Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
DESKRIPSI TEORI DAN PENGAJUAN HIPOTESIS A. LATAR BELAKANG PENDIDIKAN ORANG TUA
1. Pengertian Pendidikan
Makna pendidikan secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha
manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai yang ada
didalam masyarakat dan kebudayaannya. Bagaimanapun sederhananya
peradaban suatu masyarakat didalamnya berlangsung suatu proses
pendidikan, karena pendidikan pada hakekatnya merupakan usaha manusia
melestarikan hidupnya.
“Pendidikan berasal dari kata “didik” yang berarti memelihara dan
memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan
pikiran”.1 Atau “dalam bahasa Inggrisnya disebut “education” berasal dari
kata “to educate” yang berarti mengasuh, mendidik”. 2
Jadi pendidikan secara bahasa dapat diartikan memelihara,
mengajar, mengasuh dan mendidik.
Pendidikan secara etimologi adalah “paedagogi, berasal dari
bahasa Yunani yang terdiri dari kata “pais” artinya anak dan “again”
diterjemahkan membimbing. Jadi paedagogik yaitu bimbingan yang
diberikan pada anak”.3
Selanjutnya pengertian pendidikan banyak dikemukakan oleh para
ahli, namun antara yang satu dengan yang lain berbeda, karena sudut
pandangnya adalah berbeda, namun pada dasarnya sama. Berikut pendapat
para ahli pendidikan tentang pengertian pendidikan secara istilah antara
lain:
1 Anton Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm.
204 2 Wojo Wasito, Kamus Lengkap Inggris – Indonesia, (Bandung: Hasta, 1982), hlm. 49 3 Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hlm. 69
7
8
a. Menurut Zahara Idris bahwa pendidikan adalah serangkaian kegiatan
interaksi yang bertujuan antara manusia dewasa dan peserta didik
secara tatap muka atau dengan menggunakan media dalam rangka
memberikan bantuan terhadap perkembangan peserta didik seutuhnya.4
b. Undang-undang RI No.20 Tahun 2003
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.5
c. Menurut Musthafa Al-Ghulayani adalah:
اَلتربِيةُ هِي غَرس اْلاَخلاَقِ الْفَاضِلَةِ فِي نفُوسِ الناشِئِين وسقْيها بِماءِ اْلاِرشادِ والنصِيحةِ حتى تصبح ملَكَةً مِن ملَكَاتِ النفْسِ ثُم تكُونُ
لِ لِنمالْع بحو ريالْخلَةَ وا الْفَضِيهاترطَنِ ثَم6 فْعِ الْو Pendidikan adalah menanamkan akhlak mulia dalam jiwa anak dengan petunjuk dan nasehat, sehingga akhlak yang mulia itu benar-benar melekat kedalam jiwa (menjadi watak) kemudian membuahkan keutamaan, kebijaksanaan dan cinta beramal agar berguna bagi tanah air.
d. Menurut Sir Godfrey Thomson
By education I mean the influence of the environment upon the
individual to produce a permanent change in his habits of behavior of
thought and off attitude.7
Pendidikan adalah pengaruh dari lingkungan terhadap individu untuk dapat menghasilkan perubahan yang permanen pada kebiasaan tingkah laku, pemikiran dan sikap.
4 Zahara Idris dan Lisma Jamal, Pengantar Pendidikan I, (Jakarta : Grasindo, 1992), hlm. 4 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, Op.Cit , hlm. 3 6 Syeh Musthafa Al Ghulayaini, Idzatun Nasyiin, (Semarang: Uluwiyah, 1949), hlm. 189 7 Sir Godfrey Thompson, A Modern Philosophy Education, (London : George & Unwin
Ltd, 1957), hlm. 19
9
e. Menurut al-Ghazali
Proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampai akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap, dimana proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat menuju pendekatan diri kepada Allah sehingga menjadi manusia sempurna.8
f. Menurut Ki Hajar Dewantara
Pendidikan adalah “menuntut segala kekuatan kodrat yang ada pada
anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota
masyarakat mendapat keselamatan dan kebahagiaan setinggi-
tingginya”.9
Pendidikan adalah membantu anak dengan sengaja (dengan jalan
membimbing) untuk menjadi manusia dewasa. Yang dimaksud dengan
dewasa adalah dapat bertanggung jawab terhadap diri sendiri secara
biologis, psikologis, pedagogis dan sosiologis. Biologis maksudnya
adalah apabila seseorang telah akil balig, psikologis maksudnya adalah
fungsi-fungsi kejiwaan seseorang telah matang seperti kematangan
sosial dan moral, pedagogis artinya apabila seseorang telah menyadari
dan mengenal diri sendiri atas tanggung jawab sendiri, sosiologis
berarti apabila seseorang telah memenuhi syarat untuk hidup bersama
yang telah ditentukan masyarakat, seperti sudah dapat saling
menghormati, saling menghargai, tenggang rasa, saling membantu dan
mau membela kepentingan bersama.
Dari beberapa definisi tersebut dapat diambil suatu pengertian
bahwa pendidikan adalah serangkaian kegiatan interaksi antara manusia
dewasa dan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran/latihan
terhadap perkembangan dan pertumbuhan jasmani maupun rohani anak
yang bertujuan menanamkan akhlak mulia dalam jiwa, dalam rangka
8 Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan, (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 1998), hlm. 56 9 Made Pidarta, Landasan Kependidikan, (Jakarta : Rineka Cipta, 1997), hlm. 10
10
memberikan bantuan terhadap perkembangan peserta didik sehingga
menghasilkan perubahan dan membuahkan keutaman, kebijaksanaan dan
cinta beramal pada kebiasaan tingkah laku, pemikiran dan sikap yang
permanen agar berguna bagi tanah air.
2. Hakekat Pendidikan
Hakekat pendidikan adalah ikhtiar manusia untuk membantu dan
mengarahkan fitrah manusia supaya berkembang sampai kepada titik
maksimal yang dapat dicapai sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan.10
Hakekat pendidikan dalam “Pengantar Pendidikan I” yaitu:
a. Pendidikan merupakan proses interaksi manusia yang ditandai keseimbangan antara kedaulatan subyek didik dengan kewibawaan pendidikan.
b. Pendidikan merupakan penyiapan subyek didik menghadapi lingkungan hidup yang mengalami perubahan yang pesat.
c. Pendidikan meningkatkan kualitas hidup pribadi dan masyarakat. d. Pendidikan berlangsung seumur hidup. e. Pendidikan merupakan kiat dalam menetapkan dalam prinsip ilmu
pengetahuan dan teknologi pembentukan manusia seutuhnya.11
Dalam buku Dasar-dasar Kependidikan dikatakan bahwa “hakekat
pendidikan yaitu usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan
kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur
hidup”.12
Pada tingkat permulaan, pendidik lebih menentukan dan
mencampuri pendidikan peserta didik, namun lambat laun pendidikan
lebih bersifat pengasuh yang mendorong, membimbing dan memberi
teladan, menuntun serta menyediakan dan mengatur kondisi untuk
membelajarkan peserta didik sehingga dapat menghasilkan peserta didik
yang mampu memperbarui diri terus menerus dan aktif menghadapi
10 H.M. Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah dan
Keluarga, (Jakarta : Bulan Bintang, 1978, hlm. 12 11 Zahara Idris dan Lisma Jamal, Pengantar Pendidikan I, (Jakarta:Gramedia,1992), hlm. 1 12 Zahara Idris, Op.Cit, hlm. 10
11
lingkungan hidupnya. Dengan kata lain peserta didik mampu
meningkatkan kualitas hidup pribadi dan masyarakat sepanjang hayat.
Kepribadian adalah keseluruhan tingkah laku seseorang, seperti
cara berfikir dan merasa telah menjadi kebiasaannya dari sikap dan
minatnya, dari cara berbuat dan bertindak. Jadi maksudnya adalah ciri
khas seseorang yang secara relatif bersifat tetap.
Dari beberapa pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan
bahwa hakekat pendidikan yaitu ikhtiar manusia untuk membantu
mengarahkan dan mengembangkan fitrah manusia (kepribadian dan
kemampuan) di dalam dan diluar sekolah, dalam penyiapan subyek didik
menghadapi lingkungan hidup dan peningkatan kualitas hidup pribadi dan
masyarakat sampai pada titik maksimal sesuai dengan tujuan yang dicita-
citakan dengan proses interaksi antara manusia dalam menetapkan prinsip
ilmu pengetahuan dan teknologi pembentukan manusia seutuhnya yang
berlangsung seumur hidup.
3. Tujuan Pendidikan
Apabila kita berbicara tentang tujuan pendidikan, maka hal tersebut berhubungan dengan hasil akhir suatu langkah yang diambil dalam memasuki salah satu bidang pendidikan. Hasil akhir ini diharapkan oleh lembaga pendidikan itu sendiri, berikut guru-guru, para administrator yang mengelola lembaga pendidikan tersebut para pendirinya dan juga para orang tua dari anak didik dan juga oleh anak-anak didik itu sendiri. Suatu tujuan itu meliputi aktivitas yang rapi, tertib dan teratur yang bergerak maju menuju sasaran, yaitu pelaksanaan proses dengan sempurna hingga akhir.13
Mengenai tujuan pendidikan banyak dikemukakan oleh para ahli,
di antaranya:
a. Al-Ghazali
Menurut Al-Ghazali tujuan pendidikan menjadi 2, yaitu:
1) Tujuan jangka panjang Ialah pendekatan diri pada Allah. Pendidikan dalam prosesnya
harus mengarahkan manusia menuju pengenalan dan kemudian pendekatan diri pada tuhan pencipta alam.
13 H.B. Hamdani Ali, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta : Kota Kembang, 1987), hlm. 82
12
2) Tujuan jangka pendek Ialah diraihnya profesi manusia sesuai dengan bakat dan
kemampuannya.14
b. M.J. Langeveld
Langeveld membagi 6 macam tujuan dalam pendidikan sebagaimana
dikutip oleh Sutari Imam Barnadib:
- Tujuan umum - Tujuan khusus - Tujuan seketika - Tujuan Sementara - Tujuan tidak lengkap - Tujuan perantara 15
c. Khursid Ahmad
Tujuan pendidikan adalah “untuk menghasilkan kebudayaan yang
tinggi, agar setiap orang dapat memikul tanggung jawab manusia yang
baik dan sebagaimana warga negara yang baik”.16
d. Muhammad Qutb
Tujuan pendidikan yaitu “membentuk manusia sejati, yang dimaksud
manusia sejati yaitu manusia secara totalitas yang esensinya
terkandung didalamnya”.17
Pada dasarnya pendidikan dilaksanakan untuk mengembangkan
potensi-potensi baik jasmaniah maupun rohaniah, emosional maupun
intelektual (serta ketrampilan) agar manusia mampu mengatasi problema
hidup secara mandiri serta sadar dapat hidup menjadi manusia-manusia
yang berfikir bebas, sehingga dapat bertanggung jawab terhadap diri
sendiri dan masayarakat.
14 Abidin Ibnu Rusn, Op. Cit, hlm. 59 15 Sutari Imam Barnadib, Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis, (Yogyakarta : Andi Offset,
1993), hlm. 49 16 Marasuddin Siregar, Konsepsi Pendidikan Ibnu Khaldun, (Yogyakarta : Fakultas
Tarbiyah IAIN Walisongo bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 67 17 Ibid., hlm. 68
13
Dari pendapat-pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan
pendidikan itu bukan hanya sekedar memenuhi otak murid-murid dengan
ilmu pengetahuan, tetapi tujuannya ialah mendidik akhlak dengan
memperhatikan segi-segi kesehatan pendidikan fisik dan mental, perasaan
dan praktek serta menyiapkan manusia sebagai anggota masyarakat.
4. Latar Belakang Pendidikan
Untuk lebih jelasnya latar belakang pendidikan tersebut akan
penulis uraikan sebagai berikut:
a. Pendidikan Sekolah
Pendidikan sekolah terdiri dari:
1) Pendidikan Dasar
Berbicara mengenai masalah pendidikan dasar, orang
kadang-kadang mengidentikkannya dengan sekolah dasar. Padahal
pendidikan dasar itu tidak sama atau identik dengan SD, tetapi SD
merupakan bagian dari pendidikan dasar, karena pendidikan dasar
meliputi SD dan SLTP. Pendidikan dasar merupakan pendidikan
umum yang lamanya 9 tahun yang diselenggarakan di SD selama 6
tahun dan 3 tahun di SLTP/ satuan pendidikan yang sederajat.
Pendidikan dasar diselenggarakan untuk mengembangkan
sikap dan kemampuan serta memberikan pengetahuan dab
ketrampilan dasar yang diperlukan untuk hidup dalam masyarakat,
serta mempersiapkan peserta didik yang memenuhi persyaratan
untuk mengikuti pendidikan menengah.
Pendidikan dasar bertujuan untuk memberikan kemampuan
dasar kepada peserta didik untuk mengembangkan kehidupan
pribadi, anggota masyarakat, warga negara dan anggota umat
manusia serta mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti
pendidikan menengah.
14
2) Pendidikan Menengah
Pendidikan menengah merupakan lanjutan dari pendidikan
dasar dan terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan
menengah kejuruan.
“Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas
(SMA), Madrasah Aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan
(SMK) dan madrasah aliyah kejuruan (MAK), atau bentuk lain
yang sederajat”.18
Pendidikan menengah diselenggarakan untuk melanjutkan
dan meluaskan pendidikan dasar serta menyiapkan peserta didik
menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan
mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial,
budaya dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan
lebih lanjut dalam dunia kerja atau pendidikan tinggi.
3) Pendidikan Tinggi
Prinsip pendidikan seumur hidup yang umumnya mendasari
pandangan tentang pendidikan khususnya di Indonesia pada
dasarnya tidak mendapatkan kedewasaan sebagai satu
pembentukan pribadi seseorang. Oleh karena itu bagi anak- anak
yang telah menyelesaikan pendidikan menengah terbuka
kesempatan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih
tinggi yakni masuk ke Perguruan Tinggi. Dalam undang-undang
No.20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional bab VI pasal
19 disebutkan bahwa:
1. Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis dan doktor yang diselenggarakan oleh pendidikan tinggi.
2. Pendidikan tinggi diselenggarakan dengan sistem terbuka.19
18 Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003, Op. Cit., hlm. 12 19 Ibid., hlm. 13
15
Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa perguruan tinggi
merupakan kelanjutan dari pendidikan menengah yang
diselenggarakan dengan tujuan menyiapkan peserta didik menjadi
anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan atau
profesional yang dapat menerapkan pengetahuan atau menciptakan
ilmu pengetahuan teknologi dan atau kesenian serta mengupayakan
penggunaannya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dan
memperkaya kebudayaan nasional.
Adapun bentuk pendidikan tinggi sebagai mana pasal 20
disebutkan bahwa “Pendidikan tinggi dapat berbentuk akademik,
politeknik, sekolah tinggi, institut atau universitas”.20
Pendidikan akademik mengutamakan mutu dan
memperluas wawasan ilmu pengetahuan dan diselenggarakan oleh
sekolah tinggi, institut dan universitas. Sedang pendidikan
profesional mengutamakan kemampuan penerapan ilmu
pengetahuan diselenggarakan oleh akademik, politeknik, sekolah
tinggi, institut dan universitas.
b. Pendidikan Luar Sekolah
Pendidikan luar sekolah adalah semua bentuk pendidikan yang
diselenggarakan dengan sengaja, tertib, terarah dan berencana di luar
kegiatan persekolahan.
“Pendidikan luar sekolah diselenggarakan bagi warga
masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi
sebagai pengganti, penambah dan atau pelengkap pendidikan formal
dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat”.21
Satuan pendidikan luar sekolah terdiri atas lembaga kursus,
lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar
20 Ibid, hlm. 14 21 Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003, Op. Cit, hlm. 16
16
masyarakat dan majlis ta’lim, serta satuan pendidikan yang sejenis.22
Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang
memerlukan bekal pengetahuan, ketrampilan, kecakapan hidup dan
sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja,
usaha mandiri dan atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih
tinggi.
Hasil pendidikan luar sekolah dapat dihargai setara dengan
hasil program pendidikan sekolah setelah melalui proses penilaian
penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah atau
pemerintah daerah dengan mengacu pada standar pendidikan nasional.
1). Pesantren
Sistem pesantren berasal dari masa pra islam, terutama di
Makkah terjadi semenjak dioperasikannya kapal uap dan
pembukaan terusan Suez. Dari sinilah asal semua kitab tebal dan
kitab tipis.23
Lingkungan pesantren pada umumnya terdiri dari rumah
kyai, sebuah tempat peribadatan yang juga berfungsi sebagai
tempat pendidikan (disebut masjid kalau digunakan untuk salat
jum’at, kalau tidak disebut dengan langgar atau surau), sebuah atau
lebih rumah pondokan yang dibuat sendiri oleh para santri dan
bamboo atau kayu, sebuah atau lebih ruangan untuk memasak,
kolam atau ruangan untuk mandi atau berwudlu.
Dengan perubahan zaman modern ini diciptakan juga
sebuah pesantren terbuka, dimana para santri pergi ke sekolah di
luar pesantren pada siang hari untuk pergi ke madrasah, karena
pada umumnya sebuah madrasah mempunyai enam kelas dan enam
guru. Beberapa/semua guru mempunyai sebuah asrama di
rumahnya untuk muridnya, dimana kegiatan pesantren masih
dipertahankan. Selain itu pesantren tetap berfungsi sebagai tempat
22 Ibid, hlm. 16 - 17 23 Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, (Jakarta: LP3ES, 1991), hlm. 22
17
pendidikan, tetapi statusnya sudah terbuka dan sudah mulai mirip
asrama atau rumah indekost.
Kalau didalam pesantren sudah didirikan sebuah madrasah,
maka tradisi pesantren lama masih sering dilanjutkan yaitu
pengajaran didalam masjid yang pada umumnya terjadi sekitar
waktu shalat, pada saat itu murid duduk bersila dan membaca
kitab-kitab tradisional (kitab kuning) tanpa terjemahan dan tanpa
huruf latin, akan tetapi dalam pengajian masih sering digunakan
bahasa daerah.
2). Kursus
Di kota-kota besar, lembaga layanan kursus sudah
berkembang begitu pesat, perkembangannya bukan hanya pada
kuantitas lembaga penyelenggaranya, tetapi pada jenis-jenis
program pendidikannya. Dalam hubungan ini, juga sudah
berkembang lembaga-lembaga layanan kursus yang mampu
mengorganisir berbagai jenis program pendidikan. Lembaga-
lembaga layanan kursus yang ada di tengah-tengah masyarakat,
sudah jelas merupakan salah satu potensi pengelola program-
program pendidikan luar sekolah. Kenyataan tersebut sudah
semestinya didaya-gunakan seoptimal mungkin, sehingga menjadi
lebih terarah, fungsional, efisien dan efektif.
B. POLA PEMBINAAN ORANG TUA
1. Pengertian Pembinaan
Pembinaan adalah usaha, tindakan dan kegiatan yang dilakukan
secara berdayaguna dan berhasil guna untuk memperoleh hasil yang lebih
baik.24
Pembinaan yang dimaksud disini adalah pola pembinaan orang tua
yaitu pola pembinaan anak dalam keluarga, ini dapat dilakukan lewat
24 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm. 17
18
penggambaran yang dilakukan orang tua dalam membina anaknya saat
menanamkan ajaran agama, budi pekerti, ketrampilan dan penanaman nilai
sosial budaya.
Pengaruh lingkungan keluarga sangat besar terhadap remaja, akan
tetapi sebetulnya pengaruh itu telah dimulai sejak dari bayi, bahkan dalam
kandungan. Bahkan mungkin pengaruh yang diterima waktu kecil lebih
menentukan dalam kehidupannya dikemudian hari. Pengalaman waktu
kecil ikut membentuk kepribadiannya. Apa yang dilihat, didengar dan
dirasakan dalam kehidupan waktu kecil itu masuk terjalin ke dalam
pembinaan kepribadiannya.
Agus Suyanta mengatakan tentang pembinaan akhlak berarti
bahwa anak dituntut agar belajar memiliki rasa tanggung jawab.
Selanjutnya tentang tanggung jawab itu sendiri ia mengemukakan :
Yang dimaksud dengan ia telah mulai dapat bertanggung jawab bahwa ia telah mengerti tentang perbedaan antara yang benar dan yang salah , yang boleh dan yang dilarang, yang dianjurkan dan yang dicegah, yang baik dan yang buruk dan ia sadar bahwa ia harus menjauhi segala yang bersifat negatif dan mencoba membina diri untuk selalu menggunakan hal-hal yang positif bila suatu ketika bahwa ia berbuat salah, serta ia sendiri menyadari akan kesalahannya itu, maka ia harus secepatnya berhenti dari kesalahannya itu dan segera kembali ke jalan yang semestinya.25
Sejalan dengan pernyataan di atas, Hasan Langgulung seperti yang
dikutip Chabib Thoha menggunakan istilah pola asuh untuk pembinaan
yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak. Beliau mengungkapkan
bahwa:
Pola asuh adalah merupakan suatu cara terbaik yang dapat ditempuh orang tua dalam mendidik anak sebagai perwujudan dari rasa tanggung jawab primer. Karena anak adalah buah kasih sayang yang diikat dalam tali perkawinan antara suami dan istri dalam satu keluarga. Keluarga adalah satu elemen terkecil dalam masyarakat yang merupakan institusi sosial terpenting dan
25 Agus Suyanta, Psikologi Perkembangan, (Jakarta : Rineka Cipta , 1996), hlm. 267
19
merupakan unit sosial yang utama melalui individu-individu disiapkan nilai-nilai hidup dan kebudayaan yang utama.26
Begitu besarnya peranan orang tua dalam perkembangan anak-
anaknya, dibuktikan dari hasil penelitian yang mengatakan bahwa
perkembangan anak-anak bukan hanya karena makanan atau air susu ibu.
Dalam perkembangannya terutama dalam perkembangan kepribadiannya,
anak-anak membutuhkan curahan kasih sayang melalui kehidupan
keluarga.27
2. Jenis-jenis Pembinaan
a. Pola Pembinaan Otoriter.
Untuk dapat melihat jenis pembinaan ini seperti dikemukakan
oleh H.M.Chabib Thoha:
Pola pembinaan otoriter ini anak tidak mempunyai kekuasaan untuk melakukan segala sesuatu yang menjadi kepentingan atau keinginannya, karena anak hanya boleh melakukan segala sesuatu yang menjadi kepentingan atau keinginannya, karena anak hanya boleh melakukan segala sesuatu yang menjadi kehendak orang tuanya. Orang tua yang bersifat otoriter akan memberikan hukuman yang keras, misalnya dengan hukuman badan untuk pelanggaran yang dilakukan oleh anaknya . Anak juga diatur segala keperluan dengan aturan yang ketat dan masih tetap diberlakukan meskipun sudah menginjak dewasa.28
Dalam kondisi seperti ini anak kurang memperoleh perhatian
yang layak, sehingga cita-cita dan keinginan anak jauh dari harapan.
Anak tidak mempunyai kesempatan untuk mengadakan improvisasi
sesuai dengan keinginannya masing-masing, karena semuanya
ditentukan oleh orang tua. Akibatnya anak sulit untuk berkembang.
Sebagai akibat yang lebih jauh akan berpengaruh kepada sifat-sifat
26 H.M. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta : Pustaka pelajar,
1996), hlm. 109-110. 27 Abdurrahman An Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, terj.
Syihabudin, (Jakarta: Gema Insani, 1995), hlm. 144. 28 H.M. Chabib Thoha, Op. Cit., hlm. 111
20
kepribadian anak sebab kurang kreatif, gugup, ragu-ragu, suka
membangkang, menentang kewibawaan orang tua, penakut, penurut.
b. Pola Pembinaan Demokratis
Anak yang dibina oleh orang tuanya secara demokratis akan
memiliki rasa percaya diri dan mengambil sikap serta tindakan yang
tepat terhadap permasalahan-permasalahan yang ada disekelilingnya.
Kemudian dari permasalahan-permasalahan dan pemecahan yang
diambilnya akan menjadi anak semakin matang dan mandiri.
Pada pola ini orang tua memandang anak sebagai individu yang
sedang berkembang, anak diberi kesempatan untuk berinisiatif dan
aktif. Disamping itu orang tua memberikan pertimbangan dan pendapat
kepada anak, sehingga anak mempunyai sifat terbuka dan bersedia
mendengarkan pendapat orang tua. Anak dapat dipimpin dan
memimpin dengan penuh kreatif dan aktif serta anak dapat menghargai
orang lain karena sudah bisa saling menghargai antara anggota
keluarga.
Pada pola asuh yang demokratis akan berakibat pada sifat-sifat
dan kepribadian anak diantaranya anak akan menjadi aktif dalam
hidupannya, penuh inisiatif, percaya pada diri sendiri, memiliki rasa
sosial, penuh tanggung jawab, menerima kritik dan saran dengan
terbuka, emosi lebih stabil, mudah menyesuaikan diri.
c. Pola Pembinaan Permisive
Orang tua yang membina anak secara permisive menyebabkan
anak cenderung berprestasi rendah atau menurun karena kurangnya
bimbingan dan arahan dari orang tua. Anak cenderung melakukan
segala sesuatunya “semau gue”, tidak atau kurang memperhatikan
akibat dari perbuatanya baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain.
Dari jenis-jenis pola pembinaan orang tua terhadap anak tersebut.
21
Orang tua yang melindungi anak secara berlebih-lebihan menurut hasil
penelitian Satyah Tati Imam Sayono akan menyebabkan sikap anak:
1) tidak ada motivasi untuk belajar.
2) pasif dan seringkali menjurus ke sikap neuritik.
3) kurang rasa harga diri.
4) tidak ada kesanggupan untuk merencanakan sesuatu.29
Dengan demikian pola asuh yang permisive dan otoriter
keduanya tidak menguntungkan bagi perkembangan kepribadian anak
maupun terhadap kemajuan belajar.
Pola asuh orang tua di Indonesia kebanyakan menggunakan
pola ganda, yakni dalam memberikan kepuasan emosional orang tua
bersifat permissive atau menuruti kepuasan anak, dan hal ini biasanya
menyebabkan anak menjadi manja, tetapi ada pula yang cenderung
menelantarkan anak, artinya kurang memperhatikan anak. Untuk yang
kedua dikatakan bahwa dibiarkannya anak kurang mendapatkan
perhatian bukan karena orang tua tidak memiliki kasih sayang,
melainkan karena:
- ibu belum siap menjadi orang tua
- terjadi akibat salah pengertian yang dianggapnya anak itu sebagai
orang dewasa
- karena kesibukan sebagai akibat orang tua bekerja.
Pola ganda dapat dijumpai tidak hanya jika satu orang yang
mengasuh dan mereka sama-sama menggunakan pola asuh yang
berbeda, bisa jadi ayah menggunakan pola otoriter, ibu menggunakan
pola yang permissive.
Dari jenis-jenis pola pembinaan orang tua terhadap anak tersebut
dapat disimpulkan bahwa pola pembinaan yang paling baik diterapkan
adalah pola demokratis dengan tetap mempertahankan prinsip-prinsip nilai
29 Ibid., hlm. 113
22
yang universal dan absolut terutama yang berkaitan dengan pendidikan
agama islam.
3. Bentuk-Bentuk Pembinaan
Yang dimaksud dengan bentuk-bentuk pembinaan orang tua
terhadap anak dalam kajian ini meliputi:
a. Keteladanan / Pembiasaan.
Keteladanan dalam pembinaan merupakan metode yang
berpengaruh dan terbukti paling berhasil dalam mempersiapkan dan
membentuk aspek moral, spiritual dan etos sosial anak. Hal ini karena
pendidikan adalah figur terbaik dalam pandangan anak, yang tindak
tanduk dan sopan santunnya, disadari atau tidak akan ditiru anak,
bahkan bentuk perkataan, perbuatan dan tindak-tanduknya akan
senantiasa tertanam dalam kepribadian anak.30
Bagaimana besarnya usaha yang dilakukan orang tua untuk
membina anaknya agar menjadi baik dan sucinya fitrah tidak akan
mampu memenuhi prinsip-prinsip pendidikan utama apabila anak tidak
melihat figur pendidik / pembina sebagai teladan dari nilai-nilai moral
yang tinggi.
Dalam islam sendiri pembinaan umat dilakukan dengan
keteladanan yang ada pada diri seseorang pembawa risalah yaitu
Rasulullah Saw. Hal ini seperti dinyatakan dalam ayat al – Qur’an
yang berbunyi:
)21:الاحزاب(لَقَد كَانَ لَكُم فِى رسولِ االلهِ اُسوةٌ حسنةٌ “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik” (al-Ahzab : 21)31
Pada ayat ini menjelaskan bahwa sebenarnya Nabi Muhammad
SAW adalah seorang yang kuat imannya, berani, sabar dan tabah
30 Abdullah Nashih Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam, Jilid II Cet. III, terj. Jamaluddin Miri, (Jakarta: Pustaka Amani, 1995), hlm. 142
31 Moh. Rifa’i dan Rosihin Abdul Ghani, Op.Cit, hlm. 379
23
menghadapi segala macam cobaan, percaya dengan sepenuhnya
kepada segala ketentuan-ketentuan Allah swt dan beliaupun
mempunyai akhlak yang mulia.32
Keteladanan Rasulullah Saw bisa kita lihat dalam segala aspek
kehidupan seperti dalam ibadah. Akhlak yang mulia ( budi pekerti,
kemurahan hati, kesabaran, ketabahan, keteguhan dalam memegang
prinsip, dsb ) dan sampai kepada masalah politik.
Keteladanan ini merupakan bentuk pembinaan yang sangat membekas pada diri anak. Ketika orang tua menginginkan anaknya tumbuh dala kejujuran, amanah, menjauhkan diri dari perbuatan yang tidak diridhoi agama, kasih sayang, mandiri dsb, maka orang tua anak harus memberikan teladan.33 Dan supaya keteladanan yang diberikan ini akan terus
membekas pada diri anak maka hal itu harus dibiasakan sehingga
menjadi adat kebiasaan sehari-hari.
Metode islam dalam memperbaiki anak-anaknya menurut A.
Nasih Ulwan mengacu pada dua pokok yaitu pengajaran dan
pembiasaan. Pengajaran adalah upaya teoritis dalam perbaikan dan
pendidikan. Sedangkan pembiasaan adalah dimensi praktis dalam
upaya pembentukan ( pembinaan ) dan persiapan. Maka hendaknya
orang tua memusatkan perhatian pada pengajaran anak-anak tentang
kebaikan dan upaya membiasakannya, sejak ia mulai memahami
realita kehidupan ini.34
Supaya pembiasaan lekas tercapai dan baik hasilnya harus
memenuhi syarat tertentu :
1) Mulailah pembiasaan itu sebelum terlambat, jadi sebelum anak itu mempunyai kebiasaan lain yang berlawanan dengan hal-hal yang akan dibiasakan.
32 Universitas Islam Indonesia, Al Quran dan Tafsirnya, Jilid VII, (Yogyakarta: Dana Bakti
Wakaf, 1995), hlm. 743-744 33 Abdullah Nashih Ulwan, Op. Cit., hlm. 178 34 Ibid., hlm. 202-203
24
2) Pembiasaan itu hendaknya terus menerus (berulang-ulang) dijalankan secara teratur sehingga akhirnya menjadi suatu kebiasaan yang otomatis, untuk dibutuhkan pengawasan.
3) Pendidikan hendaklah konsekuen, bersikap tegas dan tetap teguh terhadap pendiriannya yang telah diambilnya. Jangan memberi kesempatan kepada anak untuk melanggar pembiasaan yang telah ditetapkan.
4) Pembiasaan yang mula-mulanya mekanistis itu harus makin menjadi pembiasaan yang disertai kata hati anak itu sendiri.35
Hal itu jika secara berangsur-angsur disertai dengan penjelasan-
penjelasan dan nasehat-nasehat diri si pendidik sehingga makin lama
timbullah pengertian dalam diri anak didik. Kita masih ingat bahwa
anak adalah makhluk yang mempunyai kata hati dan tujuan pendidikan
ialah memimpin anak agar mereka kelak dapat berdiri sendiri dan
bertanggung jawab sendiri.
b. Penjelasan / Nasehat
“Nasehat yang tulus dan nasehat yang berpengaruh, jika
memasuki jiwa yang bening, hati terbuka, akal yang jernih dan
berfikir, maka dengan cepat mendapat respon yang baik dan
meninggalkan bekas yang sangat dalam”.36
Al-Qur’an penuh dengan ayat-ayat yang menjadikan nasehat
sebagai dasar dakwah, jalan perbaikan individu dan memberi petunjuk
kepada berbagai kelompok. Didalam al-Qur’an penjelasan atau nasehat
ada dalam berbagai bentuk misalnya peringatan untuk bertaqwa,
mengikuti jalan orang-orang yang lurus, dan sebagainya.
Di antara ayat-ayat al-Qur’an yang mengajarkan untuk
melakukan pembinaan melalui penjelasan / nasehat, antara lain:
فَاِنَّ الذِّكْر ذَكِّرو نمِنِيؤالْم فَعن55:الذاريات(ت(
35 M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, Edisi II, (Bandung : Remaja
Rosdakarya, 1995), hlm. 178 36 Abdullah Nashih Ulwan, Op. Cit., hlm. 213
25
“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman” (Adz-Dzariyat : 55).37
Pada ayat ini menjelaskan bahwa orang muslim agar tetap
memberi peringatan kepada sesama muslim agar tidak saling merugi
dan tidak terjerumus kepada perbuatan dosa.38
c. Anjuran /perintah
Perintah bukan hanya apa yang keluar dari mulut seseorang
yang harus dikerjakan oleh orang lain, melainkan peraturan-peraturan
yang harus ditaati oleh anak-anak. Tiap-tiap perintah dan peraturan
dalam pendidikan mengandung norma-norma kesusilaan; Jadi bersifat
memberi arah atau mengandung tujuan ke arah perbuatan susila.
Supaya perintah yang dilancarkan oleh si pendidik terhadap
anak didiknya dapat ditaati sehingga dapat tercapai apa yang di
maksud, hendaklah perintah-perintah itu memenuhi syarat-syarat
tertentu:
1) Perintah hendaklah terang dan singkat. Jangan banyak komentar sehingga mudah dimengerti oleh anak.
2) Perintah hendaklah disesuaikan dengan keadaan dan umur anak, sehingga jangan sampai memberi perintah yang tidak mungkin di kerjakan oleh anak dan hendaknya disesuaikan dengan kesanggupan anak.
3) Kadang-kadang perlu pula kita mengubah perintah itu menjadi suatu perintah yang lebih bersifat permintaan sehingga tidak terlalu keras kedengarannya.
4) Jangan terlalu banyak dan berlebih-lebihan memberi perintah, sebab dapat mengakibatkan anak itu tidak patuh tetapi menentang. Pendidik hendaklah hemat akan perintah.
5) Pendidik hendaklah konsekuen terhadap apa yang diperintahkannya.
6) Suatu perintah yang bersifat mengajar (si pendidik turut melakukannya) umumnya lebih ditaati oleh anak-anak dan dikerjakannya dengan gembira.39
37 Moh. Rifa’I dan Rosihin Abdul Ghani, Op. Cit, hlm. 472 38 Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 354-355 39 M. Ngalim Purwanto, Op. Cit, hlm. 180-181
26
d. Pujian / Hadiah
“Seorang anak yang diberi hadiah akan merasa bahwa hal itu
merupakan bukti tentang penerimaan dirinya dalam berbagai norma
kehidupan. Anak juga akan menjadi tenang dan tenteram hatinya yang
merupakan kebutuhan pokok anak”.40
Pemberian pujian maupun hadiah dapat digunakan untuk
memperkuat respon (respon positif). Pemberian hadiah ini harus
didasarkan atas kondisi yang tepat sesuai dengan tujuan pokoknya,
hendaknya orang tua tidak terlalu sering memberikan hadiah karena
dapat menyebabkan kehikangan efektifitasnya. Misalnya seorang anak
yang sering dipuji bisa mengakibatkan anak menjadi sombong,
sedangkan anak yang sering diberi hadiah oleh orang tuanya dapat
menyebabkan anak hanya mau melakukan segala sesuatu bila ada
imbalannya.
e. Larangan
Disamping memberi perintah, sering pula orang tua harus
melarang perbuatan anak-anak. Larangan itu biasanya orang tua
keluarkan jika anak melakukan sesuatu yang tidak baik, yang
merugikan atau yang dapat membahayakan dirinya.
Syarat-syarat yang harus diperhatikan dalam melakukan
larangan antara lain:
1) Larangan harus diberikan dengan singkat, supaya dimengerti maksud larangan itu.
2) Jika mungkin larangan dapat diberi penjelasan singkat 3) Jangan terlalu sering melarang, akibatnya tidak baik 4) Bagi anak-anak yang masih kecil, larangan dapat di cegah dengan
membelokkan perhatian anak kepada sesuatu yang lain, yang menarik minatnya.41
40 H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1991), hlm. 217 41 M. Ngalim Purwanto, Op. Cit, hlm. 181-182.
27
f. Hukuman
Menghukum ialah “memberikan atau mengadakan nestapa atau
penderitaan dengan sengaja kepada anak yang menjadi asuhan kita
dengan maksud supaya penderitaan itu betul-betul dirasakannya untuk
menuju ke arah perbaikan”.42
Hukuman itu hendaknya menjadi pilihan terakhir bagi orang
tua dalam membina anak, apabila bentuk-bentuk pembinaan yang lain
dianggap sudah tidak dapat untuk mengatasinya, barulah kemudian
hukuman ini diberikan sesuai dengan tingkat kesalahannya.
Dalam memberikan hukuman, menurut Nashih Ulwan ada
beberapa syarat yang harus diperhatikan yaitu:
1) Hukuman harus selaras dengan kesalahannya 2) Hukuman harus seadil-adilnya 3) Hukuman harus cepat dijalankan agar anak mengerti maksud
hukuman tersebut 4) Memberikan hukuman dalam keadaan tenang (tidak marah) 5) Hukuman sesuai umur anak 6) Hukuman harus diikuti penjelasan 7) Hukuman harus diakhiri dengan pemberian ampun 8) Hukuman merupakan pilihan terakhir / digunakan apabila sudah
terpaksa 9) Hukuman berdasarkan cinta, bukan balas dendam 10) Hukuman harus menimbulkan penderitaan pada yang di hukum
dan menghukum.43
Itulah bentuk-bentuk pembinaan yang dapat diberikan oleh para
pendidik maupun orang tua yang bersumber dari ajaran islam, yang
didalamnya menunjukkan nilai paedagogis yang tidak usang jika
dibandingkan dengan metode menurut berbagai teori pendidikan modern.
Pendidikan dengan cara memberi teladan yang baik, anak akan
mendapatkan sifat-sifat yang utama, akhlak yang sempurna, meningkat
pada keutamaan dan kehormatan. Tanpa keteladanan yang baik,
pengajaran dan nasehat, maka pendidikan tidak akan berguna.
42 H.M. Arifin, Op. Cit., hlm. 218 43 Abdullah Nashih Ulwan, Op. Cit., hlm. 325-327
28
Pendidikan dengan kebiasaan, maka anak berada dalam
pembentukan edukatif dan sampai pada hasil-hasil yang memuaskan.
Sebab, ini semua bersandarkan pada metode memperhatikan dan
mengawasi, berdasarkan bujukan dan ancaman, bertitik tolak dari
bimbingan dan pengarahan. Tanpa ini pendidik seperti orang yang
menegakkan benang basah dan mengukir langit.
Dengan pendidikan memberi nasehat, anak akan terpengaruh oleh
kata-kata yang memberi petunjuk, nasehat yang memberi bimbingan, kisah
yang efektif, dialog yang menarik, metode yang bijaksana, pengarahan
yang membekas. Tanpa ini tidak akan tergerak perasaan anak, sehingga
pendidikan akan menjadi kering dan sulit untuk memperbaikinya.
Dengan pendidikan memberi hukuman, anak akan jera dan berhenti
berperilaku buruk. Ia akan mempunyai perasaan dan kepekaan yang
mengikuti hawa nafsunya, mengerjakan hal-hal yang diharamkan. Tanpa
ini anak akan terus menerus berkubang pada kenistaan, kemunkaran dan
kerusakan.
Karena orang tua menginginkan kebaikan pada diri anak,
hendaknya metode-metode ini tidak diabaikan dan hendaknya orang tua
berlaku bijaksana dalam memilih metode yang paling efektif dalam situasi
dan kondisi tertentu.
C. KEMANDIRIAN BELAJAR
1. Pengertian Kemandirian Belajar
Pada dasarnya pengertian sikap mandiri itu dapat ditinjau dari dua
segi, yaitu pengertian secara etimologi (bahasa) dan pengertian secara
terminologi (istilah).
Secara etimologi, “kemandirian belajar berasal dari kata “mandiri”
yang berarti berdiri sendiri atau keadaan berdiri sendiri tanpa tergantung
29
kepada orang lain. Kemandirian adalah hal atau keadaan dapat berdiri
sendiri tanpa tergantung kepada orang lain”.44
Menurut Chabib Thaha, “kemandirian dapat didefinisikan sebagai
suatu keinginan untuk menguasai dan mengendalikan tindakan–tindakan
sendiri dan bebas dari pengendalian orang lain”.45
Sedangkan menurut Herman Holestein:
Kemandirian adalah sikap mandiri yang dengan inisiatifnya sendiri mendesak jauh ke belakang, setiap pengendalian asing yang membangkitkan swakarya tanpa perantara dan spontanitas yakni ada kebebasan bagi keputusan, penilaian, pendapat, pertanggung jawaban tanpa menggantungkan orang lain.46
Menurut Zakiah Daradjat: ”Mandiri yaitu berdiri sendiri atau
kecenderungan untuk melakukan suatu yang diingini tanpa minta tolong
orang lain. Juga dapat mengarahkan kelakuannya tanpa tunduk pada orang
lain”.47
Belajar secara umum diartikan sebagai “proses perubahan tingkah
laku akibat interaksi individu dengan lingkungannya”.48 Sedangkan
menurut Shaleh Abdul Azis berpendapat bahwa :
اَلتعلُّم هو تغيِير فِى ذِهنِ الْمتعلِّمِ يطْرءُ علَى خِبرةٍ سابِقَةٍ فَيحدثُ فِيها 49 تغيِيرا جدِيدا
“Belajar adalah adanya perubahan hati / kalbu anak didik yang didasarkan atas pengalaman masa lalu / lampau, sehingga menimbulkan perubahan baru pada diri anak”.
44 Anton Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1995), hlm.
625 45 H.M. Chabib Thoha,Op.Cit., hlm. 121 46 Herman Holestein, Murid Belajar mandiri, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1986), hlm.
13 47 Zakiah Daradjat, Perawatan Jiwa untuk Anak, (Jakarta : Bulan Bintang, 1987), hlm. 130 48 Winarno Surahmad, Pengantar Interaksi Mengajar dan Belajar, (Bandung : Tarsito,
1994), hlm. 65-66 49 Shaleh Abdul Aziz, At Tarbiyah Waturuqut Tadris, (Mesir : Darul Ma’arif, Cet. 10,
1978), hlm. 169
30
Sedangkan menurut Clifford T. Morgan berpendapat bahwa:
“Learning may be defined as any relatively permanent change in behavior
which occurs as a result of experience or practice”.50
Belajar adalah perubahan tingkah laku yang relative tetap sebagai akibat dari latihan dan pengalaman.
Dari beberapa pendapat diatas penulis simpulkan bahwa
kemandirian belajar adalah suatu kecenderungan anak untuk belajar
sendiri dalam mencapai suatu tujuan yang didasarkan pada pendirian dan
keyakinan yang ada pada dirinya sendiri dengan prinsip untuk tidak
bergantung pada orang lain.
2. Ciri-ciri Kemandirian Belajar
Kalau kita barbicara masalah kemandirian tentunya tidak lepes dari
faktor-faktor dan ciri-ciri yang menandai bahwa anak punya sikap mandiri.
Adapun ciri-ciri kemandirian adalah:
a. Kematangan fungsi-fungsi psikis
Dalam proses maturisi (kematangan) adakalanya terjadi secara
alamiah tetapi adakalanya melalui latihan-latihan yang dilakukan
sendiri karena mendapatkan rangsangan dari media sebagai rangsangan
berkembangnya fungsi-fungsi psikis.
Berkembangnya suatu fungsi tampak didorong kekuatan dari
dalam sehingga pada suatu saat muncul kepekaan bertingkah laku. Saat
yang demikian sering disebut masa peka atau masa perkembangan.
Menurut Kartini Kartono yang mengutip pendapat Marie
Jahada menyebutkan ciri-ciri kematangan sebagai berikut:
- Pribadi yang matang adalah individu yang dapat menguasai lingkungan secara aktif.
- Dia memperlihatkan suatu totalitas dari segenap pribadinya. - Dia sanggup menerima secara tepat dunia lingkungannya dan
dirinya sendiri.
50 Clifford T. Morgan dan Richard A King, Introducvtion to Phsycology, (Tokyo: Grow
Hill, 1971), hlm. 63
31
- Ia sanggup berdiri sendiri diatas kedua belah kakinya tanpa banyak menuntut kepada orang lain.51
Dari keempat ciri kematangan tersebut dapat dilihat bahwa
kematangan berkaitan erat dengan kemandirian, dimana adanya empat
unsur penting yakni menguasai lingkungan secara aktif, suatu totalitas
dalam kepribadian, mampu menerima kondisi lingkungannya dan
dirinya sendiri serta mampu berdikari mencerminkan bahwa
tampaknya suatu kematangan pada diri seseorang merupakan ciri
utama kemandirian.
b. Kedisiplinan Dalam Belajar
Ciri lain yang menandai sikap mandiri pada anak adalah
disiplin dalam segala perbuatan atau tingkah lakunya, sehingga setiap
anak yang mandiri mempunyai disiplin dalam segala perbuatan atau
tingkah lakunya agar tidak salah dalam melangkah atau menyesal atas
tindakannya.
Dalam masalah disiplin ini Rasulullah juga memerintahkan
untuk mendidik anak dengan kedisiplinan sebagaimana yang beliau
sabdakan:
ثنا اسماعيل، عن سوار أبي – يعني اليشكري –حدثنا مؤول بن هشام بو حمزةَ الْمزنِي الصيرفِي عن أَوهو سوار بن داود : بو داودأقال حمزة،
مروا .: م.قال رسول االله ص: عمِرو بنِ شعيبٍ عن اَبِيهِ عن جدِّهِ قَالَ بناءُ عشرٍ أَبناءُ سبعِ سِنِين واضرِبوهم علَيها وهم أَ بِالصلاَةِ وهم ولاَدكُمأَ
52 رواه ابو داود ....وفَرِّقُوا بينهم فِى الْمضاجِعِ“Suruhlah anak-anakmu salat jika mereka telah berumur tujuh tahun dan pukullah mereka jika mereka meninggalkan salat, bila mereka telah berumur sepuluh tahun pisahkanlah mereka dari tempat tidur”. (HR. Abu Dawud).
51 Kartini Kartono, Teori Kepribadian, (Bandung : Alumni, 1979), hlm. 126 52 Abu Daud Sulaiman bin Asy’as Sajastani, Sunan Abu Dawud, Jus 1, (Libanon : Darul
Fikr, 1994), hlm. 119
32
Singgih D Gunarsa mengemukakan bahwa pentingnya disiplin
dalam mendidik anak supaya anak dengan mudah:
- Meresapkan pengetahuan dan pengertian sosial antara lain mengenai hak orang lain
- Mengerti dan segera menurut untuk melaksanakan kewajiban dan secara langsung mengerti larangan-larangan.
- Mengerti tingkah laku yang baik dan buruk - Belajar mengendalikan keinginan dan perbuatan tanpa terancam
oleh hukuman - Mengorbankan kesenangan sendiri tanpa peringatan dari orang
lain.53
Fungsi utama disiplin adalah “untuk mengejar mengendalikan
diri dengan mudah, menghormati dan memenuhi otoritas. Pada
umumnya anak mulai menumbuhkan disiplin melalui otoritas orang
tuanya”.54
Otoritas ini harus bersifat tegas, ramah dan masuk akal.
Dengan demikian anak akan merasa aman dan otoritas yang wajar
akan menyebabkan anak belajar menekan kesenangan-kesenangannya
dan mendahulukan kewajiban serta usaha-usaha untuk tujuan masa
depan.
c. Kreativitas Belajar
Dikatakan S.C.Utami Munandar:
Kecenderungan anak untuk merealisasikan hal-hal yang baru. Kemudian diminta untuk merealisasikan dan menentukan ciri-ciri yang paling menonjol dalam pribadi yang kreatif, maka ciri-ciri yang mendapat rangking tertinggi adalah anak yang bebas berfikir, senang mencari sesuatu yang baru, dapat menilai sesuatu yang baru (inisiatif), bebas dalam memberikan pendapat dan tidak begitu saja menerima pendapat orang lain.55
53 Singgih D. Gunarsa, Psikologi untuk Membimbing, (Jakarta : Gunung Mulia, 1992), hlm.
137 54 Ibid., hlm. 136 55 S.C. Utami Munandar, Pemanduan Anak Berbakat, (Jakarta : Rajawali, 1996), hlm. 45
33
Selanjutnya dikatakan Conny Semiawan, dan kawan-kawan:
“Kreativitas dalam hal ini merupakan proses berfikir dan berbuat
dimana siswa berusaha untuk melakukan sesuatu yang baru,
mendapatkan jawaban, metode dan cara baru dalam memecahkan
masalah”.56
Selanjutnya ditambahkan olehnya tentang ciri-ciri orang yang
mempunyai kepribadian yang kreatif yaitu:
1) Mempunyai daya imajinasi yang kuat 2) Mempunyai inisiatif. 3) Mempunyai minat yang luas. 4) Bebas dalam berfikir. 5) Bersifat ingin tahu 6) Selalu ingin mendapatkan pengalaman-pengalaman baru 7) Percaya pada diri sendiri 8) Penuh semangat 9) Berani mengambil resiko (tidak takut berbuat kesalahan) 10) Berani dalam pendapat dan keyakinan (tidak ragu-ragu dalam
menyatakan pendapat meskipun mendapat kritik, dan berani mempertahankan pendapat yang menjadi keyakinannya).57
d. Mampu memecahkan masalah
Mampu memecahkan masalah merupakan salah satu sikap
mandiri, sebab tidak mungkin anak bertindak sendiri jika tidak mampu
memecahkan masalah terlebih dahulu. Sebagai anak yang mandiri
hendaknya selalu mencoba untuk menyelesaikan segala persoalan yang
ada, dihadapi sendiri tanpa minta bantuan orang lain. Dan ini
signifikan dengan pendapat Kartini Kartono yang mengatakan bahwa:
Dalam dunia menolong, ketrampilan memecahkan masalah merupakan ketrampilan yang sangat penting, setiap orang pada saat tertentu dalam hidupnya dihadapkan pada masalah yang harus dipecahkan. Jadi kemampuan dan ketrampilan
56 Cony Semiawan, Memupuk Bakat dan Kreativitas Siswa Sekolah Menengah, (Jakarta :
Gramedia, 1987), hlm. 9 57 Ibid., hlm. 10-11
34
memecahkan masalah tidak hanya penting untuk menolong dirinya sendiri.58
Mampu memecahkan masalah merupakan salah satu sikap
mandiri, sebagai anak yang mandiri hendaknya selalu mencoba untuk
menyelesaikan segala persoalan yang ada, dihadapi sendiri tanpa
bantuan orang lain.
3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kemandirian Belajar
Faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian belajar antara lain:
a. Faktor Umur
Bertambahnya umur anak akan mendorong tumbuhnya
kecenderungan untuk melepaskan diri dari ikatan orang tua, anak
mulai mencoba tingkah lakunya dan berusaha dengan ketrampilan
motoriknya mengetahui hal-hal yang baru dalam pergaulan dan
lingkungannya.
Berpengaruhnya factor umur dalam sikap mandiri disebabkan
anak mengalami perkembangan rohani dan pertumbuhan jasmani pada
umur-umur tertentu.
Sebagaimana yang dikatakan Binet yang dikutip oleh Zakiah
Daradjat, yaitu:
“Bahwa kemampuan untuk mengerti masalah-masalah yang abstrak dari fakta-fakta yang ada, baru tampak pada umur 14 tahun. Itulah sebabnya maka pada umur 14 tahun itu anak-anak telah dapat menolak saran-saran yang tidak dapat dimengertinya dan mereka sudah dapat mengkritik pendapat-pendapat tertentu yang berlawanan dengan kesimpulan yang diambilnya”.59
Dari pendapat di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa
apabila umur semakin bertambah, maka bertambah pula kecakapan-
58 Kartini Kartono, Bimbingan dan Dasar-Dasar Pelaksanaannya, (Jakarta : Rajawali,
1983), hlm. 137 59 Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hlm. 38
35
kecakapan dan ketrampilan yang dimiliki, sehingga secara otomatis
sikap mandiri anak semakin berkembang dan mantap.
b. Pembinaan
Setiap anak ingin mandiri, akan tetapi tidak berarti bahwa
orang tua/pendidik melepas begitu saja dan membiarkan tumbuh dan
berkembang dengan sendirinya. Namun harus dibina sesuai dengan
perkembangan psikis dan pertumbuhan fisiknya.
“Apabila pembinaan pribadi anak terlaksana dengan baik, maka
si anak akan memasuki masa remaja yang mudah dan pembinaan
pribadi di masa remaja itu tidak akan mengalami kekurangan”.60
Dengan demikian anak mempunyai pribadi yang luhur
sehingga mudah untuk mandiri.
c. Pembiasaan dan pemberian kesempatan
Pendidikan hendaknya menyadari bahwa dalam membina
pribadi anak sangat diperlukan pembiasaan dan latihan secara serius
dan terus menerus yang cocok dengan perkembangan psikisnya, karena
dengan pembiasaan dan latihan tersebut lambat laun anak akan terbiasa
dan akhirnya melekat menjadi bagian dari pribadinya. Dalam
pembiasaan itu dapat dilakukan dengan:
1). Teladan
“Dengan teladan maka akan timbul gejala identifikasi
positif, yaitu penyamaan diri dengan orang yang ditiru”.61
Identifikasi positif penting sekali dalam pembentukan
kepribadian.
2). Anjuran, suruhan dan perintah
Kalau dalam teladan anak dapat melihat, maka dalam
anjuran, suruhan dan perintah adalah alat pembentukan disiplin
secara positif.
60 Ibid, hlm. 58 61 Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Al-Ma’arif,
1989), hlm. 19
36
3). Latihan
“Tujuannya untuk menanamkan sifat-sifat yang utama dan
untuk menguasai gerakan-gerakan serta menghafalkan
pengetahuan”.62 Latihan dapat membawa anak kea rah berdiri
sendiri (tidak selalu dibantu oaring lain), latihan juga bias
membawa kepuasan pada si anak dan dapat memberi dorongan
yang lebih baik.
4). Pujian
“Berperan dalam menguatkan dan mengukuhkan suatu
tingkah laku yang baik”.63 Di samping itu juga bias membawa
kepuasan pada si anak dan dapat memberi dorongan yang lebih
baik.
5). Hukuman
“Bertujuan untuk menekan atau membuang tingkah laku
yang tidak pantas”.64 Di samping itu hukuman dapat menghasilkan
disiplin dan pada taraf yang lebih tinggi akan menginsafkan anak
didik. Berbuat atau tidak berbuat bukan berarti karena takut akan
hukuman, melainkan karena keinsafan sendiri.
Dalam prakteknya pendidik dalam menanamkan pembiasaan
dan latihan serta memberikan kesempatan harus memperhatikan usia,
kematangan psikis dan kekuatan fisik anak didik sehingga tidak terjadi
kesalahan yang berakibat fatal.
62 Ibid, hlm. 86 63 Singgih D. Gunarsa, Psikologi untuk Membimbing, (Jakarta: Gunung Mulia, 1981), hlm.
137 64 Ibid, hlm. 137
37
D. PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN DAN POLA PEMBINAAN
ORANG TUA TERHADAP KEMANDIRIAN BELAJAR
Pendidikan merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi cara
pandang seseorang. Dengan pendidikan cakrawala manusia dapat terbuka
lebar, tidak berwawasan sempit. Bagaimanapun juga pendidikan sangat
berperan dalam kehidupan sehari-hari termasuk pola pikir dan tingkah laku
seseorang. Apabila kita berbicara tentang pendidikan, bukan berarti hanya di
sekolah saja melainkan di luar sekolah. Baik pendidikan sekolah maupun luar
sekolah sama-sama berpengaruh terhadap seseorang, walaupun ada sedikit
perbedaan, biasanya dalam pendidikan sekolah itu lebih bersifat formal.
Mendidik merupakan suatu kegiatan yang tidak bisa dianggap mudah,
karena dalam mendidik memerlukan beberapa keahlian demi tercapainya
tujuan yang diinginkan. Bagi pendidik tidak hanya sekedar melakukan transfer
of knowledge, tetapi termasuk didalamnya adalah transfer of value akan tetapi
lebih kompleks. Hal yang perlu diperhatikan dalam mendidik adalah agar
bagaimana si terdidik mudah dalam menerima apa yang disampaikan, untuk
memudahkan transfer maka diperlukan metode-metode yang tepat agar
pendidikan dapat berjalan efektif dan efisien.
a. Keluarga
Orang tua mempunyai peranan yang sangat penting dalam
membentuk kemandirian pada diri anak-anaknya, termasuk dalam
kemandirian belajar. Hal ini disebabkan karena orang tualah yang menjadi
pendidik yang pertama dan utama. Dengan kata lain orang tua menjadi
penanggung jawab pertama dan utama terhadap pendidikan anak-anaknya.
Menurut Zakiah Daradjat: Orang tua adalah pusat kehidupan
rohani si anak dan sebagai penyebab berkenalannya dengan alam luar,
maka setiap reaksi emosi anak dan pemikirannya di kemudian hari
terpengaruh oleh sikapnya terhadap orang tuanya di permulaan hidupnya.65
65 Zakiah Daradjat, Op. Cit, hlm. 73
38
Dengan melihat landasan diatas apabila pengetahuan orang tua
lebih tinggi maka keberhasilan belajar anak akan dipengaruhi oleh orang
tuanya dan apabila pengetahuannya rendah, maka hasil pendidikannya
akan rendah pula.
Orang tua merupakan pembimbing anak, baik jasmani maupun
rohani, karena aktivitas ini adalah sudah menjadi kewajibannya,
memelihara dan mendidiknya. Untuk itu peran orang tua harus mampu
menjadikan anaknya menjadi orang dewasa dengan penuh tanggung jawab
yang lebih baik.
Anak menjadikan orang tuanya sebagai model dari penyesuaian
dirinya dari kehidupan. Bila orang tua tidak dapat dipakai sebagai standart
penyesuaian yang baik, maka akan dapat menimbulkan problem psikologis
pada anak, sebagaimana problem tingkah laku orang tuanya.66
Orang tua yang menerapkan pola pembinaan yang otoriter
mempunyai ciri yang kaku, tegas, suka menghukum, kurang ada kasih
sayang serta simpatik. Orang tua memaksa anak untuk patuh pada nilai-
nilai mereka serta mencoba membentuk sesuai dengan tingkah lakunya
serta mengekang keinginan anak, orang tua tidak mendorong serta
memberi kesempatan untuk mandiri dan jarang memberi pujian, hak anak
dibatasi tetapi dituntut tanggung jawab seperti anak dewasa.
Orang tua yang demokratis memandang anaknya sama kewajiban
dan hak antara orang tau dan anak, secara bertahap oaring tua memberikan
tangguang jawab bagi anak-anaknya terhadap segala sesuatu yang
diperbuatnya sampai mereka dewasa. Mereka selalu berdialog dengan
anak-anaknya saling memberi dan menerima, selalu mendengarkan
keluhan-keluhan dan pendapat anak-anaknya. Dalam bertindak selalu
memberikan alas an kepada anak, mendorong anak saling membantu dan
bertindak secara objektif.
66 Abdullah Nashih Ulwan, Op. Cit., hlm. 145
39
Sedangkan orang tua yang membina anaknya secara permissive
menyebabkan anak cenderung berprestasi rendah atau menurun karena
kurangnya bimbingan dan arahan dari orang tua, anak cenderung
melakukan segala sesuatunya tidak/kurang memperhatikan akibat dari
perbuatannya baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain.
Karena pendidikan anak dalam keluarga bersifat kodrati, maka hal ini harus menjadi pedoman pendidikan di luar rumah, karena anak harus terus mengembangkan kualitas dirinya, maka dalam hal ini tidaklah mungkin diperoleh hanya dalam keluarga. Untuk itu anak membutuhkan lingkungan pendidikan sekolah dan lembaga-lembaga lainnya. Dalam hal ini pendidikan keluarga harus tetap menjadi dasar yang melandasinya.67
Kemandirian belajar dan perilaku anak dapat dihasilkan dari
kondisi rumah tangga dan perilaku keluarganya, keteraturan yang tampak
pada perabot rumah tangga serta kerapian dalam penempatannya akan
dapat berpengaruh pada anak sehingga ia akan senantiasa berdisiplin dan
mandiri.
Demikianlah, keluarga dalam pendidikan anak menempati posisi
penting dalam pembinaan pendidikan kedisiplinan dan kemandirian belajar
serta perilaku anak.
b. Lembaga Pendidikan
Lembaga lain yang menjadi sumber pembinaan anak adalah
sekolah, yang dalam banyak hal memiliki kelebihan yang di bandingkan
dengan pendidikan keluarga. Hanya saja keduanya memiliki tujuan yang
sama, untuk itu masing-masing harus sejalan, selaras dan serasi.
Sekolah adalah lembaga pendidikan pelengkap yang merupakan
pengembangan dari pendidikan keluarga, oleh karenanya sekolah harus
mempersiapkan rencana hubungan dengan orang tua untuk mengetahui
segala persoalan anak dalam keluarganya yang perlu dibetulkan. Dalam
hal ini perlu adanya kerjasama antara keluarga dan lembaga pendidikan.
“Saling memperbaiki antara keadaan rumah dan sekolah untuk
67 Bakri Yusuf Barmawi, Pembinaan Kehidupan Beragama Islam pada Anak, (Semarang: Bina Utama, 1993), hlm. 8
40
menghilangkan apa yang menjadi problem anak, agar tidak menjadi
pertentangan antara siswa di rumah dan di sekolah.68
Kemudian dengan belajar mandiri di rumah secara rutin dan teratur
untuk mempelajari setiap materi yang diberikan oleh guru dan
menguraikannya dengan bahasa sendiri, meringkasnya kemudian mencoba
membuat pertanyaan dan menjawabnya sendiri maka akan menumbuhkan
kreativitas dan inisiatif dalam otak diri sendiri. Apalagi jika dalam belajar
mandiri dituntut agar siswa tidak hanya menghafal pelajaran yang
kemudian mudah terlupakan, lebih jauh dari itu siswa juga mampu
menguraikan materi dengan penjelasan bahasa sendiri yang tentunya tidak
mudah hilang, karena mengkontruksikan kalimat dengan pengetahuan
sendiri akan mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang persoalan
itu, sehingga pengetahuan dari sort term memory akan masuk pada
pegetahuan lingkup long term memory.
Dalam kemandirian belajar, pola pembinaan orang tua memberikan
arah bagi anak-anaknya untuk memiliki sikap yang tidak terpengaruh oleh
orang lain dan bisa memecahkan sendiri permasalahan tanpa bantuan
orang lain.
Antara pendidikan dan mendidik merupakan kaitan yang sangat
erat, sebagaimana kita ketahui pendidikan mempengaruhi cara pandang
dan berfikir seseorang. Jadi bila di tarik suatu kesimpulan bahwa
seseorang yang memiliki pengetahuan lebih banyak akan mempunyai
metode yang banyak dalam mendidik, dan seseorang yang memiliki
tingkat pendidikan yang tinggi maka akan lebih luas wawasannya dan
memiliki pengetahuan yang luas dalam mendidik anak.
68 Sanafiah Faisal, Pendidikan Luar Sekolah, (Surabaya: Usaha Nasional, 1981), hlm. 41
41
E. PENELITIAN YANG RELEVAN
Untuk memperjelas posisi penulis dalam penelitian ini, perlu ditinjau
beberapa penelitian yang ada relevansinya dengan penelitian yang penulis
laksanakan dalam penelitian ini.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Nur Hidayah (3197024) yang
berjudul Studi Korelasi antara Tingkat Pendidikan dengan Perhatian Orang
Tua terhadap Belajar Anak, yang hasilnya terdapat hubungan antara tingkat
pendidikan dengan perhatian orang tua terhadap belajar anak.69
Sedangkan penelitian yang akan penulis lakukan adalah latar belakang
pendidikan orang tua yang tentunya berbeda dengan tingkat pendidikan orang
tua, karena pada latar belakang pendidikan orang tua lebih luas dengan tingkat
pendidikan orang tua yang hanya mencakup pada pendidikan formal.
Sedangkan latar belakang pendidikan mencakup pendidikan sekolah dan
pendidikan luar sekolah.
Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Nur Syuhud (195070) yang
berjudul Pengaruh tingkat pendidikan agama orang tua terhadap prestasi
belajar PAI Siswa SD Karang rowo 01 Wonosalam Demak yang hasilnya
terdapat pengaruh antara tingkat pendidikan terhadap prestasi belajar siswa SD
Karangrowo 01 Wonosalam Demak.70
Adapun dalam penelitian yang penulis lakukan adalah kemandirian
belajar siswa yang jelas berbeda dengan prestasi belajar.
Dari sini jelas bahwa tingkat pendidikan orang tua dan pola
pembinaannya mempunyai pengaruh dalam sikap kemandirian anak
69 Nur Hidayah, Skripsi: Studi Korelasi antara Tingkat Pendidikan dengan Perhatian
Orang Tua terhadap Belajar Anak, (Semarang: Fak. Tarbiyah IAIN Walisongo, 2002) 70 Nur Syuhud, Skripsi : Pengaruh tingkat pendidikan agama orang tua terhadap prestasi
belajar PAI Siswa SD Karang rowo 01 Wonosalam Demak, (Semarang: Fak. Tarbiyah SETIA-WS, 1998)
42
F. HIPOTESIS PENELITIAN
Hipotesis adalah jawaban yang bersifat sementara terhadap
permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui data yang terkumpul.71
Hipotesis yang peneliti ajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Terdapat pengaruh positif dari latar belakang pendidikan orang tua
terhadap kemandirian belajar siswa di SMP Hasanuddin 6 Semarang.
2. Terdapat pengaruh positif dari pola pembinaan orang tua terhadap
kemandirian belajar siswa di SMP Hasanuddin 6 Semarang.
3. Terdapat pengaruh positif dari latar belakang pendidikan dan pola
pembinaan orang tua secara bersama-sama.terhadap kemandirian belajar
siswa di SMP Hasanuddin 6 Semarang.
71 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka
Cipta, 1998), hlm. 67