u,v) =α(u)α(v) f (x,y)cos π (2x +1)u2M
cos π (2y +1)v
2N
y= 0
N−1
∑x= 0
M −1
∑ (2.4)
sedangkan transformasi balikannya (invers) dinyatakan dengan
(2.5)
Fungsi basis DCT satu dimensi untuk N=8 dapat dilihat pada Gambar II-2.
Koefisien DCT ke-n menyatakan amplitudo dari fungsi basis untuk u=n-1. Pada
DCT dua dimensi, fungsi basisnya adalah hasil perkalian antara fungsi basis yang
berorientasi horisontal dengan fungsi basis yang berorientasi vertikal, sehingga
koefisien-koefisien DCT dua dimensi biasa disajikan dalam bentuk matriks.
Gambar II-2. Fungsi basis DCT satu dimensi untuk N=8 [KHA03]
Koefisien pertama, yaitu C(0) pada DCT satu dimensi atau C(0,0) pada
DCT dua dimensi disebut koefisien DC. Koefisien lainnya disebut koefisien AC.
!
f (x,y) ="(u)"(v) C(u,v)cos# (2x +1)u
2M
$
% & '
( ) y= 0
N*1
+x= 0
M *1
+ cos# (2y +1)v
2N
$
% & '
( )
II-7
Dapat dilihat bahwa fungsi basis yang berkorespondensi dengan koefisien DC
memiliki nilai tetap, sedangkan koefiisen AC berkorespondensi dengan fungsi
basis yang berbentuk gelombang.
Transformasi DCT dapat dilakukan secara langsung maupun dengan
membagi menjadi blok-blok kecil terlebih dahulu. Transformasi kemudian
dilakukan secara terpisah untuk masing-masing blok. Pembagian ini dapat
memudahkan dalam melakukan komputasi.
Pada transformasi DCT, dikenal juga istilah koefisien frekuensi rendah,
frekuensi menengah, dan frekuensi tinggi. Hal ini berkaitan dengan frekuensi
gelombang pada fungsi basis DCT. Jika frekuensi fungsi basisnya kecil, maka
koefisien yang berkorespondensi disebut koefisien frekuensi rendah. Contoh
pembagian koefisien menurut frekuensinya pada DCT dua dimensi dengan ukuran
blok 8 × 8 ditunjukkan pada Gambar II-3.
Gambar II-3. Pembagian frekuensi koefisien DCT untuk ukuran blok 8 x 8
Transformasi DCT dua dimensi sering digunakan dalam pemrosesan citra
digital. Ukuran blok yang banyak digunakan pada pemrosesan citra adalah ukuran
II-8
blok kecil, misalnya 8 × 8 seperti pada kompresi JPEG. Untuk citra digital, fungsi
basis dari DCT adalah sekumpulan citra yang disebut citra basis.
Citra basis diumpamakan sebagai gabungan dari dua buah gelombang
kosinus pada sumbu tegak lurus di bidang dua dimensi dengan frekuensi yang
menyatakan frekuensi perubahan derajat keabuan antara gelap dan terang. Pada
citra berwarna, DCT dilakukan terhadap setiap kanal warna. Dalam hal ini,
masing-masing kanal dapat dipandang sebagai sebuah citra grayscale.
Jika ukuran panjang atau lebar citra tidak habis dibagi oleh ukuran panjang
atau lebar blok, maka dilakukan padding dengan cara melakukan penambahan
piksel pada dimensi panjang dan lebar citra. Setelah dilakukan transformasi
balikan, hasil padding tersebut dibuang.
2.3 WATERMARKING
Dengan teknologi yang semakin maju, data dan informasi disajikan dalam
bentuk format digital, baik berupa teks, citra, audio, dan video. Penyebaran data
digital ini semakin meningkat dengan persentase yang signifikan. Hal ini
disebabkan internet merupakan sebuah sistem distribusi yang cepat, murah, dan
mudah untuk data digital tersebut.
Permasalahan yang muncul adalah jika produk digital yang disebarkan
tersebut merupakan karya yang perlu dilindungi, misalnya karya fotografi, musik
mp3, video peristiwa penting, dan sebagainya. Dengan kata lain, terdapat
penyalahgunaan kemudahan tersebut. Oleh karena itu, perlu adanya perlindungan
hak cipta terhadap produk digital tersebut agar meminimalisasi tindakan-tindakan
ilegal yang dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.
Contoh permasalahan yang muncul adalah :
1. Masalah kepemilikan.
Kepemilikan atas suatu produk digital kerap kali dipalsukan untuk
mendapatkan hak milik atas produk tersebut sehingga orang yang
II-9
memalsukan akan mendapatkan pujian atau penghargaan atas sebuah
karya.
Salah satu contoh kasus misalnya ditemukan pada sebuah karya
fotografi yang berupa foto digital. Apabila tidak ada informasi atau
label yang mengindikasikan identitas pemilik yang melekat pada foto
tersebut, maka potensi klaim dari pihak lain semakin tinggi. Jika hal ini
terjadi, maka pemilik foto tersebut tidak dapat memberikan bantahan
karena memang ia tidak memiliki bukti yang cukup otentik yang
menandakan kepemilikan atas foto tersebut.
2. Pelanggaran hak cipta.
Penggandaan ilegal terhadap suatu produk digital sangat merugikan
pemilik atau pemegang hak cipta produk tersebut. Hal ini disebabkan
pemegang hak cipta tersebut dapat tidak mendapatkan apa-apa dengan
hasil karya yang dimilikinya. Hasil karyanya telah diklaim oleh orang
lain dan pemegang hak cipta pun tak dapat berbuat banyak karena tidak
ada bukti yang mendukung bahwa produk digital tersebut memang
miliknya.
3. Masalah keaslian.
Salah satu kelemahan suatu produk digital adalah sifatnya yang relatif
mudah untuk dilakukan perubahan. Perubahan tersebut dapat berupa
rekayasa terhadap produk yang asli. Perubahan ini dapat menyebabkan
informasi yang penting dalam citra hilang dan tentunya citra tersebut
tidak lagi sama dengan aslinya.
Terdapat beberapa cara yang telah ditempuh untuk mengatasi masalah ini
atau dengan kata lain, memproteksi data digital, seperti enkripsi, proteksi
penyalinan, visible marking, header marking, dan sebagainya. Akan tetapi, semua
cara tersebut memiliki kelemahan dan terkesan kurang optimal dalam melindungi
data digital.
II-10
Oleh karena itu, diperkenalkan teknik digital watermarking. Digital
watermarking adalah teknik untuk menyisipkan informasi tertentu ke dalam data
digital yang disebut watermark [MUN06]. Watermark dapat berupa teks, gambar
yang berupa logo, data audio, atau rangkaian bit yang acak.
Penyisipan watermark ke dalam citra dilakukan sedemikian rupa sehingga
watermark tidak dapat dipersepsi oleh panca indera dan tidak merusak data digital
yang diproteksi. Watermark yang telah disisipkan tidak dapat dihapus dari dalam
data digital, sehingga jika terjadi penggandaan, maka watermark tersebut akan
terbawa. Watermark dalam sebuah data digital dapat dideteksi oleh komputer
dengan menggunakan kunci yang benar dan juga dapat diekstraksi kembali.
Gambar II-4 menunjukkan sebuah citra yang telah disisipi logo biner sebagai
berkas informasi watermark sehingga menghasilkan sebuah citra yang
mengandung watermark.
+
=
Gambar II-4. Penyisipan watermark pada sebuah citra digital
2.3.1 SEJARAH WATERMARKING
Keberadaan watermarking telah diketahui sejak kira-kira 700 tahun yang
lalu. Pada akhir abad ke 13, pabrik kertas di Italia membuat kertas yang diberi
watermark atau tanda air dengan cara menekan bentuk cetakan gambar atau
tulisan pada kertas yang baru setengah jadi. Setelah kertas dikeringkan, maka
kertas ber-watermark pun terbentuk. Kertas yang sudah dibubuhi tanda air
tersebut sekaligus dijadikan identifikasi bahwa karya seni di atasnya adalah milik
mereka [HEN03].
II-11
Kemunculan ide untuk menggunakan watermarking pada suatu data digital
yang selanjutnya diistilahkan dengan digital watermarking, dikembangkan di
Jepang dan Swiss pada awal tahun 90-an. Perkembangan digital watermarking
semakin cepat seiring penggunan internet yang makin meluas sebagai suatu sistem
distribusi untuk produk digital.
2.3.2 PERBEDAAN WATERMARKING DAN STEGANOGRAFI
Watermarking merupakan aplikasi dari steganografi, namun ada perbedaan
di antara keduanya. Pada steganografi, media penampung pesan rahasia hanya
sebagai pembawa atau dengan kata lain, tidak berarti apa-apa. Hal ini jauh
berbeda dengan watermarking karena pada watermarking, justru media
penampung tersebut dilindungi kepemilikannya dengan memberikan label hak
cipta [MUN06].
Lebih dari itu, kekokohan pada data tidak terlalu penting pada steganografi.
Lain halnya dengan watermaking dimana kekokohan watermark menjadi elemen
yang signifikan sebab watermark tidak boleh hilang atau rusak meskipun media
penampung dimanipulasi.
2.3.3 DIGITAL WATERMARKING
Teknik digital watermarking pada prinsipnya memiliki prinsip yang sama
dengan watermarking pada media selain citra. Secara umum, watermarking terdiri
dari dua tahapan, yaitu penyisipan watermark dan ekstraksi atau pendeteksian
watermark [MUN06].
Pengekstraksian dan pendeteksian sebuah watermark sebenarnya
tergantung pada algoritma yang digunakan untuk watermarking. Pada beberapa
algoritma watermarking, watermark dapat diekstraksi dalam bentuk yang eksak,
sedangkan pada algoritma yang lain, hanya dapat dilakukan pendeteksian
watermark pada citra.
Mutu dari digital watermarking meliputi beberapa parameter utama, yaitu :
II-12
a. Fidelity
Penyisipan suatu watermark pada citra seharusnya tidak mempengaruhi
nilai citra tersebut. Watermark pada citra idealnya tidak dapat
dipersepsi oleh indera dan tidak dapat dibedakan dengan citra yang asli.
b. Robustness
Watermark dalam citra digital harus memiliki ketahanan yang cukup
terhadap pemrosesan digital yang umum.
c. Security
Watermarking memiliki daya tahan terhadap usaha sengaja untuk
memindahkan watermark dari suatu citra ke citra yang lain.
Dari ketiga kriteria mutu digital watermarking di atas, fidelity merupakan
kriteria yang menjadi prioritas.
Pada pengaplikasian watermarking, terkadang harus ada yang dikorbankan
antara dua parameter utama penyisipan watermark, yaitu fidelity dan robustness.
Jika robustness dari suatu watermark tinggi maka biasanya memiliki fidelity yang
relatif rendah. Begitu pula sebaliknya, jika fidelity dari watermark tinggi maka
watermark tersebut tidak memiliki robustness yang cukup baik.
Sebuah teknik watermarking yang bagus dalam memproteksi sebuah citra
digital harus memenuhi persyaratan berikut:
a. Imperceptibility
Keberadaan watermark tidak dapat dipersepsi oleh indera visual. Hal
ini bertujuan untuk menghindari gangguan pengamatan visual.
b. Key uniqueness
Sebuah kunci harus identik terhadap sebuah watermark. Hal ini berarti
kunci yang berbeda seharusnya menghasilkan watermark yang berbeda.
Penggunaan kunci yang salah dapat mengakibatkan hasil
ekstraksi/deteksi watermark yang salah pula
c. Non Invertibility
Pendeteksian watermark akan sangat sulit secara komputasi jika hanya
diketahui sebuah citra ber-watermark.
d. Image dependency
II-13
Sebuah kunci menghasilkan sebuah watermark tunggal. Watermark
bergantung pada isi citra.
e. Robustness
Watermark seharusnya tetap kokoh terhadap berbagai serangan yang
dilakukan pada citra ber-watermark. Manipulasi terhadap citra ber-
watermark tidak akan merusak watermark dalam citra tersebut.
2.3.4 JENIS DIGITAL WATERMARKING
Digitalwatermarking dapat dibedakan menjadi beberapa kategori, yaitu :
1. Persepsi Manusia.
Berdasarkan persepsi manusia, image watermarking dibedakan menjadi
visiblewatermarking dan invisiblewatermarking. Invisible
watermarking pada citra membuat watermark yang disisipkan tidak
dapat dipersepsi oleh indera visual. Visible watermarking
memungkinkan watermark untuk tampak dan indera visual untuk
mempersepsi watermark yang ada pada citra.
2. Tingkat Kekokohan Watermark.
Berdasarkan tingkat kekokohan watermark, image watermarking
dibedakan menjadi secure watermarking, robust watermarking, dan
fragile watermarking. Secure watermarking menjadikan watermark
yang tetap bertahan terhadap non-malicious attack, yaitu manipulasi
yang normal terjadi dalam penggunaan citra, dan malicious attack, yaitu
serangan yang ditujukan untuk merusak atau menghancurkan
watermark pada citra [MUN06]. Jika sebuah watermark bertahan
terhadap non malicious attack, maka dapat dikatakan bahwa watermark
tersebut memiliki kekokohan yang baik.
Robust watermarking mengharuskan watermark bertahan terhadap non
malicious attack.Pada fragile watermarking, watermark mudah rusak
jika citra dimodifikasi. Jenis watermarking ini biasanya ditujukan pada
aplikasi untuk memverifikasi isi citra dan bukti kepemilikan citra,
II-14
dimana watermark yang hilang atau berubah adalah pertanda bahwa
citra sudah dirusak.
2.3.5 APLIKASI DIGITAL WATERMARKING
Penggunaan digital watermarking yang umum di antaranya :
a. Memberikan label kepemilikan (copyright) kepada citra digital.
Watermark menyatakan sebuah informasi yang dapat menyatakan
kepemilikan suatu citra. Informasi tersebut bisa berupa teks atau
gambar yang mencerminkan karakteristik pemilik. Klaim dari pihak
lain dapat dipertentangkan dengan membandingkan watermark yang
diekstrak dengan watermark pemilik citra. Untuk pemberian copyright,
watermark yang digunakan harus tak tampak (invisible) dan kokoh
(robust).
b. Otentikasi atau tamper proofing.
Salah satu tujuan pemilik citra menyisipkan watermark ke dalam citra
adalah untuk membuktikan apakah citra tersebut masih asli ataupun
sudah mengalami pengubahan. Jika watermark yang diekstraksi tidak
sama dengan watermark asli, maka dapat disimpulkan bahwa telah
terjadi manipulasi atau pengubahan pada citra tersebut. Watermark
yang ditujukan membuktikan otentikasi harus tak tampak dan fragile.
c. Fingerprinting (traitor-tracing).
Sebuah citra yang identik dapat didistribusikan ke beberapa distributor.
Sebelum pendistribusian dilakukan, disisipkan watermark yang berbeda
untuk setiap distributor pada citra tersebut. Jika terjadi penggandaan
ilegal oleh distributor tertentu, maka sang pemilik citra hanya tinggal
mengekstraksi watermark pada citra tersebut untuk menemukan
distributor yang curang ini untuk selanjutnya dituntut berdasarkan
hukum yang berlaku. Persyaratan yang dibutuhkan untuk aplikasi
semacam ini adalah watermark yang tak tampak dan kokoh.
II-15
d. Aplikasi medis.
Citra medis seperti foto rontgen dapat diberi watermark yang berupa ID
pasien atau hasil diagnosis penyakit dengan tujuan untuk memudahkan
identifikasi pasien dan pengobatan selanjutnya. Watermark yang
diperlukan untuk citra medis seperti ini bersifat tak tampak dan fragile.
e. Covert communication.
Watermarking dapat juga digunakan untuk menyisipkan pesan rahasia
dalam sistem komunikasi. Pada prinsipnya, aplikasi semacam ini tidak
jauh berbeda dengan steganografi yaitu penyisipan pesan rahasia pada
citra yang dikirimkan untuk selanjutnya diekstraksi pesan tersebut oleh
pihak penerima.
f. Piracy protection
Salah satu kegunaan watermark dalam citra adalah mencegah
penggandaan ilegal. Hal ini membutuhkan sebuah sistem terstruktur
yang memanfaatkan perangkat keras.
2.3.6 METODE DIGITAL WATERMARKING
Banyak metode watermarking untuk citra digital yang dapat diteliti oleh
para ahli untuk kemudian dikembangkan. Pada dasarnya, metode digital
watermarking ini dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu teknik domain
spasial dan teknik domain frekuensi. Gambar II-5 menunjukkan skema penyisipan
watermark secara umum dalam sebuah proses digital watermarking.
Gambar II-5. Proses penyisipan watermark pada digital watermarking [SIR04]
II-16
Pada domain spasial, watermark disisipkan dengan sedikit mengubah nilai
piksel-piksel tertentu sedangkan dalam domain frekuensi, sebuah citra diubah
terlebih dahulu ke dalam domain transformasi.
Beberapa metode digital watermarking dijelaskan sebagai berikut :
1. LSB (Least Significant Bit)
Metode ini merupakan metode yang paling sederhana. Dalam
implementasi, metode ini menggunakan domain spasial. Penyisipan
watermark dalam metode ini dilakukan dengan mengubah bit-bit LSB
pada suatu citra dengan bit-bit label watermark yang akan
disembunyikan. Skema proses watermarking dengan memanfaatkan
metode LSB digambarkan pada Gambar II-6.
Gambar II-6. Proses penyisipan dan ekstraksi watermark pada satu citra digital dengan LSB[SIR04]
Walaupun dengan metode ini akan dihasilkan citra yang sangat mirip
dengan aslinya namun watermark yang disisipkan tersebut tidak kokoh
terhadap perubahan pada citra. Jika dilakukan manipulasi terhadap citra
ber-watermark, maka bit LSB akan berubah yang pada akhirnya
mengakibatkan watermark yang diekstraksi juga rusak. Karena metode
ini paling mudah diserang, metode LSB tidak cocok untuk aplikasi
robust watermarking melainkan fragile watermarking.
II-17
2. Spread spectrum
Metode ini diperkenalkan oleh Ingemar J. Cox dan kawan kawan.
Metode spread spectrum ini memanfaatkan domain frekuensi dari suatu
citra digital. Langkah yang pertama kali dilakukan dalam watermarking
dengan metode spread spectrum ini adalah mentransformasikan citra ke
domain frekuensi. Selanjutnya, bit watermark disipkan pada koefisien
transformasi (misalnya koefisien DCT, FFT, atau DWT).
Gambar II-7 menunjukkan tahap-tahap yang harus dilalui dalam proses
digital watermarking dengan metode spread spectrum yang
diperkenalkan oleh Cox. Pada gambar sebelah kiri terdapat tahapan
proses untuk menyisipkan berkas watermark sedangkan pada gambar
sebelah kanan ditunjukkan proses ekstraksi watermark dari sebuah citra
ber-watermark.
Gambar II-7. Teknik watermarking dengan metode spread spectrum [COX97]
Teknik watermarking dengan metode spread spectrum ini dapat
dianalogikan dengan komunikasi spread spectrum, yaitu watermark
disebar di antara banyak komponen frekuensi. Secara umum,
watermarking dengan metode spread spectrum ini menghasilkan
II-18
watermark yang lebih kokoh terhadap serangan, seperti kompresi,
cropping, dan teknik editing umum lainnya.
3. Patchwork
Metode patchwork ini didasarkan dengan pendekatan pseudorandom
statistik yang diperkenalkan oleh Bender et al. Metode ini menanamkan
label 1 bit pada citra digital dengan menggunakan pendekatan statistik.
Sebanyak n pasang titik (ai, bi) dipilih secara acak pada sebuah citra
untuk selanjutnya derajat terang (brightness) dari ai dinaikkan satu
sedangkan pasangannya, bi, diturunkan satu derajat. Jumlah perbedaan
n pasang titik tersebut yang diharapkan adalah 2n.
Ilustrasi proses patchwork digambarkan pada Gambar II-8. Dua patch
pada citra tersebut dipilih secara pseudorandom. Patch pertama adalah
bagian A dan yang kedua adalah bagian B. Data pada patch A
dinaikkan derajat terangnya sedangkan data pada patch B diturunkan
derajat terangnya.
Gambar II-8. Ilustrasi proses patchwork [SIR04]
2.3.7 WATERMARKING PADA BERKAS CITRA
Teknik penyisipan watermark ke dalam sebuah citra dapat dibedakan
berdasarkan ranah penyisipannya, yaitu :
1. Domain spasial
II-19
Penyisipan watermark dilakukan dengan melakukan pengubahan bit-bit
data secara langsung pada data spasial citra penampungnya. Contohnya
adalah penyisipan watermark pada LSB (Least Significant Bit) dan
metode adaptif.
2. Domain frekuensi
Penyisipan watermark dilakukan dengan cara melakukan transformasi
pada data penampung, kemudian perubahan dilakukan terhadap
koefisien transformasinya. Contohnya adalah penyisipan watermark di
ranah frekuensi dengan terlebih dahulu melakukan transformasi DCT
(Discrete Cosine Transform).
3. Domain feature
Penyisipan watermark dilakukan dengan menggunakan feature point
extraction untuk menentukan daerah yang akan disisipi watermark.
Metode ini termasuk metode baru di bidang watermarking. Namun,
penyisipan watermark tetap dilakukan pada ranah spasial dan ranah
frekuensi.
Pada sub bab kali ini, akan dijelaskan secara garis besar watermarking
dalam domain frekuensi dengan menggunakan metode yang diperkenalkan oleh
Cox et al dengan memanfaatkan DCT (Discrete Cosine Transform).
2.3.7.1 Penggunaan DCT dalam Domain Frekuensi
Selain domain spasial, metode lain yang digunakan untuk menyisipkan
watermark pada berkas citra adalah metode domain frekuensi. Pada metode
domain frekuensi ini, watermark tidak langsung disisipkan pada piksel-piksel
tertentu. Berkas citra terlebih dahulu harus ditrasformasikan menjadi salah satu
bentuk transform (berbentuk seperti matriks frekuensi) sebelum disisipkan bit-bit
watermark.
Seperti yang telah disebutkan di atas, penyisipan watermark pada citra di
ranah DCT dilakukan dengan cara terlebih dahulu melakukan transformasi DCT
II-20
terhadap citra yang akan disisipi watermark. Setelah dilakukan transformasi,
kemudian dilakukan modifikasi terhadap koefisien-koefisien DCT sesuai dengan
bit watermark yang akan disisipkan. Setelah dilakukan modifikasi, dilakukan
inverse DCT untuk mengembalikan data citra ke ranah spasial. Skema proses
watermarking di ranah DCT dapat dilihat pada Gambar II-9.
Gambar II-9. Skema watermarking citra di ranah DCT
f melambangkan matriks nilai piksel citra asal, C melambangkan matriks
koefisien DCT citra asal, W melambangkan data watermark yang disisipkan, C’
melambangkan matriks koefisien DCT yang sudah dimodifikasi, dan f’
melambangkan matriks nilai piksel sesudah penyisipan watermark.
Proses penyisipan watermark pada pelaksanaan Tugas Akhir ini mengacu
pada metode yang dikembangkan oleh Cox et al. Watermark yang disisipkan
terdiri dari deretan bilangan real W = w1,...,wn. Watermark tersebut diacak
sehingga setiap bilangan real wi bersifat independen terhadap bilangan real yang
lain. Koefisien DCT dimodifikasi menurut persamaan:
(2.6)
dimana adalah koefisien DCT setelah dimodifikasi, merupakan koefisien
DCT sebelum dimodifikasi, dan adalah nilai bit watermark yang disisipkan.
Dalam implementasi metode ini, nilai bilangan real acak yang dihasilkan berada
antara 0 dan 1 agar tidak terlalu jauh mengubah citra asli namun tetap kokoh
terhadap pengolahan atau manipulasi.
!
ci'= c
i(1+"w
i)
II-21
Nilai α dapat bernilai bilangan bulat positif berapa pun. Namun, yang
perlu diperhatikan adalah penggunaan nilai α yang besar dapat membuat citra
lebih rapuh terhadap pengolahan lanjutan dibandingkan penggunaan nilai α yang
kecil. Lebih dari itu, nilai α yang besar dapat mengakibatkan terjadinya perubahan
yang siginifikan atau terlihat pada citra.
Pada gambar D yang akan disisipi watermark, diambil koefisien-koefisien
C = c1,...,cn dimana watermark W = w1,...,wn akan disisipkan yang nantinya akan
menghasilkan koefisien-koefisien termodifikasi C’ = c1’,...,cn’. C’ akan
dimasukkan kembali ke lokasi yang bersesuaian untuk menghasilkan gambar ber-
watermark D’.
Panjang n menunjukkan sejauh mana watermark akan disebar kepada
komponen koefisien yang relevan dari sebuah gambar. Pada beberapa kasus
tertentu, panjang n disesuaikan dengan banyaknya bit dari sebuah berkas
watermark yang akan disisipkan, misalnya teks atau logo.
Ada beberapa cara dalam menentukan lokasi penyisipan watermark. Yang
perlu diperhatikan adalah pemilihan posisi penyisipan watermark dapat
berpengaruh terhadap fidelity dan robustness. Penyisipan pada koefisien yang
bernilai tinggi (biasanya koefisien yang berasosiasi dengan frekuensi rendah)
lebih kokoh terhadap modifikasi citra, tetapi relatif lebih mudah mengakibatkan
perubahan yang dapat dilihat. Sebaliknya, penyisipan pada koefisien bernilai kecil
(frekuensi tinggi) tidak mengakibatkan perubahan yang terlalu besar, tetapi
kurang kokoh terhadap modifikasi citra. Oleh karena itu, untuk menunjang
karakteristik fidelity dan robustness, watermark akan disisipkan ke dalam
koefisien-koefisien tertinggi dari matriks transformasi namun tidak termasuk
komponen DC.
Ekstraksi watermark dapat dilakukan dengan cara membandingkan
koefisien DCT citra ber-watermark dengan koefisien DCT citra yang asli.
Perubahan koefisien akan terjadi pada matriks transformasi dari sebuah citra ber-
watermark tersebut. Oleh karena itu, perbandingan antara kedua matriks koefisien
II-22
DCT tersebut akan menunjukkan koefisien mana yang berubah dan mana yang
tidak. Koefisien DCT citra ber-watermark yang berbeda dari koefisien citra asli
menunjukkan adanya modifikasi dari koefisien tersebut sehingga pelacakan bit
watermark dapat dilakukan terhadap koefisien tersebut.
Data watermark yang diekstraksi tersebut kemudian dibandingkan dengan
data watermark asli.Salah satu cara untuk melakukan perbandingan watermark
adalah dengan menghitung bit error rate (BER), yaitu perbandingan antara bit
yang salah dengan banyaknya bit secara keseluruhan. Persamaan BER dijabarkan
sebagai berikut:
(2.7)
w adalah watermark asli dan w’ adalah watermark yang diekstraksi. N adalah
banyaknya bit dan nilai pi didefinisikan sebagai berkut:
untuk wi≠ wi’
untuk wi = wi’ (2.8)
Cara lain untuk melakukan perbandingan watermark adalah dengan
menghitung koefisien korelasi. Koefisien korelasi dihitung dengan persamaan
berikut ini:
(2.9)
Untuk menentukan kemiripan watermark, koefisien korelasi dibandingkan
dengan nilai batas tertentu. Jika koefisien korelasi lebih besar dari nilai batas
tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa watermark yang diekstraksi dari citra
yang diuji memiliki kemiripan dengan watermark asli.
!
BER(W ,W ') =pi"N
!
C(W ,W ') =wiwi'"
wi
2" wi'2"