Upload
buidieu
View
248
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
10
BAB II
GAMBARAN UMUM TENTANG WAYANG DAN GUNUNGAN
A. Tinjauan tentang Wayang
Jawa Tengah memiliki berbagai kesenian tradiasional yang mengakar
pada kepribadian sendiri, satu di antaranya adalah seni pertunjukan wayang
kulit. Kesenian wayang kulit adalah kesenian asli etnis Jawa Tengah yang
telah diakui oleh masyarakat Jawa Tengah sebagai kesenian yang mempunyai
nilai “adhiluhung”1, yang mampu menyerap kesenian manca negara dengan
tetap berpijak pada bentuk dan tradisi kesenian wayang kulit yang asli. Oleh
karena itu, kesenian wayang kulit merupakan salah satu keseniaan tradisional
yang pertama - tama perlu dipertahankan, dilestarikan, dan dikembangkan
sebagai identitas maupun bukti jati diri Jawa Tengah khususnya, Indonesia
pada umumnya.
Wayang adalah salah satu seni budaya bangsa Indonesia yang paling
menonjol. Budaya wayang meliputi seni peran, seni suara (musik), seni tutur,
seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni perlambang dari zaman ke
zaman juga merupakan media penerang, dakwah, pendidikan, pemahaman
filsafat, serta hiburan.
Dalam setiap lakon dapat diambil suri tauladan atau makna yang
tersirat dan terurat dalam setiap lakon agar manusia dapat mengambil
hikmahnya. Dengan demikian, peranan wayang lebih sebagai dasar filosofi
manusia Jawa, disamping ajaran-ajaran yang disampaikan oleh pujangga
Jawa.
Hasil kesenian tradisional warisan nenek moyang bangsa Indonesia
berupa pertunjukan wayang kulit yang padat dengan nilai filosofis, nilai
simbolis, dan nilai historis (adhiluhung) pernah mengalami puncak kejayaan
dan masih diagungkan keberadaannya sampai sekarang. Begitu besar
1 Suwaji Bastomi, Gemar Wayang, Semarang: IKIP Semarang Press, 1996, hlm. 25-26.
11
perhatian orang-orang Jawa terhadap keberadaan wayang ini, maka wayang
dianggapnya sebagai dasar filosofis manusia Jawa.2
Bahkan dahulu banyak orang-orang Jawa memberikan nama-nama
anaknya dengan tokoh-tokoh seperti dalam pewayangan. Dalam masyarakat
Jawa berbagai cerita memberikan makna terhadap berbagai perilaku dan watak
manusia dalam rangka pencapaian tujuan hidup.
1. Pengertian Wayang
Perkataan wayang menurut bahasa Jawa adalah wayangan
(layangan), menurut bahasa Indonesia adalah bayang - bayang, samar-
samar, tidak jelas, menurut bahasa Aceh: bayangan arti wayangan,
menurut bahasa Bugis wayang atau bayang–bayang. Sedang dalam bahasa
Bikol (Jawa kuno) menurut pendapatnya Prof. Kern wayang adalah
bayangan yang bergoyang-goyang, bolak-balik (berulang - ulang) mondar-
mandir, tidak tetap.
Arti harfiah dari wayang adalah bayangan, tetapi dalam perjalanan
waktu pengertian wayang dapat berarti pertunjukan panggung dan teater
atau dapat pula berarti aktor dan aktris. Wayang sebagai seni teater berarti
pertunjukan panggung dimana sutradara ikut bermain. Secara etimonologi
wayang sebagaimana pendapat R.T. Josowidagdo adalah berasal dari
bahasa "ayang-ayang" (bayangan) karena yang dilihat adalah bayangan
dalam kelir (tabir kain putih sebagai gelanggang permainan wayang).
Bayangan tersebut nampak karena sinar blencong (lampu di atas kepala
sang dalang). Ada juga yang berpendapat bahwa wayang berarti bayangan
agan–agan, sehingga segala bentuk apa saja dari wayang adalah
disesuaikan dengan adanya kelakuan tokoh yang dibayangkan dalam agan-
agan itu.
Aliran kebatinan Harjaning Diri, mengartikan wayang berarti
"wewayanganing manungsa" (bayang – bayang manusia), maksudnya
melihat wayang berarti sama halnya melihat kaca rias, yang dilihat oleh
2 Asmoro Achmadi, Filsafat Dan Kebudayaan Jawa, Upaya Membangun Keselarasan
Islam dan Budaya Jawa, Semarang: Cendrawasih, 2003, hlm. 34.
12
orang bukan kacanya tetapi apa yang ada dalam kaca, yaitu dirinya
pribadi. Sebab wayang merupakan bahasa simbul dari hidup dan
kehidupan manusia, dan bukan sebaliknya. Dengan mempelajari dan
mengenal wayang kita dapat mengenal hidup dan kehidupan kita sendiri.
Menurut versi kebatinan wayang disebut dengan "ringgit", dalam
bahasa Jawa diartikan dengan saringaning – anggit artinya kudu disaring
lan di anggit, maksudnya harus dicari intisarinya.
Wayang sebagai salah satu seni pertunjukan sering diartikan
sebagai bayangan yang tidak jelas hanya samar-samar bergerak ke sana ke
mari. Dengan bayangan yang samar-samar tersebut tidak diartikan sebagai
gambaran perwatakan manusia, lebih dari itu sering pula dimaksudkan
sebagai penggambaran kehidupan manusia di masa lampau.
Kata wayang dapat diartikan sebagai gambaran atau tiruan manusia
yang terbuat dari kayu, kulit, dan sebagainya3 untuk mempertunjukkkan
sesuatu lakon (cerita). Arti lain dari kata wayang adalah ayang - ayang
(bayangan), karena yang dilihat adalah bayangan di kelir (tabir kain putih
sebagai gelanggang permainan wayang). Disamping itu, ada yang
mengartikan bayangan angan-angan, yang menggambarkan perilaku nenek
moyang atau orang yang terdahulu (leluhur) menurut angan – angan,
karena terciptanya segala bentuk wayang disesuaikan dengan perilaku
tokoh yang dibayangkan dalam angan – angan.4
Adapun arti wayang menurut istilah yang diberikan oleh Doktor
Th. Piqued ialah: (1) Boneka yang dipertunjukkan (wayang itu sendiri) (2)
Pertunjukkannya, dihidangkan dalam berbagai bentuk, terutama yang
mengandung pelajaran (wejangan – wejangan), yaitu wayang purwa atau
wayang kulit yang diiringi dengan teratur oleh gamelan (instrument)
slendro.5
3 W.J.S. Poerwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1997,
hlm. 1150. 4 Sagio dan Samsugi, Wayang Kulit Gagrak Yogyakarta, Morfologi, Tatahan,
Sunggingan, dan Tehnik Pembuatannya, Jakarta: CV.Hajimasagung, 1991, hlm. 4. 5 Effendy Zarkasi, Unsur-Unsur Islam dalam Pewayangan, Sala: Mardikintoko, 1997,
hlm. 53.
13
Dr. G. A.J. Hazzeu (seorang ahli sejarah kebudayaan belanda),
menunjukkan keyakinannya bahwa wayang merupakan pertunjukkan asli
Jawa. Wayang adalah “Walulang inukir” (kulit yang diukir) dan dilihat
bayangannya pada kelir.6
Sri Mulyono berpendapat, wayang adalah sebuah kata bahasa
Indonesia (Jawa) asli, yang berarti bayang-bayang, atau bayang yang
berasal dari akar kata “yang” mendapat tambahan “wa” yang menjadi
wayang.7 Kusumajadi mengatakan wayang adalah bayangan orang yang
sudah meninggal,8 jadi orang yang digambar itu sudah meninggal, lebih
lanjut ia menjelaskan: kata wayang tadi dari suku kata wa dan yang. Wa:
trah yang berarti turunan, yang: hyang yang berarti eyang kakek, atau
leluhur yang sudah meninggal. Arti lain dari wayang adalah (bayangan)
potret kehidupan yang berisi sanepa, piwulang, pituduh (kebiasaan hidup,
tingkah laku manusia dan keadaan alam) atau wayang adalah etika
kehidupan manusia.9
Wayang dalam kamus bahasa Indonesia adalah boneka tiruan
manusia dan sebagainya yang terbuat dari pahatan kulit atau kayu dan
sebagainya yang dapat dimanfaatkan untuk memerankan tokoh dalam
pertunjukan drama tradisional (Bali, Sunda, Jawa dan sebagainya),
biasanya dimainkan oleh seorang dalang.
Kemunculan wayang kulit ini ada yang meyebutkan bahwa wayang
bermula dari relief candi,10 agar dapat dibawa dan dikisahkan atau
dipertunjukkan, bentuk pada relief itu dikutip pada bentuk gambar yang
dapat digulung, hal ini terbukti banyak candi yang memuat relief cerita
6 Tim Penulis Enslikopedi Nasional Indonesia, Enslikopedi Nasional Indonesia, jilid 17, Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka, 1991, hlm. 274.
7 Akar kata wayang adalah “yang”. Akar kata ini bervariasi dengan yung, yong, antara lain terdapat dalam kata “laying”atau terbang, “doyong” atau miring, tidak stabil, “royong” yang berarti selalu bergerak dari satu tempat ke tempat lain, “poyang payingan” berjalan sempoyongan, tidak tenang, dan sebagainya. Dengan membandingkan berbagai pengertian dari akar kata “yang” beserta variasinya, dapatlah dikemukakan bahwa kata dasarnya berarti tidak stabil, tidak pasti, tidak tenang, terbang, bergerak kian kemari. Sagio dan Samsugi, op.cit., hlm. 5.
8 Sunarto, Wayang Kulit Purwa Gaya Yogyakarta, Sebuah Tinjauan tentang Bentuk, Ukiran, Sunggingan, Jakarta: Balai Pustaka, 1991, hlm. 15.
9 Suwaji Bastomi, Nilai-Nilai Seni Pewayangan, Semarang: Dahara Prize, 1993, hlm. 15. 10 Sagio dan Samsugi, op.cit., hlm. 5-6.
14
wayang. Misalnya candi Prambanan (Yogyakarta), dan candi Penataran
(Blitar), candi Jago(Malang-Jawa Timur). Ada pendapat yang mengatakan
bahwa timbulnya wayang itu dari kepercayaan pada roh leluhur yang
sudah mati,11 yang dianggap oleh masyarakat Jawa sebagai pelindung
dalam kehidupan.
Pengertian wayang yang begitu banyak maka, penulis katakan
bahwa wayang adalah suatu hasil seni budaya manusia yang
menggambarkan tentang tingkah laku kehidupan manusia dalam
menempuh kesejahteraan dan beribadah kepada Tuhan. Karena wayang
merupakan lambang manusia yang disesuaikan dengan tingkah lakunya,
sebab wayang itu sendiri apabila dipraktekkan akan membawa peran yang
mencakup ajaran ke-Tuhanan, filsafat, moral, dan mistik.
2. Macam-macam Wayang
Budaya wayang berkembang selama berabad–abad memunculkan
berbagai ragam jenis wayang. Kebanyakan jenis wayang itu tetap
menggunakan Mahabarata dan Ramayana sebagai induk ceritanya. Alat
peraganya pun berkembang menjadi beberapa macam, antara lain wayang
yang terbuat dari kertas, kain, kulit, kayu, dan juga wayang orang (wayang
wong).
Perkembangan jenis wayang juga dipengaruhi oleh keadaan
budaya daerah setempat.12 Misalnya wayang kulit purwa yang
berkembang pula pada ragam kedaerahannya menjadi wayang kulit purwa
khas daerah, seperti wayang Cirebon, wayang Bali, wayang Betawi, dan
sebagainya. Ada beberapa jenis wayang di Indonesia, yang terpenting
diantaranya adalah :
a. Wayang Purwa (wayang kulit)
Cerita wayang purwa bersumber pada wiracerita Mahabarata
dan Ramayana. Wayang purwa ini merupakan jenis wayang yang
paling populer di masyarakat sampai saat ini. Wayang purwa ada yang
11 Sunarto, op.cit., hlm. 16. 12 Tim Penulis Enslikopedi Nasional Indonesia, op.cit., hlm. 275.
15
terbuat dari kulit (wayang kulit purwa) dan ada yang terbuat dari kayu
(wayang golek purwa).13
b. Wayang Madya
Wayang madya ini merupakan ciptaan Sri Mangkunegara IV
Surakarta. Ceritanya merupakan lanjutan cerita wayang purwa yaitu
dari Yudayono sampai Jayalengka. Wayang madya ini tidak
berkembang karena keberadaannya hanya terbatas pada lingkungan
kadipaten Mangkunegara.14
c. Wayang Gedog
Wayang gedog diciptakan oleh sunan Giri dengan iringan
gamelan pelog. Isi ceritanya adalah lanjutan wayang madya dengan
dasar ceritanya dari cerita panji yang muncul zaman Kediri dan
Majapahit, yang merupakan cerita-cerita jenggala.15
d. Wayang Klitik (krucil)
Jenis wayang ini untuk menceritakan tanah Jawa, khususnya
kerajaan Majapahit dan Pajajaran, sumber cerita wayang klitik dari
serat Damarwulan. Wayang klitik dibuat oleh Pangeran Pekik, pertama
kali wayang kulit ini terbuat dari kulit, kemudian oleh Paku Buwana II
wayang klitik ini dibuat dengan bahan kayu, sehingga apabila
dimainkan menimbulkan suara kliti “klitik - klitik” atas dasar inilah
wayang krucil disebut wayang klitik.16
e. Wayang Golek
Cerita wayang jenis ini bersumber pada serat Menak, yang
berisikan cerita hubungan negeri Arab dan Persia pada zaman awal
Islam.17
13 Sagio dan Samsugi, op. cit., hlm. 11. 14 Effendi Zarkasi, op.cit., hlm. 55. 15 Sunarto, op.cit., hlm. 28. 16 Effendi Zarkasi, op.cit., hlm. 57. 17 Asmoro Achmadi, op.cit., hlm. 41-42.
16
f. Wayang Menak
Wayang yang isinya hanya menggambarkan riwayat menak
dari lahir anak, dewasa, tua, sampai meninggal. Wayang ini dibuat
oleh Truna Dipa.
g. Wayang Cina
Wayang Cina dibuat tahun 1850, merupakan wayang yang
berasal dari Kapitein Liem Kie Tjwan dengan sumber cerita roman
sejarah negeri cina.
h. Wayang Beber
Keberadaan wayang beber ini telah berada dalam kepunahan.
Wayang ini terdiri dari dua jenis yaitu: wayang beber purwa yang
muncul zaman Majapahit oleh Prabangkara, dan wayang beber
gedhong muncul pada zaman kesultanaan pajang oleh sunan Bonang
abad XV.
i. Wayang Wong
Wayang wong adalah pertunjukan wayang yang dipergunakan
oleh manusia (wong), meliputi: wayang purwa, wayang wong
gedhong, wayang wong klitik, dan wayang wong menak.
j. Wayang Kontemporer
Wayang ini muncul karena perkembangan dari wayang kulit
purwa yang muncul pada abad XX yaitu :
- Wayang Dobel, dibuat pada tahun 1927 didaerah wonosari,Gunung
kidul, Yogyakarta, sumber ceritanya dari riwayat nabi.
- Wayang Kancil, wayang ini dibuat oloh Babah Bo Liem tahun
1925, sumber cerita wayang kancil ini dari ceritera kancil.
- Wayang Wahyu, wayang yang dipergunakan untuk dakwah kaum
Nasrani, dibuat oleh RM. Soertato Hardjo Wahono.
- Wayang Pancasila, wayang yang dibuat pada tahun 1980.
Ceritanya kadang mengambil dari cerita wayang klitik. Ciri yang
menonjol adalah kayonya disesuaikan dengan lambang Garuda
Pancasila.
17
- Wayang Suluh, dibuat tahun 1946, wayang ini dibuat untuk
memberikan penyuluhan (obor) kepada masyarakat tentang
perjuangan.
- Wayang Ukur, dibuat oleh Drs. Sukasman dari ISI Yogyakarta
tahun 1982, cara pementasan ini dimainkan oleh dua dalang
dengan lampu warna - warni, hal ini yang membedakan dengan
yang lain.
- Wayang Diponegoro, dibuat oleh Kuswaji Kawendra Susanto di
Yogyakarta tahun 1983. Sumber ceritanya diambil dari babad
Diponegoro.
- Wayang Sadat, dibuat tahun 1980, oleh Drs. Suryadi seorang da’i
dari Trucuk - Klaten. Sumber ceritanya dari kehidupan para wali
sebagai penyebar agama Islam.
3. Beberapa Wujud Wayang Kreasi Baru
Wayang kulit purwa jika dikaitkan dengan kegiatan berbudaya,
memiliki dua fungsi utama. Pertama berfungsi sebagai sarana
pengungkapan kreatifitas seni, kedua berfungsi sebagai sarana
berkomunikasi dalam berbagai kepentingan.
Keberhasilan wayang kulit purwa yang memiliki beberapa paran
yang menyebabkan munculnya berbagai kreasi baru dalam wayang kulit.
Munculnya bentuk dan cerita wayang baru itu dipengharuhi pula oleh
perkembangan yang bergejolak dalam masyarakat pendukungnya.18
Maksud dari kreasi adalah hasil daya cipta atau hasil daya khayal atau
buah pikiran dan kecerdasan akal pikiran manusia. Sedangkan yang
dimaksud baru adalah sesuatu yang belum pernah ada (masih segar). Jadi,
yang dimaksud wayang kreasi baru adalah jenis wayang kulit yang belum
pernah ada dan merupakan hasil rekayasa para seniman.
Teater wayang senantiasa mengembangkan bentuk hiburan dan
pendidikan. Wayang kulit sangat populer dan luwes, mengilhami
penciptaan bentuk baru pada abad ke-20. Enam diantaranya wayang yang
18 Sunarto, Seni Gatra Wayang Kulit Purwa, Semarang: Dahara Prize, 1997, hlm. 132.
18
diterima dengan semangat oleh masyarakat adalah wayang suluh, wayang
revolusi, wayang pancasila, wayang kancil, wayang sadat, dan wayang
wahyu. Yang menarik dari semua wayang ini adalah digunakan serbagai
sarana (wahana) pendidikan.19
Munculnya wayang kreasi baru itu menambah semaraknya dunia
pewayangan. Dengan latar belakang dan dasar pemikiran yang berbeda-
beda dalam mencipta wayang, sehingga mengenai makna dan nilai
beragam pula. Sumber gubahan dalam mewujudkan wayang kreasi baru20,
ialah:
- Cerita (lakon)
Cerita atau lakon memiliki tokoh-tokoh yang karakteristik, dari
tokoh itu dapat diklasifikasikan yang kemudian dapat diwujudkan
menjadi suatu kriteria. Berdasar cerita kriyawan dapat berkreasi
menciptakan beberapa alternatif dengan kriteria yang mantap.
Misalnya mengenai atribut akan dipengaruhi oleh latar belakang
ceritanya.
- Bentuk (wujud)
Bentuk (wujud) merupan sumber kedua yang lebih mengarah
pada pengolahan bentuk tokoh-tokohnya. Pertimbangan utama dalam
penciptaan wayang berdasar bentuk ini adalah aspek teknik dan estetis
seni rupa.
Kreasi bentuk merupkan tujuan utama untuk menghasilkan
wayang kreasi baru yang bernilai estetis tinggi. Karya wayang kreasi
baru itu jauh meninggalkan nilai tradisi dalam wayang kulit, terutama
pada bentuk atribut-atributnya.
Beberapa Wujud Wayang Kulit kreasi Baru
a. Wayang Suluh
Wayang Suluh tercipta setelah proklamasi kemerdekaan
Indonesia pada tahun 1945, pada tahun 1950, gren baru
19 Edi Sedyawati, Seni Pertunjukan, Jakarta: Grolier Internasional, 2002, hlm. 60. 20 Sunarto, Seni Gatra Wayang Kulit Purwa, op. cit., hlm. 133-135.
19
dipergunakan oleh Departemen Penerangan untuk menyebarkan
penerangan pemerintah karena pada zaman itu selain radio jarang,
jarak terlalu jauh, dan televisi belum ada rakyat masih buta huruf.
Seiring dengan perjalanan waktu, bentuk wayang ini berkembang
menjadi teater rakyat.
Boneka wayang suluh terbuat dari kulit kerbau atau sapi.
Sosok tokoh diperlihatkan dalam raut wajah. Boneka-boneka ini
menggambarkan laki - laki dan perempuan modern yang
mengenakan pakaian sehari-hari, pakaian setempat atau pakaian
Barat atau tergantung tokoh yang menggambarkan. Pementasan
wayang suluh ini diiringi gamelan dengan gubahan modern. Cerita
dan tema yang dilakonkan adalah kejadian sehari-hari yang dialami
oleh anggota masyarakat, adapula yang diambil dari sejarah
mataram, perang Diponegoro, kisah kepahlawanan Suropati
melawan Belanda dan sebagainya.21
b. Wayang Revolusi
Masa revolusi (1945-1949) pemerintah nasional Indonesia
berjuang dengan menggunakan berbagai cara untuk mendapat
dukungan masyarakat. Pemerintah menggunakan wayang revolusi
ini sebagai sarana penerangan.
Boneka dalam wayang revolusi menggambarkan berbagai
tokoh kontemporer, seperti Soekarno, Nehru, Perjuangan revolusi,
Belanda dan rakyat. Banyak boneka yang diukir dan dilukis secara
nyata, mengambarkan masyarakat modern. Cerita-cerita wayang
revolusi diambil dari kejadian nyata pengeboman Hirosima, Jepang
dan pecahnya pertempuran antara Belanda dan tentara pelajar atau
rakyat. Dengan berakhirnya masa revolusi, wayang revolusi tidak
lagi terkenal.
21 Edi Sedyawati, Seni Pertunjukan, op.cit., hlm. 60-61.
20
c. Wayang Sadat
Wayang ini merupakan wayang kulit kreasi baru yang
berdasar pada faham (ajaran) Islam dan berfungsi sebagai sebagai
sarana dakwah. Wayang ini diciptakan oleh Suryadi
Warnosuharjo, pada tahun 1985. Kata sadat berasal dari kata
syahadatain atau merupakan akronim sarana dakwah dan tablig.
Cerita wayang sadat berkisar pada masa penyebaran ajaran Islam
di Jawa (pada masa dikenalnya para wali demak) hingga masa
berdirinya kerajaan mataram. Sumber ceritanya berasal dari Serat
Babad Tanah Jawi dan Serat Babad Demak.
Tujuannya disamping wujud wayang yang bercorak Islam,
sarana lainnya juga disesuaikan dengan langgam keislaman. Baik
dalang maupun niyaga menggenakan sorban, kemudian
waranggana berbusana muslim. Dalam pocopan dan gending di
sana-sini diselingi kata dan irama Arab. Awal pertunjukan dimilai
dengan pemukulan beduk (semacam kendang berukuran besar)
bertalu-talu yang kemudian dibuka dengan salam.
Wujud wayang sadat masih berdasar pada wayang kulit
purwa, baik atribut sistem stilasinya. Hanya saja bagian muka dan
tanggan serta irah-irahan (ikat kepala) mendapat beberapa
gubahan, maka dari jenis wayang ini hampir sama dengan wayang
suluh atau merupakan penggambaran manusia dari samping
dengan atribut sorban, jubah, gamparan (sepatu) menyandang keris
dan lain sebagainya.
d. Wayang Pancasila
Salah satu dari beberapa bentuk wayang kulit yang
diciptakan setelah kemerdekaan oleh Harsono Hadi Soeseno adalah
wayang pancasila. Dalam wayang pancasila pendawa lima dari
Mahabarata menjadi lambang lima sila dasar negara Indonesia.22
22 Edi, Soedyawati,ibid.
21
e. Wayang kancil
Wayang kancil diciptakan sekitar tahun 1924 atau 1925
oleh Bolim, seorang warga negara Indonesia keturunan Cina dari
Surakarta. Dengan kalimat yang sudah dimengerti dongeng
tentang kancil yang cerdik dan sangat masyhur selain menghibur
dan mendidik pendengarnya, juga memberikan pesan moral,
bahkan membuat kritik sosial melalui tokoh-tokoh hewan yang
dapat berbicara.
f. Wayang Wahyu
Teater wayang kulit jenis ini diciptakan tahun 1957 oleh
Timotheus Mardji Wignyasoebrata dipergunakan untuk
mengajarkan ajaran agama Katholik. Dengan mengambil cerita
perjanjian lama dan pejanjian baru, serta iringan musik gamelan
dengan nada diatonis musik gereja.
Kesenian khususnya yang berhubungan dengan
perkembangan wayang, adanya harapan mengenai perkembangan
wayang di masa mendatang. Hal ini tidak saja dipengaruhi oleh
keindahan dan ketertarikan untuk mengetahui lebih mendalam
tentang wayang kemunculan wayang kreasi baru akan diikuti pula
tentang cita rasa yang kemungkinan sesuai dengan jiwa dan cita
rasa generansi muda kini.
B. Gunungan dalam Wayang
1. Pengertian Wayang Gunungan
Wayang gunungan atau yang sering disebut dengan kekayon berasal
dari kata kayu artinya pohon. Kekayon diartikan sebagai pohon hidup atau
pohon hayat.23 Gunungan (kayon) dalam pewayangan melambangkan
berbagai hal seperti gunung, pohon besar, api, ombak, samudra, angin ribut,
gua dan lain-lain. Kekayon sebenarnya melambangkan kehidupan, karena
23 Suwaji Bastomi, Gelis Kenal Wayang, Jakarta: IKIP Semarang Press, 1992, hlm. 260.
22
gunungan wayang membawakan lambang konsep mitos Jawa: Sangkan
Paraning Dumadi.
Gunungan adalah pahatan lukisan berbentuk gunung (dalam wayang
golek atau kulit) untuk mengawali, membatasi antara babak dan mengakhisi
(cerita lakon).24
Ada juga yang memberi arti lain kepada kekayon, yaitu bahwa
kekayon melambangkan hidup di dunia fana. Hal ini dihubungkan dengan
tancep kayon sebagai sangkan paraning dumadi (kembali pada asal).
Pemikir dari golongan Islam lain lagi pendapatnya, menurut mereka
“kekayon” berasal dari kata “khayyu” yang berarti hidup. Selain itu masih
banyak lagi interprestasi yang bersifat filosofis atau mistik.
Pohon yang tergambar sebagai bentuk dasar gunungan wayang atau
kayon itu adalah pohon Nagasari. Diberbagai keraton di Pulau Jawa.
Pohon Nagasari selain indah bentuknya, kuat kayunya, juga dianggap
membawa pengaruh baik bagi orang di sekitarnya. Namun sebagai gambar
yang membawakan perlambang, pohon pada gunungan melukiskan sejenis
pohon yang hanya hidup di alam khayalan, yakni pohon Dewandaru. Pohon
ini dianggap membawa pengaruh keabadian, kelanggengan.
Tentang asal muasal gunungan dalam dunia pewayangan, ada
beberapa versi. Ada yang menyebutkan gunungan diciptakan oleh kanjeng
Sunan Kalijaga, pada zaman Demak. Ada lagi yang mengatakan gunungan
sudah tergambar pada lembaran wayang beber yang dimainkan rakyat pada
zaman Majapahit.25
Gunungan adalah wayang yang bentuknya meruncing ke atas, seperti
bentuk puncak gunung.26 Dalam gunungan memuat ajaran filsafat tentang
ilmu kebijaksanaan. Hal itu menunjukkan bahwa lakon wayang berisi
ajaran tentang nilai-nilai yang tinggi dan mendalam.
24 WJS. Poerwadarminto, op.cit., hlm. 53. 25 Tim Penulis Sena Wangi, Ensiklopedi Wayang Indonesia, Jakarta: Sena Wangi, l999,
hlm. 611. 26 Suwaji Bastomi, Gelis Kenal Wayang, loc. cit.
23
Gunungan disebut meru atau Mahameru artinya gunung besar
Mahameru, sebagai gambaran gunung Himalaya dengan segala
penghuninya. Mahameru dianggap sebagai gunung Sunga kadang-kadang
sebagai gunung dunia, kedua-duanya bersifat kudus. Sehubungan dengan
anggapan tersebut maka Mahameru mengandung berbagai unsur hidup dan
unsur mati. Mahameru dijadikan pusat pemujaan. Oleh beberapa pihak
pohon hayat diartikan sebagai lambang kehidupan "Jagad Besar” utau
"buana-agung" karena dalam gambaran tersebut dilukiskan unsur-unsur
udara, air, angin, api dan tanah. Pohon hayat juga diartikan sebagai
kehidupan yang tiada habis atau yang disebut "nunggak semi" (patah
tumbuh hilang berganti).27
Dr. Rassers memandang kayon atau gunungan adalah suatu bentuk
atau aparat yang ajaib: a. gambar hutan (pegunungan), b. meru (pohon surga
atau pohon harapan).28 Kayon adalah merupakan hutan di mana dewa-dewa
abadi diam, pusat suci dari seluruh masyarakat, menurut Mythe pohon surga
adalah permulaan ciptaan. Ada pula yang mengartikan gunung (kayon)
merupakan tatanan kosmis, dunia paradewa jagad.29
Ki Cipto Sangkono (A. Sangkono Wardoyo) seorang dalang dan
dosen pada Institut Seni Indonesia (ISI) di Yogyutu berpendapat, wayang
gunung merupakan hasil cipta yang di dalamnya tersirat suatu ungkapan
bergeloranya menuju cita-cita demi keselamatan jiwa manusia, agar
terhindar dari bencana nafsu indria yang tak terkendalikan. Dengan cara
menyucikan diri berdasarkan iman dan keimanan.30 Gunungan atau kayon
merupakan simbolisme jagad semesta alam yang penuh melambangkan
awal dan akhir kehidupan manusia.
27 Widjiono Wasis, Ensiklopedi Nusantara, Jakarta: Dian Rakyat, 1989, hlm. 11. 28 Sri Mulyono, Wayang Asal Usul dan Masa Depannya, Jakarta: CV. Hajimasaguna,
1989, hlm. 3l. 29 Soedarsono, Melacak Perkembangan Seni di Indonesia, Bandung: MRTI Line, 2000,
hlm. 182. 30 S. Haryanto, Bayang-Bayang Adhiluhung, Filsafat, Simbolik, dan Mistik dalam
Wayang, Semarang: Dahara Proze, 1992, hlm. 29-30.
24
Keseluruhan pertunjukkan wayang sejak dari pembukaan (talu)
hingga berakhirnya pagelaran dengan tancep kayon, mempunyai kandungan
filosofis Jawa. Tiap adegan dengan iringan gending sendiri-sendiri dan
makin lama makin meningkat laras dan iramanya, hingga mencapai klimaks
dengan diakhiri tancep kayon setelah semua problem di kalangan lakonnya
terjawab dan terpecahkan.
2. Jenis dan Fungsi Gunungan
a. Jenis gunungan
Bentuk dan seni kriya gunungan selalu berubah dan zaman ke
zaman. Antara daerah satu dengan daerah lainnya juga terdapat
perbedaan bentuk. Pada 1737 Masehi Susuhanan Paku Buwana II di
Kartasura memerintahkan para seniman Keraton untuk menciptakan
bentuk seni kriya gunungan baru, yang memasukkan unsur gambar
gaputa.31 Gunungan dengan gapura ini diberi candra sengkala gapura
uma retuning bumi, yang melambangkan angka tahun Jawa 1659 atau
1737 Masehi. Dalam perkembangannya di dunia pewayangan,
gunungan gapura ini disebut gunungan lanang (lelaki).
Di lihat dari bentuknya ada dua macam gunungan32 yaitu
gunungan gapura (zaman Kartasura), gambaran utama bentuk gunungan
ini berupa gapura (gerbang) dengan lima pilar. Seeokor harimau dan
seekor benteng terdapat di latar belakang. Ini melambangkan
konfrontasi abadi antara segala yang buruk dengan segala yang baik. Di
latar depan, di sisi kiri dan kanan gapura itu terdapat dua orang raksasa
penjaga pintu bersenjatakan ganda dan perisai.
Dunia wayang kulit purwa juga mengenal gunungan lain yakni
gunungan blumbungan (gunungan wadan atau perempuan). Pada
gunungan blumbungan terdapat gambar sepasang sayap, sepasang
jlarang yaitu sejenis musang dan rase. Selain itu tergambar pula
beberapa jenis binatang seperti ular, burung, merak dan monyet.
31 Tim Penulis Sena Wangi, loc.cit. 32 Ibid, hlm. 612.
25
Gunungan dalam berbagai gagrak ada empat macam yaitu
gunungan gagrak Yogyakarta, gunungan gagrak Jawa Timur, gunungan
gagrak Surakarta, dan gunungan gagrak Cirebon. Dalam berbagai
jenisnya gunungan wayang golek menak dan gunungan wayang Sasak.
Ragam bentuk gunungan atau kayon terdapat perbedaan, yang
disebabkan oleh jenis wayang yang berbeda, bisa pula karena dibuat
oleh seniman dari daerah atau zaman yang berbeda.33
b. Fungsi Gunungan
Gunungan yang pada awalnya disebut kayon, dalam pewayangan
melambangkan tentang berbagai hal. Figur wayang gunungan
merupakan gambar wayang yang sangat penting dalam setiap
pertunjukan wayang, tanpa kayon gunungan pertunjukan tidak dapat
berjalan.
Kayon itu ujudnya semacam gunung runcing, karenanya
kemudian dinamakan “gunungan”. Isinya hiasan bermacam-macam,
dilihat dari ujud dan fungsinya, kayon gunungan ini mempunyai
beberapa fungsi dalam pertunjukkan, yakni:
1) Dipergunakan dalam pembukuan dan penutupan adegan-adegan
2) Sebagai tanda untuk pengertian jejeran (adegan/babak)
3) Untuk menggambarkan sesuatu yang tidak ada ujud wayangnya,
seperti gapura, samudra, hujan, batu, gua, kekacauan, guntur, gelap,
api atau untuk mewujudkan Sang Hyang Menang
4) Salah satu alat komunikasi antara dalang dengan penabuh gemelan
yang mengiringinya
5) Sebagai aba-aba dalang kepada para penabuh gemelan terutama
penggendang dan penggedernya.34
Kayon itu juga dapat dipergunakan untuk menandai pembagian
waktu pertunjukan pegelaran wayang kulit semalam suntuk.35 Bahwa
untuk masa pertama didahului tancapan kayon miring ke kiri, masa
33 Ibid, hlm. 613-615. 34 Ibid. 35 Effendy Zarkasi, op.cit. hlm. 116.
26
kedua tegak, dan masa ketiga miring ke kanan. Masing-masing masa
langgam gamelannya berbeda-beda yaitu masing-masing. patet ngeog
manyuro, patet sanga dan patet manyuna. Pendapat R. Samsudjin
bahwa tancepan gunungan ada yang dengan sistem ke kanan, lalu tegak,
lalu ketiga ke kiri. Yang kuno (klasik): ke kanan tegak ke kiri. Ada
aliran sebaliknya ke kiri-tegak-ke kanan. Ada juga yang selalu ke kanan
mulai dari awal sampai akhir. Hal ini ada falsafah yaitu bahwa
kehidupan manusia di dunia ini dibagi dalam tiga masa: masa anak-
anak, masa dewasa dan masa tua.
Fungsi gunungan atau kayon dengan berbagai macam bentuk dan
ragamnya disebabkan oleh jenis wayang yang berbeda atau dari daerah
atau zaman yang berbeda. Misalnya pada wayang wahyu, sesuai
fungsinya sebagai media penyebaran agama Katholik, gunungannya
dibuat dengan pula dasar tatahan dan sunggingan yang menggambarkan
salib.
3. Unsur dan Makna Ornamen yang Terkandung dalam Gunungan
Pohon hayat atau pohon kehidupan oleh bangsa Indonesia sebagai
lambang kehidupan alam semesta, dalam pohon hayat terkandung berbagai
falsafah kehidupan. Hal ini terbukti setiap pribadi yang ingin menstabilkan
arti pohon hayat yaitu kesejahteraan lahir batin bagi kehidupan umat.
Unsur Islam dalam pewayangan, banyak sekali macam ragamnya.
Semua dikemas dalam berbagai cerita yang telah berlaku dalam
pewayangan, sunan Kalijaga adalah salah seorang wali yang sangat berhasil
dalam berdakwah lewat wayang.
Gunungan dibuat pada zaman Demak oleh Raden Patah (Sultan Syeh
Alam Akbar) sekitar tahun L443. Sebelum pertunjukan wayang dimulai,
gunungan diletakkan di tengah-tengah kelir yang merupakan titik pusat
jangkauan mata penonton. Gunungan ini merupakan gambar simbolis dari
mustika masjid.36
36 Ismunandar, Wayang Asal Usul dan Jenisnya, Semarang: Dahara Prize, 1988, hlm.
102.
27
Gunungan bila/jika balikkan akan menyerupai jantung manusia.
Makna yang tersirat tidaklah sembarangan, karena mengandung falsafah
Islam. Sebagai orang hidup jantung harus selalu berada di masjid, maka
yang perlu diperhatikan pertama-tama dalam hidup ini adalah masjid atau
kepentingan beribadah kepada Allah. Gunungan mempunyai tiga sudut:
pertama-tama manusia tidak bisa lepas dari tiga hal, yakni Tuhan yang
mentakdirkan adanya manusia, kedua manusia dilahirkan lewat permainan
asmara oleh ayah dan ibu, sebagai perantara proses terjadinya manusia.
Ketiga dalam proses terjadinya manusia juga tidak lepas dari anasir-anasir
yang berasal dari bumi, air, angin dan api.
Kayon mengandung unsur Ke-Islaman yang sangat mendalam yaitu
ajaran keimanan terhadap kekuasaaan Allah dalam menghidupkan segala
zat hidup yang ada di langit dan di bumi beserta segala isinya.37 Hal
tersebut dapat dilihat pada gambar (ornamen dan lukisan) dalam gunungan
yang mengandung ajaran filsafat.
Ki Cipto Sangkono. CA Sangkono Cipto Wandoyo seorang dalang
dan dosen pada Institut Seni Indonesia (ISI) di Yogyakarta mengemukakan
pendapatnya tentang unsur dan makna gambar (ornamen-lukisan) pada
gunungatt:38
1. Gunungan atau Kayon diciptakan pada tahun 1443 saka, oleh sunan
Kalijaga seorang wali dari jajaran Walisanga. Di balik kayon terlihat
sunggingan yang menggambarkan api menyala, ini merupakan surya
(andra) sengkala atau sengkalan yang berbunyi geni dadi sucining jagad,
artinya bahwa geni (api) berwatak tiga, dai dari kata wahudadi berwatak
empat yang berarti samudra atau air, suci berarti air berwatak empat dan
jagad berwatak 1. Jadi angka-angka itu menunjukan 3441, bila dibalik
menjadi tahun saka 1443. Sengkala tersebut merupakan peringatan
bahwa gunungan (kayon) diciptakan oleh sunan Kalijaga pada tahun
1443 saka.
37 Effendy Zarkasi, op.cit. hlm. 114. 38 S. Haryanto, op.cit., hlm. 29-31.
28
2. Tanah tuwuh (pepohonan), terdapat di dalam gunungan dan sebagian
orang mengartikan sebagai pohon Kalpataru yang mempunyai makna
pohon hidup, sumber kehidupan, sumber kebahagiaan, sumber
keagungan (pohon jenggi) sumber asal mula kejadian (pohon purwaning
dumadi) sumber asal dan tujuan hidup (pohon sangkan panon) serta
sumber hidup diatas segalanya (pohon waringin sungsang).
3. Gambar binatang dan bermacam unggas merupakan gambaran dari
pelbagai macam tingkat kehiduapan di dunia, sedang gambar ular yang
melilit pada pohon merupakan lambang badan jasmani dan rohani yang
menyatu dan dalam pedalangan disebut kayu mati Nirambatan Handa
Walika.
4. Tanah tempat pada tumbuh melambangkan, salah satu anasir terjadinya
manusia, sedang gambar yang menempel pada pokok pohon
melambangkan api, di bawah pohon, terdapat sebuah kolam (disebut
beji) yang melambangkan air, disebut kanan dan kiri digambarkan sayap
melambangkan atau muka raksasa (bersayap) adalah pelambang angin,
dengan demikian tampak dalam kayon terdapat perlambang dari empat
unsur yang menyangkut terjadinya manusia (tanah, api dan angin).
5. Bagian bawah dari motif gunungan terdapat pintu gerbang yang diapit
oleh dua raksasa dengan bersenjatakan perisai dan pedang. Pintu
gerbang melambangkan pintu masuk ke dalam kebahagiaan abadi, dan
untuk memasukinya harus melalui penjaga (raksasa) sebagai lambang
nafsu indera.
6. Makara bermata satu sebagai lambang pramana (sering pula disebut
sebagai mata ketiga atau mata batinnya), dan pada puncak gunung
terdapat gambar mustika sebagia lambang puncak tujuan hidup.
Berbeda lagi dengan pendapat seorang dalang sekaligus mubaligh di
Nusukan-sala pada mashadi, berdasarkan pendapat Kyai Hambali beliau
29
(pak Mashadi). Meninjau gunungan dari segi ujud dan fungsinya
mengandung filsafat yang dalam:39
1. Gunungan atau kayon diciptakan tahun 1443 saka yang ditandai oleh
warna api pada balik kayon, yang merupakan candra sengkala memet
“dahana marub rahayuning bawono" yang menunjukkan angka tahun
1443 saka.
2. Di dalam kayon terdapat gambar raksasa, menurut ilmu watak benda
berarti bilangan lima. Maksudnya bahwa rukun Islam itu ada lima
perkara.
3. Gambar gapuro berwatak sembilan, menggambarkan Walisongo.
4. Kanan dan kiri ada raksasa artinya bahwa manusia selalu diawasi oleh
malaikat rokib dan atit.
5. Disamping wuwung ada tatwa yang artinya bahwa kehidupan manusia
itu dipengaruhi oleh lingkungan.
6. Gunungan atau kayon terdapat bermacam-macam binatang yang
menggambarkan nafsu manusia. Yaitu:
a. Harimau : nafsu amarah
b. Banteng : nafsu lawwamah
c. Kera : nafsu shufiah
d. Burung : nafsu mutmainnah.
Gambar yang terdapat dalam gunungan menurut paham Hindu Bali
secara kosmos melambangkan proses pencampuran benda-benda di alam
semesta menjadi satu yang disebut panca Maha Bhuta yaitu lima zat yang
diciptakan oleh Tuhan terdiri dari banu (sinar-udara-setan), bani (brama-
api) , banyu (air), bayu (angin), dan bantala (bumi atau tanah). Keempat zat
tersebut menjadi satu dan terwujudlah badan manusia. Sedangkan zat banu
merupakan zat makanan utamanya.
Pintu gerbang yang terdapat dalam gambar gunungan melambangkan
jalan masuk ke dalam alam gelap yang merupakan batas antara alam terang
(dunia fana) dengan alam gelap (alam baka atau akhirat) ular (naga)
39 Effendy Zarkasi, op.cit. hlm. 115-116.
30
melambangkan sejatining urip dengan makna betapa sulitnya yang harus
ditempuh untuk mencapai tujuan. Ayam di atas pohon melambangkan
tantangan hidup. Kera melambangkan ketangkasan atau keuluetan dalam
kehidupan manusia. Banteng melambangkan watak atau pendirian yang
jujur, kuat dan pantang menyerah. Harimau melambangkan keindahan yang
disertai bahwa yang tangguh menghadapi lawan. Burung melambangkan
kesenangan dan ketentuan untuk hari esok. Dua raksasa bersayap garuda
(bledekan) adalah lembang empat nafsu manusia (mutmainnah, shufiah,
lawwamah dan amarah) kijang yang berekor seperti komodo merupakan
binatang yang aneh yang melambangkan kemauan hidup tanpa
mempertimbangkan segi untung ruginya sekedar kesenangan belaka. Dan,
bejana berbentuk bunga padma (teratai) yang terdapat di puncak pohon
berisikan air suci melambangkan air kehidupan dari sang pencipta.
Uraian makna ornament pada gunungan tersebut terlukislah makna
filosofis dan mistik. Sehingga tampaklah jelas bahwa gunungan atau kayon
merupakan lambang pusat kehidupan dan bermakna sebagai lambang
ketuhanan (Tuhan Yang Maha Esa), yang banyak mengandung unsur dan
makna filosofis jawa atau mistik.