Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pertimbangan Dasar Penerapan Ergonomi
Istilah ergonomi diperkenalkan pertama kali oleh Jastrzebowski pada
tahun 1857 yang berasal dari bahasa Yunani yaitu ergein yang artinya bekerja.
Ergein berasal dari dua kata yaitu “ergos” yang berarti kerja dan “nomos” yang
berarti hukum alam (natural law), sehingga ergonomi berarti peraturan atau tata
cara kerja yang alamiah (Hafid, 2002). Menurut Manuaba (2000), ergonomi
adalah ilmu, teknologi dan seni yang berupaya menyerasikan alat, cara dan
lingkungan kerja yang sehat, aman, nyaman dan efisien yang setinggi-tingginya.
Ergonomi sebagai disiplin ilmu bersifat multidisiplin, di mana keilmuannya
terintegrasi dengan aspek-aspek fisiologis, psikologis, anatomi, hiegine, teknologi
dan praktiknya.
Ergonomi adalah suatu cabang ilmu yang secara sistematis memanfaatkan
informasi-informasi mengenai sifat, kemampuan dan keterbatasan manusia untuk
merancang suatu sistem kerja sehingga orang dapat hidup dan bekerja pada sistem
itu dengan baik, yaitu mencapai tujuan yang diinginkan melalui pekerjaan itu
dengan efektif, aman dan nyaman (Santosa, 2004).
Menurut Adiputra dkk. (2001), perkembangan industri yang cukup pesat,
namun tidak iringi perhatian terhadap lingkungan kerja dan peralatan kerja
dipastikan akan menimbulkan gangguan muskuloskeletal. Oleh karena itu,
menurut Manuaba (2000), ergonomi hendaknya diterapkan di berbagai aspek
13
pekerjaan, baik dalam industri besar, menengah maupun kecil. Penerapan konsep
ergonomi dapat mengatasi kasus-kasus yang sering terjadi pada buruh maupun
perusahaan itu sendiri. Dengan upaya ergonomi, kelelahan kerja maupun keluhan
muskuloskeletal yang dapat terjadi karena adanya pekerjaan yang monoton, kerja
fisik dan mental yang berat dan berlangsung lama, mikroklimat yang buruk,
masalah psikologi dan bekerja dengan perasaan sakit, kurang energi dan adanya
penyakit dan segala macam beban tambahan yang tidak perlu bisa kita hindari.
Sehingga pada akhirnya segala kemampuan, kebolehan dan batasan seseorang
hanya ditunjukkan kepada pekerjaan pokok yang menjadi tugasnya. Dengan
demikian, pemikiran dan konsep-konsep yang mendasar perlu dipertimbangkan
sejak awal, agar tidak menjadi masalah yang fatal di masa yang akan datang. Hal
ini dapat tercapai apabila terjadi kesesuaian antara pekerja dengan pekerjaannya
(fitting the task to the person and fitting the person to the task) (Grandjean dan
Kroemer, 2000).
Ergonomi menempatkan manusia sebagai unsur utama dalam sebuah
pekerjaan dengan mempertimbangkan kemampuan, kebolehan dan batasannya.
Ergonomi berusaha menciptakan keserasian antara pekerjaan dengan alat yang
digunakan, sistem yang mendukung serta kondisi lingkungan kerja yang optimal,
sehingga bekerja akan terasa nyaman serta meminimalisasi kelelahan dan
kecelakaan akibat kerja (Josephus, 2009).
Delapan aspek ergonomi merupakan salah satu pendekatan ergonomi
untuk menilai hingga memperbaiki suatu kondisi kerja pada suatu tempat
(Manuaba, 2006). Delapan aspek tersebut adalah:
14
1) Penggunaan tenaga otot
Batas-batas kemampuan baik gerakan maupun kekuatan otot
perlu diperhatikan di dalam merancang kondisi kerja. Penggunaan
tenaga otot hendaknya memperhatikan gerakan alamiah dari otot
bersangkutan atau gerakan otot tersebut tidak bertentangan dengan
gerakan fisiologis otot (Josephus, 2009).
2) Sikap kerja
Sikap kerja yang tidak alamiah atau sikap kerja paksa dapat
terjadi karena penggunaan alat kerja atau stasiun kerja yang tidak
sesuai antropometri pekerja (Grandjean dan Kroemer, 2000; Manuaba,
2000). Sikap kerja yang tidak alamiah baik saat memegang,
mengangkat dan mengangkut, duduk atau berdiri terlalu lama dan lain
sebagainya dapat memicu timbulnya kelelahan maupun keluhan
muskuloskeletal bahkan cedera pada pekerja.
3) Nutrisi
Pemenuhan kebutuhan kalori pekerja harus disesuaikan dengan
karakteristik pekerjaan serta beban kerja suatu pekerjaan. Pemenuhan
kebutuhan nutrisi yang cukup dapat mengoptimalkan kemampuan
kerja dan meningkatkan produktivitas kerja (Josephus, 2009).
Pemenuhan kebutuhan kalori terutamanya dapat dilakukan pekerja
pada saat jam istirahat.
15
4) Lingkungan kerja
Baik secara langsung maupun tidak langsung kondisi
lingkungan kerja sangat berpengaruh terhadap kinerja seseorang
(Manuaba, 2000). Lingkungan kerja secara umum terdiri atas
lingkungan kerja fisik dan lingkungan kerja nonfisik (Sedarmayanti,
2009). Lingkungan kerja fisik secara umum terkait dengan suhu,
kelembapan, penerangan, kebisingan, getaran dan radiasi. Paparan
kimia seperti debu, gas dan cairan serta kondisi biologis seperti
adanya kuman, virus, jamur dan parasit juga merupakan bagian dari
lingkungan kerja fisik yang perlu dipertimbangkan. Sedangkan
kondisi lingkungan kerja nonfisik terkait hubungan antar sesama
pekerja dan masalah sosial adat dan agama.
5) Waktu kerja
Delapan jam per hari termasuk waktu istirahat merupakan
waktu kerja maksimal di mana seseorang dapat bekerja dengan baik
dengan kondisi lingkungan kerja yang normal. Namun, hal ini tidak
berlaku untuk pekerja yang bekerja pada lingkungan kerja yang
ekstrem seperti lingkungan kerja panas atau dingin. Perpanjangan
waktu kerja sebaliknya dapat mengurangi performa kerja sehingga
menurunkan hasil kerja dan mempunyai kecenderungan untuk
menimbulkan kelelahan, gangguan/penyakit dan kecelakaan
(Suma’mur, 2009; Grandjean dan Kroemer, 2000).
16
6) Sistem informasi
Sistem informasi terkait dengan penyampaian suatu informasi
yang berhubungan dengan cara kerja, prosedur kerja, himbauan,
peringatan, petunjuk dan lainnya terkait proses produksi yang
dilakukan. Terdapat beberapa sistem yang digunakan untuk
menyampaikan informasi, di antaranya: komunikasi lisan, informasi
tertulis atau berupa slogan-slogan dan petunjuk kerja yang dipasang di
alat kerja, mesin atau tempat-tempat strategis yang dapat dilihat
dengan mudah oleh pekerja (Grandjean & Kroemer, 2000; Manuaba,
2005).
7) Kondisi sosial budaya
Harmonisasi hubungan di lingkungan kerja baik antara sesama
pekerja, dengan atasan atau bawahan dan lebih jauh lagi hubungan
dengan keluarga dan masyarakat, menyebabkan pekerja lebih mampu
berkonsentrasi pada tugas dan pekerjaannya, sehingga pencapaian
produktivitas bisa optimal (Nala, 2002; Josephus, 2009).
8) Interaksi manusia-mesin
Mesin termasuk alat bantu yang diharapkan dapat membantu
pekerja pada proses produksi. Apabila mengingat prinsip ergonomi,
maka desain dan cara kerja mesin hendaknya disesuaikan dengan
memperhatikan kemampuan, kebolehan dan keterbatasan manusia
(fitting the job to the man) (Grandjean & Kroemer, 2000; Manuaba,
2005).
17
Pekerjaan menjahit juga merupakan salah satu pekerjaan yang bekerja
dengan menggunakan tenaga otot. Selama proses menjahit dengan
mengoperasikan mesin jahit, penggunaan tenaga otot lebih kepada adanya
kontraksi pada satu jenis otot dengan pengulangan cukup tinggi. Selain itu sikap
kerja penjahit yaitu sikap kerja duduk dalam jangka waktu lama serta dengan
pekerjaan yang monoton, tentu berpengaruh terhadap kelelahan maupun keluhan
muskuloskeletal yang dialami penjahit. Penjahit yang bekerja di PT. Fussion
Hawai, walaupun dengan kondisi lingkungan kerja yang memadai, baik dilihat
dari lingkungan fisik maupun lingkungan nonfisik, namun ketiadaan waktu
istirahat pendek dengan waktu kerja yang panjang ditambah tidak adanya
pemenuhan kebutuhan kalori kerja yang memadai tentu akan berpengaruh pada
terjadinya kelelahan dan pada akhirnya memengaruhi produktivitas kerja. Dalam
pekerjaan menjahit, interaksi antara penjahit dan mesin jahit terjadi hampir di
sepanjang waktu kerja. Oleh karena itu, cara dan sistem kerja mesin menjadi hal
yang tidak asing bagi penjahit, tanpa terlepas dari pengetahuan pekerja akan
kemungkinan risiko yang dapat terjadi ketika menggunakan mesin tersebut.
2.2 Pencegahan Keluhan Muskuloskeletal
Penyakit musculoskeletal disorder (MSDs) ini diterjemahkan sebagai
kerusakan trauma kumulatif. Terjadi akibat proses penumpukan cedera atau
kerusakan kecil-kecil pada sistem muskuloskeletal akibat trauma berulang yang
setiap kalinya tidak dapat sembuh sempurna sehingga membentuk kerusakan
cukup besar untuk menimbulkan rasa sakit (Utomo dan Pujiastuti, 2003).
18
Gangguan pada sistem muskuloskeletal ini hampir tidak pernah terjadi
langsung, tetapi lebih merupakan suatu akumulasi dari benturan-benturan kecil
maupun besar yang terjadi secara terus-menerus dan dalam waktu yang relatif
lama, bisa dalam hitungan hari, bulan ataupun tahun, tergantung dari berat
ringannya trauma sehingga akan terbentuk cedera yang cukup besar yang
diekspresikan sebagai rasa sakit atau kesemutan, nyeri tekan, pembengkakan dan
gerakan yang terhambat atau kelemahan pada jaringan anggota tubuh yang
terkena trauma (Nurmianto, 2004).
Menurut Grandjean dan Kroemer (2000), keluhan muskuloskeletal adalah
keluhan pada bagian-bagian otot skeletal yang dirasakan seseorang mulai dari
keluhan yang sangat ringan sampai sakit. Apabila otot menerima beban statis
secara berulang-ulang dan dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan keluhan
hingga kerusakan muskuloskeletal.
Menurut Tarwaka dkk. (2004), keluhan muskuloskeletal adalah keluhan
pada bagian-bagian otot skeletal yang dirasakan oleh seseorang mulai dari
keluhan yang sangat ringan sampai sakit. Keluhan hingga kerusakan inilah yang
biasanya diistilahkan dengan keluhan musculoskeletal disorders (MSDs) atau
cedera pada sistem muskuloskeletal. Menurut Grandjean dan Kroemer (2000),
keluhan otot skeletal pada umumnya terjadi karena kontraksi otot yang berlebihan
akibat pemberian beban kerja yang terlalu berat dengan durasi pembebanan yang
panjang. Suplai oksigen ke otot menurun, proses metabolisme karbohidrat
terhambat dan sebagai akibatnya terjadi penimbunan asam laktat yang
menyebabkan timbulnya rasa nyeri otot.
19
Keluhan pada sistem muskuloskeletal dapat disebabkan oleh beberapa hal,
di antaranya: 1) memaksakan angkat angkut beban yang terlalu berat; 2)
melakukan gerakan tertentu yang berulang; 3) sikap tubuh yang tidak ergonomis
ketika duduk, berdiri dan beraktivitas; 4) menggunakan teknik pengangkatan yang
salah; dan 5) tekanan kerja (Cani-news, 2006; Leah, 2011).
Terdapat beberapa alat ukur ergonomi yang digunakan untuk mengukur
adanya keluhan muskuloskeletal. Menurut Tarwaka (2010), metode Nordic Body
Map (NBM) merupakan metode yang digunakan untuk menilai tingkat keparahan
(severity) atas terjadinya gangguan atau cedera pada otot-otot skeletal. Aplikasi
metode NBM dengan menggunakan lembar kerja berupa peta tubuh (body map).
Nordic body map meliputi 28 bagian otot-otot skeletal pada kedua sisi tubuh
kanan dan kiri yang dimulai dari anggota tubuh bagian atas yaitu otot leher sampai
dengan bagian paling bawah yaitu otot pada kaki. Desain penilaian menggunakan
skor (misalnya empat skala likert), maka setiap skor atau nilai haruslah
mempunyai definisi operasional yang jelas dan mudah dipahami oleh responden.
Total skor individu dari seluruh otot skeletal (28 bagian otot skeletal) dihitung
untuk dapat digunakan dalam memasukkan data statistik. Berikut adalah
klasifikasi tingkat risiko otot skeletal berdasarkan skor kuesioner nordic body
map.
20
Tabel 2.1
Klasifikasi Tingkat Risiko Otot Skeletal Berdasarkan Total Skor Individu
No Total skor
individu
Tingkat
risiko Tindakan perbaikan
1 28 - 49 Rendah Belum diperlukan tindakan perbaikan
2 50 - 70 Sedang Mungkin diperlukan tindakan perbaikan
3 71 - 91 Tinggi Diperlukan perbaikan segera
4 92 – 112 Sangat tinggi Diperlukan tindakan menyeluruh dan sesegera
mungkin
Sumber: Tarwaka, 2011
Pengukuran adanya keluhan muskuloskeletal lainnya di antaranya:
1) Tabel psikofisik merupakan penilaian yang digunakan untuk
mengevaluasi pemindahan material secara manual tentang berapa
banyak kapasitas pekerja dalam mengangkat, menurunkan,
mendorong, menarik dan membawa beban didasari oleh ilmu psikologi
(Snook, 2005)
2) Pengukuran dengan video camera. Setiap tahapan aktivitas kerja
direkam dengan video camera, selanjutnya hasil rekaman ini
digunakan sebagai dasar untuk melakukan analisis terhadap sumber
terjadinya keluhan otot (Rodgers, 2005)
3) Quick Exposure Checklist (QEC) merupakan bentuk penilaian objektif
terhadap risiko cedera di tempat kerja terhadap keluhan
muskuloskeletal (Li dan Buckle, 2004).
21
Trauma jaringan timbul karena kronisitas atau berulang-ulangnya proses
penggunaan tenaga yang berlebihan, peregangan berlebihan (overstretching) atau
penekanan berlebihan (overcompression) pada suatu jaringan. Jaringan yang
terkena bisa tendon, sarung tendon, saraf, pembuluh darah, ligamen daripada
tangan, pergelangan tangan, siku, bahu, leher, pinggang, pangkal paha, lutut dan
pergelangan kaki (Utomo dan Pujiastuti, 2003).
Occupational Safety and Health Adminstration (OSHA) (2010),
mendefinisikan MSDs adalah suatu gangguan muskuloskeletal yang ditandai
dengan terjadinya sebuah luka pada otot, tendon, ligamen, saraf, sendi, kartilago,
tulang atau pembuluh darah pada tangan, kaki, leher, atau punggung. MSDs dapat
disebabkan atau diperburuk oleh pekerjaan, lingkungan kerja dan performa kerja.
MSDs dapat menjadi pemicu respon maladaptif pada pekerja seperti malas dalam
melakukan pekerjaannya, terlambat atau tidak masuk kerja, berdampak pada hasil
kerja yang tidak optimal serta memengaruhi penghasilan pekerja. Faktor risiko
timbulnya keluhan MSDs tersebut adalah beban kerja yang tinggi atau berat,
pekerjaan berulang, sikap kerja yang salah, serta stres (Tarwaka, 2011; Altwood
dkk., 2004).
Posisi duduk statis disertai dengan sikap tubuh yang tidak ergonomis saat
bekerja akan menyebabkan adanya penekanan pada bagian otot tubuh tertentu
sehingga berdampak pada terganggunya sirkulasi darah di dalam tubuh dan
berkurangnya pasokan oksigen (O2) yang akan menyebabkan terjadinya
penimbunan asam laktat di dalam otot tubuh. Penimbunan asam laktat ini dapat
menyebabkan rasa pegal, tegang dan nyeri otot (Guyton dan Hall, 2000). Samara
22
(2005) menyatakan bahwa terlalu lama duduk dengan posisi yang salah akan
menyebabkan ketegangan otot-otot dan keregangan ligamentum tulang belakang
serta membuat tekanan abnormal dari jaringan sehingga menyebabkan rasa sakit.
Samara (2005) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa sikap tubuh
yang tidak ergonomis saat bekerja yaitu dengan posisi kerja duduk statis dalam
jangka waktu yang lama (91-300 menit) mempunyai risiko yang lebih besar untuk
mengalami nyeri punggung bawah. Hasil yang sama juga terdapat dalam
penelitian Idyan (2008), bahwa ada hubungan antara lama duduk terhadap
kejadian nyeri pinggang pada mahasiswa ekstensi 2005 Fakultas Ilmu Kesehatan,
Universitas Indonesia, yaitu dari 35 responden, 17 responden (48,6%) di
antaranya mengalami nyeri setelah duduk kurang dari tiga jam saat perkuliahan,
dan sebanyak 18 responden (51,4%) mengalami nyeri pinggang setelah duduk
antara tiga sampai dengan enam jam saat perkuliahan. Sundari (2011), juga
menyatakan terdapat hubungan antara sikap kerja dan beban kerja pada keluhan
muskuloskeletal pekerja pembentuk keramik.
Secara garis besar keluhan muskuloskeletal dapat dikelompokkan menjadi
dua, yaitu (Grandjean dan Kroemer, 2000):
a. Keluhan sementara (reversible), yaitu keluhan otot yang terjadi pada
saat otot menerima beban statis, namun demikian keluhan tersebut
akan segera hilang apabila pemberian beban dihentikan
b. Keluhan menetap (persistent), yaitu keluhan otot yang bersifat
menetap, walaupun pemberian beban kerja telah dihentikan, namun
rasa sakit pada otot masih terus berlanjut.
23
Kontraksi otot yang berlebihan akibat pemberian beban kerja yang terlalu
berat dengan durasi pembebanan yang panjang dapat menimbulkan keluhan
muskuloskeletal. Sebaliknya, keluhan otot kemungkinan tidak terjadi apabila
kontraksi otot hanya berkisar antara 15-20% dari kekuatan otot maksimum.
Namun, apabila kontraksi otot melebihi 20% maka peredaran darah ke otot
berkurang dan suplai oksigen ke otot menurun, proses metabolisme karbohidrat
terhambat dan sebagai akibatnya terjadi penimbunan asam laktat yang
menyebabkan timbulnya rasa nyeri di otot (Grandjean dan Kroemer, 2000).
Kelainan pada sistem muskuloskeletal atau musculosceletal disorders
(MSDs) dapat dibedakan menurut beratnya gangguan yaitu ringan, sedang dan
berat. Adapun kondisi-kondisi yang termasuk gangguan muskuloskeletal di
antaranya sebagai berikut: bursitis, tendinitis, tenosinovitis, trigger finger, tension
neck syndrome, dequervain’s syndrome, carpal tunnel syndrome, guyon’n tunnel
syndrome serta low back pain (Merwe, 1998 dalam Susila, 2002).
2.3 Mengurangi Kelelahan Kerja
Kelelahan merupakan suatu perasaan yang bersifat subjektif yang akan
timbul setelah melakukan aktivitas tertentu dan mengarah pada kondisi
melemahnya tenaga untuk melakukan suatu kegiatan (Budiono dkk., 2003).
Berbagai keadaan yang disertai penurunan efisiensi dan kebutuhan dalam bekerja
menunjukkan adanya kelelahan. Melalui perasaan lelah tubuh memperlihatkan
bentuk mekanisme perlindungan dari kerusakan lebih lanjut sehingga kembali
dapat melakukan pemulihan (Suma’mur, 2009).
24
Berdasarkan proses yang terjadinya, kelelahan kerja dapat dibagi sebagai
berikut (Grandjean dan Kroemer, 2000):
1) Kelelahan otot (muscular fatigue)
Kelelahan otot merupakan fenomena berkurangnya kinerja otot
setelah terjadi tekanan fisik untuk suatu waktu tertentu. Gejala yang
ditunjukkan tidak hanya berupa berkurangnya tekanan fisik, namun
juga pada makin rendahnya gerakan (Budiono dkk., 2003).
Terdapat dua teori tentang terjadinya kelelahan otot, yaitu teori
kimia dan teori saraf pusat. Teori kimia menjelaskan bahwa terjadinya
kelelahan adalah akibat hilangnya efisiensi otot karena berkurangnya
cadangan energi dan meningkatnya sisa metabolisme di dalam otot,
sedangkan perubahan arus listrik pada otot dan saraf dianggap sebagai
penyebab sekunder. Pada teori saraf pusat menjelaskan bahwa
perubahan kimia yang terjadi mengakibatkan dihantarkannya
rangsangan saraf melalui saraf sensoris ke otak yang disadari sebagai
kelelahan otot. Rangsangan aferen ini menghambat pusat otak dalam
mengendalikan gerakan sehingga frekuensi potensial kegiatan pada sel
saraf menjadi berkurang. Ini akan mengakibatkan penurunan kekuatan
dan kecepatan kontraksi otot dan gerakan atas perintah kemauan
menjadi lambat (Tarwaka dkk., 2004).
2) Kelelahan umum (general fatigue)
Gejala utama kelelahan umum adalah suatu perasaan letih
secara menyeluruh yang mengakibatkan semua aktivitas menjadi
25
terganggu dan terhambat. Tidak terdapat gairah untuk bekerja baik
secara fisik maupun psikis, segalanya terasa berat dan merasa
“ngantuk” (Budiono dkk., 2003).
Mekanisme terjadinya kelelahan umum ini dipengaruhi oleh
aspek neurofisiologis dan hormonal. Pada aspek neurofisiologis
kelelahan terjadi terkait adanya sistem penghambat dan sistem
penggerak yang bekerja pada otak dan batang otak (interbrain and
medulla). Sistem penghambat bekerja terhadap thalamus dan sistem
penggerak terdapat dalam formasio retikularis (formatio reticularis).
Apabila pengaruh external lebih dominan, maka terjadi aktivasi sistem
penggerak yang menimbulkan rasa bersemangat, kesiagaan dan
kesiapan untuk bekerja. Akan tetapi apabila sistem penghambat lebih
dominan, maka akan timbul rasa malas, mengantuk, dan lesu. Secara
hormonal, level hormon adrenalin dalam tubuh berperan terhadap
tingkat kesiagaan (alertness). Aktivasi hormon ini dipengaruhi oleh
stimulus yang berasal dari luar tubuh, yang selanjutnya akan
mengaktifkan formatio retikularis dalam memperthankan kesiagaan.
Reticular activating system (RAS) bertanggungjawab terhadap reaksi
dalam waktu singkat, sedangkan reaksi dalam jangka waktu yang
lebih lama tergantung pada kerja hormon adrenalin (Grandjean dan
Kroemer, 2000).
Dengan konsep ini maka dapat dijelaskan bagaimana peristiwa
kelelahan yang dialami dapat menghilang seketika akibat adanya suatu
26
stimulus tertentu yang memengaruhi aktivasi sistem penggerak untuk
bekerja. Dalam hal ini, sistem penggerak tiba-tiba terangsang dan
dapat menghilangkan pengaruh dari sistem penghambat. Demikian
pula pada pekerjaan yang bersifat monoton, kelelahan terjadi karena
kuatnya hambatan dari sistem penghambat, walaupun sebenarnya
beban kerja tidak terlalu berat (Suma’mur, 2009).
Menurut Hasibuan (2010), berdasarkan waktu terjadinya kelelahan terdiri
atas: kelelahan akut yang merupakan kelelahan yang terjadi pada suatu organ atau
seluruh tubuh akibat kerja yang berlebihan; dan kelelahan kronis merupakan
kelelahan yang terjadi hampir setiap hari berkepanjangan, bahkan terjadi sebelum
suatu pekerjaan dimulai.
Menurut Suma’mur (2009), terdapat lima faktor penyebab kelelahan di
antaranya:
1) Keadaan monoton
2) Beban kerja dan lama kerja baik fisik maupun mental
3) Keadaan lingkungan kerja seperti cuaca kerja, penerangan dan
kebisingan
4) Keadaan kejiwaan seperti tanggung jawab, kekhawatiran dan konflik
5) Penyakit, perasaan sakit dan keadaan gizi.
Kelelahan dapat diatasi melalui proses pemulihan (recuperation) selama
siklus 24 jam sehingga dapat kembali ke kondisi seimbang. Proses pemulihan ini
terjadi terutama pada saat tidur di malam hari, waktu istirahat di siang hari dan
saat istirahat disela-sela waktu kerja (Grandjean dan Kroemer, 2000).
27
Menurut Umyati (2009), selain faktor penyebab kelelahan, terdapat pula
faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya kelelahan di antaranya:
a. Usia
Keterkaitan usia dengan kelelahan dipengaruhi oleh BMR (basal
metabolisme rate) individu tersebut. Dengan semakin bertambahnya
usia maka BMR akan semakin menurun dan kelelahan akan mudah
terjadi.
b. Jenis kelamin
Secara umum kekuatan fisik wanita hanya mempunyai dua per
tiga dari kemampuan fisik atau kekuatan otot laki-laki. Oleh karena itu,
pembagian tugas atau jenis pekerjaan tertentu harus disesuaikan dengan
kemampuan, kebolehan dan keterbatasan masing-masing individu,
termasuk berdasarkan jenis kelamin pekerja, yang mana biasanya
pekerja wanita lebih teliti dan lebih tahan atau lentur dibandingkan laki-
laki.
c. Masa kerja
Menurut Amalia (2007), masa kerja adalah panjangnya waktu
terhitung mulai pertama kali pekerja masuk kerja hingga saat penelitian
berlangsung.
tingkat pengalaman kerja seseorang dalam bekerja akan
memengaruhi terjadinya kelelahan kerja. Di mana semakin
berpengalaman seseorang maka ia akan bekerja dengan efisien sehingga
meminimalisasi kelelahan yang dapat terjadi, namun bagi pekerja yang
28
baru, maka memerlukan usaha yang lebih besar dalam menyelesaikan
pekerjaannya karena kurangnya kemampuan untuk bekerja secara
efisien.
d. Status gizi
Dalam melakukan pekerjaan tubuh memerlukan energi. Namun,
apabila terdapat kekurangan energi baik secara kualitatif maupun
kuantitatif, maka dapat mengakibatkan gangguan kapasitas kerja
(Tarwaka dkk., 2004). Status gizi pekerja dapat diketahui melalui
pengukuran indeks massa tubuh (IMT). Cara mengukur IMT adalah
sebagai berikut (Almatsier, 2004):
IMT = Berat badan (kg)
(Tinggi badan (m))�………………………………………… . . (2.1)
Tabel 2.2
Batas Ambang IMT untuk Indonesia
Kategori IMT
Kurus < 18,5
Normal 18,5-25
Gemuk > 25
Sumber: Almatsier, 2004
Menurut Hartz dkk. (1999) dalam Safitri (2008), peningkatan
kelelahan kerja berhubungan dengan peningkatan IMT/IMT lebih
tinggi.
29
e. Jam kerja
Waktu kerja yang panjang dan bahkan lebih dari waktu kerja
pada umumnya biasanya tidak disertai efisiensi yang tinggi, bahkan
biasanya terlihat penurunan produktivitas serta kecenderungan untuk
timbulnya kelelahan, penyakit dan kecelakaan kerja (Suma’mur, 2009).
f. Keadaan monoton
Pembebanan otot secara statis dan pekerjaan yang bersifat
berulang (refetitive), bila dipertahankan dalam waktu yang cukup lama
dapat mengakibatkan Repetition Strain Injuries (RSI), yaitu nyeri otot,
tulang, tendon, dan lain-lain (Nurmianto, 2004).
Menurut Marfu’ah (2007), pembebanan kerja fisik baik statis
maupun dinamis dapat memengaruhi kelelahan tubuh. Pada kerja otot
statis akan terjadi penekanan pada pembuluh darah dan penurunan
aliran darah pada otot-otot menetap untuk periode waktu tertentu yang
menyebabkan pembuluh darah tekanan dan peredaran darah berkurang.
Tidak adanya variasi kerja akan menimbulkan kejenuhan kerja.
Kejenuhan ini dapat terjadi karena pekerja melakukan pekerjaan yang
selalu sama setiap harinya, keadaan seperti ini cukup berpotensi untuk
menyebabkan terjadinya kelelahan kerja (Sisinta, 2005).
g. Beban kerja
Besarnya beban kerja hendaknya disesuaikan dengan
kemampuan fisik, kemampuan kognitif, keterbatasan maupun
kebolehan manusia yang menerima beban tersebut. Berat ringannya
30
beban kerja suatu pekerjaan dapat digunakan untuk menentukan berapa
lama waktu kerja optimal suatu pekerjaan disesuaikan dengan
kemampuan dan kapasitas kerja pekerja. Semakin berat beban kerja
suatu pekerjaan yang diterima, maka semakin pendek waktu pekerja
untuk bekerja tanpa kelelahan dan gangguan fisiologis yang berarti dan
begitu pula sebaliknya (Tarwaka, 2004).
h. Lingkungan kerja
Faktor lingkungan kerja dalam hal ini adalah termasuk faktor
fisik, faktor kimia, faktor biologis dan faktor psikologis. Faktor
lingkungan merupakan faktor yang berpengaruh terhadap kesehatan dan
keselamatan kerja serta dapat menimbulkan gangguan terhadap suasana
kerja (Tarwaka dkk., 2004).
Menurut Suma’mur (2009) dan Sedarmayanti (2009), faktor
lingkungan seperti suhu, kebisingan, pencahayaan dan vibrasi
berpengaruh terhadap kenyamanan fisik, sikap mental dan kelelahan
kerja.
Penerangan merupakan sumber pencahayaan yang dapat
menerangi objek atau benda-benda yang ada di tempat kerja, alat
maupun kondisi tempat kerja. Penerangan yang memadai akan
memberikan kesan pemandangan kerja yang nyaman serta dapat
menghindari kecelakaan kerja yang mungkin terjadi (Suma’mur, 2009).
31
Standar pencahayaan lingkungan kerja untuk perindustrian
menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 405/Menkes/SK/XI/
2002 sebagai berikut:
Tabel 2.3
Standar Pencahayaan Lingkungan Kerja
Jenis Kegiatan
Tingkat
Pencahayaan
minimal (lux)
Keterangan
Pekerjaan kasar
dan tidak terus
menerus
100 Ruang penyimpanan dan ruang
paralatan atau instalasi yang memerlu-
kan pekerjaan yang kontinu
Pekerjaan kasar
dan terus menerus
200 Pekerjaan dengan mesin dan perakitan
kasar
Pekerjaan rutin 300 Ruang administrasi, ruang kontrol,
pekerjaan mesin dan perakitan atau
penyusun
Pekerjaan agak
halus
500 Pembuatan gambar atau bekerja
dengan mesin kantor pekerja peme-
riksaan atau pekerjaan dengan mesin
Pekerjaan halus 1000 Pemilihan warna, pemrosesan tekstil,
pekerjaan mesin halus dan perakitan
halus
Pekerjaan amat
halus
1500 (tidak
menimbulkan
bayangan)
Mengukir dengan tangan, pemeriksaan
pekerjaan mesin dan perakitan yang
sangat halus
Pekerjaan terinci 3000 (tidak
menimbulkan
bayangan)
Pemeriksaan pekerjaan, perakitan
sangat halus
Sumber: Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 405/Menkes/SK/XI/2002
32
Bagi orang Indonesia suhu nyaman untuk bekerja adalah 24º-
26°C. Penurunan efisiensi kerja, timbulnya rasa kaku atau kurangnya
koordinasi otot dapat terjadi pada suhu dingin. Sedangkan suhu panas
terutama suhu melebihi 32oC mengakibatkan rasa cepat lelah,
penurunan prestasi kerja pikir, mengurangi kelincahan, mengganggu
kecermatan kerja otak, memperpanjang waktu reaksi dan waktu
pengambilan keputusan, mengganggu koordinasi saraf perasa dan
motoris (Suma’mur, 2009). Kemampuan tubuh untuk menyesuaikan
diri dengan temperatur luar adalah jika perubahan temperatur luar tubuh
tersebut tidak melebihi 20% untuk kondisi panas dan 35% untuk
kondisi dingin. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor:
405/Menkes/SK/XI/2002 standar suhu lingkungan kerja untuk
perindustrian yaitu 18º-30ºC.
Kebisingan adalah semua suara yang tidak dikehendaki yang
bersumber dari alat-alat proses produksi dan atau alat-alat kerja yang
pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran.
Menurut Sasongko (2000), kebisingan merupakan bunyi yang tidak
dikehendaki karena tidak sesuai dengan konteks ruang dan waktu
sehingga dapat menimbulkan gangguan terhadap kenyamanan dan
kesehatan. Bunyi dikatakan bising apabila melebihi ambang batas
kebisingan yaitu 85 dB.
Menurut Budiono dkk. (2003), getaran adalah gerakan dengan
arah bolak- balik benda atau media dari kedudukan kesetimbangannya
33
yang terjadi secara teratur. Getaran dapat terjadi saat mesin atau alat
dijalankan dengan motor sehingga pengaruhnya bersifat mekanis.
Getaran di bawah frekuensi 20 Hz menyebabkan bertambahnya
tonus otot-otot sehingga dapat menyebabkan kelelahan. Sebaliknya
frekuensi di atas 20 Hz menyebabkan pengenduran otot. Getaran
mekanis yang terdiri dari campuran aneka frekuensi bersifat
menegangkan dan melemaskan tonus otot secara serta merta berefek
melelahkan (Suma’mur, 2009). Besarnya getaran ini ditentukan oleh
intensitas, frekuensi getaran dan lamanya getaran itu berlangsung.
Sedangkan anggota tubuh manusia juga memiliki frekuensi alami di
mana apabila frekuensi ini beresonansi dengan frekuensi getaran akan
menimbulkan gangguan-gangguan antara lain memengaruhi konsentrasi
kerja, mempercepat datangnya kelelahan, gangguan-gangguan pada
anggota tubuh seperti mata, saraf, otot-otot, dan lain-lain
(Wignjosoebroto, 2003).
i. Status kesehatan
Produktivitas kerja juga ditunjang oleh kesegaran jasmani dan
rohani pekerja, baik saat sejak mulai memasuki pekerjaan dan terus-
menerus dipelihara selama bekerja, bahkan kemudian sampai setelah
berhenti bekerja.
j. Postur kerja
Jenis pekerjaan memengaruhi posisi tubuh saat bekerja. Di mana
setiap posisi tersebut memiliki pengaruh berbeda-beda terhadap tubuh
34
pekerja (Setyawati, 2001). Perencanaan dan penyesuaian alat yang tepat
bagi tenaga kerja baik dari jenis pekerjaannya dan juga posisi kerja
dapat meningkatkan produktivitas, menunjang keselamatan dan
kesehatan kerja serta kelestarian lingkungan kerja, dan juga
memperbaiki kualitas produk dari suatu proses produksi.
Pengukuran secara langsung terhadap kelelahan belum ditemukan,
sehingga pengukuran kelelahan dilakukan berdasarkan beberapa indikator yang
dapat dijadikan pertimbangan. Di mana pengukuran biasanya dilakukan sebelum
mulai bekerja, saat bekerja dan setelah selesai bekerja. Beberapa metode yang
dapat digunakan untuk mengukur kelelahan di antaranya (Grandjean dan
Kroemer, 2000):
1) Kualitas dan kuantitas kerja yang dilakukan
2) Perasaan kelelahan secara subjektif (subjective feelings of fatigue)
3) Electroencephalography (EEG)
4) Uji hilangnya kelipan (flicker fussion-test)
5) Uji psikomotor (psychomotor test)
6) Uji mental
1) Kualitas dan kuantitas kerja yang dilakukan
Kuantitas input dapat digambarkan sebagai jumlah item yang
diproses, waktu yang diperlukan untuk setiap item, atau jumlah hasil
yang terlihat per satuan waktu. Kelelahan dan kecepatan produksi
jelas memiliki hubungan satu sama lain yang saling memengaruhi,
35
namun hal ini tidaklah dapat diukur secara langsung sebab pada
dasarnya masih terdapat berbagai faktor lain yang memengaruhi hasil
produksi misalnya: target produksi, faktor sosial dan perilaku
psikologis terhadap pekerjaan.
Kelelahan kadang juga dihubungkan dengan kualitas output
yang dihasilkan (kerusakan produk, kesalahan produk dan penolakan
produk) atau dilihat dari tingginya frekuensi kecelakaan kerja yang
terjadi, namun sekali lagi kelelahan tidak dapat dilihat sebagai satu-
satunya faktor penyebab, sebab masih ada faktor lainnya yang harus
dipertimbangkan.
2) Perasaan kelelahan secara subjektif (subjective feelings of fatigue)
Kuesioner khusus dapat digunakan untuk menilai perasaan
kelelahan subjektif pekerja, salah satunya adalah kuesioner bi-polar.
Di mana dalam kuesioner ini pekerja akan diarahkan untuk memberi
tanda pada skala yang dibuat di antara dua keadaan perasaan yang
berlawanan. Prosedur lainnya yang dapat digunakan sehingga lebih
sederhana adalah dengan memberi pilihan di antara dua pernyataan
yang dapat dipilih oleh pekerja berdasarkan kondisi perasaan mereka
terkait kelelahan.
Kuesioner lain yang dapat digunakan untuk mengukur
kelelahan subjektif adalah kuesioner 30 item kelelahan. Kuesioner ini
diadopsi dari IFRC (Industrial Fatigue Research Committee of
Japanese Association of Industrial Health) yang dibuat pada tahun
36
1967. Kuesioner ini menggambarkan tiga indikasi kelelahan, yaitu 10
item pertama menggambarkan adanya pelemahan aktivitas, 10 item
kedua menggambarkan adanya pelemahan motivasi kerja dan 10 item
ketiga atau terakhir menggambarkan kelelahan fisik atau kelelahan
pada bagian tubuh. Kuesioner ini kemudian dikembangkan dalam
bentuk jawaban pertanyaan dalam 4 skala likert (Susetyo, 2008).
Semakin tinggi frekuensi gejala kelelahan yang dialami, maka
menunjukkan semakin tinggi tingkat kelelahan yang dialami, namun
kuesioner ini memiliki kelemahan, di mana tidak dapat dilakukan
evaluasi terhadap setiap item pertanyaan secara tersendiri. Klasifikasi
tingkat kelelahan subjektif dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2.4
Klasifikasi Tingkat Kelelahan Subjektif Berdasarkan Total Skor Individu
No Total skor
individu
Tingkat
risiko Tindakan perbaikan
1 30 – 52 Rendah Belum diperlukan tindakan perbaikan
2 53 – 75 Sedang Mungkin diperlukan tindakan perbaikan
3 76 – 98 Tinggi Diperlukan perbaikan segera
4 99 – 120 Sangat tinggi Diperlukan tindakan menyeluruh dan
sesegera mungkin
Sumber: Tarwaka, 2011
3) Electroencephalography (EEG)
EEG secara khusus dapat digunakan sebagai standar
pengukuran penelitian di laboratorium. Di mana variasi hasil data
pengukuran (peningkatan ritme gelombang alpha dan theta dan
37
reduksi gelombang beta) menunjukkan peningkatan sinkronisasi
dengan interpretasi yang memperlihatkan indikasi tingkat kelelahan
dan rasa kantuk.
4) Uji hilangnya kelipan (flicker fussion-test)
Kemampuan tenaga kerja untuk melihat kelipan akan
berkurang apabila dalam kondisi lelah. Waktu yang diperlukan untuk
jarak antara dua kelipan akan semakin panjang bila keadaan seseorang
semakin lelah. Namun, kini pengukuran dengan flicker fussion-test
sudah jarang digunakan karena hasilnya dianggap masih kontroversial.
5) Uji psikomotor (psychomotor test)
Uji psikomotor mengukur fungsi persepsi, interpretasi dan
reaksi motor dengan menggunakan alat digital reaction timer untuk
mengukur waktu reaksi. Waktu reaksi adalah jangka waktu dari
pemberian suatu rangsangan sampai kepada suatu saat kesadaran atau
dilaksanakan kegiatan. Uji waktu reaksi dapat menggunakan denting
suara, nyala lampu, sentuhan kulit atau goyangan badan. Apabila
terjadi pemanjangan waktu reaksi, maka merupakan petunjuk adanya
perlambatan pada proses faal saraf dan otot.
Waktu reaksi merupakan waktu untuk menghasilkan suatu
respon yang spesifik saat suatu stimulasi terjadi. Waktu reaksi
terpendek berkisar antara 150 hingga 200 milidetik, di mana waktu
reaksi tergantung dari stimulus yang dibuat, intensitas dan lamanya
perangsangan, umur subjek dan perbedaan individu lainnya.
38
6) Uji mental
Metode ini menggunakan konsentrasi sebagai salah satu
pendekatan untuk menguji ketelitian dan kecepatan dalam
menyelesaikan pekerjaan. Tes bourdon wiersma adalah salah satu tes
kognitif yang bersifat objektif yang dikembangkan pada tahun 1982
dengan tujuan untuk mengukur kelelahan. Tes ini dapat dipakai untuk
mengevaluasi konsentrasi, perhatian, ketelitian kerja, daya tahan
dalam bekerja serta kecepatan bekerja untuk tugas-tugas yang rutin
dan monoton. Hasil tes dengan menggunakan bourdon wiersma
menunjukkan bahwa semakin lelah seseorang maka tingkat kecepatan,
ketelitian dan konstansinya akan semakin rendah ataupun sebaliknya.
Tes bourdon wiersma lebih tepat untuk mengukur kelelahan akibat
aktivitas atau pekerjaan yang lebih bersifat mental.
2.4 Mekanisme Kontraksi Otot
Secara umum berdasarkan jenis selnya, terdapat tiga jenis otot, yaitu otot
rangka, otot polos dan otot jantung. Otot rangka merupakan bagian otot terbesar
yang menyusun seluruh tubuh, yaitu sekitar 40% dan sisanya 10% terdiri dari otot
polos dan otot jantung (Guyton & Hall, 2000).
Dalam hal ini konotasi otot yang dibahas adalah berkenaan dengan otot
rangka. Serabut-serabut otot bergabung dan membetuk serabut otot primer yang
disebut fasikulus. Serabut otot berdiameter berkisar 10-80 mikrometer
membentang di seluruh panjang otot. Masing-masing serabut otot biasanya hanya
39
dipersarafi oleh satu ujung saraf yang terletak di bagian tengah serabut. Serabut
otot dibungkus oleh membran sel tipis yang terdiri dari selapis tipis materi
polisakarida yang mengandung sejumlah fibril kolagen tipis yang disebut
sarkolema. Pada ujung serabut otot, sarkolema akan bersatu dengan serabut
tendon dan membentuk tendon otot yang kemudian menyusup ke tulang (Guyton
& Hall, 2000).
Serabut otot tersusun dari beberapa ratus sampai beberapa ribu miofibril.
Setiap miofibril tersusun atas filamen aktin dan miosin yang merupakan molekul
protein polimer besar yang berperan dalam proses kontraksi otot. Sebagian
filamen aktin dan miosin saling bertautan sehingga membuat pita terang dan gelap
pada miofibril. Pita terang pada miofibril hanya mengandung filamen aktin dan
disebut pita I sedangkan pita gelap mengandung miosin dan ujung-ujung filamen
aktin yang merupakan tepat untuk menumpang tindih filamen miosin yang disebut
pita A. Ujung-ujung filamen aktin melekat pada lempeng Z, dan dari lempeng ini
filamen aktin memanjang dalam dua arah untuk saling bertautan dengan filamen
miosin. Bagian di antara dua lempeng Z yang berurutan disebut dengan sarkomer.
Filamen aktin terdiri dari tiga komponen protein yaitu aktin, troponin,
tropomiosin. Afinitas troponin yang kuat terhadap ion-ion kalsium inilah yang
diduga mencetuskan terjadinya kontraksi otot (Guyton & Hall, 2000).
40
Gambar 2.1
Serabut Otot
Sumber: Kuliah Saraf Otot For Ergonomics, Dr. Adiatmika powerpoint hlm. 41
41
Kontraksi otot terjadi akibat adanya potensial aksi yang berjalan di
sepanjang saraf motorik sampai akson terminal ke sel otot, melalui eksositosis
asetilkolin prasinaps. Kontak asetilkolin dengan reseptor pascasinaps merangsang
aliran ion natrium ekstrasel ke intrasel membran sel otot sehingga terjadi potensial
aksi di dalam sel otot seperti di sarkolema, tubulus transversalis, tubulus
longitudinalis dan sisterna. Potensial aksi di sisterna akan merangsang sekresi
kalsium sisterna ke dalam miofilamen otot skeletal sehingga terjadi ikatan
kalsium–troponin. Ikatan troponin–kalsium akan menyebabkan lepasnya
tropomiosin dari aktin dan selanjutnya memungkinkan terjadinya kontak aktin dan
miosin sehingga terjadi pergeseran aktin di atas miosin (sliding mechanism) dan
timbul kontraksi otot. Pada saat potensial berkurang dan menghilang, yang
menunjukkan tidak adanya rangsangan lagi, maka kalsium akan kembali ke
sisterna sehingga kontak aktin dan miosin terlepas dan aktin kembali ke tempat
semula. Pada saat ini terjadi relaksasi otot (Guyton & Hall, 2000).
Selama proses kontraksi otot akan diperlukan ATP untuk menjamin
terjadinya: (1) pergeseran aktin di atas miosin; (2) pelepasan kontak aktin dan
miosin; serta (3) mengembalikan ion kalsium ke sisterna dengan pompa kalsium.
Ketersediaan energi ini tergantung pada ketersediaan oksigen dan zat makanan
yang dihantarkan oleh sirkulasi intramuskular (Guyton & Hall, 2000; Grandjean
& Kroemer, 2000; Cummings, 2003).
Sumber energi yang digunakan untuk kontraksi otot dapat berasal dari tiga
sumber yaitu: (1) kreatin fosfat; (2) glikogen; dan (3) metabolisme oksidatif.
Kreatin fosfat memiliki ikatan fosfat berenergi tinggi yang dapat digunakan untuk
42
membentuk ATP dari ADP. Namun, jumlahnya yang sangat kecil dalam otot
hanya dapat menimbulkan kontraksi otot maksimal selama lima sampai delapan
detik. Glikogen yang tersimpan di dalam otot menghasilkan ATP dan membentuk
kembali cadangan kreatin fosfat melalui proses glikolisis. Pemecahan glikogen
menjadi asam piruvat dan asam laktat secara enzimatis membebaskan energi yang
digunakan untuk mengubah ATP menjadi ADP. Reaksi glikolisis ini dapat terjadi
bahkan ketika tidak tersedia oksigen, sehingga kontraksi dapat dipertahankan
sampai beberapa detik hingga satu menit. Misalnya, pada kontraksi yang sifatnya
mendadak yaitu lari cepat 100 meter, maka pembentukan energi terjadi secara
anaerobik. Selain itu, kecepatan pembentukan ATP melalui proses glikolisis lebih
cepat dua setengah kali dari kecepatan pembentukan energi dari zat makanan sel
yang bereaksi dengan oksigen. Hasil pembentukan energi untuk kontraksi otot
yang berasal dari metabolisme oksidatif, 95% di antaranya digunakan oleh otot
untuk kontraksi jangka panjang yang berkesinambungan. Energi yang diperoleh
dari pemecahan karbohidrat digunakan pada dua sampai empat jam pertama oleh
kontraksi otot, namun apabila kontraksi otot berlangsung lebih lama lagi, maka
lemaklah yang akan dipecah untuk memenuhi energi sel dalam menghasilkan
energi (Guyton & Hall, 2000).
2.5 Workplace Stretching Exercise
Menurut Weerapong dkk. (2005), peregangan (stretching) adalah suatu
bentuk latihan fisik pada sekelompok otot atau tendon untuk melenturkan otot,
meningkatkan elastisitas dan memperoleh kenyamanan pada otot. Peregangan
43
juga dapat meningkatkan fleksibilitas, peningkatan kontrol otot dan rentang gerak
sendi sehingga digunakan sebagai terapi untuk mengurangi atau meringankan
kram (Magnusson dan Renstrom, 2006).
Leunes dan Nation (2006), mendefinisikan exercise sebagai bagian dari
kegiatan fisik yang ditandai oleh adanya komponen-komponen perencanaan,
aturan dan repetisi yang dilakukan untuk meningkatkan dan menjaga kebugaran
fisik. Exercise atau latihan fisik yang dilakukan dapat berupa latihan peregangan
(stretching exercise), seperti gerakan pada senam ergonomis.
Latihan peregangan sederhana selama 15 menit dapat membantu
menggerakkan bagian-bagian tubuh dan melawan rasa sakit dalam tubuh, serta
dapat menyembuhkan sakit otot (Triangto, 2005). Manfaat lain dari latihan
peregangan ini ialah memperkuat ligamen dan tendon, meningkatkan sirkulasi
darah ke otot, persendian dan selaput-selaput yang membungkusnya,
meningkatkan kelenturan dan jangkauan rentang gerak yang lebih luas serta
sebagai relaksasi otot untuk mengurangi nyeri dan ketidaknyamanan (Losyk,
2005).
Manfaat melakukan peregangan sebagai berikut (Alter, 2003; Hess and
Hecker, 2003; Lowe and Dick, 2014):
a) Meningkatkan fleksibilitas otot
b) Meningkatkan lingkup gerak sendi
c) Meningkatkan kebugaran fisik seseorang
d) Meningkatkan mental dan relaksasi fisik
e) Mengurangi risiko keseleo sendi dan cedera otot (kram)
44
f) Mengurangi risiko cedera punggung
g) Mengurangi rasa nyeri otot
h) Mengurangi rasa sakit yang menyiksa pada saat menstruasi
i) Mengurangi ketegangan otot
j) Mengurangi kelelahan pekerja
k) Meningkatkan panjang jaringan lunak (soft tissue)
l) Meningkatkan komplians jaringan sebagai persiapan pertandingan.
Secara sederhana, otot tersusun atas serat otot yang berkontraksi
(memendek) dan berelaksasi di bawah komando yang melalui sistem komunikasi
kompleks di antara otak dan otot spesifik tertentu. Otot volunter yang menyusun
sistem muskuloskeletal mendapatkan aliran darah normal terbaik ketika mulai
berada dalam keadaan panjang otot istirahat yang alami. Otot dapat memendek
ataupun memanjang dari waktu ke waktu dalam merespon postur kerja yang tidak
alamiah, kebiasaan sikap tubuh yang buruk, atau deformitas sistem
muskuloskeletal (seperti keadaan panjang kaki yang berbeda pada skoliosis). Satu
kelompok otot akan memendek sedang kelompok lainnya memanjang, ketika
terjadi respon terhadap orientasi gerakan dari sistem skeletal. Dan kedua otot tadi
akan melemah. Kelemahan otot yang terjadi, segera selanjutnya akan diikuti
dengan terjadinya kelelahan otot akibat berkurangnya aliran darah yang membawa
oksigen serta nutrisi yang dipergunakan untuk membentuk energi baru.
Strategi utama untuk mengatasi keluhan muscoloskeletal disorders
(MSDs) adalah dengan tindakan pencegahan yang dapat dilakukan dengan
45
exercise, postur kerja yang baik dan diet (Bridger, 2003). Rasa nyeri dan ngilu
pada sistem kerangka dan otot manusia dapat dikurangi dengan melakukan latihan
peregangan, menerapkan sikap atau posisi tubuh yang ergonomis saat bekerja
sehingga diperoleh rasa nyaman dalam bekerja yang akan berdampak pada
terciptanya kualitas kerja dan produktivitas yang tinggi (Tarwaka, 2011).
WSE menggunakan prinsip gerakan peregangan atau stretching pada
kelompok otot leher sampai dengan kelompok otot kaki. Pada otot yang
mengalami spasme, akan terjadi pemendekan muscle fiber karena anyaman-
anyaman myofilamen mengalami overlapping satu sama lain. Pada saat dilakukan
stretching dengan penahanan beberapa detik pada posisi otot memanjang, struktur
muscle fiber terutama sarkomer akan mengalami peregangan karena anyaman-
anyaman myofilamen yang overlapping akan berkurang dan secara otomatis
menyebabkan struktur muscle fiber menjadi memanjang. Dengan pemanjangan
struktur muscle fiber tersebut, maka spasme dapat berkurang (Liyanage dkk.,
2014). Pemberian stretching dapat mengurangi spasme karena proprioceptor otot
atau muscle spindle yang teraktivasi saat stretching terjadi. Muscle spindle
bertugas untuk mengatur sinyal ke otak tentang perubahan panjang otot dan
perubahan tonus yang mendadak dan berlebihan. Jika ada perubahan tonus otot
yang mendadak dan berlebihan, maka muscle spindle akan mengirimkan sinyal ke
otak untuk membuat otot tersebut berkontraksi sebagai bentuk pertahanan dan
mencegah cedera. Oleh karena itu, saat melakukan stretching dilakukan
penahanan beberapa saat dengan tujuan untuk memberikan adaptasi pada muscle
spindle terhadap perubahan panjang otot yang kita berikan, sehingga sinyal dari
46
otak untuk mengontraksikan otot menjadi berkurang. Dengan kontraksi otot yang
minimal pada saat stretching, akan memudahkan muscle fibers untuk memanjang
dan spasme otot dapat berkurang (Anonim, 2010).
Menurut Coury dkk. (2009), bahwa pemberian stretching juga dapat
merangsang serabut saraf berpenampang tebal sehingga mampu menutup gerbang
kontrol nyeri. Mekanisme stretching termasuk dalam kategori stimulasi mekanik
yang dapat mengaktivasi fungsi serabut saraf berpenampang tebal (non-
nociceptif) dan menutup gerbang kontrol sehingga nyeri yang dibawa serabut
saraf berpenampang tipis tidak dapat diteruskan ke otak.
Sedangkan menurut Costa & Vieira (2008), bahwa pemberian stretching
dapat memutus lingkaran spasme-nyeri-spasme karena pekerjaan dengan posisi
statis yang membuat otot-otot penegak tubuh berkontraksi isometrik secara terus-
menerus sehingga terjadi ischemia. Ischemia pada otot dapat berujung pada
keluhan nyeri sebagai tanda dan peringatan dari tubuh karena ada jaringan yang
cedera bahkan menuju kerusakan. Saat dilakukan stretching, maka ischemia pada
otot yang spasme dapat berkurang melalui efek meningkatnya sirkulasi darah pada
otot tersebut. Dengan ischemia yang berkurang, maka secara otomatis sinyal nyeri
karena kerusakan jaringan juga berkurang.
Menurut Alter (2003), terdapat beberapa teknik stretching di antaranya:
1) Aktif stretching
Aktif stretching adalah suatu metode yang biasa dilakukan pada
otot-otot postural sebagai suatu latihan fleksibilitas yang dilakukan
secara aktif.
47
2) Pasif stretching
Peregangan pasif (passive stretching) merupakan suatu teknik
peregangan dalam keadaan rileks dan tanpa mengadakan kontribusi
pada daerah gerakan. Tetapi menggunakan kekuatan eksternal melalui
cara manual atau kekuatan yang berasal dari alat mekanis tertentu.
3) Teknik PNF (Proprioseptif Neuromuskular Fasilitasi)
Pada teknik ini otot dikontraksikan selama beberapa detik (15-
20 detik), kemudian direlaksasikan, dan kemudian dilakukan
peregangan (Hess and Hecker, 2003). Contract relax stretching
merupakan salah satu teknik dalam (PNF) yang melibatkan kontraksi
isometrik dari otot yang mengalami spasme atau ketegangan yang
diikuti fase relaksasi kemudian diberikan stretching secara pasif dari
otot yang mengalami ketegangan tersebut (Wismanto, 2011).
Gerakan stretching yang dapat dilakukan pekerja di tempat kerja sebagai
bentuk WSE, banyak direkomendasikan oleh berbagai sumber. Bentuk gerakan
stretching tersebut banyak dijelaskan dan diterbitkan melalui buku, hasil
penelitian, bahkan dapat diakses dalam bentuk video yang dapat dilihat langsung.
Sebagian besar gerakan stretching ini diperuntukkan bagi pekerja kantoran atau
pekerjaan lain dengan karakteristik yang serupa, yang bekerja duduk dalam waktu
lama, dengan sikap kerja tertentu yang monoton, kurang mobilisasi atau dengan
repetisi yang tinggi pada satu gerakan (Leah, 2011). Berbagai gerakan stretching
yang disarankan dapat dilihat pada gambar berikut yang diperoleh dari beberapa
sumber.
48
Gambar 2.2
Contoh Gerakan Stretching
Sumber: Burnett, 2015
49
Gambar 2.3
Contoh Gerakan Stretching
Sumber: Columbia Machine. 2013. Health & Wellness at Columbia Workplace
Flexibility
50
2.6 Respon Fisiologis Stretching
Kisner and Colby (2007), dalam buku Therapeutic Exercise Foundation
and Techniques, menerangkan bahwa stretching atau peregangan merupakan
istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu manuver terapeutik
yang bertujuan untuk memanjangkan struktur jaringan lunak yang memendek
secara patologis maupun nonpatologis sehingga dapat meningkatkan lingkup
gerak sendi. Pada umumnya, stretching dibagi dalam dua kelompok yaitu aktif
stretching (peregangan aktif) latihan fleksibilitas dan pasif stretching (peregangan
pasif). Ada beberapa tipe stretching, yaitu: auto stretching (peregangan aktif),
latihan fleksibilitas, passive stretching dan contract relax stretching.
Stretching yang diberikan pada otot, akan memiliki pengaruh yang
pertama pada komponen elastin (aktin dan miosin) dan tegangan dalam otot
meningkat dengan tajam, sarkomer memanjang dan bila dilakukan terus-menerus
otot akan beradaptasi dan hal ini hanya bertahan sementara untuk mendapatkan
panjang otot yang diinginkan Respon mekanik otot terhadap peregangan
bergantung pada myofibril dan sarkomer otot. Setiap otot tersusun dari beberapa
serabut otot. Satu serabut otot terdiri atas beberapa myofibril. Serabut myofibril
tersusun dari beberapa sarkomer yang terletak sejajar dengan serabut otot.
Sarkomer merupakan unit kontraktil dari myofibril dan terdiri atas filamen aktin
dan miosin yang saling tumpang tindih. Sarkomer memberikan kemampuan pada
otot untuk berkontraksi dan relaksasi, serta mempunyai kemampuan elastisitas
jika diregangkan. Ketika otot secara pasif diregangkan, maka pemanjangan awal
terjadi pada rangkaian komponen elastis (sarkomer) dan tension meningkat secara
51
drastis. Kemudian, ketika gaya regangan dilepaskan maka setiap sarkomer akan
kembali ke posisi resting length. Kecenderungan otot untuk kembali ke posisi
resting length setelah peregangan disebut dengan elastisitas. Respon
neurofisiologi otot terhadap peregangan bergantung pada struktur muscle spindle
dan golgi tendon organ. Ketika otot diregang dengan sangat cepat, maka serabut
afferent primer merangsang α (alpha) motor-neuron pada medulla spinalis dan
memfasilitasi kontraksi serabut ekstrafusal yaitu meningkatkan ketegangan
(tension) pada otot. Hal ini dinamakan dengan monosynaptik stretch refleks.
Tetapi jika peregangan dilakukan secara lambat pada otot, maka golgi tendon
organ terstimulasi dan menginhibisi ketegangan pada otot sehingga memberikan
pemanjangan pada komponen elastik otot yang paralel (Coury dkk., 2009).
Beberapa respon fisiologik yang dapat terjadi melalui pelaksanaan
stretching di antaranya (Costa and Vieira, 2008):
1) Perubahan viskoelastik unit otot-tendon dan rentang gerak (range of
motion). Properti elastik merujuk kepada kemampuan unit otot-tendon
kembali kepada ukuran semula setelah dilakukan peregangan. Struktur
elastis segera kembali ke panjang aslinya setelah peregangan
dilepaskan, namun hal ini tidak seketika terjadi pula pada otot, sebab
otot memiliki viscous properties. Hal ini menjelaskan mengapa otot
meregang perlahan ketika ditempatkan di bawah stres dan perlahan
kembali ke panjang aslinya ketika stres ditiadakan. Jika peregangan
dilakukan berkelanjutan untuk waktu yang lama, atau jika waktu
pemulihan tidak cukup sebelum peregangan yang baru, maka unit otot-
52
tendon tidak kembali ke panjang aslinya. Dengan mempertahankan
peregangan dalam waktu 30 detik, dapat meningkatkan kompliang
otot. Kekakuan otot adalah sama dengan panjang otot yang terjadi
dibagi dengan besarnya tekanan yang diberikan. Perubahan pada
viscoelastic properties pada unit otot-tendon melalui peregangan
(stretching) inilah yang menjelaskan bagaimana terjadi peningkatan
range of motion (ROM).
2) Efek analgesik dan ROM. Adanya efek analgesik akibat peregangan
merupakan salah satu hal yang dapat menjelaskan bagaimana dapat
terjadi peningkatan ROM. Peregangan otot dapat meningkatkan
ambang batas nyeri. Pada suatu penelitian di mana pada tahap pertama
dilakukan peregangan sampai tercapai ambang batas nyeri, kemudian
dilanjutkan kepada peregangan yang kedua juga sampai ambang batas
nyeri tercapai. Ternyata pada peregangan yang kedua diperlukan lebih
banyak tekanan untuk mencapai ambang batas nyeri. Hal ini
menunjukkan bahwa adanya peningkatan pain free ROM. Hal ini
memunculkan pendapat bahwa perubahan viscoelastic properties pada
otot, maka akan dibutuhkan tekanan yang sama atau lebih kecil untuk
mencapai pain free ROM yang baru.
3) Efek anti-inflamasi. Delayed muscle soreness terjadi karena adanya
micro-injuries pada serat otot akibat gerakan yang tidak wajar atau
peregangan yang tidak umum. Micro-injury mengakibatkan terjadinya
inflamasi, bengkak dan proliferasi radikal bebas yang mengakibatkan
53
terjadi puncak nyeri setelah 24-48 jam setelah peregangan dan berhenti
setelah 98 jam. Dalam hal ini peregangan (stretching) merupakan suatu
cara yang umum digunakan untuk mencegah delayed muscle soreness
yang terjadi setelah melakukan suatu aktivitas tertentu.
4) Perubahan neurofisiologi dan ROM. Efek neurofisiologi
dipertimbangkan sebagai penyebab yang memungkinkan terjadinya
peningkatan ROM setelah dilakukan stretching. Di mana pada
peregangan jenis proprioceptive neuromuscular facilitation (PNF)
terdapat peningkatan aktivitas listrik pada otot yang diregangkan.
5) Perubahan kontraksi otot. Pada umumnya, peregangan dilakukan untuk
meningkatkan kekuatan dan tenaga saat melakukan aktivitas serta
untuk mencegah terjadinya cedera dan nyeri pada otot. Namun,
berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan, peregangan menjadi
kontraindikasi bagi pekerjaan dengan karakteristik mengutamakan
kekuatan dan tenaga dalam pelaksanaannya, seperti pemadam
kebakaran atau jenis pekerjaan berat lainnya. Stretching dalam hal ini
malah akan menyebabkan terjadinya penurunan kekuatan otot.
Pada pekerjaan dengan karakteristik menggunakan kontraksi
otot yang monoton ataupun dengan repetisi yang tinggi dan tidak
termasuk dalam pekerjaan dalam kategori berat, stretching akan
memberikan dampak yang sangat efektif dalam mengatasi kelelahan
maupun keluhan nyeri yang terjadi pada otot. Stretching dapat
meningkatkan sirkulasi darah yang meningkatkan oksigenasi ke otot
54
serta membawa hasil sisa metebolisme seperti asam laktat yang dapat
tertimbun dan menyebabkan nyeri pada otot.
2.7 Kebutuhan Gizi Kerja
Asupan gizi pekerja merupakan salah satu hal yang penting untuk
diperhatikan. Gizi yang baik dapat meningkatkan derajat kesehatan pekerja yang
pada akhirnya memengaruhi produktivitas perusahaan. Menurut Pangkey (2011),
peningkatan produktivitas pekerja dapat dicapai, salah satunya dengan
peningkatan derajat kesehatan yang optimal melalui pengelolaan gizi pekerja yang
baik. Dalam upaya mencapai derajat kesehatan yang optimal mutlak diperlukan
sejumlah zat gizi yang harus didapatkan dari makanan dengan jumlah sesuai
dengan kebutuhan kalori kerja yang dianjurkan. Sedangkan pemenuhan kebutuhan
gizi tenaga kerja mempunyai dua dimensi, yaitu dimensi kesehatan dan dimensi
produktivitas kerja (Setyaningsih, 2008).
Kebutuhan kalori kerja seorang tenaga kerja ditentukan oleh kalori
metabolisme basal, kalori untuk kegiatan kehidupan sehari-hari di luar waktu
kerja dan kalori kerja. Metabolisme basal merupakan metabolisme yang
digunakan untuk aktivitas jantung, paru-paru, gerak peristaltik dan kerja kelenjar
pada tubuh dalam keadaan istirahat sambil tiduran dan tenang (dimulai sejak 12-
15 jam setelah makan). Rata-rata besar metabolisme basal untuk laki-laki adalah
60 kcal/jam dan untuk perempuan adalah 54 kcal/jam. Aktivitas fisik, kondisi
tertentu, maupun jenis pekerjaan setiap orang berbeda. Besarnya tenaga yang
diperlukan untuk masing-masing jenis pekerjaan ini tidak sama. Oleh karena itu,
55
kalori tambahan yang diperlukan juga tergantung pada berat ringannya pekerjaan
yang dilakukan (Suma’mur, 2009).
Menurut Committee on Calorie Requirements on Food and Agriculture of
the United Nations, faktor-faktor yang dapat memengaruhi kebutuhan gizi atau
kalori pada seorang pekerja di antaranya adalah usia, ukuran tubuh, jenis kelamin,
jenis pekerjaan, serta kondisi khusus yang dialami pekerja. Hal ini
dipertimbangkan bila keadaan lingkungan dalam keadaan normal (suhu, tekanan
udara, kelembapan) dan tubuh dalam kondisi sehat.
a. Usia
Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun
2010, kebutuhan zat gizi relatif lebih rendah untuk tiap kilogram berat
badan seiring dengan bertambahnya usia seseorang. Anak-anak dalam
masa pertumbuhan dan orang muda yang masih mampu melakukan
pekerjaan-pekerjaan berat yang sedang dalam proses pertumbuhan
membutuhkan kalori relatif lebih besar dibandingkan dengan
kebutuhan kalori pada orang yang sudah tua.
b. Ukuran tubuh
Seseorang yang bertubuh besar mempunyai bidang permukaan
tubuh dan jaringan aktif yang lebih besar daripada seseorang yang
bertubuh kecil sehingga metabolisme basal/basal metabolic rate
(BMR)-nya akan lebih besar daripada orang yang bertubuh kecil.
Indeks Massa Tubuh (IMT) atau Body Mass Index (BMI) merupakan
alat atau cara yang sederhana untuk memantau status gizi orang
56
dewasa, khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan
berat badan (Supariasa, 2002).
c. Jenis kelamin
Kebutuhan kalori laki-laki lebih banyak daripada perempuan
karena massa otot laki-laki lebih besar dan lebih aktif melakukan
pekerjaan sehingga mengeluarkan kalori lebih banyak. Energi minimal
yang dibutuhkan perempuan 10% lebih rendah dari kebutuhan energi
minimal yang dibutuhkan laki-laki.
Perhitungan perbandingan/persentase makanan, yaitu makan
pagi : makan siang : makan malam = 30% : 40% : 30% (Yusuf dkk.,
2008).
Tabel 2.5
Distribusi Pemasukan Makan Harian
Makan Harian
Kelompok
Kelompok Pekerja
Halus
Kelompok Pekerja
Kasar
Sarapan 300 - 400 Kal 600 - 700 Kal
Snack Pagi 25 - 50 Kal 150 - 250 Kal
Makan siang 800 - 900 Kal 900 - 1000 Kal
Snack Sore 25 - 50 Kal 150 - 250 Kal
Makan malam 1250 - 1400 Kal 1400 - 1600 Kal
Sumber: Suyatno, 2000
57
Tabel 2.6
Berat Makanan untuk Menghasilkan 100 Kalori
Jenis Makanan Berat
Sayuran 670 g
Kol 400 g
Susu Skim 3 dl
Susu Penuh 2 dl
Kentang 150 g
Beras/Nasi 55 g
Telor 60 g
Daging 50 g
Keju 45 g
Roti 42,5 g
Gula 25 g
Mentega 13,5 g
Sumber: Suyatno, 2000
d. Jenis pekerjaan
Berat ringannya beban kerja seseorang menentukan lama
waktu seharusnya seseorang bekerja. Agar terhindar dari kelelahan
dan gangguan fisiologis akibat bekerja, maka semakin berat beban
kerja, seharusnya waktu yang dihabiskan untuk bekerja semakin
pendek.
2.8 Produktivitas Kerja
Produktivitas merupakan bentuk efisiensi produktif, di mana pada
dasarnya produktivitas dikaitkan dengan hubungan antara keluaran (barang dan
jasa) dengan masukan (tenaga kerja, bahan dan uang). Secara ilmu hitung, maka
58
produktivitas adalah perbandingan antara jumlah yang dihasilkan dan jumlah
setiap sumber daya yang dipergunakan selama proses berlangsung (Budiono dkk.,
2003).
Secara umum pengukuran produktivitas dapat dibedakan menjadi dua
yaitu: (1) Produktivitas total, merupakan perbandingan antara total luaran dengan
total masukan per satuan waktu. Di mana dalam perhitungannya, semua faktor
masukan terhadap total luaran dipertimbangkan; (2) Produktivitas parsial,
merupakan perbandingan dari luaran dengan satu jenis masukan seperti upah
tenaga kerja, bahan daya, beban daya, skor keluhan subjektif, dan lain-lain.
Penghitungan produktivitas parsial dapat dilihat pada rumus di bawah:
Produktivitas tenaga kerja = Luaran
Masukan x Waktu……………………………… . . (2.2)
Menurut Hendricks dan Kleiner (2002), secara ekonomis dengan adanya
intervensi ergonomi berakibat peningkatan efisiensi dan efektivitas, sehingga
biaya produksi perusahaan dapat ditekan dan penerimaan neraca keuangan
perusahaan meningkat. Peningkatan produktivitas yang diharapkan dapat berupa:
1) Peningkatan jumlah produk, baik peningkatan secara kuantitas
maupun kualitas produk
2) Peningkatan nilai jual produk, dilihat dari peningkatan harga jual
produk
3) Penurunan biaya kerja tiap unit, berupa efisiensi tiap unit kerja
4) Penurunan biaya karyawan, akibat berkurangnya karyawan yang sakit
atau cedera akibat kerja.
59
Efisiensi sumber daya maupun akibat peningkatan hasil produksi secara
ekonomis dapat meningkatkan keuangan perusahaan. Hal ini dapat terjadi melalui
cara sebagai berikut:
1) Efisiensi sumber daya–hasil produksi sama
2) Efisiensi sumber daya–hasil produksi meningkat
3) Sumber daya sama–hasil produksi meningkat
4) Sumber daya meningkat–hasil produksi meningkat.
Menurut Sutrisno (2009), terdapat beberapa faktor yang dapat
memengaruhi produktivitas kerja, yaitu:
1) Pelatihan
Pelatihan dilakukan sebagai usaha untuk meningkatkan
keterampilan dan kemampuan karyawan dalam menggunakan alat
kerja, terutama penggunaan alat baru yang lebih mutakhir. Penggunaan
alat kerja mutakhir semata, tidak dapat membantu meningkatkan
produktivitas kerja, tanpa diikuti kemampuan pekerja untuk
menggunakan alat bantu kerja yang ada.
2) Mental dan kemampuan fisik karyawan
3) Hubungan antara atasan dan bawahan
Hubungan yang baik antara atasan dengan bawahannya dapat
menciptakan suasana kondusif selama bekerja dan hal ini dianggap
dapat memberikan motivasi yang positif dalam hubungannya bersama-
sama meningkatkan produktivitas kerja.
60
Menurut Hasibuan (2010), produktivitas kerja dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor lainnya, yaitu:
1) Faktor individu, yaitu: umur, temperamen, keadaan fisik individu,
kelelahan dan motivasi
2) Faktor luar individu, yaitu kondisi fisik seperti kebisingan,
penerangan, waktu istirahat, lama kerja, upah, bentuk organisasi,
lingkungan sosial dan keluarga.
Sedangkan menurut Suma’mur (2009), terdapat beberapa faktor yang juga
memengaruhi tingkat produktivitas kerja seperti motivasi kerja, latar belakang
pendidikan, keterampilan tenaga kerja, profesionalitas, pengalaman, kompetensi
kerja, tingkat kesejahteraan, jaminan kontinuitas kerja, jaminan sosial, adanya
apresiasi, hubungan kerja dan hubungan industrial, citra perusahaan, serta
lingkungan sosial budaya.
2.9 Analisis Biaya dan Manfaat
Analisis terhadap biaya dilakukan untuk mengetahui dan memastikan
apakah peningkatan produktivitas juga memberikan manfaat yang nyata bagi
unsur manajemen maupun pekerja (Kodoatie, 2000).
Untuk melakukan analisis biaya dan manfaat dapat dilakukan dengan cara
sebagai berikut:
1. Menghitung seluruh biaya intervensi yang dikeluarkan untuk pelatihan
stretching (biaya instruktur) dan biaya pembuatan teh manis
61
2. Menghitung selisih atau peningkatan hasil produksi antara setelah dan
sebelum intervensi ergonomi
3. Menghitung selisih perbedaan pendapatan dan keuntungan yang dicapai
sebelum dan setelah intervensi diberikan.